• Tidak ada hasil yang ditemukan

Syarat-syarat bagi sahnya suatu bai’ adalah:175

a. Syarat Kecakapan Para Pihak

1) Orang yang melakukan transaksi haruslah orang yang cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.

2) Syarat yang terkait dengan orang atau pihak yang membuat akad adalah bahwa orang itu harus cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang yang telah balig dan berakal.

b. Kesepakatan Para Pihak

Bai’ hanya terjadi secara sah bila dilakukan berdasarkan kebebasan dan kesepakatan (free and mutual consent) antara penjual dan pembeli. Kesepakatan ini diwujudkan dengan adanya ijab dan qabul atau penawaran dan permintaan.

1) Penawaran dan Penerimaan

173

Al-Syaukani, Nail al-Authar, Jilid V, h. 179. 174

Ibn Rusyd, Bidaya al-mujtahid,...Jilid II, h.153. 175

Terjadinya transaksi bai’ dimulai dengan adanya penawaran (ijab/offer) oleh salah satu pihak kepada pihak yang lain. Bila pihak yang menerima penawaran menyatakan penerimaannya (qabul/acceptance) atas penawaran tersebut, maka terjadilah transaksi bai’ yang dimaksud.

2) Isi Penawaran dan Penerimaan

Penawaran dan penerimaan harus memuat kepastian mengenai harga, kepastian mengenai tanggal dan tempat penyerahan barang, dan kepastian tentang waktu pembayaran.

c. Terdapat Barang yang diperjualbelikan dan memenuhi ketentuan

Barang yang diperjualbelikan harus memenuhi syarat atau ketentuan sebagai berikut:

1) Barang wajib dimiliki secara sempurna oleh penjual.

Barang yang akan diperjualbelikan (mabi’) harus merupakan milik penjual. Dengan kata lain, barang yang bukan milik penjual tidak dapat dijual. Misalnya, A menjual kepada B sebuah mobil yang masih akan dibeli oleh A dari C. Mobil tersebut tidak dapat dijual oleh A karena mobil tersebut masih milik C. Oleh karena mobil tersebut tidak dimiliki oleh A ketika jual-beli terjadi, maka jual-beli tersebut batal demi hukum.

Rasulullah SAW melarang menjual barang yang tidak dimiliki (H.R. Abu Daud). Rasulullah melarang menjual gandum sampai gandum tersebut menjadi miliknya (bai al-mukhadarah) (H.R. Muslim).

2) Barang wajib eksis/ada.

Barang yang diperjualbelikan harus sudah ada (sudah eksis) ketika jual-beli terjadi; Barang yang belum ada tidak dapat diperjualbelikan. Oleh karenanya, seseorang tidak dapat menjual anak sapi yang belum lahir (bai al-habl al-habalah/ bai al-haml). Anak sapi tersebut bukan saja belum dapat diketahui spesifikasinya tetapi juga belum tentu lahir hidup (lahir dalam keadaan hidup). Jika terjadi transaksi semacam itu, meskipun atas dasar saling rela (ridha), maka jual beli tersebut tidak sah secara syariah.

3) Barang wajib teridentifikasi

Barang yang diperjualbelikan harus secara spesifik diketahui dan teridentifikasi oleh pembeli. Misalnya A mengemukakan kepada B: “Saya menjual 100 karung kapas yang berada di dalam gedung tersebut”. Apabila A tidak mengidentifikasikan karung kapas tersebut, maka jual-beli tersebut batal karena apabila barang tersebut hilang, maka bukan saja sulit untuk dapat memastikan siapa pihak yang harus memikul risiko

kehilangan tersebut tetapi juga sulit untuk menentukan berapa besar nilai kehilangan tersebut.

Barang yang diperjualbelikan harus ditentukan spesifikasinya. Antara penjual dan pembeli harus menyepakati spesifikasi dari barang yang diperjualbelikan itu. Spesifikasi tersebut harus diuraikan secara rinci sedemikian rupa sehingga tidak akan menimbulkan kerancuan ketika barang tersebut diserahkan kepada pembeli oleh penjualnya.

4) Barang dalam Penguasaan Penjual

Barang yang diperjualbelikan harus secara fisik atau secara konstruktif berada pada kekuasaan penjual ketika jual-beli terjadi. Penguasaan konstruktif berarti bahwa sekalipun pembeli belum menerima penyerahan barang tersebut secara fisik ke dalam pengendaliannya, namun semua hak dan kewajiban atas barang itu telah beralih kepadanya, termasuk risiko kerusakan barang. Misalnya, A membeli sebuah mobil dari B, tetapi B belum menyerahkan secara fisik mobil tersebut kepada A. Tetapi B telah menempatkan mobil tersebut di suatu garasi (garage) yang berada di bawah kendali A dimana A secara bebas dapat mengakses mobil itu. Oleh karena A secara bebas dapat mengakses mobil itu, maka risiko terhadap mobil itu telah beralih kepadanya sehingga A dapat menjual mobil tersebut kepada pihak ketiga mana pun. Namun apabila B belum menyerahkan mobil tersebut kepada A, dan barang masih dalam penguasaan dan kendali B, maka apabila A menjual kepada C, jual beli tersebut dianggap tidak sah.

5) Dapat dipindahtangankan

Barang yang diperjualbelikan harus dapat dipindahtangankan hak kepemilikannya. Hal ini terkait dengan peralihan hak kepemilikan tersebut dari penjual kepada pembeli ketika transaksi bai’ terjadi dan selesai dilakukan.

Hak kepemilikan atas barang yang diperjualbelikan itu tersebut harus secara yuridis beralih kepada pembeli dengan konsekuensi bahwa dengan beralihnya hak kepemilikan tersebut maka beralihnya pula segala risiko yang dapat timbul terhadap barang itu, misalnya risiko kerusakan, kecurian, ketinggalan jaman, dan turunnya harga.

6) Kehalalan Barang

Barang yang diperjualbelikan harus barang yang halal (tidak diharamkan menurut syariah) dan harus memiliki nilai ekonomis. Suatu barang yang tidak memiliki nilai ekonomis untuk diperdagangkan tidak dapat dijual; selain itu, barang yang

diperjualbelikan harus bukan merupakan barang yang diharamkan seperti daging babi, minuman keras, dan lain sebagainya.

7) Waktu Penyerahan Barang

Penyerahan (delivery) barang yang dijual kepada pembeli harus pasti waktunya dan tidak boleh bergantung kepada suatu kejadian yang tidak pasti. Misalnya, A menjual mobilnya yang telah hilang dengan harapan A akan mendapatkan kembali barang tersebut. Jual-beli yang demikian itu batal.

8) Adanya Kepastian Harga Barang

Harga barang harus ditentukan di awal dan harga tersebut berlaku terus tanpa dapat diubah. Misalnya, A berkata kepada B: “Apabila anda membayar barang ini dalam waktu satu bulan, maka harga barang ini adalah Rp50.000; Namun apabila anda membayar dalam waktu dua bulan, maka harga barang ini adalah Rp55.000”. Oleh karena harga barang tersebut tidak pasti, maka jual-beli tersebut batal (void). A tidak dilarang untuk memberikan dua pilihan tersebut kepada B, namun agar jual-beli tersebut sah, B harus menentukan salah satu dari pilihan tersebut.

9) Jual beli Harus langsung dan mutlak

Jual-beli harus terjadi seketika dan mutlak (instant and absolute). Suatu jual-beli yang dikaitkan dengan suatu tanggal di kemudian hari atau suatu jual-beli yang digantungkan pada suatu waktu atau pada suatu kejadian yang masih akan terjadi di kemudian hari adalah batal demi hukum (void). Misalnya, A pada tanggal 1 Januari menyatakan kepada B: “Saya akan menjual mobil saya kepada anda pada tanggal 1 Februari”. A dapat memberikan suatu janji, namun jual-beli itu sendiri baru akan terjadi pada tanggal 1 Februari dan baru pada tanggal tersebut semua hak dan kewajiban atas barang itu beralih kepada B, atau diperjanjikan akan dilakukan apabila “saya pindah rumah”. Jual-beli tersebut batal karena digantungkan pada waktu atau pada kejadian yang masih akan terjadi di kemudian hari bahkan kejadian tersebut belum tentu terjadi. Contoh lain, A berkata kepada B, “ jika Tuan X menang dalam Pilpres, mobilku saya jual kepadamu”. Jual beli tersebut tidak sah karena bergantung pada kejadian di waktu yang akan datang.

10) Jual-Beli Bersyarat

Jual-beli tidak boleh bersyarat (harus unconditional). Suatu jual-beli yang bersyarat (conditional sale) mengakibatkan jual-beli tersebut tidak sah (invalid), kecuali apabila syarat-syarat tersebut merupakan bagian dari suatu bentuk perdagangan yang lazim dan tidak dilarang oleh syariah. Misal, A membeli mobil dari B dengan syarat B akan

mempekerjakan anak A di perusahaannya. Jual beli ini bersyarat; jadi tidak sah. Namun apabila A membeli lemari es dari B dengan syarat B menyediakan perawatan gratis selama dua tahun. Syarat ini diketahui secara umum sebagai bagian dari transaksi, maka jual beli ini sah.

BAB VIII

JUAL BELI MURABAHAH DAN MUSAWAMAH