• Tidak ada hasil yang ditemukan

Istishlah atau Maslahah al-Mursalah

Dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya Allah tidak akan

4) Istishlah atau Maslahah al-Mursalah

Istishlah atau maslahah mursalah sebagai sebuah metode penetapan hukum (dalil hukum) yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Quran dan hadis. Metode ini

lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung.44

Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu ushul fikih dikenal ada tiga macam maslahat, yakni maslahat mu’tabarat, maslahat mulghat dan maslahat mursalat. Masalahat yang pertama adalah masalahat yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al-Quran maupun dalam hadis. Sedangkan masalahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum Islam tersebut. Di antara kedua maslahat tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat, yakni maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan

dengan keduanya.45 Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah

istishlah.

Mayoritas ahli ushul fikih menerima metode ini dengan memberikan beberapa syarat.

Menurut Imam Malik, persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:46 Pertama, maslahat

tersebut bersifat reasonable (ma’qul) dan relevan (munasib) dengan kasus hukum yang ditetapkan. Kedua, maslahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang daruri (kebutuhan dasar) dan menghilangkan kesulitan (raf’u al-kharaj), dengan cara menghilangkan masyaqqat dan mudharat. Ketiga, maslahat tersebut harus sesuai dengan

43

Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, op.cit., h. 119-120 44

Dalam ilmu usul fikih, al-mashlahat almursalat adalah: “suatu maslahat yang tidak ditetapkan oleh al-Syari sebagai dasar penetapan hukum, tidak pula ada dalil syar’I yang menyatakan keberadaannya atau keharusan meninggalkannya”. Lihat Khalaf, ilmu… op. cit., h. 84.

45

Khalaf, ilmu…ibid., h. 84. 46

maksud disyariatkan hukum (maqashid al-Syariat), dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qath’i.

Sementara itu Al-Ghazali menetapkan beberapa syarat agar maslahat dapat dijadikan

sebagai dasar hukum. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:47

1) Kemaslahatan itu masuk kategori peringkat daruriyyat. Artinya bahwa untuk menetapkan suatu kemaslahatan, tingkat keperluannya harus diperhatikan, apakah akan sampai mengancam eksistensi lima unsur pokok masalahat atau belum sampai pada batas tersebut.

2) Kemaslahatan itu bersifat qath’i. Artinya, yang dimaksud dengan maslahat tersebut benar-benar telah diyakini sebagai masalahat, tidak didasarkan pada dugaan semata-mata.

3) Kemasalahatan itu bersifat kulli. Artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku secara umum dan kolektif, tidak bersifat individual. Apabila maslahat itu bersifat individual, kata Al-Ghazali, maka syarat lain yang harus dipenuhi adalah bahwa maslahat itu sesuai dengan maqashid al-syariat.

Berdasarkan persyaratan di atas, maslahat yang dikemukakan oleh para ahli ushul fikih di atas, dapat dipahami bahwa betapa eratnya hubungan antara metode maslahat mursalat dengan maqashid al-syari’at. Ungkapan Imam Malik, bahwa maslahat itu harus sesuai dengan tujuan disyariatkannya hukum dan diarahkan pada upaya menghilangkan kesulitan, jelas memperkuat asumsi ini. Begitu pula dengan syarat pertama yang dikemukakan Al-Ghazali. Baginya yang dimaksud dengan memelihara aspek daruriyyat tiada lain adalah untuk memelihara lima unsur pokok maslahat: agama, jiwa, akal,

keturuanan, dan harta.48

Contoh istishlah dalam praktik lembaga keuangan syariah (LKS) antara lain sebagai berikut:

• Bahwa dalam sistem pencatatan dan pelaporan pelaporan (akuntansi) keuangan dikenal ada dua sistem, yaitu Cash Basis, yakni prinsip akuntansi yang mengharuskan pengakuan biaya dan pendapatan pada saat terjadinya, dan Accrual Basis, yakni prinsip akuntansi yang membolehkan pengakuan biaya dan pendapatan didistribusikan pada beberapa periode. Kedua metode tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Terhadap kedua metode tersebut, pada prinsipnya LKS boleh menggunakan sistem Accrual Basis maupun Cash Basis dalam administrasi

47

Al-Ghazali, al-mushtashfa min ‘ilmi al-Ushul, Kairo: Sayyid al-Husein, t.th, h. 253-259.bandingkan dengan Husain Hamid Hisan, Nazhariyyatu al-Mashlahat fi al-Fiqhi al-Islami, Beirut: Dar al-Nahdhat al-Arabiyyat, 1971, h. 452-459.

keuangannya. Namun dilihat dari segi kemashlahatan (al-ashlah), menurut fatwa Dewan Syariah Nasional, dalam pencatatan sebaiknya digunakan sistem Accrual Basis, dan dalam distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan atas dasar penerimaan

yang benar-benar terjadi (Cash Basis).49

• Dalam pembagian hasil usaha di antara para mitra dalam suatu bentuk usaha kerjasama, LKS pada dasarnya boleh mendasarkan pada prinsip bagi untung (profit sharing), yakni bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal dan biaya-biaya; dan boleh juga didasarkan pada prinsip bagi hasil (revenue sharing), yakni bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi modal. Namun dilihat dari segi kemaslahatn (al-ashlah), saat ini (agar kompetitif dengan bank konvensional dan meningkatkan jumlah pengguna jasa LKS-penulis), menurut fatwa DSN-MUI,

pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing).50

5) Istishab

Istishab ialah melestarikan suatu ketentuan hukum yang telah ada pada masa lalu,

hingga ada dalil yang mengubahnya.51 Sebagian ulama menolak istishab sebagai hujjah

syari’at, karena sesuatu yang diterapkan pada masa lalu harus dengan dalil sebagaimana hukum yang diterapkan pada masa sekarang dan akan datang. Sementara itu, ulama mutaakhirin seperti Hanafiyah berpendapat, istishab hanya dapat diterapkan untuk melestarikan hukum yang telah ada masa lalu, tidak dapat diberlakukan pada hukum baru yang belum ada sebelumnya. Misalnya orang hilang hanya dapat menerima haknya pada masa lalu, tetapi tidak dapat menerimanya setelah ia hilang. Sedangkan sebagian ulama lain memandang istishab dapat dijadikan dalil hukum secara mutlak. Maka menurut pendapat terakhir, orang hilang dapat menerima haknya yang telah ada pada masa lalu

yang muncul setelah hilangnya.52 Misal lainnya adalah berkaitan dengan suatu

kontrak/perjanjian. Apabila jenis kontrak tersebut tidak ditemukan nashnya dalam Al-Quran dan al-Sunnah, atau tidak ditemukan dalil syara’ yang mutlak hukumnya, maka kontrak tersebut hukumnya dibolehkan berdasar kaidah bahwa asal sesuatu itu adalah boleh. Karenanya, jika tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya perubahan, maka sesuatu itu hukumnya boleh sesuai dengan sifat kebolehan pada asalnya. Misalnya lagi

48

Al-Ghazali, ibid, h. 251. 49

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia, No.14/DSN-MUI/IX/2000 tanggal 16 September 2000 tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga Keuangan Syariah.

50

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia, No.15/DSN-MUI/IX/2000 tanggal 16 September 2000 tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga Keuangan Syariah.

51

Lihat Abd Wahab Khalaf, Mashadir …, h. 151 52

Muh. Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-‘arabi, 1958, h.236-7; al-Zuhaili, Ushul, op. cit., j. II, h.867-71

adalah jika seseorang memiliki sesuatu berdasarkan sebab pemilikan, maka pemilikan itu tetap berlaku sampai ada ketetapan yang menggugurkan kepemilikan tersebut. Berkaitan denga tanggungan, misalnya, tanggungan utang tetap berlangsung atau tetap berlaku sampai adanya ketetapan yang membebaskan tanggungan tersebut. Sebaliknya, tanggungan hutang yang telah dibebaskan itu tetap berlaku atau dianggap ada pembebasan tanggungan, sampai ada ketetapan yang tetap memberlakukan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam istishab asal sesuatu itu ialah tetapnya sesuatu yang sudah tetap berdasarkan keadaan asal, sampai ada perubahannya. 6) ‘Urf

‘Urf ialah sesuatu yang telah dibiasakan oleh manusia dan mereka telah

menjalaninya dalam berbagai aspek kehidupan.53 Mayoritas ulama menerima ‘urf sebagai

dalil hukum, tetapi berbeda pendapat dalam menetapkannya sebagai dalil hukum yang mustaqill (mandiri). Ibn Hajar mengatakan bahwa para ulama syafi’iyah tidak membolehkan hujjah dengan ‘urf apabila ‘urf tersebut bertentangan dengan nash atau tidak ditunjuki oleh nash syar’i. Jadi secara implisit mereka mensyaratkan penerimaan ‘urf sebagai dalil hukum, apabila ‘urf tersebut dirujuki oleh nash atau tidak bertentangan dengan nash. Sedangkan ulama Hanafiyah dan Malikiyah menjadikan ‘urf sebagai dalil hukum yang mandiri dalam masalah-masalah yang tidak ada nashnya yang qath’i dan tidak ada larangan syarak terhadapnya. Dalam posisi ini, mereka membolehkan mentakhsishkan dalil yang umum, membatasi yang mutlak, dan ‘urf dalam bentuk ini didahulukan pemakaiannya dari pada qiyas. Ulama Hanabilah menerima ‘urf selama urf tersebut tidak bertentangan dengan nash dan memandangnya sebagai dalil hukum yang tidak mandiri

tetapi harus terkait dengan dalil lain yakni sunnah.54

Contoh dari ‘urf adalah kebolehan melakukan transaksi istishna’. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan kebolehan /hukum istishna, sebagai berikut:

• Dalam mazhab Hanafi terdapat dua pendapat, yaitu pertama, sebagian mereka mendasarkan hukum istishna’ pada dalil Qiyas (analogi) terhadap bai al-salam, sekalipun objek dari jual beli istishna ini termasuk dalam jual beli sesuatu yang belum/tidak ada (bai’ al ma’ dum) sebagaimana dilarang Rasulullah saw (HR. Abu Dawud, Ibn Majah, Annasai dan Tabrani). Kedua, mereka mendasarkan pada dalil istihsan (berpaling dari kehendak Qiyas karena ada indikasi yang kuat yang membuat pemalingan ini) dengan meninggalkan kaidah Qiyas. Menurut mereka, jual beli seperti

53

Abdul A. Al-Khayyat, Nazhariyat al-‘urf, Amman: Maktabah al-Aqsha, 1977, h. 24; Nasrun Rusli, Konsep.., Op.cit.,

ini, telah memasyarakat di berbagai daerah dan suku bangsa. Maka untuk kemaslahatan orang banyak akad ini dibolehkan. Apabila seluruh masyarakat telah memberlakukan akad ini maka tidak mungkin mereka semua akan melakukan sesuatu yang salah sejalan dengan sabda Nabi saw “umatku tidak akan sepakat terhadap suatu kesesatan” (HR. Ahmad bin Hanbal).

• Jumhur ulama berpendapat bahwa transaksi ini hukumnya boleh atas dasar pertimbangan kemasalahatan umat yang membutuhkan karena hal seperti ini juga telah memasyarakat di seluruh wilayah Islam dari berbagai suku bangsa.

• Dikalangan ulama mazhab Syafi’i juga terdapat dua pendapat. Sebagian mereka berpegang dengan kaidah qiyas, sehingga mereka berpendapat akad ini tidak boleh karena bertentangan dengan kaidah umum yang berlaku, yaitu bahwa objek yang ditransaksikan itu harus nyata, sedangkan dalam istishna objeknya tidak langsung bisa dilihat. Oleh sebab itu jual beli istishna termasuk dalam bai’ al-ma’dum yang dilarang syara/Hukum Islam. Sebagian ulama mazhab Syafi’i lainnya membolehkannya dengan beralasan kepada adat kebiasaan (urf) yang telah berlaku di tengah-tengah masyarakat dan kebutuhan masyarakat terhadap transaksi ini.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli hukum tersebut, maka dasar hukum istishna dikalangan ahli hukum Islam yaitu Istihsan, Qiyas, dan ‘urf.