• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk jenis Ba’i dilihat dari keabsahannya

Para ulama membagi jual beli dari segi sah tidaknya menjadi tiga bentuk, yaitu 1) jual beli yang sahih, 2) jual beli yang batal, dan 3) jual beli yang fasid. Berkaitan dengan aspek hukumnya, bai’ dibagi ke dalam bai’ yang sah (shahih), bai’ yang batal (batil), bai’

yang dapat dibatalkan (fasid), dan bai’ yang tertunda (suspended atau mawquf).169

Para ahli hukum dari mazhab Hanafi, membagi bai’ ke dalam bai’ nafiz atau bai’ sahih, bai’ batil, dan bai’ fasid. Batil berarti suatu kontrak jual-beli dimana kepemilikannya tidak beralih dari penjual kepada pembeli sehingga karena itu bai’ tersebut tidak sesuai dengan syariah. Akibatnya, bai’ tersebut tidak dapat diberlakukan. Fasid adalah suatu kontrak jual-beli yang mengandung syarat yang melanggar ketentuan syariah sehingga karena itu kontrak jual-beli tersebut tidak sah, namun apabila para pihak setuju untuk mengubah syarat yang melanggar syariah tersebut, maka kontrak tersebut menjadi

Jual beli dikatakan sahih apabila jual beli itu disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan. Dikatakan jual beli yang batal (tidak sah) adalah apabila satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu dasar dan sifatnya tidak disyariatkan seperti jual beli yang dilakukan anak-anak, orang gila, atau barang yang dijual itu diharamkan syara’.

169

berlaku. Apabila terjadinya peralihan hak kepemilikan dari penjual kepada pembeli digantungkan pada suatu syarat tertentu, maka kontrak jual-beli tersebut disebut mawquf.170

Adapun jenis jual beli yang batil adalah:

171

a) Jual beli sesuatu yang tidak ada objeknya (bai’u al-ma’dum). Para ulama fikih sepakat mengatakan jual beli seperti ini tidak sah/ batil.

b) Menjual barang yang tidak dapat diserahkan pada pembeli (bai’u ma’juzi at-taslim). Hukum ini disepakati oleh seluruh ulama fikih dan termasuk kedalam kategori bai’ al-gharar (jual beli tipuan). Termasuk ke dalam kategori bai’u al-ma’juz taslim ini adalah jual beli utang (bai’u al-dain). Yang dimaksud utang adalah harga suatu barang yang harus dibayar, pengganti pinjaman, upah/sewa suatu manfaat, diyat (sanksi pidana), denda orang yang merusak, khulu (tebusan), dan obyek salam. Jual beli utang adakalanya berbentuk menjual utang kepada pihak yang berhutang sendiri (debitur, madin) atau kepada pihak lain (bukan debitur, ghair al-madin). Di samping itu, adakalanya jual beli utang dilakukan secara langsung (cash, filhal) atau dengan cara ditangguhkan (muajjal). Jual beli utang dengan cara ditangguhkan (muajjal) adalah jual beli yang dikenal dengan istilah bai’ alkali bil kali (menjual piutang dengan piutang). Jual seperti ini dilarang oleh syariat Islam. Karena dalam hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Rafi’ Ibn Khudaij, bahwa sanya Rasulullah SAW melarang menjual piutang dengan piutang (bai’ al-kali b al-kali’).

Adapun jual beli piutang (bai’u aldayn) secara langsung, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama selain mazhab Dhahiriyyah membolehkan jual beli piutang kepada debitur atau menghibahkan kepadanya (sale of debt to third party) sedangkan jual beli piutang kepada selain debitur (sale of debt to third party) dengan cara tunai (cash, naqdan) mayoritas ulama melarangnya kesuali ulama dari mazhab Maliki membolehkannya dengan syarat terbebaskan dari terjadinya spekulasi (gharar), riba, dan ancaman bahaya-bahaya lainnya.

Kebasahan jualbeli piutang secara langsung kepada debitur menurut mayoritas ulama di atas, boleh jadi karena jual beli jenis ini hanyalah bentuk lain dari pengalihan hutang kepada bentuk jual beli dengan merubah akad (novasi). Disamping itu, kekhawatiran ketidakmampuan debitur menyerahkan atau membayar hutangnya tidak sebesar kalau piutang itu di jual kepada selain debitur.

170

Muhammad Ayub, ibid 171

Hasil keputusan/fatwa lembaga Fiqh Islam OKI No. 110 tahun 1998 tampaknya memperkuat pendapat mayoritas ulama di atas, sebagai berikut:

”bahwa sesunguhnya tidak diperbolehkan menjual piutang yang akan dibayar kemudian kepada selain debitur dengan harga tunai, baik dibayar dengan sejenisnya atau dengan bukan sejenisnya karena membawa kepada praktek riba. Demikian pula halnya tidak dibolehkan menjual piutang dengan pembayaran kemudian baik pembayaran dilakukan dengan sejenisnya, karena termasuk menual al-kali bil kali (menual piutang dengan piutang) yang dialarang dalam syariat Islam. Hal ini dilarang baik piutang dalam bentuk pinjaman uang atau dalam bentuk jual beli secara tidak tunai”.

Dalam praktek di dunia perbankan konvensional bai al-madin bi al-madin dikenal dengan nama jual beli surat berharga di bursa efek, obligasi dan lain-lain.

c) Jual beli benda-benda yang dikategorikan najis (bai’u al-najas). Semua benda yang termasuk najis dan tidak bernilai menurut syariat tidak boleh diperjualbelikan.

d) Jual beli ’arabun/’urbun adalah menual sesuatu barang dengan lebih dulu membayar panjar kepada pihak penjual (sebelum benda yang dibeli diterima), dengan ketentuan jika jual beli dilaksanakan, uang panjar itu dihitung sebagai bagian dari harga, dan jika pembeli mengundurkan diri maka uang panjar itu menjadi milik pihak penjual. Jumhur ulama berpendapat jual beli dengan panjar seperti ini tidak sah, berdasarkan hadis Rasulullah SAW tentang pelarangannya, dalam jual beli ini juga terdapat unsur gharar (ketidakpastian) dan berbahaya, serta masuk kategori memakan harta orang lain tanpa pengganti.

Sementara ulama Hanabilah dan sebagian ulama Hanafiah membolehkan dengan syarat adanya batasan waktu tunggu untuk melangsungkan atau tidak melanjutkan jualbeli tersebut. Adapun dasar kebolehan bai arabun adalah hadis yang diriwayatkan oleh Zaid bin Aslam bahwasanya ” Rasulullah ditanya tentang panjar dalam jual beli dan beliau membolehkannya”, dan juga sebuah riwayat yang menceritakan bahwa Nafi’ Ibn Abdul Haris membelikan untuk Umar sebuah rumah tahanan dari Sofyan Ibn Umayyah dengan harga 4000 dirham. Jika Umar setuju maka jual beli dilangsungkan, dan jika tida setuju bagi sofyan mendapatkan 400 dirham.

Menurut Wahbah Az-zuhaili, kedua hadis yang dipakai para ulama, baik yang membolehkan maupun yang melarang sama-sama lemah (dha’if). Oleh karena itu menurutnya, hukum bai al-arabun boleh atas dasar ’urf, hal ini mengingat bai’al-urbun ini sulit dihindari dalam transaksi modern terutama dijadikan sebagai sarana

untuk menjalin ikatan antara pihak-pihak yang bertransaksi sebelum transaksi itu disepakati secara penuh, sehingga sebagai kompensasi bagi penjual yang menunggu dalam waktu tertentu, maka diberikan kepadanya uang panjar.

Pendapat Wahbah ini diperkuat oleh hasil keputusan/Fatwa Lembaga pengkajian Fiqh Islam OKI No.72 Tahun 1993, yang menetapkan bahwa diperbolehkan jual beli dengan panjar dengan syarat jarak waktu untuk menyatakan jadi atau tidaknya dijelaskan secara pasti dan uang muka itu dihitung sebagai bagian dari harga, serta uang muka itu menjadi hak penjual bila mana pembeli mundur dari pembelian.

e) Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak boleh dimiliki seseorang atau merupakan hak bersama umat manusia (kepemilkan kolektif), dan tidak boleh diperjualbelikan.

Sedangkan yang masuk dalam ketegori jual beli yang Fasid adalah sebagai berikut:172

a) Jual beli al-majhul (benda atau barangnya secara global tidak diketahui) atau kemajhulannya bersifat total. Akan tetapi, jika kemajhulannya (ketidakjelasannya) itu sedikit, jual belinya sah, karena hal itu tidak akan membawa kepada perselisihan. Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa sebagai tolok ukur untuk unsur majhul itu diserahkan sepenuhnya kepada urf (kebiasaan yang berlaku bagi pedagang dan pembeli).

b) Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat.

c) Menjual barang yang ghaib (tidak ada) atau tidak dapat diserahkan saat jual beli berlangsung, kecuali sifat-sifatnya disebutkan dengan syarat sifat-sifatnya tersebut tidak berubah sampai barang diserahkan.

d) Jualbeli dengan harga yang diharamkan.

e) Jual beli ’inah yaitu jual beli dengan membayar tangguh kemudian dibeli kembali dengan tunai. Jual beli seperti ini dikatakan fasid karena menyerupai dan mengarah kepada riba. Akan tetapi mazhab Hanafiyah mengatakan apabila unsur yang membuat jual beli ini rusak dapat dihilangkan, maka hukumnya sah. Menurut sebagian ulama Malikiyah hal ini dinamakan bai al-ajal karena selalu memuat penagguhan, sebagian lain menamakannya bai’ al-’inah.

f) Jual beli anggur dan buah-buahan lain untuk tujuan pembuatan khamar, apabila penjual anggur itu mengetahui bahwa pembeli itu adalah produsen khamr.

172

g) Menggabungkan dua syarat dalam satu penjualan ( bai’atain fi bai’atain atau al-syarthaani fi bai’in wahidin). Hal ini sesuai dengan hadis Nabi dai Abdullah bin Umar yang berbunyi:

”Nabi SAW bersabda: Tidak halal melakukan transaksi utang piutang dan penjualan dalam waktu bersamaan, tidak halal menggabungkan dua syarat dalam satu penjualan, tidak halal mengambil keuntungan terhadap barang yang tidak berada dalam tanggungannya dan tidak halal menjual barang yang belum engkau miliki’ (HR.Ahmad, Abu Daud, An-nasai’ dan Al-Turmudzi).

Contohnya adalah seseorang menjual sebuah barang pada pembeli dengan syarat pembeli tidak boleh menjualnya kepada orang tertentu, atau pembeli tidak boleh

mewakafkan atau menghibahkannya.173 Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan

jual bersyarat di atas adalah batal. Sedangkan Imam Malik menyatakan jual beli syarat

di atas adalah sah, apabila pembeli diberi hak khiyar.174

f) Jual beli sebagain barang yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dari satuannya.

Jual beli seperti ini tidak dibenarkan karena menghalangi/bertentangan dengan prinsip kontrak berupa kebebasan (hurriyyah) bagi salah satu pihak yang melakukan transaksi.

g) Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna matangnya untuk dipanen.