• Tidak ada hasil yang ditemukan

JUAL BELI MURABAHAH DAN MUSAWAMAH (al-Bai’ al-Murabahah wa al-Musawamah)

3. Rukun Murabahah

183

Menurut Yusuf Qardhawi, dalam ini ada dua unsur utama yang

perlu dipahami yaitu adanya wa’ad (janji), artinya janji untuk membelikan barang yang diminta pembeli dan janji penjual untuk meminta keuntungan dari barang tersebut. Di samping itu, disepakati pula oleh pembeli dan penjual bahwa janji ini bersifat mengikat (iltizam) yang kemudian akan dilakukan pembayaran dengan cara ditangguhkan (muajjal). 183F

184

2. Dasar Hukum Murabahah

Karena murabahah ini merupakan salah satu bentuk jual beli, mayoritas ulama berpendapat bahwa dasar hukum murabahah ini sama seperti dalam dasar hukum jual beli pada umumnya, sebagaimana telah dikemukakan pada bagian Jual-Beli sebelumnya, dan hukumnya adalah boleh.

3. Rukun Murabahah

Menurut mayoritas ulama, mengingat Murabahah adalah salah satu jenis jual beli yang dihalalkan oleh syara’, maka secara umum rukun murabahah adalah sama dengan rukun jual beli pada umumnya, yaitu adanya penjual (al-bai'), pembeli (al-musytari'), barang yang dibeli (al-mabi'), harga (al-tsaman), dan shighat (ijab-qabul). Namun demikian, terdapat beberapa syarat khusus untuk jual beli murabahah ini, yang menurut

Wahbah yaitu perlu diketahuinya harga awal ( ), diketahuinya keuntungan (

), harga jual diketahui jumlahnya secara pasti ( ), dan

buakan harta ribawi ( ).184F

185

Sedangkan menurut Mahsin,

syarat khusus dalam murabahah adalah:185F

186

♦ Penjual hendaknya menyatakan modal yang sebenarnya bagi barang yang hendak dijual.

♦ Pembeli setuju dengan keuntungan yang ditetapkan oleh penjual sebagai imbalan dari harga perolehan/harga beli barang, yang selanjutnya menjadi harga jual barang secara murabahah.

183

Syubair, Ibid, 264 184

Yusuf Qardhawi, Bai’ al-Murabahah li amir Bisysyira Kama Tajriyatul Mushrif al-Syariyyah, Kairo, Maktabah Wahbah, h. 25-26.

185

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Jilid V, h. 422-423 186

♦ Sekiranya ada ketidakjelasan /ketidakcocokan masalah harga jual barang, maka pihak pembeli boleh membatalkan akad yang telah dijalankan dan dengan demikian bubarlah jual-beli secara murabahah tersebut.

♦ Barang yang dijual secara murabahah bukan barang ribawi. 4. Cara Pembayaran dalam Murabahah

Dikalangan ahli fikih, ketika membahas bai al-murabahah ini terdapat perbincangan antara lain mengenai harga jual yang dibayar secara tunai dan harga jual yang dibayar

angsuran dengan waktu lebih lama.187 Mengenai adanya tambahan harga terhadap harga

jual barang karena ada jangka waktu pembayaran atau jual beli angsuran ini, secara umum

terdapat dua pandangan para ulama, yaitu: 188

Pendapat pertama, merupakan pendapat jumhur ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah yang membolehkan jual beli angsuran dengan meninggikan harga jual dibanding dengan harga tunai. Juga sebagian ulama kontemporer

yang sependapat di antaranya Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Yusuf Qardhawi.189

1). Keumuman firman Allah “ Allah menghalalkan jual beli” (QS 2: 275) dan “tidak ada dosa bagi kamu untuk mencari karunia dari sisi Tuhan-Mu”(QS. 2: 198).

Mereka mendasarkan kepada Al-Quran, sunnah, dan ijtihad sebagai berikut:

2). Hadis Rasulullah SAW berbunyi: Idza Ikhtalafa al-Jinsani Fa bai’u Kaifa Syi`tum (HR. Muslim). Artinya “Apabila terjadi perbedaan antara dua jenis barang maka belilah olehmu yang kamu sukai “

3). Dari Abdullah bin Amr bin Ash r.a. bahwa ia diperintah Nabi saw mempersiapkan pasukan perang. Maka Abdullah bin Amr berkata, “kita tidak punya dhahr (onta yang kuat)” kemudian ia (perawi) berkata, “kemudian Abdullah bin Amr diperintah Nabi saw membeli dhahr kepada orang yang mau mengeluarkan sedekah. Lalu Abdullah bin Amr menukar seekor onta dengan dua ekor onta lainnya lagi. Dibelinya onta itu kepada orang yang hendak mengeluarkan sedekah atas perintah Rasulullah saw

…”.190

4). Hukum asal dalam jual beli bahwa pedagang memiliki kebebasan dalam menentukan harga, asalkan tidak melampui batas (Istighlal), berbuat zalim, dan ihtikar (monopoli).

187 Permasalahan lainnya adalah berkaitan dengan penerapan wa’ad dan taraddud al-’aqd. 188

Yusuf Qardhawi, Bai’ al-Murabahah li amir , Ibid, h. 269; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam..., h.432 189

Yusuf al-Qardhawi, al-murabahah … op. cit. 190

Riwayat daruquthni dalam sunan-nya; kitab al-buyu’ no. 261, III:69. Ibn Hajar berkata, dikeluarkan Daruquthni dan lainnya dengan sanad kuat (qawi). Lihat, fathul bari, IV : 419.

5). Berdasarkan qiyas terhadap bai al-salam. Dimana bai al-salam adalah jual beli Ajil bi’ajil (pembayaran tunai barang kemudian). Dalam bai al-salam karena barang diserahkan kemudian, maka boleh menaikkan harga barang.

Pendapat Kedua, Sebagian pendapat Syi’ah seperti al-Qasimiyah dan Imam Yahya dan juga pendapat Ibn Sirin, Syuraih, Ibn Hazm Adh-zahiri, yang menyatakan bahwa tidak boleh meninggikan/ manaikkan harga jual barang terhadap jual beli secara tempo waktu

(kredit).191 Sebagian ulama kontemporer yang sependapat dengan pendapat ini di

antaranya, Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq dan DR. Rafiq al-Mishri.192

1) Riwayat Abu Hurairah tentang hadis “Barang siapa melakukan dua penjualan atas satu jenis barang, maka baginya yang paling murah (pertama) di antara keduanya atau menjadi riba”. Hadis ini menunjukkan secara jelas tidak boleh menentukan dua harga pada satu barang, secara kontan atau tempo waktu/kredit. Bila ada dua harga, maka ambil yang pertama (secara tunai), jika tidak maka akan masuk kategori riba.

Mereka berpendapat sebagai berikut:

2) Hadis lain dari Umar bin Sya’ib, Rasulallah bersabda sebagai berikut : “ Tidak halal pinjam dan jual, tidak pula dua syarat dalam satu penjualan,…”. Hadis ini menggambarkan salaf (pinjam meminjam) dan jual beli secara tempo waktu yang menaikkah harga jual, tidak boleh. Dan juga menggambarkan dua syarat dalam satu penjualan. Apabila harga kontan sekian, apabila tempo waktu sekian, maka tidak sah. 3) Bahwa jual beli kredit termasuk riba. Bertambahnya harga secara kredit seperti

bertambahnya hutang karena kredit.

Dari dua pendapat tersebut, menurut mayoritas ulama bahwa pendapat yang paling rajih adalah pendapat yang pertama, yaitu membolehkan jual beli secara angsuran dengan menaikkan harga jual. Alasan yang dikemukakan oleh mayoritas ulama antara lain mengenai kedudukan hadis ”Naha Rasulullah ’An Bai’atain”. Menurut mereka, hadis tersebut terutamanya riwayat yang ada kalimat ”au kasahuma” kedudukannya dianggap lemah, karena dalam sanadnya terdapat nama Muhammad bin Umar bin ‘Al-qamah. Nama

tersebut, seperti dikatakan Ibn Hajar “dia terpercaya tetapi meragukan (Auham)”.193

Adapun peristiwa yang terkandung dalam hadis bahwa seseorang meminjam kepada orang lain satu dinar fi qafizin dari gandum sebulan, dan ketika sudah tiba waktunya diminta kembali dengan gandum tersebut, lalu yang berhutang berkata : juallah kepadaku gandum yang ada di tanganmu kepadaku dengan dua kali jumlah harga gandum

191

Lihat. Nailul Authar, Jilid V/172; al-Muhalla Ibn Hazm, IX/627. 192

yang pertama, yang dibayar sebulan kemudian, jual beli yang kedua ini merupakan kelanjutan dari jual beli yang pertama. Maka jadilah dua transaksi dalam satu barang, dan diambil harga yang pertama jika tidak termasuk riba. Riwayat ini berdasar kesepakatan tidak ada kaitan dengan masalah jual beli kredit.

Adapun riwayat yang sahih yaitu hadis “ Naha ‘An bai’ataini fi ba’atin” tanpa tambahan “kasahuma” sebagaimana disebut. Riwayat ini tidak menunjukkan atas ketidakbolehan jual beli secara tempo waktu, melainkan maksud hadis tersebut adalah transaksi yang dilakukan oleh dua orang atas satu barang dan ditawarkan dua harga dengan tidak ada kejelasan harga mana yang dipilih. Adanya dua harga tersebut akan menimbulkan perselisihan (munaza’ah) dan ketidakjelasan (jahalah). Adapun bila yang melakukan akad memilih salah satu harga yang ditawarkan secara jelas maka jual beli tersebut boleh hukumnya. Hal mana sebagaimana dikatakan al-Khatabi, “ Apabila menentukan salah satu dari dua pilihan dalam majlis akad maka sah jual beli tersebut dan tidak perselisihan tentangnya”. Begitu juga Al-Syaukani juga berkata : “ ‘Illat keharaman bai’atain fi bai’atin adalah tidak adanya kepastian dalam bentuk jual beli dengan dua

harga”.194

Adapun hadis yang melarang salaf dan bai’, tidak menunjukkan atas ketidakbolehan jual beli secara tempo waktu (kredit). Karena maksud salaf dalam hadis tersebut adalah al-Qardh (Pinjaman). Gambaran larangan dalam hadis itu, disyaratkan salah satu dari yang melakukan jual-beli kepada yang lainnya untuk meminjamkan dirham atau dinar agar terjadi kesempurnaan dalam akad jual beli. Dan itu tidak ada hubungan dengan pembahasan jual-beli kredit. Sedangkan larangan dua syarat dalam hadis tersebut, dikalangan ulama terjadi perbedaan penafsiran yang cukup beragam. Penafsiran paling umum terhadap hadis tersebut adalah, apabila menawarkan barang dengan dua harga dan melakukan transaksi atas kedua harga tersebut tanpa ada kejelasan pilihan harga terhadap salah satunya, maka tidak sah jual beli tersebut, sebagaimana dijelaskan di atas. Oleh karenanya, tidah sah hadis tersebut dijadikan hujjah/argumentasi berkaitan dengan

jual-beli tempo waktu (kredit).195

193

Muhammad Usman Syubair, Al-Mu’amalah Al-Maliyah Al-Muashshirah Fi Al-Fiqh Al-Islami, Jordan: Dar al-Nafais,

1996, h.269

194

Muhammad Usman Syubair, ibid,269 195

Ibid, h.270

Asosiasi Hukum Syariah (Majma’ al-Fiqh al-Islamiy) telah menetapkan dalam pembahasannya di Jeddah tanggal 17-23 Sya’ban 1410 H atau 14-20 Maret 1990 sebagai berikut:

1). Boleh ada tambahan dalam jual beli dengan tempo waktu (muajjal/kredit) dari harga tunai, sebagaimana boleh menyebutkan harga jual kontan dan kredit dengan tempo waktu tertentu. Tidak sah jual beli kecuali apabila ditentukan akadnya secara jelas apakah kontan atau kredit. Apabila terjadi jual beli dengan taraddud (bimbang/ragu-ragu) antara kontan dan kredit, sehingga tidak ada kesepakatan pasti terhadap harga yang ditawarkan tersebut, maka hukumnya tidak boleh menurut syara’.

2). Syara’ melarang jual beli kredit yang tidak jelas (tanshish) akadnya dan adanya penambahan atas pinjaman karena tempo waktu (bunga kredit), sekalipun disepakati oleh orang yang berakad sesuai dengan bunga yang ditentukan.

3). Apabila pembeli terlambat melakukan pembayaran dari waktu yang ditentukan, maka tidak boleh melakukan penambahan terhadap hutang baik dipersyaratkan sebelumnya

atau tidak, karena hal itu termasuk riba yang diharamkan.196

Dalam pelaksanaannya, pembayaran dalam murabahah dapat dilakukan dengan dua bentuk, yaitu pembayaran dengan tempo waktu tetapi dibayar sekaligus tunai pada waktu yang telah ditentukan (muajjal/lumpsam), atau pembayaran dengan tempo waktu secara angsuran (taqsith/instalment) sampai waktu yang telah ditentukan.