• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN STUDI Environmental Health Risk Assesment (EHRA) Kabupaten Sukabumi Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Sukabumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN STUDI Environmental Health Risk Assesment (EHRA) Kabupaten Sukabumi Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Sukabumi"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN STUDI

Environmental Health Risk Assesment

(EHRA)

Kabupaten Sukabumi

Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Sukabumi

KABUPATEN SUKABUMI

JULI 2013

INDONE

SIA SA

NITA

TIO

N SE

CT

OR DEV

EL

OPMENT

PRO

GRAM

(2)

KATA PENGANTAR

EHRA (Environmental Health Risk Assessment) atau Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan adalah studi yang bertujuan untuk memahami kondisi fasilitas sanitasi dan perilaku-perilaku yang memiliki risiko pada kesehatan warga. Fasilitas sanitasi yang diteliti mencakup, sumber air minum, layanan pembuangan sampah, jamban, dan saluran pembuangan air limbah. Untuk perilaku yang dipelajari adalah yang terkait dengan higinitas dan sanitasi, antara lain, cuci tangan pakai sabun, buang air besar, pembuangan kotoran anak, dan pemilahan sampah.

EHRA dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan sebagai anggota Pokja Sanitasi Kabupaten Sukabumi dan difasilitasi oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Sukabumi. Bagi Pokja, EHRA diharapkan dapat berkontribusi bagi pengembangan Buku Putih dan perencanaan strategi dan program-program sanitasi. Karenanya, selain mencakup variabel yang komparatif antar-kota, EHRA juga mengakomodasi variabel-variabel khas yang muncul dari kebutuhan-kebutuhan kota yang unik.

Dalam berbagai tahap, pengembangan studi EHRA melibatkan kelompok perempuan. Untuk pengumpulan data, EHRA berkolaborasi dengan kader-kader posyandu yang selanjutnya disebut enumerator. Kolaborasi dengan kader dilakukan dengan sejumlah pertimbangan, antara lain :

1) Kader-kader memiliki akses yang leluasa untuk datang ke rumah-rumah dan diterima oleh RT/ RW dan warga penghuni rumah. Pertimbangan ini terkait erat karakteristik responden yang merupakan Ibu berusia antara 18-60 tahun dan juga pertanyaan-pertanyaan di dalam kuesioner yang banyak mengandung hal-hal yang dalam norma masyarakat dinilai sangat privat, seperti tempat dan perilaku BAB; 2) Kader umumnya memahami wilayah kelurahan sehingga mempermudah mencari

rumah yang dipilih random. Perempuan atau ibu dipilih sebagai responden dalam EHRA karena mereka adalah kelompok warga yang paling memahami kondisi lingkungan di rumahnya.

(3)

Pelibatan perempuan, khususnya kader posyandu, telah menghasilkan “side

product” yang menarik. Dengan pengalaman di bidang isu sanitasi, seperti keterlibatan di

EHRA, peran kader untuk advokasi dan promosi isu sanitasi menjadi sangat strategis. Dokumen ini adalah dari Laporan EHRA di Kabupaten Sukabumi yang penyusunan laporan difasilitasi oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Sukabumi dengan melibatkan berbagai pihak, khususnya Pokja Sanitasi Kabupaten Sukabumi sebagai pemilik utama kegiatan, kader-kader Posyandu, pihak desa / kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Sebuah acara umpan balik telah dilakukan untuk memperoleh masukan bagi penulisan laporan.

(4)

RINGKASAN EKSEKUTIF

EHRA (Environmental Health Risk Assessment) atau Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan adalah studi untuk memahami kondisi fasilitas sanitasi dan perilaku-perilaku yang berisiko pada kesehatan warga.

Fasilitas sanitasi yang diteliti mencakup, sumber air minum, layanan pembuangan sampah,jamban, dan saluran pembuangan air limbah rumah tangga. Untuk perilaku, yang dipelajari adalah cuci tangan pakai sabun, buang air besar, pembuangan kotoran anak, dan penanganan sampah.

Ukuran sampel EHRA Kabupaten Sukabumi adalah 1600 rumah tangga. Dengan ukuran populasi Kabupaten sebesar 623.870 rumah tangga, CL (Confidence

Level) sebesar 95%, maka CI (Confidence Interval) yang didapat dari ukuran sampel itu

adalah sebesar 0,245%. Sampel ditarik secara acak (random) dengan teknik multistage dan random sistematis. Jumlah sampel per desa diambil secara proporsional berdasarkan ukuran populasi rumah tangga di desa. Yang menjadi primary sampling unit adalah RT (Rukun tetangga). Di setiap RT, diambil acak rumah tangga dengan tiga pilihan teknik, yakni sistematis (urutan rumah), random walk, atau metode EPI. Yang dicakup EHRA adalah 40 (Empat Puluh) Desa di Kabupaten Sukabumi, dari masing-masing desa tersebut diambil 40 responden (total responden 1600 kepala keluarga).

Di Kabupaten Sukabumi terdapat 386 Desa/Kelurahan dan EHRA mencakup 40 desa yang ada di Kabupaten Sukabumi. Untuk pengumpulan data EHRA menerapkan 2 (dua) teknik, yakni

1) wawancara (interview) dan 2) pengamatan (observation).

Yang mengumpulkan data (enumerator) adalah kader-kader Posyandu yang dipilih secara kolaboratif oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi dan pihak desa. Selama satu hari penuh mereka mengikuti pelatihan enumerator yang difasilitasi oleh Pokja Sanitasi Kabupaten Sukabumi. Yang diwawancarai kader kesehatan lingkungan adalah ibu rumah tangga usia 18-60 tahun.

Wawancara dan pengamatan bisa diselesaikan antara 30-45 menit per rumah tangga.

(5)

Status ibu yang diwawancarai kebanyakan adalah istri, yakni sekitar 98,5%. Dan sebanyak 1,5% adalah berstatus anak perempuan yang sudah menikah. Dari sisi jumlah anggota di dalam rumah, kebanyakan memiliki anggota 4 orang atau 2 anak, (31,0%). Sebanyak 35,9% memiliki jumlah anggota lebih dari 4 orang, atau anak lebih dari 3 orang dan sebanyak 33,1% memiliki jumlah anggota rumah tangga di bawah 4 orang atau anak kurang dari 2 orang.

Seperti diketahui luas, balita adalah segmen populasi yang paling rentan terhadap penyakit-penyakit yang berasal dari kondisi sanitasi dan perilaku higinitas (orang dewasa) yang buruk. Terkait dengan ini EHRA menemukan 46,4% rumah tangga memiliki anak termuda yang tergolong balita (bawah lima tahun). Sebanyak 57,7% memiliki anak termuda usia antara 6-12 tahun, dan sisanya, sebanyak 85,2%, memiliki anak yang berusia diatas 12 tahun. EHRA menjumpai beberapa desa di Kabupaten Sukabumi memiliki proporsi anak usia diatas 12 tahun yang relatif lebih banyak

Dari hasil EHRA melalui wawancara ditemukan bahwa rumah tangga di Kabupaten Sukabumi menggunakan sumber air terlindungi sebesar 51,1%. Penggunaan sumber air minum dari botol kemasan (11,8%), isi ulang (23,3%), PDAM (8,5%), Hidran umum (1,4%), Kran Umum proyek PDAM (2,8%), Sumur Pompa Tangan (3,4%), Sumur Gali Terlindungi (51,9%), Sumur Gali Tidak Terlindungi (5,1%), Mata Air Terlindung (11,7%), Mata Air Tidak Terlindung (3,1%), Air hujan (0,2%), air sungai (2,1%), waduk (0,2%), lainnya (0,9%)

Penilaian Risiko Kesehataan Lingkungan Kabupaten Sukabumi antara lain mengenai kepemilikan sumber air yang terlindung yakni sebesar 51,1%, kepemilikan saran jamban keluarga (80,6%), kepemilikan sarana pengolahan air limbah selain tinja (71,9%), pengelolaan sampah yang memadai (10,3%) dan kejadian banjir terjadi rutin menurut responden sebanyak 25,4%, terjadi beberapa kali.

Perilaku buang air besar bagi anggota keluarga yang sudah dewasa di jamban pribadi sebanyak 80,6%. Ke MCK/WC umum (11,8%) , ke WC helicopter (2,7%) , ke sungai/pantai/laut (7,1%) , ke kebun/pekarangan (0,9%), ke selokan/parit/got (4,5%), ke lubang galian (1,3%), lainnya (2,4%) dan responden yang menjawab tidak tahu ada (1,3%) responden.

(6)

Orang yang sering BAB di tempat terbuka dapat diketahui pada anak 5-12 tahun (10,3%), remaja laki-laki (6,0%), remaja perempuan (4,8%), laki-laki dewasa (7,7%), perempuan dewasa (6,2%), laki-laki lanjut usia (5,8%) , perempuan lanjut usia (5,0%) dan perilaku BAB di tempat terbuka pada anak hingga lanjut usia lebih banyak dilakukan oleh laki-laki.

Kloset yang banyak dipakai adalah kloset jongkok (72,7%), sedangkan yang menggunakan kloset duduk leher angsa (0,9%), plengsengan (2,9%), cemplung (2,6%), dan yang tidak punya kloset (20,9%)

Perilaku memakai sabun dalam mandi 97,8%, memandikan anak (58,7%), menceboki anak (47,3%), dan mencuci tangan (71,9%). Kondisi sampah di lingkungan, berserakan (40,1%), dan pada pengelolaan sampah kebanyakan dibakar (48,0%), dibuang ke sungai/kali/laut/danau (15,0%) dan dibuang ke lahan kosong/kebun/hutan dibiarkan membusuk (19,4%)

Kejadian penyakit diare, lebih banyak diderita oleh anak balita (33,2%), sedangkan anak non balita (14,6%), remaja laki-laki (6,8%), remaja perempuan (7,3%), dewasa laki-laki (16,3%), dewasa perempuan (26,5%)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ...1 RINGKASAN EKSEKUTIF ... 3 DAFTAR ISI ... 6 I. PENDAHULUAN...7

II. METODOLOGI DAN LANGKAH STUDI EHRA...11

2.1. Penentuan area suvey...11

2.2. Karakteristik responden...14

III. HASIL STUDI EHRA KABUPATEN SUKABUMI ... ...17

3.1. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga...17

3.2. Jamban dan Perilaku Buang Air Besar...22

3.3. Drainase Lingkungan Sekitar Rumah dan Banjir...28

3.4. Pengelolaan Air Bersih Rumah Tangga...35

3.5. Perilaku Hygiene...40

3.6. Kejadian Penyakit Diare...42

IV.PENUTUP...45 LAMPIRAN

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Studi Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan (Environmental Health Risk

Assessment) adalah survey partisipasif di tingkat kabupaten untuk memahami kondisi

fasilitas sanitasi dan higinitas serta perilaku masyarakat pada skala rumah tangga . Data yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan program sanitasi termasuk advokasi di tingkat kabupaten sampai tingkat kelurahan / desa. Data yang dikumpulkan dari studi EHRA akan digunakan Pokja Kabupaten sebagai salah satu bahan untuk menyusun Buku Putih, penetapan area beresiko dan Strategi Sanitasi Kabupaten (SSK).

Studi EHRA dipandang perlu dilakukan oleh kabupaten karena :

a. Pembangunan sanitasi membutuhkan pemahaman kondisi wilayah yang akurat.

b. Data terkait tentang sanitasi dan hygiene terbatas.

c. Isu sanitasi dan hygiene masih dipandang kurang penting.

d. Terbatasnya kesempatan untuk dialog antara masyarakat dan pihak pengambil keputusan.

e. EHRA secara tidak langsung member amunisi bagi stakeholders dan masyarakat tingkat desa/kelurahan untuk melakukan kegiatan advokasi ke tingkat yang lebih tinggi maupun advokasi secara horizontal ke sesame masyarakat atau stakeholders kelurahan/desa.

f. EHRA adalah studi yang menghasilkan data yang representative di tingkat kabupaten dan kecamatan dan dapat dijadikan panduan dasar tingkat desa/kelurahan.

Fokus studi EHRA pada fasilitas sanitasi dan perilaku masyarakat, seperti : A. Fasilitas sanitasi yang diteliti mencakup

(9)

b. Layanan pembuangan sampah c. Jamban

d. Saluran Pembuangan air limbah

B. Perilaku yang dipelajari adalah terkaitdengan higinitas dan sanitasi dengan mengacu kepada STBM

a. Buang Air Besar

b. Cuci Tangan Pakai Sabun

c. Pengelolaan Air Minum Rumah Tangga d. Pengelolaan sampah

e. Drainase lingkungan

Studi EHRA dapat dilakukan pengulangan dalam kurun waktu tertentu.

Kondisi umum di Indonesia saat ini belum memadai dan berada pada kondisi yang memprihatinkan. Saat ini Indonesia merupakan negara dengan tingkat kepemilikan sistem jaringan air limbah terpusat (sewerage system) terendah di Asia. Dari 10 Kabupaten di Indonesia yang memiliki sistem jaringan air limbah dengan tingkat pelayanan hanya sebesar 1,3 % dari keseluruhan jumlah populasi. Hampir 30% penduduk Indonesia masih Buang Air Besar Sembarangan (BABS), baik langsung maupun tidak langsung, 18,1% diantaranya di perKabupatenan. Akibatnya pencemaran ke badan air dan lahan mencapai 14.000 ton tinja per hari dan 75% sumber baku dalam keadaan tercemar. Penduduk yang memiliki akses terhadap Prasarana Sarana Sanitasi Setempat (on-site) yang aman (tangki septik) baru 71,06% di perKabupatenan dan 32,47% di Perdesaan (Susenas, 2007). Selain itu 98 % TPA kita masih dioperasikan secara open damping. Genangan di permukiman dan wilayah strategis di perKabupatenan makin sering terjadi, diperburuk oleh perubahan pola hujan, sementara jumlah saluran drainase yang mengalir lancar cenderung menurun sepanjang tahun 2004 – 2009.

Keikutsertaan Pemerintah Kabupaten Sukabumi dalam program ini diawali dengan pengiriman Surat Pernyataan Minat Mengikuti PPSP pada Tahun 2012 yang telah ditandatangani Bapak Bupati Sukabumi. Dalam pelaksanaannya PPSP dilakukan oleh lintas dinas/instansi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sukabumi,

(10)

dilaksanakan oleh Sekretariat yang berada di Bappeda Kabupaten Sukabumi. Kegiatan PPSP ini kemudian dilakukan oleh sebuah Kelompok Kerja (Pokja) Sanitasi dengan difasilitasi oleh 2 (dua) Fasilitator Kabupaten (City Facilitator). Sinergi dinas/instansi dalam Pokja dan CF menyusun Buku Putih ini menjadi wujud kepedulian untuk perbaikan kondisi sanitasi di Kabupaten Sukabumi.

Isi Buku Putih Sanitasi salah satunya adalah hasil dari studi EHRA

(Environmental Health Risk Assesment.). EHRA merupakan barisan terdepan dalam

penyusunan Buku Putih. Selanjutnya dilakukan pertemuan untuk mengkaji, menganalisa, dan mengumpulkan data sekunder dan primer dalam memetakan sanitasi skala Kabupaten Sukabumi. Hasil pertemuan pokja disajikan ke dokumen profil sanitasi skala Kabupaten yang disebut White Book atau BUKU PUTIH.

Setelah dilaksanakan kegiatanhasil studi EHRA interview dan pengamatan , akhirnya dapat disusun laporan ini. Hambatan dan kelemahan dalam studi EHRA yang telah dilakukan karena keterbatasan dalam berbagai hal. Studi EHRA berisi tentang kondisi sanitasi dan perilaku masyarakat sebagai responden yang representatif.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud utama dari penyusunan Laporan Studi EHRA Kabupaten Sukabumi adalah untuk mendapatkan data dasar kondisi sanitasi pada saat ini di Kabupaten Sukabumi sebagai dasar untuk membuat perencanaan pengembangan sanitasi di masa yang akan datang.

Tujuan : untuk mengumpulkan data primer tentang gambaran situasi sanitasi dan perilaku yang beresiko terhadap kesehatan lingkungan

1.3. Penentuan area survey

Metoda penentuan target area survey melalui Klastering. Kriteria penetapan

klaster tersebut adalah sebagai berikut ;

(11)

b. Angka kemiskinan, dihitung berdasarkan proporsi jumlah Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1 dengan formula sebagai berikut :

(∑Pra-KS + ∑KS1)

Angka kemiskinan = --- X 100% ∑KK

c. Daerah / wilayah yang dialiri sungai/ saluran drainase/ irigasi d. Daerah terkena banjir dan dinilai mengganggu ketentraman

(12)

BAB II. METODOLOGI DAN LANGKAH STUDI EHRA

2.1. Penentuan Area survey

EHRA adalah studi yang relatif pendek (sekitar 2 bulan) yang menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menerapkan 2 (dua) teknik pengumpulan data, yakni 1) wawancara (interview), dan

2) pengamatan (observation).

Pewawancara dan pelaku pengamatan dalam EHRA adalah kader-kader Posyandu yang dipilih secara kolaboratif oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi dan pihak desa. Sebelum turun ke lapangan, para kader diwajibkan mengikuti pelatihan enumerator selama 2 (dua) hari berturut-turut. Materi pelatihan mencakup dasar-dasar wawancara dan pengamatan; pemahaman tentang instrumen EHRA; latar belakang konseptual dan praktis tentang indikator-indikator; uji coba lapangan; dan diskusi perbaikan instrumen.

Dengan ukuran populasi sebesar 623.870 rumah tangga, CL (Confidence

Level) sebesar 95%, CI (Confidence Interval) sebesar 0,245% didapat ukuran

sampel sebesar 1.600 rumah tangga. Sampel ditarik secara acak (random) dengan menggabungkan antara teknik multistage dan random sistematis. Jumlah sampel diambil secara proporsional berdasarkan jumlah rumah tangga di tingkat desa/kelurahan. Yang menjadi primary sampling unit adalah RT (Rukun tetangga) yang dipilih secara random proporsional berdasarkan total RT per kelurahan.Di setiap RT, rumah diambil secara acak dengan menggunakan teknik-teknik yang memungkinkan, yakni sistematis (urutan rumah), random walk, atau metode EPI.

Yang menjadi unit analisis dalam EHRA adalah rumah tangga. Sementara, yang menjadi unit respon adalah ibu rumah tangga. Ibu dipilih dengan asumsi bahwa mereka relatif lebih memahami kondisi lingkungan berkaitan dengan isu sanitasi serta mereka relatif lebih mudah ditemui dibandingkan bapak-bapak. Ibu dalam EHRA didefinisikan sebagai perempuan berusia 18-60 tahun yang telah atau pernah menikah. Untuk memilih Ibu di setiap rumah, enumerator menggunakan matriks prioritas yang mengurutkan prioritas Ibu di dalam rumah. Prioritas ditentukan oleh status Ibu yang dikaitkan dengan kepala rumah tangga. Bila dalam prioritas tertinggi ada dua atau lebih Ibu, maka usia menjadi penentunya.

(13)

Panduan wawancara dan pengamatan dibuat terstruktur dan dirancang untuk diselesaikan dalam waktu sekitar 30-45 menit. Panduan sudah diujicoba di sebuah lokasi riset di Jakarta Pusat dan diuji kembali dalam hari ke-2 pelatihan enumerator. Untuk mengikuti standar etika, informed consent wajib dibacakan oleh kader sehingga responden memahami betul hak-haknya dan memutuskan keikutsertaan dengan sukarela dan sadar.

Yang menangani pekerjaan entri data adalah tim Bappeda Kabupaten Sukabumi. Staf terlebih dahulu mengikuti pelatihan singkat data entry EHRA sebelum melakukan pekerjaan entri data selama 6 hari.

Untuk quality control, tim spot check mendatangi 5% rumah yang telah disurvai. Tim spot check secara individual melakukan wawancara singkat dengan kuesioner yang telah disediakan dan kemudian menyimpulkan apakah wawancara benar-benar terjadi dengan standar yang ditentukan. Quality control juga dilakukan di tahap data entri. Hasil entri di-re-check kembali oleh tim Pokja Sanitasi. Sejumlah 5% entri kuesioner diperiksa kembali.

Untuk mengorganisir Studi EHRA, didampingi fasillitator. Tim Pokja Sanitasi sebagai Koordinator EHRA, Koordinator wilayah adalah kepala puskesmas, Supervisor adalah sanitarian puskesmas, enumerator yang direkrut dari kader-kader posyandu tingkat desa / kelurahan di Kabupaten Sukabumi.

Kabupaten Sukabumi terdiri dari 48 (empat puluh tujuh) Kecamatan dan 386 (tiga ratus delapan puluh enam) Desa sementara yang diambil sampelnya sebanyak 1600 sampel/responden di 27 (dua puluh tujuh) Kecamatan dan 40 (empat puluh) Desa.

Setiap Clusster diambil perwakilanya beberapa desa/kelurahan dan setiap desa/kelurahan diambil sampel 40 (empat puluh) responden. Sehingga secara total Kabupaten Sukabumi mencakup 20 (dua puluh) desa/ kelurahan. Masing-masing kelurahan memiliki jumlah rumah tangga yang berbeda.

Dengan mengikuti teknik pengambilan sampel yang proporsional, maka jumlah rumah tangga yang terambil berbeda-beda tergantung ukuran populasi di tingkat desa/kelurahan. (lihat tabel berikut)

(14)

Tabel Sebaran Sampel Rumah Tangga per desa/kelurahan Berdasarkan Cluster yang Telah ditentukan

NO CLASSTER KECAMATAN DESA JUMLAH RUMAH TANGGA JUMLAH SAMPEL

1 1 CIRACAP CIKANGKUNG 2,574 40

2 CIRACAP CIRACAP 2,463 40

3 JAMPANGKULON JAMPANGKULON 889 40

4 PABUARAN LEMBUR SAWAH 1,591 40

5 WARUNGKIARA SIRNAJAYA 2,527 40 6 SAGARANTEN SAGARANTEN 1,601 40 7 KADUDAMPIT CIPETIR 1,598 40 8 CIAMBAR CIAMBAR 1,482 40 9 KALAPANUNGGAL PALASARIGIRANG 1,805 40 10 2 SURADE CITANGLAR 1,932 40 11 CIEMAS CIBENDA 1,620 40 12 PALABUHANRATU CITEPUS 2,869 40 13 CIKIDANG CICAREUH 1,228 40 14 LENGKONG LENGKONG 1,659 40

15 WALURAN WALURAN MANDIRI 1,340 40

16 CURUGKEMBAR BOJONG TUGU 1,398 40

17 CIDADAP CIDADAP 2,000 40

18 SUKARAJA SELAAWI 3,545 40

19 GEBERBITUNG CARINGIN 2,052 40

20 SUKABUMI SUDAJAYA GIRANG 2,174 40

21 PARUNGKUDA SUNDAWENANG 3,070 40

22 BOJONGGENTENG BEREKAH 1,855 40

23 KALAPANUNGGAL KALAPANUNGGAL 1,187 40

24 CICURUG BENDA 3,238 40

25 KADUDAMPIT UNDRUS BINANGUN 1,506 40

26 3 CISOLOK CISOLOK 2,312 40 27 CIKAKAK CIMAJA 1,632 40 28 CIEMAS MANDRAJAYA 1,395 40 29 BANTARGADUNG BANTARGADUNG 1,421 40 30 NYALINDUNG SUKAMAJU 1,340 40 31 PURABAYA PURABAYA 2,487 40 32 CIKIDANG CIKIDANG 2,012 40 33 CIKEMBAR BOJONG 2,072 40 34 CICURUG CICURUG 2,642 40 35 CICANTAYAN CICANTAYAN 2,651 40 36 NAGRAK GIRIJAYA 2,526 40 37 SUKALARANG SUKALARANG 2,145 40 38 4 PALABUHANRATU PALABUHANRATU 8,672 40 39 CIBADAK CIBADAK 5,717 40 40 CIDAHU TANGKIL 2,004 40 JUMLAH 88,630 1,600

(15)

2.2.Karakteristik Responden

Berdasarkan pengalaman di lapangan, kolaborasi dengan kader dalam pengumpulan data membuat akses pada rumah tangga menjadi relatif mudah. Semua rumah dapat diakses oleh kader-kader posyandu/enumerator Kabupaten Sukabumi.

Selain akses, hampir semua pekerjaan wawancara dan pengamatan dapat diselesaikan dalam satu kali kunjungan. Dari catatan lapangan yang kompilasinya dapat dilihat pada tabel di bawah, hanya ada 2 (dua) rumah tangga yang perlu lebih dari satu kunjungan. Dengan demikian, terlihat cukup jelas keberlakuan asumsi bahwa memilih kader membuat proses pengumpulan data lapangan menjadi lebih efisien.

Sesuai dengan desain pengumpulan studi, yang menjadi responden adalah ibu

yang berusia antara 18-60 tahun, menikah atau pernah menikah.

Mempertimbangkan peluang mendapati lebih dari satu ibu di dalam satu rumah, maka disusun prioritas dengan urutan adalah 1) kepala rumah tangga, 2) istri, 3) anak, 4) adik/ kakak, dan 5) lainnya (hubungan darah lebih jauh atau tidak ada hubungan darah sama sekali). Semua status itu dikaitkan dengan status kepala rumah tangga di rumah itu. Bila ada dua atau lebih ibu dalam satu rumah dengan status yang sama, maka usia yang menentukan. Yang dipilih adalah yang berusia lebih tua dengan asumsi bahwa merekalah yang lebih memahami kondisi lingkungan rumahnya.

Diagram Sebaran Status Ibu

(Dihubungkan dengan kepala rumah tangga)

Berkenaan dengan status, ibu yang diwawancarai kebanyakan adalah berstatus istri (98,5%). Dan status anak perempuan yang sudah menikah (1,5%).

(16)

Dilihat dari kategori umur kebanyakan responden berumur berumur 31 – 40 Tahun yaitu sebanyak 864 atau 54,0% Respoden, sementara responden yang berumur > 41 Tahun sebanyak 697 atau 43,6% Respoden dan sisanya 24 Responden atau sekitar 1,5% berumur dibawah 20 Tahun.

Dilihat dari sisi jumlah anggota di dalam rumah, yang memiliki anak kurang dari 4 sebesar 33,1%. Jumlah anak di atas 4 orang per rumah sebesar 35,9%. Sebanyak 31,0% memiliki jumlah anak 4 orang. Rinciannya dapat dibaca pada tabel di bawah ini.

Tabel Jumlah Anggota Rumah Tangga

Berapa jumlah anggota rumah tangga?

Frekuensi Prosentase (%)

Di bawah empat orang 528 33,1

Empat orang 494 31,0

Di atas empat orang 573 35,9

Total 1595 100,0

Dalam statistik mortalitas di Indonesia, balita merupakan segmen populasi yang paling rentan terhadap penyakit-penyakit yang terkait dengan sanitasi. Diare, misalnya, adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dengan korban sekitar 40.000 balita per tahun. Karena itu, mendapatkan gambaran tentang ukuran sub-populasi balita dapat memberi gambaran tentang peluang kerentanan wilayah tertentu.

Berkenaan dengan usia anak termuda dalam rumah, studi ini menemukan 23,2% rumah tangga memiliki anak termuda yang tergolong balita (bawah lima tahun). Sebanyak 30,5% memiliki anak termuda usia antara 6-12 tahun, dan sisanya, sebanyak 46,2%, memiliki anak yang berusia diatas 12 tahun.

Tabel Usia Anak Termuda Usia anak termuda Prosentase(%)

Balita 23,2

Usia 6 - 12 tahun 30,5

Usia diatas 12 tahun 46,2

Total 100,0

Desa / kelurahan yang relatif memiliki banyak rumah tangga yang anak termudanya dikategorikan balita menunjukkan bahwa mereka memiliki populasi

(17)

yang lebih berisiko terhadap kualitas lingkungan dibandingkan kelurahan-kelurahan lain. Sebaliknya, ada pula kelurahan-kelurahan yang memiliki prosentase rumah dengan balita yang relatif kecil memiliki populasi berisiko yang lebih sedikit dibandingkan kelurahan-kelurahan lain.

Catatan penting yang perlu diketengahkan di sini adalah data tentang proporsi balita ini sama sekali tidak menunjukkan proporsi anak-anak berdasarkan usia yang sesungguhnya. Indikator yang diberlakukan dalam EHRA hanya sebatas usia anak termuda tanpa merinci jumlah anak dan usia mereka masing-masing. Dengan demikian, bila dibagi oleh jumlah anak-anak yang sesungguhnya, besaran proporsi balita tentu saja akan berkurang.

Dari sisi status kepemilikan bangunan, studi ini menemukan sebagian besar bangunan rumah dimiliki sendiri oleh mereka yang menghuninya. Sekitar 85,3% rumah dilaporkan dimiliki oleh penghuninya. Sekitar 10,7% dilaporkan dimiliki oleh orang tua/ keluarga penghuni. Yang sewa/ kontrak (kontrak bulanan dan tahunan) hanya mencakup 1,7% dari total rumah, sementara yang berbagi dengan keluarga lain 1,1%, menghuni rumah dinas 0,3%, dan Lain-lain 0,9%

Kepemilikan dapat dikaitkan dengan potensi rasa memiliki (sense of

ownership). Mereka yang memiliki

rumah yang dihuninya cenderung memiliki rasa memiliki yang lebih besar. Karenanya, secara hipotetif untuk Kabupaten Sukabumi dapat disimpulkan rumah yang penghuninya memiliki potensi rasa memiliki yang cukup besar relatif lebih banyak dibandingkan sebaliknya.

(18)

BAB III HASIL STUDI EHRA KABUPATEN SUKABUMI

3.1. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga

Untuk bagian persampahan, EHRA menelusuri sejumlah aspek kondisi sampah yang mencakup

1) Berserakan atau bertumpuk di lingkungan 2) Banyak lalat di sekitar tumpukan sampah 3) Banyak tikus

4) Banyak nyamuk

5) Banyak kucing dan anjing 6) Bau busuk

7) Menyumbat saluran drainase

8) Ada anak-anak bermain di sekitarnya 9) Lainnya

Pengelolaan sampah rumah tangga dilihat dari berbagai kategori, sebagai berikut : 1. Dikumpulkan oleh kolektor informal yang mendaur ulang

2. Dikumpulkan dan dibuang ke TPS 3. Dibakar

4. Dibuang ke dalam lubang dan ditutup dengan tanah

5. Dibuang ke dalam lubang tetapi tidak ditutup dengan tanah 6. Dibuang ke sungai/kali/laut/danau

7. Dibiarkan saja sampai membusuk

8. Dibuang ke lahan kosong/kebun/hutan dan dibiarkan membusuk 9. Lain-lain

(19)

Hasil dari 1.600 responden pada masing-masing kategori, diperoleh data adalah sebagai berikut :

Tabel kondisi sampah

No. Kategori Prosentase (%)

1 Berserakan atau bertumpuk di lingkungan 40,1

2 Banyak lalat di sekitar tumpukan sampah 24,3

3 Banyak tikus 27,7

4 Banyak nyamuk 46,5

5 Banyak kucing dan anjing 16,4

6 Bau busuk yang mengganggu 12,4

7 Menyumbat saluran drainase 5,5

8 Ada anak-anak bermain di sekitarnya 12,4

9 Lainnya 14,5

Grafik prosentase kondisi sampah menurut pendapat 1.600 responden dalam studi EHRA Kabupaten Sukabumi.

Prosentase Kondisi Sampah di Lingkungan Responden Menurut 1600 Responden (%)

(20)

Dari data dan grafik diatas dapat diketahui bahwa ada 355 responden (22,2%) responden yang kondisi sampah belum dikelola dengan baik dengan diketahui keberadaan banyak nyamuk, tikus, lalat dan tampak berserakan. Bau busuk yang menggangu serta banyaknya binatang (kucing, anjing) yang dapat menyumbat saluran drainase dan sekitar 1.254 responden atau sekitar (77,8%) responden yang kondisi sampah sudah dikelola dengan baik.

Pada pengelolaan sampah, dapat dilihat dari tabel berikut :

No Kategori Prosentase (%)

1 Dikumpulkan oleh kolektor informal yang mendaur

ulang

1,4

2 Dikumpulkan dan dibuang ke TPS 8,9

3 Dibakar 48,0

4 Dibuang ke dalam lubang dan ditutup dengan tanah 1,1

5 Dibuang ke dalam lubang tetapi tidak ditutup

dengan tanah

5,0

6 Dibuang ke sungai/kali/laut/danau 15,0

7 Dibiarkan saja sampai membusuk 0,2

8 Dibuang ke lahan kosong/kebun/hutan dan

dibiarkan membusuk

19,4

9 Lain-lain 0,9

10 Tidak tahu 0,2

(21)

Pada data diatas dapat diketahui bahwa pengelolaan sampah oleh masyarakat kabupaten Sukabumi paling banyak adalah dibakar (48,0%) dan dibuang ke lahan lahan kosong / kebun / hutan / dan dibiarkan membusuk (19,4%), Dibuang ke sungai/kali/laut/danau (15,0%), Dikumpulkan dan dibuang ke TPS (8,9%)

Di antara berbagai cara di atas, yang mendapat layanan pengangkutan, merupakan cara-cara yang dianggap paling rendah risikonya bagi kesehatan manusia. Beberapa literatur memang menyebutkan bahwa cara pembuangan sampah di lubang sampah khusus, baik di halaman atau di luar rumah, merupakan cara yang aman pula. Namun, dalam konteks wilayah perkotaan di mana banyak rumah tangga memiliki keterbatasan dalam hal lahan, cara itu tetap dapat menimbulkan risiko kesehatan.

Berdasarkan pengamatan pada wadah yang dipakai untuk mengumpulkan sampah di dapur, dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

No Variabel Prosentase (%)

1 Kantong plastik tertutup 13,2

2 Kantong plastik terbuka 27,8

3 Keranjang sampah terbuka 48,0

4 Keranjang sampah tertutup 11,2

5 Lainnya 7,5

Grafik wadah yang biasa dipakai responden untuk mengumpulkan sampah di dapur

(22)

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa masyarakat lebih banyak menggunakan keranjang sampah terbuka dan kantong plastik terbuka untuk mengumpulkan sampah dapur.

Meski telah mendapat layanan pengangkutan sampah, sebuah rumah tangga tidak dapat dikatakan memiliki risiko kesehatan yang rendah. Aspek lain dalam persampahan yang perlu dilihat adalah frekuensi dan ketepatan pengangkutan. Meski menerima pelayanan, risiko terhadap kesehatan tetap tinggi bila frekuensi pengangkutan sampah lebih dari satu minggu sekali. Ketepatan pengangkutan dilihat EHRA untuk menggambarkan apakah seberapa konsisten ketetapan/ kesepakatan tentang frekuensi pengangkutan berlaku di masyarakat.

Di sejumlah kota, penanganan sampah akhir-akhir ini muncul sebagai masalah yang memprihatinkan. Di banyak kasus, beban sampah yang diproduksi warga ternyata tidak bisa ditangani oleh sistem persampahan yang ada. Untuk mengurangi beban di tingkat kota, banyak pihak mulai memperhatikan pentingnya pengolahan di tingkat rumah tangga, yakni dengan pemilahan sampah dan pemanfaatan ulang sampah, misalnya sebagai kompos. Dengan latar belakang semacam ini, EHRA kemudian memasukan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan kegiatan pemilhan sampah di tingkat rumah tangga dan pengamatan yang tertuju pada kegiatan pengomposan.

Terakhir, kader-kader EHRA mengamati wadah penyimpanan sampah di rumah tangga. Wadah yang mengandung risiko kecil adalah wadah yang permanen atau paling tidak terlindungi dari capaian binatang. Bak permanen atau keranjang dapat dikategorikan sebagai wadah yang relatif terlindungi dibandingkan dengan kantong plastik yang sangat rentan.

Pengelolaan sampah yang tidak memadai (89,7%), dan frekuensi pengangkutan sampah yang tidak memadai (83,3%), pengangkutan yang tidak tepat waktu 88,9%, dan pengelolaan sampah yang tidak diolah (83,3%). Hal ini merupakan faktor risiko rendahnya kesehatan masyarakat akibat pengelolaan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan.

Aspek lain dari pengangkutan adalah ketepatannya. Dalam EHRA, data tentang ketepatan pengangkutan adalah data hasil wawancara pada responden dan

(23)

bukan observasi langsung. Dari wawancara dijumpai sekitar 11,1% responden yang berpendapat bahwa pengangkutan sampah sudah berjalan tepat waktu dalam sebulan terakhir. Dan yang menyatakan beberapa kali dalam seminggu (11,1%) sedangkan yang tidak tahu 77,8%

3.2. Jamban dan Perilaku Buang Air Besar

Praktik buang air besar dapat menjadi salah satu faktor risiko bagi tecemarnya lingkungan termasuk sumber air, khususnya bila praktik BAB itu dilakukan di tempat yang tidak memadai. Yang dimaksud dengan tempat yang tidak memadai bukan hanya tempat BAB di ruang terbuka seperti di sungai/ kali/ got/ kebun, tetapi bisa juga termasuk sarana jamban yang nyaman di rumah. Bila pun BAB di dilkaukan di rumah dengan jamban yang nyaman, namun bila sarana penampungan dan pengolahan tinjanya tidak memadai, misalnya karena tidak kedap air, maka risiko cemaran patogen akan tetap tinggi.

Bagian ini memaparkan fasilitas sanitasi di tingkat rumah tangga beserta beberapa perilaku yang terkait dengannya. Fasilitas sanitasi difokuskan pada fasilitas buang air besar (BAB) yang mencakup jenis yang tersedia, penggunanya, pemeliharaannya, dan kondisinya.

Untuk jenis jamban, EHRA membaginya ke dalam 4 (empat) kategori besar, yakni kloset jongkok leher angsa, kloset duduk siram leher angsa, plengsengan, dan cemplung. Untuk dua kategori pertama, detail opsinya memiliki banyak persamaan, yakni terkait dengan penyaluran tinja manusia. Pilihan yang sama adalah ke pipa pembuangan khusus (sewerage), tangki septik, cubluk, lobang galian, sungai/ kali/ parit/ got. Karena indikator jenis jamban di rumah tangga dijalankan dengan wawancara, maka terbuka kemungkinan untuk salah persepsi tentang jenis yang dimiliki, khususnya bila dikaitkan dengan sarana penyimpanan/ pengolahan. Orang seringkali salah memahami apakah yang dimiliki tangki septik yang kedap air atau lebih berbentuk cubluk yang tidak kedap air. Karenanya, EHRA juga mengajukan sejumlah pertanyaan konfirmasi yang dapat menggambarkan pemeliharan dan

(24)

sekaligus dapat mengindikasikan status tangki septik yang dimiliki suatu rumah tangga. Pertanyaan-pertanyaan yang dimaksud antara lain, Apakah tangki septik itu pernah dikosongkan?; Kapan tangki septik dikosongkan? Sudah berapa lama tangki septik itu dibangun?

Lebih jauh tentang kondisi jamban, EHRA melakukan sejumlah pengamatan pada bangunan jamban/ WC/ latrine yang ada di rumah tangga. Ada sejumlah aspek/ fasilitas yang diamati oleh kader-kader, misalnya ketersediaan air, sabun, alat pengguyur atau gayung, dan handuk. Kader-kader posyandu yang berpartisipasi dalam EHRA juga mengamati aspek-aspek yang terkait dengan kebersihan jamban dengan melihat apakah ada tinja menempel atau tidak? Selain itu, kader juga mengamati apakah ada lalat beterbangan di jamban atau sekitarnya dan hal lain seperti apakah ada pembalut perempuan.

Terakhir, di bagian ini dipaparkan mengenai pengguna jamban yang digunakan oleh responden. Jadi, yang dilihat adalah pengguna dari satu jamban yang digunakan oleh responden. Variabel ini akan mengindikasikan beban yang tanggung oleh fasilitas sanitasi sehari-hari.

Hasil wawancara kader pada responden rumah tangga mendapati bahwa sebagian besar rumah tangga memanfaatkan fasilitas jamban siram yang tinjanya disalurkan ke tangki septik. Ada sekitar 41,9% rumah yang memiliki fasilitas semacam itu. Proporsi kedua terbesar ditempati oleh fasilitas jamban siram yang dialirkan ke cubluk/lubang galian yang mencakup 20,4%. Proporsi ketiga terbesar ditempati oleh fasilitas jamban siram yang dialirkan ke sungai/danau/pantai yang mencakup 10,1%. Dari tabel di bawah pula dapat dilihat bahwa proporsi penggunaan antar-waktu/ kesempatan tidak banyak berbeda.

(25)

Tabel Perilaku Buang Air Besar

Dimana anggota keluarga bila ingin Buang Air Besar ? Fasilitas Jumlah responden yang

jawab (ya) Prosentase (%)

A Jamban pribadi 1289 80,6 B MCK / WC UMUM 189 11,8 C Ke WC helikopter 43 2,7 D KE SUNGAI/PANTAI/LAUT 114 7,1 E KE KEBUN/PEKARANGAN 15 0,9 F Ke selokan/parit/got 71 4,5 G KE LUBANG GALIAN 20 1,3 H LAINNYA 39 2,4 I TIDAK TAHU 20 1,3

Grafik Perilaku Buang Air Besar Anggota Keluarga Responden (%)

Dari data dan grafik diatas dapat diketahui bahwa perilaku Buang Air Besar terbanyak adalah ke jamban pribadi (80,6%) dan ke MCK/WC Umum (11,8%) dan dapat diambil kesimpulan bahwa sebagian besar masyarakat telah menggunakan Jamban Pribadi dan MCK/WC umum untuk BAB, meskipun masih banyak yang masih berperilaku BAB di sembarang tempat. Namun, karena data yang diperoleh terbatas hanya merupakan laporan responden, maka apa yang diklaim responden

(26)

sebagai tangki septik yang aman, bisa saja bukan dan merupakan wadah tinja yang berisiko.

Tempat penyaluran buangan akhir tinja menurut pendapat responden, dapat dilihat pada tabel berikut :

No Kategori Prosentase (%) 1 Tangki septic 41,9 2 Pipa sewer 1,1 3 Cubluk/lubang tanah 20,4 4 Langsung ke drainase 2,7 5 Sungai/danau/pantai 10,1 6 Kolam/sawah 4,4 7 Kebun/tanah lapang 0,3 8 Tidak tahu 19,1

Grafik tempat penyaluran buangan akhir tinja

Bangunan tangki septik seperti terbaca pada tabel di bawah, yang paling banyak adalah mereka yang membangunnya lebih dari lima hingga sepuluh tahun lalu. Secara teoritis, tangki septik perlu dikuras secara rutin dalam jangka waktu tertentu.

(27)

Gambaran kapan membangun dapat dibaca paad tabel di bawah ini.

No Kategori Prosentase (%)

1 0-12 bulan yang lalu 7,0

2 1-5 tahun yang lalu 30,8

3 Lebih dari 5-10 tahun yang lalu 26,2

4 Lebih dari 10 tahun yang lalu 27,2

5 Tidak tahu 8,7

Pertanyaan selanjutnya adalah kapan tangki septik terakhir dikosongkan? Hasilnya adalah tabel di bawah ini.

Tabel : tangki septik terakhir dikosongkan

No Kategori Prosentase (%)

1 0-12 bulan yang lalu 1,6

2 1-5 tahun yang lalu 1,3

3 Lebih dari 5-10 tahun yang lalu 1,2

4 Lebih dari 10 tahun yang lalu 1,3

5 Tidak pernah 82,8

(28)

Grafik di atas menunjukkan bahwa responden yang mengklaim menggunakan tangki septik, ternyata sebagian besar responden menjawab tidak pernah dikosongkan sebanyak 82,2%, sementara responden yang pernah mengosongkan tangki septik nya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir hanya 5,4% dan sisanya menjawab tidak tahu.

Pencemaran tangki septik pada lingkungan bukan hanya terjadi bila bangunan tangki septik tidak kedap alias merembes keluar, namun bisa juga karena tinja dari tangki septik dibuang serampangan. EHRA menelusuri isu ini melalui sejumlah pertanyaan seperti terbaca pada tabel di bawah.

Tabel Pelaku Pengosongan Tinja

Terakhir kali, siapa yang mengosongkan/ mengambil keluar isi tangki septik/ septik tank/ tangki limbah BAB?

No Kategori Prosentase (%)

1 Layanan sedot tinja 7.0

2 Membayar tukang 5.2

3 Dikosongkan sendiri 5.2

(29)

Gambaran kondisi yang dijumpai, seperti terbaca pada grafik di atas mereka mengosongkan tangki septik dengan menggunakan layanan sedot tinja (7,0%). Yang membayar tukang dan yang melakukan sendiri (5,2%) sedangkan sebagian besar dari responden menjawab tidak tahu.

3.3. DRAINASE LINGKUNGAN/SELOKAN SEKITAR RUMAH DAN BANJIR

Pada bagian dipaparkan gambaran tentang kondisi saluran air limbah dan pengalaman banjir warga Sukabumi. Saluran limbah merupakan objek yang perlu dimasukan dalam EHRA karena saluran air limbah yang tidak memadai memungkinkan berkembangnya binatang pembawa patogen penyakit. Untuk topik tentang saluran limbah air bekas, EHRA meminta kader untuk mengamati apakah ada saluran limbah di sekitar rumah dan mendekati saluran limbah (bila ada) untuk mengamati apakah air di saluran itu mengalir, warna airnya, dan apakah ada tumpukan sampah di saluran air limbah itu. Saluran air limbah yang memadai ditandai dengan lancarnya aliran air di saluran, warnanya yang cenderung bening, dan tidak adanya tumpukan sampah di dalamnya.

(30)

penyakit. Seperti yang diketahui luas, selama kebanjiran dan sesudahnya, warga di daerah banjir umumnya terancam sejumlah penyakit seperti penyakit-penyakit yang berhubungan dengan diare, serta penyakit-penyakit yang disebabkan oleh binatang seperti leptospirosis.

Dalam EHRA pengalaman banjir rumah tangga dilihat dari berbagai sisi, yakni rutinitas banjir, frekuensi dalam setahun, dan lama mengeringnya air. Masing-masing aspek banjir itu memiliki kontribusi terhadap risiko kesehatan yang dihadapi rumah tangga. Mereka yang mengalami banjir secara rutin, dengan frekuensi yang tinggi, misalnya beberapa kali dalam setahun atau bahkan beberapa kali dalam sebulan, dan dengan air yang lama bertahan (stagnan) dalam waktu yang cukup lama memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tak pernah kebanjiran atau yang mengalaminya tidak secara rutin.

Lama mengeringnya air juga bisa dijadikan indikasi untuk masalah yang lebih mendasar lainnya, seperti kualitas jaringan saluran drainase dan pola permukaan tanah dari pemukiman warga. Rumah yang tergenang air banjir dalam waktu yang cukup lama, misalnya selama berhari-hari, merupakan sebuah indikasi bahwa rumah terletak di wilayah cekungan di mana air banjir sulit dialirkan ke tempat lain seperti saluran atau sungai. Meski bukan satu-satunya faktor, air banjir yang cepat kering mengindikasikan bahwa masalah banjir terkait dengan sistem drainase setempat.

Berdasarkan jawaban responden tentang pertanyaan kepemilikan saluran air limbah menghasilkan gambaran bahwa rumah tangga di Kabupaten Sukabumi yang memiliki akses pada saluran air limbah sekitar 71,9% rumah tangga memiliki akses pada saluran air limbah. Letaknya bisa di depan rumah atau di sekitar rumahnya. Dan sisanya sekitar 28,1% rumah tangga belum memiliki saluran air limbah. (lihat

(31)

Grafik Prosentase Kepemilikan Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)

Tempat air bekas buangan / air limbah dibuang dapat dilihat pada tabel berikut .

A. Dari dapur

No Arah buangan Prosentase (%)

1 Ke sungai/kanal 41.3 2 Ke jalan 8.6 3 Saluran terbuka 18.0 4 Saluran tertutup 17.4 5 Lubang galian 8.8 6 Pipa saluran 7.0 7 Pipa IPAL 0.6

(32)

Tempat air bekas buangan / air limbah dibuang dapat dilihat pada tabel berikut .

B. Dari kamar mandi

No Arah buangan Prosentase (%)

1 Ke sungai/kanal 44.2 2 Ke jalan 6.7 3 Saluran terbuka 16.7 4 Saluran tertutup 20.3 5 Lubang galian 11.3 6 Pipa saluran 8.3 7 Pipa IPAL 0.6

(33)

Tempat air bekas buangan / air limbah dibuang dapat dilihat pada tabel berikut .

C. Dari Tempat Mencuci Pakaian

No Arah buangan Prosentase (%)

1 Ke sungai/kanal 43.8 2 Ke jalan 6.8 3 Saluran terbuka 17.0 4 Saluran tertutup 17.9 5 Lubang galian 11.1 6 Pipa saluran 7.4 7 Pipa IPAL 0.7

(34)

Topik kedua dalam bagian ini adalah banjir yang berpotensi menjadi sebab penyebaran penyakit-penyakit, khususnya yang dikategorikan sebagai waterborne

disease seperti penyakit-penyakit yang berhubungan dengan diare atau penyakit

kolera. Risiko ini bisa muncul karena berbagai hal. Yang umum adalah karena banjir mencemari sumber-sumber air minum warga dengan patogen. Seringkali, risiko terkena penyakit menjadi semakin besar ketika praktik higinitas diri warga memburuk selama atau pascabanjir. Dalam studi EHRA, data mengenai pengalaman banjir diperoleh melalui laporan atau jawaban verbal dari responden.

Tabel Kebanjiran

Apakah rumah yang di tempati saat ini atau lingkungan pernah terkena banjir?

Frekuensi Prosentase

Tidak pernah 1476 92.2

Sekali dalam setahun 30 1.9

Beberapa kali dalam setahun 43 2.7

Sekali atau beberapa dalam sebulan 5 0.3

Tidak tahu 46 2.9

(35)

Seperti terbaca pada tabel di atas, banjir tampaknya bukan pengalaman mayoritas rumah tangga di Kabupaten Sukabumi. Dari semua rumah yang dikunjungi oleh kader, 92,2% responden belum pernah mengalami banjir namun ada sekitar 4,9% yang melaporkan pernah mengalami banjir baik yang sampai masuk ke dalam rumah atau sebatas hanya di lingkungan tempat tinggal dan sisanya 2,9 responden menjawab tidak tahu.

Risiko kesehatan akibat banjir sangat terkait dengan lama air banjir mengering. Semakin lama, maka semakin tinggi pula risikonya. Tabel di bawah adalah laporan responden terkait dengan lama air banjir yang masuk ke rumah atau lingkungan mereka mengering. Satu kasus melaporkan airnya surut kurang dari sejam. Yang paling berisko adalah yang airnya surut dalam sehari.

Tabel Lama Banjir (Filter: Rumah yang rutin kebanjiran)

Umumnya, berapa lama air banjir mengering?

Frekuensi Prosentase

Kurang dari 1 jam 392 24.5

Antara 1-3 jam 604 37.7

Setengah hari 151 9.4

Satu hari 91 5.7

Lebih dari 1 hari 60 3.8

Tidak tahu 302 18.9

(36)

Dapat diketahui dari data diatas, bahwa banjir akan mengering, menurut responden paling banyak anatar 1-3 jam (37,7%), dan kurang dari 1 jam (24,5%). Lamanya surut atau mengeringnya air banjir merupakan hal yang mempunyai risiko kesehatan lingkungan. Akibat banjir dapat timbul penyakit antara lain kulit, diare, dll.

3.4 Pengelolaan Air Bersih Rumah Tangga

Bagian ini menggambarkan akses air minum/bersih bagi rumah tangga di Kabupaten Sukabumi. Aspek-aspek yang diteliti mencakup:

1) Jenis sumber air minum yang paling banyak digunakan,

2) Kelangkaan air yang dialami rumah tangga pada sumber itu, dan

3) Faktor-faktor risiko pada sumur gali yang merupakan salah satu jenis sumber air minum yang agak umum.

4) Faktor-faktor yang dimaksud mencakup jarak dengan tangki septik, kondisi sumur, kualitas air, dan kedalaman sumur itu sendiri.

Pada dasarnya keempat aspek yang dikaji EHRA memiliki hubungan yang erat dengan tingkat risiko kesehatan suatu keluarga. Dalam indikator internasional, diakui bahwa sumber-sumber air memiliki tingkat keamanannya tersendiri. Ada jenis-jenis sumber air minum yang secara global dinilai sebagai sumber yang relatif aman, seperti air ledeng / PDAM, sumur bor, sumur gali terlindungi, mata air terlindungi dan air hujan (yang disimpan secara terlindungi). Namun, ada juga yang dipandang membawa risiko transmisi patogen ke dalam tubuh manusia. Air dari sumur atau mata air yang tidak terlindungi dikategorikan tidak aman.

Dalam Joint Monitoring Programme on Water Supply and Sanitation (WHO & UNICEF, 2004), air kemasan dikategorikan sebagai sumber yang belum aman, namun penilaian itu tidak didasarkan pada masalah kualitas air, melainkan persoalan keterbatasan kuantitas. Para pakar higinitas global melihat suplai air yang memadai sebagai salah satu faktor yang mengurangi risiko terkena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan diare. Sejumlah studi memperlihatkan bahwa mereka yang memiliki suplai yang memadai akan cenderung lebih mudah melakukan kegiatan higinitas. Jadi, masalah air kemasan lebih terkait dengan

(37)

kecenderungan penggunaannya yang ditujukan hanya untuk minum saja dan menggunakan sumber lain, yang belum tentu aman, untuk kebutuhan higinitas. Dalam harmonisasi indikator versi WHO & UNICEF, air kemasan kemudian dianggap sebagai improved source hanya bila ada sumber air komplementer yang dikategorikan aman.

Terkait dengan suplai air minum, studi EHRA mempelajari kelangkaan air yang dialami rumah tangga dalam rentang waktu dua minggu terakhir. Kelangkaan diukur dari tidak tersedianya air dari sumber air minum utama rumah tangga atau tidak bisa digunakannya air yang keluar dari sumber air minum utama. Data ini diperoleh dari pengakuan verbal responden.

Dalam konteks Kabupaten Sukabumi yang banyak rumah tangganya

mengandalkan sumur dan menggunakan septik tank/cubluk untuk

menampung/mengolah kotoran manusia, menjadi krusial untuk mengamati kondisi sumber air warga yang menggunakan sumur dangkal atau sumur gali. Keberadaan tangki septik/ cubluk yang tidak aman dan dalam jarak yang terlalu dekat beresiko mencemari sumur gali warga. Di sini, EHRA memberlakukan sejumlah indikator terkait semisal jarak antara sumur gali dan tangki septik/cubluk, baik yang dimiliki responden ataupun tetangganya, kondisi bangunan sumur, dan juga kondisi air saat diamati.

Jarak antara sumur dan tangki septik diukur secara proksimitas dengan menggunakan langkah kaki para kader. Setiap langkah dikonversikan menjadi setengah meter. Angka yang diperoleh, tentu saja, tidak memiliki presisi yang tinggi seperti pengukuran yang dilakukan dengan alat meteran khusus, namun angka ini paling tidak dapat dijadikan patokan kasar untuk melihat risiko kesehatan dikaitkan dengan fasilitas sanitasi.

(38)

Setelah mengompilasi data yang dikumpulkan kader-kader posyandu, EHRA menemukan mayoritas rumah tangga di Kabupaten Sukabumi memanfaatkan sumber air minum utama berasal :

1. Air botol kemasan (11,8%) 2. Air isi ulang (23,3%)

3. Air ledeng PDAM (8,5%) 4. Air Hidrant Umum (1,4%)

5. Kran Umum (PDAM/Proyek) (2,8%) 6. Sumur pompa tangan (31,4%)

7. Sumur gali terlindung (51,9%) 8. Sumur gali tak terlindung (5,1%) 9. Mata air telindung (11,7%) 10. Mata air tidak telindung (3,1%) 11. Air hujan (0,2%)

12. Air sungai (2,1%) 13. Air waduk (0,2%) 14. Lainnya (0,9%)

(39)

Diagram Sumber-Sumber Air Minum

Untuk keperluan minum, apa sumber air yang paling banyak Ibu gunakan?

Dibandingkan air isi ulang (23,3%), penggunaan sumber-sumber air lain relatif jauh lebih kecil.terutama pada PDAM (8,5%). Yang perlu digarisbawahi di sini adalah prosentase itu tidak menggambarkan cakupan koneksi PDAM pada rumah tangga di Kabupaten Sukabumi. Indikator yang digunakan dalam EHRA adalah apa sumber air minum utama yang digunakan rumah tangga? Karenanya, bisa saja sebuah rumah tangga yang terkoneksi dengan PDAM memilih sumber air lain seperti air kemasan atau isi ulang sebagai sumber air minum utama. Bisa saja

(40)

sebuah rumah menggunakan air PDAM hanya untuk mandi atau membersihkan perabot rumah.

Aspek lain yang penting dipelajari terkait dengan sumber air adalah kelangkaan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, yang dimaksud dengan kelangkaan air adalah tidak tersedianya atau tidak bisa digunakannya air sumber air minum utama paling tidak sehari satu malam. Diketahui bahwa kelangkaan atau kesulitan mendapatkan air adalah sebagai berikut :

a. Tidak pernah : 57,6% b. Beberapa jam saja : 10,3% c. Satu sampai beberapa hari : 9,8% d. Seminggu : 1,4%

e. Lebih dari seminggu : 14,7% f. Tidak tahu : 6,1%.

(41)

AKSES SUMUR GALI SECARA UMUM

Proporsi rumah tangga yang memiliki sumur gali di Kabupaten Sukabumi rendah, yakni sekitar 25,9%. Dan akses air bersih terhadap sumur gali adalah 51,1% Tidak semua memang menggunakannya. Seperti sudah diterangkan di bagian terlebih dahulu , dari 1600 responden , sebanyak 23,3% menggunakan air isi ulang sebagai sumber air minum yang utama.

Karena sedemikian besarnya cakupan sumur gali, EHRA memandang perlu mendapatkan deskripsi lebih rinci tentang kondisi sumur gali secara keseluruhan di kabupaten Sukabumi. Setelah itu, barulah digambarkan kondisi sumur gali yang digunakan sebagai sumber minum utama rumah tangga.

3.5 PERILAKU HYGIENE

Pencemaran tinja/ kotoran manusia (feces) adalah sumber utama dari virus, bakteri dan patogen lain penyebab diare. Jalur pencemaran yang diketahui sehingga cemaran dapat sampai ke mulut manusia termasuk balita adalah melalui 4F (Wagner & Lanoix, 1958) yakni fluids (air), fields (tanah), flies (lalat), dan fingers (jari/tangan). Jalur ini memperlihatkan bahwa salah satu upaya prevensi cemaran yang sangat efektif dan efisien adalah perilaku manusia yang memblok jalur

fingers. Ini bisa dilakukan dengan mempraktekkan cuci tangan pakai sabun di

waktu-waktu yang tepat. Dalam meta-studinya, Curtis & Cairncross (2003) menemukan bahwa praktek cuci tangan dengan sabun dapat menurunkan risiko insiden diare sebanyak 42-47%. Bila dikonversikan, langkah sederhana ini dapat menyelamatkan sekitar 1 juta anak-anak di dunia.

Untuk konteks balita, waktu-waktu untuk cuci tangan pakai sabun yang perlu dilakukan Si Ibu/ Pengasuhnya untuk mengurangi risiko terkena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan diare terdiri dari 5 (lima) waktu penting yakni,

1) sesudah buang air besar (BAB),

2) sesudah menceboki pantat anak, 3) sebelum menyantap makanan, 4) sebelum menyuapi anak,

(42)

Sebagian waktu penting itu sebetulnya ditujukan bagi ibu-ibu rumah tangga secara umum semisal: waktu sesudah buang air besar, sebelum menyiapkan makanan, dan sebelum menyantap makanan. Sementara, waktu yang lebih khusus ditujukan bagi ibu atau pengasih anak balita adalah sesudah menceboki pantat anak, dan sebelum menyuapi makan anak.

Untuk menelusuri perilaku-perilaku cuci tangan yang dilakukan ibu sehari-harinya, EHRA terlebih dahulu memastikan penggunaan sabun di rumah tangga dengan pertanyaan apakah si Ibu menggunakan sabun hari ini atau kemarin. Jawabannya menentukan kelanjutan pertanyaan berikutnya dalam wawancara. Mereka yang perilakunya didalami oleh EHRA terbatas pada mereka yang menggunakan sabun hari ini atau kemarin.

Tabel Penggunaan Sabun

Apakah Ibu memakai sabun pada hari ini atau kemarin?

Frekuensi Prosentase

Ya 1582 98,9

Tidak 18 1,1

Total 1600 100,0

Seperti terbaca pada tabel di atas, sekitar 98,9% responden melaporkan menggunakan sabun pada hari ini atau kemarin. Hanya sangat sedikit yang melaporkan tidak menggunakan sabun, yakni sekitar 1,1% saja.

Secara umum, sabun digunakan mandi, memanndikan anak, menceboki anak, cuci tangan, cuci peralatan, cuci pakaian . Penggunaan sabun menurut responden antara lain :

Tabel penggunaan sabun

No Variabel Prosentase (%)

1 Mandi 97,8

2 Memandikan anak 58,7

3 Menceboki pantat anak 47,3

4 Mencuci tangan sendiri 71,9

5 Mencuci tangan anak 53,1

6 Mencuci peralatan 88,9

7 Mencuci pakaian 85,0

8 Lainnya 4,8

(43)

Waktu penggunaan sabun yang terbanyak adalah waktu mandi (97,8%), kemudian mencuci peralatan (88,9%), mencuci pakaian (85,0%), sedangkan kebiasaan cuci tangan pakai sabun sendiri yang dipraktikkan oleh responden di Kabupaten Sukabumi adalah (71,9%), memandikan anak dengan sabun (58,7%), mencuci tangan anak (53,1%), dan menceboki anak (47,3%).

3.6 KEJADIAN PENYAKIT DIARE

Kejadian penyakit diare dalam EHRA diperoleh dari hasil interview pada responden, terbagi dengan waktu terkena diare dengan jenis kelamin penderita. Waktu paling dekat anggota keluarga terkena diare dapat dilihat dari tabel berikut :

No Kategori Prosentase (%) 1 Hari Ini 1.3 2 Kemarin 1.2 3 1 minggu terakhir 2.4 4 1 bulan terakhir 3.3 5 3 bulan terakhir 3.3 6 6 bulan terakhir 3.4

7 Lebih dari 6 bulan yang lalu 7.4

(44)

Penderita penyakit diare dapat dilihat pada data berikut :

No Variabel Prosentase (%)

1 Anak balita 39.3

2 Anak non balita 21.5

3 Remaja laki-laki 12.4

4 Remaja perempuan 8.8

5 Dewasa laki-laki 14.5

(45)

Diagram penderita penyakit diare

Pada diagram diatas menunjukkan bahwa anak balita lebih mudah dan berisiko terkena diare daripada remaja maupun dewasa.

(46)

BAB IV. PENUTUP

Studi EHRA (Environmental Health Risk Assesment) memiliki manfaat sebagai bahan promosi kesehatan dengan keterlibatan kader/ petugas kesehatan/ PKK dan lain-lain. Pemanfaatan studi EHRA dapat juga sebagai bahan advokasi pengarusutamaan pembangunan sanitasi.

Peta Area berisiko dalam Buku Putih Sanitasi sebagai hasil dari studi EHRA

dapat merupakan bahan dalam penyusunan Strategi Komunikasi sebagai bagian SSK.

Studi EHRA secara ideal dilakukan berkala, dan studi ini merupakan baseline bagi hasil studi EHRA selanjutnya. Keterbatasan berbagai hal dalam pelaksanaan studi EHRA ini berdampak adanya hambatan , namun dapat diselesaikan melalui wadah Pokja Sanitasi Kabupaten Sukabumi, sehingga dapat berjalan lancer meskipun banyak kekurangan.disampaikan

Semoga laporan hasil studi EHRA ini dapat bermanfaat dan mohon maaf apabila terdapat hasil atau data yang kurang lengkap. Sehingga harapan akan ada Studi EHRA berikutnya yang dapat diperoleh hasil lebih baik. Terimakasih

(47)

Gambar

Diagram Sebaran Status Ibu
Grafik prosentase kondisi sampah menurut pendapat  1.600 responden dalam  studi EHRA Kabupaten Sukabumi
Grafik prosentase pengelolaan sampah menurut 1.600 responden
Grafik wadah yang biasa dipakai responden untuk mengumpulkan sampah   di dapur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisa studi EHRA didapatkan indeks resiko sanitasi. Mengenai pengelolaan air limbah domestik sebesar 10.3 % terdapat tangki septic suspek tidak

informed consent wajib dibacakan oleh enumerator sehingga responden sadar dan memahami betul bahwa keikutsertaan sebagai responden survei Studi EHRA dilakukan dengan

Kondisi sanitasi kesehatan meliputi sistem penyedian air bersih, layanan pembuangan sampah, ketersedian jamban dan saluran pembuangan limbah, dan perilaku dengan

Studi EHRA (Environment Health Risk Assesment / Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan) adalah studi yang mendalami sanitasi dan perilaku yang berhubungan dengan

Dari hasil analisis Studi EHRA di Kabupaten Klungkung ada beberapa tempat yang biasanya digunakan untuk mencuci tangan pakai sabun meliputi di kamar mandi, di dekat kamar mandi,

Studi EHRA pada tahun 2013 ini merupakan studi pertama yang dilaksanakan di Kabupaten Kotawaringin Timur, sehingga apapun hasil dari studi ini hendaknya menjadi

Dari ketujuh cara tersebut untuk menurut hasil survey EHRA, cara yang paling banyak dilakukan dalam pengolahan sampah rumah tangga di Kabupaten Bangli adalah

POLA KEBIJAKAN SANITASI MASYARAKAT MENGENAI PENILAIAN RISIKO KESEHATAN LINGKUNGAN Environmental Health Risk Assessment STUDI KASUS DI KOTA SUAI-COVALIMA TIMOR-LESTE SKRIPSI