• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802010039 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802010039 Full text"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA

WORKPLACE WELL-BEING

DENGAN

EMPLOYEE ENGAGEMENT

PADA STAFF TATA USAHA

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

OLEH

DEVI WULAN SARI 80 2010 039

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HUBUNGAN ANTARA WORKPLACE WELL-BEING DENGAN

EMPLOYEE ENGAGEMENT PADA STAFF TATA USAHA

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

Devi Wulan Sari Sutarto Wijono Jusuf Tjahjo Purnomo

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(8)

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara workplace well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha Universitas Kristen Satya

Wacana Salatiga. Ada sejumlah 45 staff diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan menggunakan teknik sampel purposive sampling. Metode penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data dengan metode skala, yaitu skala workplace well-being yang disusun oleh Page (2009), yang terdiri dari 14 pernyataan, dan skala employee engagement yang disusun oleh Bakker & Schaufeli (2003), yang terdiri dari 16

pernyataan. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik korelasi product moment dari Pearson. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi (r) 0,804 dengan nilai signifikansi 0,000 (p < 0,05) yang berarti ada hubungan positif yang signifikan antara workplace well-being dengan employee engagement. Hal ini bermakna bahwa tingginya

workplace well-being pada staff tata usaha akan diikuti dengan employee engagement yang tinggi.

(9)

Abstract

The purpose of this study is to determine the relationship between workplace well-being with employee engagement on administrative staff at Satya Wacana Christian University of Salatiga. There are amount of 45 staff sample done by using purposive sampling technique. The research method which is used in data collection methods was scale method; it was the scale of workplace well-being that compiled by Page (2009), which consists of 14 statements, and employee engagement scale developed by Bakker & Schaufeli (2003), which consists of 16 statements. Data

analysis technique used is a product moment correlation technique. From the data

analysis obtained correlation coefficient (r) 0.804; p = 0,000 (p <0,05), which means

there is a significant positive relationship between workplace well-being with employee

engagement. This means that high workplace well-being on the administrative staff will

be followed by high employee engagement.

(10)

PENDAHULUAN

Sumber daya manusia (SDM) merupakan hal yang sangat penting dalam suatu organisasi, karena efektivitas dan keberhasilan suatu organisasi sangat tergantung kepadanya. Kinerja SDM yang tinggi dapat mendorong munculnya perilaku melebihi apa yang telah distandarkan perusahaan (Krietner & Kinicki, 2004). Ada pergeseran paradigma dalam kajian manajemen SDM. Saat ini manusia tidak lagi dipandang sebagai sumber daya (resource) atau karyawan saja melainkan asset (capital). Sumber daya yang dimiliki akan dihabiskan, lalu dibuang. Namun asset akan dikembangkan secara berkesinambungan untuk mencapai level yang lebih tinggi, tanpa henti. Hal ini berimbas terhadap kebijakan perusahaan. Jika dahulu paradigmanya adalah bagaimana mendapatkan karyawan terbaik yang bekerja dengan baik dalam jangka waktu yang lama, lalu dibuang (dipecat, diputus kontrak, dll). Tetapi pada saat kinerjanya menurun, maka saat ini banyak perusahaan melakukan kebalikannya, mereka menciptakan karyawan yang akan bekerja dengan baik secara konsisten, memberi mereka pelatihan, coaching, insentif, fasilitas, dan banyak hal lain, agar karyawan merasa terikat

(employee engagement) dan ikut memiliki perusahaan tersebut (Lewis, 2012).

(11)

upah layak, jaminan atas banyak hal, dan peningkatan kesejahteraan. Sementara itu di sisi yang lain pengusaha (perusahaan) juga dihimpit situasi yang sulit (Wustari 2010).

Pada bulan Maret 2015 pukul 13.00 WIB, penulis melakukan observasi & wawancara informal dengan dua staff tata usaha UKSW. Hasil observasi & wawancara tersebut penulis menemukan bahwa untuk mencapai suatu kesuksesan lembaga yang harus ditanamkan terlebih dahulu adalah rasa keterikatan terhadap pekerjaannya. Dengan memiliki hal tersebut akan membuat karyawan menikmati pekerjaan yang mereka lakukan, mereka berkeinginan untuk memberikan segala bantuan yang mereka mampu untuk dapat mensukseskan organisasi dimana mereka bekerja. Selain itu juga, membuat karyawan lebih berkonsisten, bertanggungjawab. Rasa keterikatan ini juga yang membuatnya semangat dalam bekerja, sehingga dapat memberikan waktu, tenaga, serta inisiatif yang lebih untuk dapat berkontribusi pada kesuksesan organisasi atau lembaga. Jadi tidaklah mengherankan bahwa employee engagement telah menjadi agenda penting untuk dimiliki oleh setiap perusahaan/lembaga. Sementara itu, Leiter & Bakker (2010) menembahkan bahwa ketika karyawan terikat, mereka merasa terdorong untuk berusaha maju menuju tujuan yang menantang, mereka menginginkan kesuksesan. Karyawan yang terikat juga mempunyai level energi yang tinggi dan secara antusias terlibat dalam pekerjaannya (Schaufeli, Taris & Rhenen, 2008).

(12)

cara yang sama seperti Firaun yaitu memperlakukan budak-budak Israel pada waktu dia membangun piramidanya dulu. Tetapi manajer menciptakan lingkungan dan dunia kerja yang kondusif dan menantang, sehingga mereka merasa sejahtera dan kemudian memunculkan potensi optimal mereka (Lewis, 2012).

Fenomena karyawan yang terikat pada perusahaannya sehingga ikut merasa memiliki ini disebut sebagai employee engagement dan menjadi „primadona‟ dalam kajian tentang sumberdaya manusia di perusahaan (Albrecht, 2010). Mengapa begitu? karena saat karyawan terikat muncul kemampuan lebih (enabled) dan juga antusiasme (energized) yang secara langsung maupun tidak langsung mendongkrak performa kerja si karyawan. Memang benar, bahwa masih menjadi perdebatan apakah employee engagement ini memang benar-benar sebuah konsep strategis baru atau hanya menjadi

“baju baru” dari workaholism. Sementara itu, Bakker (dalam Albrecht, 2010)

menjabarkan bahwa ada perbedaan mendasar antara work-engagement dan workaholism dari siapa yang menjadi tuan dan bawahan. Pada workaholism, karyawan menjadi budak pekerjaan dan dikuasai hidupnya oleh pekerjaan tersebut (Vallerand, dalam Albrecht, 2008). Namun, karyawan yang terikat pada perusahaannya menguasai keadaan, dan secara sadar sepenuhnya memberikan lebih dari 100% performanya tanpa mengabaikan kehidupan di luar pekerjaannya (Schaufeli, 2006, dalam Albrecht, 2010).

(13)

Di sisi lain jenjang karier seorang pegawai TU relatif pendek, sehingga secara afeksi penghargaan akan pekerjaan tata usaha juga tidak setinggi rekan karyawan lain. Karyawan TU hanyalah bagian pendukung dan bukan bintang utama dalam struktur organisasi. Stakeholder mereka, dalam kasus ini mahasiswa UKSW. Hal tersebut tentu saja tidak memberikan kadar penghormatan yang sama kepada staff TU dibanding dengan staff pengajar. Namun, bila dilihat dari data karyawan yang peneliti dapatkan, mayoritas staff TU di UKSW telah bekerja lebih dari 5 tahun yang dibuktikan dengan status mereka sebagai pegawai tetap, dimana 68,87% dari total 106 orang pegawai TU di UKSW telah berstatus pegawai tetap, dengan demografi 56,64% di antaranya adalah pegawai laki-laki yang notabene menjadi tulang punggung keluarganya. Hal ini terbukti bahwa cukup bayak karyawan staff TU yang memiliki employee engagement, yang telah berkontribusi dalam kesuksesan lembaga.

(14)

71% responden memandang employee engagement sebagai faktor penting bagi kesuksesan perusahaan namun hanya 24% responden yang mengaku terikat (engaged) dengan perusahaannya saat ini.

Dampak positif, atau manfaat yang langsung terasa dari adanya rasa terikat (employee engagement) karyawan pada perusahaannya terbukti pada sebuah penelitian yang dilakukan Fairhurst (2010) keterikatan (engagement) meningkatkan pendapatan perusahaan sebesar 57%, meningkatkan nilai perusahaan 16%, dan meningkatkan kesejahteraan karyawan itu sendiri sebesar 20% (Fairhurst, D; O‟Connor. 2010). Hal ini

sejalan dengan apa yang ditemukan Robinson dkk (2011) yang menyatakan bahwa dalam kondisi yang sama, karyawan yang terikat memiliki performa lebih baik 21% dibanding dengan karyawan yang tidak terikat.

Keterikatan tidak muncul begitu saja, ada banyak hal yang mendorong munculnya rasa terikat seorang karyawan pada perusahaan/lembaganya. Salah satu adalah rasa sejahtera (well-being). Rasa sejahtera yang diperoleh oleh karyawan dari pekerjaan mereka, yang terkait dengan perasaan karyawan secara umum (core affect) dan nilai intrinsik dan pekerjaan (workvalues) ini disebut sebagai Workplace Well-Being (WWB) (Russell dalam Page, 2005). Pernyataan tersebut didukung oleh Page (2005) yang mengemukakan workplace well-being didasari oleh nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik dari pekerjaan.

Workplace Well-Being (WWB) menjadi penting untuk diteliti karena WWB bisa

(15)

dimana dalam kerangka yang disusun sebagai diskusi, menyatakan bahwa hasil ini menjadikan WWB sebagai pondasi utama pelayanan kesehatan (kinerja) yang prima dari pelayanan kesehatan di Kanada (LMCC, 2007). Hasil penelitian lain yang diutarakan oleh Lilita (2013) pada karyawan staff dari Universitas Namibia, menyatakan bahwa kesejahteraan itu dikonseptualisasikan sebagai proses yang saling terkait dengan terikatan kerja. Hasil analisis menunjukkan bahwa lapangan kerja memainkan peran penting dalam keterlibatan kerja, baik sebagai kontribusi. Kelebihan beban kerja dan gaya manajemen dapat mempengaruhi keterlibatan dalam bekerja baik secara emosional maupun fisik.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Wustari & Mangunwijaya (2010) ditemukan bahwa pada karyawan pada umumnya (tidak dikhususkan pada perusahaan tertentu atau bidang pekerjaan tertentu) workplace well-being memiliki hubungan positif yang signifikan dengan employee engagement (r=0,551). Sementara itu workplace well-being memberi kontribusi yang sangat signifikan (80,3%) pada kemunculan employee engagement. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Donny & Wing mengenai

kesejahteraan psikis dengan keterikatan karyawan pada PT. X menunjukkan bahwa ada hubungan yang tidak signifikan.

Pendapat yang berlawanan dikemukakan oleh Leoni (2014) pada penelitiannya yang dilakukan pada karyawan, menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan kesejahteraan karyawan. Hal ini menyebabkan terjadinya trunover pada karyawan, karena karyawan tidak merasakan keterikatan pada perusahaan tersebut.

(16)

karyawan staff tata usaha perfakultas, dimana karyawan telah bekerja selama minimal 5 (lima) tahun atau telah diangkat menjadi karyawan tetap. Karyawan tersebut selalu dihadapkan untuk berkontribusi dalam kesuksesan lembaga secara terus-menerus. Jika hasil atau upah yang diterima tidak sesuai dengan harapan karyawan dengan kinerja yang selama ini telah diberikan maka akan menimbulkan ketidak terikatan kerja atau yang biasa disebut dengan employee engagement. Dari uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada hubungan antara Workplace Well-being dengan Employee Engagement pada staff Tata Usaha Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

TINJAUAN PUSTAKA Definisi Employee Engagement

Konsep Employee Engagement ini relatif baru dan muncul sekitar dua decade belakangan ini (Rafferty, Maben, West dan Robinson, 2005; Melcrum Publishing, 2005; Ellis dan Sorensen, 2007). Employee engagement merupakan pengembangan dari dua konsep terdahulu, yaitu komitmen dan Organizational Citizenship Behavior (OCB/Perilaku Organisasi Karyawan) (Robinson, Perryman & Hayday, 2004; Rafferty dkk., 2005). Pada suatu kesempatan Robinson dkk. (2004) mengatakan bahwa kedua konsep terdahulu yaitu komitmen dan OCB dirasa kurang lengkap, dan di dalam konsep employee engagement, dimasukkan unsur kesadaran bisnis (business awareness).

Rafferty dkk (2005) juga membedakan antara konsep employee engagement dengan dua konsep terdahulunya, dimana employee engagement lebih menunjukkan proses saling memberi dan menerima yang menguntungkan antara karyawan dan organisasi.

(17)

faktor seperti faktor emosional dan rasional berkaitan dengan pekerjaan dan pengalaman kerja secara keseluruhan.

Schaufeli dan Bakker (2004) mendefinisikan employee engagement sebagai suatu kondisi mental yang positif, terpenuhi, dan berkaitan dengan pekerjaan yang mempunyai karakteristik semangat, dedikasi, dan penghayatan. Kondisi mental tersebut melibatkan rasa afektif dan kognitif.

Britt, Dickinson, Greene-Shortridge, dan McKibben (2007) menjelaskan employee engagement sebagai perasaan seseorang untuk bertanggung jawab dan peduli terhadap

performansi pekerjaannya.

Dari definisi-definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa definisi employee engagement adalah perasaan seseorang untuk bertanggung jawab atau berkomitmen

terhadap pekerjaannya, yang didasari oleh kondisi mental yang positif, terpenuhi, dan berkaitan dengan pekerjaan yang mempunyai karakteristik semangat, dedikasi, dan penghayatan. Kondisi mental tersebut melibatkan rasa afektif dan kognitif.

Dimensi Employee Engagement

Employee Engagement tersusun atas tiga dimensi, yaitu semangat (Vigor),

dedikasi (Dedication), absorpsi (Absorption) (Schaufeh & Bakker 2004; Schaufeli dkk, 2001) yang akan dijelaskan sebagai berikut:

(18)

2. Dedikasi atau dedication adalah identifikasi yang kuat pada pekerjaan dan mencakup perasaan yang meliputi, antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan tantangan (Schauteli & Bakker, 2004; Chunghtal & Buckley, 2008, dalam Peng-Lin, 2009).

3. Absorpsi atau absorption dijelaskan sebagai konsentrasi penuh dan perasaan senang yang dirasakan inidividu ketika sedang bekerja, dimana individu merasa waktu berjalan dengan cepat dan sulit meninggalkan pekerjaan (Schaufeti & Bakker, 2004; Bakker & Demerouti, 2008, dalam Peng-Lin, 2009).

Definisi Workplace Well-Being

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan dari Page (2005) karena pendekatan ini memaparkan dengan lengkap definisi dan dimensi-dimensi dari workplace well-being. Definisi workplace well-being yang dikemukakan oleh Page

(2005), yaitu :

“The sense of well-being that employees gain from their work. It is conceptualised

as core affect plus the satisfaction of intrinsic and/or extrinsic work values”

(Page, 2005; hlm.3).

Dari penjelasan tersebut, workplace well-being didefinisikan sebagai rasa sejahtera yang diperoleh pekerja dari pekerjaan mereka, yang terkait dengan perasaan pekerja secara umum (core affect) dan nilai intrinsik maupun ekstrinsik dari pekerjaan (work values).

Core affect didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana rasa nyaman dan tidak

(19)

didefinisikan sebagai derajat harga, kepentingan, dan hal-hal yang disukai oleh individu di tempat kerja (Knoop, dalam Page, 2005).

Dari definisi-definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa definisi workplace well-being adalah rasa sejahtera yang diperoleh oleh karyawan dari pekerjaan mereka,

yang terkait dengan perasaan karyawan secara umum (core affect) dan nilai intrinsik maupun ekstrinsik dari pekerjaan (work values).

Page (2005) menjelaskan bahwa terdapat 13 aspek dari workplace well-being yang dibagi ke dalam dua dimensi atau faktor besar yaitu 5 aspek dari faktor intrinsik dan 8 aspek dari faktor ekstrinsik.

Dimensi Workplace Well-Being

Dimensi Workplace Well-Being menurut Page (2005) sebagai berikut: 1. Dimensi Intrinsik

Dimensi instrinsik terdiri dan aspek-aspek yang mengacu pada perasaan karyawan terkait tugas yang dimiliki dari tempat kerja mereka. Dimensi intrinsik ini terdiri dari lima aspek, yaitu:

a. Tanggungjawab dalam Kerja.

Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan yang dimiliki karyawan terhadap tanggungjawab kerja yang diberikan organisasi dan kepercayaan untuk melakukan pekerjaan dengan baik.

b. Makna Pekerjaan.

(20)

c. Kemandirian dalam Pekerjaan.

Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan individu bahwa dirinya dipercaya untuk melaksakan tugasnya secara mandiri, tanpa petunjuk dari manajemen. d. Penggunaan Kemampuan dan Pengetahuan dalam Bekerja.

Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan bahwa pekerjaan yang diberikan memungkinkan mereka untuk menggunakan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.

e. Perasaan Berprestasi dalam Bekerja.

Aspek ini didefinisikan sebagai rasa memiliki pencapaian tertentu terkait dengan tujuan yang berhubungan dengan kerja.

2. Dimensi Ekstrinsik

Dimensi ekstrinsik adalah dimensi yang mengacu kepada hal-hal di lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi karyawan dalam bekerja. Dimensi ini terdiri dan delapan aspek sebagal berikut :

a. Penggunaan Waktu yang Sebaik-baiknya.

Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan karyawan mengenal waktu kerjanya merupakan hal yang penting karena memungkinkan karyawan untuk membentuk keseimbangan antara waktu kerja dan kehidupan pribadi (work-life balance).

b. Kondisi Kerja.

(21)

c. Supervisi.

Aspek ini didefinisikan sebagai karyawan terhadap perlakuan atasan, seperti perlakuan baik, pemberian dukungan, pemberian bantuan ketika dibutuhkan, umpan balik yang sesuai dan penghargaan dari atasan.

d. Peluang Promosi.

Aspek ini didefinisikan sebagai kondisi lingkungan kerja yang memberikan kesempatan karyawan untuk berkembang secara profesional.

e. Pengakuan terhadap Kinerja yang Baik.

Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan karyawan bahwa di lingkungan kerja mereka, mereka telah menghasilkan kinerja yang baik dan yang tidak mendapatkan perlakuan yang berbeda.

f. Penghargaan sebagai Individu ditempat Kerja.

Aspek ini memiliki definisi sebagai perasaan karyawan bahwa mereka dihargai dan diterima sebagai individu baik oleh keluarga maupun atasan mereka. g. Upah (pay).

Aspek ini didefinisikan sebagai kepuasan karyawan terhadap upah, keuntungan dan penghargaan berupa uang yang didapatnya dan lingkungan kerja.

h. Keamanan Pekerjaan.

Aspek ini didefinisikan sebagai kepuasan dengan rasa aman di posisi pekerjaan mereka.

METODE Partisipan

(22)

responden yang akan di teliti. Menggunakan teknik purposive sampling, yang artinya subyek diambil berdasarkan kriteria. Adapun kriteria yang digunakan adalah (1) Staff Tata Usaha Perfakultas, (2) subyek telah bekerja selama minimal 5 (lima) tahun atau telah diangkat menjadi karyawan tetap.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama berkaitan dengan workplace well-being. Workplace well-being diukur dengan menggunakan "Workplace Well-Being Scale" yang disusun oleh Page (2009), yang terdiri dari 16 pertanyaan. Dari jumlah tersebut, 5 pertanyaan yang mengacu pada perasaan karyawan terkait tugas dalam bekerja contohnya “seberapa puaskah anda

terhadap tanggungjawab kerja anda”, dan 11 pertanyaan untuk hal-hal dilingkungan kerja contohnya “seberapa puaskah anda dengan kenyamanan durasi jam kerja anda”.

Untuk kedua dimensi yaitu intrinsik dan ekstrinsik, mencakup 11 pilihan jawaban berdasarkan frekuensi berikut: “nol berarti merasakan benar-benar tidak puas, dan 10

berarti merasakan benar-benar puas. Dan tengah skala adalah 5, yang berarti merasa netral, tidak puas atau puas”.

Bagian kedua berkaitan dengan employee engagement, employee engagement di ukur dengan menggunakan “employee engagement Scale" yang disusun oleh Bakker &

Schaufeli (2003), yang terdiri dari 17 pernyataan. Dari jumlah tersebut, 6 pertanyaan yang mengacu pada semangat dalam bekerja contohnya “saat bekerja, saya merasa

energi saya meluap-luap”, selnjutnya 5 pertanyaan yang mengacu pada dedikasi contohnya “saya melakukan pekerjaan saya dengan sepenuh hati”, dan 6 pertanyaan

yang mengacu pada absorpsi contohnya “waktu cepat berlalu saat saya bekerja”. Untuk

(23)

mencakup 7 pilihan jawaban berdasarkan frekuensi berikut: “Tidak Pernah (TP),

Hampir Tidak Pernah (HTP), Jarang (J), Kadang (K), Sering, Sangat Sering (SS), dan Selalu. Sehingga penilaiannya adalah nilai 0 diberikan untuk jawaban Tidak Pernah (TP), nilai 1 diberikan untuk jawaban Hampir Tidak Pernah (HTP), nilai 2 diberikan untuk jawaban Jarang (J), nilai 3 diberikan untuk jawaban Kadang (K), nilai 4 diberikan untuk jawaban Sering, nilai 5 diberikan untuk jawaban Sangat Sering (SS), dan nilai 6 diberikan untuk jawaban Selalu”.

Bagian ketiga mencakup sejumlah pertanyaan demografis seperti jenis kelamin, usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, merupakan karyawan tetap atau tidak, jabatan, dan lama bekerja.

Prosedur Penelitian

Kuesioner dibagikan kepada karyawan staff tata usaha dan responden diminta untuk mengisi kuesioner tersebut sesuai dengan keadaan dari masing-masing karyawan. Kuesioner yang telah diberikan, sebelumnya akan peneliti beritahu bahwa hasilnya akan digunakan untuk tujuan penelitian saja dan akan merahasikan data-data yang dianggap sangat pribadi dari karyawan-karyawan tersebut.

UJI ASUMSI

Hasil Uji Reliabilitas dan Seleksi Item 1. Skala Workplace Well-Being

(24)

Hasil uji reliabilitas dan daya diskriminan item pada putaran pertama dari workplace well-being dengan 16 item didapatkan koefisien reliabilitas sebesar 0,911 yang berarti alat ukur tersebut tergolong reliabel, dan dari 16 item tersebut tidak terdapat item yang gugur. Penentuan-penentuan item valid menggunakan ketentuan dari Azwar (2012) yang menyatakan bahwa item pada skala pengukuran dapat dikatakan valid apabila > 0,30. Nilai korelasi item total bergerak antara 0,403-0,818 dengan minimal indeks daya diskriminan item sebesar 0,30.

2. Skala Employee Engagement

Uji reliabilitas dan analisa seleksi item pada skala employee engagement dilakukan dengan dua kali putaran. Putaran pertama untuk menyeleksi butir item yang lolos (memenuhi konvensi item) dan mengeliminasi item yang gugur. Selanjutnya pada putaran kedua untuk mengukur reliabilitas pengukuran dan daya diskriminan setelah mengeluarkan item gugur.

(25)

HASIL PENELITIAN

1. Variabel Workplace Well-Being (WWB)

Variabel workplace well-being (WWB) memiliki skala yang berisi 16 item dengan nilai berjenjang antara nilai 0 hingga nilai 10, dan memiliki mean sebesar 121,07 dengan standar deviasi 18,206 dan jumlah subjek (N) sebanyak 45 yang memperoleh nilai empirik minimum sebesar 83 dan maksimum 159 (lihat Tabel 1). Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel stres kerja, peneliti menggunakan 4 (empat) kategori yaitu rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Maka skor hipotetik maksimum 10x16 item valid = 160 dan skor minimum 0x16 item valid = 0, maka intervalnya adalah 40 (diperoleh dari perhitungan Interval).

(26)

Berdasarkan Tabel 2. di atas dapat dilihat bahwa 24 orang memiliki skor WWB yang berada pada kategori sangat tinggi dengan presentase 53,33%, 21 orang memiliki skor WWB pada kategori tinggi dengan presentase 46,67%, dan tidak ada staff tata usaha yang memiliki skor WWB yang sedang dan rendah dengan presentase 0%. Berdasarkan rata-rata WWB staff tata usaha berada pada kategori sangat tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 83 sampai dengan skor maksimum sebesar 159 dengan standar deviasi 18,206.

2. Variabel Employee Engagement

Variabel employee engagement memiliki skala yang berisi 14 item dengan nilai berjenjang antara nilai 0 hingga nilai 6. dan memiliki mean sebesar 55,18 dengan standar deviasi 11,308 dan jumlah subjek (N) sebanyak 45 yang memperoleh nilai empirik minimum sebesar 33 dan maksimum 80 (lihat Tabel 1). Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel stres kerja, peneliti menggunakan 4 (empat) kategori yaitu rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Maka skor hipotetik maksimum 6x14 item valid = 84 dan skor minimum 0x14 item valid = 0, maka intervalnya adalah 21 (diperoleh dari perhitungan Interval).

Norma kategorisasi hasil pengukuran Skala WWB dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3.

Kategorisasi Pengukuran Skala Employee Engagement

No. Interval Kategori Mean N Presentase

1. 0 < X < 21 Rendah 0 0%

2. 21 < X < 42 Sedang 4 8,89%

3. 42 < X < 63 Tinggi 55,18 29 64,44%

4. 63 < X < 84 Sangat Tinggi 12 26,67%

Jumlah 45 100%

(27)

Berdasarkan Tabel 3. di atas dapat dilihat bahwa 12 orang memiliki skor employee engagement yang berada pada kategori sangat tinggi dengan presentase

26,67%, 29 orang memiliki skor employee engagement yang berada pada kategori tinggi dengan presentase 64,44%, dan 4 orang memiliki skor employee engagement yang berada pada kategori sedang dengan prensentase 8,89%, serta tidak ada staff tata usaha yang memiliki skor employee engagement yang rendah dengan presentase 0%. Berdasarkan rata-rata employee engagement staff tata usaha berada pada kategori tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 33 sampai dengan skor maksimum sebesar 80 dengan standar deviasi 11,308.

Uji Normalitas

Untuk uji normalitas sebaran skor digunakan uji Kolmogorof Smirnov. Tabel 4.

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

WWB Engagement

N 45 45

Normal Parametersa Mean 121.07 55.18

Std. Deviation 18.206 11.308

(28)

memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,862 dengan nilai signifikansi sebesar 0,477 (p>0,05), dengan demikian data Employee Engagement juga berdistribusi normal.

Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk menguji integritas hubungan data yaitu variabel bebas dan variabel terikat, untuk mengetahui apakah variabel bebas berhubungan dengan variabel terikat atau tidak.

Tabel 5.

Hasil Uji Linearitas antara Workplace Well-Being dengan Employee Engagement ANOVA Table (p>0,05) yang menunjukkan hubungan antara workplace well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha adalah linear.

Uji Korelasi

(29)

Tabel 6.

Hasil Uji Korelasi antara Workplace Well-Being dengan Employee Engagement Correlations

WWB Engagement WWB Pearson Correlation 1 .804**

Sig. (2-tailed) .000

N 45 45

Engagement Pearson Correlation .804** 1 Sig. (2-tailed) .000

N 45 45

Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara workplace well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha, sebesar 0,804 dengan signifikansi = 0,000 (p<0,05), yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara workplace well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi workplace well-being yang meraka dapatkan maka semakin tinggi pula employee engagement pada mereka. Besarnya variasi employee engagement staff tata usaha dengan workplace well-being dapat menjelaskan bahwa workplace well-being memberikan kontribusi employee engagement staff tata usaha 64% dan sisanya 36% yang dipengaruhi oleh faktor lain diluar workplace well-being yang dapat berpengaruh terhadap employee engagement staff tata usaha.

Hasil Demografis

(30)

yaitu waktu penuh dengan rata-rata waktu perminggunya 37,5 - 40/jam, mayoritas karyawan laki-laki dan perempuan telah berstatus sudah menikah, dan dari 45 karyawan, 15 karyawan merupakan tamatan S1, 8 karyawan merupakan tamatan D3, dan 22 karyawan merupakan tamatan SMK/SMA.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara workplace well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha universitas kristen satya wacana Salatiga, di

dapat hasil uji korelasi yang sudah dilakukan oleh peneliti maka didapatkan nilai korelasi sebesar 0,804 dengan signifikansi 0,000 (p < 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa H1 diterima dan H0 ditolak, yang artinya bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara workplace well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha universitas

kristen satya wacana Salatiga. Hal ini berarti semakin tinggi workplace well-being maka semakin tinggi pula employee engagementnya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan. Pertama, sebagai staff TU menganggap bahwa bekerja sebagai TU di UKSW membuat mereka memperoleh nilai-nilai kerja yang dapat dinikmati untuk menoleh pekerjaannya, sehingga membuat mereka berprilaku positif pada pekerjaannya. Kedua, pada umumnya karyawan TU merasakan ada kenyamanan kerja yang dapat membuat mereka sejahtera sehingga dapat membuat mereka bekerja lebih terikat untuk mendukung tugas-tugasnya sebagai TU di UKSW.

(31)

dalam bekerja baik secara emosional maupun fisik. Hal serupa diungkapkan oleh Wustari & Mangunwijaya (2010) dalam penelitiannya ditemukan bahwa workplace well-being memiliki hubungan positif yang signifikan dengan employee engagement (r=0,551), dan lebih jauh lagi workplace well-being memberi kontribusi yang sangat signifikan (80,3%) pada kemunculan employee engagement. Schmidt, Faye (2004) bahwa workplace well-being salah satu faktor yang berperan besar menciptakan employee engagement.

Berdasarkan hasil analisa deskriptif dalam peelitian ini, diperoleh data bahwa workplace well-being sebesar 53,33% yang ada pada kategori sangat tinggi. Hal ini

menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan staff TU memiliki workplace well-being yang tinggi. Pada tingkat employee engagement yang dimiliki oleh staff tata usaha sebesar 64,44% yang berada pada kategori tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian staff tata usaha memiliki tingkat employee engagement yang berada pada taraf tinggi.

Rasa keterikatan atau employee engagement ini membuat karyawan semangat dalam bekerja. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa employee engagement telah menjadi agenda penting untuk dimiliki oleh setiap perusahaan/organisasi. Sebaliknya, tanpa adanya employee engagement, inisiatif pengembangan dalam bentuk apapun tidak akan

membuahkan hasil, karena tidak disertai dengan peran serta, komitmen, serta rasa keterikatan para karyawannya (Lewis, 2012).

(32)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas mengenai hubungan antara workplace well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha universitas

kristen satya wacana Salatiga, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara hubungan antara workplace well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha universitas kristen satya wacana Salatiga. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi (r) 0,804 dengan nilai signifikansi 0,000(p < 0,05).

Sebagian besar subjek staff tata usaha memiliki tingkat workplace well-being dengan rata-rata sebesar 1,2107 yang berada pada kategori sangat tinggi, dan rata-rata employee engagement sebesar 55.1778 berada pada kategori tinggi. Sumbangan efektif workplace

well-being sebesar 64%, hal ini berarti bahwa 36% workplace well-being dipengaruhi

faktor lain. Saran

Adapun saran peneliti berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut : 1. Bagi karyawan staff tata usaha.

Setiap karyawan diberi kesempatan untuk mewujudkan nilai-nilai kerja akan kesehariannya melalui pelayanan yang diberikan kepada dosen & mahasiswa sehingga dapat lebih terikat dengan tugasnya sebagai TU di UKSW.

2. Bagi lembaga Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

(33)

3. Bagi penelitian selanjutnya.

a. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan dapat meneliti faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi antara employee engagement pada staff tata usaha selain workplace well-being, seperti faktor komitmen, dan lainnya.

b. Diharapkan populasi pada penelitian selanjutnya dapat diperluas, serta dapat melihat perbandingan pada perbedaan antara jabatan.

DAFTAR PUSTAKA

Adriana, M.L. (2013). Antecedents And Outcomes Of Work-Related Psychological Well-Being Of Staff Members Of The University Of Namibia (Tesis). University Of Namibia.

Albrecht, S. L. (2010). Employee engagement: 10 key questions for research and practice (pp 3-19). In Albrecht, S.A. (Ed). Handbook of employee engagement: perspectives, issues, research, and practices. Edward Elgar Publishing, Inc.: Massachusets.

Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bakker, A.B; M.P. Leiter (Eds.): Work engagement: A Handbook of Essential Theory

and Research. New York, Psychology Press.

Erin Research Inc. (2005). Building a better workplace – Joint pilot project; Results of the 2005 PSHRMAC Employee Survey.

Fairhurst, D. J, O‟Connor (2010). Employee Well-Being: Taking Engagement and Performance to Next Level. TowersWatson.

Finney, M.I. (2010). Engagement: cara pintar membuat karyawan mencurahkan kemampuan terbaik untuk perusahaan. Penerjemah: Verawaty Pakpahan. Jakarta. Penerbit PPM.

Gallup. (2004). Diunduh pada. Dari http:www.gallup.com/consulting/121535/Employee Enggement-Overview-Brochure.aspx.

(34)

Hadi, S. (2004). Metodologi research. Yogyakarta: Andi Ofset.

Haryanto, D & Ispurwanto, W. (2012). Hubungan Kesejahteraan Psikis Dengan Keterikatan Karyawan Pada PT.X. jurnal Universitas Bina Nusantara.

Lewis, R. E. Donaldson-Feilder. (2012). Managing for Sustainable Employee Engagement. London: Chartered Institute of Personnel & Development.

Luthans, F. Peterson., S.J. (2002). Employee engagement and manager self-efficacy: implications for managerial effectiveness and development. Journal of Management Development, 21, (5), pp: 276-287.

Macey, William H., Schneider, Benyamin., Barbera, Karen M., Young, Scott A, (2009) Employee Engagement, tools for analysis, Practice, and Competitive Advantage, Wiley‐ Blackwell, Chichester, West Sussex, United Kingdom.

McShane, Steven L. Glinow., Mary Ann von (2008) Organizational Behavior, McGraw‐Hill Irwim, New York.

Nurgiyantoro, Gunawan, & Marzuki. (2009). Statistik terapan: untuk penelitian ilmu-ilmu sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Page, Kathryn. (2005). Subjective Wellbeing in the Workplace (Thesis). School of Psychology Faculty of Health and Behavioural Sciences Deakin University. Page, Karthryn. (2010). Submitted in partial fulfillment of the requirements for the

degree of docktor of psychology (Thesis). School of Psychology and Psychiatry. Australia: Monash University.

Robbins, S. & Judge, T. (2007), Organizational Behavior, 12th edition, Prentice-Hall. Schaufeli, W.B & Bakker, A.B. (2004). Job demands, job resources, and their

relationship with burnout and engagement: a multi-sample study. Journal of Organizational Behavior, 25, 293-315.

Schmidt, Faye. (2004). Workplace Well-Being in the Public Sector – A Review of the Literature and the Road Ahead. Treasury Board of Canada Secretariat.

Vaart, DVL. Linde, B. Beer, DL. & Cockeran, M. (2014). Employee Well-Being, Intention To Leave And Perceived. Journal Of Economic And Management

Sciences (Sajems), 1:32-44.

Gambar

Kategorisasi Pengukuran Skala Tabel 2. Workplace Well-being Interval Kategori Mean N Presentase
One-Sample Kolmogorov-Smirnov TestTabel 4.
Hasil Uji Linearitas antara Tabel 5. Workplace Well-Being  dengan Employee Engagement

Referensi

Dokumen terkait

Padahal Rhodamin B merupakan pewarna untuk kertas dan tekstil sehingga pewarna ini berbahaya bagi kesehatan (Salam, 2008). Permasalahan ini mendorong untuk

Dalam hal ini analisis Tipologi Klassen dilakukan dengan membandingkan pertumbuhan ekonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah yang menjadi acuan atau nasional dan

calon pengguna Email Polri untuk personel dan satuan kerja di tingkat Mabes Polri mengajukan surat permohonan kepada Kadiv TIK Polri melalui Karotekinfo

Untuk review dokumen resmi yang digunakan adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, seperti Peraturan Daerah (Perda), Surat Keputusan

Dari hasil kajian dapat disimpulkasn sebagai berikut : (1) Di lihat dari gambaran pembangunan di Kabupaten Pandeglang, dilihat dari tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan

Selain itu, perhitungan harga pokok produksinya pun masih belum tepat karena biaya bahan baku langsung belum dihitung berdasarkan standar yang spesifik dan

Status Informasi Formal Informasi yang Dikuasai.. Fazhari Irvansyah Sinaga irvansyah_sinaga@apps.ipb.ac.id Permohonan soft copy berkas ijazah dan transkrip nilai.. 300 8 Juli 2020

Adalah bagian yang bertanggung jawab mencatat persediaan barang dagang sesuai faktur seperti nama barang, kode barang, harga barang, dan jumlah barang1. Dokumen yang digunakan