• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian gebyok dan makna simbol ragam hias pada rumah kudus zainul1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian gebyok dan makna simbol ragam hias pada rumah kudus zainul1"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

KAJIAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM HIAS

PADA RUMAH KUDUS

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Ujian Sidang Pascasarjana Program Studi Kajian Budaya

Minat Utama : Seni Rupa

Oleh

Zainul Arifin MA

S.701008018

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

ii

KAJIAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM HIAS

PADA RUMAH KUDUS

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Ujian Sidang Pascasarjana Program Studi Kajian Budaya

Minat Utama : Seni Rupa

Oleh

Zainul Arifin MA

S.701008018

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

KAJIAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM HIAS

PADA RUMAH KUDUS

Oleh

Zainul Arifin MA

S.701008018

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing:

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I Prof.Dr. Nanang Rizali, MSD ……… ……….. NIP. 19500709 198003 1 003

Pembimbing II Dr. Nooryan Bahari, MSn ……….. ………. NIP. 19650220 199003 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kajian Budaya

(4)

commit to user

iv

KAJIAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM

HIAS PADA RUMAH KUDUS

Oleh

Zainul Arifin MA

S.701008018

Telah disetujui oleh Dewan Penguji:

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum ……… ……….. NIP. 19640918 198903 1 001

Sekretaris Dr. Titis Srimuda Pitana, ST.,M.Trop.Arch …………. ………... NIP. 19680609 199402 1 001

Penguji I Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD ...……….. ………. NIP. 19500709 198003 1 003

Penguji II Dr. Nooryan Bahari, M.Sn ………… ………. NIP. 19650220 199003 1 001

Mengetahui,

Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Kajian Budaya

(5)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

PERNYATAAN

Nama : Zainul Arifin MA

NIM : S.701008018

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Kajian Gebyok Dan Makna Simbol Ragam Hias Pada Rumah Kudus, adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditujukan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Kudus, April 2012 Penulis,

Zainul Arifin MA

(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan kepada : 1. Istri dan anak-anak ku tercinta.

(7)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

MOTTO

“ Hidup itu Indah“

(8)

commit to user

viii

ABSTRAK

Zainul Arifin MA, 2012 : Kajian Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias pada Rumah Kudus . Tesis Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana F Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Ragam hias pada gebyok rumah Kudus berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya masyarakat Kudus, terutama dalam kerangka budaya yang melatarbelakangi ketertarikan untuk memahami lebih jauh keberadaan gebyok dan ragam hiasnya, terutama perkembangan gebyok, ragam hias dan maknanya. Berdasarkan pada perspektif budaya, bentuk dan corak ungkapan kesenian tidak semata hanya untuk pemenuhan keindahannya saja, melainkan juga terkait dengan pemenuhan lainnya. Ragam hiasnya dipandang sebagai salah satu cara pemuasan akan keindahan yang keberadaannya dipenuhi beragam simbol elemen hias. Peciptaan ragam hias biasanya berkaitan erat dengan pandangan hidup masyarakat

Melihat letaknya, Kudus termasuk dalam akar budaya Jawa pesisir yang mengandalkan sektor perdagangan sebagai penunjang perekonomiannya, akses untuk berhubungan dengan dunia luar mengakibatkan adanya kontak budaya. Kontak budaya melalui perdagangan membuka jalan terjadinya percampuran kebudayaan. Hubungan yang semula sekedar hubungan perdagangan akhirnya berkembang menjadi hubungan yang saling mempengaruhi antar budaya masing-masing, terjadilah proses akulturasi budaya yang pada akhirnya ikut membentuk budaya Jawa Kudus. Akulturasi budaya ini tidak hanya terbatas pada nilai-nilai dan pengetahuan saja, tetapi juga berpengaruh kepada artefak budayanya.

Sesuai dengan kondisi obyek penelitian, masalah yang dikaji, dan tujuan yang akan dicapai, maka perlu memilih strategi yang tepat. Gebyok dan makna simbol ragam hias Kudus merupakan fenomena artefak yang tidak dapat dilepaskan dari konteks sosio kultural dan proses kesenian yang mempunyai latar belakang multi aspek, yang merupakan paradigma kualitatif, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Berdasarkan tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, yaitu lebih ditekankan pada upaya mengungkap perkembangan gebyok dan menemukan makna simbol dari sebuah fenomenal yang kompleks, maka penelitian ini ditekankan pada penelitian kualitatif deskriptif untuk mendapatkan temuan penelitian yang akurat.

Di dalam motif hias tersebut terdapat suatu arti simbolis yang mengandung nasehat, pesan, dan arti filosofi bagi masyarakat. Ragam hias di gebyok Kudus dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha, Cina, Islam dan Eropa yang diwujudkan dalam motif bunga, kala, peksi, kawung, jalinan, wajikan, kerang, sorot, ukel, nanasan, mahkota, daun pisang. Selain untuk memenuhi fungsi estetik, ragam hiasnya juga bermakna simbol yang berfungsi sebagai media rupa untuk menyampaikan pesan yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman hidup masyarakat setempat.

Perubahan pada gebyok yang meliputi perubahan ukuran, bahan, ragam hias dan fungsi akibat adanya permintaan dari para pengguna gebyok yang akan diterapkan pada rumah tinggal dan fasilitas umum, sehingga ragam hias pada gebyok mengalami perubahan baik kualitas pengerjaan maupun makna simbol ragam hiasnya

(9)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kudus society, especially within the framework of cultural background interest to understand ornament of gebyok so far, especially the outgrowth of gebyok, ornament, and meaning. Based on perspective culture, form, and artistic expression motive not only for the fulfillment of its beauty, but also relate to other. Ornament seen as one way the grateful of wonderfulness whose existence filled diverse symbol element of ornament. Making of the ornament usually closely related to view of society life

According the location, including the cultural roots of the Kudus coast of Java that relies on the trade to support its economy, access to get in touch with the outside world results in cultural contacts. Cultural contacts through trade paves the way of coexistence of cultures. The relationship is a mere trade relations eventually evolved into a relationship that interplay between their respective culture, acculturation process that ultimately join the cultural forms of javanese culture. Acculturation of culture not only limited to the values and knowledge, but also influential to cultural artifacts.

According to the object of research, issues, and objectives of the research, so its need to choose right strategy. Gebyok and meaning of symbol of Kudus house is a phenomenon artifacts that can not be separated from socio cultural context and process that have a background art in multi aspect, the research method that used is descriptive method. Then this study is emphasized on descriptive qualitative research to obtain accurate research finding.

In ornament motive there is a symbolic meaning, containing an advice, a message, and its philosophy to society. Ornament in gebyok Kudus affected by Hindus and Budhists culture, China, Islam, and Europe which are realized in motif bunga, kala, peksi, kawung, jalinan, wajikan, kerang, sorot, ukel, nanasan, mahkota, daun pisang. In addition to meet estetic function, ornament also has meaning as a symbol that serve as a media to convey messages related to cultural values to be a guidance of society life.

Changes in gebyok which includes changes in size, materials, decoration and function as a result of requests from users gebyok to be applied in residences and public facilities, so that the decoration on gebyok to change both the quality of workmanship and the meaning of various symbols of ornament.

(10)

commit to user

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga

tesis yang berjudul “Kajian Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias pada Rumah Kuduspadatahun 2012 ini dapat selesai. Tesis ini ditulis untuk memenuhi sebagai persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Kajian Budaya (minat utama Seni Rupa), Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Menyadari bahwa penulisan tesis ini banyak sekali hambatan, tetapi berkat bantuan, dukungan, dan bimbingan dari beberapa pihak, maka hambatan tersebut dapat teratasi. Oleh sebab itu, sepantasnya penulis dengan penuh rasa hormat menyampaikan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Prof. Dr. Ahmad Yunus, M.S, selaku Direktur Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

6. Dr, Titis Srimuda Pitana, ST.,M.Trop.Arch, selaku sekretaris Dewan Penguji. 7. Seluruh Bapak / Ibu dosen pengampu Program Studi Kajian Budaya

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

8. Civitas Akademika Program Studi Kajian Budaya, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

9. Seluruh teman seperjuangan angkatan tahun 2010 Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

(11)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

SE., Ketua Asmindo Komda Kudus, Bapak Drs. Sutiyono, M.Pd Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus, dan Bapak Hendrix Marantek Kepala Desa Sidorekso, Kaliwunggu yang memunculkan program

”gebyokisasi”, telah banyak memberi informasi dan data-data yang dibutuhkan untuk penulisan tesis ini

Penulis menyadari bahwa dengan adanya keterbatasan yang ada, menjadikan tesis ini masih perlu untuk ditindaklanjuti dalam penelitian dan kajian yang lebih mendalam, meskipun demikian diharapkan tesis ini sudah dapat memenuhi persyaratan akademik sebagaimana semestinya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu kajian budaya pada khususnya.

Kudus, April 2012

(12)
(13)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2.2.5. Sinkretisme dalam Budaya Jawa ... 20

2.2.6. Kesenian Jawa ... 23

2.2.6.1. Pengertian Kesenian Jawa ... 23

2.2.6.2. Jenis-jenis Kesenian Jawa ... 24

2.2.7. Ragam Hias sebagai Bentuk Rupa dan Simbol ... 26

2.2.7.1. Latar Belakang Ragam Hias ... 26

2.2.7.2. Pengertian Ragam Hias ... 31

2.2.7.3. Bentuk Ragam Hias dan Simbol ... 33

2.2.7.4. Ragam Hias Prasejarah ... 39

2.2.8. Perkembangan Ragam Hias Indonesia ... 47

2.2.8.1. Pengaruh Ragam Hias Hindu, Budha ... 47

2.2.8.2. Pengaruh Ragam Hias Cina ... 52

3.4.1. Instrumen Penelitian ... 74

3.4.2. Observasi ... 75

3.4.3. Wawancara Mendalam ... 76

(14)

commit to user

xiv

3.5. Validitas Data ... 77

3.6. Teknik Analisis ... 79

BAB IV. PERUBAHAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM HIAS GEBYOK ... 84

4.1. Gambaran Umum Kabupaten Kudus ... 84

4.1.1. Kondisi Geografis Kudus ... 84

4.1.2. Sejarah Kudus ... 86

4.1.3. Budaya Masyarakat Kudus ... 89

4.1.3.1. Sistem Kepercayaan Masyarakat Kudus ... 90

4.1.3.2. Falsafah dan Sikap Hidup Masyarakat Kudus ... 92

4.1.3.3. Sistem Kekerabatan Masyarakat Kudus ... 96

4.2.Rumah Kudus ... 97

4.2.1. Bentuk Rumah Kudus ... 102

4.2.2. Ragam Hias Rumah Kudus ... 105

4.2.2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Ragam Hias Kudus . 125 4.2.2.2. Struktur Ragam Hias Tradisional Kudus ... 128

4.2.2.3. Karakteristik Ragam Hias Kudus ... 130

4.3.Ragam Hias Pada Gebyok Kudus ... 134

4.3.1. Ragam Hias pada Gebyok bagian Bawah ... 136

4.3.2. Ragam Hias pada Gebyok bagian Tengah ... 137

4.3.3. Ragam Hias pada Gebyok bagian Atas ... 141

4.4.Perubahan Gebyok Dan Makna Simbol Ragam Hias Gebyok ... 142

4.5. Peran Lembaga Budaya ... 142

4.6.Perubahan Gebyok Kudus dan Ragam Hias sebagai Benda Budaya .. 152

4.6.1. Perubahan Gebyok Kudus sebagai Benda Budaya ... 152

4.6.1.1 Perubahan Ukuran ... 152

4.6.1.2 Perubahan Bahan ... 153

4.6.1.3 Perubahan Ragam Hias ... 155

4.6.1.4 Perubahan Fungsi ... 156

(15)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xv

4.7. Pengaruh Perubahan Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias

Dalam Kehidupan Masyarakat Kudus ... 170

4.7.1. Pengaruh Perubahan Gebyok Terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat ... 170

4.7.2. Pengaruh Perubahan Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat ... 173

4.7.3. Pengaruh Perubahan Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias Terhadap Kehidupan Budaya Masyarakat Kudus .. 178

BAB VI. PENUTUP ... 181

6.1. Kesimpulan ... 181

6.2. Saran ... 183

(16)

commit to user

xvi

DAFTAR TABEL

Hal

(17)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xvii

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar II.1 Peta pembagian wilayah kebudayaan Jawa ... 17

Gambar II.2 Ragam Hias corak Manusia ... 40

Gambar II.8 Ragam Hias corak kunci/kait yang digabung dengan corak jalinan. 43 Gambar II.9 Ragam Hias Corak Katak, Ular & Buaya ... 44

Gambar II.10 Ragam Hias corak Kerbau ... 45

Gambar II.11 Ragam Hias corak Gajah ... 46

Gambar II.12 Ragam Hias corak Ular pada pancuran air ... 46

Gambar II.13 Ragam Hias corak Makara ... 48

Gambar II.14 Ragam hias burung ... 49

Gambar II.15 Ragam hias Wayang ... 49

Gambar II.16 Ragam Hias corak Garuda ... 50

Gambar II.17 Motif tumbuh-tumbuhan sebagai lambang kesuburan terdapat di candi kalasan ... 51

Gambar II.18 Bentuk pot yang memuntahkan sulur-suluran daun dan bunga 51 Gambar II.19 Ragam hias corak Pohon Hayat ... 51

Gambar II.20 Ragam Hias corak Cina ... 52

Gambar II.21 Ragam Hias corak Arabes ... 54

Gambar II.22 Ragam Hias corak Geometris ... 54

Gambar II.23 Hiasan berbentuk Medalion di masjid Mantingan, Jepara ... 55

Gambar II.24 Ragam Hias corak Eropa pada elemen arsitektur ... 55

Gambar IV.1 Letak Kota Kudus ... 84

Gambar IV.2 Masjid Menara Kudus ... 88

Gambar IV.3 Rumah Tradisional Kudus ... ... 103

(18)

commit to user

xviii

Gambar IV.5 Tampak samping kiri ... 103

Gambar IV.6 Struktur konstruksi bangunan rangka dinding rumah tradisional Kudus ... 104

Gambar IV.7 Ukiran konsol ... 107

Gambar IV.8 Ragam hias pada pintu kerai (sorong) ... 108

Gambar IV.9 Kleweran pada pintu depan ... 109

Gambar IV.10 Sabukan ... 110

Gambar IV.11 Gebyok dinding dalam ruang Jagasatru ... 110

Gambar IV.12 Ragam hias pada panel-panel dinding ... 112

Gambar IV.13 Tiang ruang Jagasatru ... 113

Gambar IV.14 Penerapan ragam hias ukiran pada sampar banyu dan tiang pracik ... 114

Gambar IV.15 Pintu antara ruang Jagasatru dan Sentong ... 115

Gambar IV.16 Motif Lunglungan dan buah nanas pada konstruksi dada peksi 116

Gambar IV.17 Hiasan kleweran dan plengkung pada pintu masuk ruang sentong 117 Gambar IV.18 Saka geder di ruang jagasatru ... 118

Gambar IV.19 Ukiran pada tebeng dinding ruang sentong dan balok blandar pada ruang jagasatru ... 118

Gambar IV.20 Ancik-ancik (tangga) ... 119

Gambar IV.21 Ukiran pada pintu ruang gedongan ... 120

Gambar IV.22 Ukiran pada dinding ruang gedongan ... 121

Gambar IV.23 Uleng atap tumpangsari ... 122

Gambar IV.24 Sampar banyu dalam ruang Jagasatru ... 122

Gambar IV.25 Angin-angin ruang jagasatru samping ... 123

Gambar IV.26 Hiasan pada tiang utama(saka guru) ... 123

Gambar IV.27 Pintu ruang dapur menuju ruang jagasatru / sebaliknya ... 124

Gambar IV.28 Ragam hias pada perabung/bubungan atap ... 124

(19)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xix

Gambar IV.30 Pengaruh budaya Islam pada Ragam Hias motif Persia/Islam,

digambarkan dalam bentuk bunga yang terdapat pada ruang

Jogosatru ... 133

Gambar IV.31 Pengaruh budaya Cina pada Ragam Hias motif binatang gajah yang disamarkan pada konsol ... 133

Gambar IV.32 Pengaruh budaya Eropa pada Motif Mahkota pada gerbang masuk ke gedongan ... 134

Gambar IV.33 Gebyok Kudus ... 136

Gambar IV.34 Gebyok Kudus ... 136

Gambar IV.35 Gebyok dengan ukuran 4 m yang ada di Balai Desa Sidorekso, Kecamatan Kaliwungu, Kudus ... 153

Gambar IV.36 Gebyok yang menggunakan kayu jati kualitas jelek (jati kampung)... 155

Gambar IV.37 Motif tumbuhan menjalar diganti dengan kaligrafi arab ... 156

Gambar IV.38 Gebyok yang diterapkan pada Rumah Tinggal ... 157

Gambar IV.39 Ragam hias tumbuhan, vas bunga ... 158

Gambar IV.40 Ragam hias ukel / besusulan ... 159

Gambar IV.41 Ragam hias Plengkung Kubah Masjid ... 160

Gambar IV.42 Ragam hias Kala pada dinding gebyok ... 161

Gambar IV.43 Ragam hias daun pisang/banbanan ... 162

Gambar IV.44 Ragam hias tumpal ... 163

Gambar IV.45 Ragam hias wajikan ... 164

Gambar IV.46 Ragam hias jalinan ... 165

Gambar IV.47 Ragam hias kerang ... 166

Gambar IV.48 Ragam hias ceplokan lintangan ... 167

Gambar IV.49 Ragam hias kawung ... 168

(20)

commit to user

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Format Kuesioner / Wawancara

Lampiran 2. Daftar Analisa Ragam Hias Gebyok pada Rumah Kudus

Lampiran 3. Daftar Analisa Ragam Hias Gebyok pada Perajin Gebyok “Avia Antik”

Lampiran 4. Daftar Analisa Ragam Hias Gebyok pada Perajin Gebyok “Bintong

(21)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ABSTRAK

Zainul Arifin MA, 2012 : Kajian Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias pada Rumah Kudus . Tesis Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Ragam hias pada gebyok rumah Kudus berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya masyarakat Kudus, yang melatarbelakangi ketertarikan untuk memahami lebih jauh keberadaan gebyok dan ragam hiasnya, yaitu perkembangan gebyok, ragam hias dan makna. Berdasarkan pada perspektif kajian budaya, bentuk dan corak ungkapan seni tidak semata hanya untuk pemenuhan keindahan, melainkan juga terkait dengan pedukungnya. Ragam hiasnya dipandang sebagai salah satu cara pemuasan akan keindahan yang keberadaannya dipenuhi beragam simbol elemen hias. Peciptaan ragam hiasnya berkaitan erat dengan pandangan hidup masyarakat.

Sesuai dengan kondisi obyek penelitian, masalah yang dikaji dan tujuan yang akan dicapai, maka perlu memilih strategi yang tepat. Gebyok dan makna simbol ragam hias Kudus merupakan fenomena artefak yang tidak dapat dilepaskan dari konteks sosio-kultural dan proses kesenian yang mempunyai latar belakang multi aspek. Hal ini merupakan paradigma kualitatif. Oleh karena itu, metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Berdasarkan tujuan yang dicapai dalam penelitian ini lebih ditekankan pada upaya mengungkap perkembangan gebyok dan menemukan makna simbol dari sebuah fenomenal yang kompleks, maka penelitian ini ditekankan pada penelitian kualitatif deskriptif untuk mendapatkan temuan penelitian yang akurat.

Hasil penelitian mengenai Kajian gebyok dan makna simbol ragam hias, menunjukkan adanya perubahan pada gebyok yang diproduksi oleh perajin gebyok di Kudus, meliputi perubahan ukuran, bahan baku, ragam hias dan fungsi. Perubahan ini terjadi karena adanya permintaan konsumen yang menempatkan gebyok pada rumah tinggal dan fasilitas umum, sehingga ragam hiasnya mengalami perubahan, baik kualitas pengerjaan maupun makna simbol ragam hiasnya.

Motif hias yang ada pada gebyok Kudus terdapat arti simbolis yang mengandung nasehat, pesan, dan arti filosofi bagi masyarakat. Ragam hias di gebyok Kudus dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha, Cina, Islam dan Eropa yang diwujudkan dalam motif bunga, kala, peksi, kawung, jalinan, wajikan, kerang, sorot, ukel, nanasan, mahkota, daun pisang. Pada perkembangannya, untuk memenuhi kebutuhan konsumen makna simbol yang melekat menjadi bias, yang semula mengandung pesan moral dan pedoman hidup dalam tatanan kehidupan masyarakat Kudus, akhirnya berubah menjadi makna estetik untuk memenuhi tututan komersial. Sehingga makna simbol yang melekat pada ragam hias gebyok sudah mengalami perubahan makna.

(22)

commit to user Kudus society, especially within the framework of cultural background interest to understand ornament of gebyok itself. They are the development of gebyok, the ornament, and the meaning. Based on perspective culture, form, and artistic expression motive not only for the fulfillment of its beauty, but it also relates to others. The Ornament is seen as one way for people feel satisfied to the beauty since the existence full of symbol of element decoration. Ornament creation is usually related to society view.

Based on the condition of research object, it is needed to choose an appropriate strategy to investigate the problem of research and the purpose of the study. Gebyok and the meaning of ornament Kudus symbol constitute phenomena of artefact cannot be separated with socio-cultural contexts and an art process of multiaspect background. It is qualitative paradigm. Therefore, the use of research method is qualitative method. Based on the aim of research, it is focused to the effort how to reveal development of Gebyok and to find out the meaning of symbol from a complex phenomenal. Then, this research is focused on descriptive qualitative research to get an accurate research finding.

The result of the study is about Gebyok study and the meaning of ornament symbol, showed that there is a changing of Gebyok producted by craftman of Gebyok in Kudus. It consists of changing of size, raw material, ornament, and function. The changing happened due to the consumers demand that placed Gebyok of the house and public facility become changing different either quality or the meaning of ornament symbol.

In the motif of decoration, there is a meaning of symbolic that contains advice, message, and the meaning of philosophy for society. An ornament in geyok Kudus is influenced by the culture of Hindu, Buddha, China, Islam, and Europe are shaped in flower motif, kala, peksi, kawung, jalinan, wajikan, kerang, sorot, ukel,

nanasan, mahkota, and daun pisang. In the development, finally, to fulfill consumer

need, the meaning of symbol that adheres firstly it contains a moral message and the way of life in a rule of Kudus society. But now it has an aesthetic meaning to fulfill commodities that the meaning of symbol in Gebyok ornament is changing.

(23)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rumah Kudus sering disebut sebagai “joglo pencu”, merupakan rumah

tradisional yang berada di wilayah Kabupaten Kudus sebagai rumah khas Kudus.

Rumah Kudus mempunyai keistimewaan tersendiri, yakni selain bentuknya joglo,

semua elemen arsitekturnya dipenuhi dengan ragam hias. Penggunaan ragam hias

sudah sangat akrab dengan kehidupan manusia sejak lama. Ragam hias tersebut

bukan hanya sebagai penghias, tetapi mempunyai makna simbol yang melekat

pada masyarakat Kudus.

Rumah sebagai bangunan fisik tidak hanya dapat dilihat dan diperlakukan

sebagai material fisik, tetapi juga sebagai simbol yang mencerminkan status sosial

penghuninya. Hal ini karena pemilik rumah memberi isi pada bangunannya

dengan makna-makna simbol tertentu yang mencerminkan jati dirinya. Dalam

kehidupan masyarakat, rumah bisa berarti identitas seseorang atau sebagai

lambang status sosial, pendidikan, ekonomi para pemiliknya (Triyanto, 2001: 5).

Keanekaragaman bentuk fisik atau kekhasan suatu bentuk rumah dan ragam

hiasnya, akan semakin nyata kehadirannya apabila dikaitkan dengan makna

simbol yang ingin dikaji.

Menurut Soegeng Toekio (1987:9) disebutkan bahwa ragam hias hadir di

tengah-tengah kehidupan masyarakat sebagai media ungkapan perasaan yang

(24)

commit to user

2 pengaruh lingkungan. Ragam hias ini ditujukan sebagai pelengkap rasa keindahan

dan kemegahan bangunan fisik rumah. Demikian juga dalam berbagai bentuk

ragam hias, terdapat pula makna simbol tertentu yang berlaku syah secara

konvensional, di lingkungan masyarakat pendukungnya. Selanjutnya dalam buku

yang sama Soegeng Toekio (1987:10) juga mengatakan bahwa ragam hias untuk

suatu benda pada dasarnya merupakan sebuah penghias yang diterapkan guna

mendapatkan keindahan atau kemolekan yang dipadukan. Ragam hias ini

berperan sebagai media untuk mempercantik atau menganggunkan sesuatu karya.

Ragam hias pada bangunan rumah Kudus, berkaitan erat dengan budaya

tradisi yang perwujudannya merupakan simbolisasi dari budaya yang tetap

dilestarikan dan diteruskan sebagai tradisi. Demikian juga penciptaan ragam hias

pada gebyok sangat berhubungan erat dengan maksud-maksud simbol tersebut.

Penciptaannya dipertimbangkan dengan baik dan cermat, sehingga kehadiran

ragam hias tersebut di samping memenuhi kebutuhan fungsi dan tuntutan

keindahan juga mengandung makna yang selaras dengan harapan hidup.

Kesejahteraan dan kedamaian hidup tampaknya merupakan tujuan utama yang

hendak dicapai (Gustami, 2000:64).

Rumah sebagai kebutuhan dasar manusia, dengan adanya budaya

mengakibatkan bentuk rumah menjadi berbeda. Selain bentuk yang berbeda juga

sangat dipengaruhi oleh kondisi sumber daya alam yang tersedia dan teknologi

yang dimiliki, juga berkaitan dengan struktur dan kehidupan sosial budaya

masyarakat (Triyanto, 2001:4). Demikian juga keberadaan rumah Kudus dalam

(25)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

rumah gebyok (Triyanto, 2001:8), kehadirannya tentu tidak terlepas dari pengaruh

budaya masyarakat Kudus yang tercermin pada bentuk joglo dan ragam hias yang

diterapkan pada bangunan rumah.

Sejalan dengan perkembangan zaman, timbul fenomena baru bahwa

nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Kudus khususnya budaya setempat yang

berkaitan dengan ragam hias mengalami perubahan. Masyarakat Kudus sudah

banyak yang tidak memperhatikan adat-istiadat dan karya-karya peninggalan

leluhurnya. Sebagai contoh, rumah Kudus yang dipenuhi dengan ragam hias

diseluruh elemen arsitekturnya hanya tinggal beberapa yang bertahan, rumah

Kudus yang dibangun dengan teknik knock down memudahkan untuk dipindahkan

ke tempat lain, dan dengan mudah dapat dijual sebagai komoditas.

Perkembangan sekarang, gebyok Kudus banyak yang diproduksi oleh

perajin, secara keseluruhannya masih menyerupai bentuk dan ragam hias aslinya

seperti yang ada di gebyok rumah Kudus, sedangkan untuk ukurannya sudah

mengikuti keinginan konsumen, motif ukirannya masih menyerupai aslinya dan

dianggap masih memiliki makna simbol yang berisi ajaran-ajaran tentang

pandangan hidup dan sikap hidup manusia Jawa. Namun ada yang sudah

mengalami perubahan terutama pada ukuran gebyok, penggunaan ragam hias dan

fungsi yang tidak mengikuti ”pakem” gebyok Kudus.

Berubahnya gebyok yang dulunya sebagai penyekat ruang jogosatru

dengan ruang tengah, menjadi gebyok yang diproduksi secara terpisah untuk

keperluan nilai keindahan rumah tinggal maupun fasilitas umum atau sebagai

(26)

commit to user

4 khusus maupun masyarakat pada umumnya. Sejalan dengan kenyataan tersebut

Gustami (1991:103) mengatakan.

Pergeseran nilai memang sudah terjadi sesuai dengan perubahan dan perkembangaan zaman. Suatu realitas yang tidak mungkin dihindari, dan itu berpengaruh langsung terhadap eksistensi seni kriya dan kerajinan. Kondisi-kondisi alam dan sosio-kultural yang membentuk seni kriya dewasa ini, sangat berbeda dengan kondisi-kondisi masa lampau ketika norma-norma dan sistem nilai telah berkembang secara kompleks dalam struktur yang rumit oleh spesifikasi disiplin yang khas.

Perubahan yang terjadi di pengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan,

teknologi yang semakin canggih, dan perubahan seni itu sendiri. Hal ini sesuai

dengan pendapat J.W.M. Bakker SJ dalam Filsafat Kebudayaan, Sebuah

Pengantar mengatakan “perubahan itu berasal dari pengalaman baru, pengetahuan

baru, teknologi baru dan akibatnya dalam penyesuaian cara hidup dan kebiasaan

kepada situasi baru” (Bakker, 1984:113)..

1.2. Masalah

1.2.1. Identifikasi Masalah

Dengan adanya perkembangan pembuatan gebyok yang dilakukan oleh

perajin gebyok Kudus, menyebabkan adanya produk replika (tiruan) baik yang

disamakan bentuk, ukuran, ragam hiasnya tetapi ada juga yang dengan sengaja

dikerjakan sesuai pesanan, sehingga terjadi perubahan pada gebyok dan ragam

hiasnya. Dengan adanya perubahan tersebut, menyebabkan terjadinya perubahan

bentuk, ciri-ciri ragam hias, pengaruh yang ditimbulkannya, dan makna simbol

yang tersimpan dalam motif ragam hias perlu dikaji lebih mendalam. Makna

simbol ragam hias terjadi bukan disebabkan dari segi kebahasaan saja atau

(27)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5 hias, tetapi juga disebabkan oleh latar belakang sosial, pengaruh luar dan

perkembangan pola fikir masyarakat.

Dalam mengkaji gebyok Kudus sesuai dengan paparan tersebut dapat

diidentifikasi permasalahan yang disajikan dalam pernyataan sebagai berikut:

Perkembangan gebyok dan makna simbol ragam hias pada gebyok Kudus harus

tetap dipahami oleh masyarakat, karena makna simbol ragam hias pada gebyok

Kudus mengantarkan ciri-ciri ragam hias pada gebyok Kudus sebagai suatu sistem

simbol masyarakat Kudus yang dalam perkembangan masa sekarang membawa

pengaruh terhadap kehidupan budaya masyarakat Kudus.

1.2.2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang ada supaya tidak meluas

permasalahan perlu dibatasi pada obyek kajian yaitu gebyok pada rumah Kudus

dan perkembangan gebyok yang diproduksi perajin Kudus, ragam hias pada

gebyok dan pengaruh yang ditimbulkan dengan adanya makna simbol ragam hias

yang ada pada gebyok terhadap masyarakat Kudus. Pembatasan permasalahn ini

dilakukan untuk lebih fokus dalam mengkaji permasalahan lebih mendalam.

1.2.3. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan permasalahan, maka perumusan

masalahnya adalah :

1.2.3.1.Bagaimana bentuk gebyok dan ragam hias pada gebyok Kudus saat ini,

(28)

commit to user

6 1.2.3.2.Bagaimana ciri-ciri ragam hias pada gebyok Kudus saat ini yang

merupakan simbol dalam kehidupan masyarakat Kudus?

1.2.3.3.Bagaimana pengaruh perubahan gebyok dan makna simbol ragam hias

pada gebyok dalam kehidupan budaya masyarakat Kudus saat ini?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian terhadap perubahan gebyok

dan makna simbol ragam hias saat ini pada gebyok Kudus, sehingga tujuannya

adalah :

1.3.1. Mendikripsikan gebyok dan perubahannya serta ragam hias pada gebyok

Kudus saat ini yang merupakan hasil budaya masyarakat Kudus

1.3.2. Mengkaji ciri-ciri ragam hias pada gebyok Kudus saat ini yang merupakan

simbol dalam kehidupan masyarakat Kudus.

1.3.3. Merumuskan pengaruh perubahan gebyok dan makna simbol ragam hias

pada gebyok dalam kehidupan budaya masyarakat Kudus saat ini.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pokok- pokok

kepentingan antara lain sebagai berikut :

1.4.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dan

pengetahuan dalam pengembangan ilmu kajian budaya, khususnya pengaruh

(29)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7 1.4.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan sebagai bahan

evaluasi dan pengambilan kebijakan bagi kegiatan pelestarian budaya di Kudus

serta dapat menjadi rujukan bagi peminat gebyok Kudus dan masyarakat pada

umumnya, mengingat peninggalan budaya yang berupa rumah Kudus dan gebyok

Kudus semakin berkurang, sehingga perlu untuk mewacanakan gebyok hasil

produksi perajin sebagai alternatifnya

1.5. Susunan Penulisan

Penyajian hasil penelitian ini merupakan suatu uraian mengenai susunan

penulisan yang dibuat secara teratur dan rinci. Susunan penulisan yang dimaksud

adalah untuk mempermudah dan memberikan gambaran secara menyeluruh

dengan jelas dari isi penelitian tersebut, yaitu:

Bab I . Menjelaskan dasar pemikiran yang menjadi titik tolak perlunya

dilakukan penelitian dan merupakan landasan bagi pembahasan bab-bab

selanjutnya. Pembahasannya mengenai latar belakang masalah, masalah yang

terdiri dari identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah

penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan susunan penulisan hasil

penelitian

Bab II. Berisi uraian secara teoritis tentang kajian budaya Jawa yang

meliputi : Kajian pustaka, kajian budaya jawa, konsep dan landasan teori

Bab III Secara umum berisi tentang metodologi penelitian yang

didalamnya diuraikan mengenai bentuk dan strategi penelitian, lokasi penelitian ,

(30)

commit to user

8 Bab IV Perubahan gebyok dan makan simbol ragam hias gebyok. berisi

tentang perubahan bentuk dan makna simbol ragam hias pada gebyok Kudus,

didalamnya membahas tentang gambaran umum Kabupaten Kudus, rumah Kudus,

kajian ragam hias pada gebyok Kudus yang mengkaji tentang penerapan ragam

hias pada gebyok. Kajiannya meliputi ragam hias pada gebyok Kudus sebagai

sistem simbol masyarakat Kudus, perubahan gebyok Kudus sebagai benda budaya

dan pengaruh perubahan gebyok dan makna simbol ragam hias dalam kehidupan

masyarakat Kudus.

Bab V Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran, yaitu hasil akhir dari

analisa data penelitian yang telah dilakukan. Pandangan hidup orang Jawa yang

sinkretistik telah mewarnai masyarakat Kudus untuk menerima sesuatu yang

datang dari luar, termasuk dalam hal ini adalah perwujudan ragam hias yang

kemudian disesuaikan dengan pandangan hidupnya yang sinkretistik itu. Ragam

hias yang diterapkan pada gebyok Kudus merupakan kompilasi dari ragam hias

yang sudah ada sebelumnya. Ragam hias tersebut berfungsi sebagai elemen

estetik dan bermakna simbol sebagai media bertutur. Sedangkan perubahan pada

gebyok meliputi : perubahan ukuran, bahan, ragam hias dan fungsi akibat adanya

permintaan dari para pengguna gebyok yang akan diterapkan pada rumah tinggal

dan fasilitas umum, sehingga ragam hias pada gebyok mengalami perubahan baik

(31)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Pustaka

Kajian gebyok dan ragam hias gebyok Kudus, dilakukan dalam disiplin

ilmu Kajian Budaya merupakan kajian yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Kajian ini tidak hanya ditujukan untuk memahami gebyok dan ragam hias gebyok

Kudus sebagai sebuah perwujudan fisik dari ilmu seni rupa saja. Dalam kajian ini

gebyok dan ragam hias gebyok Kudus merupakan objek material dari sebuah

kajian mengenai gebyok dan ragam hias. Penelitian yang memfokuskan kajian

pada gebyok dan ragam hias gebyok Kudus untuk merumuskan bentuk gebyok

dan makna simbol ragam hias yang ada di dalamnya, adalah banyaknya

permasalahan yang menyertai dan mempengaruhinya. Kenyataan ini

menunjukkan bahwa kajian ini tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan seni

rupa secara umum dan/atau perwujudan ragam hias semata-mata, tetapi harus

dikembangkan lebih lanjut pada pemahaman konsep-konsep yang menyertai dan

teori-teori yang digunakan.

Hasil penelitian tentang arsitektur rumah Kudus yang dilakukan oleh

Triyanto (1992) dalam bukunya yang berjudul “Makna Ruang dan Penataannya

Dalam Arsitektur Rumah Kudus” pada tahun 2001. Dalam penelitian yang

menjadi pokok perhatian adalah makna ruang dan penempatannya dalam

arsitektur rumah Kudus. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa ruang dan juga

(32)

commit to user

10 Kudus sebagai orang Jawa yang taat, patuh atau tunduk dalam menjalankan

ajaran-ajaran agama Islam yang menjadi pedoman dan bersifat normatif dalam

kehidupan mereka. Penelitian ini cukup banyak memberikan informasi tentang

rumah Kudus beserta budayanya yang dapat dijadikan sumber data sekunder

dalam penelitian ini.

Hasil penelitian lain dari Bayu Widiantoro (2003) dalam tesisnya yang

berjudul “Peranan Proporsi Terhadap Ukuran Ruang Interior Rumah Tradisional

Kudus Joglo Pencu” , menyimpulkan bahwa dilihat pola proporsi yang muncul

dan budaya yang berlaku dikalangan masyarakat Kudus, maka pola proporsi yang

diterapkan dalam rumah tradisional Kudus Joglo Pencu ini bukan sebagai suatu

hal yang muncul dengan tiba-tiba, tetapi muncul sebagai suatu bentuk warisan

budaya yang berkembang di kalangan masyarakat Kudus. Rumah tradisional

Kudus mempergunakan suatu pola proporsi tertentu untuk membentuk keindahan

di dalam bangunannya. Kendati dalam penelitian Bayu Widiantoro tentang

Proporsi Terhadap Ukuran Ruang Interior Rumah Tradisional Kudus Joglo Pencu

hanya ditempatkan pada objek arkeologi-budaya yang pengungkapan makna

simboliknya hanya berdasar informasi sepihak dari penulisnya, tetapi hasil

penelitian tersebut paling tidak dapat dijadikan data sekunder dalam penelitian ini

Hasil penelitian tesis lain yang lebih fokus pada gebyok oleh Yusuf Istanto

(2008) penelitiannya adalah untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan

kerajinan gebyok Kudus menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2002 tentang Hak Cipta dan untuk mengetahui dan menganalisis mengenai

(33)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11 gebyok Kudus menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.

Penelitian ini menunjukan bahwa masih banyak perajin gebyok yang setia

memakai pakem ukir dalam membuat gebyok Kudus meskipun tak jarang perajin

membuat gebyok Kudus dengan motif hasil kreasi sendiri sesuai dengan

permintaan dari pemesan gebyok Kudus. Gebyok Kudus sebagai kerajinan yang

didapat secara turun temurun merupakan salah satu kerajinan yang dapat

dikategorikan sebagai pengetahuan tradisional akan tetapi UUHC 2002 belum

cukup memberikan perlindungan terhadap Hak Cipta gebyok Kudus. Pemerintah

Kabupaten Kudus menyadari bahwa kerajinan gebyok Kudus merupakan aset

daerah yang berharga dan merupakan salah satu produk unggulan Kudus. Untuk

itu Pemkab Kudus melalui klinik HKI Universitas Diponegoro Semarang untuk

mendaftarkan Hak Cipta gebyok Kudus. Dari penelitiannya Yusuf Istanto (2008)

dapat memberikan informasi tentang gebyok Kudus yang dapat dijadikan data

sekunder dalam penelitian ini.

Dari tiga hasil penelitian mengenai rumah tradisional dan gebyok Kudus di

atas dapat dicatat dua hal penting. Pertama, ketiga kajian di atas memiliki

persamaan dalam memposisikan rumah tradisional Kudus maupun gebyok Kudus

sebagai objek rekayasa yang mencerminkan falsafah hidup Jawa yang berinti pada

pencapaian kesempurnaan hidup. Kedua, ketiga kajian di atas memiliki kesamaan

dalam memposisikan rumah adat Kudus dan gebyok serta mitos-mitos yang

melekat sebagai arkeologi-budaya sehingga rumah tradsional Kudus yang selama

ini dianggap mempunyai makna simbol yang tinggi, tanpa sadar hanya dipandang

(34)

commit to user

12 2.2. Kajian Budaya Jawa

2.2.1. Wujud Kebudayaan

Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitas

dan Pembangunan (1992:5) menulis bahwa kebudayaan manusia mengandung

tiga wujud. Pertama, kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide,

gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, kebudayaan

sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan dari manusia dalam masyarakat.

Ketiga, kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Ia bisa berupa

kebudayaan nyata, tampak fisiknya, karena merupakan hasil karya masyarakat

yang bersangkutan. Selanjutnya Koentjaraningrat (1992:2) menganalisis budaya

manusia, yang terdiri dari unsur-unsur universal kebudayaan. Unsur-unsur

universal itu, merupakan isi dari semua kebudayaan di dunia ini, yakni : (1)

Sistem religi dan upacara keagamaan. (2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan.

(3) Sistem pengetahuan, (4) Bahasa, (5) Kesenian, (6) Sistem mata pencaharian

hidup dan (7) Sistem teknologi dan peralatan. Dari ketujuh unsur kebudayaan

tersebut menjadikan budaya manusia terwujud karena perkembangan lingkungan

serta norma-norma hidupnya. Norma hidup ini terwujud dalam bentuk alam

pikiran, alam budi, karya, tata susila dan seni.

Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang

berbeda-beda tersebut mempunyai kebudayaan khas yang merupakan ciri-ciri kebudayaan

daerah. Ciri penting dalam kebudayaan daerah adalah unsur tradisi yang berakar

dan turun temurun pada masyarakat kesukuan misalnya unsur religi, etika, adat

(35)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13 munculnya kebudayaan nasional merupakan potensi yang sangat strategis untuk

dilestarikan, sehingga ditegaskan oleh Koentjaraningrat (1992:107-111) bahwa

kebudayaan nasional adalah sebagai suatu sistem gagasan dan perlambang yang

memberi identitas kepada warga Indonesia. Dalam rangka menunjang fungsi

kebudayaan nasional, tentu tidak bisa mengabaikan begitu saja perkembangan

kebudayaan daerah, karena kebudayaan nasional tetap berorientasi pada

kebudayaan daerah di samping peradaban masa kini. Kebudayaan daerah sebagai

penghayatan masyarakat mampu memberikan benih serta berbagai unsur yang

perlu ditingkatkan ditaraf kebudayaan nasional. Pelestarian dan pengembangan

kebudayaan daerah sangat perlu, kemudian dilakukan penyeleksian nilai positif

yang bisa ditingkatkan sebagai kebudayaan nasional.

2.2.2. Kebudayaan Jawa

Secara umum kebudayaan Jawa dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu

”kebudayaan pedalaman” dan ”kebudayaan pesisir”. Daerah pedalaman Jawa

yang berpusat di Yogyakarta dan Surakarta atau yang bisa disebut wilayah

kebudayaan Jawa Negarigung, sedangkan ”Kebudayaan Pesisir” meliputi daerah

– daerah pesisir pantai utara Jawa yang berpusat di wilayah Blambangan, Pati,

Tegal (Sukmawati, 2004:12).

Masyarakat Jawa memiliki pandangan hidup atau falsafah dalam

memahami makna kehidupan, sehingga mempunyai pedoman dalam melakukan

kegiatan sehari-hari. Demikian juga kebudayaan Jawa mempunyai pengertian,

norma, nilai, tata aturan, gagasan, ide, etika, estetika dan hasil karya yang

(36)

commit to user

14 demikian dapat menimbulkan cara pandang masyarakat Jawa terhadap

kehidupannya serta menciptakan kaidah kehidupan masyarakat Jawa, yaitu prinsip

rukun dan hormat demi terciptanya keselarasan.

Kebudayaan Jawa memiliki ciri khas yang terletak pada kemampuan untuk

menerima pengaruh kebudayaan lain dan tetap mempertahankan kebudayaan

aslinya. Selain menemukan jati diri dan berkembang kekhasannya dari pengaruh

luar, identitasnya semakin berwarna setelah masuknya budaya Islam di pulau

Jawa. Pelaku budaya Jawa adalah orang Jawa, berdasarkan masuknya agama di

Jawa maka dibagi menjadi tiga kategori, yaitu : Jawa pra Islam, Jawa Abangan,

dan Jawa Santri ( Jawa – Islam ). Meskipun demikian orientasi mereka terarah

pada satu budaya yang dipegang erat, sebab itu orang Jawa sebagai penduduk

terbesar di Indonesia mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap budaya

Indonesia (Koentjaraningrat, 1993:15).

Istilah orang Jawa dan masyarakat Jawa memiliki perbedaan dalam

konteks cakupan dan jumlah. Orang Jawa atau manusia Jawa cakupannya sempit

dan menyangkut individu atau orang per orang , sedangkan masyarakat Jawa lebih

luas dan mencakup komunitas yang hidup di pulau Jawa. Orang Jawa sendiri

membedakan dua golongan sosial , yaitu wong cilik atau orang kecil yang terdiri

dari sebagian petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota. Golongan

dua adalah kaum priyayi, termasuk didalamnya para pegawai dan para intelektual

(Koentjaraningrat, 1993:20).

Koentjaraningrat berpendapat bahwa seperangkat nilai-nilai yang

(37)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15 kebudayaan. Kebudayaan manusia mengandung tiga dimensi, yakni kebudayaan

sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma

peraturan dan pikiran manusia, terdapat pada alam pikir manusia, berupa

tulisan-tulisan serta karangan-karangan. Wujud pertama ini disebut pula sistem budaya,

sebab bagian-bagian ide, gagasan atau pikiran yang ada di dalam kepala tidak

terlepas-lepas, melainkan saling berkaitan menjadi satu sistem yang relatif mantap

dan berkesinambungan. Apabila ide seseorang tidak merupakan suatu sistem,

maka jiwa orang itu seperti terganggu , pikirannya tidak mantap berubah-ubah,

tidak konsisten dan tidak berkelanjutan. Kebudayaan sebagai kompleks aktivitas

yang sudah terpola dalam masyarakat, berupa sistem sosial dalam masyarakat.

Kompleknya aktivitas manusia disebut pula sebagai sistem sosial sebab,

terjadinya aktivitas itu karena adanya saling berkomunikasi dan berinteraksi

sesama manusia. Sistem sosial telah ditata dan diatur oleh gagasan atau tema

berpikir tertentu, sehingga mewujudkan aktivitas dan produktivitas yang positif.

Aktivitas interaksi berupa pertemuan-pertemuan atau persekutuan yang hasilnya

positif, walaupun wujudnya ada yang berupa pertengkaran, akibat positif yang

sering muncul adalah gagasan atau konsep yang menguntungkan. Kebudayaan

sebagai hasil karya suatu masyarakat, berupa benda-benda berukuran besar

maupun kecil, tampak fisiknya maupun kasat mata, dan benda-benda bergerak

maupun tidak bergerak. Kebudayaan fisik lahir karena aktivitas manusia dalam

bentuk interaksi yang memerlukan sarana berupa benda yang dihasilkan manusia

(38)

commit to user

16 Kebudayaan menempati posisi sentral dalam seluruh tatanan hidup

manusia, karena tidak ada manusia yang dapat hidup di luar ruang lingkup

kebudayaan. Manusia sebagai pencipta kebudayaan, makhluk budaya merupakan

suatu fakta historis yang tidak bisa terbantahkan oleh siapapun sebagai pencipta

kebudayaan. Holt (2000:xxi) mengatakan bahwa pada sebagian besar studi

tentang Indonesia, tak dapat dihindari bahwa Jawa tetap merupakan pusat

perhatian. Hal ini bukan karena Jawa sepanjang sejarah merupakan fokus paling

penting dari kekuasaan dan perdagangan antar pulau dan antar bangsa yang

memusat, tetapi Jawa juga menyediakan sejumlah besar rekaman-rekaman

sejarah.

Pulau Jawa berdasarkan tipe sosial budaya masyarakatnya dapat dibagi

dua, yaitu: masyarakat yang bertempat tinggal di daerah sepanjang pantai/dataran

rendah, sering disebut masyarakat pesisir dengan karakter sosial yang lebih

terbuka, dan masyarakat yang berdomisili di sekitar daerah pegunungan/dataran

tinggi yang sering disebut sebagai masyarakat pedalaman, cenderung lebih

tertutup terhadap segala perubahan yang bertentangan dengan budaya aslinya.

Daerah itu ialah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan

Kediri. Yogyakarta dan Surakarta, merupakan pusat dari kebudayaan tersebut

(Kodiran, 2002:329). Kebudayaan Jawa yang hidup di Yogyakarta dan Surakarta

merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di kraton. Peradaban ini

menghasilkan kesenian yang tinggi dan ditandai dengan kehidupan keagamaan

yang sinkretistik, campuran dari unsur-unsur agama Hindu, Budha, dan Islam.

(39)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17 (Koentjaraningrat, 1994:26).

Gambar II.1 : Peta pembagian wilayah kebudayaan Jawa (sumber: Koentjaraningrat, 1994:27)

Di antara sekian banyak daerah tempat kediaman orang Jawa ini terdapat berbagai

variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur-unsur

kebudayaannya, seperti perbedaan mengenai berbagai istilah teknis, dialek bahasa

dan lain-lainnya, namun masih menunjukkan satu pola ataupun satu sistem

kebudayaan Jawa. Lebih rinci Koentjaraningrat (1994:26) membagi peta wilayah

kebudayaan Jawa menjadi 12 daerah kebudayaan Jawa meliputi Banten, Sunda,

Banyumas, Bagelen, Pesisir Kilen, Pesisir Wetan, Negarigung, Mancanegari,

Surabaya, Madura, Tanah Sabrang Wetan dan Blambangan.

Kebudayaan Jawa yang hidup di pesisir pantai Utara Jawa biasa disebut

dengan kebudayaan pesisir. Kebudayaan ini meliputi daerah dari

Indramayu-Cirebon di sebelah Barat, sampai ke Gresik di sebelah Timur. Koentjaraningrat,

(1994:26) menyarankan untuk memecah kebudayaan pesisir ke dalam sub daerah

pesisir Barat yang meliputi daerah Cirebon, Tegal dan Pekalongan, sub bagian

tengah yang meliputi kota Kudus, Demak dan daerah di sekitarnya, dan sub

(40)

commit to user

18 hanya membedakan antara suatu sub daerah Barat yang pusatnya di Cirebon, dan

suatu sub daerah Timur yang berpusat di Demak. Penduduk daerah pesisir ini

pada umumnya memeluk agama Islam puritan yang juga mempengaruhi

kehidupan sosial budaya mereka.

2.2.3. Religi Orang Jawa

Masyarakat Jawa sudah sejak lama telah mengenal adanya kekuatan yang

dimiliki oleh benda-benda bertuah maupun pada arwah leluhur. Pemujaan pada

kekuatan benda-benda bertuah disebut dinamisme dan pemujaan pada arwah

leluhur disebut animisme. Religi Jawa semacam ini masih berlangsung sampai

sekarang, yaitu dengan adanya ritual-ritual dan sesaji. Ritual dan sesaji adalah

bentuk negosiasi supranatural, agar kekuatan adikodrati, mau diajak

kerjasama. (Sudarso SP, 1990:14) mengatakan bahwa ritual magis digunakan

sebagai alat untuk mencapai sesuatu tujuan dengan cara yang irrasional

misalnya dipergunakan untuk mencari persahabatan dengan sesuatu di luar

manusia, mencari perlindungan ataupun secara magis diharapkan mempengaruhi

keadaan. Animisme dan dinamisme adalah religi Jawa kuno yang mewarnai

keyakinan orang Jawa. Wujud nyata dalam pemujaan roh dan kekuatan benda

melalui permohonan berkah. Roh dan benda-benda di sekitar manusia dianggap

memiliki kekuatan sakti dan dapat mendatangkan kebahagiaan atau sebaliknya.

Orang Jawa mengenal orang sakti yang kekuatannya diperoleh dari perewangan

yang tak lain merupakan bantuan roh leluhur atau nenek moyang dan

jimat dari benda-benda bertuah.

(41)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19 orang meninggal. Dalam tradisi Jawa, selamatan memperingati roh orang yang

meninggal dilaksanakan sesuai dengan hari keberapa selamatan itu dilaksanakan,

yaitu slametan surtanah (geblag), nelung dina, pitung dina, matang puluh,

nyatus, mendak pisan, mendak pindho, dan nyewu. Pada waktu selamatan sesaji

selalu ada yang diperuntukkan bagi roh orang yang telah meninggal. Keyakinan

terhadap kekuatan benda sakti nampak pada kebiasaan untuk melaksanakan ritual

kutukan dan siraman benda pusaka. Ritual kutukan dilaksanakan setiap malem

Selasa Kliwon dan malem Jemuwah Kliwon. Caranya dengan membakar

kemenyan pada sebuah dupa, lalu benda pusaka tersebut dilambai-lambaikan

di atas pedupaan. Hal ini merupakan tindakan memberi makan kepada benda

pusaka tersebut. Sedangkan pembersihan benda pusaka dilaksanakan setahun

sekali pada bulan Sura, dengan cara dijamasi (dicuci).

Orang Jawa percaya bahwa rumah yang mereka tempati dijaga oleh roh

halus, sehingga pemberian sesaji juga diberikan kepada dhanyang merkayangan,

sing mbaurekso, yaitu roh leluhur yang menjaga tidak saja rumah tempat tinggal,

tetapi juga desa mereka. Tempat-tempat yang dianggap wingit (sakral) juga tidak

luput dari pemberian sesaji, karena dianggap ada penunggunya, seperti pohon

besar, perempatan jalan, jembatan dan sebagainya. Penunggu tersebut harus diberi

sesaji agar mau membantu hidup manusia.

2.2.4. Akulturasi Budaya

Kota Kudus yang terletak di pesisir utara Jawa, masyarakatnya

mengandalkan sektor perdagangan sebagai penunjang perekonomiannya. Akses

(42)

commit to user

20 Kontak budaya melalui perdagangan membuka jalan terjadinya percampuran

kebudayaan, yang tidak didasarkan pada keinginan untuk menyebarkan

kebudayaan tetapi penyebaran kebudayaan merupakan akibat dari perdagangan.

Hubungan dagang yang membentuk masyarakat dagang itu di

pusat-pusat perdagangan sekaligus memungkinkan penyebaran kebudayaan baru yang

berasal dari para pedagang pendatang. Terjadilah apa yang disebut dengan

akulturasi budaya. Yudoseputro (1993:30) mengatakan bahwa akulturasi

budaya adalah proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling

mempengaruhi. Bertemunya dua kebudayaan tersebut disebabkan adanya

penyebaran kebudayaan yaitu kebudayaan asing dengan kebudayaan dari suatu

masyarakat atau bangsa tertentu. Akibat dari bertemunya kebudayaan itu timbul

proses penyerapan unsur-unsur kebudayaan itu sendiri. Pada tingkat awal proses

percampuran kebudayaan tersebut, pihak peneriman cenderung untuk menerima

kebudayaan asing seperti apa adanya.

2.2.5. Sinkretisme dalam Budaya Jawa

Sinkretisme dalam budaya Jawa dianggap ciri paling menonjol dalam

religi orang Jawa, sehingga pembahasan tentang sinkretisme dalam budaya

Jawa berkaitan dengan religi orang Jawa, mengingat hasil-hasil kesenian

seringkali berhubungan dengan ritual keagamaan. Aryono dalam Sujamto

(2000:13) berpendapat bahwa sinkretisme sering diartikan sebagai kombinasi

segala unsur dari berbagai agama yang berbeda-beda, kemudian terpadu

menjadi satu yang kemudian dijadikan sebagai agama dalam versi baru.

(43)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21 baru yang merupakan perpaduan dari beberapa paham (aliran) yang berbeda untuk

mencari keserasian, keseimbangan, dan sebagainya. Dalam KBBI juga

menjelaskan kata sinkretisasi sebagai penyerasian (penyesuaian, penyeimbangan,

dan sebagainya) antara dua aliran (agama dan sebagainya), adasinkretisasi Budha

dan Syiwa menjadi Budha Mahayana. Dari pengertian sinkretisme di atas dapat

disimpulkan bahwa sinkretisme dalam budaya Jawa adalah kecenderungan

budaya Jawa yang melakukan suatu proses pertemuan atau perpaduan dua

atau lebih aliran.

Ketika Hindu dan Budha masuk ke Jawa, terjadilah proses sinkretisasi.

Kepercayaan animisme dan dinamisme berbaur dengan Hinduisme dan Budhisme.

Sinkretisme memadukan, mencampur, menyelaraskan dua keyakinan atau lebih

menjadi suatu keyakinan yang baru. Pengaruh Hindu diterima secara kreatif

karena terdapat suatu pemahaman yang sejajar tentang religi animisme dinamisme

yaitu manusia bisa menjalin hubungan langsung dengan dewa-dewa dan roh

halus. Bahkan dengan laku Tarak Brata manusia bisa jadi sakti dan mengalami

bersatu dengan dewanya (Simuh dalam Dhanu, 2004:19). Wujud yang paling

menonjol dari sinkretisme Jawa dengan Hindu, Budha adalah Mistik Kejawen

(Suwardi, 2003:63).

Keadaan seperti itu terjadi pula ketika Islam masuk pada abad 15 dan

menjadi kekuatan kebudayaan dan agama utama di kepulauan Nusantara pada

abad 15 dan 16. Ajaran Islam yang masuk melalui jalur perdagangan di pesisir

pantai Utara Jawa menghadapi budaya lokal yang sudah banyak diresapi oleh

(44)

commit to user

22 sinkretisasi antara agama Hindu, Budha, dan Islam diramu menjadi bentuk

Kebatinan Jawa. Sinkretisme di Jawa telah diolah dan disesuaikan dengan adat

istiadat Jawa, lalu dinamakan agama Jawa atau Kejawen, Koentjaraningrat

(1994:341) menyebutnya dengan Agami Jawi. Sinkretisme yang selanjutnya

dipelopori oleh kaum abangan, semakin kental dan sulit dikenali mana budaya

yang terkena pengaruh dan mana budaya asli. Bahkan manusia Jawa sendiri tidak

begitu mempersoalkan antara yang asli dan tidak asli. Manusia Jawa

menerima kontak budaya spritual dan selanjutnya hasil sinkretisme itu diakui

sebagai miliknya. Proses sinkretisasi yang terjadi pada kehidupan religi Jawa

juga berpengaruh pada hasil-hasil kesenian Jawa pada umumnya. Kesenian

Jawa prasejarah yang animisme-dinamisme tidak serta merta hilang dengan

datangnya agama Hindu dan Budha. Peninggalan keseniannya menunjukkan

fenomena ini, seperti yang terdapat pada candi-candi yang merupakan puncak

hasil kesenian jaman Hindu dan Budha. Bahkan yang terjadi adalah berpadunya

konsep religi Jawa kuno dan Hindu tersebut menumbuhkan kebudayaan Hindu

Jawa yang menghasilkan seni ukir dengan kekayaan motif-motifnya beserta

perlambangan-perlambangan yang terkandung didalamnya. Demikian juga ketika

Islam datang, ciri-ciri artefak yang telah ada tidak dihilangkan, tetapi disesuaikan

dengan kepentingan Islam. Sebagai contoh dapat dilihat pada hiasan ukiran yang

terdapat pada dinding masjid Mantingan Jepara. Motif ukiran masjid Mantingan

yang didirikan pada masa kejayaan Islam di Jawa, menunjukkan ciri-ciri

(45)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23 2.2.6. Kesenian Jawa

2.2.6.1. Pengertian Kesenian Jawa

Dalam membahas kesenian Jawa tidak bisa dilepas dari masyarakat

pendukungnya, keberadaannya menyatu dengan masyarakat pendukungnya,

karena kesenian Jawa merupakan bagian yang integral dari masyarakatnya.

Demikian halnya dengan kesenian Jawa tentu mempunyai jiwa sesuai dengan

zaman ketika kesenian Jawa diciptakan. Seni tradisi Jawa tampaknya selalu

melekat dengan budaya Jawa, sehingga manusia terpengaruh dengan

kekuatan-kekuatan supranatural yang ada di luar dirinya.

Seni juga bukan sebagai kegiatan pertunjukan atau hiburan, melainkan

sebagai acara ritual yang sifatnya sakral untuk menanggapi keadaan alam, yang

dipengaruhi kepercayaan animisme dan dinamisme serta adanya pengaruh dari

agama Hindu, di masyarakat Jawa banyak yang menyatu dalam kegiatan

keseniannya. Apabila akan membicarakan sejarah kesenian (seni) Jawa, harus

mengungkap konsep kesenian Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari estetika.

Di Jawa, orang mengenal konsep adi luhung, Adi mempunyai makna

linuwih, melebihi segalanya atau mempunyai nilai lebih, sedangkan luhung

mempunyai makna luhur, tinggi melebihi yang lain. Para seniman tradisi

menempatkan adi luhung sebagai cita-cita yang diharapkan dan diyakini akan

terwujud. Dalam seni masyarakat tradisi Jawa yang sudah mengakar ini pun tidak

bisa lepas dari pandangan seniman dan masyarakatnya yang sampai sekarang

(46)

commit to user

24 2.2.6.2. Jenis-jenis Kesenian Jawa

Kesenian di Jawa begitu beragam macamnya, adapun jenis-jenis kesenian

yang menggunakan ragam hias di antaranya adalah :

a. Wayang Kulit.

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, terutama berkembang

di Jawa. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi

narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh suara gamelan yang

dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para

pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang

terbuat dari kain putih, Sementara dibelakangnya disorotkan blencong (lampu

minyak) atau lampu listrik, sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari

layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat

memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan

tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar. Secara umum wayang

mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi

hanya dengan pakem (standar) tersebut, Ki Dalang bisa juga memainkan lakon

carangan (gubahan).

b. Batik

Batik Jawa telah lama ada, bahkan merupakan produk seni rupa paling

tua di Indonesia. Secara terminologi, kata batik berasal dari kosa kata bahasa

Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain

dengan corak yang dihasilkan oleh bahan malam yang dituangkan ke atas kain

(47)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25 bangsawan kraton di Jawa, kain batik dikenakan sebagai busana mereka. Kain

batik di lingkungan kraton merupakan kelengkapan busana yang dipergunakan

untuk segala keperluan, busana harian, busana keprabon, busana untuk

menghadiri upacara tradisi, dan sebagainya. Busana pria Jawa yang terdiri dari

tutup kepala (blangkon), nyamping, semuanya berupa kain batik. Begitu pula

dengan kelengkapan busana putri Jawa yang juga berupa kain batik. Batik

merupakan hasil seni budaya yang memiliki keindahan visual dan mengandung

makna filosofis pada setiap motifnya.

c. Seni Ukir

Seni ukir atau ukiran merupakan gambar hiasan dengan bagian-bagian

cekung (kruwikan) dan bagian-bagian cembung (buledan) yang menyusun

suatu gambar yang indah. Pengertian ini berkembang hingga dikenal sebagai

seni ukir yang merupakan seni membentuk gambar pada kayu, batu, atau

bahan-bahan lain. Seiring dengan perkembangan zaman, yaitu saat agama

Hindu dan Budha masuk ke Indonesia, seni ukir di Jawa mengalami

perkembangan. Puncak keemasan seni ukir dengan menggunakan media batu

terjadi sekitar abad ke 10, yaitu pada zaman kerajaan Hindu dan Budha di

Jawa. Pada zaman inilah seni ukir disebut seni ukir klasik. Bentuk seni ukir

tersebut dapat dilihat di relief-relief candi yang banyak tersebar di Jawa

Tengah. Bentuk motif yang ada pada relief tersebut di antaranya tumbuhan,

(48)

commit to user

26 2.2.7. Ragam Hias Sebagai Bentuk Rupa dan Simbol

2.2.7.1. Latar Belakang Ragam Hias

Manusia mempunyai kebutuhan yang bersifat jasmani dan rohani.

Kebutuhan jasmaniah menimbulkan upaya-upaya untuk memenuhinya, yang

dapat dilihat pada benda-benda yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan

jasmani tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, manusia berburu dan

menciptakan alat-alat untuk berburu. Kebutuhan rohani, manusia mempunyai

kebutuhan rohani yang beraneka ragam, salah satunya adalah kebutuhan akan

rasa keindahan. Perwujudan dari kebutuhan ini diekspresikan dalam bentuk yang

beraneka ragam pula, dalam bentuk gerak, nyanyian dan keinginan manusia untuk

menghias benda-benda yang diciptakannya.

Berekspresi estetik merupakan salah satu kebutuhan manusia yang

tergolong ke dalam kebutuhan integratif. Kebutuhan integratif ini muncul karena

adanya dorongan dari dalam diri manusia yang secara hakiki senantiasa ingin

merefleksikan keberadaannya sebagai mahluk yang bermoral, berakal, dan

berperasaan. Kebutuhan estetik, secara langsung maupun tidak langsung, terserap

dalam kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan lainnya, baik dalam pemenuhan

kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, maupun kebutuhan integratif lainnya,

yang berkaitan dengan perasaan baik dan benar, adil dan tidak adil, serta masuk

akal atau tidak masuk akal (Rohidi, 2000:9)

Menurut Herbert Read dalam Haryanto (2004:124), manusia pada

dasarnya memiliki kebutuhan untuk menghias terhadap segala sesuatu yang

(49)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27 setiap periode dan peradaban. Pada manusia terdapat perasaan yang dinamakan

horror vacui, yaitu perasaan yang tidak dapat membiarkan tempat atau bidang

kosong. Perasaan ini terutama terdapat pada suku primitif tertentu dan

pada periode suatu peradaban.

Dalam kebudayaan Indonesia, seni hias merupakan aspek yang sangat

penting, mengingat peninggalan-peninggalan yang ditemukan hampir selalu

menyertakan hiasan pada artefak-artefaknya. Keinginan kuat pada seni hias ini,

dalam beberapa hal diekspresikan dengan keterampilan yang tinggi. Potensi

alamiah dalam seni hias senantiasa merupakan ciri karakteristik bangsa Indonesia.

Kreatifitas artistik dalam seni Indonesia masa silam bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan ritual keagamaan dan magis, sehingga ragam hias mempunyai makna

simbolik.

Kepercayaan terhadap kekuasaan alam yang memberi kehidupan,

kebahagiaan serta ketentraman batin, telah melahirkan keinginan yang kuat untuk

memujanya. Manusia primitif percaya adanya kekuatan lain yang menciptakan

alam ini. Namun dengan alam pikiran yang masih sederhana dan keinginan

memuja sesuatu yang lebih kongkrit, maka alam pikiran ini menjelma menjadi

wujud lambang. Lambang-lambang kesuburan dan kebahagiaan, kekuasaan, bumi,

air, matahari dan sebagainya adalah bentuk pernyataan lahir dari alam pikiran

yang religi–magis. Kultur nenek moyang dengan segala kepercayaan yang

terkandung di dalamnya melahirkan karya seni prasejarah dan merupakan dasar

perkembangan dari segala perwujudan seni dalam ajaran Hindu dan Islam di

Gambar

Tabel IV.1  Penerapan Ragam Hias Sebagai Sistem Simbol Ragam Hias pada
Gambar II.1 : Peta pembagian wilayah kebudayaan Jawa
Gambar II.2  Ragam Hias corak Manusia
Gambar II.4  Ragam Hias corak Tumpal
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyimpanan telur ayam kampung yang dipelihara dari kelompok peternak ayam buras Mertasari Abiansemal Badung yang disimpan

Functionality terdiri dari: suitability (kemampuan perangkat lunak untuk menyediakan serangkaian fungsi yang sesuai untuk tugas-tugas tertentu dan tujuan pengguna),

1.1 Memahami pengucapan dan penulisan kata dalam kalimat Bahasa Arab tentang ta’aruf 1.2 Memahami bacaan yang berunsur dlomir4. munfashil dalam bacaan tentang ta’aruf 1.3

Dalam hal terdapat perbedaan data antara DIPA Petikan dengan database RKA-K/L-DIPA Kementerian Keuangan maka yang berlaku adalah data yang terdapat di dalam database

Dokumen Izin Usaha yang dimiliki oleh PKP2B PT Berau Coal adalah IPK Pada APL bukan Pada Areal kawasan hutan yang dilepas.. 6

Berdasarkan pada uraian ini, baik studi kelayakan maupun evaluasi proyek sama-sama bertujuan untuk menilai kelayakan suatu gagasan usaha/proyek dan hasil dari penilaian kelayakan

Struktur modal sendiri yang dimiliki KPRI Sri Rejeki Kecamatan Donomulyo terdiri dari beberapa aspek, yaitu (1) Simpanan Pokok Anggota, (2) Simpanan Wajib Anggota, (3)

Formularium merupakan referensi yang berisi informasi yang selektif dan relevan untuk dokter penulis resep, penyedia/peracik obat dan petugas kesehatan lainnya