perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
KAJIAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM HIAS
PADA RUMAH KUDUS
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Ujian Sidang Pascasarjana Program Studi Kajian Budaya
Minat Utama : Seni Rupa
Oleh
Zainul Arifin MA
S.701008018
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
ii
KAJIAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM HIAS
PADA RUMAH KUDUS
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Ujian Sidang Pascasarjana Program Studi Kajian Budaya
Minat Utama : Seni Rupa
Oleh
Zainul Arifin MA
S.701008018
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
KAJIAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM HIAS
PADA RUMAH KUDUS
Oleh
Zainul Arifin MA
S.701008018
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing:
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof.Dr. Nanang Rizali, MSD ……… ……….. NIP. 19500709 198003 1 003
Pembimbing II Dr. Nooryan Bahari, MSn ……….. ………. NIP. 19650220 199003 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Kajian Budaya
commit to user
iv
KAJIAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM
HIAS PADA RUMAH KUDUS
Oleh
Zainul Arifin MA
S.701008018
Telah disetujui oleh Dewan Penguji:
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum ……… ……….. NIP. 19640918 198903 1 001
Sekretaris Dr. Titis Srimuda Pitana, ST.,M.Trop.Arch …………. ………... NIP. 19680609 199402 1 001
Penguji I Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD ...……….. ………. NIP. 19500709 198003 1 003
Penguji II Dr. Nooryan Bahari, M.Sn ………… ………. NIP. 19650220 199003 1 001
Mengetahui,
Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Kajian Budaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PERNYATAAN
Nama : Zainul Arifin MA
NIM : S.701008018
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Kajian Gebyok Dan Makna Simbol Ragam Hias Pada Rumah Kudus, adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditujukan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Kudus, April 2012 Penulis,
Zainul Arifin MA
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan kepada : 1. Istri dan anak-anak ku tercinta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“ Hidup itu Indah“
commit to user
viii
ABSTRAK
Zainul Arifin MA, 2012 : Kajian Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias pada Rumah Kudus . Tesis Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana F Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Ragam hias pada gebyok rumah Kudus berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya masyarakat Kudus, terutama dalam kerangka budaya yang melatarbelakangi ketertarikan untuk memahami lebih jauh keberadaan gebyok dan ragam hiasnya, terutama perkembangan gebyok, ragam hias dan maknanya. Berdasarkan pada perspektif budaya, bentuk dan corak ungkapan kesenian tidak semata hanya untuk pemenuhan keindahannya saja, melainkan juga terkait dengan pemenuhan lainnya. Ragam hiasnya dipandang sebagai salah satu cara pemuasan akan keindahan yang keberadaannya dipenuhi beragam simbol elemen hias. Peciptaan ragam hias biasanya berkaitan erat dengan pandangan hidup masyarakat
Melihat letaknya, Kudus termasuk dalam akar budaya Jawa pesisir yang mengandalkan sektor perdagangan sebagai penunjang perekonomiannya, akses untuk berhubungan dengan dunia luar mengakibatkan adanya kontak budaya. Kontak budaya melalui perdagangan membuka jalan terjadinya percampuran kebudayaan. Hubungan yang semula sekedar hubungan perdagangan akhirnya berkembang menjadi hubungan yang saling mempengaruhi antar budaya masing-masing, terjadilah proses akulturasi budaya yang pada akhirnya ikut membentuk budaya Jawa Kudus. Akulturasi budaya ini tidak hanya terbatas pada nilai-nilai dan pengetahuan saja, tetapi juga berpengaruh kepada artefak budayanya.
Sesuai dengan kondisi obyek penelitian, masalah yang dikaji, dan tujuan yang akan dicapai, maka perlu memilih strategi yang tepat. Gebyok dan makna simbol ragam hias Kudus merupakan fenomena artefak yang tidak dapat dilepaskan dari konteks sosio kultural dan proses kesenian yang mempunyai latar belakang multi aspek, yang merupakan paradigma kualitatif, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Berdasarkan tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, yaitu lebih ditekankan pada upaya mengungkap perkembangan gebyok dan menemukan makna simbol dari sebuah fenomenal yang kompleks, maka penelitian ini ditekankan pada penelitian kualitatif deskriptif untuk mendapatkan temuan penelitian yang akurat.
Di dalam motif hias tersebut terdapat suatu arti simbolis yang mengandung nasehat, pesan, dan arti filosofi bagi masyarakat. Ragam hias di gebyok Kudus dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha, Cina, Islam dan Eropa yang diwujudkan dalam motif bunga, kala, peksi, kawung, jalinan, wajikan, kerang, sorot, ukel, nanasan, mahkota, daun pisang. Selain untuk memenuhi fungsi estetik, ragam hiasnya juga bermakna simbol yang berfungsi sebagai media rupa untuk menyampaikan pesan yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman hidup masyarakat setempat.
Perubahan pada gebyok yang meliputi perubahan ukuran, bahan, ragam hias dan fungsi akibat adanya permintaan dari para pengguna gebyok yang akan diterapkan pada rumah tinggal dan fasilitas umum, sehingga ragam hias pada gebyok mengalami perubahan baik kualitas pengerjaan maupun makna simbol ragam hiasnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kudus society, especially within the framework of cultural background interest to understand ornament of gebyok so far, especially the outgrowth of gebyok, ornament, and meaning. Based on perspective culture, form, and artistic expression motive not only for the fulfillment of its beauty, but also relate to other. Ornament seen as one way the grateful of wonderfulness whose existence filled diverse symbol element of ornament. Making of the ornament usually closely related to view of society life
According the location, including the cultural roots of the Kudus coast of Java that relies on the trade to support its economy, access to get in touch with the outside world results in cultural contacts. Cultural contacts through trade paves the way of coexistence of cultures. The relationship is a mere trade relations eventually evolved into a relationship that interplay between their respective culture, acculturation process that ultimately join the cultural forms of javanese culture. Acculturation of culture not only limited to the values and knowledge, but also influential to cultural artifacts.
According to the object of research, issues, and objectives of the research, so its need to choose right strategy. Gebyok and meaning of symbol of Kudus house is a phenomenon artifacts that can not be separated from socio cultural context and process that have a background art in multi aspect, the research method that used is descriptive method. Then this study is emphasized on descriptive qualitative research to obtain accurate research finding.
In ornament motive there is a symbolic meaning, containing an advice, a message, and its philosophy to society. Ornament in gebyok Kudus affected by Hindus and Budhists culture, China, Islam, and Europe which are realized in motif bunga, kala, peksi, kawung, jalinan, wajikan, kerang, sorot, ukel, nanasan, mahkota, daun pisang. In addition to meet estetic function, ornament also has meaning as a symbol that serve as a media to convey messages related to cultural values to be a guidance of society life.
Changes in gebyok which includes changes in size, materials, decoration and function as a result of requests from users gebyok to be applied in residences and public facilities, so that the decoration on gebyok to change both the quality of workmanship and the meaning of various symbols of ornament.
commit to user
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
tesis yang berjudul “Kajian Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias pada Rumah Kudus” padatahun 2012 ini dapat selesai. Tesis ini ditulis untuk memenuhi sebagai persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Kajian Budaya (minat utama Seni Rupa), Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Menyadari bahwa penulisan tesis ini banyak sekali hambatan, tetapi berkat bantuan, dukungan, dan bimbingan dari beberapa pihak, maka hambatan tersebut dapat teratasi. Oleh sebab itu, sepantasnya penulis dengan penuh rasa hormat menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. Ahmad Yunus, M.S, selaku Direktur Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6. Dr, Titis Srimuda Pitana, ST.,M.Trop.Arch, selaku sekretaris Dewan Penguji. 7. Seluruh Bapak / Ibu dosen pengampu Program Studi Kajian Budaya
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Civitas Akademika Program Studi Kajian Budaya, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
9. Seluruh teman seperjuangan angkatan tahun 2010 Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
SE., Ketua Asmindo Komda Kudus, Bapak Drs. Sutiyono, M.Pd Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus, dan Bapak Hendrix Marantek Kepala Desa Sidorekso, Kaliwunggu yang memunculkan program
”gebyokisasi”, telah banyak memberi informasi dan data-data yang dibutuhkan untuk penulisan tesis ini
Penulis menyadari bahwa dengan adanya keterbatasan yang ada, menjadikan tesis ini masih perlu untuk ditindaklanjuti dalam penelitian dan kajian yang lebih mendalam, meskipun demikian diharapkan tesis ini sudah dapat memenuhi persyaratan akademik sebagaimana semestinya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu kajian budaya pada khususnya.
Kudus, April 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2.2.5. Sinkretisme dalam Budaya Jawa ... 20
2.2.6. Kesenian Jawa ... 23
2.2.6.1. Pengertian Kesenian Jawa ... 23
2.2.6.2. Jenis-jenis Kesenian Jawa ... 24
2.2.7. Ragam Hias sebagai Bentuk Rupa dan Simbol ... 26
2.2.7.1. Latar Belakang Ragam Hias ... 26
2.2.7.2. Pengertian Ragam Hias ... 31
2.2.7.3. Bentuk Ragam Hias dan Simbol ... 33
2.2.7.4. Ragam Hias Prasejarah ... 39
2.2.8. Perkembangan Ragam Hias Indonesia ... 47
2.2.8.1. Pengaruh Ragam Hias Hindu, Budha ... 47
2.2.8.2. Pengaruh Ragam Hias Cina ... 52
3.4.1. Instrumen Penelitian ... 74
3.4.2. Observasi ... 75
3.4.3. Wawancara Mendalam ... 76
commit to user
xiv
3.5. Validitas Data ... 77
3.6. Teknik Analisis ... 79
BAB IV. PERUBAHAN GEBYOK DAN MAKNA SIMBOL RAGAM HIAS GEBYOK ... 84
4.1. Gambaran Umum Kabupaten Kudus ... 84
4.1.1. Kondisi Geografis Kudus ... 84
4.1.2. Sejarah Kudus ... 86
4.1.3. Budaya Masyarakat Kudus ... 89
4.1.3.1. Sistem Kepercayaan Masyarakat Kudus ... 90
4.1.3.2. Falsafah dan Sikap Hidup Masyarakat Kudus ... 92
4.1.3.3. Sistem Kekerabatan Masyarakat Kudus ... 96
4.2.Rumah Kudus ... 97
4.2.1. Bentuk Rumah Kudus ... 102
4.2.2. Ragam Hias Rumah Kudus ... 105
4.2.2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi Ragam Hias Kudus . 125 4.2.2.2. Struktur Ragam Hias Tradisional Kudus ... 128
4.2.2.3. Karakteristik Ragam Hias Kudus ... 130
4.3.Ragam Hias Pada Gebyok Kudus ... 134
4.3.1. Ragam Hias pada Gebyok bagian Bawah ... 136
4.3.2. Ragam Hias pada Gebyok bagian Tengah ... 137
4.3.3. Ragam Hias pada Gebyok bagian Atas ... 141
4.4.Perubahan Gebyok Dan Makna Simbol Ragam Hias Gebyok ... 142
4.5. Peran Lembaga Budaya ... 142
4.6.Perubahan Gebyok Kudus dan Ragam Hias sebagai Benda Budaya .. 152
4.6.1. Perubahan Gebyok Kudus sebagai Benda Budaya ... 152
4.6.1.1 Perubahan Ukuran ... 152
4.6.1.2 Perubahan Bahan ... 153
4.6.1.3 Perubahan Ragam Hias ... 155
4.6.1.4 Perubahan Fungsi ... 156
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
4.7. Pengaruh Perubahan Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias
Dalam Kehidupan Masyarakat Kudus ... 170
4.7.1. Pengaruh Perubahan Gebyok Terhadap Kehidupan Ekonomi Masyarakat ... 170
4.7.2. Pengaruh Perubahan Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat ... 173
4.7.3. Pengaruh Perubahan Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias Terhadap Kehidupan Budaya Masyarakat Kudus .. 178
BAB VI. PENUTUP ... 181
6.1. Kesimpulan ... 181
6.2. Saran ... 183
commit to user
xvi
DAFTAR TABEL
Hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar II.1 Peta pembagian wilayah kebudayaan Jawa ... 17
Gambar II.2 Ragam Hias corak Manusia ... 40
Gambar II.8 Ragam Hias corak kunci/kait yang digabung dengan corak jalinan. 43 Gambar II.9 Ragam Hias Corak Katak, Ular & Buaya ... 44
Gambar II.10 Ragam Hias corak Kerbau ... 45
Gambar II.11 Ragam Hias corak Gajah ... 46
Gambar II.12 Ragam Hias corak Ular pada pancuran air ... 46
Gambar II.13 Ragam Hias corak Makara ... 48
Gambar II.14 Ragam hias burung ... 49
Gambar II.15 Ragam hias Wayang ... 49
Gambar II.16 Ragam Hias corak Garuda ... 50
Gambar II.17 Motif tumbuh-tumbuhan sebagai lambang kesuburan terdapat di candi kalasan ... 51
Gambar II.18 Bentuk pot yang memuntahkan sulur-suluran daun dan bunga 51 Gambar II.19 Ragam hias corak Pohon Hayat ... 51
Gambar II.20 Ragam Hias corak Cina ... 52
Gambar II.21 Ragam Hias corak Arabes ... 54
Gambar II.22 Ragam Hias corak Geometris ... 54
Gambar II.23 Hiasan berbentuk Medalion di masjid Mantingan, Jepara ... 55
Gambar II.24 Ragam Hias corak Eropa pada elemen arsitektur ... 55
Gambar IV.1 Letak Kota Kudus ... 84
Gambar IV.2 Masjid Menara Kudus ... 88
Gambar IV.3 Rumah Tradisional Kudus ... ... 103
commit to user
xviii
Gambar IV.5 Tampak samping kiri ... 103
Gambar IV.6 Struktur konstruksi bangunan rangka dinding rumah tradisional Kudus ... 104
Gambar IV.7 Ukiran konsol ... 107
Gambar IV.8 Ragam hias pada pintu kerai (sorong) ... 108
Gambar IV.9 Kleweran pada pintu depan ... 109
Gambar IV.10 Sabukan ... 110
Gambar IV.11 Gebyok dinding dalam ruang Jagasatru ... 110
Gambar IV.12 Ragam hias pada panel-panel dinding ... 112
Gambar IV.13 Tiang ruang Jagasatru ... 113
Gambar IV.14 Penerapan ragam hias ukiran pada sampar banyu dan tiang pracik ... 114
Gambar IV.15 Pintu antara ruang Jagasatru dan Sentong ... 115
Gambar IV.16 Motif Lunglungan dan buah nanas pada konstruksi dada peksi 116
Gambar IV.17 Hiasan kleweran dan plengkung pada pintu masuk ruang sentong 117 Gambar IV.18 Saka geder di ruang jagasatru ... 118
Gambar IV.19 Ukiran pada tebeng dinding ruang sentong dan balok blandar pada ruang jagasatru ... 118
Gambar IV.20 Ancik-ancik (tangga) ... 119
Gambar IV.21 Ukiran pada pintu ruang gedongan ... 120
Gambar IV.22 Ukiran pada dinding ruang gedongan ... 121
Gambar IV.23 Uleng atap tumpangsari ... 122
Gambar IV.24 Sampar banyu dalam ruang Jagasatru ... 122
Gambar IV.25 Angin-angin ruang jagasatru samping ... 123
Gambar IV.26 Hiasan pada tiang utama(saka guru) ... 123
Gambar IV.27 Pintu ruang dapur menuju ruang jagasatru / sebaliknya ... 124
Gambar IV.28 Ragam hias pada perabung/bubungan atap ... 124
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xix
Gambar IV.30 Pengaruh budaya Islam pada Ragam Hias motif Persia/Islam,
digambarkan dalam bentuk bunga yang terdapat pada ruang
Jogosatru ... 133
Gambar IV.31 Pengaruh budaya Cina pada Ragam Hias motif binatang gajah yang disamarkan pada konsol ... 133
Gambar IV.32 Pengaruh budaya Eropa pada Motif Mahkota pada gerbang masuk ke gedongan ... 134
Gambar IV.33 Gebyok Kudus ... 136
Gambar IV.34 Gebyok Kudus ... 136
Gambar IV.35 Gebyok dengan ukuran 4 m yang ada di Balai Desa Sidorekso, Kecamatan Kaliwungu, Kudus ... 153
Gambar IV.36 Gebyok yang menggunakan kayu jati kualitas jelek (jati kampung)... 155
Gambar IV.37 Motif tumbuhan menjalar diganti dengan kaligrafi arab ... 156
Gambar IV.38 Gebyok yang diterapkan pada Rumah Tinggal ... 157
Gambar IV.39 Ragam hias tumbuhan, vas bunga ... 158
Gambar IV.40 Ragam hias ukel / besusulan ... 159
Gambar IV.41 Ragam hias Plengkung Kubah Masjid ... 160
Gambar IV.42 Ragam hias Kala pada dinding gebyok ... 161
Gambar IV.43 Ragam hias daun pisang/banbanan ... 162
Gambar IV.44 Ragam hias tumpal ... 163
Gambar IV.45 Ragam hias wajikan ... 164
Gambar IV.46 Ragam hias jalinan ... 165
Gambar IV.47 Ragam hias kerang ... 166
Gambar IV.48 Ragam hias ceplokan lintangan ... 167
Gambar IV.49 Ragam hias kawung ... 168
commit to user
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Format Kuesioner / Wawancara
Lampiran 2. Daftar Analisa Ragam Hias Gebyok pada Rumah Kudus
Lampiran 3. Daftar Analisa Ragam Hias Gebyok pada Perajin Gebyok “Avia Antik”
Lampiran 4. Daftar Analisa Ragam Hias Gebyok pada Perajin Gebyok “Bintong
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK
Zainul Arifin MA, 2012 : Kajian Gebyok dan Makna Simbol Ragam Hias pada Rumah Kudus . Tesis Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Ragam hias pada gebyok rumah Kudus berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya masyarakat Kudus, yang melatarbelakangi ketertarikan untuk memahami lebih jauh keberadaan gebyok dan ragam hiasnya, yaitu perkembangan gebyok, ragam hias dan makna. Berdasarkan pada perspektif kajian budaya, bentuk dan corak ungkapan seni tidak semata hanya untuk pemenuhan keindahan, melainkan juga terkait dengan pedukungnya. Ragam hiasnya dipandang sebagai salah satu cara pemuasan akan keindahan yang keberadaannya dipenuhi beragam simbol elemen hias. Peciptaan ragam hiasnya berkaitan erat dengan pandangan hidup masyarakat.
Sesuai dengan kondisi obyek penelitian, masalah yang dikaji dan tujuan yang akan dicapai, maka perlu memilih strategi yang tepat. Gebyok dan makna simbol ragam hias Kudus merupakan fenomena artefak yang tidak dapat dilepaskan dari konteks sosio-kultural dan proses kesenian yang mempunyai latar belakang multi aspek. Hal ini merupakan paradigma kualitatif. Oleh karena itu, metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Berdasarkan tujuan yang dicapai dalam penelitian ini lebih ditekankan pada upaya mengungkap perkembangan gebyok dan menemukan makna simbol dari sebuah fenomenal yang kompleks, maka penelitian ini ditekankan pada penelitian kualitatif deskriptif untuk mendapatkan temuan penelitian yang akurat.
Hasil penelitian mengenai Kajian gebyok dan makna simbol ragam hias, menunjukkan adanya perubahan pada gebyok yang diproduksi oleh perajin gebyok di Kudus, meliputi perubahan ukuran, bahan baku, ragam hias dan fungsi. Perubahan ini terjadi karena adanya permintaan konsumen yang menempatkan gebyok pada rumah tinggal dan fasilitas umum, sehingga ragam hiasnya mengalami perubahan, baik kualitas pengerjaan maupun makna simbol ragam hiasnya.
Motif hias yang ada pada gebyok Kudus terdapat arti simbolis yang mengandung nasehat, pesan, dan arti filosofi bagi masyarakat. Ragam hias di gebyok Kudus dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha, Cina, Islam dan Eropa yang diwujudkan dalam motif bunga, kala, peksi, kawung, jalinan, wajikan, kerang, sorot, ukel, nanasan, mahkota, daun pisang. Pada perkembangannya, untuk memenuhi kebutuhan konsumen makna simbol yang melekat menjadi bias, yang semula mengandung pesan moral dan pedoman hidup dalam tatanan kehidupan masyarakat Kudus, akhirnya berubah menjadi makna estetik untuk memenuhi tututan komersial. Sehingga makna simbol yang melekat pada ragam hias gebyok sudah mengalami perubahan makna.
commit to user Kudus society, especially within the framework of cultural background interest to understand ornament of gebyok itself. They are the development of gebyok, the ornament, and the meaning. Based on perspective culture, form, and artistic expression motive not only for the fulfillment of its beauty, but it also relates to others. The Ornament is seen as one way for people feel satisfied to the beauty since the existence full of symbol of element decoration. Ornament creation is usually related to society view.
Based on the condition of research object, it is needed to choose an appropriate strategy to investigate the problem of research and the purpose of the study. Gebyok and the meaning of ornament Kudus symbol constitute phenomena of artefact cannot be separated with socio-cultural contexts and an art process of multiaspect background. It is qualitative paradigm. Therefore, the use of research method is qualitative method. Based on the aim of research, it is focused to the effort how to reveal development of Gebyok and to find out the meaning of symbol from a complex phenomenal. Then, this research is focused on descriptive qualitative research to get an accurate research finding.
The result of the study is about Gebyok study and the meaning of ornament symbol, showed that there is a changing of Gebyok producted by craftman of Gebyok in Kudus. It consists of changing of size, raw material, ornament, and function. The changing happened due to the consumers demand that placed Gebyok of the house and public facility become changing different either quality or the meaning of ornament symbol.
In the motif of decoration, there is a meaning of symbolic that contains advice, message, and the meaning of philosophy for society. An ornament in geyok Kudus is influenced by the culture of Hindu, Buddha, China, Islam, and Europe are shaped in flower motif, kala, peksi, kawung, jalinan, wajikan, kerang, sorot, ukel,
nanasan, mahkota, and daun pisang. In the development, finally, to fulfill consumer
need, the meaning of symbol that adheres firstly it contains a moral message and the way of life in a rule of Kudus society. But now it has an aesthetic meaning to fulfill commodities that the meaning of symbol in Gebyok ornament is changing.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rumah Kudus sering disebut sebagai “joglo pencu”, merupakan rumah
tradisional yang berada di wilayah Kabupaten Kudus sebagai rumah khas Kudus.
Rumah Kudus mempunyai keistimewaan tersendiri, yakni selain bentuknya joglo,
semua elemen arsitekturnya dipenuhi dengan ragam hias. Penggunaan ragam hias
sudah sangat akrab dengan kehidupan manusia sejak lama. Ragam hias tersebut
bukan hanya sebagai penghias, tetapi mempunyai makna simbol yang melekat
pada masyarakat Kudus.
Rumah sebagai bangunan fisik tidak hanya dapat dilihat dan diperlakukan
sebagai material fisik, tetapi juga sebagai simbol yang mencerminkan status sosial
penghuninya. Hal ini karena pemilik rumah memberi isi pada bangunannya
dengan makna-makna simbol tertentu yang mencerminkan jati dirinya. Dalam
kehidupan masyarakat, rumah bisa berarti identitas seseorang atau sebagai
lambang status sosial, pendidikan, ekonomi para pemiliknya (Triyanto, 2001: 5).
Keanekaragaman bentuk fisik atau kekhasan suatu bentuk rumah dan ragam
hiasnya, akan semakin nyata kehadirannya apabila dikaitkan dengan makna
simbol yang ingin dikaji.
Menurut Soegeng Toekio (1987:9) disebutkan bahwa ragam hias hadir di
tengah-tengah kehidupan masyarakat sebagai media ungkapan perasaan yang
commit to user
2 pengaruh lingkungan. Ragam hias ini ditujukan sebagai pelengkap rasa keindahan
dan kemegahan bangunan fisik rumah. Demikian juga dalam berbagai bentuk
ragam hias, terdapat pula makna simbol tertentu yang berlaku syah secara
konvensional, di lingkungan masyarakat pendukungnya. Selanjutnya dalam buku
yang sama Soegeng Toekio (1987:10) juga mengatakan bahwa ragam hias untuk
suatu benda pada dasarnya merupakan sebuah penghias yang diterapkan guna
mendapatkan keindahan atau kemolekan yang dipadukan. Ragam hias ini
berperan sebagai media untuk mempercantik atau menganggunkan sesuatu karya.
Ragam hias pada bangunan rumah Kudus, berkaitan erat dengan budaya
tradisi yang perwujudannya merupakan simbolisasi dari budaya yang tetap
dilestarikan dan diteruskan sebagai tradisi. Demikian juga penciptaan ragam hias
pada gebyok sangat berhubungan erat dengan maksud-maksud simbol tersebut.
Penciptaannya dipertimbangkan dengan baik dan cermat, sehingga kehadiran
ragam hias tersebut di samping memenuhi kebutuhan fungsi dan tuntutan
keindahan juga mengandung makna yang selaras dengan harapan hidup.
Kesejahteraan dan kedamaian hidup tampaknya merupakan tujuan utama yang
hendak dicapai (Gustami, 2000:64).
Rumah sebagai kebutuhan dasar manusia, dengan adanya budaya
mengakibatkan bentuk rumah menjadi berbeda. Selain bentuk yang berbeda juga
sangat dipengaruhi oleh kondisi sumber daya alam yang tersedia dan teknologi
yang dimiliki, juga berkaitan dengan struktur dan kehidupan sosial budaya
masyarakat (Triyanto, 2001:4). Demikian juga keberadaan rumah Kudus dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
rumah gebyok (Triyanto, 2001:8), kehadirannya tentu tidak terlepas dari pengaruh
budaya masyarakat Kudus yang tercermin pada bentuk joglo dan ragam hias yang
diterapkan pada bangunan rumah.
Sejalan dengan perkembangan zaman, timbul fenomena baru bahwa
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Kudus khususnya budaya setempat yang
berkaitan dengan ragam hias mengalami perubahan. Masyarakat Kudus sudah
banyak yang tidak memperhatikan adat-istiadat dan karya-karya peninggalan
leluhurnya. Sebagai contoh, rumah Kudus yang dipenuhi dengan ragam hias
diseluruh elemen arsitekturnya hanya tinggal beberapa yang bertahan, rumah
Kudus yang dibangun dengan teknik knock down memudahkan untuk dipindahkan
ke tempat lain, dan dengan mudah dapat dijual sebagai komoditas.
Perkembangan sekarang, gebyok Kudus banyak yang diproduksi oleh
perajin, secara keseluruhannya masih menyerupai bentuk dan ragam hias aslinya
seperti yang ada di gebyok rumah Kudus, sedangkan untuk ukurannya sudah
mengikuti keinginan konsumen, motif ukirannya masih menyerupai aslinya dan
dianggap masih memiliki makna simbol yang berisi ajaran-ajaran tentang
pandangan hidup dan sikap hidup manusia Jawa. Namun ada yang sudah
mengalami perubahan terutama pada ukuran gebyok, penggunaan ragam hias dan
fungsi yang tidak mengikuti ”pakem” gebyok Kudus.
Berubahnya gebyok yang dulunya sebagai penyekat ruang jogosatru
dengan ruang tengah, menjadi gebyok yang diproduksi secara terpisah untuk
keperluan nilai keindahan rumah tinggal maupun fasilitas umum atau sebagai
commit to user
4 khusus maupun masyarakat pada umumnya. Sejalan dengan kenyataan tersebut
Gustami (1991:103) mengatakan.
Pergeseran nilai memang sudah terjadi sesuai dengan perubahan dan perkembangaan zaman. Suatu realitas yang tidak mungkin dihindari, dan itu berpengaruh langsung terhadap eksistensi seni kriya dan kerajinan. Kondisi-kondisi alam dan sosio-kultural yang membentuk seni kriya dewasa ini, sangat berbeda dengan kondisi-kondisi masa lampau ketika norma-norma dan sistem nilai telah berkembang secara kompleks dalam struktur yang rumit oleh spesifikasi disiplin yang khas.
Perubahan yang terjadi di pengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi yang semakin canggih, dan perubahan seni itu sendiri. Hal ini sesuai
dengan pendapat J.W.M. Bakker SJ dalam Filsafat Kebudayaan, Sebuah
Pengantar mengatakan “perubahan itu berasal dari pengalaman baru, pengetahuan
baru, teknologi baru dan akibatnya dalam penyesuaian cara hidup dan kebiasaan
kepada situasi baru” (Bakker, 1984:113)..
1.2. Masalah
1.2.1. Identifikasi Masalah
Dengan adanya perkembangan pembuatan gebyok yang dilakukan oleh
perajin gebyok Kudus, menyebabkan adanya produk replika (tiruan) baik yang
disamakan bentuk, ukuran, ragam hiasnya tetapi ada juga yang dengan sengaja
dikerjakan sesuai pesanan, sehingga terjadi perubahan pada gebyok dan ragam
hiasnya. Dengan adanya perubahan tersebut, menyebabkan terjadinya perubahan
bentuk, ciri-ciri ragam hias, pengaruh yang ditimbulkannya, dan makna simbol
yang tersimpan dalam motif ragam hias perlu dikaji lebih mendalam. Makna
simbol ragam hias terjadi bukan disebabkan dari segi kebahasaan saja atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5 hias, tetapi juga disebabkan oleh latar belakang sosial, pengaruh luar dan
perkembangan pola fikir masyarakat.
Dalam mengkaji gebyok Kudus sesuai dengan paparan tersebut dapat
diidentifikasi permasalahan yang disajikan dalam pernyataan sebagai berikut:
Perkembangan gebyok dan makna simbol ragam hias pada gebyok Kudus harus
tetap dipahami oleh masyarakat, karena makna simbol ragam hias pada gebyok
Kudus mengantarkan ciri-ciri ragam hias pada gebyok Kudus sebagai suatu sistem
simbol masyarakat Kudus yang dalam perkembangan masa sekarang membawa
pengaruh terhadap kehidupan budaya masyarakat Kudus.
1.2.2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang ada supaya tidak meluas
permasalahan perlu dibatasi pada obyek kajian yaitu gebyok pada rumah Kudus
dan perkembangan gebyok yang diproduksi perajin Kudus, ragam hias pada
gebyok dan pengaruh yang ditimbulkan dengan adanya makna simbol ragam hias
yang ada pada gebyok terhadap masyarakat Kudus. Pembatasan permasalahn ini
dilakukan untuk lebih fokus dalam mengkaji permasalahan lebih mendalam.
1.2.3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan permasalahan, maka perumusan
masalahnya adalah :
1.2.3.1.Bagaimana bentuk gebyok dan ragam hias pada gebyok Kudus saat ini,
commit to user
6 1.2.3.2.Bagaimana ciri-ciri ragam hias pada gebyok Kudus saat ini yang
merupakan simbol dalam kehidupan masyarakat Kudus?
1.2.3.3.Bagaimana pengaruh perubahan gebyok dan makna simbol ragam hias
pada gebyok dalam kehidupan budaya masyarakat Kudus saat ini?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian terhadap perubahan gebyok
dan makna simbol ragam hias saat ini pada gebyok Kudus, sehingga tujuannya
adalah :
1.3.1. Mendikripsikan gebyok dan perubahannya serta ragam hias pada gebyok
Kudus saat ini yang merupakan hasil budaya masyarakat Kudus
1.3.2. Mengkaji ciri-ciri ragam hias pada gebyok Kudus saat ini yang merupakan
simbol dalam kehidupan masyarakat Kudus.
1.3.3. Merumuskan pengaruh perubahan gebyok dan makna simbol ragam hias
pada gebyok dalam kehidupan budaya masyarakat Kudus saat ini.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pokok- pokok
kepentingan antara lain sebagai berikut :
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dan
pengetahuan dalam pengembangan ilmu kajian budaya, khususnya pengaruh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7 1.4.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan sebagai bahan
evaluasi dan pengambilan kebijakan bagi kegiatan pelestarian budaya di Kudus
serta dapat menjadi rujukan bagi peminat gebyok Kudus dan masyarakat pada
umumnya, mengingat peninggalan budaya yang berupa rumah Kudus dan gebyok
Kudus semakin berkurang, sehingga perlu untuk mewacanakan gebyok hasil
produksi perajin sebagai alternatifnya
1.5. Susunan Penulisan
Penyajian hasil penelitian ini merupakan suatu uraian mengenai susunan
penulisan yang dibuat secara teratur dan rinci. Susunan penulisan yang dimaksud
adalah untuk mempermudah dan memberikan gambaran secara menyeluruh
dengan jelas dari isi penelitian tersebut, yaitu:
Bab I . Menjelaskan dasar pemikiran yang menjadi titik tolak perlunya
dilakukan penelitian dan merupakan landasan bagi pembahasan bab-bab
selanjutnya. Pembahasannya mengenai latar belakang masalah, masalah yang
terdiri dari identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah
penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan susunan penulisan hasil
penelitian
Bab II. Berisi uraian secara teoritis tentang kajian budaya Jawa yang
meliputi : Kajian pustaka, kajian budaya jawa, konsep dan landasan teori
Bab III Secara umum berisi tentang metodologi penelitian yang
didalamnya diuraikan mengenai bentuk dan strategi penelitian, lokasi penelitian ,
commit to user
8 Bab IV Perubahan gebyok dan makan simbol ragam hias gebyok. berisi
tentang perubahan bentuk dan makna simbol ragam hias pada gebyok Kudus,
didalamnya membahas tentang gambaran umum Kabupaten Kudus, rumah Kudus,
kajian ragam hias pada gebyok Kudus yang mengkaji tentang penerapan ragam
hias pada gebyok. Kajiannya meliputi ragam hias pada gebyok Kudus sebagai
sistem simbol masyarakat Kudus, perubahan gebyok Kudus sebagai benda budaya
dan pengaruh perubahan gebyok dan makna simbol ragam hias dalam kehidupan
masyarakat Kudus.
Bab V Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran, yaitu hasil akhir dari
analisa data penelitian yang telah dilakukan. Pandangan hidup orang Jawa yang
sinkretistik telah mewarnai masyarakat Kudus untuk menerima sesuatu yang
datang dari luar, termasuk dalam hal ini adalah perwujudan ragam hias yang
kemudian disesuaikan dengan pandangan hidupnya yang sinkretistik itu. Ragam
hias yang diterapkan pada gebyok Kudus merupakan kompilasi dari ragam hias
yang sudah ada sebelumnya. Ragam hias tersebut berfungsi sebagai elemen
estetik dan bermakna simbol sebagai media bertutur. Sedangkan perubahan pada
gebyok meliputi : perubahan ukuran, bahan, ragam hias dan fungsi akibat adanya
permintaan dari para pengguna gebyok yang akan diterapkan pada rumah tinggal
dan fasilitas umum, sehingga ragam hias pada gebyok mengalami perubahan baik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka
Kajian gebyok dan ragam hias gebyok Kudus, dilakukan dalam disiplin
ilmu Kajian Budaya merupakan kajian yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Kajian ini tidak hanya ditujukan untuk memahami gebyok dan ragam hias gebyok
Kudus sebagai sebuah perwujudan fisik dari ilmu seni rupa saja. Dalam kajian ini
gebyok dan ragam hias gebyok Kudus merupakan objek material dari sebuah
kajian mengenai gebyok dan ragam hias. Penelitian yang memfokuskan kajian
pada gebyok dan ragam hias gebyok Kudus untuk merumuskan bentuk gebyok
dan makna simbol ragam hias yang ada di dalamnya, adalah banyaknya
permasalahan yang menyertai dan mempengaruhinya. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa kajian ini tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan seni
rupa secara umum dan/atau perwujudan ragam hias semata-mata, tetapi harus
dikembangkan lebih lanjut pada pemahaman konsep-konsep yang menyertai dan
teori-teori yang digunakan.
Hasil penelitian tentang arsitektur rumah Kudus yang dilakukan oleh
Triyanto (1992) dalam bukunya yang berjudul “Makna Ruang dan Penataannya
Dalam Arsitektur Rumah Kudus” pada tahun 2001. Dalam penelitian yang
menjadi pokok perhatian adalah makna ruang dan penempatannya dalam
arsitektur rumah Kudus. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa ruang dan juga
commit to user
10 Kudus sebagai orang Jawa yang taat, patuh atau tunduk dalam menjalankan
ajaran-ajaran agama Islam yang menjadi pedoman dan bersifat normatif dalam
kehidupan mereka. Penelitian ini cukup banyak memberikan informasi tentang
rumah Kudus beserta budayanya yang dapat dijadikan sumber data sekunder
dalam penelitian ini.
Hasil penelitian lain dari Bayu Widiantoro (2003) dalam tesisnya yang
berjudul “Peranan Proporsi Terhadap Ukuran Ruang Interior Rumah Tradisional
Kudus Joglo Pencu” , menyimpulkan bahwa dilihat pola proporsi yang muncul
dan budaya yang berlaku dikalangan masyarakat Kudus, maka pola proporsi yang
diterapkan dalam rumah tradisional Kudus Joglo Pencu ini bukan sebagai suatu
hal yang muncul dengan tiba-tiba, tetapi muncul sebagai suatu bentuk warisan
budaya yang berkembang di kalangan masyarakat Kudus. Rumah tradisional
Kudus mempergunakan suatu pola proporsi tertentu untuk membentuk keindahan
di dalam bangunannya. Kendati dalam penelitian Bayu Widiantoro tentang
Proporsi Terhadap Ukuran Ruang Interior Rumah Tradisional Kudus Joglo Pencu
hanya ditempatkan pada objek arkeologi-budaya yang pengungkapan makna
simboliknya hanya berdasar informasi sepihak dari penulisnya, tetapi hasil
penelitian tersebut paling tidak dapat dijadikan data sekunder dalam penelitian ini
Hasil penelitian tesis lain yang lebih fokus pada gebyok oleh Yusuf Istanto
(2008) penelitiannya adalah untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan
kerajinan gebyok Kudus menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta dan untuk mengetahui dan menganalisis mengenai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11 gebyok Kudus menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.
Penelitian ini menunjukan bahwa masih banyak perajin gebyok yang setia
memakai pakem ukir dalam membuat gebyok Kudus meskipun tak jarang perajin
membuat gebyok Kudus dengan motif hasil kreasi sendiri sesuai dengan
permintaan dari pemesan gebyok Kudus. Gebyok Kudus sebagai kerajinan yang
didapat secara turun temurun merupakan salah satu kerajinan yang dapat
dikategorikan sebagai pengetahuan tradisional akan tetapi UUHC 2002 belum
cukup memberikan perlindungan terhadap Hak Cipta gebyok Kudus. Pemerintah
Kabupaten Kudus menyadari bahwa kerajinan gebyok Kudus merupakan aset
daerah yang berharga dan merupakan salah satu produk unggulan Kudus. Untuk
itu Pemkab Kudus melalui klinik HKI Universitas Diponegoro Semarang untuk
mendaftarkan Hak Cipta gebyok Kudus. Dari penelitiannya Yusuf Istanto (2008)
dapat memberikan informasi tentang gebyok Kudus yang dapat dijadikan data
sekunder dalam penelitian ini.
Dari tiga hasil penelitian mengenai rumah tradisional dan gebyok Kudus di
atas dapat dicatat dua hal penting. Pertama, ketiga kajian di atas memiliki
persamaan dalam memposisikan rumah tradisional Kudus maupun gebyok Kudus
sebagai objek rekayasa yang mencerminkan falsafah hidup Jawa yang berinti pada
pencapaian kesempurnaan hidup. Kedua, ketiga kajian di atas memiliki kesamaan
dalam memposisikan rumah adat Kudus dan gebyok serta mitos-mitos yang
melekat sebagai arkeologi-budaya sehingga rumah tradsional Kudus yang selama
ini dianggap mempunyai makna simbol yang tinggi, tanpa sadar hanya dipandang
commit to user
12 2.2. Kajian Budaya Jawa
2.2.1. Wujud Kebudayaan
Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitas
dan Pembangunan (1992:5) menulis bahwa kebudayaan manusia mengandung
tiga wujud. Pertama, kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide,
gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua, kebudayaan
sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan dari manusia dalam masyarakat.
Ketiga, kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Ia bisa berupa
kebudayaan nyata, tampak fisiknya, karena merupakan hasil karya masyarakat
yang bersangkutan. Selanjutnya Koentjaraningrat (1992:2) menganalisis budaya
manusia, yang terdiri dari unsur-unsur universal kebudayaan. Unsur-unsur
universal itu, merupakan isi dari semua kebudayaan di dunia ini, yakni : (1)
Sistem religi dan upacara keagamaan. (2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
(3) Sistem pengetahuan, (4) Bahasa, (5) Kesenian, (6) Sistem mata pencaharian
hidup dan (7) Sistem teknologi dan peralatan. Dari ketujuh unsur kebudayaan
tersebut menjadikan budaya manusia terwujud karena perkembangan lingkungan
serta norma-norma hidupnya. Norma hidup ini terwujud dalam bentuk alam
pikiran, alam budi, karya, tata susila dan seni.
Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang
berbeda-beda tersebut mempunyai kebudayaan khas yang merupakan ciri-ciri kebudayaan
daerah. Ciri penting dalam kebudayaan daerah adalah unsur tradisi yang berakar
dan turun temurun pada masyarakat kesukuan misalnya unsur religi, etika, adat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13 munculnya kebudayaan nasional merupakan potensi yang sangat strategis untuk
dilestarikan, sehingga ditegaskan oleh Koentjaraningrat (1992:107-111) bahwa
kebudayaan nasional adalah sebagai suatu sistem gagasan dan perlambang yang
memberi identitas kepada warga Indonesia. Dalam rangka menunjang fungsi
kebudayaan nasional, tentu tidak bisa mengabaikan begitu saja perkembangan
kebudayaan daerah, karena kebudayaan nasional tetap berorientasi pada
kebudayaan daerah di samping peradaban masa kini. Kebudayaan daerah sebagai
penghayatan masyarakat mampu memberikan benih serta berbagai unsur yang
perlu ditingkatkan ditaraf kebudayaan nasional. Pelestarian dan pengembangan
kebudayaan daerah sangat perlu, kemudian dilakukan penyeleksian nilai positif
yang bisa ditingkatkan sebagai kebudayaan nasional.
2.2.2. Kebudayaan Jawa
Secara umum kebudayaan Jawa dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu
”kebudayaan pedalaman” dan ”kebudayaan pesisir”. Daerah pedalaman Jawa
yang berpusat di Yogyakarta dan Surakarta atau yang bisa disebut wilayah
kebudayaan Jawa Negarigung, sedangkan ”Kebudayaan Pesisir” meliputi daerah
– daerah pesisir pantai utara Jawa yang berpusat di wilayah Blambangan, Pati,
Tegal (Sukmawati, 2004:12).
Masyarakat Jawa memiliki pandangan hidup atau falsafah dalam
memahami makna kehidupan, sehingga mempunyai pedoman dalam melakukan
kegiatan sehari-hari. Demikian juga kebudayaan Jawa mempunyai pengertian,
norma, nilai, tata aturan, gagasan, ide, etika, estetika dan hasil karya yang
commit to user
14 demikian dapat menimbulkan cara pandang masyarakat Jawa terhadap
kehidupannya serta menciptakan kaidah kehidupan masyarakat Jawa, yaitu prinsip
rukun dan hormat demi terciptanya keselarasan.
Kebudayaan Jawa memiliki ciri khas yang terletak pada kemampuan untuk
menerima pengaruh kebudayaan lain dan tetap mempertahankan kebudayaan
aslinya. Selain menemukan jati diri dan berkembang kekhasannya dari pengaruh
luar, identitasnya semakin berwarna setelah masuknya budaya Islam di pulau
Jawa. Pelaku budaya Jawa adalah orang Jawa, berdasarkan masuknya agama di
Jawa maka dibagi menjadi tiga kategori, yaitu : Jawa pra Islam, Jawa Abangan,
dan Jawa Santri ( Jawa – Islam ). Meskipun demikian orientasi mereka terarah
pada satu budaya yang dipegang erat, sebab itu orang Jawa sebagai penduduk
terbesar di Indonesia mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap budaya
Indonesia (Koentjaraningrat, 1993:15).
Istilah orang Jawa dan masyarakat Jawa memiliki perbedaan dalam
konteks cakupan dan jumlah. Orang Jawa atau manusia Jawa cakupannya sempit
dan menyangkut individu atau orang per orang , sedangkan masyarakat Jawa lebih
luas dan mencakup komunitas yang hidup di pulau Jawa. Orang Jawa sendiri
membedakan dua golongan sosial , yaitu wong cilik atau orang kecil yang terdiri
dari sebagian petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota. Golongan
dua adalah kaum priyayi, termasuk didalamnya para pegawai dan para intelektual
(Koentjaraningrat, 1993:20).
Koentjaraningrat berpendapat bahwa seperangkat nilai-nilai yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15 kebudayaan. Kebudayaan manusia mengandung tiga dimensi, yakni kebudayaan
sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma
peraturan dan pikiran manusia, terdapat pada alam pikir manusia, berupa
tulisan-tulisan serta karangan-karangan. Wujud pertama ini disebut pula sistem budaya,
sebab bagian-bagian ide, gagasan atau pikiran yang ada di dalam kepala tidak
terlepas-lepas, melainkan saling berkaitan menjadi satu sistem yang relatif mantap
dan berkesinambungan. Apabila ide seseorang tidak merupakan suatu sistem,
maka jiwa orang itu seperti terganggu , pikirannya tidak mantap berubah-ubah,
tidak konsisten dan tidak berkelanjutan. Kebudayaan sebagai kompleks aktivitas
yang sudah terpola dalam masyarakat, berupa sistem sosial dalam masyarakat.
Kompleknya aktivitas manusia disebut pula sebagai sistem sosial sebab,
terjadinya aktivitas itu karena adanya saling berkomunikasi dan berinteraksi
sesama manusia. Sistem sosial telah ditata dan diatur oleh gagasan atau tema
berpikir tertentu, sehingga mewujudkan aktivitas dan produktivitas yang positif.
Aktivitas interaksi berupa pertemuan-pertemuan atau persekutuan yang hasilnya
positif, walaupun wujudnya ada yang berupa pertengkaran, akibat positif yang
sering muncul adalah gagasan atau konsep yang menguntungkan. Kebudayaan
sebagai hasil karya suatu masyarakat, berupa benda-benda berukuran besar
maupun kecil, tampak fisiknya maupun kasat mata, dan benda-benda bergerak
maupun tidak bergerak. Kebudayaan fisik lahir karena aktivitas manusia dalam
bentuk interaksi yang memerlukan sarana berupa benda yang dihasilkan manusia
commit to user
16 Kebudayaan menempati posisi sentral dalam seluruh tatanan hidup
manusia, karena tidak ada manusia yang dapat hidup di luar ruang lingkup
kebudayaan. Manusia sebagai pencipta kebudayaan, makhluk budaya merupakan
suatu fakta historis yang tidak bisa terbantahkan oleh siapapun sebagai pencipta
kebudayaan. Holt (2000:xxi) mengatakan bahwa pada sebagian besar studi
tentang Indonesia, tak dapat dihindari bahwa Jawa tetap merupakan pusat
perhatian. Hal ini bukan karena Jawa sepanjang sejarah merupakan fokus paling
penting dari kekuasaan dan perdagangan antar pulau dan antar bangsa yang
memusat, tetapi Jawa juga menyediakan sejumlah besar rekaman-rekaman
sejarah.
Pulau Jawa berdasarkan tipe sosial budaya masyarakatnya dapat dibagi
dua, yaitu: masyarakat yang bertempat tinggal di daerah sepanjang pantai/dataran
rendah, sering disebut masyarakat pesisir dengan karakter sosial yang lebih
terbuka, dan masyarakat yang berdomisili di sekitar daerah pegunungan/dataran
tinggi yang sering disebut sebagai masyarakat pedalaman, cenderung lebih
tertutup terhadap segala perubahan yang bertentangan dengan budaya aslinya.
Daerah itu ialah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan
Kediri. Yogyakarta dan Surakarta, merupakan pusat dari kebudayaan tersebut
(Kodiran, 2002:329). Kebudayaan Jawa yang hidup di Yogyakarta dan Surakarta
merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di kraton. Peradaban ini
menghasilkan kesenian yang tinggi dan ditandai dengan kehidupan keagamaan
yang sinkretistik, campuran dari unsur-unsur agama Hindu, Budha, dan Islam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17 (Koentjaraningrat, 1994:26).
Gambar II.1 : Peta pembagian wilayah kebudayaan Jawa (sumber: Koentjaraningrat, 1994:27)
Di antara sekian banyak daerah tempat kediaman orang Jawa ini terdapat berbagai
variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur-unsur
kebudayaannya, seperti perbedaan mengenai berbagai istilah teknis, dialek bahasa
dan lain-lainnya, namun masih menunjukkan satu pola ataupun satu sistem
kebudayaan Jawa. Lebih rinci Koentjaraningrat (1994:26) membagi peta wilayah
kebudayaan Jawa menjadi 12 daerah kebudayaan Jawa meliputi Banten, Sunda,
Banyumas, Bagelen, Pesisir Kilen, Pesisir Wetan, Negarigung, Mancanegari,
Surabaya, Madura, Tanah Sabrang Wetan dan Blambangan.
Kebudayaan Jawa yang hidup di pesisir pantai Utara Jawa biasa disebut
dengan kebudayaan pesisir. Kebudayaan ini meliputi daerah dari
Indramayu-Cirebon di sebelah Barat, sampai ke Gresik di sebelah Timur. Koentjaraningrat,
(1994:26) menyarankan untuk memecah kebudayaan pesisir ke dalam sub daerah
pesisir Barat yang meliputi daerah Cirebon, Tegal dan Pekalongan, sub bagian
tengah yang meliputi kota Kudus, Demak dan daerah di sekitarnya, dan sub
commit to user
18 hanya membedakan antara suatu sub daerah Barat yang pusatnya di Cirebon, dan
suatu sub daerah Timur yang berpusat di Demak. Penduduk daerah pesisir ini
pada umumnya memeluk agama Islam puritan yang juga mempengaruhi
kehidupan sosial budaya mereka.
2.2.3. Religi Orang Jawa
Masyarakat Jawa sudah sejak lama telah mengenal adanya kekuatan yang
dimiliki oleh benda-benda bertuah maupun pada arwah leluhur. Pemujaan pada
kekuatan benda-benda bertuah disebut dinamisme dan pemujaan pada arwah
leluhur disebut animisme. Religi Jawa semacam ini masih berlangsung sampai
sekarang, yaitu dengan adanya ritual-ritual dan sesaji. Ritual dan sesaji adalah
bentuk negosiasi supranatural, agar kekuatan adikodrati, mau diajak
kerjasama. (Sudarso SP, 1990:14) mengatakan bahwa ritual magis digunakan
sebagai alat untuk mencapai sesuatu tujuan dengan cara yang irrasional
misalnya dipergunakan untuk mencari persahabatan dengan sesuatu di luar
manusia, mencari perlindungan ataupun secara magis diharapkan mempengaruhi
keadaan. Animisme dan dinamisme adalah religi Jawa kuno yang mewarnai
keyakinan orang Jawa. Wujud nyata dalam pemujaan roh dan kekuatan benda
melalui permohonan berkah. Roh dan benda-benda di sekitar manusia dianggap
memiliki kekuatan sakti dan dapat mendatangkan kebahagiaan atau sebaliknya.
Orang Jawa mengenal orang sakti yang kekuatannya diperoleh dari perewangan
yang tak lain merupakan bantuan roh leluhur atau nenek moyang dan
jimat dari benda-benda bertuah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19 orang meninggal. Dalam tradisi Jawa, selamatan memperingati roh orang yang
meninggal dilaksanakan sesuai dengan hari keberapa selamatan itu dilaksanakan,
yaitu slametan surtanah (geblag), nelung dina, pitung dina, matang puluh,
nyatus, mendak pisan, mendak pindho, dan nyewu. Pada waktu selamatan sesaji
selalu ada yang diperuntukkan bagi roh orang yang telah meninggal. Keyakinan
terhadap kekuatan benda sakti nampak pada kebiasaan untuk melaksanakan ritual
kutukan dan siraman benda pusaka. Ritual kutukan dilaksanakan setiap malem
Selasa Kliwon dan malem Jemuwah Kliwon. Caranya dengan membakar
kemenyan pada sebuah dupa, lalu benda pusaka tersebut dilambai-lambaikan
di atas pedupaan. Hal ini merupakan tindakan memberi makan kepada benda
pusaka tersebut. Sedangkan pembersihan benda pusaka dilaksanakan setahun
sekali pada bulan Sura, dengan cara dijamasi (dicuci).
Orang Jawa percaya bahwa rumah yang mereka tempati dijaga oleh roh
halus, sehingga pemberian sesaji juga diberikan kepada dhanyang merkayangan,
sing mbaurekso, yaitu roh leluhur yang menjaga tidak saja rumah tempat tinggal,
tetapi juga desa mereka. Tempat-tempat yang dianggap wingit (sakral) juga tidak
luput dari pemberian sesaji, karena dianggap ada penunggunya, seperti pohon
besar, perempatan jalan, jembatan dan sebagainya. Penunggu tersebut harus diberi
sesaji agar mau membantu hidup manusia.
2.2.4. Akulturasi Budaya
Kota Kudus yang terletak di pesisir utara Jawa, masyarakatnya
mengandalkan sektor perdagangan sebagai penunjang perekonomiannya. Akses
commit to user
20 Kontak budaya melalui perdagangan membuka jalan terjadinya percampuran
kebudayaan, yang tidak didasarkan pada keinginan untuk menyebarkan
kebudayaan tetapi penyebaran kebudayaan merupakan akibat dari perdagangan.
Hubungan dagang yang membentuk masyarakat dagang itu di
pusat-pusat perdagangan sekaligus memungkinkan penyebaran kebudayaan baru yang
berasal dari para pedagang pendatang. Terjadilah apa yang disebut dengan
akulturasi budaya. Yudoseputro (1993:30) mengatakan bahwa akulturasi
budaya adalah proses percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling
mempengaruhi. Bertemunya dua kebudayaan tersebut disebabkan adanya
penyebaran kebudayaan yaitu kebudayaan asing dengan kebudayaan dari suatu
masyarakat atau bangsa tertentu. Akibat dari bertemunya kebudayaan itu timbul
proses penyerapan unsur-unsur kebudayaan itu sendiri. Pada tingkat awal proses
percampuran kebudayaan tersebut, pihak peneriman cenderung untuk menerima
kebudayaan asing seperti apa adanya.
2.2.5. Sinkretisme dalam Budaya Jawa
Sinkretisme dalam budaya Jawa dianggap ciri paling menonjol dalam
religi orang Jawa, sehingga pembahasan tentang sinkretisme dalam budaya
Jawa berkaitan dengan religi orang Jawa, mengingat hasil-hasil kesenian
seringkali berhubungan dengan ritual keagamaan. Aryono dalam Sujamto
(2000:13) berpendapat bahwa sinkretisme sering diartikan sebagai kombinasi
segala unsur dari berbagai agama yang berbeda-beda, kemudian terpadu
menjadi satu yang kemudian dijadikan sebagai agama dalam versi baru.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21 baru yang merupakan perpaduan dari beberapa paham (aliran) yang berbeda untuk
mencari keserasian, keseimbangan, dan sebagainya. Dalam KBBI juga
menjelaskan kata sinkretisasi sebagai penyerasian (penyesuaian, penyeimbangan,
dan sebagainya) antara dua aliran (agama dan sebagainya), adasinkretisasi Budha
dan Syiwa menjadi Budha Mahayana. Dari pengertian sinkretisme di atas dapat
disimpulkan bahwa sinkretisme dalam budaya Jawa adalah kecenderungan
budaya Jawa yang melakukan suatu proses pertemuan atau perpaduan dua
atau lebih aliran.
Ketika Hindu dan Budha masuk ke Jawa, terjadilah proses sinkretisasi.
Kepercayaan animisme dan dinamisme berbaur dengan Hinduisme dan Budhisme.
Sinkretisme memadukan, mencampur, menyelaraskan dua keyakinan atau lebih
menjadi suatu keyakinan yang baru. Pengaruh Hindu diterima secara kreatif
karena terdapat suatu pemahaman yang sejajar tentang religi animisme dinamisme
yaitu manusia bisa menjalin hubungan langsung dengan dewa-dewa dan roh
halus. Bahkan dengan laku Tarak Brata manusia bisa jadi sakti dan mengalami
bersatu dengan dewanya (Simuh dalam Dhanu, 2004:19). Wujud yang paling
menonjol dari sinkretisme Jawa dengan Hindu, Budha adalah Mistik Kejawen
(Suwardi, 2003:63).
Keadaan seperti itu terjadi pula ketika Islam masuk pada abad 15 dan
menjadi kekuatan kebudayaan dan agama utama di kepulauan Nusantara pada
abad 15 dan 16. Ajaran Islam yang masuk melalui jalur perdagangan di pesisir
pantai Utara Jawa menghadapi budaya lokal yang sudah banyak diresapi oleh
commit to user
22 sinkretisasi antara agama Hindu, Budha, dan Islam diramu menjadi bentuk
Kebatinan Jawa. Sinkretisme di Jawa telah diolah dan disesuaikan dengan adat
istiadat Jawa, lalu dinamakan agama Jawa atau Kejawen, Koentjaraningrat
(1994:341) menyebutnya dengan Agami Jawi. Sinkretisme yang selanjutnya
dipelopori oleh kaum abangan, semakin kental dan sulit dikenali mana budaya
yang terkena pengaruh dan mana budaya asli. Bahkan manusia Jawa sendiri tidak
begitu mempersoalkan antara yang asli dan tidak asli. Manusia Jawa
menerima kontak budaya spritual dan selanjutnya hasil sinkretisme itu diakui
sebagai miliknya. Proses sinkretisasi yang terjadi pada kehidupan religi Jawa
juga berpengaruh pada hasil-hasil kesenian Jawa pada umumnya. Kesenian
Jawa prasejarah yang animisme-dinamisme tidak serta merta hilang dengan
datangnya agama Hindu dan Budha. Peninggalan keseniannya menunjukkan
fenomena ini, seperti yang terdapat pada candi-candi yang merupakan puncak
hasil kesenian jaman Hindu dan Budha. Bahkan yang terjadi adalah berpadunya
konsep religi Jawa kuno dan Hindu tersebut menumbuhkan kebudayaan Hindu
Jawa yang menghasilkan seni ukir dengan kekayaan motif-motifnya beserta
perlambangan-perlambangan yang terkandung didalamnya. Demikian juga ketika
Islam datang, ciri-ciri artefak yang telah ada tidak dihilangkan, tetapi disesuaikan
dengan kepentingan Islam. Sebagai contoh dapat dilihat pada hiasan ukiran yang
terdapat pada dinding masjid Mantingan Jepara. Motif ukiran masjid Mantingan
yang didirikan pada masa kejayaan Islam di Jawa, menunjukkan ciri-ciri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23 2.2.6. Kesenian Jawa
2.2.6.1. Pengertian Kesenian Jawa
Dalam membahas kesenian Jawa tidak bisa dilepas dari masyarakat
pendukungnya, keberadaannya menyatu dengan masyarakat pendukungnya,
karena kesenian Jawa merupakan bagian yang integral dari masyarakatnya.
Demikian halnya dengan kesenian Jawa tentu mempunyai jiwa sesuai dengan
zaman ketika kesenian Jawa diciptakan. Seni tradisi Jawa tampaknya selalu
melekat dengan budaya Jawa, sehingga manusia terpengaruh dengan
kekuatan-kekuatan supranatural yang ada di luar dirinya.
Seni juga bukan sebagai kegiatan pertunjukan atau hiburan, melainkan
sebagai acara ritual yang sifatnya sakral untuk menanggapi keadaan alam, yang
dipengaruhi kepercayaan animisme dan dinamisme serta adanya pengaruh dari
agama Hindu, di masyarakat Jawa banyak yang menyatu dalam kegiatan
keseniannya. Apabila akan membicarakan sejarah kesenian (seni) Jawa, harus
mengungkap konsep kesenian Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari estetika.
Di Jawa, orang mengenal konsep adi luhung, Adi mempunyai makna
linuwih, melebihi segalanya atau mempunyai nilai lebih, sedangkan luhung
mempunyai makna luhur, tinggi melebihi yang lain. Para seniman tradisi
menempatkan adi luhung sebagai cita-cita yang diharapkan dan diyakini akan
terwujud. Dalam seni masyarakat tradisi Jawa yang sudah mengakar ini pun tidak
bisa lepas dari pandangan seniman dan masyarakatnya yang sampai sekarang
commit to user
24 2.2.6.2. Jenis-jenis Kesenian Jawa
Kesenian di Jawa begitu beragam macamnya, adapun jenis-jenis kesenian
yang menggunakan ragam hias di antaranya adalah :
a. Wayang Kulit.
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, terutama berkembang
di Jawa. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi
narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh suara gamelan yang
dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para
pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang
terbuat dari kain putih, Sementara dibelakangnya disorotkan blencong (lampu
minyak) atau lampu listrik, sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari
layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat
memahami cerita wayang (lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan
tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar. Secara umum wayang
mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi
hanya dengan pakem (standar) tersebut, Ki Dalang bisa juga memainkan lakon
carangan (gubahan).
b. Batik
Batik Jawa telah lama ada, bahkan merupakan produk seni rupa paling
tua di Indonesia. Secara terminologi, kata batik berasal dari kosa kata bahasa
Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain
dengan corak yang dihasilkan oleh bahan malam yang dituangkan ke atas kain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25 bangsawan kraton di Jawa, kain batik dikenakan sebagai busana mereka. Kain
batik di lingkungan kraton merupakan kelengkapan busana yang dipergunakan
untuk segala keperluan, busana harian, busana keprabon, busana untuk
menghadiri upacara tradisi, dan sebagainya. Busana pria Jawa yang terdiri dari
tutup kepala (blangkon), nyamping, semuanya berupa kain batik. Begitu pula
dengan kelengkapan busana putri Jawa yang juga berupa kain batik. Batik
merupakan hasil seni budaya yang memiliki keindahan visual dan mengandung
makna filosofis pada setiap motifnya.
c. Seni Ukir
Seni ukir atau ukiran merupakan gambar hiasan dengan bagian-bagian
cekung (kruwikan) dan bagian-bagian cembung (buledan) yang menyusun
suatu gambar yang indah. Pengertian ini berkembang hingga dikenal sebagai
seni ukir yang merupakan seni membentuk gambar pada kayu, batu, atau
bahan-bahan lain. Seiring dengan perkembangan zaman, yaitu saat agama
Hindu dan Budha masuk ke Indonesia, seni ukir di Jawa mengalami
perkembangan. Puncak keemasan seni ukir dengan menggunakan media batu
terjadi sekitar abad ke 10, yaitu pada zaman kerajaan Hindu dan Budha di
Jawa. Pada zaman inilah seni ukir disebut seni ukir klasik. Bentuk seni ukir
tersebut dapat dilihat di relief-relief candi yang banyak tersebar di Jawa
Tengah. Bentuk motif yang ada pada relief tersebut di antaranya tumbuhan,
commit to user
26 2.2.7. Ragam Hias Sebagai Bentuk Rupa dan Simbol
2.2.7.1. Latar Belakang Ragam Hias
Manusia mempunyai kebutuhan yang bersifat jasmani dan rohani.
Kebutuhan jasmaniah menimbulkan upaya-upaya untuk memenuhinya, yang
dapat dilihat pada benda-benda yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
jasmani tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan akan pangan, manusia berburu dan
menciptakan alat-alat untuk berburu. Kebutuhan rohani, manusia mempunyai
kebutuhan rohani yang beraneka ragam, salah satunya adalah kebutuhan akan
rasa keindahan. Perwujudan dari kebutuhan ini diekspresikan dalam bentuk yang
beraneka ragam pula, dalam bentuk gerak, nyanyian dan keinginan manusia untuk
menghias benda-benda yang diciptakannya.
Berekspresi estetik merupakan salah satu kebutuhan manusia yang
tergolong ke dalam kebutuhan integratif. Kebutuhan integratif ini muncul karena
adanya dorongan dari dalam diri manusia yang secara hakiki senantiasa ingin
merefleksikan keberadaannya sebagai mahluk yang bermoral, berakal, dan
berperasaan. Kebutuhan estetik, secara langsung maupun tidak langsung, terserap
dalam kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan lainnya, baik dalam pemenuhan
kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, maupun kebutuhan integratif lainnya,
yang berkaitan dengan perasaan baik dan benar, adil dan tidak adil, serta masuk
akal atau tidak masuk akal (Rohidi, 2000:9)
Menurut Herbert Read dalam Haryanto (2004:124), manusia pada
dasarnya memiliki kebutuhan untuk menghias terhadap segala sesuatu yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27 setiap periode dan peradaban. Pada manusia terdapat perasaan yang dinamakan
horror vacui, yaitu perasaan yang tidak dapat membiarkan tempat atau bidang
kosong. Perasaan ini terutama terdapat pada suku primitif tertentu dan
pada periode suatu peradaban.
Dalam kebudayaan Indonesia, seni hias merupakan aspek yang sangat
penting, mengingat peninggalan-peninggalan yang ditemukan hampir selalu
menyertakan hiasan pada artefak-artefaknya. Keinginan kuat pada seni hias ini,
dalam beberapa hal diekspresikan dengan keterampilan yang tinggi. Potensi
alamiah dalam seni hias senantiasa merupakan ciri karakteristik bangsa Indonesia.
Kreatifitas artistik dalam seni Indonesia masa silam bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan ritual keagamaan dan magis, sehingga ragam hias mempunyai makna
simbolik.
Kepercayaan terhadap kekuasaan alam yang memberi kehidupan,
kebahagiaan serta ketentraman batin, telah melahirkan keinginan yang kuat untuk
memujanya. Manusia primitif percaya adanya kekuatan lain yang menciptakan
alam ini. Namun dengan alam pikiran yang masih sederhana dan keinginan
memuja sesuatu yang lebih kongkrit, maka alam pikiran ini menjelma menjadi
wujud lambang. Lambang-lambang kesuburan dan kebahagiaan, kekuasaan, bumi,
air, matahari dan sebagainya adalah bentuk pernyataan lahir dari alam pikiran
yang religi–magis. Kultur nenek moyang dengan segala kepercayaan yang
terkandung di dalamnya melahirkan karya seni prasejarah dan merupakan dasar
perkembangan dari segala perwujudan seni dalam ajaran Hindu dan Islam di