HUBUNGAN INTENSITAS OLAHRAGA DAN POLA TIDUR DENGAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWA TINGKAT SATU
POLTEKKES SURAKARTA
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Kedokteran Keluarga
Minat Utama Pendidikan Profesi kesehatan
Oleh:
PAJAR HARYATNO S 541208063
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA TAHUN 2014
▸ Baca selengkapnya: intensitas (tingkat keras dan lembut) bunyi dalam kalimat musik dan perubahannya, disebut dengan…….
(2)(3)(4)MOTTO
“
M
an
J
adda
W
a
J
adda
”
―
Siapa yang Bersungguh Sungguh Pasti Sukses
―
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan kepada : Allah SWT dan Rosulku
Bapak Suparmin dan Ibu Sumarsi pahlawanku
Bapak Drs. Yadi Hartanto dan Ibu Tri Sarwoni penyayangku Saudara-saudaraku yang kusayang dan kuhormati
Istriku tercinta Adinda Dyah Retnaningsih
Jagoan dan Mujahid-mujahidku : Mas Irfan dan Dik Rafi
PERNYATAAN KEASLIAN DAN PERSYARATAN PUBLIKASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa :
1. Tesis yang berjudul : “Hubungan Intensitas Olahraga dan Pola Tidur dengan Tingkat Stres Pada Mahasiswa Tingkat Satu Poltekkes Surakarta” ini adalah karya penelitian saya sendiri dan tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam kutipan serta daftar pustaka. Apabila ternyata di dalam Tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, maka saya bersedia Tesis beserta gelar Magister saya dibatalkan serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).
2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (6 bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Prodi PDPK PPs-UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi PDPK PPs-UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi yang berlaku.
Surakarta, Juni 2014 Mahasiswa,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Hubungan Intensitas Olahraga dan Pola Tidur dengan Tingkat Stres Pada Mahasiswa Tingkat Satu Poltekkes Surakarta”. Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Kesehatan pada Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penyusunan tesis ini penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di kampus Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S, selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti pendidikan di Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Dr. Hari Wujoso, dr, Sp.F, MM, selaku Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan saran dan masukan untuk penyusunan tesis ini .
4. Dr. Nunuk Suryani, M.Pd selaku pembimbing I yang telah membimbing dalam tesis ini.
5. Dr. Sariyatun, M.Pd., M.Hum. selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan dan penelitian tesis ini.
6. Direktur Poltekkes Surakarta yang telah memberi ijin untuk tempet penelitian di Jurusan Fisioterapi Poltekkes Surakarta.
7. Ketua Jurusan Fisioterapi, Bapak M. Mudatsir Sy, Dipl.PT, SPsi, M.Kes yang mendukung dan memotivasi serta memfasilitasi dalam kelancaran selama pendidikan di pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Bapak Drs. Yadi Hartanto dan Ibu Tri Sarwoni yang terhormat, istriku (Dyah Retnaningsih) dan putra-putraku (Irfan Habib Ramadhan dan Rafi Hannan Adib) tercinta yang senantiasa membantu, memanjatkan do’a, dorongan dan semangat sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
9. Teman-teman seperjuangan mahasiswa pascarsarjana Program Magister Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Semoga semua kebaikan yang diberikan memperoleh ridlo dan pahala dari Allah SWT sebagai amal sholeh. Akhirnya saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan tesis ini sangat penulis harapkan.
Surakarta, Juni 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ... vii
Daftar Isi... ix
Daftar Gambar ... xi
Daftar Tabel ... xii
Lampiran ... xiii
BAB I PENDAHULUAN. ... 1
A.Latar Belakang. ... 1
B.Rumusan Masalah ... 5
C.Tujuan Penelitian ... 5
D.Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
A.Landasan Teori... 7
1. Stres...7
2. Intensitas Olahraga... ...18
3. Pola Tidur ...21
B.Penelitian yang relevan... ...28
C.Kerangka pikir...30
D.Hipotesis ...33
BAB III METODE PENELITIAN ... ....34
A.Jenis Penelitian...34
B.Tempat Dan Waktu Penelitian...35
C.Populasi dan Sampel ... 35
D.Identifikasi Variabel... 35
E. Definisi Operasional ... 36
F. Teknik Pengumpulan Data ... 37
G. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 39
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ... 44
A. Karakteristik Subyek Penelitian ... 44
B. Data Variabel Penelitian ... 45
C. Analisis Data ... 50
D. Pembahasan ... 57
E. Keterbatasan Penelitian ... 61
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. ... 63
A. Kesimpulan ... 63
B. Implikasi... ... 64
C. Saran ... 64
DAFTAR PUSTAKA ... 66
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Hubungan antara Intensitas Olahraga
dan Pola Tidur dengan Tingkat Stres ...29
Gambar 3.1 Desain Penelitian ...31
Gambar 4.1 Prosentase Kategori Variabel Intensitas Olahraga... ... 43
Gambar 4.2 Prosentase Kategori Variabel Pola Tidur... ... 43
Gambar 4.3 Prosentase Kategori Variabel Tingkat Stres... 45
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kisi-kisi kuisioner Intensitas olahraga ... . 34
Tabel 3.2 Kisi-kisi kuisioner Pola Tidur ... .. 35
Tabel 3.3 Kisi-kisi kuisioner Tingkat Stres ... 35
Tabel 3.4 Skoring Kuisioner Intensitas Olahraga, Pola Tidur dan Tingkat Stres.. 35
Tabel 3.5 Hasil uji konsistensi internal dari item variabel intensitas olahraga pola tidur dan tingkat stres yang memenuhi syarat reliabilitas...38
Tabel 3.6 Interpretasi koefisien korelasi (r)...39
Tabel 4.1 Deskripsi Umur Responden Mahasiswa...40
Tabel 4.2 Deskripsi Jenis Kelamin Responden Mahasiswa... 41
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Mahasiswa...41
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Intensitas Olahraga...42
Tabel 4.5 Deskripsi data intensitas olahraga ...43
Tabel 4.6 Distribusi frekuensi pola tidur mahasiswa...44
Tabel 4.7 Deskripsi data pola tidur...44
Tabel 4.8 Distribusi frekuensi tingkat stres mahasiswa...45
Tabel 4.9 Deskripsi data tingkat stres...46
Tabel 4.10 Hasil Uji Normalitas Data...47
Tabel 4.11 Hasil Uji Linieritas Hubungan Intensitas Olahraga dan Pola Tidur dengan Tingkat Stres ...48
Tabel 4.12 Hasil Uji Multikolinieritas Hubungan Intensitas Olahraga dan Pola Tidur dengan Tingkat Stres...49
Tabel 4.13 Hasil Uji Product Moment Hubungan Intensitas Olahraga dan Tingkat Stres ...49
Tabel 4.14 Hasil Uji Product Moment Pola Tidur dan Tingkat Stres...50
Tabel 4.15 Hasil uji Regresi Linier Berganda untuk mengetahui hubungan intensitas olahraga dan pola tidur dengan tingkat stres...51
Tabel 4.16 Hasil uji Regresi Linier Berganda pada Anova untuk mengetahui hubungan intensitas olahraga dan pola tidur dengan tingkat stres...51
Tabel 4.17 Hasil uji Regresi Linier Berganda pada Coefficient mengetahui hubungan intensitas olahraga dan pola tidur dengan tingkat stres...52
Tabel 4.18 Perhitungan Sumbangan Efektif dan Relatif... 53
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pengantar dan petunjuk pengisian kuisioner uji coba penelitian Lampiran 2. Informed Consent
Lampiran 3. Kuisioner uji coba variabel intensitas olahraga Lampiran 4. Kuisioner uji coba variabel pola tidur
Lampiran 5. Kuisioner uji coba variabel tingkat stres
Lampiran 6. Tabel Data Uji Coba Variabel Intensitas Olahraga
Lampiran 7. Tabel hasil analisis Uji reliabilitas kuisioner uji coba variabel intensitas olahraga
Lampiran 8.Tabel Data Uji Coba Variabel Pola Tidur
Lampiran 9.Tabel hasil analisis Uji reliabilitas kuisioner uji coba variabel Pola tidur
Lampiran 10.Tabel Data Uji Coba Variabel Tingkat Stres
Lampiran 11.Tabel hasil analisis Uji reliabilitas kuisioner uji coba variabel Tingkat stres
Lampiran 12. Kuisioner penelitian variabel intensitas olahraga Lampiran 13. Kuisioner penelitian variabel pola tidur
Lampiran 14. Kuisioner penelitian variabel tingkat stres Lampiran 15. Tabel Data Variabel Intensitas Olahraga Lampiran 16. Tabel Data Umur, jenis kelamin & variabel
Lampiran 17. Data deskriptif variabel intensitas olahraga dan hasil uji hubungan variabel intensitas olahraga dan tingkat stres
Lampiran 18. Data deskriptif variabel pola tidur dan hasil uji hubungan variabel pola tidur dan tingkat stres
Lampiran 19. Uji Linier berganda hubungan intensitas olahraga dan pola tidur dengan tingkat stres
Pajar Haryatno. 2014. NIM: S541208063. Hubungan Intensitas Olahraga dan Pola Tidur dengan Tingkat Stres pada Mahasiswa Tingkat Satu Poltekkes Surakarta. TESIS. Pembimbing I : Dr. Nunuk Suryani, M.Pd, II : Dr. Sariyatun, M.Pd, M.Hum. Program Studi Kedokteran Keluarga, Pendidikan Profesi Kesehatan, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
ABSTRAK
Latar Belakang : Memasuki dunia kuliah merupakan suatu perubahan besar pada kehidupan seseorang termasuk transisi dari seorang senior di Sekolah Menengah Atas (SMA) menjadi mahasiswa baru di perguruan tinggi. Mahasiswa tahun pertama memiliki tingkat stres lebih tinggi dibandingkan mahasiswa lainnya, hal ini karena mahasiswa tahun pertama harus menyesuaikan diri jauh dari rumah untuk pertama kalinya, ingin memperoleh prestasi akademis yang tinggi, dan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang baru. Cara untuk mengelola stres adalah melakukan olahraga secara teratur untuk kebugaran merupakan salah satu cara terbaik untuk mengurangi stres. Faktor lain yang mempengaruhi tingkat stres adalah pola tidur seseorang. Pola tidur yang baik dan teratur memberikan efek yang bagus terhadap kesehatan.
Tujuan : Menganalisis hubungan intensitas olahraga dan pola tidur dengan tingkat stres pada mahasiswa tingkat satu Prodi DIII Fisioterapi Politeknik Kesehatan Surakarta
Metoda : Menggunakan analitik observasional dengan desain penelitian cross sectional. Sampel yaitu seluruh mahasiswa tingkat I Prodi DIII Fisioterapi Politeknik Kesehatan Surakarta sejumlah 91 orang. Instrumen yang digunakan adalah kuisioner. Data dianalisis menggunakan analisis korelasi dan regresi linier berganda dengan program SPSS versi 17.0 for windows.
Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) intensitas olahraga tidak berhubungan secara signifikans dengan tingkat stres karena nilai probabilitasnya menunjukkan 0,510 > 0,05 (2) pola tidur berhubungan secara signifikan dengan tingkat stres, karena nilai probabilitasnya menunjukkan 0,00 < 0,05 (3) ada hubungan secara simultan antara intensitas olahraga dan pola tidur dengan tingkat stres, karena signifikansi menunjukkan 0,00 < 0,05.
Kesimpulan : Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan secara bersama-sama antara intensitas olahraga dan pola tidur dengan tingkat stres.
Kata Kunci: Intensitas Olahraga, Pola Tidur, Tingkat Stres
Pajar Haryatno. , 2014. NIM: S541208063. The Relationship of the Sport intensity and Sleep Patterns with Stress Levels on the first degree of Surakarta Health Polytechnic. THESIS. Principal Advisor : Dr. Nunuk Suryani, M. Pd, Co-advisor: Dr. Sariyatun, M.Pd, M.Hum. Magister of Family Medicine Postgraduate Program, Sebelas Maret University, Surakarta.
ABSTRACT
Background: Enter the world of college is a big change in a person's life, including the transition from a senior in high school that became a freshman at college. The first year students have higher stress levels than other students, this is because the first-year students must adapt away from home for the first time, they want to gain high academic achievement, and they must adapt to a new social environment. How to manage stress is to exercise on a regular basis for fitness it is one of the best ways to reduce stress. Other factors that affect the level of stress is one's sleep patterns. Good sleep patterns and regularly gives a nice effect on health.
Objective: The objective of this research is analyzing the relationship of the sport intensity and sleep pattern with stress levels to the students of Physiotherapy diploma in Health Polytechnic Surakarta.
Methods: To use an observational analytic cross-sectional study design. Samples that all students Physiotherapy Diploma first Level in Health Polytechnic Surakarta are of 91 people. The instrument used was a questionnaire. The data were analyzed using correlation analysis and multiple linear regression with SPSS version 17.0 for Windows.
Results: The results showed that (1) the sport intensity did not correlate with the level of stress due to the significance probability value that showed 0.510 > 0.05 (2) sleep patterns significantly associated with the level of stress, because the probability value indicates 0.00 < 0.05 (3) there is a simultaneous relationship between sport intensity and sleep patterns with level of stress, because of the significance that showed 0.00 < 0.05.
Conclusion: The results of this research could be concluded there was a relationship together between sport intensity and sleep patterns in stress levels.
Keywords: Sports Intensity, Sleep Patterns, Stress Levels
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan jaman mendorong manusia untuk bergerak lebih cepat
dan produktif guna memenuhi kebutuhan hidup. Usaha manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidup baik fisik, mental emosional, dan sosial tidak
jarang menghadapi rintangan. Rintangan, tekanan-tekanan dan
kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup menjadikan individu stres,
sehingga mempengaruhi fungsi fisiologis, kognitif, emosi, dan perilaku.
Stres merupakan suatu ketidakseimbangan yang besar antara permintaan
yang berupa fisik ataupun psikologis dengan kemampuan respon di mana
terjadinya kegagalan untuk memenuhi permintaan yang memberi konsekuensi
yang esensial. Stres dapat mengganggu kondisi fisik dan kesehatan mental
(Krohne, 2002).
Dewasa ini, stres diakui sebagai pembunuh nomor satu di dunia karena
stres diyakini sebagai akar penyakit. Menurut catatan The American Medical
Association, stres adalah penyebab dasar dari 60 persen semua penyakit manusia
dan komplikasinya (Syarifah, 2013). Survei yang dilakukan oleh Widianingrum
(2012) terhadap 221 mahasiswa yang direkrut secara acak menunjukkan bahwa
satu dari empat mahasiswa mengalami tingkat stres sedang, sementara hampir 4 %
menunjukkan tingkat burn-out yang tinggi. Sebanyak dua belas persen dari 217
responden mahasiswa dalam penelitian Anisah (2012) menunjukkan gejala
dalam penelitian Pratiwi (2012) menunjukkan gejala-gejala depresi. Temuan
penelitian-penelitian lapangan ini sejalan dengan data pada layanan konsultasi
psikologi di Gadjah Mada Medical Center (GMC). Menurut analisis yang
dilakukan oleh Utami (2011), klien-klien yang dilayani di GMC sebagian besar
menunjukkan masalah-masalah terkait dengan perasaan kurang bersemangat,
tertekan, gangguan konsentrasi, perasaan bingung, kesulitan tidur, putus asa, dan
dorongan mengakhiri hidup, bahkan pada beberapa kasus telah terjadi percobaan
bunuh diri oleh mahasiswa.
Mahasiswa baru merupakan status yang disandang oleh mahasiswa di
tahun pertama kuliahnya. Memasuki dunia kuliah merupakan suatu perubahan
besar pada hidup seseorang termasuk transisi dari seorang senior di Sekolah
Menengah Atas (SMA) menjadi mahasiswa baru di perguruan tinggi (Santrock,
2003 dalam Silalahi, 2010). Secara khusus Greenberg merangkum penyebab stres
pada mahasiswa yang memasuki perkuliahan setelah lulus dari SMA, yaitu
perubahan gaya hidup, nilai, jumlah mata kuliah yang diambil, masalah
pertemanan, cinta, rasa malu, dan kecemburuan (Silalahi, 2010). Sejalan dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Towbes & Cohen (1996) dalam Ross (1999)
menyatakan bahwa mahasiswa tahun pertama memiliki tingkat stres lebih tinggi
dibandingkan mahasiswa lainnya, hal ini karena mahasiswa tahun pertama harus
menyesuaikan diri jauh dari rumah untuk pertama kalinya, ingin memperoleh
prestasi akademis yang tinggi, dan harus menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosial yang baru.
Bila dicermati secara mendalam, masalah-masalah kesehatan mental pada
mahasiswa bersumber pada aspek akademis maupun non-akademis, dan dari
faktor internal maupun eksternal mahasiswa. Masalah-masalah akademis terutama
disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan studi,
misalnya akibat salah memilih jurusan, metode pembelajaran yang berbeda
dengan SMA, cara dosen mengajar, tugas perkuliahan, masalah-masalah dalam
pengerjaan skripsi, dan kehawatiran terhadap karier dan masa depan.
Permasalahan non-akademis terutama berasal dari tekanan sosial yang dialami
mahasiswa sehari-hari seperti permasalahan yang terkait dengan keluarga,
misalnya karena tinggal terpisah dari keluarga, kondisi keuangan keluarga,
riwayat pola pengasuhan asuh dari orangtua, perbedaan prinsip dengan orangtua.
Selain itu masalah-masalah yang bersumber dari kehidupan di pondokan,
hubungan pertemanan dengan latar belakang sosial dan budaya yang berbeda,
kesulitan adaptasi umum, masalah dalam hubungan lawan jenis, serta masalah di
dalam organisasi dan kegiatan kemahasiswaan sering merupakan sumber
permasalahan yang serius bagi mahasiswa (Center for Public Mental Health
UGM, 2012).
Mencari cara untuk mengelola stres adalah bagian yang penting untuk
menjaga diri kita sendiri. Melakukan olahraga secara teratur untuk kebugaran
merupakan salah satu cara terbaik untuk mengurangi stres (Suryanto, 2011).
Beberapa studi telah menunjukkan aktivitas fisik dapat mengurangi insiden dan
tingkat keparahan gangguan mood stres yang terkait, termasuk ansietas dan
olahraga memberi dampak protektif terhadap stres secara konsisten baik pada
olahraga jenis aerobik ataupun anaerobik (Greenwood & Fleshner, 2008). Efek ini
dikaitkan dengan meningkatnya neurotransmiter, khususnya serotonin dan
dopamin. Selain itu olahraga juga dapat meningkatkan sekresi opioid endogen
ataupun endorfin (Greenwood & Fleshner, 2008). Olahraga dapat menjadi sumber
yang berguna untuk memerangi efek kesehatan yang merugikan dari stres (Castro,
Wilcox O'Sullivan, Baumann, & King, 2002).
Disamping melakukan olah raga faktor lain yang mempengaruhi tingkat
stres adalah pola tidur seseorang. Belakangan ini, pola tidur yang dimiliki para
mahasiswa tidak teratur lagi. Pola tidur yang tidak baik itu sangat berdampak
buruk bagi para mahasiswa. Hubungan pola tidur dengan konsentrasi belajar siswa
tentulah tidak asing lagi yang pernah kita dengar. Banyak sekali mahasiswa yang
tidak memperhatikan pola tidurnya saat ini, hal tersebut bisa kita lihat ketika
pelajaran sedang berlangsung ada mahasiswa yang tertidur ketika guru sedang
menjelaskan pelajaran. Mungkin mereka menganggap hal tersebut adalah sepele,
tetapi kalau diteruskan akan menjadi kebiasaan yang buruk.
Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh
semua orang. Setiap orang memerlukan kebutuhan istirahat atau tidur yang cukup
agar tubuh dapat berfungsi secara normal. Pada kondisi istirahat dan tidur, tubuh
melakukan proses pemulihan untuk mengembalikan stamina tubuh hingga berada
dalam kondisi yang optimal. Pola tidur yang baik dan teratur memberikan efek
yang bagus terhadap kesehatan (Guyton & Hall, 1997). Menurut Lanywati (2001),
kebutuhan tidur yang cukup, ditentukan selain oleh jumlah faktor jam tidur
(kuantitas tidur), juga oleh kedalaman tidur (kualitas tidur).
Maka kebiasaan berolahraga mampu mempengaruhi tingkat stres pada
setiap individu dengan mekanisme yang kompleks dan berbeda antara satu sama
lain.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik melakukan penelitian
mengenai hubungan antara intensitas berolahraga dan pola tidur dengan tingkat
stres pada mahasiswa tingkat satu Prodi DIII Fisioterapi Politeknik Kementerian
Kesehatan Surakarta angkatan 2013-2014.
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini akan dilakukan terhadap seluruh mahasiswa tingkat satu
Prodi DIII Fisioterapi Politeknik Kementerian Kesehatan Surakarta angkatan
2013-2014. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Adakah hubungan intensitas berolahraga dengan tingkat stres.
2. Adakah hubungan pola tidur dengan tingkat stres.
3. Adakah hubungan bersama intensitas berolahraga dan pola tidur dengan
tingkat stres.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis hubungan intensitas berolahraga dengan tingkat stres.
3. Menganalisis hubungan bersama intensitas berolahraga dan pola tidur
dengan tingkat stres.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:
1. Menambah pengetahuan penulis tentang hubungan antara berolahraga
teratur dengan tingkat stres pada subyek sehat.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan terhadap ilmu
pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu Fisioterapi dan sebagai bahan
penelitian selanjutnya.
3. Memberi wawasan dan informasi kepada pembaca mengenai hubungan
antara intensitas berolahraga dan pola tidur dengan tingkat stres.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Stres
a. Pengertian stres
Stres merupakan suatu ketidak seimbangan yang besar antara permintaan
yang berupa fisik ataupun psikologis dengan kemampuan respon di mana
terjadinya kegagalan untuk memenuhi permintaan yang memberi konsekuensi
yang esensial. Stres dapat mengganggu kondisi fisik dan kesehatan mental kita
(Krohne, 2002).
Menurut Lazarus & Folkman (1984) stres adalah keadaan internal yang
dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial
yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan
individu untuk mengatasinya. Menurut Hans Selye (dalam Hawari, 2002), stres
adalah respon tubuh yang sifatnya tidak spesifik terhadap setiap tuntutan beban
atasnya.
b. Fisiologi stres
Cannon (dalam Ogden, 2004) memberikan deskripsi mengenai bagaimana
reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa yang mengancam. Ia menyebutkan reaksi
tersebut sebagai fight-or-flight response karena respon fisiologis mempersiapkan
individu untuk menghadapi atau menghindari situasi yang mengancam tersebut.
terhadap situasi yang mengancam. Akan tetapi bila stres yang tinggi terus
menerus muncul dapat membahayakan kesehatan individu.
Hans Selye (dalam Niven, 2002) mempelajari akibat yang diperoleh bila
stresor terus menerus muncul. Ia mengembangkan istilah General Adaptation
Syndrome (GAS) yang terdiri atas rangkaian tahapan reaksi fisiologis terhadap
stresor yaitu:
1). Fase reaksi peringatan (Alarm reaction)
Pada fase ini individu secara fisiologis merasakan adanya ketidakberesan
seperti jantungnya berdegup, keluar keringat dingin, muka pucat, leher tegang,
nadi bergerak cepat dan sebagainya. Fase ini merupakan pertanda awal orang
terkena stres.
2). Fase resistensi (Stage of resistence)
Pada fase ini tubuh membuat mekanisme perlawanan pada stres, sebab
pada tingkat tertentu, stres akan membahayakan. Tubuh dapat mengalami
disfungsi, bila stres dibiarkan berlarut-larut. Selama masa perlawanan tersebut,
tubuh harus cukup tersuplai oleh gizi yang seimbang, karena tubuh sedang
melakukan kerja keras.
3). Fase kelelahan (Stage of exhaustion)
Fase disaat orang sudah tak mampu lagi melakukan perlawanan. Akibat
yang parah bila seseorang sampai pada fase ini adalah penyakit yang dapat
menyerang bagian – bagian tubuh yang lemah.
c. Tipe stres
Stres memiliki efek negatif, tetapi kadang-kadang stres dapat memiliki
efek positif yang menguntungkan kesehatan. Stres terbagi atas dua tipe yaitu
distress dan eustress. Distress adalah stres yang merugikan dan memiliki efek
negatif terhadap tubuh kita sedangkan eustress adalah stres positif yang
menguntungkan kesehatan (Ogden, 2004).
Menurut Australian Psychological Society (2012), stres dibagi menjadi
stres akut, stres akut episodik, dan stres kronik. Stres akut adalah stres yang terjadi
hanya sesaat setelah seseorang mengalami suatu kejadian. Stres akut episodik
sering terjadi pada mahasiswa yang akan mengikuti ujian. Mereka akan
mengalami stres yang dimulai pada saat pengumuman waktu ujian sampai ujian
tersebut selesai. Stres kronik adalah stres yang berlangsung dalam jangka waktu
yang lama.
d. Klasifikasi stres berdasarkan etiologinya
1). Stres kepribadian (Personality stress)
Stres kepribadian adalah stres yang dipicu oleh masalah dari dalam diri
seseorang. Berhubungan dengan cara pandang pada masalah dan kepercayaan atas
dirinya. Orang yang selalu bersikap positif akan memiliki risiko yang kecil
terkena stres kepribadian.
2). Stres psikososial (Psychosocial stress)
Stres psikososial adalah stres yang dipicu oleh hubungan dengan orang
lain di sekitarnya ataupun akibat situasi sosialnya. Contohnya stres ketika
mengadaptasi lingkungan baru, masalah keluarga, stres macet di jalan raya dan
lain-lain.
3). Stres bio-ekologi (Bio-ecological stress)
Stres bio-ekologi adalah stres yang dipicu oleh dua hal. Hal yang
pertama adalah ekologi atau lingkungan seperti polusi serta cuaca. Sedangkan hal
yang kedua adalah kondisi biologis seperti menstruasi, demam, asma, jerawatan,
dan lain-lain.
4). Stres pekerjaan (Job stress)
Stres pekerjaan adalah stres yang dipicu oleh pekerjaan seseorang.
Persaingan di kantor, tekanan pekerjaan, terlalu banyak kerjaan, target yang
terlalu tinggi, usaha yang diberikan tidak berhasil, persaingan bisnis adalah
beberapa hal umum yang dapat memicu munculnya stres akibat karir pekerjaan.
5). Stres mahasiswa (Student stress)
Stres mahasiswa itu dipicu oleh dunia perkuliahan. Sewaktu perkuliahan
terdapat tiga kelompok stresor yaitu stresor dari segi personal dan sosial, gaya
hidup dan budaya, serta stresor yang dicetuskan oleh faktor akademis kuliah itu
sendiri (Rice, 1999 dalam Pin, 2011).
e. Tahapan stres
Gejala-gejala stres pada diri seseorang seringkali tidak disadari karena
perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat dan baru dirasakan bilamana
tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari baik
di rumah, tempat kerja ataupun di pergaulan lingkungan sosial (Hawari, 2002).
Dr. Robert J. Van Amber pada tahun 1979 (dalam Hawari, 2002) dalam
penelitiannya membagi tahapan-tahapan stres sebagai berikut:
1). Stres tahap I
Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya
disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut: (1) semangat bekerja besar,
berlebihan (over acting), (2) penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya, (3)
merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, namun tanpa
disadari cadangan energi dihabiskan (all out) disertai rasa gugup yang berlebihan
pula, (4) merasa senang dengan pekerjaannya itu dan semakin bertambah
semangat, namun tanpa disadari cadangan energi semakin menipis.
2). Stres tahap II
Dalam tahapan ini dampak stres yang semula menyenangkan sebagaimana
diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan yang
disebabkan cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari karena tidak cukup
waktu untuk beristirahat. Istirahat antara lain dengan tidur yang cukup bermanfaat
untuk mengisi atau memulihkan cadangan energi yang mengalami defisit.
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang yang berada
pada stres tahap II adalah sebagai berikut: (1) merasa letih sewaktu bangun pagi,
(2) merasa mudah lelah sesudah makan siang, (3) lekas merasa capai menjelang
sore hari, (4) sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman (bowel
discomfort), (5) detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar), (6) otot-otot
punggung dan tengkuk terasa tegang, (6) tidak bisa santai.
3). Stres tahap III
Bila seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa
di atas, maka yang bersangkutan akan menunjukkan keluhan-keluhan yang
semakin nyata dan mengganggu yaitu: (1) gangguan lambung dan usus semakin
nyata, misalnya gastritis dan diare, (2) ketegangan otot-otot semakin terasa, (3)
perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat, (4)
gangguan pola tidur (insomnia), (5) koordinasi tubuh terganggu.
Pada tahapan ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter untuk
memperoleh terapi atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi.
4). Stres tahap IV
Tidak jarang seseorang pada waktu memeriksakan diri ke dokter
sehubungan dengan keluhan-keluhan stres pada tahap III di atas, oleh dokter
dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ
tubuhnya.
Bila hal ini terjadi dan yang bersangkutan terus memaksakan diri untuk
bekerja tanpa mengenal istirahat, maka gejala stres tahap IV akan muncul: (1)
untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit, (2) aktivitas pekerjaan
yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan
terasa lebih sulit, (3) semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan
kemampuan untuk merespons secara memadai, (4) ketidakmampuan untuk
melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari, (5) gangguan pola tidur disertai dengan
mimpi-mimpi yang menegangkan, (6) seringkali menolak ajakan karena tidak ada
semangat dan gairah, (7) daya ingat dan konsentrasi menurun, (8) timbul perasaan
takut dan cemas yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya.
5). Stres tahap V
Bila keadaan berlanjut, maka akan terjadi stres tahap V yang ditandai
dengan hal-hal berikut: (1) kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam
(physical and psychological exhaustion), (2) ketidakmampuan menyelesaikan
pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana, (3) gangguan sistem pencernaan
semakin berat (gastro-intestinal disorder), (4) timbul perasaan takut dan cemas
yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik.
6). Stres tahap VI
Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan
panik dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang mengalami stres tahap VI
ini berulang kali dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ke ICCU, meskipun pada
akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh.
Gambaran stres tahap ini adalah sebagai berikut: (1) debaran jantung
teramat keras, (2) susah bernafas, (3) sekujur badan terasa gemetar, dingin dan
keringat bercucuran, (4) ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan, (5) pingsan
atau collapse.
f. Tingkat stres
Menurut Rasmun (dalam Carolin, 2010), stres dibagi menjadi tiga
tingkatan. Stres ringan adalah stres yang tidak merusak aspek fisiologis dari
seseorang. Stres ringan umumnya dirasakan oleh setiap orang misalnya lupa,
ketiduran, dikritik, dan kemacetan. Stres ringan biasanya hanya terjadi dalam
beberapa menit atau beberapa jam. Situasi ini tidak akan menimbulkan penyakit
kecuali jika dihadapi terus menerus.
Stres sedang dan stres berat dapat memicu terjadinya penyakit. Stres
sedang terjadi lebih lama, dari beberapa jam hingga beberapa hari. Contoh dari
stresor yang dapat menimbulkan stres sedang adalah kesepakatan yang belum
selesai, beban kerja yang berlebihan, mengharapkan pekerjaan baru, dan anggota
keluarga yang pergi dalam waktu yang lama.
Stres berat adalah stres kronis yang terjadi beberapa minggu sampai
beberapa tahun. Contoh dari stresor yang dapat menimbulkan stres berat adalah
hubungan suami istri yang tidak harmonis, kesulitan finansial, dan penyakit fisik
yang lama.
g. Faktor- Faktor yang Menyebabkan Stres
Stres disebabkan oleh banyak faktor yang disebut dengan stressor. Stressor
merupakan stimulus yang mengawali atau mencetuskan perubahan. Stressor
menunjukkan suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan tersebut bisa
saja kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial, lingkungan, perkembangan, spiritual,
atau kebutuhan kultural. Stressor secara umum dapat diklasifikasikan sebagai
stressor internal dan stressor eksternal. Stressor internal berasal dari dalam diri
seseorang misalnya kondisi fisik, atau suatu keadaan emosi. Stressor eksternal
berasal dari luar diri seseorang misalnya perubahan lingkungan sekitar, keluarga
dan sosial budaya (Potter & Perry, 2005).
Penyebab stres dapat dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu kategori
pribadi dan kategori kelompok atau organisasi. Kedua kategori ini, baik secara
langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada individu atau kelompok dan
Santrock (2003) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
stres terdiri atas :
1) Beban yang terlalu berat, konflik dan frustasi Beban yang terlalu berat
menyebabkan perasaan tidak berdaya, tidak memiliki harapan yang disebabkan
oleh stres akibat pekerjaan yang sangat berat dan akan membuat penderitanya
merasa kelelahan secara fisik dan emosional.
2) Faktor kepribadian
Tipe kepribadian A merupakan tipe kepribadian yang cenderung untuk
mengalami stres, dengan karakteristik kepribadian yang memiliki perasaan
kompetitif yang sangat berlebihan, kemauan yang keras, tidak sabar, mudah
marah dan sifat yang bemusuhan.
3) Faktor kognitif
Sesuatu yang menimbulkan stres tergantung bagaimana individu menilai
dan menginterpretasikan suatu kejadian secara kognitif. Penilaian secara kognitif
adalah istilah yang digunakan oleh Lazarus untuk menggambarkan interpretasi
individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup mereka sebagai sesuatu yang
berbahaya, mengancam atau menantang dan keyakinan mereka dalam menghadapi
kejadian tersebut dengan efektif. Pada umumnya stressor psikososial dapat
digolongkan sebagai berikut:
1) Perkawinan
Berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stres yang dialami
seseorang; misalnya pertengkaran, perpisahan, perceraian, kematian salah satu
pasangan, ketidaksetian, dan lain sebagainya.
2) Problem orang tua
Permasalahan yang dihadapi orang tua; misalnya kenakalan anak, anak
sakit, hubungan yang tidak baik dengan mertua, ipar, besan dan lain sebagainya.
3) Hubungan interpersonal
Gangguan ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat/orang-orang
disekitar yang mengalami konflik.
4) Pekerjaan
Masalah pekerjaan merupakan sumber stres kedua setelah masalah
perkawinan; misalnya pekerjaan terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok, mutasi,
jabatan, kenaikan pangkat, pensiun, kehilangan pekerjaan, dan lain sebagainya.
5) Lingkungan hidup
Kondisi lingkungan yang buruk besar pengaruhnya bagi kesehatan
seseorang. Rasa tercekam dan tidak merasa aman ini amat mengganggu
ketenangan dan ketenteraman hidup, sehingga tidak jarang orang jatuh kedalam
depresi dan kecemasan.
6) Keuangan
Masalah keuangan (kondisi sosial-ekonomi) yang tidak sehat misalnya
pendapatan jauh lebih rendah dari pengeluaran, terlibat utang, kebangkrutan
usaha, soal warisan dan lain sebagainya sangat berpengaruh terhadap kesehatan
jiwa seseorang.
7) Hukum/peraturan
Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum/peraturan yang ada dapat
merupakan sumber stres pula.
8) Perkembangan
Yang dimaksud disini adalah masalah perkembangan baik fisik maupun
mental seseorang, misalnya masa remaja, masa dewasa, menopouse, usia lanjut,
dan sebagainya.
9) Kondisi fisik atau cidera
10) Faktor keluarga
Faktor keluarga yang dimaksud disini adalah faktor stres yang dialami
oleh seseorang yang disebabkan karena kondisi keluarga yang tidak baik yaitu
sikap orang tua.
11) Lain-lain
Stressor kehidupan yang lainnya juga dapat menimbulkan depresi dan
kecemasan adalah bencana alam, kebakaran, perkosaan, dan sebagainya (Yosep,
2007).
Nelson dalam Agoes (2003) menyebutkan bahwa penyebab stres
umumnya adalah: pindah ke daerah baru, masuk perguruan tinggi, pindah sekolah,
menikah, hamil, baru bekerja, gaya hidup baru, perceraian, kematian orang yang
dicintai, dipecat dari pekerjaan, tekanan waktu, persaingan, kesulitan keuangan,
suasana atau bunyi yang sangat ramai atau bising, tidak puas atau tidak nyaman.
Terjadinya stres karena stressor tersebut dipersepsikan oleh individu
tanda umum dan awal dari gangguan kesehatan fisik, psikologis, bahkan spiritual.
Sedangkan dampak dari stressor tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor
yaitu: Sifat stressor, jumlah stressor pada saat yang bersamaan, lama pemajanan
terhadap stressor, pengalaman masa lalu, tingkat perkembangan (Kozier & Erb,
1983 dalam Keliat, 1998).
2. Intensitas Olahraga
Olahraga adalah serangkaian gerak raga yang teratur dan terencana yang
dilakukan orang sadar untuk meningkatkan kemampuan fungsionalnya
(Griwijoyo, 2007 dalam Rahayu & Suhayat, 2011). Di dalam deklarasi
International Council of Sport and Physical Education tentang olahraga
dinyatakan bahwa olahraga ialah setiap kegiatan fisik yang bersifat permainan dan
yang berupa perjuangan terhadap kekuatan-kekuatan alam tertentu (dalam
Soejono & Harjadi, 1984).
Olahraga dilakukan secara teratur setiap hari atau 3 kali seminggu minimal
30 menit setiap berolahraga (Depkes, 2002). Olahraga teratur adalah gerakan
seluruh organ tubuh dengan cara dan periode tertentu, serta dilakukan secara
teratur agar tubuh terlihat bugar dan sehat. Sesuai yang dianjurkan oleh Depkes
(2002), olahraga minimal 3 kali seminggu @ 30 menit, maka 3 x 30 menit adalah
waktu minimal berolahraga yang paling sedikit dalam seminggu. Jadi berdasarkan
hal tersebut maka dibagi 2 kategori untuk tingkat olah raga yaitu ringan (<90
menit) dan berat (> 90 menit). Tingkat aktifitas olahraga didapat dengan
a. Manfaat olahraga
Olahraga yang teratur dapat meningkatkan kesehatan jasmani. Kesehatan
jasmani merupakan suatu kondisi kompleks yang terdiri dari kekuatan otot, daya
tahan otot, fleksibilitas dan kesehatan kardiorespiratori (aerobic fitnesss)
(Bernstein & Nash, 2006). Selain itu, olahraga yang teratur juga membantu dalam
kontrol berat badan dan optimisasi berat badan. Obesitas dapat diperbaiki dengan
berolahraga yaitu dengan durasi 60-90 menit setiap hari mungkin diperlukan
(Hansen et al., 2005).
Dalam tahun terakhir ini, ahli psikologis kesehatan telah meneliti tentang
peranan olahraga aerobik dalam mempertahankan kesehatan mental dan fisik.
Olahraga aerobik dapat menstimulasi dan memperkuatkan sistem kardiovaskular
dan respiratori serta memperbaiki penggunaan oksigen pada tubuh. Olahraga
aerobik juga memberi manfaat yang banyak terhadap kesehatan. Olahraga
kira-kira hanya 30 menit sehari dapat menurunkan risiko untuk menderita penyakit
kronis seperti penyakit jantung dan kanker (Taylor, 2009). Selain daripada
meningkatkan efisiensi sistem kardiorespiratori,olahraga yang teratur juga boleh
meningkatkan kapasitas kerja fisik, penurunan ataupun kontrol hipertensi,
memperbaiki kadar kolestrol dan toleransi glukosa, meningkatkan toleransi
terhadap stres dan pengurangan kebiasaan yang buruk seperti merokok, konsumsi
alkohol dan diet yang tidak baik (Taylor, 2009).
Olahraga berserta perubahan pola makan juga dapat mengurangi risiko
menderita diabetes tipe II pada golongan yang berisiko tinggi. Olahraga juga
Kiecolt-Glaser, Malarkey, & Frid, 2005). Olahraga yang teratur juga dapat
memanjangkan umur. Laki-laki dan perempuan yang mempunyai tingkat
kebugaran fisik yang lebih tinggi dapat menunda mortalitas yang dipicu oleh
penyakit kardiovaskuler dan kanker (Taylor, 2009).
b. Hubungan stres dan olahraga
Ketika seseorang mengambil bagian dalam suatu aktivitas fisik maka otak
akan memberi respon kimia tertentu. Endorfin adalah polipeptida yang mengikat
pada reseptor neuron di otak dandapat menghilangkan efek dari stres (Carruthers,
2006). Mekanisme terjadi efek ini disebabkan oleh terjadinya perubahan struktur
dan fisiologis yang menghubungkan partisipasi olahraga yang berulang. Selain
itu, olahraga yang teratur boleh meningkatkan kepekaan insulin. Kepekaan insulin
meningkat karena peningkatan volume otot, aliran darah kepada otot-otot yang
aktif dan kapasitas oksidatif bahan bakar dalam tubuh. Peningkatan kapasitas
oksidatif yang disebabkan oleh proses biogenesis mitokondrial juga memberi efek
yang positif terhadap homeostasis lipid di mana bisa juga meningkatkan
metabolisme basal. Peningkatan metabolisme basal dapat menyeimbangkan energi
yang dikerahkan semasa aktivasi simpatis (Stewart. Et al., 2005).
Olahraga juga membantu dalam memulihkan ekspresi genetik yang
alamiah untuk menjamin survival ketika menghadapi suatu kejadian stres dan
sembuh dari kejadian tersebut (Booth. Et al, 2002). Di samping itu, beberapa
penelitian juga menunjukkan bahwa olahraga dapat menurunkan insiden dan
keparahan gangguan mood yang berkaitan dengan stres termasuk ansietas dan
depresi. Efek ini berhubung dengan peningkatan neurotransmiter terutamanya
serotonin dan dopamin dan juga sekresi endorfin (Greenwood, 2008).
Maka, olahraga adalah salah satu cara yang sungguh bermanfaat untuk
melawan efek stres terhadap kesehatan yang merugikan (Castro, Wilcox. O’Sullivan, Baumann, & King, 2002). Jadi, olahraga yang teratur dapat
mempengaruhi tingkat stres dengan adanya perubahan kimia dalam otak setelah
berolahraga. Perubahan tersebut mencakup transportasi dan metabolisme
neurotransmiter yang mengubah aktivitas neurotransmiter (Brannon & Feist,
2007).
3. Pola Tidur
Pola tidur adalah model, bentuk atau corak tidur dalam jangka waktu yang
relatif menetap dan meliputi (1) jadwal jatuh (masuk) tidur dan bangun, (2) irama
tidur, (3) frekuensi tidur dalam sehari, (4) mempertahankan kondisi tidur, dan (5)
kepuasan tidur.
Gangguan pola tidur adalah suatu keadaan di mana seseorang mengalami
perubahan jumalh/kualitas pola tidur dan istirahat sehubungan dengan kedaaan
biologis atau kebutuhan emosi.
a. Pola tidur yang normal pada remaja
Tidur merupakan suatu fenomena yang umum, terjadi kehilangan
kesadaran yang bersifat sementara dan merupakan suatu keadaan fisiologik aktif
yang ditandai dengan adanya fluktuasi yang dinamik pada parameter susunan
dua macam yaitu rapid eye movement (REM) dan non-rapid eye movement
(NREM). Berdasarkan studi pola gelombang otak NREM terbagi menjadi
beberapa tingkat dimulai dari keadaan mengantuk sampai tidur nyenyak. Tingkat
awal (tingkat I dan II) adalah mudah terbangun dan bahkan tidak menyadari bila
sedang tertidur. Tingkat lanjutan (tingkat III dan IV) ialah sangat sulit
dibangunkan, dan apabila dibangunkan akan disorientasi dan bingung.
Kegunaan tidur belum sepenuhnya diketahui, tetapi tidur merupakan
proses penting dalam konsolidasi ingatan serta proses penyembuhan. Lamanya
kebutuhan tidur bervariasi antara tiap orang dan sangat sulit untuk menilai berapa
lama tidur yang dibutuhkan oleh seseorang untuk dapat berfungsi optimal. Pola
tidur remaja perlu perhatian lebih karena berhubungan pada performa sekolah.
Pada 20 tahun terakhir ini, para peneliti mengenai tidur menyadari perbedaan
perubahan pola tidur pada remaja. Perubahan tersebut ialah jam biologis remaja
atau disebut irama sirkadian. Pada permulaan masa pubertas, fase tidurnya
menjadi telat. Untuk terjatuh tidur menjadi lebih malam dan bangun tidur lebih
telat pada pagi hari. Dan remaja tersebut lebih waspada pada malam hari dan
menjadi lebih susah tidur.
Menurut penelitian remaja membutuhkan waktu 9 sampai 9.25 jam untuk
tidur dalam sehari. Namun nyatanya sekitar 8 jam sehari karena pengaruh waktu
sekolah. Waktu tidur dan bangun berdasarkan waktu sekolah dan kehidupan sosial
akan mengkontribusi pengurangan waktu tidur pada remaja. Penelitian yang
dilakukan oleh Iglowstein dkk terhadap anak di Swiss mendapatkan hasil bahwa
anak usia 12 sampai 15 tahun memiliki rata-rata jumlah waktu tidur sebanyak 8,4
sampai 9,3 jam per hari.
Salah satu contoh pola tidur yang tidak baik adalah kurang tidur. Pada
dasarnya penyebab kurang tidur disebabkan oleh diri kita sendiri. Menurut
Carpenter dan Graham bahwa remaja sering kurang tidur karena adanya
perubahan denyut jantung yang diakibatkan oleh perubahan hormon yang
dihasilkan oleh otak. Selain itu, perkembangan teknologi seperti permainan lewat
komputer, internet, video dan televisi juga menjadi penyebab utama kurangnya
tidur pada siswa.
Dari beberapa pendapat para ahli tentang tidur dapat disimpulkan bahwa
tidur sangat penting bagi tubuh. Karena pada saat tidur sebagian organ tubuh
termasuk otak akan beristirahat. Jika kita kurang tidur maka otak kita pun kurang
istirahat, hal itu menyebabkan konsentrasi belajar menjadi terganggu. Jam
biologis merupakan pengatur waktu internal dalam tubuh yang bekerja secara
otomatis. Jam biologis manusia sudah terprogram secara genetik untuk
menentukan waktu bangun dan tidur kita. Setiap orang memiliki jam biologis
yang berbeda-beda tergantung pada umurnya. Jika kita melawan jam biologis
maka akan berdampak buruk bagi kesehatan.
b. Jenis-Jenis Pola Tidur yang Tidak Baik
1). Insomnia
Insomnia adalah kesulitan untuk tidur atau kesulitan untuk hidup tertidur,
atau gangguan tidur yang membuat penderita merasa belum cukup tidur pada saat
hanya beberapa malam, (2) Insomnia jangka pendek: dua atau empat minggu
mengalami kesulitan tidur, (3) Insomnia kronis: kesulitan tidur yang dialami
hampir setiap malam selama sebulan lebih.
2). Parasomnia
Parasomnia adalah suatu kelainan yang disebabkan kejadian perilaku atau
psikologis abnormal yang muncul di kala tidur, tahapan tertentu, atau transisi fase
tidur-terjaga. Parasomnia lebih umum terjadi pada anak-anak dan tidak selalu
menandakan adanya masalah psikologis atau psikiatris yang signifikan.
3). Tidur Apnea
Tidur apnea adalah suatu kondisi dimana terjadinya penghentian napas
disaat tidur. Tidur apnea sangat umum terjadi, layaknya diabetes yang lazim
menimpa orang dewasa. Tidur apnea bisa muncul pada segala kelompok usia dan
jenis kelamin, namun lebih umum menimpa kaum pria.
4). Narkolepsi
Kelainan tidur ini secara umum ditandai munculnya keinginan tidur di
siang hari secara tak terkendali. Penderita sering kali jatuh tertidur di sembarang
waktu dan tempat, juga terjadi berulang kali dalam sehari. Narkolepsi adalah
kelainan neourologis (yang menyerang otak dan syaraf) kronis yang melibatkan
system saraf pusat tubuh.
5). Paralisis Tidur
Paralisis tidur adalah fungsi alamiah tubuh yang menyebabkan
penderitanya mengalami kelumpuhan dikala tidur.
c. Penyebab Yang Memicu Terjadinya Pola Tidur Yang Tidak Baik Pada
Siswa
Siswa itu sendiri memerlukan waktu 9-10 jam tidur dalam sehari. Tetapi
faktanya sekarang ini jam tidur siswa tidak sampai segitu lagi, semua itu
dikarenakan oleh beberapa hal yang menyebabkan pola tidur yang tidak baik
terjadi pada siswa. Tanpa mereka sadari penyebab pola tidur yang tidak baik dapat
menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh sebuah lembaga National Sleep Foundation menyatakan bahwa
95% dari mereka bermain video games, menonton televisi, menggunakan
komputer atau laptop, dan smartphone, sebelum tidur. Czeisler berpendapat
bahwa layar monitor atau ponsel bisa menyebabkan terhalangnya hormon
melatonin, hormon yang mengeluarkan keinginan tidur bagi seseorang, dan
membuat orang itu tidak mengantuk. Namun, peneliti-peneliti khawatir
penggunaan smartphone, komputer, dan main video game yang lebih
menghipnotis para penggunanya, dibandingkan dengan sekadar menonton TV
yang lebih pasif. Sehingga membuat para siswa akan semakin sulit untuk tidur.
Hal tersebut dapat menjadi kebiasaan dan dapat mengganggu konsentrasi siswa
dalam belajar.
d. Gejala Pola Tidur Yang Tidak Baik
Ada beberapa gejala pola tidur yang tidak baik seperti merasa mengantuk
sepanjang hari, tidak merasa segar setelah tidur malam, kesulitan bangun di pagi
hari, merasa perlu untuk tidur siang terus-menerus sepanjang hari, merasa
memiliki kebutuhan untuk meminuman kopi setiap saat, merasa perlu untuk tidur
di akhir pekan untuk menebus tidur yang hilang.
e. Dampak Buruk Dari Pola Tidur Yang Tidak Baik
Aktivitas yang sibuk saat ini begitu menyita waktu, sehingga banyak orang
cenderung kekurangan tidur. Padahal, efek kurang tidur bukan sekadar membuat
Anda mengantuk keesokan harinya, dan jadi kurang dapat berkonsentrasi saat
belajar. Banyak orang yang menganggap pola tidur yang tidak baik adalah hal
yang sepele, tetapi dibalik semua itu, pola tidur yang tidak baik dapat berdampak
buruk bagi kesehatan. Salah satu contoh pola tidur yang tidak baik adalah kurang
tidur. Berikut adalah beberapa dampak buruk yang diakibatkan dari pola tidur
yang tidak baik:
1). Para ahli mengungkapkan, kurang tidur akan membuat kemampuan
motorik kita melambat dan kurang gesit. Akibatnya, kita jadi sering gugup,
menabrak atau menumpahkan sesuatu. Hal itu disebabkan refleks kita berkurang
dan otak kita kurang fokus sehingga kita jadi terlihat seperti orang ceroboh.
2). Tidur yang cukup dan berkualitas adalah bagian penting agar tubuh sehat.
Karena pada saat tidur malam hari saatnya proses regenerasi sel dari dalam. Bila
kita kurang tidur, otomatis daya tahan tubuh akan melemah. Tubuh akan mudah
terserang virus yang ringan, seperti flu dan batuk. Walaupun kita mengatur pola
makan, tanpa diimbangi tidur yang berkualitas, daya tahan tubuh akan tetap
melemah.
3). Kurang tidur dapat memengaruhi penafsiran tentang peristiwa. Keadaan
bijaksana. Mereka yang kurang tidur sangat rentan terhadap penilaian buruk
ketika sampai pada saat menilai apa yang kurang terhadap sesuatu. Dalam dunia
yang serba cepat saat ini, kebiasaan tidur menjadi semacam lencana kehormatan.
4). Kebanyakan orang mengalami kulit pucat dan mata bengkak setelah
beberapa malam kurang tidur. Keadaan tersebut benar karena kurang tidur yang
kronis dapat mengakibatkan kulit kusam, garis-garis halus pada wajah, dan
lingkaran hitam di bawah mata. Bila Anda tidak mendapatkan cukup tidur, tubuh
Anda melepaskan lebih banyak hormon stres atau kortisol. Dalam jumlah yang
berlebihan, kortisol dapat memecah kolagen kulit atau protein yang membuat kulit
tetap halus dan elastis. Kurang tidur juga dapat menyebabkan tubuh lebih sedikit
mengeluarkan hormon pertumbuhan. Ketika kita masih muda, hormon
pertumbuhan manusia mendorong pertumbuhan. Dalam hal ini, hormon tersebut
membantu meningkatkan massa otot, menebalkan kulit, dan memperkuat tulang.
"Ini terjadi saat tubuh sedang tidur nyenyak—yang kami sebut tidur gelombang
lambat (SWS)—hormon pertumbuhan dilepaskan," kata Phil Gehrman, PhD,
CBSM, Asisten Profesor Psikiatri dan Direktur Klinis dari Program Behavioral
Sleep Medicine Universitas Pennsylvania, Philadelphia
5). Tidur yang baik sangat berperan penting dalam berpikir dan belajar.
Kurang tidur dapat mempengaruhi banyak hal. Pertama, dapat mengganggu
kewaspadaan, konsentrasi, penalaran, dan pemecahan masalah. Hal ini membuat
belajar menjadi sulit dan tidak efisien. Kedua, siklus tidur pada malam hari berperan dalam “menguatkan” memori dalam pikiran. Jika tidak cukup tidur,
akan menurun. Menurut Sean Drummond PhD, seorang peneliti masalah tidur dari
University of California, San Diego, orang yang sedang capek biasanya lebih
mudah mengambil risiko dengan harapan mendapat hasil maksimal. Padahal, hal
itu justru sering membuat rencana berantakan. Alhasilnya, saat di sekolah siswa
jadi tidak bisa berkonsentrasi saat belajar karena pada malam harinya kekurangan
tidur dan saat di sekolah siswa pun jadi tertidur di kelas. Akibatnya konsentrasi
belajar pun jadi menurun.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian (Nabkasorn, Et al, 2005): Effects of physical exercise on
depression, neuroendocrine stress hormones and physiological fitness in
adolescent females with depressive symptoms. Metode: Empat puluh sembilan
sukarelawan perempuan (usia 18 - 20 tahun, mean 18,8 ± 0,7 tahun) dengan gejala
depresi ringan sampai sedang, seperti yang telah diukur dengan Centre for
Epidemiologic Studies Depression (CES-D) scale, secara acak subyek kemudian
diberikan program latihan jogging training dengan intensitas ringan selama
delapan minggu yang terdiri dari lima kali per minggu dan 50 menit tiap sesinya.
Hasil: Setelah sesi latihan skor depresi CES-D keseluruhan menunjukkan
penurunan yang signifikan.
Penelitian (Lubis & Simanjuntak, 2007): Perbedaan Mood Ditinjau dari
Kebiasaan Berolahraga. Metode: Melibatkan 120 orang dewasa muda di Medan.
Para responden berpartisipasi dalam penelitian ini adalah orang-orang yang
digunakan untuk memilih responden adalah non-probability incidental sampling.
Data yang dikumpulkan dalam Penelitian diuji dengan menggunakan Analisis
Varians. Alat ukur yang digunakan adalah mood scale dan stages of exercise self
report. Hasil: Adanya perbedaan mood yang sangat signifikan ditinjau dari
kebiasaan berolahraga (dengan reliabilitas skala mood = 0,922), dimana subyek
yang berolahraga secara teratur selama enam bulan (lebih) mengalami mood yang
lebih positif dari subyek lainnya.
Penelitian (Greenwood & Fleshner, 2008): Exercise, Learned
Helplessness, and the Stress-Resistant Brain. Metode: peneliti menggunakan
model hewan untuk menjelaskan mekanisme potensial yang mendasari efek
protektif aktivitas fisik. Menggunakan konsekuensi perilaku stres tak terkendali
atau learned helplessness sebagai analog perilaku depresi dan kecemasan hewan
seperti pada tikus, peneliti menyelidiki faktor-faktor yang bisa menjadi penting
bagi antidepresan dan anxiolytic sifat latihan (yaitu, wheel running). Hasil: Wheel
running mencegah learned helplessness serta bisa menjelaskan neurobiologi
kompleks depresi dan kecemasan, berpotensi membimbing strategi baru untuk
pencegahan stres yang berhubungan dengan mood disorders.
Penelitian (Caroline, 2010): Gambaran Tingkat Stres pada Mahasiswa
Pendidikan Sarjana Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Metode penelitian ini
adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan studi cross sectional. Jumlah
sampel sebanyak 90 mahasiswa kedokteran Universitas Sumatera Utara dengan
tingkat kesalahan absolut (d) sebesar 0,1. Teknik pengambilan sampel adalah
merata. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Analisis
data dilakukan dengan program Statistical Product and Service Solutions (SPSS)
versi 17.0. Hasil penelitian menunjukkan persentase stres ringan, sedang, dan
berat adalah 26,7%, 22,2%, dan 22,2%. Sekitar 28,9% mahasiswa kedokteran
tidak mengalami stres.
Penelitian (Bahrul Ulumuddin A, 2011): Hubungan Tingkat Stres
Dengan Kejadian Insomnia Pada Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Diponegoro. Metode : penelitian ini menggunakan desain deskriptif
studi korelasi dengan menggunakan pendekatan cross sectional dengan jumlah
sampel sebanyak 145 responden , analisis data dengan menggunakan uji statistik
Fisher-Exact. Hasil: 34 responden (23,4%) mengalami stres ringan, 31 (21,4%)
responden mengalami stres sedang, 3 responden (2,1%) mengalami stres berat,1
responden (0,7%) mengalami stres sangat berat, dan 62 responden (42,8%)
mengalami insomnia. Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan antara
tingkat stres dengan kejadian insomnia pada mahasiswa Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Diponegoro.
C. Kerangka Berpikir
1. Hubungan antara pola tidur dengan tingkat stres.
Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh
semua orang. Setiap orang memerlukan kebutuhan istirahat atau tidur yang cukup
agar tubuh dapat berfungsi secara normal. Pada kondisi istirahat dan tidur, tubuh
dalam kondisi yang optimal. Pola tidur yang baik dan teratur memberikan efek
yang bagus terhadap kesehatan (Guyton & Hall, 1997). Menurut Lanywati (2001),
kebutuhan tidur yang cukup, ditentukan selain oleh jumlah faktor jam tidur
(kuantitas tidur), juga oleh kedalaman tidur (kualitas tidur). Kebutuhan waktu
tidur bagi setiap orang adalah berlainan, tergantung pada kebiasaan yang dibawa
selama perkembangannya menjelang dewasa, aktivitas pekerjaan, usia, kondisi
kesehatan dan lain sebagainya. Kebutuhan tidur pada dewasa 6-9 jam untuk
menjaga kesehatan, usia lanjut 5-8 jam untuk menjaga kondisi fisik karena usia
yang semakin senja mengakibatkan sebagian anggota tubuh tidak dapat berfungsi
optimal, maka untuk mencegah adanya penurunan kesehatan dibutuhkan energi
yang cukup dengan pola tidur yang sesuai (Lumbantobing, 2004).
Waktu tidur yang kurang dari kebutuhan dapat mempengaruhi sintesis
protein yang berperan dalam memperbaiki sel–sel yang rusak menjadi menurun.
Kelelahan, meningkatnya stres, kecemasan serta kurangnya konsentrasi dalam
aktivitas sehari–hari adalah akibat yang sering terjadi apabila waktu tidur tidak
tercukupi. Hasil penelitian yang menunjukkan ada hubungan antara tingkat stres
dengan kejadian insomnia pada mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Diponegoro menggunakan desain deskriptif studi korelasi dengan
menggunakan pendekatan cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 145
responden , analisis data dengan menggunakan uji statistik Fisher-Exact. Hasil:
34 responden (23,4%) mengalami stres ringan, 31 (21,4%) responden mengalami
stres sedang, 3 responden (2,1%) mengalami stres berat,1 responden (0,7%)
2. Hubungan antara intensitas berolahraga dengan tingkat stres.
Endorfin atau beta-endorfin merupakan neurotransmitter opioid endogen
yang memiliki efek analgesik dan adiktif (seperti halnya morphin dan kodein).
Selain itu endorfin juga dapat memberikan perasaan nyaman, tenang (relaksasi)
dan beberapa sumber mengatakan endorfin dapat meningkatkan sistem kekebalan
tubuh dan menekan pertumbuhan kanker (Abdilah & Nurhayati, 2008). Hormon
ini dikeluarkan salah satunya saat berolahraga. Inilah mengapa setelah melakukan
olahraga aerobik (renang, jogging, bersepeda) membuat merasa lebih fresh dan
menyenangkan (Jati, 2012).
Di samping itu, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa olahraga dapat
menurunkan insiden dan keparahan gangguan mood yang berkaitan dengan stres
termasuk ansietas dan depresi. Efek ini berhubung dengan peningkatan
neurotransmiter terutamanya serotonin dan dopamin dan juga sekresi endorfin
(Greenwood & Fleshner, 2008). Maka, olahraga adalah salah satu cara yang
sungguh bermanfaat untuk melawan efek stres terhadap kesehatan yang merugikan (Castro, Wilcox. O’Sullivan, Baumann, & King, 2002).
3. Hubungan antara pola tidur, intensitas berolahraga dengan tingkat stres.
Dari beberapa hasil penelitian tentang pola tidur dengan tingkat stres dan
intensitas berolahraga dengan tingkat stres maka peneliti bermaksud meneliti
hubungan antara intensitas berolahraga dan pola tidur terhadap tingkat stres.
Adapun hubungan antara intensitas berolahraga dan pola tidur dengan tingkat
stres dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1. Bagan Kerangka berpikir
Hubungan antara intensitas berolahraga dan pola tidur dengan tingkat stres
D. Hipotesis
Dari kerangka berpikir diatas sehingga bisa disimpulkan hipotesis sebagai
berikut :
a. Ada hubungan intensitas berolahraga dan tingkat stres.
b. Ada hubungan pola tidur dan tingkat stres.
c. Ada hubungan bersama intensitas berolahraga dan pola tidur dengan tingkat
stres.
Kepribadian
Hukum
Tingkat Stres
Pekerjaan
Kognitif
Lingkungan
Keuangan
Stressor
Uji korelasi
Perkembangan fisk mental
Kondisi Fisik
Kelelahan Pola tidur
Aktifitas olahraga
Aktifitas olahraga
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasi dengan pendekatan
cross-sectional yang bertujuan untuk menjelaskan suatu keadaan atau situasi. Adapun
bentuk rancangan penelitian ini dapat digambarkan dengan pola sebagai berikut:
Gambar 3.1.
Desain penelitian
Keterangan gambar:
r1: hubungan antara intensitas berolahraga terhadap tingkat stres
r2: hubungan antara pola tidur terhadap tingkat stres
r1.2: hubungan antara intensitas berolahraga dan pola tidur terhadap tingkat stress
Intensitas Berolahraga
Tingkat Stres
Pola Tidur
r 1
r 1.2
r 2
B. Tempat dan Waktu
1. Tempat
Penelitian ini dilakukan di institusi Prodi D III Fisioterapi Poltekkes
Surakarta.
2.Waktu
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Tingkat satu Prodi
D III Fisioterapi Poltekkes Surakarta tahun akademik 2013/2014 yang berjumlah
91 orang.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini diambil dari total populasi mahasiswa tingkat
satu tahun ajaran 2013/2014 yang bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian
ini dengan mengisi informed consent.
D. Identifikasi Variabel
1. Identifikasi Variabel Penelitian
a. Variabel indenpen (bebas)
Variabel independen merupakan yang menjadi penyebab perubahan atau
timbulnya variabel dependen (terikat). (Aziz alimul,2007:35). Variabel
independen dalam penelitian ini adalah :
1) Intensitas berolahraga : X1