• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kasus Mengenai Coping Stress pada Orangtua dari Remaja Autisme di Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Kasus Mengenai Coping Stress pada Orangtua dari Remaja Autisme di Kota Bandung."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

iii Universitas Kristen Maranatha

Abstrak

(2)

iv Universitas Kristen Maranatha Abstract

(3)

vii Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ...i

LEMBAR PENGESAHAN ...ii

ABSTRAK ...iii

ABSTRACT...iv

KATA PENGANTAR ...v

DAFTAR ISI ...vii

DAFTAR TABEL...x

DAFTAR SKEMA...xi

DAFTAR LAMPIRAN...xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah...1

1.2Identifikasi Masalah...8

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian ...9

1.3.2 Tujuan Penelitian ...9

1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis ...9

1.4.2 Kegunaan Praktis ...9

1.5Kerangka Pemikiran...10

(4)

viii Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stres

2.1.1 Definisi Stres ...20

2.1.2 Penilaian Kognitif (Cognitive Appraisal)...23

2.1.2.1 Definisi Cognitive Appraisal ...23

2.1.2.2 Primary Appraisal (Proses Penilaian Primer) ...23

2.1.2.3 Secondary Appraisal (Proses Penilaian Sekunder) ...24

2.1.2.4 Reappraisal (Proses Penilaian – Kembali) ...25

2.2 Coping Stress 2.2.1 Definisi Coping Stress...25

2.2.2 Konsep Dasar Coping Stress...26

2.2.3 Fungsi Coping Stress...27

2.2.4 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Coping Stress...28

2.2.5 Hubungan Stres dengan Coping Stress...30

2.3 Autisme 2.3.1 Definisi Autisme ...31

2.3.2 Ciri-ciri pada Autisme ...32

2.3.3 Penyebab Autisme ...35

2.4 Perkembangan Dewasa Madya 2.4.1 Masa Dewasa Madya ...36

2.4.2 Perkembangan Fisik...36

2.4.3 Perkembangan Kognitif ...39

(5)

ix Universitas Kristen Maranatha

2.4.5 Perkembangan Sosio – Emosional ...41

2.5 Hal – Hal yang Dimiliki oleh Orangtua dengan Autisme ...43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ...46

3.2 Skema Rancangan Penelitian ...47

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.3.1 Variabel Penelitian ...47

3.3.2 Definisi Operasional ...47

3.4 Alat Ukur 3.4.1 Wawancara ...49

3.4.2 Data Penunjang ...51

3.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur...51

3.6 Subjek Penelitian ...51

3.7 Teknik Analisis Data ...52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Responden Penelitian...56

4.2 Kasus DS 4.2.1 Identitas Diri Responden DS ...56

4.2.2 Status Praesens ...57

4.2.3 Identitas Anak DS Penyandang Autisme ...57

(6)

x Universitas Kristen Maranatha

4.2.5 Transkrip DS ...59

4.2.6 Dinamika Psikologis Responden DS ...71

4.3 Kasus AA 4.3.1 Identitas Diri Responden AA ...75

4.3.2 Status Praesens ...75

4.3.3 Identitas Anak AA Penyandang Autisme ...76

4.3.4 Deskripsi Hasil Observasi ...76

4.3.5 Transkrip AA ...77

4.3.6 Dinamika Psikologis Responden AA ...89

4.4 Perbandingan Kasus DS dan AA...92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...94

5.2 Saran...95

DAFTAR PUSTAKA ...97

DAFTAR RUJUKAN ...99

(7)

xi Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Tabel Wawancara dengan DS ...59

Tabel 4.2 Tabel Transkrip DS...60

Tabel 4.3 Tabel Wawancara dengan AA ...77

(8)

xii Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR SKEMA

(9)

xiii Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Kerangka Wawancara LAMPIRAN 2 Kuesioner Data Penunjang LAMPIRAN 3 Survey Awal

(10)

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Menurut Center for Disease Control and Prevention pada tahun 2007, jumlah anak autisme di seluruh dunia semakin meningkat dewasa ini. Autisme bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Sebagian dari anak autisme gejalanya sudah ada sejak lahir, namun seringkali luput dari perhatian orangtua (Sutadi, 1997).

Di Indonesia, isu anak dengan gangguan autisme muncul sekitar tahun 1990-an. Autisme mulai dikenal secara luas sekitar tahun 2000-an dan jumlahnya menunjukkan peningkatan yang makin mencolok (Yuwono, 2009). Melonjaknya jumlah anak autisme membutuhkan berbagai aspek yang terkait harus terus dikembangkan. Misalnya tenaga ahli yang kompeten, sistem pendidikan, bantuan ke keluarga dengan anak autisme hingga kebijakan yang memberikan kontribusi penting bagi anak-anak autisme di Indonesia.

(11)

2

Universitas Kristen Maranatha sebagaian besar masyarakat menjadi terlalu latah dengan kata “autisme”

(Yuwono, 2009).

Faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi autisme belum ditemukan secara pasti, meskipun secara umum ada kesepakatan yang membuktikan adanya keragaman tingkat penyebabnya. Hal ini termasuk bersifat genetik, metabolik dan gangguan saraf pusat, infeksi pada masa kehamilan (rubella), gangguan pencernaan hingga adanya keracunan logam berat (Safaria, 2005). Dugaan lainnya adalah perilaku ibu pada masa kehamilan yang kekurangan mineral penting, seperti zinc, magnesium, iodine, lithium, dan potassium.

Menurut Kanner (dalam Yuwono, 2009) autisme merupakan suatu gangguan yang dicirikan dengan tiga ciri utama, yaitu respon yang tidak umum terhadap benda di sekitar lingkungannya, kebutuhan patologis akan kesamaan (imitation) dan mutism atau cara berbicara yang tidak komunikatif, termasuk ecolalia dan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi.

(12)

3

Universitas Kristen Maranatha menghadapi rangkaian masalah yang dihadapi oleh anak autisme, padahal peran orangtua sangatlah penting dalam mempersiapkan anaknya dalam menghadapi masa remaja dan masa dewasa mereka. Tanpa pemahaman yang cukup dari orangtua dalam mendampingi anak memasuki masa remaja, remaja autisme akan bingung dan cemas dalam menghadapi perubahan fisik dan dorongan seksual dalam diri mereka (Dharta, 2010).

Menurut Hopes dan Harris (dalam Berkell, 1992), orangtua dengan anak autisme akan mengalami stres yang lebih besar daripada orangtua dari anak yang mengalami keterbelakangan mental karena hilangnya respon interpersonal pada anak-anak autisme tersebut. Kondisi ini tentunya dapat menjadi salah satu penyebab stres (stressor), seperti yang diungkapkan oleh Johnson, dkk (dalam Sarafino, 1990) yang menyebutkan bahwa sumber stres dapat berasal dari keluarga, dikarenakan mereka (keluarga) harus beradaptasi dengan stres yang unik dan dalam jangka waktu yang lama.

(13)

4

Universitas Kristen Maranatha situasi dan kondisi perkembangan anaknya yang autisme pada saat ini dan di masa mendatang.

Hardman, Drew, Egan dan Wolf (1993 dalam Puspita, 2009) menyatakan anak yang didiagnosis sebagai autisme menyebabkan orangtua mengalami shock (tidak percaya). Sikap ini biasanya diikuti dengan berbagai sikap, seperti cemas, merasa bersalah, menjadi permasalahan dalam rumah tangga, binggung, tidak memiliki harapan, marah, tidak berdaya, menolak, marah kepada diri sendiri, pasangan bahkan kepada anaknya yang autisme dan bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa hal ini terjadi. Orangtua menjadi sedih dan muncul sikap putus asa yang dapat berkembang menjadi depresi dan stres berkepanjangan, merasa tidak diperlakukan secara adil, tidak percaya pada fakta dan berpindah dari satu dokter ke dokter lain untuk menegaskan bahwa diagnosis dokter tersebut salah.

(14)

5

Universitas Kristen Maranatha yang berpusat pada masalah) dan emotion-focused coping (strategi penanggulangan stres yang berpusat pada emosi).

Stres psikologis yang parah yang disertai dengan buruknya kemampuan coping, merupakan salah satu faktor yang berakibat negatif pada kemampuan

orangtua untuk menerima keadaan anaknya yang autisme dan pola asuh yang buruk terhadap anaknya (Lazarus dan Folkman, 1984). Hal ini dikarenakan kemampuan dan pola coping stress yang dikembangkan oleh orangtua dengan anak yang autisme secara tidak langsung mempengaruhi harapan hidupnya. Coping stress yang digunakan oleh setiap orangtua dapat berbeda – beda. Keadaan ini bergantung pada bagaimana orangtua menilai dan menghayati situasi stres yang dihadapinya. Apabila kondisi stres ini tidak diatasi, maka keadaan ini akan mempengaruhi kesehatan orangtua, unjuk kerja, kepuasan kerja dan kualitas hidup mereka. Orangtua akan mengalami tekanan – tekanan, baik secara fisik maupun psikis, yang dapat berpengaruh terhadap pola asuh mereka kepada anak.

(15)

6

Universitas Kristen Maranatha padahal anak autisme membutuhkan perhatian dan dukungan yang lebih untuk mencapai ikatan dengan keluarga, khususnya dengan orangtuanya. Perilaku „menelantarkan‟ anak dengan autisme tersebut akan menyebabkan kurangnya

ikatan, yakni memaknakan hal-hal negatif yang dilakukan keluarganya, seperti penolakan atau pengabaian secara lebih intens dibandingkan hal-hal positif yang dilakukan oleh keluarganya (Santrock, 2002).

Hasil dari wawancara awal yang telah dilakukan terhadap MH, yang memiliki seorang remaja laki-laki yang didiagnosa autisme oleh psikiater. MH mengakui bahwa pada awalnya ia merasa shock ketika mengetahui bahwa anaknya memiliki kebutuhan khusus. Banyak gejolak emosional yang muncul, mulai dari marah, kesal, depresi sampai frustrasi. Ia juga merasa malu terhadap keluarga besar dan masyarakat sekitar. Hal ini ditambah dengan ia yang merasa bahwa hanya ia sendiri yang menghadapi keadaan anaknya. Hal itu karena suami MH belum dapat menerima kondisi anaknya yang autisme dan tidak turut melibatkan diri terhadap permasalahan. Awalnya ia hanya membiarkan istrinya saja yang mengurus anak. Ia hanya menyediakan kebutuhan atau fasilitas yang diperlukan oleh MH dalam mengurus anak. Misalnya dengan menyediakan mobil agar mempermudahkan MH dalam mengantar dan menjemput anak ke sekolah dan menemui psikiaternya.

(16)

7

Universitas Kristen Maranatha memutuskan untuk mencari bantuan yang mengharuskannya keliling Bandung dan Jakarta untuk mendapat perawatan bagi anaknya. Ia juga mencari berbagai informasi dari segala sumber dan meminta bantuan dari berbagai pihak, khususnya pihak sekolah agar anaknya dapat diterima di sekolah reguler.

(17)

8

Universitas Kristen Maranatha anak, NY dan suaminya terus menggali potensi yang ada dalam diri anaknya tersebut agar hasilnya menjadi lebih baik daripada sebelumnya.

Melihat kondisi anaknya yang berbeda dengan anak lain seusianya, seperti contoh kasus di atas, orangtua yang memiliki anak autisme tersebut menghayati bahwa dengan kondisi anak mereka yang seperti itu, dapat membuat keadaan semakin menekan di tengah situasi yang sulit. Hal ini dikarenakan orangtua, khususnya ibu, memiliki keinginan yang kuat untuk merawat anaknya. Namun, karena kondisi anak mereka yang tidak suka disentuh, kesulitan dalam berkomunikasi dan asik dengan aktivitasnya sendiri sehingga membuat seorang ibu kesulitan untuk mendekatkan diri dan merawat anaknya. Banyak hal yang terjadi dalam waktu yang bersamaan tersebut merupakan stressor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat stress orangtua dari remaja autisme, sehingga diharapkan mampu mengembangkan pola coping untuk mengurangi tingkat stres tersebut.

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti coping stress pada orangtua dari remaja autisme di Kota Bandung. Kota Bandung dipilih sebagai wilayah penelitian karena jumlah anak dengan autisme cukup signifikan di kota ini.

1.2Identifikasi Masalah

(18)

9

Universitas Kristen Maranatha

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk mendapatkan gambaran mengenai coping stress pada orangtua dari remaja autisme di Kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk memperoleh dinamika dari bentuk coping stress yang dominan pada orangtua dari remaja autisme di Kota Bandung.

1.4Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

a. Memberikan informasi yang dapat melengkapi ilmu pengetahuan dalam bidang Psikologi Klinis, khususnya memberikan informasi mengenai coping stress pada orangtua dari remaja autisme.

b. Sebagai pertimbangan peneliti lain bila ingin meneliti lebih lanjut mengenai hal-hal yang berhubungan dengan coping stress pada orangtua dari remaja autisme.

1.4.2 Kegunaan Praktis

a. Memberikan informasi kepada lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang klinis atau yang langsung menangani remaja autisme, agar dapat melakukan langkah yang tepat untuk keluarga, khususnya orangtua dari remaja autisme. b. Memberikan informasi bagi keluarga dan rekan-rekan orangtua dengan remaja

(19)

10

Universitas Kristen Maranatha

1.5Kerangka Pikir

Pada saat mengasuh dan membesarkan anak dengan autisme, orangtua sering dihadapkan pada tekanan-tekanan yang menjadi stressor yang memungkinkan orangtua menjadi stres (Hopes & Harris dalam Berkell, 1992). Baik secara finansial karena anak dengan autisme memerlukan perawatan yang khusus dibanding dengan anak normal, maupun secara emosional karena anak sulit diajak dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehingga banyak diantara para orangtua dengan anak autisme merasa frustrasi. Hal ini dikarenakan orangtua, khususnya ibu memiliki peran yang kuat untuk merawat anaknya sehingga ketika anak tidak mau disentuh, seorang ibu akan merasa ditolak oleh anak dan merasa gagal menjadi orangtua.

Bertambahnya usia orangtua di masa dewasa madya akan menunjukkan kemunduran secara fisik dan semakin berkurangnya jumlah waktu yang tersisa dalam hidupnya (Santrock, 2002). Keadaan ini membuat orangtua khawatir dengan masa depan anak mereka yang harus dibimbing setiap saat karena kesulitan anak dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Orangtua mau tidak mau tetap menghadapi situasi yang menekan mereka, karena bila berlangsung terus menerus dapat menyebabkan iritasi dan menimbulkan stres negatif pada orangtua (Lazarus dan Folkman, 1984).

(20)

11

Universitas Kristen Maranatha autisme melalui proses penilaian kognitif, yaitu primary appraisal. Pada tahap ini orangtua dari remaja autisme akan menilai apakah peristiwa tersebut mengancam kesejahteraannya terkait kondisi anaknya yang autisme. Orangtua dari remaja autisme akan mengambil keputusan apakah masalah yang menimpanya adalah kejadian yang tidak relevan (irrelevant), positif-tidak berbahaya (benign-positive) atau menimbulkan stres (stressful).

Orangtua dari remaja autisme menilai kejadian tidak relevan apabila melihatnya sebagai kejadian yang tidak mengganggu keberadaannya, tidak bertentangan dengan norma, kebutuhan dan komitmennya. Penilaian positif-tidak berbahaya akan diberikan apabila hasil dari kejadian dinilai oleh orangtua dari remaja autisme ditafsirkan positif, yang ditandai dengan emosi yang menyenangkan, seperti gembira, senang, tenang.

Saat orangtua dari remaja autisme menilai hal ini menimbulkan stres (stressful) bagi dirinya, maka orangtua akan mengkategorikan masalah ini menjadi harm/loss, threat atau challlenge. Apabila dianggap sebagai harm/loss, maka

(21)

12

Universitas Kristen Maranatha coping. Hal inilah yang akan turut menentukan derajat stres pada orangtua dari

remaja autisme.

Penilaian kedua disebut secondary appraisal, di mana orangtua dari remaja autisme akan melakukan evaluasi terhadap sumber-sumber yang dimiliki dalam mengatasi stres yang berhubungan dengan stigma, rasa malu, ancaman fisik dan emosional yang dihadapinya, apa yang mungkin dan dapat dilakukan dari setiap masalah yang dihadapi. Hal ini menyangkut penilaian orangtua dari remaja autisme mengenai pemilihan coping, kemungkinan apa yang dicapai dari coping yang dipilih, serta kemungkinan bahwa orangtua dapat menggunakan suatu coping tertentu atau serangkaian coping yang efektif. Penilaian ini sangat penting bagi terbentuknya mekanisme coping dan penyesuaian terhadap remajanya yang menderita autisme.

Menurut Lazarus (1984), primary dan secondary appraisal lebih didasarkan atas penilaian subjektif individu terhadap dirinya dan terhadap situasi yang dihadapinya. Hal inilah yang menyebabkan kondisi stres dapat dihayati secara berbeda oleh setiap individu walaupun situasi dan stressor yang dihadapinya sama. Setelah dilakukan penilaian sekunder (secondary appraisal), orangtua dari remaja autisme akan mengeluarkan respon coping yang merupakan strategi penanggulangan stres, yang biasa disebut dengan coping stress.

Coping stress adalah perubahan usaha kognitif dan tingkah laku yang terus

(22)

13

Universitas Kristen Maranatha dalam diri orangtua dengan anak autisme. Sumber daya tersebut terdiri atas kesehatan dan energi, keyakinan diri, keterampilan problem solving, dukungan sosial, sumber-sumber material dan keterampilan sosial. Orangtua dari remaja autisme akan lebih mudah untuk menanggulangi masalah yang terkait dengan kondisi anak apabila dalam keadaan sehat. Jika orangtua dari remaja autisme dalam keadaan sakit atau lelah, maka energi untuk melakukan suatu penanggulangan akan berkurang. Sikap optimis atau pandangan yang positif terhadap kemampuan yang dimiliki oleh orangtua dari remaja autisme merupakan sumber daya psikologis yang penting dalam upaya penanggulangan stres yang dihadapi. Keadaan ini akan membangkitkan motivasi orangtua dari remaja autisme untuk terus berupaya mencari alternatif penanggulangan stres yang paling tepat.

(23)

14

Universitas Kristen Maranatha yang dihadapi terkait kondisi anaknya yang autisme bila dilakukan bersama dengan orang lain. Keadaan ini membuat kemungkinan bagi orangtua dari remaja autisme untuk bekerjasama serta memperoleh dukungan dari orang lain.

Coping stress mempunyai dua bentuk, yaitu strategi penanggulangan yang

berpusat pada emosi (emotion-focused form of coping) yang berfungsi mengatur respon emosional terhadap masalah dan terdiri atas proses-proses kognitif yang ditunjukkan pada pengurangan tekanan emosional. Bentuk selanjutnya adalah strategi penanggulangan yang berpusat pada masalah (problem-focused form of coping) yang berfungsi untuk mengatur dan mengatasi masalah penyebab stres melalui perubahan relasi yang sulit terhadap lingkungan sehingga orangtua dari remaja autisme menilai bahwa situasi yang dihadapi harus berubah.

Strategi penanggulangan yang berpusat pada emosi (emotion-focused form of coping), terdiri dari distancing, self-contol, seeking social support, accepting

responsibility, escape-avoidance, dan positive reappraisal. Distancing merupakan

reaksi dengan tidak melibatkan diri dalam permasalahan, termasuk menciptakan pandangan-pandangan yang lebih positif. Misalnya, jika penyebab stres utama dari orangtua dari remaja autisme adalah susahnya dalam mengajarkan komunikasi dua arah kepada anaknya dan adanya penolakan dari masyarakat, maka orangtua dari remaja autisme akan berusaha untuk menjalani kehidupan seperti biasa dan berpikir bahwa hal ini dapat mengajarkan banyak hal kepada mereka.

Self-control merupakan reaksi dengan melakukan regulasi baik pada

(24)

15

Universitas Kristen Maranatha mendekatkan diri dengan keluarga dan lingkungannya walaupun mereka merasa terkucilkan atau berusaha mengendalikan perasaannya. Seeking social support, yaitu reaksi untuk mencari dukungan dari pihak luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun dukungan sosial. Misalnya, saling bertukar pikiran dengan sesama orangtua dari remaja autisme, melakukan katarsis dengan teman-teman terdekat orangtua.

Accepting responsibility adalah reaksi untuk mengakui peran orangtua dari

remaja autisme sendiri dalam permasalahan yang dihadapi dan mencoba untuk mendukung segala sesuatu dengan benar sebagaimana mestinya. Misalnya, dengan menerapkan gaya hidup sehat untuk menjaga kesehatan sambil mencari perkembangan informasi mengenai autisme yang dapat diterapkan pada anaknya. Escape-avoidance merupakan reaksi berkhayal dan usaha menghindari atau

melarikan diri dari masalah yang sedang dihadapinya. Contohnya orangtua dari remaja autisme menggangap bahwa anaknya normal dan menolak mengakui bahwa anaknya menderita autisme.

Terakhir adalah positive reappraisal, yaitu reaksi untuk menciptakan makna yang positif dan memusatkan pada perkembangan personal dan juga melibatkan ke hal-hal yang bersifat religius, misalnya orangtua dari remaja autisme mengganggap bahwa anaknya seperti itu merupakan cobaan dari Tuhan dan dia harus menerima dan menghadapinya dengan tegar.

Pada bentuk strategi penanggulangan yang berpusat pada masalah (problem-focused form of coping), orangtua dari remaja autisme akan menggunakan

(25)

16

Universitas Kristen Maranatha umumnya, problem-focused form of coping diarahkan pada pencarian akan kejelasan masalah, penentuan solusi-solusi alternatif, pertimbangan alternatif-alternatif ditinjau dari sisi kerugian dan keuntungannya, pemilihan alternatif-alternatif tersebut, dan kemudian pelaksanaan dalam tingkah laku.

Terdapat dua bentuk problem-focused form of coping, yaitu planful problem solving yang merupakan reaksi dengan melakukan usaha-usaha tertentu yang

bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti pendekatan analisis dalam pemecahan masalah. Melalui cara ini, orangtua dari remaja autisme berusaha untuk mencari pemecahan masalah yang terbaik bagi dirinya. Kedua, confrontative coping menggambarkan reaksi agresif untuk mengubah keadaan yang menggambarkan pula tingkat agresivitas dan tindakan pengambilan resiko. Misalnya saat orangtua mengetahui bahwa anaknya didiagnosa menderita autisme, mereka tidak percaya dan mulai mencari psikolog dan psikiater lain untuk memastikan bahwa anak mereka memang autis.

Pada kenyataannya, kedua jenis coping ini (emotion-focused form of coping dan problem-focused form of coping) dapat digunakan secara bersamaan dan dapat saling mendukung atau bahkan saling bertentangan pada orangtua dengan anak autisme yang menggunakannya dalam menanggulangi stres yang mereka alami. Perbedaan tersebut tergantung bagaimana orangtua dengan autisme menilai sumber stres dan kepribadian dari orangtua tersebut.

(26)

17

Universitas Kristen Maranatha sosial dan sumber-sumber material. Saat orangtua dengan anak autisme menilai bahwa strategi penanggulangan stres yang ia lakukan telah mampu mengatasi masalah yang menyebabkan stres, maka dapat dikatakan ia telah berhasil mengatasi stres yang dialaminya dan berada dalam kondisi adaptasi.

Hal ini dapat diartikan bahwa orangtua dengan anak autisme tersebut telah menyelaraskan kemampuan dirinya sendiri dengan tuntutan lingkungannya. Apabila penggunaan suatu strategi yang digunakan dirasakan tidak sesuai atau mengalami kegagalan, maka orangtua dengan remaja autisme akan melakukan proses penilaian kembali (reappraisal) terhadap situasi untuk menentukan penggunaan strategi mana yang lebih sesuai dan lebih tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengevaluasi diri maupun situasi yang mereka hadapi untuk menentukan strategi coping mana yang lebih cocok dan efektif untuk menghadapi situasi tersebut. Singkatnya, lewat proses reappraisal yang dijalankan, orangtua dengan anak autisme melakukan kembali

proses appraisal terhadap masalah yang sama dari awal dan memodifikasi appraisal yang dilakukannya.

(27)

18

Universitas Kristen Maranatha

SKEMA KERANGKA PIKIR

Skema 1.1 Skema Kerangka Pikir Orangtua dari remaja autisme (yang memiliki peran signifikan dalam penanganan anaknya)

Stressful Coping

Faktor-faktor yang mempengaruhi coping:

1.Kesehatan dan energi 4. Dukungan sosial

2.Keyakinan diri 5. Sumber-sumber material

3.Keterampilan problem solving 6. Keterampilan sosial

Problem –focused coping: -Planful problem – solving -Confrontive coping Primary appraisal Secondary appraisal Emotion-focused coping: -Distancing

-Self – control

-Seeking social support -Accepting responsibility -Escape – avoidance -Positive reappraisal Tahap perkembangan dewasa madya Situasi karakteristik anak - Irrelevant - Benign possitive - stressful

(28)

19

Universitas Kristen Maranatha

1.6Asumsi

1. Orangtua dari remaja autisme akan mengalami stres. Situasi ini dinilai oleh orangtua melalui proses primary appraisal dan secondary aprraisal.

2. Orangtua yang mengalami stres akan mencari cara untuk meredakan stres yang disebut dengan coping.

3. Coping stress yang digunakan oleh orangtua dari remaja autisme berbeda-beda karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kesehatan dan energi, keyakinan diri, keterampilan dan problem solving, dukungan sosial, sumber-sumber material, dan keterampilan sosial.

4. Orangtua dari remaja autisme yang menggunakan kedua jenis coping (emotion-focused coping dan problem-(emotion-focused coping) secara seimbang akan lebih baik

dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan terhadap dirinya dibandingkan dengan orangtua dengan anak autisme yang menggunakan salah satu jenis strategi coping saja.

(29)

94 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan daripada hasil penelitian, maka dapat ditarik suatu gambaran umum mengenai coping stress pada orangtua dari remaja autisme di Kota Bandung dengan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pada kasus AA, dalam bereaksi terhadap situasi stres dengan yang dihadapi yang berkaitan dengan anaknya yang seorang remaja autisme, AA melakukan coping secara bergantian antara emotion-focused form of coping dan

problem-focused form of coping. Ketika menghadapi adversity yang kuat, AA lebih

banyak bereaksi terhadap emotion-focused form of coping terlebih dahulu. Bentuk coping yang digunakan berupa self control untuk menanggulangi perasaannya secara sendiri dan possitive reappraisal dengan banyak berdoa dan berserah kepada Tuhan. Selain itu AA juga melakukan seeking social support dengan mencari bantuan dari ahli, membaca buku serta berinteraksi

dengan orangtua lain yang mengalami situasi yang sama. Sedangkan ketika AA menghadapi adversity yang ringan, AA cenderung melakukan problem-focused form of coping. Dalam hal ini AA menggunakan planful problem

solving, terutama setelah ia mendapat dukungan dari suami dan kebutuhan

finansial yang mencukupi.

(30)

95

Universitas Kristen Maranatha coping secara bersamaan antara emotion-focused form of coping dan

problem-focused form of coping. Di satu sisi DS melakukan self control untuk

menenangkan perasaannya dibantu oleh suami dan anak sulungnya serta melakukan possitive appraisal untuk menciptakan makna positif dari permasalahan yang dihadapi. Di sisi lain, DS beserta suami juga fokus mencari tahu apa yang bisa dilakukan dan mengembangkan kemampuan anak bungsu mereka (planful problem solving).

3. Terdapat pola yang khas yang menyertai kedua kasus di atas, di mana kedua responden sama-sama mengalami stres ketika mengetahui anak mereka didiagnosis autisme. Dalam berespon terhadap stres yang dialami selalu diiringi oleh trial dan error dalam hal penanganannya. Faktor ekonomi dan dukungan dari suami juga menjadi hal yang berpengaruh besar terhadap apa yang akan dilakukan berkaitan dengan situasi yang dihadapi oleh orangtua dari remaja autisme.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoritis

(31)

96

Universitas Kristen Maranatha dalam membesarkan anak juga perlu dipertimbangkan guna melihat pengaruh yang berperan dalam perkembangan anak.

2. Dapat menggunakan informasi mengenai coping stress sebagai salah satu sudut pandang untuk membahas relasi seorang individu dewasa madya dengan anaknya yang seorang remaja penyandang autisme, mengenai bagaimana cara menyikapi dan menilai kejadian-kejadian yang berkaitan. Hal ini dapat membantu dalam memperkaya pokok bahasan mengenai strategi penanggulangan stres, melalui bahasan teoritis, penelitian dan sosialisai mengenai teori coping stress.

5.2.2 Saran Praktis

(32)

97

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Aarons, Maureen and Gittens, Tessa. (1999). The Handbook of Autism, A Guide for Parent and Proffessionalls. Routledge, London and New York.

American Psychiatric Association. (1995). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. 4th Edition. Washington DC: APA Arlington, VA.

________, (2004). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. 4th Edition Text Revision. USA: APA Arlington, VA.

Berkell, Dianne E. (1992). Autism : Identification, Education and Treatment. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers. Budiman, M. (1998). Makalah Simposium. Pentingnya Diagnosis Dini dan

Penatalaksanaan Terpadu Pada Autisme. Surabaya.

Cohen, D. J & Volkmar, F. R. (1997). Handbook of Autism and Pervasive Development Disorders. 2rd Edition. New York : John Wiley & Sons, Inc. Duvall, E & Miller, C. M. (1985). Marriage and Family Development. 6th

Edition. New York: Harper & Row Publisher. Gulo, D. (1982). Kamus Psikologi. Bandung: Tonis.

Lazarus, Richard S., Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company.

Lazarus, Richard S., Monat, Alan. (1991). Stress and Coping: An Anthology. 3rd Edition. New York: Columbia University Press.

Moleong, L.J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nazir, Moh. (2003). Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Poerwandari, K. (2001). Penelitian Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

(33)

98 Universitas Kristen Maranatha Safaria, T. (2005). Autisme : Pemahaman Baru untuk Hidup Bermakna Bagi

Orangtua. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Santrock, J.W. (2002). Life Span Development, Perkembangan Masa Hidup. 5th Edition. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sarafino, E.P. (1990). Health Psychology : Biopsychosocial Interactions. 3rd Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Seyle, Hans. (1980). Seyle’s Guide to Stress Research Vol. I. New York: Van Nostrand Reihold Company.

Strauss, Anselm. (1990). Basics of Qualitative Research. California : Sage Publication, Inc.

Suryana, A. (2004). Terapi Autisme: Anak Berbakat dan Anak Hiperaktif. Jakarta: Progres.

Sutadi. (1997). Autisma : Gangguan Perkembangan pada Anak. Makalah dipresentasikan pada Simposium Sehari Autisma di Yayasan Autisma Indonesia, Jakarta, World Trade Centre

Widihastuti, S. (2007). Pola Pendidikan Anak Autis: Aktivitas Pembelajaran di Sekolah Autis Fajar Nugraha. Yogyakarta: CV. Datamedia.

William, C. dan Wright, B. (2004). How To Live With Autism and Asperger Syndrome. Jakarta: Dian Rakyat.

Wijaya, Ignatius Dharta R. (2009). Seksualitas dan Pubertas pada Individu Remaja dan Dewasa dengan Autisme. Makalah dipresentasikan pada Seminar Sehari Autisme di Universitas Kristen Maranatha, Bandung

(34)

99 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

American Psychologist Association. About clinical psychology. (online). (http://www.apa.org/divisions/div12/aboutcp.html, diakses 12 Maret 2011) Indahningtias, Sapphira. (2009). Studi Deskriptif mengenai Coping Stress pada

Ibu yang Memiliki Anak Autis di Yayasan “X”di Kota Bandung”. Metode Penelitian. Bandung : Universitas Kristen Maranatha.

Judarwanto,W. (2006). Alergi Makanan pada Anak: Menganggu Otak dan Perilaku Anak. (Online). (http://www.putera kembara.com, diakses tanggal 1 Desember 2006)

Lubis, Misbah Umar. (2009). Penyesuaian Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Autis. Skripsi : Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Purboyo.2005.Jumlah Penderita Autis Melonjak Tajam. (Online). (http://www.pikiran-rakyat.com.diakses tanggal 15 Januari 2007)

Rini, J. F. (2002). Wanita Bekerja. (Online). (http://www.e-psikologi.com/keluarga/280502.htm, diakses tanggal 20 Februari 2008) Sulitnya Menjadi Orang-tua Tunggal. (2007) (Online).

Referensi

Dokumen terkait

Hazard statements : Avoid contact with molten material Pictogram (Hazard Symbols) ::. H272 Oxidizing Solids H228

Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan.

Buka project baru, double click Control Label1, Label2, Label3, Label4, Buka project baru, double click Control Label1, Label2, Label3, Label4, Label5, Label6, textbox1 textbox2

[r]

Aluminum Chlorida (PAC) dari Limbah Aluminium Foil untuk Menurunkan Kekeruhan Air Sungai Je’neb erang ”, ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu, walaupun

Variasi diameter kerikil pada reaktor disusun secara bertahap dengan diameter kerikil paling bawah 3 mm, 5mm, dan 9mm yang bertujuan untuk menghasilkan

Language, Literacy and Arts Education, Faculty of Education, The University..

Berdasarkan hasil penelitian mengenai penggunaan strategi bermain aktif untuk meningkatkan kemampuan kosakata bahasa Inggris anak, saran-saran yang dapat digunakan