• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan tingkat coping stress berdasarkan persepsi pola asuh orangtua pada remaja awal - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perbedaan tingkat coping stress berdasarkan persepsi pola asuh orangtua pada remaja awal - USD Repository"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN TINGKAT COPING STRESS BERDASARKAN PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA PADA REMAJA AWAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Maria Angga Anjelika Wahyuningsih NIM. 099114085

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

PERBEDAAN TINGKAT COPING STRESS BERDASARKAN PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA PADA REMAJA AWAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Maria Angga Anjelika Wahyuningsih NIM. 099114085

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN MOTTO

“SETIAP USAHA YANG DIBARENGI DENGAN DOA DAN NIAT,

SEKECIL APAPUN USAHA ITU, PASTI AKAN MEMBUAHKAN HASIL

YANG MENYENANGKAN”

(Ina)

Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada

anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya. Ia membuat segala

sesautu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan

dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami

pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir

(6)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan untuk:

TUHAN YESUS

dan

BUNDA MARIA

Tersayang, yang

telah kukenal sejak aku kecil..Terima kasih buat anugerah

yang indah yang Engkau berikan bagiku..terutama karena

Engkau telah memberikanku...

Bapak dan Mama yang Luar Biasa seperti

Bapak Donny

dan

Mama Ririn

, yang telah memberikanku doa, kasih sayang,

support,

kesabaran, keceriaan, penguatan, teguran untuk lebih

baik, dll. Terima kasih untuk semuanya.

Adikku satu satunya,

Tegar

, yang sudah memarahi dan

memberikan dukungan saat saya lemah..jadi tempat untuk

curhat.

Katarina Yulisa Asa’ Novera Sari, S.Psi

, terima kasih buat

selalu jadi apapun dan selalu ada disamping saya.

Teman seperjuangan saya, 4Stooges:

Ruth Meihanna Ardian, S.Psi

Amelia Noviani, S.Psi

Stephanie, S.Psi

(7)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah

disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta,

Penulis

(8)

vii

PERBEDAAN TINGKAT COPING STRESS BERDASARKAN PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA PADA REMAJA AWAL

Maria Angga Anjelika Wahyuningsih

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat coping stress pada remaja awal berdasarkan persepsi pola asuh orangtua. Pola asuh orangtua pada penelitian ini terdiri dari empat jenis pola asuh yaitu pola asuh otoritatif, pola asuh otoriter, pola asuh permisif, dan pola asuh uninvolved. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 207 orang yang merupakan siswa SMP kelas 7 dan kelas 8 dengan usia 12-15 tahun. Metode pengumpulan data dengan menggunakan skala yaitu skala tingkat coping stress dan skala persepsi pola asuh orangtua. Koefisien reliabilitas dari skala tingkat coping stress sebesar 0.832, sedangkan untuk skala persepsi pola asuh orangtua dari yang tertinggi hingga terendah adalah 0.771 untuk pola asuh otoritatif, 0.676 untuk pola asuh

uninvolved, 0.670 untuk pola asuh permisif, dan 0,656 untuk pola asuh otoriter. Hasil analisis dari penelitian ini dengan menggunakan one way anava memperoleh nilai probabilitas atau sig. sebesar 0.051 (p > 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat coping stress

berdasarkan persepsi pola asuh orangtua pada remaja awal.

(9)

viii

THE DIFFERENCES COPING STRESS LEVELS BASED ON PARENTING STYLES PERCEPTION IN EARLY ADOLESCENCE

Maria Angga Anjelika Wahyuningsih

ABSTRACT

This research was aimed to identify the differences in coping stress levels based on parenting styles perception of early adolescence. Parenting styles in this research consisted of four styles: authoritative parenting style, authoritarian parenting style, permissive parenting style, uninvolved pareting style. Subjects were 207 junior high school students from 7th to 8th grade, whose ranged from 12 to 15 years old. Instreuments are scale of coping stress level and the scale of parenting style perception. Reliability coefficient from the scale of coping stress level was 0.832. However, reliability coefficients of parenting styles perception scale were 0.771 for authoritative parenting style, which had the highest rate, followed by uninvolved pareting style with 0.676, 0.670 for permissive parenting style, and 0.656 for authoritarian parenting style. Analytical process of this research data was done with one way anova which produce 0.051 (p >0.05) probability value or Sig. This result pointed that there was no differences in early adolescence’s coping stress levels based on their perception of parenting styles.

(10)

ix

PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma

Nama : Maria Angga Anjelika Wahyuningsih

Nomomr Mahasiswa : 099114085

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul:

PERBEDAAN TINGKAT COPING STRESS BERDASARKAN PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA PADA REMAJA AWAL

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin kepada saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 20 Agustus 2014 Yang menyatakan,

(11)

x

KATA PENGANTAR

Syukur kepada Tuhan Yesus atas semua yang telah diberikan kepada

saya. Terima kasih atas kesabaran, kekuatan, bimbingan, dan penyertaanMu

hingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Kasih yang luar biasa dari Tuhan melalui kedua orangtua saya, Bapak

Donny dan Mama Ririn karena curahan kekuatan dan kasih sayangnya

kepada saya dalam mengerjakan dan menyelesaikan tugas akhir.

Penyelesaian dan pengerjaan tugas akhir ini juga melewati banyak

tantangan dan kendala, namun dibalik itu semua selalu ada orang-orang

yang terbaik yang memberikan saya dukungan dan semangat yang membuat

saya kembali bangkit. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima

kasih sebesar-besarnya kepada pihak yang telah mendukung dan membantu

saya selama pengerjaan tugas akhir ini.

1. Alm. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani yang telah menjadi dosen

seminar yang membuat saya memiliki ide dengan tugas akhir ini.

Terima kasih buat kekuatan ibu dan semangat ibu yang tetap

membimbing kami sekelas hingga menyelesaikan mata kuliah seminar

yang membantu dalam tugas akhir ini. Doa ibu dari sana membimbing

kami semua.

2. Ibu Sylvi selalu dosen pembimbing yang selalu memberikan banyak

motivasi dan pandangan sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

(12)

xi

selama bimbingan serta semangat bimbingan walaupun harus berebutan

dengan angkatan 2010 

3. Bapak Priyo Widiyanto selaku dekan Fakultas Psikologi yang selama

ini banyak membantu mahasiswa selama menempuh studi di Fakultas

Psikologi Sanata Dharma.

4. Bu Titik Kristiyani dan Bu Tjipto Susana selaku Dosen Pembimbing

Akademik yang memberikan banyak pengetahuan, motivasi, saran, dan

bantuannya dalam memahami setiap hal dalam perjalanan studi ini.

5. Suster Wina, terima kasih buat bantuannya dan ajarannya dalam

menganalisis data. Terima kasih sudah mau direpotin, dan terima kasih

atas kesabarannya dalam mengajari saya.

6. Staff sekretariat, Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji, Mas Doni, dan

Pak Gie yang selalu memberikan senyuman hangat dan ramah setiap

kali saya membutuhkan bantuan dalam perkuliahan.

7. Kepala sekolah SMP Pangudi Luhur Yogyakarta atas ijin yang telah

diberikan untuk melakukan penelitian tugas akhir ini.

8. Guru Bimbingan Konseling SMP Pangudi Luhur Yogyakarta, Ibu V.

Indriastuti selaku koordinator BK, Ibu Natalia selaku guru BK kelas 8,

dan Ibu Kismiati selaku guru BK kelas 7 yang telah membantu dan

memberikan keramahannya dan jam mengajarnya selama pengambilan

data. Terima kasih banyak ibu atas bantuan yang luar biasa ini.

9. Terima kasih yang banyak buat adik-adik SMP Pangudi Luhur kelas 7

(13)

xii

10. Adikku Antonius Lanang Tegar Wicaksana Praptantya, terima kasih

adekku yg item buat semua dukungan. Semoga waktu kamu kuliah

nanti semua dilancarkan. Amin.

11. Eyang Putri tersayang, Ign. Hardjani yang selalu memberikan doa dan

wejangan selama saya menyelesaikan studi dan merawat saya sebagai

ganti ibu selama ini. Terima kasih eyang, karena sudah menunggu saya

menyelesaikan studi ini.

12. Katarina Yulisa aka Kak icha, makasi sudah jadi kakak, sahabat,

musuh, guru, adek, semuanya buat saya..terima kasih buat kesabaran,

buat kenyamanan, buat menjadi orang yang mengerti saya..tempat

curhat, tempat berantem, tempat belajar...terima kasih buaaanyaaakkk!!

:* :*

13. Ruth Meihanna, Amelia Noviani, dan Stephanie..sahabat yang

menjelma menjadi saudara terhebat (lebay..lebay)..hehehe.. terima kasih

buat semuanya..kegilaan, keunikan, keceriaan, kesedihan, kekesalan,

kenyamanan, semuanyaa...terima kasih selalu ada, terima kasih karena

kalian selalu membantu, terima kasih karena kalian mau memarahi

saya, terima kasih karena kalian manusia yang tidak pernah JAIM dan

selalu berbicara apa adanya..dari kalian, aku belajar banyak hal.. #HUG

 :* :* :* :*

14. Buat Ibu Dyah dan Bapak Wanar sama Daniel (ortunya Ruthi :p),

(14)

xiii

makan selama saya studi..hehehehe...terima kasih banyak ibu dan bapak

yang membuat saya merasa punya rumah kedua disini 

15. Dwi Agnes Setiani “tolak angin”, terima kasih bangettt buat bantuan

analisisnya..lancar kuliahmu dekkk!! Hehehehe...(“kakak gilak!”)

16. Buat bu dokter Wico, bu akuntan Savitri, bu teknik sipil Stela, bu

pembuat formula susu Tyas, terima kasih buat bantuan dan

dukungan..buat keributan, buat support extremenya..hehhehe..

17. Ristina Mauliana dan Agatha Vitti, temen yang jauh tapi selalu peduli

dengan saya...terima kasih..kalian anak bungsu yang membuat saya

merasa seperti adik kalian...hehehe..makasi buat semuanya.

18. Buat Hugo tersayang, makasi ya Go..udah mau nemenin mbak angga

ngerjain skripsi ampe pagi...makasi juga udah mipisin jurnal jurnal

mbak angga...mbak angga kangen sama Hugooo (guk guk gukk: hugo

juga kangen mbak angga)

19. Terima kasih buat temen-temen PSYbasketballUSD karena saya boleh

pernah jadi bagian dari team ini.

20. Dan semua pihak yang telah mendukung dan tidak dapat disebutkan

satu persatu.

Semoga kalian semua selalu diberikan dan dilimpahkan rahmat dari

Tuhan.

Penulis

(15)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

1. Manfaat Teoritik ... 6

2. Manfaat Praktis ... 6

(16)

xv

A. Stres ... 8

1. Pengertian Stres ... 8

2. Penyebab Stres (Stressor) ... 9

3. Stress Appraisals ... 10

4. Reaksi Terhadap Stres ... 12

B. Coping Stress ... 15

1. Pengertian Coping Stress ... 15

2. Fungsi Coping ... 16

3. Metode Coping Stress ... 17

4. Aspek-aspek Coping Stress ... 18

5. Sumber Daya untuk Coping Stress yang Efektif ... 23

C. Remaja Awal ... 26

1. Batasan Remaja Awal ... 26

2. Aspek Perkembangan Kognitif ... 27

3. Aspek Perkembangan Sosial ... 28

D. Persepsi Pola Asuh Orangtua ... 29

1. Pola Asuh ... 29

2. Persepsi Anak Terhadap Pola Asuh ... 30

3. Jenis-jenis Pola Asuh Orangtua ... 31

4. Dampak Pola Asuh Orangtua ... 34

E. Perbedaan Tingkat Coping Stress Pada Remaja Awal Berdasarkan Persepsi Pola Asuh Orangtua ... 36

(17)

xvi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 42

A. Jenis Penelitian ... 42

B. Variabel Penelitian ... 42

C. Definisi Operasional 1. Persepsi Pola Asuh Orangtua... 42

2. Coping stress ... 43

D. Subjek Penelitian ... 44

E. Metode Pengumpulan Data ... 44

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 48

1. Uji Validitas ... 48

2. Uji Reliabilitas ... 48

3. Uji Daya Diskriminasi Aitem ... 50

G. Teknik Analisis Data ... 52

1. Uji Asumsi ... 52

2. Uji Hipotesis ... 52

H. Pelaksanaan Uji coba Alat Ukur ... 53

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 54

A. Pelaksanaan Penelitian ... 54

B. Hasil Penelitian ... 54

1. Data Demografi Subjek ... 54

2. Deskripsi Data Penelitian ... 56

3. Uji Asumsi dan Uji Hipotesis Data Penelitian ... 58

(18)

xvii

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 64

1. Bagi Orangtua ... 64

2. Bagi Subjek Penelitian... 65

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66

(19)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Karakteristik Pola Asuh Orangtua ... 34

Tabel 2 Blueprint Skala Tingkat Coping Stress ... 45

Tabel 3 Skor Jawaban untuk Skala Tingkat Coping Stress ... 45

Tabel 4 Skor Jawaban untuk Skala Tingkat Persepsi Pola Asuh ... 47

Tabel 5 Blueprint Skala Persepsi Pola Asuh ... 47

Tabel 6 Blueprint Skala Tingkat Coping Stress Setelah Ujicoba ... 51

Tabel 7 Blueprint Skala Persepsi Pola Asuh Setelah Ujicoba ... 51

Tabel 8 Deskripsi Usia Subjek Penelitian ... 55

Tabel 9 Deskripsi Usia Orangtua Subjek Penelitian... 55

Tabel 10 Deskripsi Pendidikan Terakhir Orangtua Subjek... 55

Tabel 11 Deskripsi Pekerjaan Orangtua Subjek... 55

Tabel 12 Deskripsi Pola Asuh Subjek Penelitian ... 56

Tabel 13 Deskripsi Tingkat Coping Stress Subjek Penelitian ... 56

Tabel 14 Data Coping Stress Berdasarkan Persepsi Pola Asuh... 57

Tabel 15 Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov... 58

Tabel 16 Hasil Uji HomogenitasLevene’s Test... 59

(20)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Penelitian ... 69

Lampiran 2 Reliabilitas Aitem ... 81

(21)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Remaja menghadapi berbagai tuntutan dan harapan dari lingkungan

sekitarnya. Perceraian orangtua, pergaulan yang salah, tuntutan untuk

berprestasi melebihi kemampuan dasar yang dimiliki, dan komunitas

lingkungan yang kurang baik juga menjadi masalah-masalah yang dialami

oleh remaja sekarang ini (Haryanto, 2011). Hal ini membuat remaja memilih

untuk melakukan tindakan-tindakan seperti mengkonsumsi narkoba,

merokok, vandalisme, tawuran pelajar, dan seks bebas sebagai akibat dari

ketidakmampuan remaja mengatasi masalah-masalah yang dialami.

Masalah-masalah tersebut dapat membuat remaja mengalami stres.

Walker (dalam Kemala dan Hasnida, 2005) mengatakan bahwa stres yang

dialami remaja bersumber dari dua hal yaitu dari lingkungan keluarga dan

sekolah. Vanessa Van Petten, mewawancarai pelamar magang usia remaja,

dan mendapatkan lima jawaban terkait hal yang membuat mereka khawatir

dan mengalami bagian tersulit dalam hidup menurut mereka yaitu interaksi

sosial, sekolah, masa depan, keuangan, dan percintaan (InfoGue, 2010). Salah

satu contoh kasus, BNN (Badan Narkotika Nasional) menangkap tiga pelajar

SMP yang sedang mengkonsumsi narkotika jenis ganja. Ketiga pelajar

tersebut ditangkap senin malam (24/2) setelah adanya laporan dari warga

(22)

Kasus di atas merupakan contoh remaja yang kurang memiliki coping stress yang baik. Menurut Feldman (2012), coping stress adalah usaha untuk

mengontrol, mengurangi, atau belajar untuk menoleransi ancaman yang

menyebabkan stres. Banyak hal yang dapat mengembangkan kemampuan

coping pada remaja. Lingkungan sekolah memberikan banyak kegiatan yang mampu menampung bakat dari remaja seperti kegiatan ekstrakurikuler yang

berbagai macam mulai dari bidang olahraga, kesenian, sains, dll.

Kegiatan-kegiatan ini dapat membantu remaja menyalurkan kreativitas dan hobi

sehingga dapat membuat mereka mampu menghadapi masalah. Kegiatan lain

yang dapat membangun kemampuan coping remaja adalah kegiatan keagamaan pada masing-masing tempat ibadah, seperti kegiatan di mesjid

TPA (Tempat Pengajian Anak), kegiatan di gereja Mudika, dsb . Selain itu,

remaja juga memiliki teman sebaya yang dapat menjadi tempat untuk

membicarakan masalah mereka. Menurut Sullivan (dalam Asmani, 2012),

teman memainkan peran yang penting dalam membentuk kesejahteraan dan

perkembangan. Terkait dengan kesejahteraan, dia menyatakan bahwa semua

orang memiliki sejumlah kebutuhan sosial dasar termasuk kebutuhan akan

kasih sayang, teman yang menyenangkan, penerimaan oleh lingkungan sosial,

dan keakraban. Berbagai contoh kegiatan konstruktif di atas dapat

membangun kemampuan coping remaja lebih baik.

Kemampuan dalam mengembangkan coping stress ini didukung oleh beberapa sistem dukungan, salah satunya adalah keterikatan yang dekat dan

(23)

sebagai pertahanan yang baik terhadap stres dalam kehidupan remaja (East,

1989; Gottlieb, 1991; O’Brien, 1990; Eiffge-Krenke, 1995; Youniss &

Smollar, 1985 dalam Santrock, 2002). Dalam sebuah penelitian diketahui

bahwa remaja dapat menangani stres dengan lebih baik bila mereka memiliki

hubungan yang lekat dan penuh kasih sayang dengan ibu mereka (Wagner,

Cohen, & Brook, 1991 dalam Santrock, 2002).Penelitian lain mengenai stres

dan coping stress pada remaja pekerja seks komersil mengemukakan

macam-macam coping yang di lakukan oleh remaja pekerja seks komersil adalah dengan cara membicarakan masalahnya dengan orang yang terpercaya

(Oktavianti, 2010).

Remaja dapat membicarakan masalah mereka dan mengembangkan

keterampilan menyelesaikan masalah, tetapi karena pergolakan emosional

dan ketidakyakinan remaja dalam membuat keputusan penting, membuat

remaja perlu mendapat dukungan khusus dari orang dewasa terutama

orangtua melalui pengasuhan (Kemala dan Hasnida, 2005). Pola pengasuhan

yang diterapkan orangtua menyumbang dalam pembentukan keyakinan

positif, keterampilan sosial pada anak, dan dukungan sosial yang merupakan

sumber daya untuk coping stress yang efektif (Huffman, Vernoy & Vernoy, 2000).

Wolf (dalam Sawalha, 2012) menyatakan bahwa keluarga

memainkan peranan yang penting dalam integritas atau penyimpangan dari

apa yang benar melalui model tingkah laku yang diberikan kepada anak.

(24)

berusaha memengaruhi secara signifikan perilaku anak dan perkembangan

karakter mereka (Baumrind, 1991). Berdasarkan uraian di atas, dapat

diasumsikan bahwa keluarga memberikan pondasi primer bagi perkembangan

anak dalam bentuk unit sosial terkecil. Penting bagi remaja untuk memiliki

coping stress yang tinggi sehingga dapat terhindar dari godaan-godaan yang muncul. Apabila remaja memiliki coping stress yang rendah, maka remaja tersebut akan kesulitan dalam menghadapi godaan-godaan tersebut.

Berdasarkan hal ini peneliti berasumsi bahwa pola pengasuhan yang

digunakan orangtua dalam mengasuh anak berperan dalam pembentukkan

coping stress pada remaja.

Pola pengasuhan orang tua ada bermacam-macam. Baumrind (dalam

Berk, 2008) mengidentifikasikan beberapa pola pengasuhan antara lain

otoriter, otoritatif, permisif, dan uninvolved. Orangtua yang otoriter memiliki penerimaan dan keterlibatan yang rendah, kontrol yang tinggi, dan

pemenuhan otonomi yang rendah. Orangtua yang otoritatif memiliki

penerimaan dan keterlibatan yang tinggi, kontrol yang tinggi dan pemenuhan

otonomi yang tinggi pula. Orangtua yang permisif memiliki penerimaan dan

keterlibatan yang tinggi, kontrol yang rendah dan pemenuhan otonomi yang

tinggi. Sedangkan orangtua yang uninvolved memiliki penerimaan dan

keterlibatan yang rendah, kontrol rendah dan pemenuhan otonomi yang

rendah pula.

Berdasarkan penelitian Maddahi, Javidi, Samadzadeh, dan Amini

(25)

dimensi-dimensi kepribadian pada sampel mahasiswa, menunjukkan hasil bahwa

orangtua yang mendukung pola asuh otoritatif berkontribusi dalam

mengembangkan karakter positif seperti; agreeableness, extraversion, dan

openness. Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Alizadeh, Talib,

Abdullah, dan Mansor (2011) mengatakan bahwa pola asuh otoritatif

berkelanjutan dalam memengaruhi perkembangan anak secara positif

melewati masa anak-anak dan juga masa remaja.

Remaja mempersepsi pola asuh otoritatif sebagai pola asuh yang

mendorong untuk mandiri namun tetap memberikan batasan dan kendali atas

tindakan mereka. Orangtua yang menerapkan pola asuh ini memberikan

kesempatan bagi remaja untuk berdiskusi secara bebas. Remaja yang di asuh

dengan pola asuh ini merasa orangtua mereka bersikap hangat dan menerima

mereka apa adanya (Santrock, 2011). Berdasarkan hal ini, dapat diasumsikan

pola asuh otoritatif dapat memberikan pengaruh positif pada perkembangan

anak termasuk perkembangan coping stress pada masa remaja dibandingkan dengan anak yang diasuh dengan pola asuh lain. Peneliti berasumsi bahwa

remaja yang diasuh dengan menggunakan pola asuh otoritatif memiliki

tingkat coping stress yang tinggi daripada remaja yang diasuh dengan menggunakan pola asuh yang lain.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat coping stress pada remaja awal berdasarkan persepsi pola asuh orangtua. Peneliti memilih subjek remaja awal karena pada masa remaja awal, remaja akan

(26)

diperlukan adanya coping stress yang baik untuk remaja dapat menghadapi masalah-masalah baru tersebut.

B. RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah ada perbedaan

tingkat coping stress pada remaja awal berdasarkan persepsi pola asuh orangtua?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian yang akan dicapai dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui adanya perbedaan tingkat coping stress pada remaja awal berdasarkan persepsi pola asuh orangtua.

D. MANFAAT

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini bermanfaat sebagai pengembangan dan penerapan

ilmu Psikologi di bidang Psikologi Remaja dan Psikologi Perkembangan.

Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan tambahan

kepustakaan ilmiah bagi para peneliti lain yang berminat pada bidang

yang sama.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis bagi remaja awal, penelitian ini dapat menambah

(27)

agar mereka dapat mengembangkan kemampuan coping stress dengan lebih baik sehingga terhindar dari masalah kenakalan remaja. Bagi

orangtua diharapkan melalui penelitian ini dapat mengetahui pentingnya

menerapkan pola asuh yang tepat bagi perkembangan coping stress anak

sehingga dapat membimbing dan mengarahkan saat anak memasuki usia

(28)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. STRES

1. Pengertian Stres

Selye (dalam Huffman, Vernoy & Vernoy, 2000) mendefinisikan

stres sebagai respon nonspesifik dari tubuh terhadap tugas yang dihadapi.

Menurut Sarafino (2006), stres adalah suatu keadaan dimana transaksi

antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan jarak antara

tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya

sistem biologis, psikologis, dan sosial dari seseorang.

Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) kondisi stres

memiliki dua komponen yaitu fisik dan psikologis. Kedua komponen ini

dapat dilihat dengan tiga cara yaitu:

1. Stres dilihat sebagai stimulus, yaitu kondisi atau kejadian tertentu

yang menimbulkan stres atau disebut juga dengan stressor.

2. Stres sebagai respon, yaitu berfokus pada reaksi individu terhadap

stresor. Respon yang muncul dapat secara fisik, seperti: jantung

berdebar, gemetar, pusing, serta respon psikologis seperti: takut,

cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah tersinggung. Respon fisik

dan psikologis terhadap stresor disebut sebagai strain

3. Stres sebagai proses, meliputi stresor dan strain, tapi menambahkan

(29)

ini melibatkan interaksi dan penyesuaian yang berkelanjutan yang

disebut transactions dengan individu dan lingkungan yang saling

mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lain. Menurut pandangan

ini, stres tidak hanya sebagai stimulus atau respon tetapi suatu

proses dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak

stres melalui strategi tingkah laku, kognisi maupun afeksi.

Rice (dalam Hasnida dan Kemala, 2005) mengatakan bahwa stres

adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan

individu merasa tegang. Atkinson (dalam Hasnida dan Kemala, 2005)

mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan

membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini

disebut sebagai penyebab stres dan reaksi individu terhadap situasi stres

ini sebagai respon stres.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa stres

adalah suatu situasi yang membuat individu merasa tertekan. Stres

merupakan mekanisme kompleks yang menghasilkan respon tubuh

meliputi respon perilaku, fisiologis, dan psikologis. Mekanisme ini

bersifat individual dimana masing-masing individu berbeda dalam

mengalaminya.

2. Penyebab Stres (Stressor)

Istilah stressor diperkenalkan pertama kali oleh Selye (dalam Huffman et al, 2000). Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino,

(30)

dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial (seperti

interaksisosial). Pikiran dan perasaan individu sendiri yang dianggap

sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga

menjadi stresor.

Lazarus & Cohen (dalam Hasnida dan Kemala, 2005),

mengklasifikasikan tiga tipe kejadian yang dapat menyebabkan stres

yaitu:

a. Cataclysmic events

Fenomena besar atau tiba-tiba terjadi, kejadian-kejadian

penting yang mempengaruhi banyak orang, seperti bencana alam.

b. Personal stressors

Kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi sedikit

orang atau sejumlah orang tertentu, seperti krisis keluarga.

c. Background stressors

Pertikaian atau permasalahan yang biasa terjadi setiap hari,

seperti masalah dalam pekerjaan dan rutinitas pekerjaan.

Berdasarkan dari penjelasan diatas, diambil kesimpulan bahwa

penyebab stres atau stresor dapat berasal dari berbagai sumber baik

internal maupun eksternal dari individu.

3. Stress Appraisals

Penilaian terhadap suatu keadaan yang dapat menyebabkan stres

disebut stress appraisals.Transactions yang mengarah pada kondisi stres

(31)

appraisals (Lazarus, 1999; Lazarus & Folkman, 1984b). Cognitive appraisals adalah suatu proses mental, dimana ada dua faktor yang

dinilai oleh seseorang: (1) apakah sebuah tuntutan mengancam

kesejahteraannya dan (2) sumber daya yang tersedia untuk memenuhi

tuntutan tersebut yang disebut sebagai primary dan secondary appraisals:

1. Primary appraisal yaitu penilaian pada waktu kita mendeteksi suatu

kejadian yang potensial untuk menyebabkan stres. Peristiwa yang

diterima sebagai keadaan stres selanjutnya akan dinilai menjadi 3

akibat yaitu harmless (tidak berbahaya), threat (ancaman), dan

challenge (tantangan).

2. Secondary appraisal mengarah pada sumber dayayang tersedia pada

diri kita atau yang kita miliki untuk menanggulangi stres.

Berikut ini adalah karakteristik dari situasi yang stresful, yaitu:

a. Life transitions, yaitu melewati satu kondisi atau fase dari kehidupan ke fase berikutnya. Contoh: menjadi orangtua, masuk sekolah

pertama, atau pensiun dari pekerjaan.

b. Difficult timing, yaitu kejadian yang terjadi lebih cepat atau lebih lambat daripada yang biasa terjadi atau yang diharapkan. Contoh:

memiliki anak diusia 15 tahun atau masuk kuliah Strata-1 pada usia

(32)

c. Ambiguity, yaitu ketidakjelasan akan situasi yang terjadi. Contoh: seorang pekerja yang tidak memiliki kejelasan informasi tentang

tugas pekerjaan dan fungsinya.

d. Low desirability, ada beberapa kejadian yang terjadi diluar dugaan

kita. Contoh: kebakaran rumah atau kehilangan seseorang yang kita

sayangi.

e. Low controllability, yaitu keadaan yang terlihat diluar pengaruh

behavioral atau kognitif seseorang. Contoh: rendahnya kontrol kognitif, seperti tidak mampu untuk berhenti berpikir tentang

pengalaman traumatik.

4. Reaksi Terhadap Stres

a. Aspek Biologis

Walter Canon (dalam Sarafino, 2006) memberikan deskripsi

mengenai bagaimana reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa yang

mengancam. Ia menyebutkan reaksi tersebut sebagai fight-or-flight response karena respon fisiologis mempersiapkan individu untuk menghadapi atau menghindari situasi yang mengancam tersebut.

Canon mengusulkan bahwa fight-or-flight response memiliki efek positif maupun negatif. Respon fight-or-flight adalah respon yang

adaptif karena menyebabkan individu dapat berespon dengan cepat

terhadap situasi yang mengancam. Disisi lain, apabila arousal yang tinggi terus menerus muncul dapat membahayakan kesehatan

(33)

Selye (dalam Sarafino, 2006) mempelajari akibat yang timbul

bila stressor terus menerus muncul. Ia mengembangkan istilah

General Adaptation Syndrome (GAS) yang terdiri atas rangkaian tahapan reaksi fisiologis terhadap stressor yaitu:

1. Alarm reaction

Pada fase ini individu secara fisiologis merasakan adanya

ketidakberesan seperti jantungnya berdegup, keluar keringat

dingin, muka pucat, leher tegang, nadi bergerak cepat dan

sebagainya. Fase ini merupakan pertanda awal orang mengalami

stres.

2. Stage of Resistence

Pada fase ini tubuh membuat mekanisme perlawanan

pada stres, sebab pada tingkat tertentu stres akan

membahayakan. Tubuh dapat mengalami disfungsi, bila stres

dibiarkan berlarut-larut. Selama masa perlawanan tersebut,

tubuh harus cukup tersuplai oleh gizi yang seimbang, karena

tubuh sedang melakukan kerja keras.

3. Stage of Exhaustion

Fase disaat orang sudah tak mampu lagi melakukan

perlawanan. Akibat yang parah bila seseorang sampai pada fase

ini adalah penyakit yang dapat menyerang bagian – bagian

(34)

b. Aspek psikologis

Reaksi psikologis terhadap stressor meliputi:

1. Kognisi

Stres dapat mengganggu fungsi kognitif, seringkali

dengan mengalihkan perhatian kita. Kebisingan dapat menjadi

stressor yang kronis bagi orang yang tinggal di lingkungan yang bising, seperti di dekat jalur kereta api (Lepore, dalam Sarafino,

2006). Bukti menunjukkan bahwa orang yang mencoba untuk

menghilangkan kebisingan kronis secara umum dapat

mengalami penurunan kognitif karena mereka mengalami

kesulitan dalam mengenali suara yang ada dan yang harus

dihilangkan (Cohen, dalam Sarafino, 2006).

2. Emosi

Emosi cenderung terkait stres. Individu sering

menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres

dan pengalaman emosional. Reaksi emosional terhadap stres

yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi, perasaan sedih dan

marah (Sarafino, 2006).

3. Perilaku Sosial

Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang

lain. Individu dapat berperilaku positif dan negatif (Sarafino,

2006). Perilaku positif seperti pada saat terjadi situasi stressful,

(35)

bekerja sama satu sama lain untuk bertahan hidup. Di sisi lain,

beberapa orang mungkin menjadi kurang dapat bersosialisasi,

kurang peduli, dan lebih memiliki sikap bermusuhan serta tidak

sensitif terhadap orang di sekitar (Cohen & Spacapan, dalam

Sarafino, 2008)

B. COPING STRESS

1. Pengertian Coping Stress

Lazarus & Folkman (dalam Oktavianti, 2007) mendefinisikan

coping sebagai suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari individu sendiri

dengan tuntutan yang berasal dari lingkungan dengan sumber daya yang

mereka gunakan dalam menghadapi situasi stres. Sarafino (2006)

menambahkan bahwa coping adalah proses dimana individu melakukan

usaha untuk mengatur situasi yang dipersepsikan adanya kesenjangan

antara tuntutan dan sumber daya yang dinilai sebagai penyebab

munculnya situasi stres.

Berdasarkan beberapa definisi para ahli tersebut, dapat

disimpulkan bahwa coping adalah suatu cara dari individu untuk

menghadapi situasi yang menekan baik berasal dari dalam diri maupun

berasal dari lingkungan dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki

(36)

2. Fungsi Coping

Proses coping terhadap stres memiliki 2 fungsi utama yang

terlihat dari bagaimana gaya menghadapi stres, yaitu :

a. Emotional-focused coping

Coping ini berfungsi untuk melakukan kontrol terhadap respon emosional terhadap situasi penyebab stres, baik dalam

pendekatan secara behavioral maupun kognitif. Lazarus dan

Folkman (1986) mengemukakan bahwa individu cenderung

menggunakan emotional-focused coping untuk individu memiliki

persepsi bahwa stressor yang ada tidak dapat diubah atau diatasi. Bentuk dari coping ini tidak mendistorsi realitas, tetapi akurat dalam penilaian kembali situasi stres sehingga dapat mengurangi stres.

Contoh: humor adalah salah satu coping dengan emosi yang secara efektif dapat mengurangi rasa marah, mengubah mood, dan

menghilangkan depresi (Huffman et al, 2000). Metode coping yang berdasarkan emosi penting, karena mereka terkadang menggunakan

perawatan medis atau terlibat pada perilaku tidak sehat seperti

penggunaan obat-obatan terlarang, merokok, dan minum minuman

berakohol. Orang sering menggunakan subtansi ini dalam usaha

mereka mencapai coping (Wills dalam Sarafino, 2006)

b. Problem-focused coping

(37)

stres. Strategi ini terdiri dari mengidentifikasi masalah stres,

menghasilkan solusi yang mungkin, memilih solusi yang tepat, dan

menerapkan solusi untuk masalah ini, sehingga menghilangkan stres

(Huffman et al, 2000). Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006)

mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan problem- focused coping ketika individu memiliki persepsi bahwa stressor

yang ada dapat diubah.

3. Metode Coping stress

Para peneliti bekerja untuk mengidentifikasi metode coping yang

paling penting dan berhubungan dengan psikologis dan kesehatan. Ada

tiga dari beberapa metode coping (Folkman & Moskowitz, 2004): a. Peran Emosi Positif

Menurut Folkman (1994), satu cara emosi positif membantu

mengatasi stres adalah dengan mendukung proses coping tersebut.

Contoh: seorang homoseksual menceritakan kesulitan dalam

mengurus pasangannya saat episode berkeringat berat beberapa kali

sehari, seperti penderita AIDS kebanyakan, dan menyatakan bahwa

merasa bangga karena masih dapat membuat pasangannya nyaman.

b. Menemukan manfaat atau makna

Menurut Folkman, menemukan manfaat atau makna akan

memberikan jalan penting untuk pengalaman emosi positif selama

masa stres. Orang yang mencoba mengatasi beberapa stres sering

(38)

values, dan goals untuk memberikan arti positif (Folkman, 1997; Sears, Stanton, & Danoff-Burg, 2003).

c. Terlibat dalam pendekatan emosional

Pendekatan emosional, orang-orang mengatasi stres dengan

berproses secara aktif dan mengekspresikan perasaan mereka

(Stanton et al, 2000). Untuk menilai pendekatan emosional,

orang-orang menilai bagaimana sering mereka terlibat proses emosional

dan ekspresi emosional. Proses emosional seperti berkata “saya

akan mengambil waktu untuk mengetahui apa yang sedang saya

rasakan” dan mengekspresikannya dengan mengatakan “berikan

saya waktu untuk mengekpresikan emosi saya”.

4. Aspek-Aspek Coping Stress

Aspek-aspek coping stress terdiri dari beberapa macam. Aspek-aspek ini secara rinci dapat mengungkap coping stress remaja yang

menghadapi hal-hal baru ketika menuju dewasa. Menurut Jerabek (1998)

ada tujuh aspek coping stress, yaitu:

a. Reaksi terhadap stres(reactivity to stress)

Semakin rendah kemampuan seseorang menghadapi stres,

maka reaksinya terhadap stres tergolong maladaptif. Sebaliknya,

semakin tinggi kemampuan seseorang menghadapi stres, maka

(39)

b. Kemampuan untuk menilai situasi (Ability to assess situation)

Kemampuan untuk menilai situasi yang dimaksud yaitu

bagaimana cara individu menanggapi situasi atau masalah yang

mengancam dirinya. Dimana situasi tersebut dapat terkendali jika

individu memiliki kemampuan yang tinggi untuk menilai situasi, dan

situasi yang menimpanya akan menimbulkan stres jika individu

memiliki kemampuan yang rendah untuk menilai situasi.

c. Kepercayaan terhadap diri sendiri (self-reliance)

Self-reliance merupakan kepercayaan individu terhadap

dirinya untuk dapat menghadapi atau menyelesaikan situasi atau

masalah yang datang kepadanya. Semakin tinggi kepercayaan

individu dalam menghadapi situasi yang mengancam dirinya, maka

ia akan semakin terhindar dari stres. Sebaliknya, semakin rendah

kepercayaan diri individu dalam menghadapi situasi yang

mengancam, maka ia akan mengalami stres.

d. Banyak akal daya(resourcefullness)

Resourcefullness merupakan daya atau kemampuan individu untuk memikirkan jalan keluar dalam menghadapi situasi atau

masalah yang mengancamnya. Semakin tinggi kemampuan individu

untuk mencari jalan keluar bagi masalahnya, ia akan terlepas dari

stres, namun semakin rendah kemampuan individu untuk mencari

(40)

contoh dari aspek ini yaitu: berbagi masalah dengan teman atau

orang yang disayangi, dan mengikuti terapi kelompok.

e. Adaptasi dan penyesuaian(adaptability and flexibility)

Adaptasi dan penyesuaian individu dalam menghadapi situasi

atau masalah yang mengancam dirinya juga mempengaruhi tingkat

stres seseorang. Semakin tinggi adaptasi dan penyesuaian diri

individu terhadap situasi atau masalah yang mengancam, ia akan

terhindar dari stres. Sebaliknya, semakin rendah adaptasi dan

penyesuaian diri individu terhadap situasi atau masalah yang

mengancam, ia akan mengalami stres.

f. Sikap proaktif (proactive attitude)

Individu juga harus berperan aktif dalam menghadapi situasi

atau masalah yang mengancam dirinya. Apabila individu tidak aktif

dalam menyelesaikan masalahnya atau terlalu bergantung kepada

orang lain, ia akan mengalami stres. Namun sebaliknya, jika

seseorang aktif menghadapi situasi atau masalah yang mengancam

dirinya, ia akan terlepas dari stres.

g. Kemampuan untuk relaks(Ability to relax)

Bersikap santai atau relaks dalam menghadapi masalah, dapat

mengurangi tingkat stres seseorang. Semakin tinggi kemampuan

individu untuk relaks dalam menghadapi masalahnya, semakin

rendah tingkat stresnya. Namun, semakin tegang seseorang

(41)

Berdasarkan pertimbangan peneliti, aspek reaksi terhadap stres

dan aspek adaptasi penyesuaian dapat digabungkan karena memiliki

kedekatan arti sebagai bagian respon dari stres. Begitu pula dengan aspek

banyak akal daya dan aspek kemampuan untuk menilai situasi yang

memiliki kedekatan arti sebagai bagian dari pengelolaan stres. Dengan

demikian, terdapat lima aspek dari coping stress yang digunakan oleh

peneliti, yaitu:

a. Respon dari stres: reaksi dan adaptasi penyesuaian

Reaksi dan adaptasi adalah kecenderungan aksi atau proses

yang muncul sebagai akibat dari suatu peristiwa dalam hal ini yaitu

suatu stressor, dan seseorang diharapkan dapat beradaptasi atau mampu melakukan penyesuaian dalam menghadapi masalah yang

mengancam dirinya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Apabila

kemampuan seseorang bereaksi dan beradaptasi dalam menghadapi

situasi atau masalah tersebut semakin tinggi maka ia akan terhindar

dari stres dan reaksinya terhadap stres semakin adaptif. Sebaliknya,

apabila kemampuannya semakin rendah maka reaksinya terhadap

stres tergolong maladaptif dan ia akan mengalami stres.

b. Pengelolaan: kemampuan menilai situasi dan banyak akal daya

Kemampuan untuk menilai situasi dan banyak akal daya yang

dimaksud yaitu bagaimana cara individu menanggapi situasi atau

masalah yang mengancam dirinya dan kemampuan individu untuk

(42)

tersebut dapat terkendali jika individu memiliki kemampuan yang

tinggi dalam menilai situasi dan mencari jalan keluar. Apabila

individu tidak memiliki kemampuan menilai situasi dan semakin

rendah dalam kemampuan mencari jalan keluar maka individu

tersebut akan mengalami stres.

c. Sikap proaktif

Individu juga harus berperan aktif dalam menghadapi situasi

atau masalah yang mengancam dirinya. Apabila individu tidak aktif

dalam menyelesaikan masalahnya atau terlalu bergantung kepada

orang lain, ia akan mengalami stres. Namun sebaliknya, jika

seseorang aktif menghadapi situasi atau masalah yang mengancam

dirinya, ia akan terlepas dari stres.

d. Kemampuan untuk relaks

Bersikap santai atau relaks dalam menghadapi masalah, dapat

mengurangi tingkat stres seseorang. Semakin tinggi kemampuan

individu untuk relaks dalam menghadapi masalahnya, semakin

rendah tingkat stresnya. Namun, semakin tegang seseorang

menghadapi stresnya, maka tingkat stresnya akan semakin tinggi.

e. Kepercayaan terhadap diri sendiri

Self-reliance merupakan kepercayaan individu terhadap dirinya untuk dapat menghadapi atau menyelesaikan situasi atau

masalah yang datang kepadanya. Semakin tinggi kepercayaan

(43)

ia akan semakin terhindar dari stres. Sebaliknya, semakin rendah

kepercayaan diri individu dalam menghadapi situasi yang

mengancam, maka ia akan mengalami stres.

5. Sumber Daya untuk Coping yang Efektif

Kemampuan seseorang untuk “mengatasi” secara efektif

tergantung pada ketersediaan sumber daya pada individu tersebut.

Sumber daya ini berasal dari kemampuan yang dimiliki individu dan juga

berasal dari lingkungan sekitar ketika individu berada pada suatu

komunitas. Lazarus dan Folkman mendaftar beberapa jenis dari sumber

daya coping yang akan dijelaskan sebagai berikut (Huffman et al, 2000): 1. Kesehatan dan Energi (Health and Energy)

Kesehatan individu berpengaruh terhadap kemampuan

coping-nya seperti yang dijelaskan pada GAS (General Adaptation Syndrome), seseorang yang memiliki badan yang sehat dan kuat

akan lebih baik dalam “mengatasi” dan bertahan lama di fase

resistance tanpa memasukin fase exhaustion. 2. Keyakinan Positif (Positive Beliefs)

Citra diri yang positif dan sikap yang positif secara khusus

dapat menjadi sumber daya coping yang signifikan. Penelitian

menunjukkan bahwa meningkatkan self-esteem sementara dapat mengurangi jumlah kecemasan yang disebabkan oleh peristiwa

stres (Greenberg et al dalam Huffman et al, 2000). Menurut

(44)

harapan dapat datang dari dalam diri sendiri yang dapat

memungkinkan kita untuk merancang strategi coping kita sendiri,

keyakinan pada orang lain seperti dokter yang kita rasa dapat

berpengaruh pada hasil yang positif atau keyakinan pada Tuhan.

3. Internal Locus of Control

Ketika orang memiliki internal locus of control, perasaan bahwa mereka memiliki kendali yang signifikan atas peristiwa

dalam kehidupan mereka, mereka akan lebih berhasil daripada

orang yang merasa mereka tidak memiliki kontrol atas peristiwa

dalam kehidupan mereka (Strickland dalam Huffman et al, 2000).

Orang yang memiliki external locus of control, merasa tidak berdaya untuk mengubah keadaan mereka. Misalnya: ketika

menghadapi penyakit parah, orang dengan internal locus of control

lebih mungkin untuk mengumpulkan informasi tentang penyakit

mereka dan tetap pada program pemeliharaan kesehatan daripada

orang yang memiliki external locus of control (Wallston et al dalam Huffman et al, 2000).

4. Keterampilan Sosial (Social skills)

Orang-orang yang memperoleh keterampilan sosial (tahu

perilaku yang tepat untuk situasi tertentu, memiliki permulaan

percakapan yang tepat, dan mengekspresikan diri dengan baik)

menderita kecemasaan lebih sedikit daripada orang yang tidak

(45)

membantu berinteraksi dengan orang lain, tetapi juga

mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan individu

dalam meminta bantuan ketika membutuhkannya, dan mengurangi

permusuhan dalam situasi tegang (Huffman et al., 2000).

5. Dukungan Sosial (Social Support)

Ketika seseorang dihadapkan pada situasi stres,

teman-teman dan keluarga selalu membantu dengan memastikan

kesehatannya, mau mendengarkan keluh kesah, dan membuat

orang tersebut merasa bahwa dirinya penting bagi mereka, serta

memberikan stabilitas untuk mengimbangi perubahan dalam

hidupnya (Huffman et al, 2000).

6. Sumber Daya Materiil (Material Resources)

Materi meningkatkan jumlah pilihan yang tersedia untuk

menghilangkan sumber stres atau mengurangi efek stres. Ketika

seseorang dihadapkan dengan masalah kecil sehari-hari, stres

kronis, atau bencana besar, orang-orang dengan kemampuan materi

yang baik dapat menggunakannya secara efektif sehingga

mengalami stres jauh lebih sedikit dibandingkan dengan orang

(46)

C. Remaja Awal

1. Batasan Remaja Awal

Istilah “adolesence” atau remaja berasal dari kata latin

adolescere” (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang

berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Seperti yang didefinisikan

Horrocks (dalam Hurlock, 1955), masa remaja merupakan cara hidup

sekaligus masa pertumbuhan fisiologis dan psikologis dari seorang

individu. Masa remaja mewakili periode pertumbuhan dan perubahan

dari semua aspek fisik mental, sosial, dan kehidupan emosi dari seorang

anak. Hal ini merupakan waktu dari pengalaman-pengalaman baru,

tanggungjawab-tanggungjawab baru, dan hubungan-hubungan baru

dengan remaja sebaya.

Menurut Papalia, Old, dan Feldman (2008), masa remaja awal

terjadi sekitar usia 11 atau 12 sampai 14 tahun, transisi keluar dari masa

kanak-kanak, menawarkan peluang untuk tumbuh bukan hanya dalam

segi fisik, tetapi juga dalam kemampuan kognitif dan sosial. Menurut

Santrock (2003), remaja diartikan sebagai masa perkembangan transisi

antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis,

kognitif, dan emosional. Perubahan biologis, kognitif, dan

sosio-emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses

berpikir abstrak sampai pada kemandirian.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa

(47)

remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke dewasa, dimana pada

masa ini perkembangan baik secara fisik, kognitif, dan sosio-emosi

sedang terjadi secara menyeluruh.

2. Aspek Perkembangan Kognitif

Piaget (dalam Santrock, 2003) mengatakan bahwa perkembangan

kognitif pada masa remaja berada pada tahapan operasional formal

(formal operational stage). Tahapan ini berlangsung pada usia 11 sampai

15 tahun, dimana tahap ini merupakan tahap terakhir.

Perubahan-perubahan yang mengesankan dalam kognisi sosial menjadi ciri

perkembangan remaja. Remaja mulai mengembangkan suatu

egosentrisme khusus. David Elkind (dalam Santrock, 2002) yakin bahwa

egosentrisme remaja (adolescent egosentrism) memiliki dua bagian:

penonton khayalan (imaginary audience) dan dongeng pribadi (the personal fable). Penonton khayalan adalah keyakinan remaja bahwa

orang lain memperhatikan dirinya sebagaimana halnya dengan dirinya

sendiri, contohnya: seorang remaja perempuan yang menganggap semua

mata terpaku pada wajahnya karena ada jerawat yang muncul.

Berikutnya, dongeng pribadi ialah bagian dari egosentrisme remaja yang

meliputi perasaan unik seorang remaja. Perasaan unik pribadi remaja

membuat mereka merasa bahwa tidak ada seorang pun dapat mengerti

bagaimana perasaan mereka sebenarnya, contohnya: seorang remaja

(48)

sakit yang ia rasakan karena ditolak oleh perempuan yang ia sukai

(Santrock, 2002).

Pada tahap ini, individu bergerak melebihi dunia pengalaman

yang aktual dan konkrit, dan berpikir lebih abstrak serta logis. Santrock

(2003) juga menambahkan, selain dari kemampuan untuk berpikir lebih

abstrak, remaja juga mengembangkan citra tentang hal-hal ideal. Mereka

juga mulai berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan untuk masa

depan dan merasa terpesona dengan apa yang mungkin mereka capai.

Dalam memecahkan masalah, pemikir operasional formal lebih

sistematis, mengembangkan hipotesis, dan kemudian mengujinya.

3. Aspek Perkembangan Sosial

Menurut Erikson (dalam Santrock, 2007), tahap perkembangan

psikososial pada remaja awal berada pada tahap kelima identitas versus

kekacauan identitas (identity versus identity confusion). Pada tahap ini

individu dihadapkan pada pertanyaan siapa mereka, mereka itu

sebenarnya apa, dan ke mana mereka menuju dalam hidupnya. Remaja

dihadapkan pada banyak peran baru dan status dewasa yang menyangkut

pekerjaan dan asmara. Bila remaja mengeksplorasi peran-peran tersebut

dalam cara yang sehat dan mendapatkan jalan yang positif untuk diikuti

dalam hidupnya, maka suatu identitas positif dalam hidupnya akan

terbentuk. Berbeda halnya apabila remaja kurang mengekspolari

peran-peran yang berbeda tersebut dan bila jalan ke masa depan yang positif

(49)

D. PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA 1. Pola Asuh

Berk (2006) mendefinisikan pola pengasuhan sebagai kombinasi

dari perilaku orangtua yang terjadi di seluruh situasi dan menciptakan

iklim pengasuhan anak yang tetap. Pola asuh orang tua juga merupakan

pola interaksi antara anak dengan orang tua bukan hanya pemenuhan

kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain‐lain) dan kebutuhan

psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, dan lain‐lain), tetapi juga

mengajarkan norma‐norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat

hidup selaras dengan lingkungan (Santrock, 2002).

Menurut Baumrind (dalam Alizadeh et al, 2011), pengasuhan

merupakan keseluruhan kegiatan yang terdiri dari beberapa perilaku

khusus dari orangtua yang bekerja secara bersama maupun secara

individual, yang kemudian dapat berpengaruh terhadap perilaku anak.

Baumrind dalam Terry (2004) juga menambahkan dua poin penting

dalam memahami definisi pola asuh. Pertama, bentuk pola asuh tidak

termasuk pada pola asuh yang menyimpang seperti; kekerasan dan

pengabaian (neglectful). Kedua, pola asuh diasumsikan sebagai peran

utama orangtua dalam mempengaruhi, mengajar, dan mengendalikan

anak mereka.

Berdasarkan penjelasan para ahli diatas, diambil kesimpulan

bahwa pola asuh orangtua adalah proses interaksi (baik fisiologis maupun

(50)

norma-norma dan nilai-nilai yang ada baik di dalam keluarga maupun

masyarakat serta menyosialisasikan anak sehingga dapat berpengaruh

terhadap perilaku anak.

2. Persepsi Anak Terhadap Pola Asuh

Menurut Sarwono (2009), persepsi adalah kemampuan untuk

membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokuskan, dan sebagainya,

yang selanjutnya diinterpretasi. Proses persepsi berlangsung ketika

seseorang mendapatkan stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh

organ-organ bantunya yang kemudian masuk ke dalam otak. Di

dalamnya terjadi proses berpikir yang menghasilkan suatu pemahaman

yang disebut sebagai persepsi.

Sejalan dengan pendapat itu, Wade dan Travis (2007)

mengatakan bahwa persepsi adalah sekumpulan tindakan mental yang

mengatur impuls-impuls sensorik menjadi suatu pola bermakna yang

dilakukan oleh otak. Persepsi juga mengarah pada proses menseleksi,

mengorganisasi, dan menginterpretasi data sensoris menjadi gambaran

mental yang berguna di dunia ( Huffman et al, 2000).

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan definisi

persepsi anak terhadap pola asuh orangtua adalah proses menyeleksi,

mengorganisasi, dan mengintepretasi yang dilakukan seorang anak untuk

mendapatkan gambaran tentang proses interaksi dengan orangtua dalam

(51)

keluarga maupun di masyarakat serta mensosialisasikan anak sehingga

berpengaruh terhadap perilaku anak.

3. Jenis- jenis Pola Asuh

Diana Baumrind dan beberapa orang lain yang memperluas

penemuannya, menemukan tiga karakteristik yang secara konsisten

membedakan pola asuh yang efektif dan yang kurang efektif.

Karakteristik tersebut adalah (1) penerimaan dan keterlibatan, yaitu

dimana orangtua memberikan kehangatan dan menunjukkan dukungan

terhadap anak, (2) kontrol yaitu seperangkat peraturan yang dibuat oleh

orangtua untuk anaknya dalam rangka untuk mengendalikan perilaku

anak, dan (3) pemenuhan otonomi adalah bagaimana orangtua dapat

mengarahkan anak untuk dapat mengambil keputusannya sendiri (Gray

& Steinberg, 1999; Hart, Newell, & Olsen, 2003; dalam Berk 2008).

Berikut ini adalah empat pola asuh yang akan dibahas:

a. Pengasuhan Otoriter

Pola asuh ini memiliki penerimaan dan keterlibatan yang

rendah, tinggi pada kontrol paksaan, dan rendah pada pemenuhan

otonomi. Orangtua otoriter tampak dingin dan menolak, mereka

sering memandang rendah pada anak mereka. Untuk mengontrol,

mereka berteriak, memerintah, dan mengkritik. Orangtua otoriter

membuat keputusan untuk anak mereka dan berharap anak mereka

dapat menerima tanpa banyak ada pertanyaan (Berk, 2008). Jika

(52)

memaksa dan menghukum. Ketika orangtua tidak puas dengan

pencapaian anak, mereka menarik cinta, dan membuat afeksi

tergantung dari kepatuhan anak. Mereka memegang harapan yang

terlalu tinggi pada anak tanpa disesuaikan dengan kapasitas anak

(Barber & Harmon, 2002; Silk et al.,2003; dalam Berk, 2008).

b. Pengasuhan Otoritatif

Pola pengasuhan ini memiliki penerimaan dan keterlibatan

yang tinggi, teknik kontrol yang adaptif, dan pemenuhan otonomi

yang tinggi dan tepat. Orangtua otoritatif memiliki kehangatan,

penuh perhatian, dan peka terhadap kebutuhan anak. Mereka

membangun hubungan yang menyenangkan, secara emosional

memenuhi hubungan orangtua-anak yang dapat menarik kedekatan.

Pada saat yang sama, orangtua juga dapat bersikap tegas, kontrol

yang wajar, menuntut perilaku dewasa, dan memberikan alasan pada

harapan mereka. Pada akhirnya, keterlibatan orangtua secara

bertahap dan pemberian otonomi yang tepat dapat membuat anak

mampu mengambil keputusan disaat mereka siap untuk membuat

keputusan (Kuczynski & Lollis, 2002; Russell, Mize, & Bissaker,

2004; dalam Berk, 2008). Selain itu, orangtua otoritatif akan

bersikap tegas terhadap nilai penting peraturan, norma, dan nilai

tetapi bersedia mendengar, menjelaskan, dan bernegosiasi (Lamborn,

(53)

c. Pengasuhan Permisif

Pola pengasuhan ini memiliki kehangatan dan penerimaan,

tetapi tidak terlibat. Orangtua permisif terlalu memanjakan dan tidak

perhatian. Mereka hanya sedikit berusaha untuk mengendalikan

perilaku anak. Mereka membiarkan anak mengambil keputusan

untuk diri sendiri pada usia dimana anak belum mampu untuk

melakukannya. Terkadang orangtua hanya merasa kurang percaya

diri pada kemampuan mereka untuk mempengaruhi perilaku anak

(Oyserman et al dalam Berk, 2008).

d. Pengasuhan Uninvolved

Orang tua yang menggunakan pola pengasuhan ini

mengkombinasikan penerimaan dan keterlibatan yang rendah dengan

sedikit kontrol dan ketidakpedulian dalam pemenuhan otonomi anak.

Orang tua terkadang hanya berfokus pada kebutuhannya sendiri dan

mengabaikan kebutuhan anak. Akibatnya, orang tua jenis ini tidak

peduli, tidak melibatkan diri, atau individualis.

Berikut ini disajikan tabel karakteristik dari masing-masing pola

asuh.

Tabel 1. Karakteristik Pola Asuh Orangtua (Baumrind dalam Berk, 2008)

(54)

dan peka terhadap Mendorong anak untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dam keinginan.

Ketika orangtua dan anak sedang berselisih, menggunakan

Permisif Hangat tetapi kurang perhatian

Uninvolved Melepaskan dan menarik diri secara

4. Dampak Pola Asuh Orangtua

Pola asuh Baumrid telah ditemukan untuk memprediksikan

kesejahteraan anak dalam hal kemampuan sosial, performansi akademik,

perkembangan psikososial, dam masalah perilaku. Berdasarkan

penelitiannya tersebut ditemukan karakteristik yang berhubungan dengan

(55)

a. Pola Asuh Otoriter

Anak yang diasuh dengan pola asuh ini cenderung kurang

dalam kemampuan sosial dengan sebaya, menarik diri, kurang

memiliki inisiatif, melihat keluar otoritas untuk menentukan apa

yang benar, dan seringkali kurang spontan, dan kurang memiliki rasa

ingin tahu. Selain itu, anak juga merasa cemas, tidak bahagia, dan

memiliki harga diri serta kemandirian yang rendah. Jika anak merasa

putus asa, mereka cenderung bereaksi dengan menunjukkan rasa

permusuhan (Hart et al, 2003; Nix et al.,1999; Thompson, Hollis, &

Richards, 2003; dalam Berk, 2008).

b. Pola Asuh Otoritatif

Anak yang diasuh dengan pola asuh ini cenderung lebih

mandiri, mampu mengendalikan diri, dan memiliki rasa ingin tahu

yang tinggi. Anak dengan orangtua otoritatif juga memiliki

kemampuan pada berbagai aspek seperti suasana hati yang stabil,

memiliki ketekunan pada suatu tugas, harga diri yang tinggi,

kedewasaan secara sosial maupun moral, dan performansi akademik

yang baik (Amato & Flower, 2002; Aunola, Stattin, & Nurmi, 2000;

Luster & McAdoo, 1996; Mackey, Arnold, & Pratt, 2001; Steinberg,

Darling, & Fletcher, 1995; dalam Berk, 2008).

c. Pola Asuh Permisif

Anak dengan orangtua permisif cenderung tidak dewasa,

(56)

jawab atas tindakan mereka sendiri serta suka bertindak semau

mereka sendiri.

d. Pola Asuh Uninvolved

Anak yang memiliki orangtua uninvolved cenderung

memiliki kemampuan sosial yang kurang, memiliki kesulitan

menentukan perilaku benar dan salah, dan memiliki masalah di

sekolah baik akademik maupun masalah perilaku.

E. PERBEDAAN TINGKAT COPING STRESS REMAJA AWAL BERDASARKAN PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA

Semakin banyaknya tuntutan yang dihadapi oleh remaja, maka mereka

diharapkan memiliki coping stress yang tinggi. Salah satu hal yang

mempengaruhi coping stress adalah pola asuh orangtua. Pola pengasuhan orangtua menyumbang dalam pembentukan keyakinan positif, keterampilan

sosial pada anak, dan dukungan sosial yang merupakan sumber daya untuk

dapat melakukan coping stress yang efektif (Huffman, Vernoy & Vernoy, 2000). Menurut Baumrind dalam Berk (2008), pola asuh terdiri dari empat

macam yaitu otoriter, otoritatif, permisif, dan uninvolved. Masing-masing pola asuh memiliki tiga karakteristik yaitu penerimaan dan keterlibatan,

kontrol, serta pemenuhan otonomi (Gray et al, 1999; Hart et al, 2003; dalam

Berk, 2008).

Persepsi terhadap pola asuh otoriter memiliki penerimaan dan

(57)

secara koersif. Remaja yang diasuh dengan orangtua yang otoriter cenderung

kurang memiliki inisiatif, tidak bahagia, cemas, dan cenderung merespon

secara agresif saat merasa frustrasi (Hart et al dalam Berk, 2008). Selain itu,

pola asuh otoriter juga memberikan dampak negatif pada penurunan fungsi

emosional dan rendahnya kepercayaan diri pada anak (Barnes, 2002; Beyers

& Gossens, 2003; Psychyl, Coplan, & Reid, 2003; Scales, 2000; dalam Terry,

2004). Menurut Jerabek (1998), rendahnya kepercayaan individu terhadap

dirinya terutama dalam mengatasi masalah akan membuat mereka semakin

rentan dalam mengalami stres. Berdasarkan hal ini, remaja yang diasuh

dengan pola asuh otoriter akan memiliki coping stress yang rendah.

Persepsi terhadap orangtua yang otoritatif memiliki penerimaan dan

keterlibatan, kontrol, serta pemenuhan otonomi yang tinggi dibandingkan

dengan pola asuh otoriter. Remaja dengan orangtua yang otoritatif cenderung

memiliki kontrol diri yang baik, suasana hati yang stabil, dan ketekunan

(Amato et al dalam Berk, 2008). Pada studi sebelumnya, pengasuhan

otoritatif diasosiasikan dengan hasil perilaku positif meliputi peningkatan

kompetensi, otonomi, dan harga diri yang sama baiknya dengan kemampuan

pemecahan masalah, performansi akademik, lebih percaya diri, dan memiliki

hubungan yang baik dengan sebaya (Barnes, 2002; Baumrind, 1991b;

Bystritsky, 2000; Linder, Hetherington & Reiss, 1999; Lomeo, 1999; Petito &

Cummings, 2000; Steinberg, Darling, & Fletcher, 1995; dalam Terry, 2004).

Kemampuan pemecahan masalah yang baik, suasana hati yang stabil, serta

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Pola Asuh Orangtua (Baumrind dalam
Tabel 2. Blue Print Skala Tingkat Coping Stress
Tabel 4. Skor Jawaban untuk Skala Persepsi Pola asuh
Tabel 6. Blue Print Skala Tingkat Coping Stress Setelah Uji coba
+6

Referensi

Dokumen terkait

Chapman (1984) mengatakan bahwa Avecinnia spp merupakan jenis pionir di bagian depan yang menghadap ke laut dan dapat mentoleransi salinitas hingga 35 ppt, hal tersebut juga

Persiapan simulasi server DHCP dalam contoh ini adalah dengan menggunakan 5 buah workstation, 1 switch, dan 1 server sehingga terlihat seperti gambar 14 di bawah ini.. Gambar

Jika セャョィ@ salu l'ihak Sl'\\':tklu-waklu イョセョゥュィ。ョァ@ babwa ヲャ\GBGMBャゥ セゥ ィセョャ ゥ、 。ォN@ dapa1 diseb:saikan mclului konsultnsi

Penelitian merupakan kegiatan yang menggunakan metode ilmiah untuk mengungkapkan ilmu pengetahuan atau menerapkan teknologi ...

Hasil penelitian yaitu : 1) Kinerja guru dalam persiapan pembelajaran di SMP Negeri 2 Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Dalam persiapan pembelajaran guru memiliki tugas

pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.. Kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima para karyawan sebagai balas jasa untuk kerja yang mereka lakukan. •

Penelitian yang lain pernah dilakukan oleh Kasmad, Untung Sujianto, dan Wahyu Hidayati, pada tahun 2007 dengan judul: “Hubungan Antara Kualitas Perawatan Kateter Dengan Kejadian

Penilaian nasabah terhadap feedback berupa manfaat positif yang didapat setelah mengikuti gathering dan event yang diselenggarakan Treasury Group di Kanwil VII Pada tabel