PERBEDAAN TINGKAT COPING STRESS BERDASARKAN PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA PADA REMAJA AWAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Maria Angga Anjelika Wahyuningsih NIM. 099114085
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
PERBEDAAN TINGKAT COPING STRESS BERDASARKAN PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA PADA REMAJA AWAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Maria Angga Anjelika Wahyuningsih NIM. 099114085
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN MOTTO
“SETIAP USAHA YANG DIBARENGI DENGAN DOA DAN NIAT,
SEKECIL APAPUN USAHA ITU, PASTI AKAN MEMBUAHKAN HASIL
YANG MENYENANGKAN”
(Ina)
“
Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada
anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya. Ia membuat segala
sesautu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan
dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami
pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir
”v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan untuk:
TUHAN YESUS
dan
BUNDA MARIA
Tersayang, yang
telah kukenal sejak aku kecil..Terima kasih buat anugerah
yang indah yang Engkau berikan bagiku..terutama karena
Engkau telah memberikanku...
Bapak dan Mama yang Luar Biasa seperti
Bapak Donny
dan
Mama Ririn
, yang telah memberikanku doa, kasih sayang,
support,
kesabaran, keceriaan, penguatan, teguran untuk lebih
baik, dll. Terima kasih untuk semuanya.
Adikku satu satunya,
Tegar
, yang sudah memarahi dan
memberikan dukungan saat saya lemah..jadi tempat untuk
curhat.
Katarina Yulisa Asa’ Novera Sari, S.Psi
, terima kasih buat
selalu jadi apapun dan selalu ada disamping saya.
Teman seperjuangan saya, 4Stooges:
Ruth Meihanna Ardian, S.Psi
Amelia Noviani, S.Psi
Stephanie, S.Psi
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta,
Penulis
vii
PERBEDAAN TINGKAT COPING STRESS BERDASARKAN PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA PADA REMAJA AWAL
Maria Angga Anjelika Wahyuningsih
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat coping stress pada remaja awal berdasarkan persepsi pola asuh orangtua. Pola asuh orangtua pada penelitian ini terdiri dari empat jenis pola asuh yaitu pola asuh otoritatif, pola asuh otoriter, pola asuh permisif, dan pola asuh uninvolved. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 207 orang yang merupakan siswa SMP kelas 7 dan kelas 8 dengan usia 12-15 tahun. Metode pengumpulan data dengan menggunakan skala yaitu skala tingkat coping stress dan skala persepsi pola asuh orangtua. Koefisien reliabilitas dari skala tingkat coping stress sebesar 0.832, sedangkan untuk skala persepsi pola asuh orangtua dari yang tertinggi hingga terendah adalah 0.771 untuk pola asuh otoritatif, 0.676 untuk pola asuh
uninvolved, 0.670 untuk pola asuh permisif, dan 0,656 untuk pola asuh otoriter. Hasil analisis dari penelitian ini dengan menggunakan one way anava memperoleh nilai probabilitas atau sig. sebesar 0.051 (p > 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat coping stress
berdasarkan persepsi pola asuh orangtua pada remaja awal.
viii
THE DIFFERENCES COPING STRESS LEVELS BASED ON PARENTING STYLES PERCEPTION IN EARLY ADOLESCENCE
Maria Angga Anjelika Wahyuningsih
ABSTRACT
This research was aimed to identify the differences in coping stress levels based on parenting styles perception of early adolescence. Parenting styles in this research consisted of four styles: authoritative parenting style, authoritarian parenting style, permissive parenting style, uninvolved pareting style. Subjects were 207 junior high school students from 7th to 8th grade, whose ranged from 12 to 15 years old. Instreuments are scale of coping stress level and the scale of parenting style perception. Reliability coefficient from the scale of coping stress level was 0.832. However, reliability coefficients of parenting styles perception scale were 0.771 for authoritative parenting style, which had the highest rate, followed by uninvolved pareting style with 0.676, 0.670 for permissive parenting style, and 0.656 for authoritarian parenting style. Analytical process of this research data was done with one way anova which produce 0.051 (p >0.05) probability value or Sig. This result pointed that there was no differences in early adolescence’s coping stress levels based on their perception of parenting styles.
ix
PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma
Nama : Maria Angga Anjelika Wahyuningsih
Nomomr Mahasiswa : 099114085
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul:
PERBEDAAN TINGKAT COPING STRESS BERDASARKAN PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA PADA REMAJA AWAL
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin kepada saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 20 Agustus 2014 Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Syukur kepada Tuhan Yesus atas semua yang telah diberikan kepada
saya. Terima kasih atas kesabaran, kekuatan, bimbingan, dan penyertaanMu
hingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
Kasih yang luar biasa dari Tuhan melalui kedua orangtua saya, Bapak
Donny dan Mama Ririn karena curahan kekuatan dan kasih sayangnya
kepada saya dalam mengerjakan dan menyelesaikan tugas akhir.
Penyelesaian dan pengerjaan tugas akhir ini juga melewati banyak
tantangan dan kendala, namun dibalik itu semua selalu ada orang-orang
yang terbaik yang memberikan saya dukungan dan semangat yang membuat
saya kembali bangkit. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada pihak yang telah mendukung dan membantu
saya selama pengerjaan tugas akhir ini.
1. Alm. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani yang telah menjadi dosen
seminar yang membuat saya memiliki ide dengan tugas akhir ini.
Terima kasih buat kekuatan ibu dan semangat ibu yang tetap
membimbing kami sekelas hingga menyelesaikan mata kuliah seminar
yang membantu dalam tugas akhir ini. Doa ibu dari sana membimbing
kami semua.
2. Ibu Sylvi selalu dosen pembimbing yang selalu memberikan banyak
motivasi dan pandangan sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
xi
selama bimbingan serta semangat bimbingan walaupun harus berebutan
dengan angkatan 2010
3. Bapak Priyo Widiyanto selaku dekan Fakultas Psikologi yang selama
ini banyak membantu mahasiswa selama menempuh studi di Fakultas
Psikologi Sanata Dharma.
4. Bu Titik Kristiyani dan Bu Tjipto Susana selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang memberikan banyak pengetahuan, motivasi, saran, dan
bantuannya dalam memahami setiap hal dalam perjalanan studi ini.
5. Suster Wina, terima kasih buat bantuannya dan ajarannya dalam
menganalisis data. Terima kasih sudah mau direpotin, dan terima kasih
atas kesabarannya dalam mengajari saya.
6. Staff sekretariat, Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji, Mas Doni, dan
Pak Gie yang selalu memberikan senyuman hangat dan ramah setiap
kali saya membutuhkan bantuan dalam perkuliahan.
7. Kepala sekolah SMP Pangudi Luhur Yogyakarta atas ijin yang telah
diberikan untuk melakukan penelitian tugas akhir ini.
8. Guru Bimbingan Konseling SMP Pangudi Luhur Yogyakarta, Ibu V.
Indriastuti selaku koordinator BK, Ibu Natalia selaku guru BK kelas 8,
dan Ibu Kismiati selaku guru BK kelas 7 yang telah membantu dan
memberikan keramahannya dan jam mengajarnya selama pengambilan
data. Terima kasih banyak ibu atas bantuan yang luar biasa ini.
9. Terima kasih yang banyak buat adik-adik SMP Pangudi Luhur kelas 7
xii
10. Adikku Antonius Lanang Tegar Wicaksana Praptantya, terima kasih
adekku yg item buat semua dukungan. Semoga waktu kamu kuliah
nanti semua dilancarkan. Amin.
11. Eyang Putri tersayang, Ign. Hardjani yang selalu memberikan doa dan
wejangan selama saya menyelesaikan studi dan merawat saya sebagai
ganti ibu selama ini. Terima kasih eyang, karena sudah menunggu saya
menyelesaikan studi ini.
12. Katarina Yulisa aka Kak icha, makasi sudah jadi kakak, sahabat,
musuh, guru, adek, semuanya buat saya..terima kasih buat kesabaran,
buat kenyamanan, buat menjadi orang yang mengerti saya..tempat
curhat, tempat berantem, tempat belajar...terima kasih buaaanyaaakkk!!
:* :*
13. Ruth Meihanna, Amelia Noviani, dan Stephanie..sahabat yang
menjelma menjadi saudara terhebat (lebay..lebay)..hehehe.. terima kasih
buat semuanya..kegilaan, keunikan, keceriaan, kesedihan, kekesalan,
kenyamanan, semuanyaa...terima kasih selalu ada, terima kasih karena
kalian selalu membantu, terima kasih karena kalian mau memarahi
saya, terima kasih karena kalian manusia yang tidak pernah JAIM dan
selalu berbicara apa adanya..dari kalian, aku belajar banyak hal.. #HUG
:* :* :* :*
14. Buat Ibu Dyah dan Bapak Wanar sama Daniel (ortunya Ruthi :p),
xiii
makan selama saya studi..hehehehe...terima kasih banyak ibu dan bapak
yang membuat saya merasa punya rumah kedua disini
15. Dwi Agnes Setiani “tolak angin”, terima kasih bangettt buat bantuan
analisisnya..lancar kuliahmu dekkk!! Hehehehe...(“kakak gilak!”)
16. Buat bu dokter Wico, bu akuntan Savitri, bu teknik sipil Stela, bu
pembuat formula susu Tyas, terima kasih buat bantuan dan
dukungan..buat keributan, buat support extremenya..hehhehe..
17. Ristina Mauliana dan Agatha Vitti, temen yang jauh tapi selalu peduli
dengan saya...terima kasih..kalian anak bungsu yang membuat saya
merasa seperti adik kalian...hehehe..makasi buat semuanya.
18. Buat Hugo tersayang, makasi ya Go..udah mau nemenin mbak angga
ngerjain skripsi ampe pagi...makasi juga udah mipisin jurnal jurnal
mbak angga...mbak angga kangen sama Hugooo (guk guk gukk: hugo
juga kangen mbak angga)
19. Terima kasih buat temen-temen PSYbasketballUSD karena saya boleh
pernah jadi bagian dari team ini.
20. Dan semua pihak yang telah mendukung dan tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Semoga kalian semua selalu diberikan dan dilimpahkan rahmat dari
Tuhan.
Penulis
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR TABEL ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
1. Manfaat Teoritik ... 6
2. Manfaat Praktis ... 6
xv
A. Stres ... 8
1. Pengertian Stres ... 8
2. Penyebab Stres (Stressor) ... 9
3. Stress Appraisals ... 10
4. Reaksi Terhadap Stres ... 12
B. Coping Stress ... 15
1. Pengertian Coping Stress ... 15
2. Fungsi Coping ... 16
3. Metode Coping Stress ... 17
4. Aspek-aspek Coping Stress ... 18
5. Sumber Daya untuk Coping Stress yang Efektif ... 23
C. Remaja Awal ... 26
1. Batasan Remaja Awal ... 26
2. Aspek Perkembangan Kognitif ... 27
3. Aspek Perkembangan Sosial ... 28
D. Persepsi Pola Asuh Orangtua ... 29
1. Pola Asuh ... 29
2. Persepsi Anak Terhadap Pola Asuh ... 30
3. Jenis-jenis Pola Asuh Orangtua ... 31
4. Dampak Pola Asuh Orangtua ... 34
E. Perbedaan Tingkat Coping Stress Pada Remaja Awal Berdasarkan Persepsi Pola Asuh Orangtua ... 36
xvi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 42
A. Jenis Penelitian ... 42
B. Variabel Penelitian ... 42
C. Definisi Operasional 1. Persepsi Pola Asuh Orangtua... 42
2. Coping stress ... 43
D. Subjek Penelitian ... 44
E. Metode Pengumpulan Data ... 44
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 48
1. Uji Validitas ... 48
2. Uji Reliabilitas ... 48
3. Uji Daya Diskriminasi Aitem ... 50
G. Teknik Analisis Data ... 52
1. Uji Asumsi ... 52
2. Uji Hipotesis ... 52
H. Pelaksanaan Uji coba Alat Ukur ... 53
BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 54
A. Pelaksanaan Penelitian ... 54
B. Hasil Penelitian ... 54
1. Data Demografi Subjek ... 54
2. Deskripsi Data Penelitian ... 56
3. Uji Asumsi dan Uji Hipotesis Data Penelitian ... 58
xvii
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64
A. Kesimpulan ... 64
B. Saran ... 64
1. Bagi Orangtua ... 64
2. Bagi Subjek Penelitian... 65
3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 66
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Karakteristik Pola Asuh Orangtua ... 34
Tabel 2 Blueprint Skala Tingkat Coping Stress ... 45
Tabel 3 Skor Jawaban untuk Skala Tingkat Coping Stress ... 45
Tabel 4 Skor Jawaban untuk Skala Tingkat Persepsi Pola Asuh ... 47
Tabel 5 Blueprint Skala Persepsi Pola Asuh ... 47
Tabel 6 Blueprint Skala Tingkat Coping Stress Setelah Ujicoba ... 51
Tabel 7 Blueprint Skala Persepsi Pola Asuh Setelah Ujicoba ... 51
Tabel 8 Deskripsi Usia Subjek Penelitian ... 55
Tabel 9 Deskripsi Usia Orangtua Subjek Penelitian... 55
Tabel 10 Deskripsi Pendidikan Terakhir Orangtua Subjek... 55
Tabel 11 Deskripsi Pekerjaan Orangtua Subjek... 55
Tabel 12 Deskripsi Pola Asuh Subjek Penelitian ... 56
Tabel 13 Deskripsi Tingkat Coping Stress Subjek Penelitian ... 56
Tabel 14 Data Coping Stress Berdasarkan Persepsi Pola Asuh... 57
Tabel 15 Hasil Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov... 58
Tabel 16 Hasil Uji HomogenitasLevene’s Test... 59
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Skala Penelitian ... 69
Lampiran 2 Reliabilitas Aitem ... 81
1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Remaja menghadapi berbagai tuntutan dan harapan dari lingkungan
sekitarnya. Perceraian orangtua, pergaulan yang salah, tuntutan untuk
berprestasi melebihi kemampuan dasar yang dimiliki, dan komunitas
lingkungan yang kurang baik juga menjadi masalah-masalah yang dialami
oleh remaja sekarang ini (Haryanto, 2011). Hal ini membuat remaja memilih
untuk melakukan tindakan-tindakan seperti mengkonsumsi narkoba,
merokok, vandalisme, tawuran pelajar, dan seks bebas sebagai akibat dari
ketidakmampuan remaja mengatasi masalah-masalah yang dialami.
Masalah-masalah tersebut dapat membuat remaja mengalami stres.
Walker (dalam Kemala dan Hasnida, 2005) mengatakan bahwa stres yang
dialami remaja bersumber dari dua hal yaitu dari lingkungan keluarga dan
sekolah. Vanessa Van Petten, mewawancarai pelamar magang usia remaja,
dan mendapatkan lima jawaban terkait hal yang membuat mereka khawatir
dan mengalami bagian tersulit dalam hidup menurut mereka yaitu interaksi
sosial, sekolah, masa depan, keuangan, dan percintaan (InfoGue, 2010). Salah
satu contoh kasus, BNN (Badan Narkotika Nasional) menangkap tiga pelajar
SMP yang sedang mengkonsumsi narkotika jenis ganja. Ketiga pelajar
tersebut ditangkap senin malam (24/2) setelah adanya laporan dari warga
Kasus di atas merupakan contoh remaja yang kurang memiliki coping stress yang baik. Menurut Feldman (2012), coping stress adalah usaha untuk
mengontrol, mengurangi, atau belajar untuk menoleransi ancaman yang
menyebabkan stres. Banyak hal yang dapat mengembangkan kemampuan
coping pada remaja. Lingkungan sekolah memberikan banyak kegiatan yang mampu menampung bakat dari remaja seperti kegiatan ekstrakurikuler yang
berbagai macam mulai dari bidang olahraga, kesenian, sains, dll.
Kegiatan-kegiatan ini dapat membantu remaja menyalurkan kreativitas dan hobi
sehingga dapat membuat mereka mampu menghadapi masalah. Kegiatan lain
yang dapat membangun kemampuan coping remaja adalah kegiatan keagamaan pada masing-masing tempat ibadah, seperti kegiatan di mesjid
TPA (Tempat Pengajian Anak), kegiatan di gereja Mudika, dsb . Selain itu,
remaja juga memiliki teman sebaya yang dapat menjadi tempat untuk
membicarakan masalah mereka. Menurut Sullivan (dalam Asmani, 2012),
teman memainkan peran yang penting dalam membentuk kesejahteraan dan
perkembangan. Terkait dengan kesejahteraan, dia menyatakan bahwa semua
orang memiliki sejumlah kebutuhan sosial dasar termasuk kebutuhan akan
kasih sayang, teman yang menyenangkan, penerimaan oleh lingkungan sosial,
dan keakraban. Berbagai contoh kegiatan konstruktif di atas dapat
membangun kemampuan coping remaja lebih baik.
Kemampuan dalam mengembangkan coping stress ini didukung oleh beberapa sistem dukungan, salah satunya adalah keterikatan yang dekat dan
sebagai pertahanan yang baik terhadap stres dalam kehidupan remaja (East,
1989; Gottlieb, 1991; O’Brien, 1990; Eiffge-Krenke, 1995; Youniss &
Smollar, 1985 dalam Santrock, 2002). Dalam sebuah penelitian diketahui
bahwa remaja dapat menangani stres dengan lebih baik bila mereka memiliki
hubungan yang lekat dan penuh kasih sayang dengan ibu mereka (Wagner,
Cohen, & Brook, 1991 dalam Santrock, 2002).Penelitian lain mengenai stres
dan coping stress pada remaja pekerja seks komersil mengemukakan
macam-macam coping yang di lakukan oleh remaja pekerja seks komersil adalah dengan cara membicarakan masalahnya dengan orang yang terpercaya
(Oktavianti, 2010).
Remaja dapat membicarakan masalah mereka dan mengembangkan
keterampilan menyelesaikan masalah, tetapi karena pergolakan emosional
dan ketidakyakinan remaja dalam membuat keputusan penting, membuat
remaja perlu mendapat dukungan khusus dari orang dewasa terutama
orangtua melalui pengasuhan (Kemala dan Hasnida, 2005). Pola pengasuhan
yang diterapkan orangtua menyumbang dalam pembentukan keyakinan
positif, keterampilan sosial pada anak, dan dukungan sosial yang merupakan
sumber daya untuk coping stress yang efektif (Huffman, Vernoy & Vernoy, 2000).
Wolf (dalam Sawalha, 2012) menyatakan bahwa keluarga
memainkan peranan yang penting dalam integritas atau penyimpangan dari
apa yang benar melalui model tingkah laku yang diberikan kepada anak.
berusaha memengaruhi secara signifikan perilaku anak dan perkembangan
karakter mereka (Baumrind, 1991). Berdasarkan uraian di atas, dapat
diasumsikan bahwa keluarga memberikan pondasi primer bagi perkembangan
anak dalam bentuk unit sosial terkecil. Penting bagi remaja untuk memiliki
coping stress yang tinggi sehingga dapat terhindar dari godaan-godaan yang muncul. Apabila remaja memiliki coping stress yang rendah, maka remaja tersebut akan kesulitan dalam menghadapi godaan-godaan tersebut.
Berdasarkan hal ini peneliti berasumsi bahwa pola pengasuhan yang
digunakan orangtua dalam mengasuh anak berperan dalam pembentukkan
coping stress pada remaja.
Pola pengasuhan orang tua ada bermacam-macam. Baumrind (dalam
Berk, 2008) mengidentifikasikan beberapa pola pengasuhan antara lain
otoriter, otoritatif, permisif, dan uninvolved. Orangtua yang otoriter memiliki penerimaan dan keterlibatan yang rendah, kontrol yang tinggi, dan
pemenuhan otonomi yang rendah. Orangtua yang otoritatif memiliki
penerimaan dan keterlibatan yang tinggi, kontrol yang tinggi dan pemenuhan
otonomi yang tinggi pula. Orangtua yang permisif memiliki penerimaan dan
keterlibatan yang tinggi, kontrol yang rendah dan pemenuhan otonomi yang
tinggi. Sedangkan orangtua yang uninvolved memiliki penerimaan dan
keterlibatan yang rendah, kontrol rendah dan pemenuhan otonomi yang
rendah pula.
Berdasarkan penelitian Maddahi, Javidi, Samadzadeh, dan Amini
dimensi-dimensi kepribadian pada sampel mahasiswa, menunjukkan hasil bahwa
orangtua yang mendukung pola asuh otoritatif berkontribusi dalam
mengembangkan karakter positif seperti; agreeableness, extraversion, dan
openness. Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Alizadeh, Talib,
Abdullah, dan Mansor (2011) mengatakan bahwa pola asuh otoritatif
berkelanjutan dalam memengaruhi perkembangan anak secara positif
melewati masa anak-anak dan juga masa remaja.
Remaja mempersepsi pola asuh otoritatif sebagai pola asuh yang
mendorong untuk mandiri namun tetap memberikan batasan dan kendali atas
tindakan mereka. Orangtua yang menerapkan pola asuh ini memberikan
kesempatan bagi remaja untuk berdiskusi secara bebas. Remaja yang di asuh
dengan pola asuh ini merasa orangtua mereka bersikap hangat dan menerima
mereka apa adanya (Santrock, 2011). Berdasarkan hal ini, dapat diasumsikan
pola asuh otoritatif dapat memberikan pengaruh positif pada perkembangan
anak termasuk perkembangan coping stress pada masa remaja dibandingkan dengan anak yang diasuh dengan pola asuh lain. Peneliti berasumsi bahwa
remaja yang diasuh dengan menggunakan pola asuh otoritatif memiliki
tingkat coping stress yang tinggi daripada remaja yang diasuh dengan menggunakan pola asuh yang lain.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat coping stress pada remaja awal berdasarkan persepsi pola asuh orangtua. Peneliti memilih subjek remaja awal karena pada masa remaja awal, remaja akan
diperlukan adanya coping stress yang baik untuk remaja dapat menghadapi masalah-masalah baru tersebut.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah ada perbedaan
tingkat coping stress pada remaja awal berdasarkan persepsi pola asuh orangtua?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian yang akan dicapai dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui adanya perbedaan tingkat coping stress pada remaja awal berdasarkan persepsi pola asuh orangtua.
D. MANFAAT
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini bermanfaat sebagai pengembangan dan penerapan
ilmu Psikologi di bidang Psikologi Remaja dan Psikologi Perkembangan.
Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan tambahan
kepustakaan ilmiah bagi para peneliti lain yang berminat pada bidang
yang sama.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis bagi remaja awal, penelitian ini dapat menambah
agar mereka dapat mengembangkan kemampuan coping stress dengan lebih baik sehingga terhindar dari masalah kenakalan remaja. Bagi
orangtua diharapkan melalui penelitian ini dapat mengetahui pentingnya
menerapkan pola asuh yang tepat bagi perkembangan coping stress anak
sehingga dapat membimbing dan mengarahkan saat anak memasuki usia
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. STRES
1. Pengertian Stres
Selye (dalam Huffman, Vernoy & Vernoy, 2000) mendefinisikan
stres sebagai respon nonspesifik dari tubuh terhadap tugas yang dihadapi.
Menurut Sarafino (2006), stres adalah suatu keadaan dimana transaksi
antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan jarak antara
tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya
sistem biologis, psikologis, dan sosial dari seseorang.
Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) kondisi stres
memiliki dua komponen yaitu fisik dan psikologis. Kedua komponen ini
dapat dilihat dengan tiga cara yaitu:
1. Stres dilihat sebagai stimulus, yaitu kondisi atau kejadian tertentu
yang menimbulkan stres atau disebut juga dengan stressor.
2. Stres sebagai respon, yaitu berfokus pada reaksi individu terhadap
stresor. Respon yang muncul dapat secara fisik, seperti: jantung
berdebar, gemetar, pusing, serta respon psikologis seperti: takut,
cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah tersinggung. Respon fisik
dan psikologis terhadap stresor disebut sebagai strain
3. Stres sebagai proses, meliputi stresor dan strain, tapi menambahkan
ini melibatkan interaksi dan penyesuaian yang berkelanjutan yang
disebut transactions dengan individu dan lingkungan yang saling
mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lain. Menurut pandangan
ini, stres tidak hanya sebagai stimulus atau respon tetapi suatu
proses dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak
stres melalui strategi tingkah laku, kognisi maupun afeksi.
Rice (dalam Hasnida dan Kemala, 2005) mengatakan bahwa stres
adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan
individu merasa tegang. Atkinson (dalam Hasnida dan Kemala, 2005)
mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan
membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini
disebut sebagai penyebab stres dan reaksi individu terhadap situasi stres
ini sebagai respon stres.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa stres
adalah suatu situasi yang membuat individu merasa tertekan. Stres
merupakan mekanisme kompleks yang menghasilkan respon tubuh
meliputi respon perilaku, fisiologis, dan psikologis. Mekanisme ini
bersifat individual dimana masing-masing individu berbeda dalam
mengalaminya.
2. Penyebab Stres (Stressor)
Istilah stressor diperkenalkan pertama kali oleh Selye (dalam Huffman et al, 2000). Menurut Lazarus & Folkman (dalam Sarafino,
dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial (seperti
interaksisosial). Pikiran dan perasaan individu sendiri yang dianggap
sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga
menjadi stresor.
Lazarus & Cohen (dalam Hasnida dan Kemala, 2005),
mengklasifikasikan tiga tipe kejadian yang dapat menyebabkan stres
yaitu:
a. Cataclysmic events
Fenomena besar atau tiba-tiba terjadi, kejadian-kejadian
penting yang mempengaruhi banyak orang, seperti bencana alam.
b. Personal stressors
Kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi sedikit
orang atau sejumlah orang tertentu, seperti krisis keluarga.
c. Background stressors
Pertikaian atau permasalahan yang biasa terjadi setiap hari,
seperti masalah dalam pekerjaan dan rutinitas pekerjaan.
Berdasarkan dari penjelasan diatas, diambil kesimpulan bahwa
penyebab stres atau stresor dapat berasal dari berbagai sumber baik
internal maupun eksternal dari individu.
3. Stress Appraisals
Penilaian terhadap suatu keadaan yang dapat menyebabkan stres
disebut stress appraisals.Transactions yang mengarah pada kondisi stres
appraisals (Lazarus, 1999; Lazarus & Folkman, 1984b). Cognitive appraisals adalah suatu proses mental, dimana ada dua faktor yang
dinilai oleh seseorang: (1) apakah sebuah tuntutan mengancam
kesejahteraannya dan (2) sumber daya yang tersedia untuk memenuhi
tuntutan tersebut yang disebut sebagai primary dan secondary appraisals:
1. Primary appraisal yaitu penilaian pada waktu kita mendeteksi suatu
kejadian yang potensial untuk menyebabkan stres. Peristiwa yang
diterima sebagai keadaan stres selanjutnya akan dinilai menjadi 3
akibat yaitu harmless (tidak berbahaya), threat (ancaman), dan
challenge (tantangan).
2. Secondary appraisal mengarah pada sumber dayayang tersedia pada
diri kita atau yang kita miliki untuk menanggulangi stres.
Berikut ini adalah karakteristik dari situasi yang stresful, yaitu:
a. Life transitions, yaitu melewati satu kondisi atau fase dari kehidupan ke fase berikutnya. Contoh: menjadi orangtua, masuk sekolah
pertama, atau pensiun dari pekerjaan.
b. Difficult timing, yaitu kejadian yang terjadi lebih cepat atau lebih lambat daripada yang biasa terjadi atau yang diharapkan. Contoh:
memiliki anak diusia 15 tahun atau masuk kuliah Strata-1 pada usia
c. Ambiguity, yaitu ketidakjelasan akan situasi yang terjadi. Contoh: seorang pekerja yang tidak memiliki kejelasan informasi tentang
tugas pekerjaan dan fungsinya.
d. Low desirability, ada beberapa kejadian yang terjadi diluar dugaan
kita. Contoh: kebakaran rumah atau kehilangan seseorang yang kita
sayangi.
e. Low controllability, yaitu keadaan yang terlihat diluar pengaruh
behavioral atau kognitif seseorang. Contoh: rendahnya kontrol kognitif, seperti tidak mampu untuk berhenti berpikir tentang
pengalaman traumatik.
4. Reaksi Terhadap Stres
a. Aspek Biologis
Walter Canon (dalam Sarafino, 2006) memberikan deskripsi
mengenai bagaimana reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa yang
mengancam. Ia menyebutkan reaksi tersebut sebagai fight-or-flight response karena respon fisiologis mempersiapkan individu untuk menghadapi atau menghindari situasi yang mengancam tersebut.
Canon mengusulkan bahwa fight-or-flight response memiliki efek positif maupun negatif. Respon fight-or-flight adalah respon yang
adaptif karena menyebabkan individu dapat berespon dengan cepat
terhadap situasi yang mengancam. Disisi lain, apabila arousal yang tinggi terus menerus muncul dapat membahayakan kesehatan
Selye (dalam Sarafino, 2006) mempelajari akibat yang timbul
bila stressor terus menerus muncul. Ia mengembangkan istilah
General Adaptation Syndrome (GAS) yang terdiri atas rangkaian tahapan reaksi fisiologis terhadap stressor yaitu:
1. Alarm reaction
Pada fase ini individu secara fisiologis merasakan adanya
ketidakberesan seperti jantungnya berdegup, keluar keringat
dingin, muka pucat, leher tegang, nadi bergerak cepat dan
sebagainya. Fase ini merupakan pertanda awal orang mengalami
stres.
2. Stage of Resistence
Pada fase ini tubuh membuat mekanisme perlawanan
pada stres, sebab pada tingkat tertentu stres akan
membahayakan. Tubuh dapat mengalami disfungsi, bila stres
dibiarkan berlarut-larut. Selama masa perlawanan tersebut,
tubuh harus cukup tersuplai oleh gizi yang seimbang, karena
tubuh sedang melakukan kerja keras.
3. Stage of Exhaustion
Fase disaat orang sudah tak mampu lagi melakukan
perlawanan. Akibat yang parah bila seseorang sampai pada fase
ini adalah penyakit yang dapat menyerang bagian – bagian
b. Aspek psikologis
Reaksi psikologis terhadap stressor meliputi:
1. Kognisi
Stres dapat mengganggu fungsi kognitif, seringkali
dengan mengalihkan perhatian kita. Kebisingan dapat menjadi
stressor yang kronis bagi orang yang tinggal di lingkungan yang bising, seperti di dekat jalur kereta api (Lepore, dalam Sarafino,
2006). Bukti menunjukkan bahwa orang yang mencoba untuk
menghilangkan kebisingan kronis secara umum dapat
mengalami penurunan kognitif karena mereka mengalami
kesulitan dalam mengenali suara yang ada dan yang harus
dihilangkan (Cohen, dalam Sarafino, 2006).
2. Emosi
Emosi cenderung terkait stres. Individu sering
menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres
dan pengalaman emosional. Reaksi emosional terhadap stres
yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi, perasaan sedih dan
marah (Sarafino, 2006).
3. Perilaku Sosial
Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang
lain. Individu dapat berperilaku positif dan negatif (Sarafino,
2006). Perilaku positif seperti pada saat terjadi situasi stressful,
bekerja sama satu sama lain untuk bertahan hidup. Di sisi lain,
beberapa orang mungkin menjadi kurang dapat bersosialisasi,
kurang peduli, dan lebih memiliki sikap bermusuhan serta tidak
sensitif terhadap orang di sekitar (Cohen & Spacapan, dalam
Sarafino, 2008)
B. COPING STRESS
1. Pengertian Coping Stress
Lazarus & Folkman (dalam Oktavianti, 2007) mendefinisikan
coping sebagai suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari individu sendiri
dengan tuntutan yang berasal dari lingkungan dengan sumber daya yang
mereka gunakan dalam menghadapi situasi stres. Sarafino (2006)
menambahkan bahwa coping adalah proses dimana individu melakukan
usaha untuk mengatur situasi yang dipersepsikan adanya kesenjangan
antara tuntutan dan sumber daya yang dinilai sebagai penyebab
munculnya situasi stres.
Berdasarkan beberapa definisi para ahli tersebut, dapat
disimpulkan bahwa coping adalah suatu cara dari individu untuk
menghadapi situasi yang menekan baik berasal dari dalam diri maupun
berasal dari lingkungan dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki
2. Fungsi Coping
Proses coping terhadap stres memiliki 2 fungsi utama yang
terlihat dari bagaimana gaya menghadapi stres, yaitu :
a. Emotional-focused coping
Coping ini berfungsi untuk melakukan kontrol terhadap respon emosional terhadap situasi penyebab stres, baik dalam
pendekatan secara behavioral maupun kognitif. Lazarus dan
Folkman (1986) mengemukakan bahwa individu cenderung
menggunakan emotional-focused coping untuk individu memiliki
persepsi bahwa stressor yang ada tidak dapat diubah atau diatasi. Bentuk dari coping ini tidak mendistorsi realitas, tetapi akurat dalam penilaian kembali situasi stres sehingga dapat mengurangi stres.
Contoh: humor adalah salah satu coping dengan emosi yang secara efektif dapat mengurangi rasa marah, mengubah mood, dan
menghilangkan depresi (Huffman et al, 2000). Metode coping yang berdasarkan emosi penting, karena mereka terkadang menggunakan
perawatan medis atau terlibat pada perilaku tidak sehat seperti
penggunaan obat-obatan terlarang, merokok, dan minum minuman
berakohol. Orang sering menggunakan subtansi ini dalam usaha
mereka mencapai coping (Wills dalam Sarafino, 2006)
b. Problem-focused coping
stres. Strategi ini terdiri dari mengidentifikasi masalah stres,
menghasilkan solusi yang mungkin, memilih solusi yang tepat, dan
menerapkan solusi untuk masalah ini, sehingga menghilangkan stres
(Huffman et al, 2000). Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006)
mengemukakan bahwa individu cenderung menggunakan problem- focused coping ketika individu memiliki persepsi bahwa stressor
yang ada dapat diubah.
3. Metode Coping stress
Para peneliti bekerja untuk mengidentifikasi metode coping yang
paling penting dan berhubungan dengan psikologis dan kesehatan. Ada
tiga dari beberapa metode coping (Folkman & Moskowitz, 2004): a. Peran Emosi Positif
Menurut Folkman (1994), satu cara emosi positif membantu
mengatasi stres adalah dengan mendukung proses coping tersebut.
Contoh: seorang homoseksual menceritakan kesulitan dalam
mengurus pasangannya saat episode berkeringat berat beberapa kali
sehari, seperti penderita AIDS kebanyakan, dan menyatakan bahwa
merasa bangga karena masih dapat membuat pasangannya nyaman.
b. Menemukan manfaat atau makna
Menurut Folkman, menemukan manfaat atau makna akan
memberikan jalan penting untuk pengalaman emosi positif selama
masa stres. Orang yang mencoba mengatasi beberapa stres sering
values, dan goals untuk memberikan arti positif (Folkman, 1997; Sears, Stanton, & Danoff-Burg, 2003).
c. Terlibat dalam pendekatan emosional
Pendekatan emosional, orang-orang mengatasi stres dengan
berproses secara aktif dan mengekspresikan perasaan mereka
(Stanton et al, 2000). Untuk menilai pendekatan emosional,
orang-orang menilai bagaimana sering mereka terlibat proses emosional
dan ekspresi emosional. Proses emosional seperti berkata “saya
akan mengambil waktu untuk mengetahui apa yang sedang saya
rasakan” dan mengekspresikannya dengan mengatakan “berikan
saya waktu untuk mengekpresikan emosi saya”.
4. Aspek-Aspek Coping Stress
Aspek-aspek coping stress terdiri dari beberapa macam. Aspek-aspek ini secara rinci dapat mengungkap coping stress remaja yang
menghadapi hal-hal baru ketika menuju dewasa. Menurut Jerabek (1998)
ada tujuh aspek coping stress, yaitu:
a. Reaksi terhadap stres(reactivity to stress)
Semakin rendah kemampuan seseorang menghadapi stres,
maka reaksinya terhadap stres tergolong maladaptif. Sebaliknya,
semakin tinggi kemampuan seseorang menghadapi stres, maka
b. Kemampuan untuk menilai situasi (Ability to assess situation)
Kemampuan untuk menilai situasi yang dimaksud yaitu
bagaimana cara individu menanggapi situasi atau masalah yang
mengancam dirinya. Dimana situasi tersebut dapat terkendali jika
individu memiliki kemampuan yang tinggi untuk menilai situasi, dan
situasi yang menimpanya akan menimbulkan stres jika individu
memiliki kemampuan yang rendah untuk menilai situasi.
c. Kepercayaan terhadap diri sendiri (self-reliance)
Self-reliance merupakan kepercayaan individu terhadap
dirinya untuk dapat menghadapi atau menyelesaikan situasi atau
masalah yang datang kepadanya. Semakin tinggi kepercayaan
individu dalam menghadapi situasi yang mengancam dirinya, maka
ia akan semakin terhindar dari stres. Sebaliknya, semakin rendah
kepercayaan diri individu dalam menghadapi situasi yang
mengancam, maka ia akan mengalami stres.
d. Banyak akal daya(resourcefullness)
Resourcefullness merupakan daya atau kemampuan individu untuk memikirkan jalan keluar dalam menghadapi situasi atau
masalah yang mengancamnya. Semakin tinggi kemampuan individu
untuk mencari jalan keluar bagi masalahnya, ia akan terlepas dari
stres, namun semakin rendah kemampuan individu untuk mencari
contoh dari aspek ini yaitu: berbagi masalah dengan teman atau
orang yang disayangi, dan mengikuti terapi kelompok.
e. Adaptasi dan penyesuaian(adaptability and flexibility)
Adaptasi dan penyesuaian individu dalam menghadapi situasi
atau masalah yang mengancam dirinya juga mempengaruhi tingkat
stres seseorang. Semakin tinggi adaptasi dan penyesuaian diri
individu terhadap situasi atau masalah yang mengancam, ia akan
terhindar dari stres. Sebaliknya, semakin rendah adaptasi dan
penyesuaian diri individu terhadap situasi atau masalah yang
mengancam, ia akan mengalami stres.
f. Sikap proaktif (proactive attitude)
Individu juga harus berperan aktif dalam menghadapi situasi
atau masalah yang mengancam dirinya. Apabila individu tidak aktif
dalam menyelesaikan masalahnya atau terlalu bergantung kepada
orang lain, ia akan mengalami stres. Namun sebaliknya, jika
seseorang aktif menghadapi situasi atau masalah yang mengancam
dirinya, ia akan terlepas dari stres.
g. Kemampuan untuk relaks(Ability to relax)
Bersikap santai atau relaks dalam menghadapi masalah, dapat
mengurangi tingkat stres seseorang. Semakin tinggi kemampuan
individu untuk relaks dalam menghadapi masalahnya, semakin
rendah tingkat stresnya. Namun, semakin tegang seseorang
Berdasarkan pertimbangan peneliti, aspek reaksi terhadap stres
dan aspek adaptasi penyesuaian dapat digabungkan karena memiliki
kedekatan arti sebagai bagian respon dari stres. Begitu pula dengan aspek
banyak akal daya dan aspek kemampuan untuk menilai situasi yang
memiliki kedekatan arti sebagai bagian dari pengelolaan stres. Dengan
demikian, terdapat lima aspek dari coping stress yang digunakan oleh
peneliti, yaitu:
a. Respon dari stres: reaksi dan adaptasi penyesuaian
Reaksi dan adaptasi adalah kecenderungan aksi atau proses
yang muncul sebagai akibat dari suatu peristiwa dalam hal ini yaitu
suatu stressor, dan seseorang diharapkan dapat beradaptasi atau mampu melakukan penyesuaian dalam menghadapi masalah yang
mengancam dirinya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Apabila
kemampuan seseorang bereaksi dan beradaptasi dalam menghadapi
situasi atau masalah tersebut semakin tinggi maka ia akan terhindar
dari stres dan reaksinya terhadap stres semakin adaptif. Sebaliknya,
apabila kemampuannya semakin rendah maka reaksinya terhadap
stres tergolong maladaptif dan ia akan mengalami stres.
b. Pengelolaan: kemampuan menilai situasi dan banyak akal daya
Kemampuan untuk menilai situasi dan banyak akal daya yang
dimaksud yaitu bagaimana cara individu menanggapi situasi atau
masalah yang mengancam dirinya dan kemampuan individu untuk
tersebut dapat terkendali jika individu memiliki kemampuan yang
tinggi dalam menilai situasi dan mencari jalan keluar. Apabila
individu tidak memiliki kemampuan menilai situasi dan semakin
rendah dalam kemampuan mencari jalan keluar maka individu
tersebut akan mengalami stres.
c. Sikap proaktif
Individu juga harus berperan aktif dalam menghadapi situasi
atau masalah yang mengancam dirinya. Apabila individu tidak aktif
dalam menyelesaikan masalahnya atau terlalu bergantung kepada
orang lain, ia akan mengalami stres. Namun sebaliknya, jika
seseorang aktif menghadapi situasi atau masalah yang mengancam
dirinya, ia akan terlepas dari stres.
d. Kemampuan untuk relaks
Bersikap santai atau relaks dalam menghadapi masalah, dapat
mengurangi tingkat stres seseorang. Semakin tinggi kemampuan
individu untuk relaks dalam menghadapi masalahnya, semakin
rendah tingkat stresnya. Namun, semakin tegang seseorang
menghadapi stresnya, maka tingkat stresnya akan semakin tinggi.
e. Kepercayaan terhadap diri sendiri
Self-reliance merupakan kepercayaan individu terhadap dirinya untuk dapat menghadapi atau menyelesaikan situasi atau
masalah yang datang kepadanya. Semakin tinggi kepercayaan
ia akan semakin terhindar dari stres. Sebaliknya, semakin rendah
kepercayaan diri individu dalam menghadapi situasi yang
mengancam, maka ia akan mengalami stres.
5. Sumber Daya untuk Coping yang Efektif
Kemampuan seseorang untuk “mengatasi” secara efektif
tergantung pada ketersediaan sumber daya pada individu tersebut.
Sumber daya ini berasal dari kemampuan yang dimiliki individu dan juga
berasal dari lingkungan sekitar ketika individu berada pada suatu
komunitas. Lazarus dan Folkman mendaftar beberapa jenis dari sumber
daya coping yang akan dijelaskan sebagai berikut (Huffman et al, 2000): 1. Kesehatan dan Energi (Health and Energy)
Kesehatan individu berpengaruh terhadap kemampuan
coping-nya seperti yang dijelaskan pada GAS (General Adaptation Syndrome), seseorang yang memiliki badan yang sehat dan kuat
akan lebih baik dalam “mengatasi” dan bertahan lama di fase
resistance tanpa memasukin fase exhaustion. 2. Keyakinan Positif (Positive Beliefs)
Citra diri yang positif dan sikap yang positif secara khusus
dapat menjadi sumber daya coping yang signifikan. Penelitian
menunjukkan bahwa meningkatkan self-esteem sementara dapat mengurangi jumlah kecemasan yang disebabkan oleh peristiwa
stres (Greenberg et al dalam Huffman et al, 2000). Menurut
harapan dapat datang dari dalam diri sendiri yang dapat
memungkinkan kita untuk merancang strategi coping kita sendiri,
keyakinan pada orang lain seperti dokter yang kita rasa dapat
berpengaruh pada hasil yang positif atau keyakinan pada Tuhan.
3. Internal Locus of Control
Ketika orang memiliki internal locus of control, perasaan bahwa mereka memiliki kendali yang signifikan atas peristiwa
dalam kehidupan mereka, mereka akan lebih berhasil daripada
orang yang merasa mereka tidak memiliki kontrol atas peristiwa
dalam kehidupan mereka (Strickland dalam Huffman et al, 2000).
Orang yang memiliki external locus of control, merasa tidak berdaya untuk mengubah keadaan mereka. Misalnya: ketika
menghadapi penyakit parah, orang dengan internal locus of control
lebih mungkin untuk mengumpulkan informasi tentang penyakit
mereka dan tetap pada program pemeliharaan kesehatan daripada
orang yang memiliki external locus of control (Wallston et al dalam Huffman et al, 2000).
4. Keterampilan Sosial (Social skills)
Orang-orang yang memperoleh keterampilan sosial (tahu
perilaku yang tepat untuk situasi tertentu, memiliki permulaan
percakapan yang tepat, dan mengekspresikan diri dengan baik)
menderita kecemasaan lebih sedikit daripada orang yang tidak
membantu berinteraksi dengan orang lain, tetapi juga
mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan individu
dalam meminta bantuan ketika membutuhkannya, dan mengurangi
permusuhan dalam situasi tegang (Huffman et al., 2000).
5. Dukungan Sosial (Social Support)
Ketika seseorang dihadapkan pada situasi stres,
teman-teman dan keluarga selalu membantu dengan memastikan
kesehatannya, mau mendengarkan keluh kesah, dan membuat
orang tersebut merasa bahwa dirinya penting bagi mereka, serta
memberikan stabilitas untuk mengimbangi perubahan dalam
hidupnya (Huffman et al, 2000).
6. Sumber Daya Materiil (Material Resources)
Materi meningkatkan jumlah pilihan yang tersedia untuk
menghilangkan sumber stres atau mengurangi efek stres. Ketika
seseorang dihadapkan dengan masalah kecil sehari-hari, stres
kronis, atau bencana besar, orang-orang dengan kemampuan materi
yang baik dapat menggunakannya secara efektif sehingga
mengalami stres jauh lebih sedikit dibandingkan dengan orang
C. Remaja Awal
1. Batasan Remaja Awal
Istilah “adolesence” atau remaja berasal dari kata latin
“adolescere” (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang
berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Seperti yang didefinisikan
Horrocks (dalam Hurlock, 1955), masa remaja merupakan cara hidup
sekaligus masa pertumbuhan fisiologis dan psikologis dari seorang
individu. Masa remaja mewakili periode pertumbuhan dan perubahan
dari semua aspek fisik mental, sosial, dan kehidupan emosi dari seorang
anak. Hal ini merupakan waktu dari pengalaman-pengalaman baru,
tanggungjawab-tanggungjawab baru, dan hubungan-hubungan baru
dengan remaja sebaya.
Menurut Papalia, Old, dan Feldman (2008), masa remaja awal
terjadi sekitar usia 11 atau 12 sampai 14 tahun, transisi keluar dari masa
kanak-kanak, menawarkan peluang untuk tumbuh bukan hanya dalam
segi fisik, tetapi juga dalam kemampuan kognitif dan sosial. Menurut
Santrock (2003), remaja diartikan sebagai masa perkembangan transisi
antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis,
kognitif, dan emosional. Perubahan biologis, kognitif, dan
sosio-emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses
berpikir abstrak sampai pada kemandirian.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke dewasa, dimana pada
masa ini perkembangan baik secara fisik, kognitif, dan sosio-emosi
sedang terjadi secara menyeluruh.
2. Aspek Perkembangan Kognitif
Piaget (dalam Santrock, 2003) mengatakan bahwa perkembangan
kognitif pada masa remaja berada pada tahapan operasional formal
(formal operational stage). Tahapan ini berlangsung pada usia 11 sampai
15 tahun, dimana tahap ini merupakan tahap terakhir.
Perubahan-perubahan yang mengesankan dalam kognisi sosial menjadi ciri
perkembangan remaja. Remaja mulai mengembangkan suatu
egosentrisme khusus. David Elkind (dalam Santrock, 2002) yakin bahwa
egosentrisme remaja (adolescent egosentrism) memiliki dua bagian:
penonton khayalan (imaginary audience) dan dongeng pribadi (the personal fable). Penonton khayalan adalah keyakinan remaja bahwa
orang lain memperhatikan dirinya sebagaimana halnya dengan dirinya
sendiri, contohnya: seorang remaja perempuan yang menganggap semua
mata terpaku pada wajahnya karena ada jerawat yang muncul.
Berikutnya, dongeng pribadi ialah bagian dari egosentrisme remaja yang
meliputi perasaan unik seorang remaja. Perasaan unik pribadi remaja
membuat mereka merasa bahwa tidak ada seorang pun dapat mengerti
bagaimana perasaan mereka sebenarnya, contohnya: seorang remaja
sakit yang ia rasakan karena ditolak oleh perempuan yang ia sukai
(Santrock, 2002).
Pada tahap ini, individu bergerak melebihi dunia pengalaman
yang aktual dan konkrit, dan berpikir lebih abstrak serta logis. Santrock
(2003) juga menambahkan, selain dari kemampuan untuk berpikir lebih
abstrak, remaja juga mengembangkan citra tentang hal-hal ideal. Mereka
juga mulai berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan untuk masa
depan dan merasa terpesona dengan apa yang mungkin mereka capai.
Dalam memecahkan masalah, pemikir operasional formal lebih
sistematis, mengembangkan hipotesis, dan kemudian mengujinya.
3. Aspek Perkembangan Sosial
Menurut Erikson (dalam Santrock, 2007), tahap perkembangan
psikososial pada remaja awal berada pada tahap kelima identitas versus
kekacauan identitas (identity versus identity confusion). Pada tahap ini
individu dihadapkan pada pertanyaan siapa mereka, mereka itu
sebenarnya apa, dan ke mana mereka menuju dalam hidupnya. Remaja
dihadapkan pada banyak peran baru dan status dewasa yang menyangkut
pekerjaan dan asmara. Bila remaja mengeksplorasi peran-peran tersebut
dalam cara yang sehat dan mendapatkan jalan yang positif untuk diikuti
dalam hidupnya, maka suatu identitas positif dalam hidupnya akan
terbentuk. Berbeda halnya apabila remaja kurang mengekspolari
peran-peran yang berbeda tersebut dan bila jalan ke masa depan yang positif
D. PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA 1. Pola Asuh
Berk (2006) mendefinisikan pola pengasuhan sebagai kombinasi
dari perilaku orangtua yang terjadi di seluruh situasi dan menciptakan
iklim pengasuhan anak yang tetap. Pola asuh orang tua juga merupakan
pola interaksi antara anak dengan orang tua bukan hanya pemenuhan
kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain‐lain) dan kebutuhan
psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, dan lain‐lain), tetapi juga
mengajarkan norma‐norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat
hidup selaras dengan lingkungan (Santrock, 2002).
Menurut Baumrind (dalam Alizadeh et al, 2011), pengasuhan
merupakan keseluruhan kegiatan yang terdiri dari beberapa perilaku
khusus dari orangtua yang bekerja secara bersama maupun secara
individual, yang kemudian dapat berpengaruh terhadap perilaku anak.
Baumrind dalam Terry (2004) juga menambahkan dua poin penting
dalam memahami definisi pola asuh. Pertama, bentuk pola asuh tidak
termasuk pada pola asuh yang menyimpang seperti; kekerasan dan
pengabaian (neglectful). Kedua, pola asuh diasumsikan sebagai peran
utama orangtua dalam mempengaruhi, mengajar, dan mengendalikan
anak mereka.
Berdasarkan penjelasan para ahli diatas, diambil kesimpulan
bahwa pola asuh orangtua adalah proses interaksi (baik fisiologis maupun
norma-norma dan nilai-nilai yang ada baik di dalam keluarga maupun
masyarakat serta menyosialisasikan anak sehingga dapat berpengaruh
terhadap perilaku anak.
2. Persepsi Anak Terhadap Pola Asuh
Menurut Sarwono (2009), persepsi adalah kemampuan untuk
membeda-bedakan, mengelompokkan, memfokuskan, dan sebagainya,
yang selanjutnya diinterpretasi. Proses persepsi berlangsung ketika
seseorang mendapatkan stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh
organ-organ bantunya yang kemudian masuk ke dalam otak. Di
dalamnya terjadi proses berpikir yang menghasilkan suatu pemahaman
yang disebut sebagai persepsi.
Sejalan dengan pendapat itu, Wade dan Travis (2007)
mengatakan bahwa persepsi adalah sekumpulan tindakan mental yang
mengatur impuls-impuls sensorik menjadi suatu pola bermakna yang
dilakukan oleh otak. Persepsi juga mengarah pada proses menseleksi,
mengorganisasi, dan menginterpretasi data sensoris menjadi gambaran
mental yang berguna di dunia ( Huffman et al, 2000).
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan definisi
persepsi anak terhadap pola asuh orangtua adalah proses menyeleksi,
mengorganisasi, dan mengintepretasi yang dilakukan seorang anak untuk
mendapatkan gambaran tentang proses interaksi dengan orangtua dalam
keluarga maupun di masyarakat serta mensosialisasikan anak sehingga
berpengaruh terhadap perilaku anak.
3. Jenis- jenis Pola Asuh
Diana Baumrind dan beberapa orang lain yang memperluas
penemuannya, menemukan tiga karakteristik yang secara konsisten
membedakan pola asuh yang efektif dan yang kurang efektif.
Karakteristik tersebut adalah (1) penerimaan dan keterlibatan, yaitu
dimana orangtua memberikan kehangatan dan menunjukkan dukungan
terhadap anak, (2) kontrol yaitu seperangkat peraturan yang dibuat oleh
orangtua untuk anaknya dalam rangka untuk mengendalikan perilaku
anak, dan (3) pemenuhan otonomi adalah bagaimana orangtua dapat
mengarahkan anak untuk dapat mengambil keputusannya sendiri (Gray
& Steinberg, 1999; Hart, Newell, & Olsen, 2003; dalam Berk 2008).
Berikut ini adalah empat pola asuh yang akan dibahas:
a. Pengasuhan Otoriter
Pola asuh ini memiliki penerimaan dan keterlibatan yang
rendah, tinggi pada kontrol paksaan, dan rendah pada pemenuhan
otonomi. Orangtua otoriter tampak dingin dan menolak, mereka
sering memandang rendah pada anak mereka. Untuk mengontrol,
mereka berteriak, memerintah, dan mengkritik. Orangtua otoriter
membuat keputusan untuk anak mereka dan berharap anak mereka
dapat menerima tanpa banyak ada pertanyaan (Berk, 2008). Jika
memaksa dan menghukum. Ketika orangtua tidak puas dengan
pencapaian anak, mereka menarik cinta, dan membuat afeksi
tergantung dari kepatuhan anak. Mereka memegang harapan yang
terlalu tinggi pada anak tanpa disesuaikan dengan kapasitas anak
(Barber & Harmon, 2002; Silk et al.,2003; dalam Berk, 2008).
b. Pengasuhan Otoritatif
Pola pengasuhan ini memiliki penerimaan dan keterlibatan
yang tinggi, teknik kontrol yang adaptif, dan pemenuhan otonomi
yang tinggi dan tepat. Orangtua otoritatif memiliki kehangatan,
penuh perhatian, dan peka terhadap kebutuhan anak. Mereka
membangun hubungan yang menyenangkan, secara emosional
memenuhi hubungan orangtua-anak yang dapat menarik kedekatan.
Pada saat yang sama, orangtua juga dapat bersikap tegas, kontrol
yang wajar, menuntut perilaku dewasa, dan memberikan alasan pada
harapan mereka. Pada akhirnya, keterlibatan orangtua secara
bertahap dan pemberian otonomi yang tepat dapat membuat anak
mampu mengambil keputusan disaat mereka siap untuk membuat
keputusan (Kuczynski & Lollis, 2002; Russell, Mize, & Bissaker,
2004; dalam Berk, 2008). Selain itu, orangtua otoritatif akan
bersikap tegas terhadap nilai penting peraturan, norma, dan nilai
tetapi bersedia mendengar, menjelaskan, dan bernegosiasi (Lamborn,
c. Pengasuhan Permisif
Pola pengasuhan ini memiliki kehangatan dan penerimaan,
tetapi tidak terlibat. Orangtua permisif terlalu memanjakan dan tidak
perhatian. Mereka hanya sedikit berusaha untuk mengendalikan
perilaku anak. Mereka membiarkan anak mengambil keputusan
untuk diri sendiri pada usia dimana anak belum mampu untuk
melakukannya. Terkadang orangtua hanya merasa kurang percaya
diri pada kemampuan mereka untuk mempengaruhi perilaku anak
(Oyserman et al dalam Berk, 2008).
d. Pengasuhan Uninvolved
Orang tua yang menggunakan pola pengasuhan ini
mengkombinasikan penerimaan dan keterlibatan yang rendah dengan
sedikit kontrol dan ketidakpedulian dalam pemenuhan otonomi anak.
Orang tua terkadang hanya berfokus pada kebutuhannya sendiri dan
mengabaikan kebutuhan anak. Akibatnya, orang tua jenis ini tidak
peduli, tidak melibatkan diri, atau individualis.
Berikut ini disajikan tabel karakteristik dari masing-masing pola
asuh.
Tabel 1. Karakteristik Pola Asuh Orangtua (Baumrind dalam Berk, 2008)
dan peka terhadap Mendorong anak untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dam keinginan.
Ketika orangtua dan anak sedang berselisih, menggunakan
Permisif Hangat tetapi kurang perhatian
Uninvolved Melepaskan dan menarik diri secara
4. Dampak Pola Asuh Orangtua
Pola asuh Baumrid telah ditemukan untuk memprediksikan
kesejahteraan anak dalam hal kemampuan sosial, performansi akademik,
perkembangan psikososial, dam masalah perilaku. Berdasarkan
penelitiannya tersebut ditemukan karakteristik yang berhubungan dengan
a. Pola Asuh Otoriter
Anak yang diasuh dengan pola asuh ini cenderung kurang
dalam kemampuan sosial dengan sebaya, menarik diri, kurang
memiliki inisiatif, melihat keluar otoritas untuk menentukan apa
yang benar, dan seringkali kurang spontan, dan kurang memiliki rasa
ingin tahu. Selain itu, anak juga merasa cemas, tidak bahagia, dan
memiliki harga diri serta kemandirian yang rendah. Jika anak merasa
putus asa, mereka cenderung bereaksi dengan menunjukkan rasa
permusuhan (Hart et al, 2003; Nix et al.,1999; Thompson, Hollis, &
Richards, 2003; dalam Berk, 2008).
b. Pola Asuh Otoritatif
Anak yang diasuh dengan pola asuh ini cenderung lebih
mandiri, mampu mengendalikan diri, dan memiliki rasa ingin tahu
yang tinggi. Anak dengan orangtua otoritatif juga memiliki
kemampuan pada berbagai aspek seperti suasana hati yang stabil,
memiliki ketekunan pada suatu tugas, harga diri yang tinggi,
kedewasaan secara sosial maupun moral, dan performansi akademik
yang baik (Amato & Flower, 2002; Aunola, Stattin, & Nurmi, 2000;
Luster & McAdoo, 1996; Mackey, Arnold, & Pratt, 2001; Steinberg,
Darling, & Fletcher, 1995; dalam Berk, 2008).
c. Pola Asuh Permisif
Anak dengan orangtua permisif cenderung tidak dewasa,
jawab atas tindakan mereka sendiri serta suka bertindak semau
mereka sendiri.
d. Pola Asuh Uninvolved
Anak yang memiliki orangtua uninvolved cenderung
memiliki kemampuan sosial yang kurang, memiliki kesulitan
menentukan perilaku benar dan salah, dan memiliki masalah di
sekolah baik akademik maupun masalah perilaku.
E. PERBEDAAN TINGKAT COPING STRESS REMAJA AWAL BERDASARKAN PERSEPSI POLA ASUH ORANGTUA
Semakin banyaknya tuntutan yang dihadapi oleh remaja, maka mereka
diharapkan memiliki coping stress yang tinggi. Salah satu hal yang
mempengaruhi coping stress adalah pola asuh orangtua. Pola pengasuhan orangtua menyumbang dalam pembentukan keyakinan positif, keterampilan
sosial pada anak, dan dukungan sosial yang merupakan sumber daya untuk
dapat melakukan coping stress yang efektif (Huffman, Vernoy & Vernoy, 2000). Menurut Baumrind dalam Berk (2008), pola asuh terdiri dari empat
macam yaitu otoriter, otoritatif, permisif, dan uninvolved. Masing-masing pola asuh memiliki tiga karakteristik yaitu penerimaan dan keterlibatan,
kontrol, serta pemenuhan otonomi (Gray et al, 1999; Hart et al, 2003; dalam
Berk, 2008).
Persepsi terhadap pola asuh otoriter memiliki penerimaan dan
secara koersif. Remaja yang diasuh dengan orangtua yang otoriter cenderung
kurang memiliki inisiatif, tidak bahagia, cemas, dan cenderung merespon
secara agresif saat merasa frustrasi (Hart et al dalam Berk, 2008). Selain itu,
pola asuh otoriter juga memberikan dampak negatif pada penurunan fungsi
emosional dan rendahnya kepercayaan diri pada anak (Barnes, 2002; Beyers
& Gossens, 2003; Psychyl, Coplan, & Reid, 2003; Scales, 2000; dalam Terry,
2004). Menurut Jerabek (1998), rendahnya kepercayaan individu terhadap
dirinya terutama dalam mengatasi masalah akan membuat mereka semakin
rentan dalam mengalami stres. Berdasarkan hal ini, remaja yang diasuh
dengan pola asuh otoriter akan memiliki coping stress yang rendah.
Persepsi terhadap orangtua yang otoritatif memiliki penerimaan dan
keterlibatan, kontrol, serta pemenuhan otonomi yang tinggi dibandingkan
dengan pola asuh otoriter. Remaja dengan orangtua yang otoritatif cenderung
memiliki kontrol diri yang baik, suasana hati yang stabil, dan ketekunan
(Amato et al dalam Berk, 2008). Pada studi sebelumnya, pengasuhan
otoritatif diasosiasikan dengan hasil perilaku positif meliputi peningkatan
kompetensi, otonomi, dan harga diri yang sama baiknya dengan kemampuan
pemecahan masalah, performansi akademik, lebih percaya diri, dan memiliki
hubungan yang baik dengan sebaya (Barnes, 2002; Baumrind, 1991b;
Bystritsky, 2000; Linder, Hetherington & Reiss, 1999; Lomeo, 1999; Petito &
Cummings, 2000; Steinberg, Darling, & Fletcher, 1995; dalam Terry, 2004).
Kemampuan pemecahan masalah yang baik, suasana hati yang stabil, serta