commit to user
PENGARUH KONSELING TERHADAP PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU
PENDERITA DIABETES MELLITUS (DM) TENTANG
PERAWATAN KAKI DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KABUH
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama Pendidikan Profesi Kesehatan
Oleh:
Vendi Eko Kurniawan S540809131
PROGRAM PASCASARJANA
commit to user
PENGARUH KONSELING TERHADAP PENGETAHUAN, SIKAP DAN
PERILAKU PENDERITA DIABETES MELLITUS (DM) TENTANG PERAWATAN
KAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KABUH JOMBANG
Disusun Oleh:
Vendi Eko Kurniawan
S540809131
Telah Disetujui Oleh Tim Pembimbing Pada tanggal :
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. DR. dr. Didik Gunawan Tamtomo , PAK, MM, M.Kes. Eti Poncorini P.dr.M.Pd
NIP : 194803131976101001 NIP.1975110151981111001
Mengetahui
Ketua Program Kedokteran Keluarga
commit to user
PENGARUH KONSELING TERHADAP PENGETAHUAN, SIKAP DAN
PERILAKU PENDERITA DIABETES MELLITUS (DM) TENTANG PERAWATAN
KAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KABUH JOMBANG
Disusun oleh:
Vendi Eko Kurniawan
NIM : S540809131
Telah disetujui oleh Tim Penguji
Mengetahui
Ketua Program Studi Kedokteran Keluarga
Prof. DR.dr. Didik Gunawan Tamtomo, PAK, MM, M.Kes.
NIP : 194803131976101001
……… ……….
Direktur Program Pascasarjana
Prof. Drs. Suranto, M.Sc, Ph.D NIP: 195708201985031004
………. ……….
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua DR. Nunuk Suryani, M.Pd NIP: 196611081990032001
……… ………
Sekretaris Dr.dr.Ir.Ruben Dharmawan,MSc,PhD NIP: 1951112019860111001
……… ………
Anggota
Penguji
1. Prof.DR.dr. Didik Gunawan Tamtomo, PAK, MM, M.Kes.
NIP: 194803131976101001
commit to user PERNYATAAN
Nama : Vendi Eko Kurniawan NIM : S540809131
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul PENGARUH KONSELING TERHADAP PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU PENDERITA DIABETES
MELLITUS (DM) TENTANG PERAWATAN KAKI DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KABUH JOMBANG adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam Daftar Pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Desember 2010 Yang Membuat Pernyataan
commit to user ABSTRACT
Vendi Eko Kurniawan, S540809131. The Effect of counseling on knowledge, attitude and behavior of patients Diabetes Mellitus about foot care at the Work Area PHC Kabuh Jombang. Thesis Program Medical Family, Studies Program, Postgraduate Program Sebelas Maret University Surakarta, 2010.
Introduction: Diabetes Mellitus is still a problem serious enough health in Indonesia. Patients with Diabetes Mellitus have a tendency to 5 times easier to get non-diabetic gangrene of the foot and is one part of the body organ that is often attacked by diabetes.
Purpose: Find out is there any effect counseling on improving knowledge, attitudes and behavior of Diabetes Mellitus on foot care.
Method: This research. is true experimental. The population of this study are 125 persons Diabetes Mellitus in the working area with kabuh Health Center and sampel this study are 60 persons. Sampling was taken with purposive sampling techniques. Data collected by questionnaire using a questionnaire for the knowledge variables and checklist for the attitude and behavior. The result then analyzed using analytical testing t - test performed using SPSS version 17.
Result: Based the analysis indicate that counseling with a significant increase in the value of knowledge t = 78.89, t = 71 001 attitudes, and behavior with t = 42 809 significance value of p = 0.000.
Conclusion: This effect of counseling to increase knowledge, attitudes, and behavior of people with Diabetes Mellitus foot care. It is recommended to the Public Health Service Jombang Regency to use such approaches counseling for behavioral changes that can be obtained expected to reduce the complications of gangrene.
commit to user
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING……… ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS……….. iii
LEMBAR PERNYATAAN………. iv
KATA PENGANTAR……….. v
DAFTAR ISI……… vii
DAFTAR TABEL……… x
DAFTAR GAMBAR……… xi
DAFTAR LAMPIRAN……… xii
ABSTRAK……… xiii
ABSTRACT………. xiv
BAB I. PENDAHULUAN……… 1
A. Latar belakang masalah……… 1
B. Rumusan Masalah……… 3
C. Tujuan Penelitian……….. 3
D. Manfaat Penelitian……… 4
BAB. II TINJAUAN PUSTAKA……… 5
A. KAJIAN TEORI……….. 5
1. Konsep Diabetes Mellitus……… 5
2. Konsep Konseling………... 27
3. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku………. 33
B. PENELITIAN YANG RELEVAN………. 35
C. KERANGKA PEMIKIRAN……… 36
D. HIPOTESIS……….. 36
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN……… 37
commit to user
B. Tempat dan Waktu Penelitian……….. 37
C. Populasi Penelitian………... 37
D. Sampel dan Tehnik Sampling……….. 37
F. Variabel Penelitian……… 37
G. Definisi Operasional………. 38
H. Rancangan Penelitian………... 42
I. Rencana Analisis Data……….. 43
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………. 47
A. HASIL PENELITIAN………. 47
1. Karakteristik Responden………... 47
2. Analisis Data……….. 50
B. Pembahasan……….. 56
C. Keterbatasan Penelitian……… 58
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……….. 59
DAFTAR PUSTAKA………... 61
LAMPIRAN
1. Ijin Penelitian
2. Pernyataan Kesediaan Responden
3. Kuisioner
4. Hasil test-retest Reliability
5. Data Sebelum dan Sesudah Konseling
6. Hasil Analisis Data
7. Modul Konseling
commit to user DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 2.1: Pemeriksaan penunjang pada pasien Diabetes Melitus………12
Tabel 3.1: Distribusi skore pengetahuan………...39
Tabel 3.2: Distribusi skore sikap……...………...40
Tabel 3.3: Distribusi skore perilaku………..41
Tabel 3.4: Penskoran kuesioner rating scale pengetahuan ………....43
Tabel 3.5: Penskoran kuesioner rating scale sikap………44
Tabel 4.1: Distribusi responden berdasarkan kelompok umur…….…….……….47
Tabel 4.2: Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin………..48
Tabel 4.3: Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan………..48
Tabel 4.4: Distribusi responden berdasarkan jenis pekerjaan………...49
Tabel 4.5: Distribusi responden berdasarkan jumlah orang serumah………49
Tabel 4.6: Diskripsi pengetahuan kelompok konseling dan kontrol ………50
Tabel 4.7: Ditribusi skore pengetahuan kelompok konseling dan kontrol ...……51
Tabel 4.8: Diskripsi sikap kelompok konseling dan kontrol ………51
Tabel 4.9: Ditribusi skore sikap kelompok konseling dan kontrol ………..52
Tabel 4.10: Diskripsi perilaku kelompok konseling dan kontrol ...………..53
Tabel 4.11: Ditribusi skore perilaku kelompok konseling dan kontrol...53
Tabel 4.12: Keefektifan konseling terhadap pengetahuan responden...53
Tabel 4.13:Keefektifan konseling terhadap sikap responden...54
commit to user DAFTAR GAMBAR
Hal
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diabetes Mellitus atau penyakit kencing manis bukanlah sesuatu penyakit
baru yang diderita oleh masyarakat umum. Prevalensinya meningkat di
masyarakat hal ini berhubungan dengan peningkatan perkapita di kota-kota besar
dan perubahan gaya hidup. Diabates sudah dikenal sejak berabad abad sebelum
masehi. Pada naskah kuno dari mesir disebutkan adanya suatu penyakit aneh
dengan tanda-tanda banyak kencing hal ini terjadi 1500 tahun sebelum masehi,
cendikiawan cina dan India melukiskan air seni yang terasa manis pada pasien di
abad ke 3 sampai 6.
Di Indonesia penyakit Diabetes Mellitus sampai saat ini masih merupakan
masalah kesehatan yang cukup serius. DM merupakan kelainan endokrin yang
terbanyak dijumpai. Penderita DM mempunyai resiko untuk menderita komplikasi
yang spesifik yaitu retinopati, gagal ginjal, neuropati, aterosklerosis, gangrene,
dan penyakit arteri koronaria (Anik, 2006). Penderita DM mempunyai
kecenderungan 5 kali lebih mudah mendapat gangrene daripada non diabetik.
Kaki merupakan salah satu bagian organ tubuh yang sering diserang oleh penyakit
diabetes. Gangrene diabetik merupakan komplikasi kronik dari penyakit DM yang
disebabkan karena adanya neuropati, mikro dan makro angiopati serta infeksi.
Komplikasi tersebut sampai saat ini merupakan problem yang sangat besar pada
penderita DM karena mempunyai angka kejadian yang sangat tinggi. Komplikasi
gangrene diabetik tersebut dapat menyebabkan amputasi. Akibat dari gangrene
commit to user
Jumlah penderita Diabetes Mellitus dari tahun ke tahun semakin
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan bertambahnya usia
harapan hidup. Menurut laporan WHO jumlah penderita DM di duania pada tahun
1987 ± 30 juta. Menyusul kemudian laporan WHO 1993 ternyata jumlah
penderita DM di dunia meningkat tajam menjadi 100 juta lebih dengan prevalensi
sebesar 6 %. Laporan terakhir menurut McCarty et al 1994 jumlah penderita DM
1994 didunia 110,4 juta, tahun 2000 meningkat ± 1,5 kali lipat (±175 juta), tahun
2010 menjadi ± 2 kali lipat (239,3 juta) dan hingga tahun 2020 diperkirakan
menjadi 300 juta. Lima puluh hingga tujuh puluh lima persen amputasi
ekstremitas bawah dilakukan pada pasien-pasien yang menderita DM. Sebanyak
lima puluh persen dari kasus-kasus amputasi ini diperkirakan dapat dicegah bila
pasien diajarkan tindakan preventif untuk merawat kaki dan mempraktikannya
setiap hari (Brunner dan Suddarth , 2002).
Peningkatan angka kejadian diabetes itu seiring dengan meningkatnya
faktor resiko di antaranya obesitas atau kegemukan, kurang aktivitas fisik, kurang
mengonsumsi makanan berserat tinggi, tinggi lemak, merokok, dan kelebihan
kolesterol. Diabetes atau kencing manis ditandai tingginya kadar gula dalam
darah. Penyakit ini juga sering disebut dengan the great imitator karena dapat
menyerang semua organ tubuh dan menimbulkan keluhan. Penyakit DM juga
ditandai dengan gejala antara lain banyak minum atau mudah haus, banyak
kencing dengan frekuensi 3-4 kali terutama pada malam hari, banyak makan atau
mudah lapar, mudah lelah serta kadang berat badan menurun drastis.
Sebagian besar penderita kaki diabetes biasanya baru ke dokter, jika
commit to user
maka sebaiknya perawatan kaki mendapat perhatian utama. Penderita perlu
menyadari bahwa merawat kaki harus menjadi kebiasaan sehari-hari. Pencegahan
agar tidak terjadi amputasi sebenarnya sangat sederhana, tetapi sering terabaikan,
kunci yang paling penting adalah mencegah terjadinya luka pada kaki.
Pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan memberikan perawatan kaki pada
penderita DM (Nico. A. L, 2005). Dengan pengalaman yang baik, yaitu kerja
sama antara pasien dan petugas kesehatan, diharapkan komplikasi kronik DM
akan dapat dicegah.
Perawat sebagai orang yang dekat dengan penderita mempunyai peran
yang strategis dalam memotivasi dan memberikan konseling kesehatan dalam
membantu memberikan perawatan kaki pada penderita DM. Diharapkan dengan
pengetahuan yang benar tentang perawatan kaki komplikasi gangrene dapat
dikurangi.
Berdasarkan penemuan fakta di atas, maka perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui apakah ada pengaruh konseling terhadap peningkatan
pengetahuan, sikap dan perilaku penderita DM tentang perawatan kaki.
B. Rumusan Masalah
Adakah pengaruh konseling terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku
penderita DM tentang perawatan kaki?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui adakah pengaruh konseling terhadap pengetahuan,
commit to user 2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengaruh konseling terhadap pengetahuan
penderita Diabetes Mellitus tentang perawatan kaki.
b. Untuk mengetahui pengaruh konseling terhadap sikap penderita
Diabetes Mellitus tentang perawatan kaki.
c. Untuk mengetahui pengaruh konseling terhadap perilaku penderita
Diabetes Mellitus tentang perawatan kaki.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris
tentang pengaruh konseling terhadap peningkatan pengetahuan, sikap dan
perilaku.
2. Manfaat praktis
Bagi responden hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
tambahan pengetahuan khususnya tentang perawatan kaki sehingga
komplikasi DM (gangrene) dapat dicegah.
Bagi institusi (Puskesmas): hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan acuan / referensi di Puskesmas dalam upaya pencegahan
commit to user BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KAJIAN TEORI
1. Konsep Diabetes Mellitus
a. Pengertian Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok kelainan heterogen
yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hyperglikemia.
Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah.
Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi (Brunner dan
Suddarth, 2002).
Diabetes Mellitus adalah penyakit metabolic (kebanyakan herediter)
sebagai akibat dari kurangnya insulin efekti baik oleh karena adanya disfungsi
sel beta pancreas atau ambilan glukosa di jaringan perifer atau keduanya (pada
DM Tipe 2) atau kurang nya insulin absolute dengan tanda – tanda
hiperglikemi dan glukosuria disertai dengan gejala klinis akut (poliuria,
polidipsi, penurunan berat badan), dan ataupun gejala kronik atau kadang –
kadang tanpa gejala. Gangguan primer terletak pada metabolism karbohidrat
dan sekunder pada metabolism lemak dan protein (Askandar, 2007 ).
b. Tipe Diabetes Mellitus
Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (1997) sesuai anjuran
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) adalah:
1. Diabetes Tipe 1:
commit to user
2. Diabetes tipe II: Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin, terjadi akibat
penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat
penurunan jumlah produksi insulin
3. Diabetes Mellitus tipe lain
a. Defek genetic fungsi sel beta
b. Defek genetic kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pancreas
d. Endokrinopati
e. Karen obat/zat kimia
f. Infeksi
g. Sebab imunologi yang jarang
h. Sindrom genetic yang lain yang berkaitan demngan DM
4. Diabetes Mellitus Gestasional (Gestasional Diabetes Mellitus [GDM])
c. Etiologi Diabetes Mellitus
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes
Mellitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan karena kegagalan
relatif sel beta dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya
kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan
perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak
mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi
defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya
sekresi insulin pada rangsangan glukosa, namun pada rangsangan glukosa
bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel beta pankreas
commit to user
d. Patofisiologi Diabetes Mellitus (Brunner dan Suddarth, 2002)
1. Diabetes Tipe I
Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena
sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang
berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap
berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah
makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak
dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya
glukosa tersebut diekskresikan dalam urin (glukosuria). Ekskresi ini akan
disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini
dinamakan diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam
berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi).
2. Diabetes Tipe II
Terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin,
yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin
akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi
dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes
tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin
menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh
jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
commit to user
Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat
sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada
tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun jika sel-sel tidak
mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar
glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri
khas diabtes tipe II, namun terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk
mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton. Oleh karena itu,
ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikan,
diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut
lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik.
Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif, maka
awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering
bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria,
polidipsia, luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan
pandangan yang kabur.
Pada umumnya DM tipe ini sering ditemukan pada usia dewasa,
walaupun dapat juga terjadi pada anak – anak. Pasien dengan DM tipe 2
memiliki dua kelainan dasar yakni :
1. Resistensi terhadap ambilan glukosa yang dimediasi insulin.
2. Disfungsi sel beta (Soetarjo, 1991)
Abnormalitas metabolik pada DM tipe 2 yang berupa penurunan
ambilan glukosa dijaringan perifer, peningkatan produksi glukosa hepar
commit to user
ketidakseimbangan metabolik berupa penurunan ambilan dan penggunaan
glukosa dijaringan perifer, peningkatan lipolisis pada jaringan lemak dan
peningkatan produksi glukosa serta sintesis VLDL pada hepar. Keadaan ini
akan menyebabkan hiperglikemia dan dislipidemia makrovaskuler maupun
mikrovaskuler diabetika (Dwi S, 1995).
Kelainan Metabolisme
Terdapat tiga mekanisme yang telah diketahui memiliki
kemampuan untuk mengubah fungsi dan akhirnya perubahan struktural.
Mekanisme tersebut adalah : (1) glikasi makromolekul non enzimatik
terutama protein (2) peningkatan glucose flux melalui polyol pathway dan
(3) peningkatan oxidative stress
Glikasi non Enzimatik
Glikasi non enzimatik adalah suatu reaksi tanpa bantuan enzim
yang terjadi pada glukosa, α-oxoaldehydes, dan turunan sakarida lain
dengan protein, nukleotida, dan lipid. Melalui Maillard awalnya terbentuk
Schiff base yang reversibel, kemudian secara spontan akan mengalami
amadori rearregement. Misal kombinasi glukosa dan kelompok lisin
menghasilkan fruktoselisin. Glycated produc ini (Fruktoselisin) kemudian
akan diubah menjadi advanced glycation and products ( AGEST ) seperti
carboxymetyl lisin (CML), Pyrroline atau pentosidine.
Polyolpathway
Pada Polyolpathway hiperglikemia menimbulkan akumulasi
sorbitol pada saraf perifer Karena peningkatan konversi glukosa oleh
commit to user
sorbitol pada saraf diabetik. Pada keadaan euglikemi sintesa sorbitol kurang
dari 3 %, sedangkan pada keadaan diabetes 30% - 35% glukosa dikonversi
menjadi sorbitol.
Terdapat satu pendapat menyatakan bahwa glukosa bisa masuk
dengan mudah tanpa memerlukan insulin pada sel jaringan saraf. Akibatnya
bila terjadi hiperglikemia, banyak glukosa yang masuk kedalam saraf
sehingga jumlah sorbitol dan fruktosa akan meningkat. Sifat osmotic yang
dimiliki keduanya akan mengakibatkan air banyak tertarik ke dalam sel
sehingga schwan sel mengalami edema dan akson menjadi rusak. Hal ini
akan mengakibatkan terganggunya sel jaringan saraf terutama penghantar
impuls motorik (Askandar T, 1995).
Oxydative Stress
Oxydative Stress pada diabetes diakibatkan oleh kombinasi dari
berkurangnya aktifitas superoxide dismutase dan glutathione peroxidase,
dan peningkatan glucose flux dimana aldose reductase mengubah glukosa
menjadi sorbitol dengan deplesi dari NADPH, glutathione, dan taurine
bersamaan dengan glucose auto-oxidation dan atau glikosidasi.
3. Diabetes Gestasional
Terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes sebelum
kehamilannya. Hiperglikemia terjadi selama kehamilan akibat sekresi
hormone-hormon plasenta. Sesudah melahirkan bayi, kadar glukosa darah
commit to user e. Manifestasi Klinis
Diagnosis DM tipe 2 ditandai dengan adanya gejala berupa polifagia,
poliuria, polidipsia, lemas dan berat badan turun. Gejala lain yang mungkin
dikeluhkan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impoteni pada pria
serta pruritus vulva pada wanita.
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi
untuk DM, yaitu kelompok usia dewasa tua (> 40 tahun), obesitas, tekanan
darah tinggi, riwayat keluarga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan bayi
> 4000 gr, riwayat DM pada kehamilan dan dislipidemia.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksan glukosa darah
sewaktu, kadar glukosa darah puasa. Kemudian dapat diikuti dengan Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar.
Cara pemeriksaan TTGO (WHO, 1985) adalah:
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa.
2. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.
3. Pasien puasa semalam selama 10-12 jam.
4. Perikasa glukosa darah puasa.
5. Berikan glukosa 75 gr yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam
waktu 5 menit.
6. Perikasa glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa.
7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
commit to user
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa
darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
bila hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaaan TTGO
diperlukan untuk memastikan diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan
gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah
beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali
abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang alain atau TTGO
yang abnormal. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode
enzimatik sebagai patokan penyaring dan diagnosis (mg/dl)
Tabel 2.1 Pemeriksaan penunjang pada pasien Diabetes Mellitus
DM Bukan DM Belum pasti Kadar glukosa darah sewaktu
- Plasma vena < 110 110 – 199
> 200
- Darah kapiler < 90 90 – 199
> 200
Kadar glukosa darah puasa
- Plasma vena < 110 110 – 125
> 126
- Darah kapiler < 90 90 – 109
> 110
Kriteria Terbaru Diagnosis Diabetes 2010 (Kalbe,2010).
1. A1C > 6,5 %
2. FPG > 126 mg/dL (7 mmol/L), puasa didefinisikan tidak adanya ambilan
commit to user
3. 2 jam glukosa plasma > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) selama OGTT dengan
asupan glukosa sebanding dengan 75 glukosa anhydrous yang dilarutkan
4. Pasien dengan keluhan klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia dengan
glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
5. Pemeriksaan diabetes pada pasien asimtomatik
6. Pemeriksaan untuk mendeteksi diabetes tipe 2 pada pasien asimtomatik
dilakukan pada setiap usia jika berat badan berlebih atau obesitas (BMI > 25
kg/m2) dan dengan satu atau lebih faktor risiko diabetes lainnya. Jika tanpa
risiko pemeriksaan dapat dimulai pada usia 45 tahun.
7. Jika pemeriksaan normal, pemeriksaan kembali dilakukan dalam interval 3
tahun.
8. Pemeriksaan deteksi diabetes asimtomatik adalah A1C, FPG atau OGTT 2
jam (75 g).
9. Deteksi dan Diagnosis Diabetes Gestasional
10.Skrining diabetes gestasional dengan analisa faktor risiko dan OGTT
11.Pasien diabetes gestasional dilakukan skrining diabetes 6-12 minggu pasca
kelahiran
Monitoring kadar glukosa
Monitoring kadar gula darah secara mandiri / self monitoring of blood
glucose (SMBG) harus dilakukan 3 atau beberapa kali sehari pada pasien yang
menggunakan injeksi suntikan multipel atau pompa terapi insulin. Pada pasien
yang menggunakan insulin dengan masa kerja panjang, terapi non insulin atau
commit to user
Untuk mencapai target glukosa darah postprandial, pemeriksaan SMBG
postprandial perlu dilakukan.
AIC
Lakukan pemeriksaan A1C sedikitnya 2 x/tahun pada pasien dengan
tujuan terapi yang telah dicapai, lakukan pemeriksaan A1C setiap 3 bulan pada
pasien yang mengalami perubahan terapi atau tujuan glikemik tidak tercapai.
Gunakan hasil pemeriksaan A1C untuk menentukan perubahan terapi yang
digunakan CVD (cerebrovascular disease), tetapi dalam follow up jangka panjang,
mencapai target A1C di bawah atau sekitar 7% segera setelah diagnosis diabetes
menurunkan risiko CVD. Hingga didapatkan bukti lebih lanjut, tujuan A1C di
bawah 7% menjadi alasan rasional menurunkan risiko komplikasi makrovasular.
g. Penatalaksanaan DM
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup
penderita DM. tujuan khususnya adalah :
1. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
2. Jangka panjang : mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan
adalah turunnya morbiditasdan mortalitas dini DM.
3. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,
tekanan darah, berat badan dan profil lipid melalui pengelolaan pasien secar
holistik dengan mengajarkan perawatan diri dan perubahan perilaku
commit to user Adapun pilar penatalaksanaan DM meliputi :
1. Edukasi
2. Terapi gizi medis
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Edukasi pada penderita DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya
hidup dan perilaku telah terbentuk. Keberhasilannya sangat membutuhkan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Untuk mencapai perubahan
perilaku dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi (
Dwi S, 1995).
Terapi gizi medis ( TGM ) pada prinsipnya adalah pengaturan makan
pada diabetes yang hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum
yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi
masing – masing individu. Perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penutun glukosa darah atau insulin (Dwi S, 1995).
Tujuan penatalaksanan diet pada penderita diabetes adalah:
1. Memberikan semua unsur makanan esensial (mis. Vitamin dan mineral)
2. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
3. Memenuhi kebutuhan energi
4. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang
aman dan praktis
commit to user 6. Mencegah komplikasi akut dan kronik
7. Meningkatkan kualitas hidup
Prinsip dasar diit diabetes (PERKENI, 1997) :
Prinsip dasar diit diabetes adalah pemberian kalori sesuai dengan kebutuhan.
Cara sederhana untuk mengetahui kebutuhan dasar adalah sebagai berikut:
Untuk wanita : (Berat Badan Ideal x 25 kalori) ditambah 20 % untuk aktifitas
Untuk pria : (Berat Badan Ideal x 30 kalori) ditambah 20 % untuk aktifitas
Prinsip kedua adalah menghindari konsumsi gula dan makanan ynag mengandung
gula didalamnya. Sebaiknya juga menghindari konsumsi hidrat arang hasil dari
pabrik yang berupa tepung dengan segala produknya. Hidrat arang olahan ini akan
lebih cepat diubah menjadi gula di dalam darah.
Prinsip ketiga adalah mengurangi konsumsi lemak dalam makanan sehari-hari.
Tubuh penderita diabetes akan lebih mengalami kelebihan lemak darah, kelebihan
lemak ini berasal dari gula darah yang tidak terpakai sebagai energi.
Prinsip keempat adalah memperbanyak konsumsi serat dalam makanan. Yang
terbaik adalah serat yang larut air seperti pectin (ada dalam buah apel), segala
jenis kacang-kacangan dan biji-bijian (asal tidak digoreng). serat larut air ini
terbukti dapat menurunkan kadar gula darah. Semua jenis serat akan memperbaiki
pencernaan, mempercepat masa transit usus, serta memperlambat penyerapan gula
dan lemak.
Perencanaan makan bagi penderita diabetes sesuai standar yang dianjurkan
adalah makanan dengan komposisi: Karbohidrat 60-70%, protein 10-15%, lemak
20-25%.makanan dengan komposisi KH sampai 70-75% masih memberikan hasil
commit to user
lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA, Mono Unsaturated
Fatty Acid) dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak
jenuh. Jumlah kandungan serat 25 gr/hari, diutamakan serat larut. Pemanis buatan
yang tidak bergizi, yang aman dan dapat diterima untuk digunakan pasien diabetes
termasuk yang sedang hamil adalah: sakarin, aspartame, acesulfame, potassium
dan sucralose (PERKENI, 2002). Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan,
status gizi, umur, ada tidaknya stress akut dan kegiatan jasmani.
Latihan jasmani atau olah raga diberikan secara teratur selain untuk
menjaga kebugaran, juga dapat menurunkan berat badandan memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akam memperbaiki kendali glukosa darah (
PERKENI, 2006).
Intervensi farmakologis diberikan bila sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan TGM dan latihan jasmani, meliputi obat hipoglikemik oral
(OHO), insulin, terapi kombinasi (OHO dan Insulin) ( PERKENI, 2006).
h. Komplikasi Diabetes Mellitus
1. Komplikasi acut
Ada tiga komplikasi acut pasda Diebetes yang penting dan berhubuingan
dengan gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek. Ketiga
komplikasi tersebut adalah : Hipoglikemia, Ketoacidosis Diabetik dan Sindrome
HHNK (Juga disebut Koma Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik atau
KHONK).
Hipoglikemia (Reaksi Insulin)
Hipoglikemia (kadar glukosa darah yang abnormal rendah) terjadi kalau
commit to user
ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan,
konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktifitas fisik yang berat.
Hipoglikemia dapat terjadi setiap saat pada siang atau malam hari. Kejadian ini
bisa dijumpai sebelum makan khususnya jika waktu makan tertunda atau bila
pasien lupa makan camilan.
Gejala. Gejala hipoglikemia dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori :
Gejala adrenergic dan gejala system syaraf pusat.
Pada hipoglikemia ringan, ketika kadar glukosa darah turun, system
syaraf simpatis akan terangsang. Pelimpahan adrenalin kedalam darah
menyebabkan gejala seprti perspirasi, tremor, takikardi, palpitasi, kegelisahan dan
rasa lapar. Pada hipoglikjemia sedang, penurunan kadar glukosa darah
menyebabkan sel – sel otak tidak memperoleh cukup bahan bakar untuk bekerja
dengan baik. Tanda – tanda gangguan fungsi pada system syaraf pusat mencakup
ketidakmampuan berkonsentrasi, sakit kepala, vertigo, konfusi, penurunan daya
ingat, patirasa didaerah bibir serta lidah, bicara pelo, gerakan tidak terkoordinasi,
perubahan emosional, perilaku yang tidak rasional, penglihatan ganda dan
perasaan ingin pingsan. Kombinasi semua gejala ini (disamping gejala adrenergic)
dapat terjadi pada hipoglikemia sedang.
Pada hipoglikemia berat, fungsi system syaraf pusat mengalami gangguan
yang sangat berat sehingga pasien memerluka pertolongan orang lain untuk
mengatasi hipoglikemia. Gejalanya dapat mencakup perilaku yang mengalami
disorientasi, serangan kejang, sulit dibangunkan dari tidur atau bahkan kehilangan
commit to user Penanganan hipoglikemia berat.
Bagi pasien yang tidak sadar, tidak mampu menelan atau menolak terapi,
preparat glucagon 1 mg dapat disuntikkan secara subcutan atau intra muskuler.
Glucagon adalah hormone yang diproduksi oleh sel alfa pancreas yang
menstimulasi hati untuk melepaskan glukosa (melalui pemecahan glikogen, yaitu
simpanan glukosa).
Diabetes Ketoacidosis
Patofisiologi. Diabetes ketoacidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin
atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata. Keadaan ini mengakibatkan
gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga gambaran
klinis yang penting pada Diabetes Ketoacidosis : Dehidrasi, Kehilangan elektrolit,
acidosis.
Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel
akan berkurang pula. Disampnig itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidsak
terkendali. Kedua factor ini akan menimbulkan hiperglikemia. Dalam upaya untuk
menghilangkan glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan
mengekskresikan glukosa bersama air dan elektrolit (seperti natrium dan kalium).
Diuresis osmotic yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan (Poliuria) ini akan
menyebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Penderita Ketoacidosis yang
berat dapat kehilangan kira kira 6,5 liter air dan sampai 400 – 500 meq natrium,
kalium serta klorida selama peride 24 jam.
Akibat defisiensi insulin yang lain adalah pemecahan lemak (lipolisis)
menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi
commit to user
yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan
mencegah timbulnya keadaan tersebut. Badan keton bersifat asam, dan bila
bertumpuk dalam sirkulasi darah, keton akan menimbulkan acidosis metabolic.
Manifestasi Klinik
Ketosis dan acidosis yang merupakan ciri khas Diabetes Ketoacidosis
menimbulkan gejala gastrointetital seperti anoreksia, mual, muntah dan nyeri
abdomen. Nyeri abdomen dan gejala – gejala fisik pada pemeriksaan dapat begitu
berat sehingga tampaknya terjadi suatu proses intra abdominal yang memerlukan
tindakan pembedahan. Nafas pasien mungkin berbau aseton. Sebagai akibat dari
meningkatkan badan keton. Selain itu, hiperventilasi (disertai pernafasan yang
sangat dalam tetapi tidak berat/sulit) dapat terjadi. Pernafasan kusmaul ini
menggambarkan upaya tubuh untuk mengurangi acidosis guna melawan efek
badan keton.
Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Patofisiologi dan manifestasi Klinis. Sindrome hiperglikemia
hiperosmolar non ketotik (KHONK) merupakan keadaan yang didominasi oleh
hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan tingkat kesadaran.
Pada saat yang sama tidak ada atau terjadi ketosis ringan. Kelainan dasar biokimia
pada syndrome ini berupa kekurangan insulin efektif. Keadaan hiperglikemia
persisten menyebabkan dieresis osmotikum, sehingga kehilangan cairan dan
elektrolit. Untuk mempertimbangkan keseimbangan osmotic cairan akan
berpindah dari ruang intrasel kedalam ruang ekstrasel. Dengan adanya glukosuria
commit to user
Gambaran klinis syndrome HHNK terdiri atas gejala hipertensi, dehidrasi
berat (membrane mukosa kering, turgor kulit jelek) takikardi, dan tanda – tanda
neurologis yang bervariasi (perubahan sensori, kejang, hemiparesis). Keadaan ini
makin serius dengan angka mortalitas yang berkisar dari 5 – 30 % dan biasanya
berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya.
Komplikasi Kronis
Penyakit Makrovaskuler
Penyakit arteri koroner. Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh
arteri koroner menyebabkan peningkatan insiden Infark Miocard pada penderita
Diabetes lebih sering pada laki – laki dan 3 kali lebih sering pada wanita. Pada
penyakit Diabetes terdapat peningkatan kecenderungan untuk mengalami
komplikasi akibat Infark Miocard dan kecenderungan untuk mendapatkan
serangan Infark yang kedua. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa penyakit
arteri coroner menyebabkan 50 % - 60 % dari semua kematian pada pasien
Diabetes.
Penyakit Cerebro Vaskuler. Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh
darah cerebral atau pembentukan embolus ditempat lain dalam system pembuluh
darah yang kemuadian terbawa aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh
darah cerebral dapat menimbulkan serangan iskemia sepintas (TIA) dan stroke.
Penyakit cerebrovaskuler pada pasien Diabetes serupa dengan yang terjadi pada
pasien non Diabetes, kecuali dalam hal bahwa pasien Diabetes beresiko 2 kali
lipat untuk terkena penyakit cerebro vaskuler. Beberapa penelitain juga
menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya kematian akibat penyakit
commit to user
dari serangan stroke dapat terhalang pada pasien yang kadar glukosa darahnya
sudah tinggi dan segera sesudah diagnosis serebrovaskuler accident dibuat.
Penyakit Vaskuler Perifer. Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh
darah besar pada ekstremitas bawah merupakan penyebab meningkatnya insiden 2
atau 3 kali lebih tinggi pada pasien non Diabetes. Penyakit oklusi arteri perifer
pada pasien Diabetes. Tanda dan gejala penyakit vaskuler perifer dapat mencakup
berkurangnya denyut nadi perifer dan klaudicatio intermitten (nyeri pada pantat
atau betis ketika berjalan). Bentuk penyakit oklusif arteri yang parah pada
ekstremitas bawah ini merupakan penyebab utama meningkatnya insiden
gangrene dan amputasi pada pasien Diabetes.
Penyakit Mikrovaskuler
Retinopati Diabetic
Kelainan petologis mata yang disebut retinopati Diabetic disebabkan oleh
perubahan dalam pembuluh darah kecil pada retina mata. Retina merupakan
bagian mata yang menerima bayangan dan mengirimkan informasi tentang
bayangan tersebut ke otak. Bagian ini mengandung banyak sekali pembuluh darah
dari berbagai jenis pembuluh darah arteri serta vena yang kecil, arteriol, venula
dan kapiler.
Nefropati.
Penyakit Diabetes turut menyebabkan 25 % dari pasien – pasien dengan
penyakit ginjal stadium terminal yang memerlukan dialysis atau transplantasi
setiap tahunnya. Penyandang diabetes memiliki resiko sebesar 20 – 40 % untuk
commit to user
Penyandang diabetes tipe 1 sering memperlihatkan tanda – tanda
permulaan penyakit renal setelah 15 – 20 tahun kemudian, sementara pasien
Diabetes tipa 2 dapat terkena penyakit renal dalam waktu 10 tahun sejak penyakit
Diabetes ditegakkan. Banyak penyakit Diabetes tipe 2 ini yang sudah menderita
Diabetes selama bertahun – tahun sebelum penyakit tersebut didiagnosis dan
diobati (Suzanne, 2002 ).
Neuropati Diabetic
Pada perjalanan penyakit DM dapat terjadi penyulit akut dan penyulit
menahun. Penyulit akut seperti ketoacidosis diabetik, hiperosmolar non ketotik,
dan hipoglikemi. Sedangkan penyulit yang menahun seperti makroagiopati dan
mikroagiopati serta neuropati. Neuropati merupakan penyulit atau komplikasi
yang tersering. Penyebeb pasti dari neuropati diabetik tidak diketahui. Para
peneliti mempercayai bahwa proses kerusakan syaraf berhubungan dengan
konsentrasi glukosa yang tinggi didalam darah yang dapat menyebabkan
perubahan kimia pada saraf, merusak kemampuan saraf menghantarkan pesan
secara efektif. Tingginya kadar glukosa dalam darah juga diketahui merusak
pembuluh darah yang membawa oksigen dan nutrient lain ke saraf (Asakandar T,
1995).
Gejala umum dari neuropati perifer difus meliputi : rasa tebal dan rasa
kesemutan atau terbakar, insensitivitas terhadap nyeri, nyeri seperti tertusuk
jarum, sensitifitas berat terhadap perabaan, hilangya keseimbangan dan
koordinasi. Sedangkan gejala umum dari neuropati otonomik difus meliputi :
commit to user
lambung, Karena gangguan kemampuan pengosongan lambung (statis gastric),
mual, muntah dan kembung, hilangnya nafsu makan ( Hendromartono, 2002).
Pada neuropati diabetic berat, hilangnya sensasi dapat menyebabkan
cedera yang tidak diketahui, berkembang menjadi infeksi, ulcerasi dan
kemungkinan amputasi (Soetardjo, 1991).
Neuropati diabetic disebabkan oleh factor yang beragam. Menurut
Diabetes Control and Complication Trial ( DCCT) dan United Kingdom
Prospective Diabetic Study (UKPDS) glukosa yang terkontrol atau euglikemia
mencegah onset atau memperlambat progresifitas neuropati diabetic.
Kelainan metabolisme dan vaskuler akan menggangu fungsi neural dan
neurotrophic support, yang dalam jangka lama akan menimbulkan apoptosis
neuron, sel schwan pada system saraf perifer (Askandar T, 1995 ).
Neuropati dalam Diabetes mengacu pada sekelompok penyakit yang
menyerang semua tipe syaraf, termasuk syaraf perifer, autonom dan spinal.
Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada lokasi sel
syaraf yang terkena.
Prevalensi neuropati meningkat bersamaan dengan usia penderita dan
lamanya penyakit tersebut, angka prevalensi dapat mencapai 50 % pada pasien –
pasien yang sudah menderita Diabetes selama 25 tahun kenaikan kadar glukosa
darah selama bertahun – tahun telah membawa implikasi pada etiologi neuropati
commit to user
Perawatan kaki
Perawatan kaki adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga kebersihan
kaki. Perawatan kaki ini salah satu dari tindakan preventif yang paling mendasar
dalam mencegah terjadinya gangrene diabetic. Oleh sebab itu, perawatan kaki
pada penderita dibetes mellitus sangat dianjurkan guna memperlancar peredaran
darah ke perifer khususnya pada tungkai bawah. Dari hasil penelitian didapatkan
bahwa penderita DM yang melakukan pemeriksaan dan perawatan kaki dengan
baik mengalami masalah gangrene lebih sedikit dan sekaligus menurunkan angka
kejadian amputasi.
Manfaat perawatan kaki pada penderita diabetic :
1) Mengetahui lebih dini adanya kelainan-kelainan yang muncul pada kaki.
2) Menjaga kelenturan dan elastisitas cartilago sendi dan jaringan kulit.
3) Melancarkan aliran darah ke perifer.
4) Meningkatkan masa otot melalui senam kaki.
5) Menjaga kebersihan kaki guna mencegah terjadinya infeksi bakteri dan
jamur.
6) Mencegah kekeringan pada jaringan kulit kaki. (Rosdahl : 1999).
Tidak ada ketentuan atau aturan yang baku terhadap frekuensi perawatan
kaki tetapi dari hasil survai National Health Interview Survey penderita DM yang
melakukan perawatan kaki setiap hari secara rutin dapat masalah gangrene
diabetic dari 46 % menjadi 22 %. Luka diabetes merupakan salah satu luka kronis
yang sering ditemukan selain luka decubitus. 75 % pasien Diabetes Mellitus
commit to user
Perawatan kaki diabetes merupakan modalitas utama dalam pencegahan amputasi
diabetes (Widasari : 2008).
Perawatan kaki yang ideal adalah sebagai berikut :
1) Periksa kaki 2 kali sehari dan segera perikasa ke dokter atau petugas
kesehatan bila ada perubahan warna kulit atau tanda-tanda infeksi.
2) Cuci kaki setiap hari dengan air suam-suam kuku dengan menggunakan
sabun yang berlemak serta keringkan kaki dengan kain yang lunak secara
cermat dan teliti.
3) Gunakan cream atau lotion, tetapi tidak pada sela-sela jari.
4) Pakai sepatu dan stocking yang benar-benar pas atau cocok dan ganti
stocking setiap hari.
5) Periksa sepatu sebelum dipakai, jangan sampai ada terselip kerikil atau
paku yang dapat melukai kaki.
6) Gunakan sepatu dari kulit dan jangan dari karet.
7) Potong kuku jari dengan rata atau jangan terlalu dalam, untuk penderita
yang mengalami gangguan penglihatan atau mata kabur tidak dianjurkan
memotong kuku.
8) Jangan berjalan tanpa alas kaki.
9) Lakukan senam kaki secara rutin guna meningkatkan aliran darah.
10)Jangan memakai bahan kimia untuk menghilangkan callus.
commit to user 2. Konsep Konseling
Beberapa definisi konseling yang dipandang cukup penting adalah
menurut Sadli, 1988 bahwa konseling adalah suatu bentuk wawancara untuk
membantu orang lain memperoleh pengertian yang lebih baik mengenai dirinya
dalam usahanya untuk memahami dan mengatasi permasalahan yang sedang
dihadapinya. Sedangkan menurut AVSC, 1995 konseling adalah suatu komunikasi
tatap muka untuk membantu penderita menetapkan pilihan atas dasar pemahaman
yang lengkap tentang dirinya serta masalah kesehatan yang dihadapai secara
mandiri.
Dari dua definisi diatas terlihat bahwa konseling meskipun dilaksanakan
dalam bentuk komunikasi tatap muka, tetapi konseling bukanlah suatu komunikasi
biasa. Komunikasi pada konseling tidak sekedar menyampaikan pesan-pesan yang
diperlukan oleh pasien saja, melainkan sekaligus dalam rangka membantu
penderita untuk secara mandiri dapat mengambil keputusan yang terbaik bagi
dirinya sendiri.
Meskipun konseling dilakukan dalam bentuk wawancara, tetapi konseling
tidaklah sama dengan wawancara biasa. Wawancara pada konseling tidak hanya
sekedar untuk mengetahui keadaan penderita, sepeti biasanya pada waktu
anamnesis penderita diruang praktek, melainkan sekaligus dalam rangka
membantu penderita untuk lebih memahami keadaan dirinya. Keberhasilan
konseling dapat dilihat dari terbentuknya sikap dan perilaku tertentu dalam
menghadapi suatu masalah tertentu, tetapi konseling tidak sama dengan motivasi.
commit to user
keputusan yang mandiri, sedangkan pada motivasi diputuskan secara sepihak oleh
dokter (Mc.Leod, 2003).
Kata “konseling” mencakup bekerja dengan banyak orang dan hubungan
yang mungkin saja bersifat pengembangan diri, dukungan terhadap krisis,
psikoterapis, bimbingan atau pemecahan masalah, tugas konseling adalah
memberikan kesempatan kepada klien untuk mengeksplorasi, menemukan dan
menjelaskan cara hidup lebih memuaskan dan cerdas dalam menghadapi sesuatu
(BAC, 1984).
Konseling mengindikasikan hubungan professional antara konselor dengan
klien. Hubungan ini biasanya bersifat individu ke individu, walaupun terkadang
melibatkan lebih dari satu orang. Konseling di disain untuk menolong klien dalam
menghadapi dan menjelaskan pandangan mereka terhadap kehidupan, dan untuk
membantu mencapai tujuan penentuan diri (self determination) mereka melalui
pilihan yang telah diinformasikan dengan baik serta bermakna bagi mereka dan
melalui pemecahan masalah emosional atau karakter interpersonal (Burks dan
Steffre, 1979).
Hubungan baik yang ditandai dengan pengaplikasian satu atau lebih teori
psikologi dan satu set ketrampilan komunikasi yang dikenal, dimodifikasi melalui
pengalaman, intuisi dan faktor interpersonal lainnya, terhadap perhatian, problem
atau inspirasi klien yang paling pribadi. Etos terpentingnya adalah bersifat
memfasilitasi ketimbang memberi saran atau menekan. Konseling dapat terjadi
dalam jangka waktu yang pendek atau panjang, mengambil tempat baik di seting
organisasional maupun pribadi dan dapat atau tidak dapat tumpang tindih dengan
commit to user
Kedua aktivitas yang berbeda tersebut dilaksanakan oleh individu yang setuju
untuk melakoni peran sebagai konselor dan klien, konseling merupakan profesi
yang nyata. Konseling adalah sebuah profesi yang dicari oleh orang yang berada
dalam tekanan atau dalam kebingungan, yang berhasrat berdiskusi dan
memecahkan semua itu dalam sebuah hubungan yang lebih terkontrol dan lebih
pribadi dibanding pertemanan dan mungkin lebih simpatik / tidak memberikan
cap tertentu dibandingkan dengan hubungan pertolongan dalam praktek medis
tradisional atau setting psikiatrik (Feltham dan Dryden, 1993).
Karasu (1986) telah melaporkan adanya 400 model konseling dan
psikoterapi. Terdapat pula keragaman dalam praktek konseling, ada yang
melakukannya dengan bertatap muka, dalam grup, dengan pasangan dan keluarga,
lewat telepon dan bahkan melalui materi tertulis seperti buku dan panduan
mandiri.
Berikut ini adalah beberapa tujuan konseling yang didukung secara
eksplisit maupun implisit oleh para konselor:
1. Pemahaman
Adanya pemahaman terhadap akar dan perkembangan kesulitan
emosional, mengarah kepada peningkatan kapasitas untuk lebih memilih
kontrol rasional ketimbang perasaan dan tindakan.
2. Berhubungan dengan orang lain
Menjadi lebih mampu membentuk dan mempertahankan hubungan yang
bermakna dan memuaskan dengan orang lain misalnya dalam keluarga atau di
commit to user 3. Kesadaran diri
Menjadi lebih peka terhadap pemikiran dan perasaan yang selama ini
ditahan atau ditolak atau mengembangkan perasaan yang lebih akurat
berkenaan dengan bagaimana penerimaan orang lain terhadap diri.
4. Penerimaan diri
Pengembangan sikap positif terhadap diri yang ditandai oleh
kemampuan menjelaskan pengalaman yang selalu menjadi subyek kritik diri
dan penolakan.
5. Aktualisasi diri
Pergerakan kearah pemenuhan potensi atau penerimaan integrasi bagian
diri yang sebelumnya saling bertentangan.
6. Pencerahan
Membantu klien mencapai kondisi kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
7. Pemecahan masalah
Menemukan pemecahan masalah problem tertentu yang tak bisa
dipecahkan oleh klien seorang diri.
8. Pendidikan psikologi
Membuat klien mampu menangkap ide dan tehnik untuk memahami dan
mengontrol tingkah laku.
9. Memiliki ketrampilan sosial
Mempelajari dan menguasai ketrampilan sosial dan interpersonal seperti
mempertahankan kontak mata, tidak menyela pembicaraan, asertif atau
commit to user 10. Perubahan kognitif
Modifikasi atau mengganti kepercayaan yang tak rasional atau pola
pemikiran yang tidak dapat diadaptasi, yang diasosiasikan dengan tingkah
laku penghancuran diri.
11. Perubahan tingkah laku
Modifikasi atau mengganti pola tingkah laku yang maladaptive atau
merusak.
12. Perubahan sistem
Memperkenalkan perubahan dengan cara beroperasinya sistem sosial
(contoh: keluarga)
13. Penguatan
Berkenaan dengan ketrampilan, kesadaran, dan pengetahuan yang akan
membuat klien mampu mengontrol kehidupannya.
14. Restitusi
Membantu klien membuat perubahan kecil terhadap perilaku yang merusak.
15. Reproduksi dan aksi sosial
Menginspirasikan dalam diri seseorang hasrat dan kapasitas untuk peduli
terhadap orang lain, membagi pengetahuan dan mengkontribusikan kebaikan
bersama melalui kesepakatan politik dan kerja komunitas.
Ada empat hal yang perlu ditekankan dalam konseling yaitu: (1) konseling
sebagai proses, berarti konseling tidak dapat dilakukan sesaat, (2) konseling
sebagai hubungan yang spesifik, hubungan yang dibangun konselor selama proses
commit to user
tanpa syarat dan empati, (3) konseling adalah membantu klien, konselor
memotivasi klien untuk lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dalam
mengatasi masalahnya, (4) konseling untuk mencapai tujuan hidup (Latipun,
2003).
Dalam konseling menggunakan pola untuk menyelesaikan permasalahan
melalui beberapa tahap yaitu: tahap (1) mencari akar permasalahan, tahap (2)
mencari potensi / sumber yang mungkin dapat digunakan untuk memecahkan
masalah, tahap (3) mencari alternatif pemecahan masalah, tahap (4) membuat
suatu keputusan, tahap (5) implementasi dari keputusan, dan tahap (6) evaluasi
yang membahas tentang bagaimana pelaksanaan solusi yang telah diputuskan, ada
3 kemungkinan yang dapat terjadi yaitu berhasil, sebagian berhasil sebagian tidak
berhasil dan gagal. Apabila gagal kembali ketahap awal lagi demikian seterusnya
sampai masalah itu terpecahkan (Sudyanto, 2007).
Menurut Azwar (1995) faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
konseling diantaranya adalah: (1) sarana konseling, (2) suasana konseling, (3)
pelaksanaan konseling. Sedangkan sebagai konselor yang baik harus memiliki
persyaratan khusus yaitu: (a) mempunyai minat untuk menolong orang lain, (b)
bersikap terbuka dan bersedia menjadi pendengar yang baik, (c) mampu
menunjukan empati dan menumbuhkan kepercayaan serta peka terhadap keadaan
dan kebutuhan klien, (d) mempunyai daya pengamatan yang tajam serta memiliki
kemampuan untuk mengenal dan mengatasi masalah yang dihadapi klien.
Apabila konseling dapat dilaksanakan dengan efektif akan diperoleh
beberapa manfaat yang mempunyai peranan yang cukup penting antara lain
commit to user
masalah kesehatan yang sedang dihadapinya. Hal ini penting karena klien akan
dapat menyesuaikan sikap dan perilakunya terhadap masalah yang dihadapi, (2)
dapat lebih meningkatkan kepercayaan diri klien dalam menghadapi suatu
masalah, (3) dapat lebih meningkatkan kemandirian klien dalam membuat
keputusan terhadap suatu masalah (Azwar, 1995).
3. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Konseling merupakan salah satu cara pendekatan keluarga untuk
membantu orang lain memperoleh pengertian yang lebih baik mengenai dirinya
dalam usahanya untuk memahami dan mengatasi permasalahan yang sedang
dihadapinya. Dalam hal ini dengan konseling diharapkan dapat memberikan
pengetahuan yang lebih baik tentang pemberantasan demam berdarah. Dengan
pengetahuan yang baik akan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang tentang
perawatan kaki.
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang atau
individu melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu (Notoatmojo,
1997). Pengetahuan merupakan proses kognitif dari seseorang atau individu untuk
memberikan arti terhadap lingkungan, sehingga masing-masing individu
memberikan arti sendiri - sendiri terhadap stimuli yang diterima walaupun stimuli
itu sama (Winardi, 1996). Pengetahuan merupakan aspek pokok untuk
menentukan perilaku seseorang maupun untuk mengatur perilakunya sendiri
(Simons et al, 1995).
Sikap adalah respon seseorang yang masih tertutup tentang suatu objek
atau stimulan dan merupakan kesiapan seseorang untuk bereaksi terhadap obyek
commit to user
adalah perasaan mendukung maupun perasaan tidak mendukung pada obyek
tersebut (Rumijati, 2002). Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas,
akan tetapi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk berperilaku
(Simon et al, 1995).
Sikap bukan dibawa sejak lahir, namun dapat dibentuk dari adanya
interaksi sosial. Dalam interaksi sosial terjadi hubungan sebagai individu maupun
anggota kelompok sosial yang saling mempengaruhi. Interaksi sosial ini meliputi
hubungan antara individu dengan lingkungannya baik lingkungan fisik maupun
lingkungan biologis yang ada di sekitarnya (Hasanah, 2006).
Struktur sikap terdiri dari 3 (tiga) komponen yang saling berinteraksi,
yaitu komponen kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif meliputi
kepercayaan orang yang berlaku dan yang benar dari obyek sikap, komponen
afektif merupakan emosional subyektif seseorang terhadap suatu sikap dan
komponen konatif meliputi kecenderungan perilaku yang ada pada diri seseorang
berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya (Azwar, 1997).
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang terhadap
stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistim pelayanan kesehatan,
makanan, serta lingkungan. Respon atau reaksi manusia, baik bersifat pasif
(pengetahuan, persepsi dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata
atau practice) (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku ditentukan oleh individu yang meliputi motif, nilai-nilai, dan
sikap yang saling berinteraksi dengan lingkungan. Perilaku dipengaruhi oleh
commit to user
seseorang tentang sesuatu dan faktor afektif merupakan sikap seseorang tentang
sesuatu (Simon et al, 1995).
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap positif,
maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (Long lasting). Sebaliknya apabila
perilaku itu sendiri tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran yang tinggi
maka akan tidak berlangsung lama (Simon et al, 1995).
B. PENELITIAN YANG RELEVAN
1. Penelitian oleh Nugroho (2008) dengan judul Keefektifan konseling keluarga terhadap pemberantasan demam berdarah dengue di kabupaten sragen, dan hasilnya terjadi peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku dengan tingkat significan pengetahuan ƿ =0,001, sikap ƿ = 0,000 dan perilaku ƿ = 0,000
commit to user C. KERANGKA PEMIKIRAN
D. HIPOTESIS
1. Konseling berpengaruh meningkatkan pengetahuan tentang perawatan kaki.
2. Konseling berpengaruh memperbaiki sikap tentang perawatan kaki . 3. Konseling berpengaruh memperbaiki perilaku tentang perawatan kaki.
Sikap thd perawatan kaki
Gangrene diabetic↓
Perubahan
Perilaku ↑
Konseling Pendidikan
Amputasi ¯
Pengetahuan perawatan kaki
Perawatan kaki
Keluarga Pelayanan
kesehatan
commit to user BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah True Eksperimen menggunakan
pendekatan” Posttest-only Control Design”.
B. Tempat dan Waktu penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah Kerja Puskesmas Kabuh dan dilaksanakan
pada bulan Oktober sampai Desember 2010.
C. Populasi penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita Diabetes Mellitus di
wilayah kerja Puskesmas Kabuh Jombang dengan jumlah 125 orang.
D. Sampel dan tekhnik sampling
Tekhnik sampling adalah purposive sampling. Sampel dari penelitian ini
diambil secara acak sesuai kriteria peneliti. Jumlah sampel dalam penelitian 60
orang (30 orang sebagai kelompok perlakuan dan dan 30 orang sebagai kelompok
kontrol).
Dalam penentuan jumlah sampel dengan memilih yang sesuai kriteria inklusi dan
eklusi.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
1. Responden yang bersedia menjadi responden
2. Responden yang menderita penyakit diabetes militus
Kriteria eklusi dalam penelitian ini adalah :
commit to user
2. Responden yang menderita komplikasi diabetes mellitus (gangren).
3. Responden yang berada di luar wilayah kerja puskesmas Kabuh Jombang
E. Variabel Penelitian
1. Variabel independen: Konseling
2. Variabel dependen : - Pengetahuan tentang perawatan kaki
- Sikap terhadap perawatan kaki
- Perilaku tentang perawatan kaki
F. Definisi Operasional
1. Konseling adalah suatu proses komunikasi interpersonal / dua arah untuk
membantu orang lain memperoleh pengertian yang lebih baik mengenai
dirinya dalam usahanya untuk memahami dan mengatasi permasalahan yang
sedang dihadapinya. Konseling dilakukan pada bulan Oktober sampai
Nopember sebanyak 5 kali, setiap pasien selama 30-45 menit dengan jarak
waktu 3 hari.
2. a. Pengetahuan tentang perawatan kaki adalah pengetahuan penderita
Diabetes Mellitus tentang pengertian Diabetes Mellitus, manfaat
perawatan kaki, frekuensi dan cara perawatan kaki pada penderita
Diabetes Mellitus.
Data tentang pengetahuan dikumpulkan dengan kuisioner yang berisi
pertanyaan dengan dua kemungkinan jawaban. Bila jawaban benar dinilai
1 dan bila jawaban salah diberi nilai 0. Kemudian total skor yang didapat
commit to user
maksimal dan minimal dan didapatkan nilai range sehingga di
kelompokkan menjadi skala ordinal dengan rumus sebagai berikut
(Sutrisno Hadi, 2001).
Kategori pengetahuan dalam penelitian ini dikelompokkan dalam 3
kategori yaitu baik, cukup dan rendah, untuk mengelompokan kategori
terebut terlebih dahulu dicari kelas interval dengan rumus sebagai berikut
(Sutrisno Hadi, 2001):
i = Nilai tertinggi – nilai terendah Jumlah kelas
[image:50.595.138.514.249.506.2]Selanjutnya distribusi skore pengetahuan adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Distribusi skor pengetahuan
Kategori Nilai
Baik Cukup
13 – 14 11- 12
Kurang 9 – 10
b. Sikap terhadap perawatan kaki adalah sikap penderita Diabetes Mellitus
terhadap perawatan kaki.
Data tentang sikap dikumpulkan dengan kuisioner yang berisikan
pertanyaan dengan lima kemungkinan jawaban menurut skala likert.
- Pada pernyataan positif: nilai 4 bila sangat setuju, nilai 3 bila setuju,
nilai 2 bila ragu-ragu, nilai 1 bila tidak setuju dan nilai 0 bila sangat
tidak setuju.
- Pada penyataan negatif: nilai 4 bila sangat tidak setuju, nilai 3 bila
tidak setuju, nilai 2 bila ragu-ragu, nilai 1 bila setuju dan nilai 0 bila
commit to user
Skala pengukuran dengan dengan penghitungan dengan likert yaitu
sikap Positif dan Negatif dengan 5 tingkatan skala yaitu sangat setuju,
setuju, ragu-ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju. Kemudian total skor
yang didapatdianalisis frequensi dengan SPSS 17 kemudian didapatkan
nilai maksimal dan minimal dan di dapatkan nilai range sehingga di
kelompokkan menjadi skala ordinal dengan rumus sebagai berikut
(Sutrisno Hadi, 2001).
Kategori siakp dalam penelitian ini dikelompokkan dalam 2 kategori
yaitu baik, positif dan negatif, untuk mengelompokan kategori terebut
terlebih dahulu dicari kelas interval dengan rumus sebagai berikut
(Sutrino Hadi, 2001):
i = Nilai tertinggi – nilai terendah Jumlah kelas
Kemudian untuk menentukan sikap positif atau negatif tentunya
dengan cara total skor yang didapat akan dikategorikan dengan
[image:51.595.155.510.249.492.2]perhitungan sebagai berikut :
Tabel. 3.2 Distribusi skor sikap
Kategori Nilai
Negatif 35 – 44
Positif 45 – 54
c. Perilaku tentang perawatan kaki adalah perilaku penderita Diabetes
Mellitus tentang perawatan kaki.
Data tentang perilaku dikumpulkan dengan observasi dengan panduan
commit to user
menggunakan instrument checklist yang berupa 14 pernyataan. Kunjungan
dilakukan 5 kali yaitu hari pertama datang dan dilakukan konseling tentang
perawatan kaki. Kemudian datang setiap tiga hari sekali sampai hari ke
lima belas. Kunjungan ke 2,3,4,5 melakukan konseling. Skore atau hasil
observasi pada kunjungan ke 15 dianalisa dan dikategorikan menjadi skala
ordinal. Kemudian total skor yang didapat di analisis frequensi dengan
SPSS 17 kemudian didapatkan nilai maksimal dan minimal di dan di
dapatkan nilai range sehingga di kelompokkan menjadi skala ordinal
dengan rumus sebagai berikut (Sutrisno Hadi, 2001).
Kategori perilaku dalam penelitian ini dikelompokkan dalam 2 kategori
yaitu positif dan negatif, untuk mengelompokan kategori terebut terlebih
dahulu dicari kelas interval dengan rumus sebagai berikut (Sutrisno Hadi,
2001) :
i = Nilai tertinggi – nilai terendah Jumlah kelas
Kemudian untuk menentukan perilaku positif atau negatif tentunya dengan cara
[image:52.595.150.512.249.494.2]total skor yang didapat akan dikategorikan dengan perhitungan sebagai berikut :
Tabel 3.3 Distribusi skor perilaku
Kategori Nilai
Negatif 19 – 36
commit to user H. Rancangan Penelitian
Populasi : seluruh penderita DM di wilayah kerja Puskesmas Kabu