• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filosofi Barong Bulu Gagak Di Pura Dalem Kutuh, Desa Gulingan, Kecamatan Mengwi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Filosofi Barong Bulu Gagak Di Pura Dalem Kutuh, Desa Gulingan, Kecamatan Mengwi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian

Volume 1, No. 1, Tahun 2021

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian Volume 1, No. 1, Tahun 2021

1

Filosofi Barong Bulu Gagak Di Pura Dalem Kutuh, Desa Gulingan, Kecamatan Mengwi

Oleh

I Putu Ariyasa Darmawan STAHN Mpu Kuturan Singaraja Email: ariyasabent23@gmail.com

ABSTRACT

Bali has many Barong, one of which is Barong Ket. Dalem Kutuh Temple in Gulingan village has a Barong Ket who uses crow feathers. The six crow-feathered barongs in Bali are found at Dalem Kutuh Temple, Gulingan Traditional Village, Maspait Temple Banjar Singgi, Pakraman Intaran Village, Dalem Arum Temple, Banjar Nyelati, Kuwum Village, Mrajan Puri Tegal Tamu Batubulan, Pererepan Temple Banjar Bekul, Penatih Dangin Puri Village, and at Celangu Temple, Banjar Pekandelan, Bedulu Village, Gianyar. The function of the crow's feather barong at Dalem Kutuh Temple is to increase sradha and community service, protect. Barong and Rangda are implementations of the application of the concepts of totemism, animism, dynamism, pantheism, anthropomorphism, and monism, because all these concepts are a way for humans to understand the existence of God Almighty with very limited abilities, which are categorized as Saguna Brahman. The existence of the crow's feather barong at Dalem Kutuh Temple, Gulingan village, is able to bind norms and rules that reflect the value of good assumptions so that it functions as social control that is guided by community behavior. This control does not only apply to fellow believers, but also applies to managing community relations with God Almighty and with their environment.

Keywords: philosophy, Barong crow's feathers, temple I. PENDAHULUAN

Bali memiliki banyak jenis Barong, salah satunya adalah Barong Ket yang terdiri atas Barong Ket sakral yang ada di sebuah Pura sebagai simbol yang beraspek religius, dan Barong Ket profan yang dipertunjukkan sebagai hiburan kepada para wisatawan. Secara kasat mata, sulit untuk membedakan yang mana Barong Ket sakral dan Barong Ket yang profan. Barong Ket yang disucikan tentunya tidak sembarangan dapat kita lihat, kita hanya bisa melihat pada saat upacara keagamaan, dan Barong Ket profan dengan mudah dapat kita jumpai di tempat pertunjukan Barong and Keris Dance tanpa sarana upacara yang lengkap.

Barong apabila dilihat dari asal usulnya, latar belakang sejarah, dan mitologinya adalah benda yang lahir dari kreatifitas seni, budaya dan proses penghayatan. Wujud Barong secara umum mengambil wujud binatang. Jenis Barong yang hampir ada di setiap desa di Bali adalah Barong Ket. Wujud dari Barong Ket antara lain: mukanya berwarna merah, mata melotot, selalu tersenyum, berjenggot, mempunyai dua ruang (punggelan dan ekor) yang dihiasi oleh ukir-ukiran yang mentereng dan berkilauan emas, mempunyai ekor, ditarikan oleh dua orang. Bulu dari Barong Ket biasanya terdiri dari dua jenis, yaitu berwarna hitam yang terbuat dari bulu jaran (bulu kuda), dan berwarna putih yang terbuat dari praksok maupun bulu burung bangau (Suadnyana, 2021).

Pura Dalem Kutuh yang terletak di Desa Adat Gulingan, Barong Ket yang disungsung memakai bulu gagak, mapesengan Ida Ratu Gede Bagus. Barong yang merupakan sungsungan masyarakat pemaksan Pura Dalem Kutuh memakai bulu

(2)

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian

Volume 1, No. 1, Tahun 2021

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian Volume 1, No. 1, Tahun 2021

2 gagak tidak seperti Barong Ket yang lain. Wujud dari Barong Ket ini sama dengan Barong Ket yang ada di Bali, yang membedakan hanyalah bulunya. Enam Barong bulu gagak yang ada di Bali terdapat di Pura Dalem Kutuh Desa Adat Gulingan, Pura Maspait Banjar Singgi Desa Pakraman Intaran, Pura Dalem Arum, Banjar Nyelati, Desa Kuwum, Mrajan Puri Tegal Tamu Batubulan, Pura Pererepan Banjar Bekul Desa Penatih Dangin Puri, dan di Pura Celangu, Banjar Pekandelan, Desa Bedulu Gianyar.

Nama Dalem yang ada pada nama Pura Dalem Kutuh bukan Dalem Kayhangan Tiga. Ada tiga ciri nama Dalem pada sebuah Pura, yaitu Dalem Kahyangan Tiga dengan nama Pura Dalem sebagai sthana Dewa Siwa, Dalem karena ada kaitan dengan kerajaan, misalnya Pura Dalem Baturenggong, dan Pura Dalem Kawisesan. Pura Dalem Kutuh bukan Pura Kahyangan Tiga dan tidak ada kaitan dengan sebuah kerajaan. Jadi adanya nama Dalem karena adanya suatu kawisesan atau kekuatan lain ada di Pura Dalem Kutuh.

Semua Barong Bulu Gagak yang ada di Bali nunas atau memohon bulu gagak di Pura Alas Arum yang ada di tengah hutan yang disebut Alas Baha yang terletak di Desa Baha, Kecamatan Mengwi. Ada sebuah Pura sebagai tempat memohon bulu gagak di tengah hutan ini. Banyak terdapat burung gagak pada jaman dahulu di hutan ini, sangat mudah mencari bulu gagak di sekitar Alas Baha, tepatnya di Pura Alas Arum yang terletak di sebelah Timur Laut hutan, namun, sekarang di Alas Baha sudah tidak ada seekor burung gagak yang dapat dijumpai.

Barong yang disakralkan di sebuah Pura, dalam keseharian penyimpanan biasanya didirikan ditopang oleh sebuah kayu khusus yang disebut sangsang, Barong bulu gagak yang ada di Pura Dalem Kutuh, Desa Adat Gulingan tidak pernah disangsang atau didirikan di atas meja, namun digantung, kemanapun Barong bulu gagak lunga, selalu digantung, jarang disangsang, hal ini dikarenakan ketakutan akan lepasnya ikatan bulu-bulu gagak yang telah dijalin rapi.

Keharusan menggunakan kembali bulu gagak sebagai busana Barong tersebut ketika direnovasi, menjadi keunikan tersendiri dari Barong bulu gagak. Selain persoalan-persoalan fisik dari Barong Bulu Gagak, Barong ini tentunya juga memiliki fungsi dan nilai filosofis.

II. METODE

Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif dengan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan filsafat. Penelitian ini dilaksanakan di Pura Dalem Kutuh, desa Gulingan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Data primer adalah hasil wawancara dengan Pemangku Pura Dalem Kutuh, desa Gulingan, sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah data dan informan yang mengetahui dan memahami tentang esensi sebuah Barong atau Barong bulu gagak di Pura Dalem Kutuh, khususnya tentang mitologi, fungsi dan makna filosofi.Penetapan responden dilakukan dengan cara snowball (bola salju) yang dimulai dari penetapan informan kunci yaitu Pemangku Pura Dalem Kutuh, selanjutnya menelusuri tokoh-tokoh lain yang ditunjukkan oleh Pemangku Pura Dalem Kutuh atau yang memahami filosofis Barong bulu gagak di Pura Dalem Kutuh. Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah: metode observasi,wawancara, kepustakaan, dan dokumentasi.

III. PEMBAHASAN

Secara etimologi, kata Barong berasal dari bahasa Sanskerta yaitu b(h)arwang yangdi dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia sejajar dengan kata beruang. Kata b(h)arwang bersinonim dengan bahasa Belanda: Beer yang

(3)

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian

Volume 1, No. 1, Tahun 2021

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian Volume 1, No. 1, Tahun 2021

3 juga berarti binatang beruang. Jadi salah satu definisi Barong adalah binatang beruang (Segara, 2000:9). Definisi lain tentang Barong yaitu Barong berasal dari urat kata ba-ru-ang. Dalam bahasa Indonesia, huruf u dan a berasimilasi menjadi o, sehingga ru dan a(ng) menjadi ro(ng) yang berarti dua. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Barong berarti tarian yang memakai kedok dan kelengkapan sebagai binatang buas (singa), dimainkan oleh dua orang (satu di depan di bagian kepala, dan satu di belakang di bagian ekor), dipertunjukkan dengan cerita Calonarang (Tim Penyusun, 1991:95). Sedangkan dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Barong berarti sebuah perangkat seni Bali, berupa selubang perwatakan atau baju topeng. Terkait asal mula Barong,

Menurut J. Kersten SVD, Barong adalah suatu pertunjukan dimana seorang mengenakan kedok dan kelengkapan sebagai binatang atau raksasa. Yang paling penting adalah BarongKeKet (Kekek, Ket), yang menghadapi Rangda dalam pertunjukan Calonarang. Barong itu sering merupakan pertunjukan belaka, tetapi boleh juga dipakai sebagai sarana menghindari bencana. Jika ada maksud demikian, Barong itu dikenakan upacara pasupati untuk mengisikan kesaktian, lalu dipandang kramat dan disimpan dalam suatu bangunan di Pura (Kersten SVD, 1984:179).

Barong berasal dari kata Bar dan Ong.Bar=Bor dan Bor inilah yang kemudian disebut sebagai poros, karena keberadaan ituselalu berada di tengah- tengah, serta fungsinya suka mengebor bagian tengah. Ong berasal dari O dan Ng.O menggambarkan belum ada apa-apa, Ketika itu suasananya masih kosong bolong, tanpa pangkal dan tanpa ujung bulat bagaikan bola. Dalam suasana yang demikian, ada kedengaran suara mendengung bagaikan bunyi huruf Ng. Dengan demikian, arti dari Ong adalah menyebutkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan hal ini sama artinya dengan ibapa. Jadi bila kita menyebut nama Barong, berarti kita sedang membicarakan sifat Tuhan dalam wujud ibapa (Budiarti, 2000:9). Asal kebudayaan Barong sulit untuk diketahui karena yang pasti Barong tidak hanya ada di Bali tetapi juga dikenal di luar Bali bahkan di luar negeri seperti Cina dan Jepang yang kemudian dibawa oleh agama Buddha (Swadiana, 2008:11). Filsafat Barong menurut Lontar Kanda Pat Bhūta adalah Bānaspati Rāja, yaitu:

- Ańgapati, lahir dari mulut, rupanya putih, suaranya uh, letaknya di Timur dan berwujud kala atau nafsu di badan sendiri. Sebagai makanannya ia boleh memakan manusia bila keadaannya sedang dipenuhi nafsu-nafsu angkara murka.

- Mrajapati, lahir dari hidung, rupanya merah, suaranya eh, letaknya di Selatan dan penguasa setra Gandhamayu(Durgā)serta perempatan jalan. Sebagai makanannya adalah bangkai atau mayat yang ditanam melanggar waktu atau hari-hari yang terlarang oleh kala dan kecaping aksara atau padewasan serta boleh memakan atau mengganggu orang yang memberi hari atau dewasa yang bertentangan dengan ketentuan atau melanggar dan yang melakukan upacara.

- Banaspati, lahir dari soca atau permata, warnanya hitam, suaranya ah, lalu menjadi api yang hitam, tempatnya di Barat, diwujudkan berupa jin, setan, tonya, penguasa sungai, tempat keramat, dan sebagainya. Sebagai makanannya ialah orang lewat atau berjalan ataupun tidur pada waktu-waktu yang terlarang oleh kala, misalnya tengah hari (kali tepet) atau sandikala.

- Bānaspati Rāja, lahir dari telinga, warnanya kuning, suaranya ah, menjadi api yang kuning, diwujudkan sebagai Barong dan menjaga kayu besar atau hutang:

kepah, kepuh, rangdu, dan lain-lain. Sebagai makanannya boleh memakan orang yang menebang kayu atau yang naik pohon pada waktu-waktu terlarang

(4)

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian

Volume 1, No. 1, Tahun 2021

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian Volume 1, No. 1, Tahun 2021

4 oleh kecaping aksara atau padewasan (Bendesa K. Tonjaya dalam Segara, 2000:16-17).

Barong jika disimpulkan adalah suatu kreasi budaya masyarakat yang terlahir dari filsafat Bānaspati Rāja dan mengambil wujud berdasarkan cerita yang berkaitan dengan Calonarang, dimana Barong secara umum memiliki dua ruang dan mempunyai nilai religius ketika telah dihidupkan atau dipasupati. Gagak adalah salah satu jenis burung yang secara keseluruhan berwarna hitam.

Beberapa jenis burung gagak mengeram atau bertengger bersama dalam kerumunan yang terdiri dari ribuan ekor. Burung gagak merupakan burung pemakan segalanya (omnivora), terutama bangkai. Burung ini juga sering memburu anak ayam, mencuri telur ayam, memakan padi di sawah, dan memakan jagung di ladang. Mereka membuat sarang dari ranting kayu dan diletakkan di atas pohon. Gagak betina bertelur 2 sampai 10 butir. Di alam bebas, burung gagak dapat hidup sampai 13 tahun, sedangkan di kandang pemeliharaan sampai 20 tahun.

Ensiklopedi Nasional Indonesia menguraikan bahwa burung gagak merupakan suatu kelompok burung yang termasuk burung penyanyi. Burung ini tidak bisa bernyanyi, namun dapat meniru bermacam-macam suara. Umumnya, warna bulu burung gagak hitam dengan refleksi warna metalik atau hitam kombinasi putih, abu-abu atau coklat. Paruhnya tebal dan kekar, sedangkan ekornya kecil. Panjang tubuhnya kira-kira 40 cm. Komunitas burung gagak terbesar di Bali pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, ada di alas (hutan) Baha, Desa Baha, Kecamatan Mengwi, namun sejak alas Baha menjadi markas tentara Jepang pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, burung gagak yang ada di Alas Baha mulai berkurang, bahkan sekarang hampir tidak ada seekor burung gagak di hutan ini. Sebelah Timur Laut Alas Baha terdapat sebuah Pura yang bernama Pura Alas Arum, seluruh busana Pura termasuk pakaian pemangku berwarna hitam. Pura Dalem Kutuh memiliki sebuah Barong bulu gagak yang disebut atau mapesengan Ida Ratu Gede Bagus, dua Rangda yang disebut Ida Ratu Mas Lingsir dan Ida Ratu Mas Jegeg, satu Rarung yang disebut Ida Ratu Ayu. Asal kayu Ida Ratu Gede Bagus yaitu di areal Pura Dalem Batulumbung, tepatnya di pohon Pule yang ada di pojok timur laut lapangan sepak bola Batulumbung.

Terkait pemakaian bulu gagak (gagak) sebagai busana dari Ida Ratu Gede Bagus, disebutkan sebelum tahun 1945 di Alas Baha terdapat burung gagak bebas beterbangan yang jumlahnya mencapai ribuan ekor, Alas Baha merupakan pusat komunitas burung gagak saat itu. Alasan pemakain bulu pada sebuah Barong antara lain material yang dipakai adalah apa yang mungkin bisa dipakai mudah dicari atau dekat lokasi mencarinya, misalnya di sekitar lokasi Barong terdapat banyak pohon praksok, maka yang dipakai adalah daun praksok yang telah diolah, jika disekitar Barong banyak terdapat kuda atau burung bangau, maka bulu kuda atau bulu burung bangau dapat dipakai sebagai bulu Barong. Alasan kedua yaitu keadaan hewan pada waktu tersebut, jika burung gagak bebas beterbangan pada saat itu, maka bulu gagak bisa dipergunakan sebagai busana sebuah Barong.

Alasan ketiga yaitu kedaan ekonomi masyarakat pada saat itu kurang memadai untuk membeli bahan-bahan yang dipergunakan untuk membuat sebuah Barong, maka bahan-bahan alternatif bisa dipergunakan untuk melengkapi pembuatan sebuah Barong. Alasan keempat adalah memang permintaan untuk menggunakan bulu secara khusus saat nunas baos atau mohon petunjuk secara niskala.

Ketiga alasan tersebut dapat memperkuat pemakaian bulu gagak sebagai busana Ida Ratu Gede Bagus yang ada di Pura Dalem Kutuh yang berada kurang

(5)

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian

Volume 1, No. 1, Tahun 2021

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian Volume 1, No. 1, Tahun 2021

5 lebih 500 meter di sebelah selatan Alas Baha. Selain alasan materi yang dekat, burung gagak juga memiliki filsafat tersendiri yang tidak dimiliki oleh burung lain.

Burung gagak merupakan Mamsa Paksi yang merupakan ciri Bhatari Kali yang bersthana di pamuwunan. Burung gagak merupakan burung yang mampu mengetahui ciri dunia. Sesuai dengan teori Estetika, lahirnya seni disebabkan oleh tiga hal, yaitu theory of play, theory of utility, dan theory magi and religi. Teori yang lebih tepat terkait adanya Ida Ratu Gede Bagus di Pura Dalem Kutuh adalah theory of utility dan theory magi and religi diantara tiga teori tersebut. Segara, (2000:11- 12) mengungkapkan bahwa Theory Of Utility yaitu semua kesenian artistik yang dilakukan manusia ditujukan untuk kepentingan praktis dan kebutuhan sosial, sedangkan Theory Magi And Religi yaitu kelahiran seni itu guna memperoleh tenaga gaib untuk keperluan berburu dan keperluan lain. Sesuai dengan definisi teori of utility tersebut, adanya suatu kesenian, baik berupa benda maupun gerakan, termasuk di dalamnya Barong dan Rangda yang disucikan di sebuah Pura, ditujukan untuk suatu kepentingan dan kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial diperlukan karena manusia merupakan makhluk sosial yaitu makhluk yang tidak dapat hidup sendiri, ia perlu teman dan suatu interaksi dengan sesame, dengan adanya suatu pengikat, kekerabatan dan ikatan antar masyarakat menjadi semakin rekat karena masyarakat diharapkan dan diwajibkan ikut terlibat dalam segala kegiatan yang berkaitan dengan Pura Dalem Kutuh.

Theory Magi And Religi yang menyebutkan lahirnya suatu seni untuk memperoleh tenaga gaib dan keperluan lain, lebih langsung menuju kepada tujuan pembuatan sebuah Barong dan Rangda. Tenaga gaib yang dimaksudkan hadir untuk mengisi Barong dan Rangda bukan tenaga gaib yang bersifat jelak maupun jahat, walaupun Rangda selalu diidentikkan dengan sesuatu yang bersifat jahat.

Tenaga gaib yang diharapkan adalah tenaga gaib yang bersifat baik dan mampu melindungi umat manusia, dengan adanya kekuatan tersebut, diharapkan ada sesuatu yang melindungi umat manusia, melindungi manusia dari sifat jahat, sifat yang ingin mencelakai, dan mampu menuntun mereka menuju jalan yang lebih baik.

Penyatuan tenaga gaib yang mampu melindungi masyarakat dengan simbol benda pelindung atau Barong dan Rangda tentu tidak mudah. Penyatuan tersebut harus melalui berbagai tahapan dan berbagai ritual, diantaranya mlaspas Barong dan Rangda, Ngatep, Masupati, Ngaub, dan Ngerehin. Semua ritual tersebut memiliki makna penyatuan dan penghidupan suatu simbol sakral agar tidak hanya menjadi simbol yang profan, dan setelah dihidupkan mampu melindungi masyarakat penyungsungnya dan masyarakat secara umum.

Adanya wujud Barong dan Rangda, sesungguhnya umat menerapkan filsafat Totemisme dalam menafsirkan kekuatan dan wujud Tuhan Yang Maha Esa. Titib (2003:30) menguraikan totemisme adalah keyakinan akan adanya binatang keramat, yang sangat dihormati, binatang tersebut diyakini memiliki kesaktian, umumnya adalah binatang mitos, juga binatang tertentu di alam ini yang diangap keramat. Segara (2000:30) menambahkan bahwa bentuk dari Barong merupakan kombinasi dari singa, macan, sapi yang mempunyai kekuatan magis. Filsafat dari Barong sesuai lontar Kanda Pat Bhūta adalah Banaspati Rāja, dimana Banaspati Rāja diwujudkan sebagai Barong Ket, merupakan penjaga kayu atau pohon besar dan hutan belantara.

Selain totemisme, paham yang melekat pada perwujudan Tuhan dalam wujud Barong dan Rangda adalah animisme, dinamisme, pantheisme, antromorphisme, dan monisme. Maulana (dalam Donder, 2006:138) menyebutkan bahwa animisme merupakan suatu paham bahwa alam ini atau semua benda memiliki roh atau

(6)

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian

Volume 1, No. 1, Tahun 2021

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian Volume 1, No. 1, Tahun 2021

6 jiwa. Keberadaan Barong dan Rangda yang ada di sebuah Pura tentu berbeda dengan Barong dan Rangda yang dipertunjukkan bagi wisatawan. Barong yang ada di Pura telah disucikan memiliki jiwa yang mampu melindungi masyarakat, roh tersebut diyakini bukan roh atau jiwa yang sembarangan dan kotor, Ia adalah jiwa yang bersih dan suci, diyakini merupakan sebuah percikan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi Beliau sebagai Dewa Siwa kemudian turun memasuki Barong Bulu Gagak yang ada di Pura Dalem Kutuh, dan manifestasi sebagai Dewi Durgā turun memasuki Rangda yang ada di Pura Dalem Kutuh. Adanya paham animisme ini menciptakan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan dan seluruh ciptaan Beliau. Menganggap semua ciptaan Tuhan memiliki jiwa, termasuk sebuah simbol suci, maka akan terbentuk suatu sikap yang luhur dalam diri manusia sehingga dapat menghormati semua ciptaan Tuhan.

Dinamisme merupakan kepercayaan primitif dimana semua benda mempunyai kekuatan yang bersifat gaib atau kesaktian (Maulana dalam Donder, 2006:145). Semua benda diyakini memiliki kekuatan alam dan bersifat gaib, oleh karena itu pemilihan kayu untuk pembuatan sebuah topeng Barong dan Rangda yang akan disucikan, menggunakan kayu yang memiliki nilai magis dan memiliki mitologi yang berhubungan dengan Ketuhanan.

Pantheisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari akar kata pan yang artinya

‘segala sesuatu’, dan akar kata theosyang berarti ‘Tuhan’. Jadi Pantheisme adalah kepercayaan yang mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan (Donder, 2006:213).Jika kita sudah meyakini semua yang ada ini adalah Tuhan, baik itu berupa batu, kursi, motor, bahkan manusia sendiri, maka kita akan memiliki rasa saling menyayangi tanpa ada dendam, saling membantu karena semua manusia adalah Tuhan, dalam artian percikan terkecil dari Tuhan. Pemikiran dengan memahami dan menerapkan Pantheisme merupakan dasar umat beragama meyakini adanya Tuhan.Jika umat beragama tidak meyakini semua yang ada adalah Tuhan, sulit untuk menjelaskan Tuhan kepadanya.Demikian juga adanya Barong Bulu Gagak beserta semua Rangda di Pura Dalem Kutuh merupakan Tuhan. Tidak dapat dibantahkan bahwa itu memang benar-benar Tuhan dalam manifestasi dan wujud berupa Barong dan Rangda, karena simbol tersebut telah melewati berbagai proses penyucian dan penghidupan agar benar-benar memiliki sifat-sifat Daiwi Sampad.

Antromorphisme adalah melekatkan sifat-sifat manusia kepada bukan manusia atau kepada alam (Donder, 2006:148). Dalam paham ini, sifat Tuhan diumpamakan atau diibaratkan seperti sifat manusia, misalnya manusia bisa tertawa, menangis, berteriak, berbicara, tua, dan sebagainya, sifat Tuhan dalam wujud Barong dan Rangda juga disamakan dengan sifat manusia. Hal ini dikarenakan simbol suci tersebut dibuat oleh manusia, maka simbol tersebut akan memiliki sifat seperti pembuatnya, yaitu manusia. Evolusi manisfestasi Tuhan yang dimaksudkan adalah bahwa Tuhan sekalipun jika ingin menjelmakan diri- Nya ke alam semesta ini harus tunduk pada aturan alam semesta. Manifestasi Tuhan hadir dengan menyesuaikan diri-Nya terhadap problem makrokosmos (Donder, 2007: 72). Pendapat ini lebih menguatkan pelekatan sifat manusia pada sebuah simbol suci, walaupun benda tersebut merupakan linggih Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai wujud tersebut kita puja, ia tetap memiliki sifat sebagaimana sifat yang dimiliki makrokosmos atau Bhuwana Agung dan mikrokosmos atau Bhuwana Alit.

Monisme adalah teori yang mengatakan bahwa hanya ada satu realitas yang fundamental (realitas itu mungkin Tuhan, jiwa, materi, atau sesuatu substansi) yang netral atau tidak diketahui oleh manusia (Maulana dalam Donder

(7)

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian

Volume 1, No. 1, Tahun 2021

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian Volume 1, No. 1, Tahun 2021

7 2006:196). Sesuai dengan pendapat tersebut, dibalik pemujaan Barong bulu gagak di Pura Dalem Kutuh ada sesuatu yang Esa yang didak dapat dijangkau oleh kemampuan manusia yang serba terbatas, yang jelas sesuatu tersebut bukan jiwa atau sifat yang jahat, ia adalah sifat yang mampu melindungi masyarakat. Jadi jiwa yang Esa tersebut adalah jiwa Dewa atau jiwa Tuhan. Brhad-Aranyaka Upanisad :III : 7.15 disebutkan:

Yah sarvesu bhūtesu tisthan sarvebhyo bhūtebyo’ntarah, yan sarvāni bhūtāni na viduh, yasya sarvāni bhūtani sariram, yah sarvāni antaro yamayati, easa ta ātmāntaryāmy amrtah.

Terjemahannya :

Dia yang bermukim di dalam semua makhluk, tetapi tidak ada satu makhlukpun yang mengetahui, semua makhluk adalah tubuhnya, yang mengendalikan semua makhluk dari dalam, dialah atman-mu, pengendali dari yang abadi (dalam Donder, 2006:207).

Sloka di atas menegaskan bahwa semua makhluk dijiwai oleh atman termasuk Barong yang disakralkan dijiwai oleh atman, namun masyarakat tidak mengetahui bagaimana bentuk dan ukuran jiwa yang menghidupinya. Masyarakat hanya mempercayai Barong bulu gagak yang ada di Pura Dalem Kutuh dijiwai oleh percikan Tuhan dengan nama Ida Ratu Gede Bagus. Selain pemahaman semua konsep di atas, agama Hindu masih memiliki dua cara pemahaman tentang Tuhan, yaitu Nirguna Brahman dan Saguna Brahman. Pengetahuan Nirguna Brahman diperuntukkan bagi yang tidak terikat dengan kesadaran fisik, sedangkan pengetahuan Saguna Brahman diperuntukkan bagi yang masih terikat dengan kesadaran fisiknya (Donder, 2006:227). Umat manusia biasa tidak akan mampu menerapkan cara Nirguna Brahman, karena sangat sulit membayangkan Tuhan yang tak terbayangkan. Saguna Brahman adalah salah satu jalan atau cara menghayati dan meyakini Tuhan dalam berbagai aspek manifestasi-Nya, baik dalam manifestasi-Nya sebagai dewa-dewa atau sebagai avatāra ‘reinkarnasi Tuhan’ (Donder. 2006:234). Jika umat manusia tidak mampu membayangkan Tuhan yang tak terbayangkan dan tak berwujud, manusia bisa mempergunakan simbol suci atau menghayati manifestasi Beliau dalam berbagai aspek. Manusia bisa menghayati aspek Tuhan sebagai Tri Murti, Dewa Hujan, Dewa Angin, Dewa Kesuburan, atau menggunakan simbol suci berupa arca, pratima, Barong dan Rangda. Apapun yang dipergunakan, tetap yang dituju adalah Tuhan Yang Maha Esa, umat menggunakan simbol tersebut karena kemampuan berpikir manusia sangat terbatas dalam membayangkan Tuhan. Adanya Barong bulu gagak di Pura Dalem Kutuh Desa Gulingan, keyakinan masyarakat terhadap adanya kekuatan dan keesaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa semakin meningkat.

Kemampuan masyarakat yang terbatas dalam membayangkan dan menggambarkan wujud Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maka masyarakat masuk dan menerapkan konsep Saguna Brahman dalam menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam konsep Saguna Brahman, masyarakat membayangkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai bentuk yang mudah ditangkap oleh daya pikirannya, namun tetap dibalik semua itu ada sesuatu yang dipahami dan dihormati sebagai sesuatu yang maha suci, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Bentuk-bentuk yang sering menjadi objek perwujudan Ida Sang Hyang Widhi Wasa antara lain tumbuh-tumbuhan, binatang suci atau keramat, orang suci, perwujudan-perwujudan suci dalam beberapa cerita, misalnya rare angon, Barong

(8)

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian

Volume 1, No. 1, Tahun 2021

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian Volume 1, No. 1, Tahun 2021

8 Landung, Barong dalam berbagai wujud, Rangda sebagai wujud Dewi Uma yang sedang marah, wujud kera, dan yang lainnya.

Dalam Bhagawad Gītā IV-11, disebutkan bahwa:

Ye yathā mām prapadyante Tāms tathaiva bhajāmy aham Mama vartmānuvartante Manuşyāh pārtha sarvaśah Terjemahannya:

Bagaimana pun (jalan) manusia mendekatiKu, aku terima, wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalan-Ku pada segala jalan (Pudja:1999:112).

Masyarakat tidak berani merubah bentuk dan ukuran dari Barong bulu gagak, walaupun keadaan burung gagak sekarang sangat langka dan sarana penganti sangat mudah didapatkan, masyarakat tetap memakai bulu burung gagak sebagai busana Beliau, hal ini disebabakan masyarakat penyungsung Pura Dalem Kutuh ingin mempertahankan warisan budaya leluhur mereka dan menjaga kesakralan sebuah simbol Barong bulu gagak yang sangat langka di Bali.

Salah satu teori psikologi yang membahas unsur budaya adalah teori Fakulti yang berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor yang tunggal tetapi terdiri atas berbagai unsur, antara lain yang dianggap memegang peranan penting adalah: fungsi cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will) (Titib, 2004:27). Faktor cipta, rasa, dan karsa juga merupakan unsur pembentuk beberapa kebudayaan. Adanya bentuk budaya berupa Barong merupakan sesuatu yang lahir karena daya cipta, rasa, dan karsa. Barong terlahir dari ciptaan kreasi seni yang menggabungkan beberapa perpaduan wujud binatang dan penambahan beberapa unsur tambahan seperti mahkota dan ukir- ukiran berwarna keemasan (Suadnyana, 2021).

Setelah Barong tersebut jadi, masyarakat memasukkan jiwa Ketuhanan dalam hasil ciptaannya tersebut agar apa yang dibuatnya memiliki jiwa dan mampu melindungi umat manusia. Terakhir manusia mencurahkan segenap karsa atau keinginan mereka agar ciptaannya menjadi produk budaya yang bermanfaat dan mampu memberikan sesuatu yang bernilai seni, karena Barong Bulu Gagak merupakan warisan budaya. Bagi orang non-Hindu, wujud Barong Bulu Gagak yang terdapat di Pura Dalem Kutuh bila diperhatikan secara sepintas mungkin dianggap tidak ada hubungannya dengan Tuhan, sebab, bagi mereka Tuhan adalah sesuatu yang tidak berwujud dan tidak boleh diwujudkan, bahkan mencoba untuk membayangkan Tuhan sebagai sesuatu yang berbentuk dianggap sebagai dosa yang sangat besar dan tidak terampuni.

Suatu kebudayaan yang ada di suatu daerah bisa eksis sepanjang zaman disebabkan karena memiliki sesuatu untuk dimaknai. Demikian juga dengan adanya Barong Bulu Gagak di Pura Dalem Kutuh memiliki makna yang tetap dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu bentuk wujud persembahan rasa bhakti masyarakat terhadap Barong bulu gagak dan semua yang melinggih di Pura Dalem Kutuh adalah penggunaan sarana upakara. Bentuk dari upakara antara lain segala persembahan baik berupa banten, segehan, caru, maupun blabaran yang dipersembahkan kepada para Dewa maupun para Bhūta, dengan mempersembahkan upakara, hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan manusia dengan alam maupun para Bhūta dapat terwujud. Setelah terwujud hubungan yang sangat harmonis, kehidupan umat di dunia menjadi tentram karena sudah saling

(9)

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian

Volume 1, No. 1, Tahun 2021

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian Volume 1, No. 1, Tahun 2021

9 menghargai. Para Bhūta juga harus diberikan persembahan berupa segehan maupun caru, karena Bhūta juga makhluk ciptaan Tuhan. Mānava DharmaŚāstraI.18 menyebutkan:

Tad āviśanti bhūtāni Mahānti saha karmabhih Manaścāvayavaih sūkşmaih Sarva Bhūta kŗdavyayam Terjemahannya:

Bhūta(unsur) dengan fungsinya, bersama dengan pikiran, yang menjadikan terciptanya makhluk-makhluk (sarva- Bhūta) bersama dengan fungsi kecenderungan, antisipasi, dan lain-lain, berasal dari Brahmā, yang berkembang dari prinsip keakuan (Pudja, 2004:6).

Penciptaan Dewa atau kekuatan yang mampu melindungi umat manusia dijelaskan dalam Mānava DharmaŚāstraI.22:

Karmātmanām ca devānām So’ srjatprāninām prabhuh Sādhyānām ca gunam sūksmam Yajñam caiva sanātanam

Terjemahannya:

Tuhan (Prabhu) menciptakan tingkat para dewa yang memiliki prāna (hidup) dan mempunyai sifat kerja (karma); demikian pula sifat badan halus dan tingkat sādhya beserta jenis yajña yang abadi (Pudja, 2004:7).

Sesuai dengan sloka diatas, setelah Barong profan diupacarai menjadi Ida Ratu Gede Bagus, Barong bulu gagak tersebut menjadi hidup dan mempunyai sifat serta karma. Setelah hidup, simbol suci berupa Barong Bulu Gagak mampu melindungi masyarakat penyungsungnya dan masyarakat desa Gulingan dari bahaya dan bencana yang mungkin akan menimpa mereka.Sebagai simbol suci yang memiliki nilai religius, Ida Ratu Gede Bagus yang ada di Pura Dalem Kutuh juga menjadi sarana pemersatu dan menjalin persaudaraan masyarakat pengiringnya. Masyarakat penyungsung Pura Dalem Kutuh mampu memposisikan Ida Ratu Gede Bagus yang ada di Pura Dalem Kutuh sebagai simbol pemersatu dalam segala aktifitas masyarakat. Konsepsi rwa bhineda yang dilekatkan pada wujud Barong dan Rangda dilihat sebagai benda suci, maka aspek magis dan religiusnya diyakini sebagai pengikat sradha Ketuhanan yang mampu memberikan kerahayuan bagi masyarakat penyungsung-Nya (Segara, 2000:6). Barong dan Rangda yang disungsung oleh umat Hindu tentu memiliki suatu kekuatan yang mampu melindungi masyarakat penyungsungnya. Adanya Barong di sebuah Pura, masyarakat merasa ada suatu kekuatan yang melindungi mereka, maka mereka akan memberikan rasa hormat dan akan memberikan suatu persembahan yang tulus atas perlindungan dari sesuhunan yang melinggih di Pura Dalem Kutuh

IV. SIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dari permasalahan yang telah dirumuskan, maka dapat ditarik suatu simpulan bahwa menurut sejarah adanya Barong Bulu Gagak di Pura Dalem Kutuh, tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan Barong tersebut ada. Mitologi pemakaian bulu gagak (gagak) sebagai busana dari Ida Ratu Gede Bagus, ketika sebelum tahun 1945 di Alas Baha banyak terdapat burung gagak yang bebas beterbangan, maka bulu gagak bisa dipergunakan

(10)

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian

Volume 1, No. 1, Tahun 2021

PRAMANA

Jurnal Hasil Penelitian Volume 1, No. 1, Tahun 2021

10 sebagai busana sebuah Barong Ket yang ada di Pura Dalem Kutuh desa Gulingan.

Definisi Theory Magi And Religi yang menyebutkan lahirnya suatu seni untuk memperoleh tenaga gaib dan keperluan lain, lebih langsung menuju kepada tujuan adanya Ida Ratu Gede Bagus di Pura Dalem Kutuh. Tenaga gaib yang dimaksudkan hadir untuk mengisi Barong dan Rangda bukan tenaga gaib.

Fungsi Barong bulu gagak di Pura Dalem Kutuh yaitu sebagai peningkatan sradha dan bhakti masyarakat, melindungi, karena masyarakat mempercayai Ida Ratu Gede Bagus yang melinggih di Pura Dalem Kutuh selalu memberikan perlindungan tidak hanya kepada masyarakat penyungsungnya, namun kepada siapa saja yang datang ke Pura Dalem Kutuh. Barong bulu gagak di Pura Dalem Kutuh keberadaannya melestarikan warisan budaya leluhur. Menggunakan sarana simbol berupa Barong dan Rangda, masyarakat telah mampu menerapkan konsep totemisme, animisme, dinamisme, pantheisme, Antromorphisme,dan monisme, dimana semua konsep tersebut merupakan cara pemahaman tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.

Adanya Barong bulu gagak di Pura Dalem Kutuh desa Gulingan, masyarakat memiliki simbol yang mengandung norma dan aturan yang mencerminkan nilai asumsi yang baik sehingga berfungsi sebagai kontrol sosial yang berpedoman pada prilaku masyarakat. Kontrol ini tidak hanya berlaku untuk sesama umat, namun juga berlaku untuk menata hubungan masyarakat dengan Tuhan Yang Maha Esa dan dengan lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA

Budhiarti, Pan Putu. 2000. Rangda Dan Barong Unsur Dua Listik Mengungkap Asal-Usul Umat Manusia. Lampung Tengah

Donder, I Ketut. 2005. Esensi Bunyi Gamelan dalam Prosesi Ritual Hindu Perspektif Filosofis-Teologis, Psikologis, Sosiologis, Dan Sains. Surabaya: Paramita Donder, I Ketut. 2006. Brahmavidya : Teologi Kasih Semesta Kritik Terhadap

Epistemologi Teologi, Klaim Kebenaran, Program Misi, Komparasi Teologi, Dan Konversi. Surabaya : Paramita

Kersten, J. SVD. 1984. Bahasa Bali. Denpasar : Nusa Indah

Pudja, Gede. 1999. Bhagawad Gita (Pancama Veda). Surabaya : Paramita

______ dan Rai Sudharta, Tjokorda. 2004. Manava Dharmasastra (Manu Dharmasastra) Atau Veda Smrti Compedium Hukum Hindu. Surabaya : Paramita

Swadiana, Jero Mangku Oka. 2008. Barong Landung Bernuansa: Magis-Religius.

Surabaya : Paramita

Tim Penyusun, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilid Kedua. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Titib, I Made. 2003. Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita

_____, dan Mardika, I Ketut. 2004. Buku Ajar Psikologi Agama. Jakarta : Dirjen Bimmas Hindu Dan Buddha Departemen Agama RI

Segara, Nyoman Yoga. 2000. Mengenal Barong Dan Rangda. Surabaya : Paramita Suadnyana, I. B. P. E. (2021). Pola Pembinaan Etika Dan Moral Remaja Hindu Di

Desa Pakraman Bakbakan, Kabupaten Gianyar. Caraka: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(1), 60-73.

Suadnyana, I. B. E. (2021). Penanaman Nilai Agama Hindu Pada Anak Usia Dini Di Tk Pelangi Dharma Nusantara. Kumarottama: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 1(1), 61-73.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Pandewanto (2019) “ Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Melalui Mata Pelajaran Ppkn Pada Siswa Madrasah Aliyah Syamsul Huda

Aktivitas sekresi ROI makrofag yang lebih tinggi pada kelompok II jika dibandingkan dengan kelompok yang lain dapat disebabkan oleh penambahan ajuvan tak sempurna Freund

Skripsi ini membahas studi tentang kegiatan ekstrakurikuler keagamaan (pengajian) dalam pengembangan wawasan keagamaan peserta didik di Madrasah Aliyah Pondok Pesantren

Perbedaan jenis dan ukuran huruf, jarak spasi antar huruf yang terlalu rapat, dan tidak adanya keseragaman identitas visual ( unity ) pada desain wayfinding sign

Langkah selanjutnya, dilakukan perhitungan simulasi monte carlo terhadap permintaan untuk kemudian output perhitungan simulasi akan dijadikan inputan untuk perhitungan

Sama seperti alat tes lain, Tes Minat dari Holland memiliki kelebihan, yaitu : (1) Arah tes ini sudah jelas dan terfokus untuk mengukur minat seseorang ; (2) Dengan alat tes ini,

Rekening-rekening dalam jurnal otorisasi anggaran di atas tidak masuk ke dalam neraca maupun laporan realisasi anggaran dan pada akhir periode akuntansi (akhir tahun)

Realitas globalisasi perlu dilihat secara lebih positif mengingat globalisasi itu sendiri merupakan cermin prestasi yang dicapai. manusia dalam bidang ilmu