• Tidak ada hasil yang ditemukan

AL-QUR A>N DAN MASYARAKAT: RESPONS ULAMA ACEH TERHADAP AL-QUR A>N AL-KARI>M DAN TERJEMAHAN BEBAS BERSAJAK DALAM BAHASA ACEH TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "AL-QUR A>N DAN MASYARAKAT: RESPONS ULAMA ACEH TERHADAP AL-QUR A>N AL-KARI>M DAN TERJEMAHAN BEBAS BERSAJAK DALAM BAHASA ACEH TESIS"

Copied!
189
0
0

Teks penuh

(1)

i

AL-QUR’A>N DAN MASYARAKAT:

RESPONS ULAMA ACEH TERHADAP AL-QUR’A>N AL-KARI>M DAN TERJEMAHAN BEBAS BERSAJAK DALAM BAHASA ACEH

TESIS

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Magister Agama (M.A) dalam Bidang Pengkajian Islam

Oleh:

Munawir Umar NIM: 21171200100103

Pembimbing:

Dr. Yusuf Rahman, MA

KONSENTRASI TAFSIR INTERDISIPLIN

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2020

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah dan segala puji kepada Allah Swt atas limpahan rahmat dan karunia-Nya dengan menilhami hikmah ilmu pengetahuan sehinga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini dengan baik. Sejak pertama kali penulis menginjakkan kaki untuk melanjutkan studi pada program Magister Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, bagitu banyak pihak yang telah membantu penulis dalam berbagai macam, baik itu bentuknya moril maupun materil.

Pertama, tentu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang terdalam kepada kedua orang tua penulis sendiri, yaitu Ayahanda Umar Usman dan Ibunda Khuzaijah. Kepada keduanya muara hikmah pengetahuan pertama kali penulis dapatkan dan menuntun penulis dengan bantuan, nasehat serta do’anya untuk menyelesaikan pendidikan ini. Kemudian tidak lupa penulis sampaikan pula kepada adik-adik saya Nurjannati, Nur’aini, Muhammad Riza, Muksalmina, dan juga Humaira sebagai penyemangat dalam rangka mendorong saya untuk segera menyelesaikan tugas ini.

Kedua, saya menyampaikan ucapan terima kasih setinggi-tingginya kepda kepada Prof. Dr. Amani Lubis, MA sebagai rektor Univeristas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh jajarannya, pimpinan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Jamhari, MA, Prof. Dr. Didin Saepudin, MA, dan Arif Zamhari, M.Ag, Ph.D. Serta kepada seluruh dosen dan staf Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberi banyak bantuan serta masukan dalam rangka penyelesaian tugas akhir ini.

Ketiga, penulis mengucapan rasa terima kasih dan penghargaan sedalam- dalamnya kepada pembimbing tesis penulis, yaitu Dr. Yusuf Rahman, MA yang telah dengan begitu telaten membimbing penulis sehingga menghasilkan sebuah karya yang layak diuji dan dikunsumsi secara ilmiah.

Keempat, ucapan terima kasih pula kepada para dosen yang telah memberikan bimbingan baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama kepada Dr. Phil. JM. Muslimin, MA, Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA, Prof.

Dr. Suwito, MA, Dr. Kusmana, MA yang telah memberi arahan dan bimbingan selama proses penyelesaian tesis ini. Selanjutnya terkhusus kepada para narasumber di mana penulis mengambil data wawancara demi terselesaikannya tesis ini, kepada Prof. Dr. Azman Ismail, MA, Prof. Drs. Yusny Saby, MA, Ph.D, Prof. Dr. Alyasa’

Abubakar, MA, Dr. Samsul Bahri, M.Ag, Dr. Hisyami Yazid, M.Ag, Dr. Fauzi Saleh, S.Ag, Lc, MA, Dr. Safir Iskandar Wijaya, MA, Abu Syeikh Hasanoel Basri HG, Teungku Muhammad Yusuf A. Wahab, Waled Nuruzzahri, dan Teungku Faisal Ali yang telah meluangkan waktunya demi penyelesaian tesis ini.

Terakhir, ucapan terima kasih kepada keluarga Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang sudah memberikan kesempatan pada saya unutk melanjutkan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, terkhusus lagi kepada keluarga besar kelurahan awardee LPDP Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mensupport saya dalam penyelesaian karya ini. Dan karya ini saya persembahkan kepada seluruh orang yang ada disekeliling dan juga kepada seluruh masyarakat Aceh. Mudah-mudahan tesis ini bisa membawa pemahaman kajian tafsir masyarkat Aceh secara lebih dalam luas.

Amin.

(3)

iii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Munawir Umar

NIM : 21171200100103

No. Kontak : 081269080838

Menyatakan bahwa tesis yang berjudul Al-Qur’an dan Masyarakat: Respons Ulama Aceh Terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh adalah hasil karya saya sendiri. Ide/gagasan orang lain yang ada dalam karya ini saya sebutkan sumber pengambilannya. Apabila diekemudian hari terdapat hasil plagiarisme maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan dan sanggup mengembalikan gelar dan ijazah yang saya peroleh sebagaimana peraturan yang berlaku.

Jakarta, 10 September 2020 Yang Menyatakan,

Munawir Umar

(4)

iv

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis yang berjudul Al-Qur’an dan Masyrakat: Respon Ulama Aceh Terhadap Al- Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. NIM 21171200100103 telah melalui pembimbingan, work in progress, dan ujian pendahuluan sebagaimana ditetapkan oleh Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta sehingga layak diajukan untuk Ujian Tesis.

Jakarta, 10 September 2020 Pembimbing

Dr. Yusuf Rahman, MA

(5)

v

LEMBARAN PERBAIKAN

Tesis yang berjudul: Al-Qur’an dan Masyarakat: Respons Ulama Aceh Terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, oleh Munawir Umar, NIM: 21171200100103 telah dinyatakan lulus ujian pendahuluan yang diselengarakan pada hari/tanggal Jum’at/21 Februari 2020.

Tesis ini telah diperbaiki sesuai dengan saran dan masukan dewan penguji, sehingga disetujui layak untuk diajukan ke tahap ujian promosi tesis.

Jakarta, 02 Maret 2020 Tim Penguji:

No Nama Tanda Tangan Tanggal

1 Dr. Hamka Hasan, Lc, MA 2 Dr. Yusuf Rahman, MA 3 Arif Jamhari, M.Ag, Ph.D

(6)

vi

PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Munawir Umar

NIM : 21171200100103

Judul Tesis : Al-Qur’an dan Masyarakat: Respons Ulama Aceh Terhadap Al- Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Besajak dalam Bahasa Aceh

Menyatakan bahwa Draft Tesis telah diverifikasi oleh ketua Program Studi Doktor Bapak Prof. Dr. Didin Saepuddin, MA. Dan draft Tesis ini telah diperbaiki sesuai dengan saran verifikasi.

Demikian surat pernyataan ini dibuat agar dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menempuh ujian promosi Tesis..

Jakarta, 02 Maret 2020 Yang membuat pernyataan,

Munawir Umar

(7)

vii ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon ulama Aceh terhadap karya Mahjiddin Jusuf yang berjudul Al-Qur’an dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. Dalam hal ini berfokus pada wawasan sekaligus jejak pendapat para ulama Aceh yang dihasilkan dari wawancara dengan mereka dengan klasifikasi kritis ideologis, kritis epistemologis dan kritis akomodatif. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui metodologi yang digunakan oleh Majiddin Yusuf dan latar belakang penulisan Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh tersebut. Kemudian Mengetahui secara spesifik kelayakan karya tersebut diberikan nama sebagai terjemah ataukah tafsir.

Sedangkan metodologi yang digunakan dari aspek jenis penelitian adalah menggunakan penelitian dengan jenis lapangan (field research) bersifat kualitatif deskriptif-analitis untuk mendeskripsikan respon Ulama Aceh terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan antropologis, hermeneutik, dan pendekatan sastra.

Penelitian terdahulu adalah tesis yang berjudul “Puitisasi Terjemahan Al- Qur’an: Studi Analisis Terjemah Al-Qur’an Bersajak Bahasa Aceh” oleh Bilmauidhah. Ia hanya menggambarkan selayang pandang diskusi para ulama terakit karya Mahjiddin dan memberikan apresiasi terhadap karya tersebut.

Sedangkan penelitian ini mengaku lebih kritis dengan melihat respon para ulama.

Hasil analisis penulis menyimpulkan terkait pro dan kontra di kalangan pakar tafsir di Aceh bahwa sebagian ulama yang mengidentifikasi bahwa pendekatan budaya pada karya tersebut hendaklah ditinjau ulang, sebab itu akan mendistorsi kandungan makna Al-Qur’an dengan kosa kata yang telah dipilih untuk digunakan. Sementara beberapa ulama lain seperti Teungku Faisal Ali dan Profesor Azman Ismail mengatakan bahwa hal itu tidaklah mengapa, sebab sejatinya yang terpenting adalah masyarakat bisa memahami Al-Qur’an secara substansial yang dikandungnya.

Di samping itu juga ada yang menyebutnya sebagai terjemahan dan ada pula yang menyebutnya sebagai tafsir dengan metode ijma>li> dan corak (laun) lugha>wi>. Dan bahkan bisa diasumsikan karya ini menjadi menjadi corak adab ijtima>’i> dan berbasiskan tafsir bi al-ra’yi. Sementara penulis sendiri berpendapat bahwa karya itu adalah sebuah karya tafsir dengan menggunakan metode dan corak sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Kata Kunci: Terjemah Al-Qur’an, respon ulama, bersajak Aceh.

(8)

viii ABSTACT

This study aims to determine the response of Acehnese ulama to the work of Mahjiddin Jusuf entitled Al-Qur’an Al-Karim and Free Poetic Translation in Achenhness Language. In this case, it focuses on the insights as well as the impressions of the opinions of Acehnese scholars resulting from interviews with them with ideologically critical, epistemological and critical accommodative classifications. This study also aims to find out the methodology used by Majiddin Yusuf and the background of writing the Al-Qur’an Al-Karim and Free Poetic Translation in Achenhness Language. Then Knowing specifically the feasibility of the work is given a name as a translation or interpretation.

While the methodology used from the aspect of this type of research is to use research with a type of field (qualitative research) that is descriptive-analytical in nature to describe the response of the Acehnese Ulama to Al-Qur’an al-Karim and Rhyming Free Translation in Acehnese Language. The approach used is the anthropological approach, hermeneutics, and the literary approach.

Previous research was a thesis entitled “Puitisation of Qur’anic Translation:

Analitical Study of Qur’anic Translation in Achehness Language” by Bilmauidhah.

She only described a brief overview of the discussions of scholars assembled by Mahjiddin and gave appreciation for the work. While this study claimed to be more critical by looking at the responses of the scholars.

The results of the author's analysis conclude the pros and cons of commentators in Aceh. a scholar who identifies that the cultural approach to the work should be reviewed, because it will distort the content of the meaning of the Qur’an with the vocabulary that has been chosen for use. While some other scholars such as Faisal Ali and Azman Ismail said that this was not the case, because in fact the most important thing was that the public could understand the Koran substantially contained.

In addition, there are also those who call it translation and some call it interpretation by the method of ijma> li> and style (laun) lugha> wi>. And it can even be assumed that this work becomes an ijtima> ’i> style and is based on the tafsir bi al- ra’yi. While the authors themselves argue that the work is a work of interpretation using the methods and patterns as mentioned earlier.

Keywords: Translation of the Qur’an, ulama response, Aceh rhyme.

(9)

ix

صخلم

يدتح لىإ ةساردلا هذه فدته شتآ ةذتاسأ ةباجتسا د

يهي مح لمعل ين لا ي

د ني فسوي

يمركلا نآرقلا ناونعب جمرتو

ة لحا ةر راكفلأا ىلع زكري هنإف ، ةلالحا هذه في .هيشتآ في ةغللا نم

كلذكو انلا هيشتأ ءاملع ءارآ تاعابطنا

ةتج تافينصت عم مهعم تلاباقلما نع ةيجولويديإ

دقنو ةيفرعمو ةيدقن بيايجلإا

م لىإ اًضيأ ةساردلا هذه فدته . ةفرع

مح اهمدختسا تيلا ةيجهنلما ي

لا نآرقلا ةباتك ةيفلخو فسوي نيدلا لحا ةجمترلاو يمرك

ةر .هيشتآ ةيفاقل فرعم ثم

ة ةمئلام ا رابتع

يرسفت وأ ةجمرت ب هنوك فنصلما اذه .

ثحبلا اذه في مدختسلما جهنلماو ثحبلا( لالمجا نم عون عم ثحبلا مادختسا ي ه

ةجمرتو يمركلا نآرقلل هيشتأ ءايلوأ ةباجتسا فصول ةعيبطلا في ةيليلتح ةيفصو وه يذلا )ي عونلا شتآ ةغل في ةرلحا جنييمر يهي

جهنلا .ين ليوأتلا ،ي جولوبورثنلأا جهنلا وه مدختسلما

جهنلاو ،

بيدلأا . ونعب ةحورطأ نع ةرابع ناك قباس ثبح ةجمترل ةيليلتح ةسارد :نآرقلا رعش ةجمرت" نا

ءاملعلا تاشقانم نع ةزجوم ةلمح طقف فصوو .هضياملب جرخملل "هيشتآ ةغلب يمركلا نآرقلا نم ةيهمأ رثكأ انهأ ةساردلا هذه تمعز امنيب .لمعلل ريدقتلا مدقو نيدلا ي مح اهعجم تيلا ءاملعلا دودر في رظنلا للاخ .

تخ فلؤلما ليلتح جئاتن دديح يذلا ثحابلا .هيشتا في ينقلعلما تايبلسو تايبايجإ متت

تادرفلما عم نآرقلا نىعم ىوتمح هوشيس هنلأ ، هتعجارم متي نأ بيج لمعلل فياقثلا جهنلا نأ لياع لاصيف اوكنت لثم نيرخلآا ءاملعلا ضعب لاق امنيب .مادختسلال اهرايتخا تم تيلا ذاتسلأاو

ليعاسمإ نامزع روتكدلا نإ

نأ وه ةقيقلحا في ةيهمأ رثكلأا رملأا نلأ ، كلذك نكي لم اذه

يربك لكشب يمركلا نآرقلا مهفي نأ نكيم روهملجا .

اهيمسي مهضعبو ةجمترلا اهيلع نوقلطي نيذلا كئلوأ اًضيأ كانه ،كلذ لىإ ةفاضلإاب

.ي عامتجلإا بدلأا نولو لياجملإا ةقيرطب يرسفتلا لمعلا اذه نأ ضاترفا تىح نكيمو

حبصي

اًبولسأ يأرلاب يرسفت ىلع دمتعيو يرسفت لمع نع ةرابع لمعلا نأب نوفلؤلما لدايج امنيب

اًقباس انركذ امك طانملأاو بيلاسلأا مادختساب .

هيشتأ ةيفاق ، ءاملعلا ةباجتسا ، نآرقلا ةجمرت :ةيحاتفلما تاملكلا

.

(10)

x

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan tesis ini berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987.

A. Konsonan Tunggal

Huruf Arab

Nama Huruf Latin Keterangan

ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ـه ء ي

Alif Bā’

Tā’

Ṡā’

Jīm Ḥā’

Khā’

Dāl Żāl Rā’

zai sīn syīn

ṣād ḍād ṭā’

ẓȧ’

‘ain gain fā’

qāf kāf lām mīm nūn wāw

hā’

hamzah yā’

Tidak dilambangkan b

t ṡ j ḥ kh

d ż r z s sy

ṣ ḍ ṭ ẓ

‘ g f q k l m

n w h

` Y

Tidak dilambangkan be

te

es (dengan titik di atas) je

ha (dengan titik di bawah) ka dan ha

de

zet (dengan titik di atas) er

zet es es dan ye

es (dengan titik di bawah) de (dengan titik di bawah) te (dengan titik di bawah) zet (dengan titik di bawah)

koma terbalik di atas ge

ef qi ka el em

en w ha apostrof

Ye

(11)

xi

B. Konsonan Rangkap karena Syaddah Ditulis Rangkap ةدّدعتـم

ةّدع

Ditulis Ditulis

Muta‘addidah

‘iddah C. Tā’ marbūṭah

Semua tā’ marbūtah ditulis dengan h, baik berada pada akhir kata tunggal ataupun berada di tengah penggabungan kata (kata yang diikuti oleh kata sandang “al”). Ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah terserap dalam bahasa indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya kecuali dikehendaki kata aslinya.

ةم كح ةـّلع ءايلولأاةمارك

Ditulis ditulis ditulis

ḥikmah

‘illah karāmah al-auliyā’

D. Vokal Pendek dan Penerapannya ---- َ---

---- َ--- ---- َ---

Fatḥah Kasrah Ḍammah

ditulis ditulis ditulis

A i u ل عف

رك ذ بهذ ي

Fatḥah Kasrah Ḍammah

ditulis ditulis ditulis

fa‘ala żukira yażhabu E. Vokal Panjang

1. fathah + alif ةّيـلهاج 2. fathah + ya’ mati

ىسنـ ت 3. Kasrah + ya’ mati

مـيرك

4. Dammah + wawu mati ضورف

ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis

ā jāhiliyyah

ā tansā

ī karīm

ū furūḍ F. Vokal Rangkap

1. fathah + ya’ mati مكنيـب 2. fathah + wawu mati

لوق

ditulis ditulis ditulis ditulis

ai bainakum

au qaul G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan dengan

Apostrof متـنأأ تّدع ُ ا مـتركشنئل

Ditulis ditulis ditulis

A’antum U‘iddat La’in syakartum H. Kata Sandang Alif + Lam

(12)

xii

1. Bila diikuti huruf Qamariyyah maka ditulis dengan menggunakan huruf awal “al”

نأرقلا سايقلا

ditulis ditulis

Al-Qur’ān Al-Qiyās

2. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis sesuai dengan huruf pertama Syamsiyyah tersebut

ءامّسلا

سمّشلا ditulis

ditulis

As-Samā’

Asy-Syams I. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat

Ditulis menurut penulisannya ضورفلاىوذ

ةّنـّسلا لهأ

ditulis ditulis

Żawi al-furūḍ Ahl as-sunnah

(13)

xiii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iv

PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUANError! Bookmark not defined. PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI ... vi

ABSTRAK ... vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ... x

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan ... 13

1. Identifikasi Masalah ... 13

2. Rumusan Masalah ... 14

3. Pembatasan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ... 15

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ... 16

F. Metode Penelitian ... 19

1. Jenis Penelitian ... 19

2. Sumber Data ... 21

3 . Subjek Penelitian ... 22

4. Teknik Pengumpulan Data ... 24

5. Teknik Analisis Data ... 24

G. Sistematika penulisan ... 25

BAB II : DISKURSUS TERJEMAH DAN SAJAK DALAM AL-QUR’AN ... 23

A. Terjemah : Akar dan Polemik ... 24

1. Konsepsi Terjemah ... 24

2. Embriologi Terjemah ... 29

3. Hukum Menerjemahkan ... 31

B. Al-Qur’an dan Kajian Sastra ... 34

C. Sajak Al-Qur’an: Dimensi Puitis dalam Al-Qur’an ... 41

1. Fenomena Sajak Al-Qur’an ... 41

2. Aspek Linguistika dan Stilistika Al-Qur’an ... 52

BAB III : ACEH DAN KAJIAN AL-QUR’AN ... 56

A. Dinamika Kajian Al-Qur’an di Aceh ... 57

B. Aceh dan Kesusasteraan... 65

C. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bersajak ... 74

1. Biografi Penulis ... 74

2. Biografi dan Karakterisitik Al-Qur’an dan Terjemahan Bersajak Aceh . 79 BAB IV : TERJEMAH PUITIS BAHASA ACEH DAN RESPON ULAMA ... 86

(14)

xiv

A. Tipologi dan Peran Ulama ... 87

B. Puitisasi Terjemah Al-Qur’an ... 96

1. Wacana Puitisasi Terjamah Al-Qur’an ... 96

2. Kontroversi Puitisasi Al-Qur’an ... 102

C. Analisis Respon Ulama Aceh Terhadap Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh ... 108

1. Persamaan Bunyi dan Irama ... 108

2. Tafsir dan Perluasan Makna ... 116

3. Pendekatan Sosial dan Budaya ... 123

4. Ayat Antropomorfisme (Mutasya>biha>t) ... 130

5. Fawa>tih} al-Suwar (Ayat Munqata’ah) ... 133

6. Qasam Al-Qur’an (Sumpah Al-Qur’an) ... 136

BAB V: PENUTUP ...Error! Bookmark not defined. A. Kesimpulan ...Error! Bookmark not defined. B. Rekomendasi ...Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA ... 144

GLOSARIUM ... 159

INDEKS ... 164

LAMPIRAN ... 169

BIOGRAFI PENULIS ... 173

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Bagi umat Islam, Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang pengarangnya ialah Allah Swt sendiri dan memiliki otoritas atasnya yang tidak dapat diganggu gugat dari segi otentisitasnya. Para Nabi terdahulu telah menyampaikan risalah kitab-kitab suci mereka yang juga datang dari Allah Swt, seperti kitab Taurat, Zabur, dan Injil.

Namun kitab tersebut telah disalahgunakan dan mempalsukannya sehingga pada akhina Allah mengutus Nabi Muhammad Saw untuk menyampaikan risalah Al- Qur’an sebagai kitab sekaligus menjadi akhir zaman dengan jaminan bahwa Al- Qur’an tidak akan pernah rusak dan akan terjaga selamanya.1 Karena itu pula, Al- Qur’an telah menjadi sebuah kitab wahyu yang terkandung di dalamnya segala esensi wahyu-wahyu yang pernah diturunkan kepada para Nabi terdahulu. Semua ajaran secara esensial, dalam berbagai aspek, diungkapkan kepadanya dalam Al- Qur’an.

Allah menurunkan Al-Qur’an dalam Bahasa Arab, sebuah bahasa yang memiliki keistimewaan tersendiri. Keistimewaan ini selain karena sebagai penampil pesan-pesan Ilahi, ia juga memiliki sifat-sifat istimewa yang tak dimiliki oleh bahasa-bahasa lain di dunia. Memperkuat pernyataan tersebut, Mahmu>d Rawwa>s Qal’ahji>,2 mengatakan bahwa bahasa ini (Arab) memiliki balaghah yang sangat tinggi yang berasal dari Kabilah Quraisy dalam ungkapan memiliki kecermatan dan menunjukkan kepada makna tertentu, mudah diucapkan, memiliki ragam makna yang tidak dimiliki oleh bahasa yang lain pada suku dan kabilah lain. Al-Qur’an mengandung nilai tah>addi>3 (tantangan) bagi orang yang ini menentang kesakralannya. Tantangan tersebut secara bervariasi memberi tantangan kembali kepada mereka yang ingkar terhadapnya. Karena itu, Syihi>n memberikan sebuah

1 Jacques Jomier, Horizon Al-Qur’an: Membahas Tema-tema Unggulan dalam Al- Qur’an, Terj. Hasan Basri, Cet. I, (Jakarta: Bale Kajian Tafsir Al-Qur’an Pase, 2002), 7-8.

2 Mahmu>d Rawwa>s Qal’ahji>, Lugha>t Al-Qur’a>n, Lugha>t al-‘Arab al-Mukhta>rah, (Beirut: Da>r al-Nafa>is, 1988), 49.

3 Ada empat tantang yang dituju Al-Qur’an bagi mereka yang meragukan bahkan mengingkarinya sebagai petunjuk yang datang dari Allah Swt. sebagai berikut: Pertama, Allah menantang untuk membuat Al-Qur’an secara keseluruhan: ( َْينحقحداَص ْمُتْنُك ْنحإ حهحلْثحم ٍثْيحدَحبح اْوُ تْأَيْلَ ف (

“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar.” (QS. al-T{u>r: 34). Kedua, Menantang untuk menyusun sepuluh surah semacam Al-Qur’an: ( حهحلْثحم ٍرَوُس حرْشَعحب اوُتْأَف ْلُق ) “Katakanlah: “(kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya,…” (QS. Hu>d: 13).

Ketiga, Allah menantang dengan mendatangkan satu surah saja: ( حهحلْثحم ٍةَرْوُسحب اْوُ تْاَف ْلُق ) Katakanlah:

“(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya…” (QS. Yu>nus: 38). Keempat: Menantang dengan serupa dengan mendatangkan para ahli dari mereka. Lihat terperinci, Ahmad Must}afa> Al-Mara>ghi>, Terjemah Tafsi>r al-Mara>ghi> Jilid 16, Cet: ke-2, Terj Tafsi>r Al-Mara>ghi>, Bahrun Abu Bakar dkk, (Semarang: Toha Putra, 1992), 97-99. Lihat juga, Abdullah M. Al-Rehaili, Bukti Kebenaran Al-Qur’an, Terj, Purna Safiah Istianati, (Yogyakarta: Tajidu Press, 2003), 71.

(16)

2

argumentasi, bahwa bahasa ini –Al-Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab- memiliki fleksibilitas suara yang tinggi baik dari segi irama, lambing, kesesuaian antara suara serta kesesuaian dari pola makna yang ditunjukkan oleh satu kosa kata meskipun telah melewati kurun waktu yang lama.4

Meskipun bahasa Al-Qur’an memiliki sastra dan balaghah yang tinggi, namun keistimewaan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipahami oleh masyarakat non-Arab dalam arti bahwa ia membutuhkan kepada alih bahasa dan terjemahan. Di sisi lain kandungan makna bahasa Al-Qur’an juga tidak seluruhnya dapat diterjemahkan dalam bahasa selain Arab. Dengan kata lain, terjemahan tidak sepenuhnya mewakili maksud yang terkandung dalam Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Muchlis M. Hanafi, bahwa seorang penerjemah memiliki posisi yang sangat urgen dan stategis meskipun sulit. Ia dituntut untuk menguasai dua bahasa sekaligus, bahkan dituntut pula mengusai latarbelakang budaya masing-masing bahasa yang hendak diterjemahkan. Sebab, ini sangat terkait dengan otentisitas makna teks yang hendak diterjemahkan. Bahkan seorang penerjemah sangat terikat pula dengan sebuah teks sehingga menuntutnya untuk menjaga amanah secara konsisten dalam penyampaian maksud teks kepada para pembaca. Hanafi melanjutkan, bahwa posisi seorang penerjemah terkadang harus melakukan sebuah penghianatan terhadap salah satu bahasa –bahasa sasaran terjemah atau bahasa yang sedang diterjemahkan-. Pada satu sisi ia sangat dituntut untuk memelihara kejujuran. Sedang di sisi lain ia dituntut untuk menampakkan keindahan bahasa yang hendak ia terjemahkan agar apa yang ia terjemahkan terasa indah bagi mereka yang membacanya. Maka karena itu persoalan menerjemahkan sebuah teks adalah satu hal yang tidak mudah dan sangat pelik untuk dilakukan.5

Pernyataan Hanafi di atas diperkuat oleh Larson yang mendefinisikan terjemahan dengan penggunaan struktul gramatikal dan leksikon yang sesuai dalam bahasa dan konteks budayanya untuk mengungkapkan kembali makna yang dimaksud oleh bahasa tersebut.6 Definisi tersebut memberi gambaran bahwa sebuah bahsa yang hendak diterjemahkan sangat erat kaitannya dengan bahasa sasaran dengan pertimbangan kontek budaya setempat. Tesis Hanafi memunculkan sebuah pertanyaan baru untuk menguji keabsahan. Mungkinkah dalam satu bahasa ditemukan kesatuan makna dari dua ungkapan (vocabularies) yang berbeda? Al- Ja>hiz menerangkan, terjemahan tidaklah menjadi representatif dan gambaran dari sebuah ucapan maupun keterwakilan dari sebuah teks. Hal tersebut bisa dilihat dari sudut kekhasan makna, pesan tersirat serta arah pembicaraan.7 Demikian halnya al- Sairafi sebagai mana dikutip oleh Abu> Hayya>n mengatakan, “Ketahuilah, aspek bahasa berupa sifat, susunan, kosa kata, kata kerja serta bentunya tidak bisa

4 Taufiq Muhammad Sya>hi>n, ‘Awa>mil Tanmiyah al-Lughat al-‘Arabiyah, (al- Qa>hirah: Maktabah Wahbah, 1993), 5. Lihat juga Jacques Jomier, Horizon Al-Qur’an:

Membahas Tema-tema Unggulan dalam Al-Qur’an, Terj. Hasan Basri, Cet. I, (Jakarta: Bale Kajian Tafsir Al-Qur’an Pase, 2002), 133.

5 Muchlis M. Hanafi, “Problematika Terjemahan Al-Qur’an Studi pada Beberapa Penerbitan Al-Qur’an dan Kasus Kontemporer”, Jurnal Suhuf, Vol. 4, No. 2, 2011, 169.

6 Mildred L. Larson, Meaning Based Translation: A Guide to Cross-Language Aquivalance, (Lanham & London: University Press of Amerika, 1984), 3.

7 Amr Ibn Bah}r al-Ja>hiz, al-H{ayawa>n, (Beirut: Maktab al-Jahiz, t.t), 75-76.

(17)

3

disamakan antara satu bahasa dengan bahasa yang lain. Inilah salah satu problem utama yang dialami oleh seorang penerjemah.8

Dalam kajian ilmu tafsir, ada dua metode populer yang digunakan untuk menerjemahkan Al-Qur’an, 1. dan 2. Tarjamah tafsi>riyah (non-literal konteks).9 Bahkan menurut Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n ditambah dengan Tarjamah maknawiyah.10 Oleh sebab itu muncullah sebuah anggapan bahwa terjemahan adalah sebuah hal krusial yang harus dipertimbangkan dari segala sudut.

Pertimbangan tersebut tidak saja menjadi bias pada sisi teologis, tetapi juga akan mengintervensi Al-Qur’an sebagai mukjizat sepanjang masa. Sebagaian ulama tradisional pun berpendirian bahwa Al-Qur’an tidak bisa diterjemahkan sama sekali (untranslateable) dengan argument penolakan terhadap penerjemahan Al-Qur’an dengan segala konsekuensinya.

Pada awal periode perkembangan dakwah Islam, telah ada pula wacana penerjemahan Al-Qur’an. Hal tersebut bisa dilihat dari dialog menarik antara pendapat Abu> Hani>fah dan Asy-Sya>fi’i>. Abu> Hani>fah misalnya pernah mengeluarkan fatwa mengenai bolehnya menerjemahkan Al-Qur’an dengan alasan bahwa terjemahan bukanlah Al-Qur’an. Di sisi lain, Asy-Sya>fi’i> berpendapat bahwa, tidaklah mungkin Al-Qur’an dapat disetarakan dengan bahasa lain. Maksudnya, bahwa bahasa asing selain Arab tidak dapat memenuhi kriteria apa yang dimaksud oleh Bahasa Arab, apalagi memenuhi makna yang dikandung Al-Qur’an. Ibnu Qutaibah lebih menegaskan lagi pendapat Asy-Sya>fi’i>, menurutnya orang ‘ajam (asing) akan memahami nilai kandungan Al-Qura’n jika diterangkan makna yang dikandung Al-Qur’an dengan bahasa mereka dengan asumsi bahwa bahwa tersebut bukan salinan arti dari perkata dalam Al-Qur’an atau lazim disebut dengan terjemahan perkata (tarjamah harfiyah) ke dalam bahasa yang kedua.11

Uniknya, penolakan secara metodologis tersebut, pada perkembangan berikutnya, berkembang menjadi fatwa haram. Artinya, penggunaan metode literal dalam menerjemahkan Al-Qur’an tidak hanya dinilai lemah secara metodologis, melainkan juga berkonsekuensi dosa bagi pelakunya, terutama yang tidak memiliki ragam kualifikasi keilmuan yang relevan. Lebih dari itu, penerjemahan Al-Qur’an

8 Ibrahi>m Anis, Dala>la>h al-Alfa>z{, (Mesir: Maktabah Anglo, 1976), 80-81

9 Para ulama ahli tafsir rata-rata menolak metode yang pertama serta menerima metode yang kedua. Penolakan terhadap metode yang pertama pada umumnya berpijak kepada alasan linguistik bahwa penerjemahan suatu teks ke dalam bahasa lain selalu sarat dengan ragam kesulitan. Antara satu bahasa dengan bahasa yang lain, terdapat ragam perbedaan yang begitu mendasar, sehingga menerapkan metode literal akan banyak terbentur dengan ketiadaan padanan kata, kalimat, ataupun idiom tertentu. Pada titik ini, metode literal berpotensi besar untuk mereduksi atau bahkan menghilangkan maksud dan pesan penulis teks, sehingga secara metodologis tidak tepat untuk dipakai sebagai metode penerjemahan teks seagung Al-Qur’an. Lihat. Ziauddin Sardar, 2011. Reading the Qur’an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam. Cet. I, (New York: Oxford University Press, 2011), 40.

10 Manna>’ Khali>l al-Qat{t{a>n, Maba>his\ fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, Terj. Aunur Rafiq El- Mazni, Cet. XXII, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), 396.

11 Lihat, Egi Sukma Baihaki, “Orientalisme dan Penerjemahan Al-Qur’an”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 16, No. 1, 06

(18)

4

dengan metode literal juga dinilai bisa berdampak serius secara teologis. Metode tersebut tidak saja mengaburkan eksistensi Al-Qur’an dan terjemahannya.12

Penerjemahan Al-Qur’an dalam bahasa asing pada masa selanjutnya juga terhambat oleh fatwa para ulama13 yang secara tegas menolak bahkan mengharamkan gagasan tersebut. Di Mesir para ulama yang menolak gagasan tersebut seperti Muhammad Ahmadi Z}awa>hir14 (Mantan Rektor al-Azhar dan Grand Syaikh Universitas al-Azhar tahun 1929-1935) dengan mengirimkan surat kepada Ali> Ma>hir Pasya (Mantan Perdana Menteri Mesir) dan Syaikh Abba>s Jama>l (Wakil Pembela Syariat). Hal serupa juga dilakukan oleh Syaikh Muhammad Sulaima>n yang menjabat Wakil Ketua Mahkamah Agung Mesir ketika itu sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap penerjemahan Al-Qur’an.15

Namun Hadi Makrifat dalam bukunya memberikan bantahan terhadap argumen terebut dengan menampilkan beberapa dalil Al-Qur’an tentang urgensi terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa dunia. Dalil yang ia utarakan adalah QS. al- Baqarah: 159 QS. A<li Imra>n : 138; QS. al-An’a>m: 19; QS. al-Nahl: 44; dan QS. al- Furqa>n: 1.16 Pendapat Hadi tersebut berlandaskan pada fatwa yang dikeluarkan oleh

12 Menurut al-Zarqani>, setidaknya ada lima hal dasar yang menjadi pembeda antara tafsir dan terjemah. 1). Terjemah harus mampu mengakomodir makna kalimat yang dimaksud, sedangkan tafsir adalah berupa penjelasan kalimat berdasarakan pada pemikiran penafsir; 2). Terjemah hanya bertugas menguraikan dasar kata, sinonim, antonim dan lainya yang ia hanya bersifat bebas (independent) dari kaidah asal; 3). Tidak boleh adanya missing kalimat dalam penerjemahan, sedangkan dalam penafsiran boleh dan dimungkin untuk melakukan missing kalimat, asalkan tujuan dan maksud kalimat tersampaikan berdasarkan pada sudut pandang penafsir; 5). Terjemah harus memenuhi makna asli, sedangkan tafsir tidak saja berpatron pada makna tersebut, namun harus diberikan penjelasan secara luas berdasarkan teks; 5). Terjemah memilki makna yang original (asli) yang sesuai dengan teks (apa adanya), berbeda dengan tafsir yang membuka seluruh makna yang tidak saja dikandung oleh teks namun dijelaskan secara kontekstual. Lihat. Muhammad Abd al-Azhīm Al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm Al-Qur’a>n. Juz II. Cet. I, (Beirut: Dār al-Kitāb al-

‘Arabī, 1995), 94- 95.

13 Penerjemahan Al-Qur’an pernah diterjemahkan dalam bahasa Barbar pada masa Dinasti Muwahidun di Spanyol (1142-1289 M), namun mereka memerintahkan unutk menghanncurkanya. Namun hal tersebut pada masa berikutnya para ulama mengeluarkan fatwa tentang kebolehan menerjemahkannya dengan melahirkan banyak terjemahan Al- Qur’an yang sangat banyak seperti dalam bahasa parsi yang diterjemahkan oleh Syaikh Sa’a>di Asy-Syirazi (1313 M) dan terjemahan dalam bahasa Turki oleh Syaikh Waliyulla>h Dahlawi. Lihat, Abu Bakar Aceh, Sejarah Al-Qur’an (Solo: Ramadhani, 1986), 40.

14 Muhammad Ahmadi al-Z}awa>hiri> menjadi Grand Syeikh al-Azhar setelah Must{a>fa> al-Mara>ghi>. Setelah itu, Must}a>fa> al-Mara>ghi> kembali menjabat sebagai Grand Syeikh.

15 Muhammad Must}afa> Syat}ir Mis}ri>, al-Qaul as-Sadi>d fi> Hukmi Tarjuma>ti al- Qur’a>n al-Maji>d, (T.t: Da>r al-Fikr, 1370 H/1951 M), 17-18. Lihat juga, M. Hadi Makrifat, Sejarah Al-Qur’an, terj. dari bahasa Arab oleh Thoha Musawa, (Jakarta: Al-Huda, 2007), 278-288.

16 Lihat, M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an, terj. dari bahasa Arab oleh Thoha Musawa (Jakarta: Al-Huda, 2007), 278-288. Terkait dengan penjelasan lebih rinci tentang hukum penerjemahan Al-Qur’an, Lihat, Jala>l al-Di>n Ibn al-T{a>hir al-Alu>si>, Ahka>m Tarjamah

(19)

5

Mustafa> al-Mara>ghi> yang membantah fatwa yang sebelumnya dengan konsekuensi bahwa menerjemahkan Al-Qur’an hukumnya adalah boleh. Beliau menulis dalam karyanya secara tegas sebagai berikut: “keliru jika ingin menilai bahwa Al-Qur’an tidak dapat diterjemahkan secara keseluruhan dengan alasan kemukjizatan yang dimilikinya.” Lebih tegas lagi, beliau menulis dalam karyanya sebagai berikut:

نإ قلحا لب ،ئطاخ ءاعدإ ،زجعم هنلأ هتجمرت نكيم لا هلك يمركلا نآرقلا نأب ءاعدلإا ةيحان نم ةجمرت ليحتسيو ،ةيلصلأا تلالادلا ةيحان نم هتجمرت نكيم هنإ :لاقي نأ لا اهضعبو ،ةيفرح ةجمرت مجترت نأ نكيم نآرقلا تايآ ضعب نإ ،ةعباتلا تلالادلا ةيفرح ةجمرت مجتري نأ نكيم .

17

Sesungguhnya Al-Qur’an tidak mungkin dapat diterjemahkan secara keseluruhan adalah pendapat yang keliru. Yang benar ialah bahwa ia (Al-Qur’an) memungkinkan diterjemahkan dari sudut makna primer, dan tidak mungkin diterjemahkan dalam makna sekunder. Memungkinkan sebagian ayat Al-Qur’an diterjemahkan secara harfiah, sedangkan sebagian yang lain tidak mungkin untuk diterjemahkan secara harfiyah.

Selain Must{afa> al-Mara>ghi>, fatwa bolehnya menerjemahkan Al-Qur’an juga dikeluarkan oleh Muhammad Husain Ka>syiful Ghita> dalam menjawab permohonan oleh Abdurrahi>m Muhammad Ali> untuk diumumkan di Najaf Asyraf.18 Demikian pula Ayatulla>h Khu>’i> (w. 1992) dalam kitabnya al-Baya>n menyebutkan, bahwa menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa selain Arab adalah salah satu pekerjaan mulia sebagai bentuk manifestasi dakwah tersebar diseluruh penjuru dunia. Namun penerjemahan tersebut perlu diperhatikan syarat dan ketantuan serta keilmuwan yang mumpuni baik ilmu bahasa, ilmu-ilmu Al-Qur’an dengan segala jenisnya dan lain sebagainya.19

Namun ironisnya ditengah berkembangnya pendapat para ulama tersebut, jauh sebelumnya orang-orang Barat dan Eropa justru telah menerjemahkan Al-

Al-Qur’a>n al-Kari>m, (Beiru>t: Da>r Ibn Hazm, 1429 H/2008 M), 17-34. Lihat juga, Muhammad ‘Abd al-‘Adzi>m al-Zarqani>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> Ulu>m Al-Qur’a>n, 105- 125.

17 Muhammad Must}afa> al-Mara>ghi>, Bahs\ fi> Tarjama>t Al-Qur’a>n al-Kari>m wa Ahka>muha>, (Kairo: Majalah Al-Azhar, 1423 H), 35. Lihat juga, Muchlis M. Hanafi,

“Problematika Terjemahan Al-Qur’an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-Qur’an dan Kasus Kontemporer”, Jurnal Suhuf, Vol. 4, No. 2, 2011, 178.

18 Syamsuddi>n Sarkhasi>, al-Mabs}u>t}, Juz I, (Beiru>t: Da>r al-Ma’rifah, 1989 M/1409 H), 37. Lihat juga, M. Ha>di Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an, terj. dari bahasa Arab oleh Thoha Musawa (Jakarta: Al-Huda, 2007), 279.

19 Muhammad Fari>d Wujdi>, al-Adillah al-Ilmiah ‘ala> Jawa>zi Tarjamati Al-Qur’a>n ila> al-Lugha>ti al-Ajnabiyah, (Kairo: Da>r al-Muqtabis, 1936 M), 58. Lihat juga, M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an, terj. dari bahasa Arab oleh Thoha Musawa (Jakarta: Al-Huda, 2007), 280-281.

(20)

6

Qur’an ke dalam bahasa mereka.20 Untuk pertama kalinya, sekitar abad ke-12 M atau tepatnya pada tahun 1145-1146, Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, yaitu bahasa Latin. Dari bahasa ini kemudian ia diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain, seperti bahasa Perancis, Inggris, Jerman dan Belanda.21 Bahkan pada abad ke 17 M muncul Catherine The Great (1762-1796 M), pernah menduduki tahta Rusia yang kemudian membentuk sebuah Mazhab Orientalis untuk melaksanakan beberapa kebijakan, salah satunya menerjemahkan Al-Qur’an. Dalam usaha ini, Catherin hanya melanjutkan dan mengembangkan usaha yang pernah dilakukan Peter The Great dengan mengirimkan para kader ke Turki dan Persia untuk belajar menerjemahkan Al-Qur’an. Hal tersebut berbeda dengan Catherin, para kadernya ia kirim ke Eropa yang terkenal dengan kajian orientalismenya seperti Belanda, Inggris, dan Jerman.22

Lebih dari itu, usaha menerjemahkan Al-Qur’an dalam bentuk prosa atau puisi juga muncul dalam berbagai bahasa yang diprakarsai oleh banyak sarjana muslim. Misalnya The Glorious Koran, karya Muhammad Marmaduke William Pickthall (1875-1936),23 ia juga merupakan intelektual Muslim Barat yang telah menerjemahkan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris pertama. Dan universitas al-Azhar menjadi intansi yang sangat mendukung hal tersebut. Times Literary Supplement juga menyebutkan bahwa karya Picktall ini sebagai pencapaian penulisan yang besar. Demikian pula halnya dengan Abdulla>h Yu>suf Ali> (1872-1958), menerjemahkan Al-Qur’an berbentuk prosa dalam bahasa Inggris. Dua karya

20 Pada awalnya, proyek penerjemahan ini memiliki tujuan untuk menjajah negera dan agama Timur Tengah, yaitu Islam. Namun pada perkembangannya, para orientalis murni bergerak pada kajian Islamic Studies secara objektif-independen. Setidaknya, ada tiga periode alur perjalanan tersebut, yaitu sebelum perang salib, perang salib hingga masa keemasan Eropa, dan periode penerahan hingga abad modern. Lihat. Arina Haqan,

“Orientalisme dan Islam dalam Pergulatan Sejarah”, Jurnal Mutawatir, Vol. 1, No. 2, Juli- Desember 2011, 165.

21 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 125

22 Lihat, Egi Sukma Baihaki, “Orientalisme dan Penerjemahan Al-Qur’an”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 16, No. 1, 07. Lihat juga, Wan Jamaluddin Z, “Perkembangan Tradisi Arabistika dan Kajian Al-Qur’an Oleh Orientalis Rusia pada Penghujung Abad Ke-18 M”, dalam, Centre of Qur’anic Research International Journal, Vol. 2, No. 1, 2012, 149-150.

23 William Pickthall merupakan seorang muallaf. Ia lahir di Inggris dalam keluarga kelas menengah dan ia menempuh pendidikan di Harrow sebuah kota yang ada di London, Inggris. Pada masa dewasanya, ia melakukan rihlah ilmiyah (berkelana) ke negara-negara Timur Tengah dengan melakukan pengakjian terhadap peristiwa yang ada ditimur tengah, sehingga ia dinobatkan sebagai ahli dalam bidang kajian Timur Tengah. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang berjiwa seni dan satsra, terutama dalam penulisan novel. Hal tersebut diakui oleh para tokoh disekitarnya, seperti, E.M Forster, H.G. Wells, D.H Lawrence. Tidak saja disitu, keilmuwannya juga dikenal dikalangan jurnalis, para pimpinan instansi baik dari sekolah agama maupun politik. The Glorious Koran ia tulis ketik ia menjadi pejabat pada masa pemerintahan Nizam di Hayderabad. Mohammed Marmaduke Pickthall, The Meaning of the Glorious Koran. (Kuwait:Da>r al-Isla>miyah).

(21)

7

tersebut menjadi referensi paling banyak digunakan diseluruh dunia.24 Pada masa selanjutnya, Model dan gaya tersebut juga pernah dilakukan oleh A>mi>n Khu>li> (w.

1967 M) yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan sastra. Ini menjadi inspirasi bagi muridnya seperti A>isyah Abdurrahma>n bintu Sya>ti’(w. 1998),25 Muhammad Ahmad Khala>fullah, M. Syukri Ayyad (w. 2001) dan Nasr Ha>mid Abu>

Zayd. Hal tersebut tentu dengan berbagai sudut pandang cara masing dengan menggunakan pendekatan sastra.

Hal tersebut juga mengundang Muhammad Abduh (w. 1905) untuk melakukan kritik terhadap asumsi-asumsi di atas yang mengkontaminasi bahkan menyamakan Al-Qur’an dengan sastra. Ia beranggapan, bahwa pemahaman Al- Qur’an dalam bentuk sastra bukanlah pada tempatnya, karena Al-Qur’an merupakan sebuah kitab hidayah dan bukanlah sebuah buku sastra dan bukan pula karya filsafat.26 Kritik Abduh ini telah menjadi awal lahirnya pemikir lain yang terpengaruhnya olehnya, misalnya Hassan Hanafi> (l. 1935). Juga banyak para pemikir lain yang terpengaruh dengan gaya berpikir Muhammad Abduh.27

Lebih dari itu, penggunaan teori sastra terhadap Al-Qur’an, kerena teori sastra dianggap sebagai teori sekuler. Sebab itu tidak dapat diterapkan kepada teks yang suci seperti Al-Qur’an. Mereka juga menyatakan bahwa Al-Qur’an sebagai teks suci dan firman Allah, hanya dapat dikaji dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kesucian firman Allah, dan itu berarti dengan menggunakan metode yang suci pula (divine hermeneutics) atau metode yang islami (manhaj al-Isla>mi>).28

24 Bombay India adalah tempat kelahiran Yu>suf Ali> pada 14 April 1872. Ia menimba ilmu agama dan menghafal Al-Qur’an pada masa kecilnya. Mengusai bahasa inggis dan Arab secara baik dan kemudian belajar banyak dari letaratur bahasa tersebut serta ia pula mengunjungi banyak negera di Eropa dengan tujuan belajar “Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary” adalah salah buah karyanya yang sangat fenomenal di bidang Al-Qur’an diplublikasi pada tahun 1934. Tidak saja itu, ia juga menguasai bidang sejarah Islam dan juga Tafsir sehingga ia dikenal baik dan disegani di India. Karena kepiawaiannya, ia direkrut oleh Muhammad Iqbal menjadi pimpinan di Collage di Lahore, Pakistan. Setalah itu, ia pindah ke Inggris dan wafat di sana pada 10 Desember 1953 dan dimakamkan pula di sana dekat dengan pemakaman Pickthall. Abdulla>h Yu>suf Ali>, The Holy Qur’an : English translation of the meanings and Commentary. Pengeditan dan revisi oleh Kelompok Peneliti Islam, IFTA. Percetakan lengkap King Fahd Holy Qur’an. (Al-Madina Saudi Arabia) 1410 M.

25 Andrew Rippin, Muslim, Their Religious Beliefs and Practices.: The Contemporary Periode, Vol. 2, (London dan New York: Routledge, 1993), 94.

26 Ra>syid Ridh>a, Tafsi>r al-Mana>r, Jilid I, (Kairo: Da>r al-Mana>r), 17-25. Bandingkan dengan J.J.G Jansen, The Interpretation of the Quran in Modern Egypt, 24-25

27 Hasan Hanafi juga mengkritik pendekatan ini. Lihat Hassa>n Hanafi>, Method of Thematic Interpretation of the Qur’an, dalam Stefan Wild (ed.), The Qur’an as Text, (Leiden ect.: Brill, 1994).

28 Yusuf Rahman, Kritik Sastra dan Kajian Al-Qur’an, dalam Pengantar Kajian Al- Qur’an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, (ed.) Kusmana dan Syamsuri, (Jakarta:

PT. Pustaka al-Husna Baru, 2004), 226. Lihat juga, Muhammad Aunul Abied Shah dalam artikel berjudul “Ami>n al-Khu>lli> dan Kodifikasi Metode Tafsir” dalam buku Islam Garda Depan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 2001), 140.

(22)

8

Melihat kontroversi tersebut, para sarjana muslim kontemporer berusaha menarik teks ke horizon puisi. Mereka berupaya menempatkan semua fenomena wahyu ke dalam sistem kebudayaan yang sudah mapan dan dominan. Penafsiran atau penerjemahan Al-Qur’an dalam konteks bahasa, sepenuhnya tidak bisa lepas dari wilayah kultural historis. Di samping bahasa sebagai bagian dari kultur manusia.29 Dalam hal ini, penafsir berusaha menampilkan serta memperjelas definisi dan tujuan suatu ayat berdasarkan hasil dari proses intelektualisasi dengan langkah- langkah epistimologi ilmiah yang mempunyai sumber pada teks dengan konteks yang dihadapkan dalam segala persoalan yang terjadi di sekitaran lingkungan manusia.30

Demikian halnya di Indonesia, proses penerjemahan atau penafsiran Al- Qur’an bisa dikatakan tidak secepat dan tidak semulus penafsiran-penafsiran yang lahir dari negera asli dimana Al-Qur’an diturunkan. Ini disebabkan oleh faktor bahasa yang digunakan penduduk indonesia bukanlah bahasa Arab, melainkan bahasa Indonesia. Meskipun ada anggapan bahwa Indonesia merupakan negera berpenduduk muslim terbesar di dunia.31 Syaikh ‘Abd al-Ra’uf al-Singkili32 tercatat sebagai orang pertama yang menggagas penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia (Melayu). Ini berdasarkan pada karyanya kitab Tarjuma>n al-Mustafi>d yang menggunakan huruf Arab-Melayu pegon.33 Itu pun pada awalnya menuai pro dan kontra serta kecaman dan penolakan datang dari berbagai kalangan ulama dengan berlatar belakang bahwa Al-Qur’an adalah sebuah mukjizat yang memiliki sakralitas dibandingkan teks dan buku-buku lainnya yang hanya ditulis dan dikarang oleh manusia, sedang Al-Qur’an adalah firman Allah Swt yang berfungsi sebagai kitab undang-undang untuk menjadi petunjuk bagi seluruh manusia. Hal ini sebagaimana telah penulis singgung pada lembaran awal latar belakang masalah.

Ditinjau tentang konsepsi Al-Qur’an tentang sastra ialah masuk dalam ranah pilihan yang tidak sampai pada wajib. Namun harus dititikjelaskan bahwa sastra adalah sebuah sarana perwujudan dari budaya yang barangkali bisa dianulirisasi oleh Al-Qur’an sebagai kitab yang mampu menyesuaikan pada setiap tempat dan waktu.

29 Muhammad Yunus Melalatoa, Memahami Aceh sebagai sebuah Perspektif Budaya, dalam Aceh Kembali ke Masa Depan, Sardono W. Kusumo, cet. II, (Jakarta: IKJ Press bekerja sama dengan keluarga Almarhum dr. Sjarif Thayeb dan keluarga Dr. Anwar Nasution, 2006), 7

30 Nas}r Ha>mid Abu> Zaid, Mafhu>m al-Nas{s{: Dira>sa>t fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, (Beiru>t:

Markaz al-S}aqa>fah al-‘Arabi>: 1998), 14.

31 Nashiruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 31.

32 ‘Abd al-Ra’uf al-Singkili –sebagaian masyarakat mengenalnya “Syeikh Kuala”- lahir pada tahun 1035 H/1615 M dan wafat di Banda Aceh pada tahun 1105 H/1693 M.

Nama asli beliau Abd Al-Rauf al-Fansuri. Ayahnya bernama Syeikh Ali, seorang Arab Persia yang datang ke Samudera Pasai pada akhir abad ke 13 yang kemudia menetap di Fansur (Barus) sebuah kota tua di panatai Barat Sumatera. Lihat Rizem Aizid, Biografi Ulama Nusantara, (Yogyakarta: Diva Press, 2008), 89. Lihat juga, M. Sholihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 60.

33 Ahmad Izzan, ‘Ulumul Qur’an: Telaah Tektualitas dan Kontekstualitas Al- Qur’an, (Bandung: Humaniora, 2011), 351.

(23)

9

Cadangan pilihan-pilihan paradigmatik yang tidak wajib dipilih bagi sastra Indonesia. Artinya, persoalan pendekatan sastra terhadap Al-Qur’an merupakan seni dalam upaya menampung aspirasi masyarakat serta ia berkorelasi dalam penyampaian pesan-pesan Ilahi secara komperhensif tanpa menghilangkan nilai dasar dari Al-Qur’an sendiri dan pesan-pesan yang ingin disampaikannya.34

Thomas Hoffman dalam sebuah artikel berjudul “The Moving Qur’an: A Coqnitive Poetics Approach to Qur’anic Language” berpandangan bahwa pendekatan sastra atau bahasa terhadap Al-Qur’an memiliki peran begitu besar dalam menyingkap isi dan kandungannya. Karena hal tersebut langsung berbicara terkait dengan kondisi integral manusia pada setiap harinya yang mencakup pengalaman fisik dan mental, persepsi, ingatan, skema imei, cara pandang, emosi, motion dan movement (situasi bergerak) dan lain sebagainya.35 Maka begitu penting pendekatan ini untuk memberikan sebuah interpretasi dengan menghubungkannya dengan Al-Qur’an.

Namun begitu, kontroversi terhadap pendekatan sastra beberapa dekade terakhir ini telah muncul di permukaan dalam dunia penerjemahan Al-Qur’an.

Misalnya pada akhir tahun 1970, muncul HB. Jassin,36 yang dikenal sebagai seorang kritikus sastra Indonesia pada waktu itu menerbitkan sebuah terjemahan Al-Qur’an dan menyusunnya atas dasar sastra dalam proyeknya Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia, dan Al-Qur’an Berwajah Puisi. Usaha Terjemah tersebut ternyata mendapatkan respon negatif dari berbagai aliansi, organisasi dan ormas masyarakat Islam di Indonesia dengan mengkritik dan menanggapi kepada karya tersebut.37 Kritikan tersebut sungguh sangat bersalan dan memiliki latar belakang akademis.

Sebab pada hakikatnya, aspek yang sering kali pula menjadi problematik dan dipersoalkan dalam dunia penerjemahan adalah pada ihwal kemurnian dan

34 Abul Haris Akbar, Musikalitas Al-Qur’an: Kajian Unsur Keindahan Bunyi Internal dan Eksterna, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), 30.

35 Thomas Hoffman, “The Moving Qur’an: A Cognitive Poetics Approach to Qur’anic Language,” dalam Mohammed Nekroumi dan Jan Meise, Modern Controversies in Qur’anic Studies, (Hamberg: EB-Verlag, 2009), 145

36 Hans Bague Jassin adalah seorang kritikus dan dokumentator sastra Indonesia.

Jassin lahir di Gorontalo 31 Juli 1917 dan wafat di Jakarta 11 Maret 2000. Hans adalah pelafalan yang salah dari kata Hamzah, Bague berasal dari nama ayahnya, Bague Mantu Jassin. Mengenai nama ini, Jassin enggan mengubahnya dengan ejaan baru. Lihat “Penghina Tuhan Menerjemahkan Al-Qur’an” (Wawancara dengan Majalah Tempo, 29 Maret 1975), dalam HB. Jassin (ed.), Kontroversi Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, 2000), 21

37 HB. Jassin, Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia, cet 3, (Jakarta: Djambatan, 1991). Banyak orang menganggap Jassin tidak punya kapabilitas intelektual yang memadai untuk menerjemahkan Al-Qur’an. Pada tingkat yang ekstrim, beberapa orang bahkan mengharamkan untuk membeli dan membaca karya tersebut. Konon, pada tahun 1978 ada yang membakar karya puitisasi tersebut. Kitab ini mendapat sambutan dan kritik dari berbagai pihak, selengkapnya lihat, Nazwar Syamsu, Koreksi Terjemah Al-Qur’an Karim Bacaan Mulia HB. Jassin, (Padang Panjang: Pustaka Sa’adiyah, 1978). Lihat, H. Oemar Bakry, Polemik H. Oemar Bakry dengan H.B. Jassin tentang Al-Qur’an Al-Karim Bacaan Mulia, (Jakarta: Mutiara, 1979), Siradjuddin Abbas, Sorotan atas Terjemahan Al-Qur’an HB. Jassin, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1979).

(24)

10

keotentikan bahasa yang disampaikan. Bahkan oleh seorang penerjemah harus paham betul terhadap dua bahasa, yaitu bahasa sasaran dan bahasa sumber yang hendak diterjemahkan. Maka, untuk melihat kekeliruan dalam penerjemahan itu, perlu memperhatikan perbedaan lebih spesifik antara baik buruk (good or bad translation) dan betul salah (correctness) secara lebih detail dan akurat.38

Salah satu kecaman dan kritikan tersebut datang dari Majelis Ulama Indonesia di tandatangani oleh KH. Hasan Basri dan Skretaris Umum Prodjokusumo dalam surat No. U 1061/MUI/XII/1992. Begitu pula dengan Kementerian Agama melalui Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an yang ditandatangani oleh H. A. Hafizh Dasuki sebagai ketua Badan Penelitian dan Pengembangan (litbang) Lajnah Pentashih Al-Qur’an, Depatemen Agama Republik Indonesia melalui Surat Keputusan No. P III/TL.02/1/242/1179/1992. Dan kemudian surat keputusan itu diberikan kepada Jassin pada awal tahun 1993.39 Namun berbeda halnya dengan B.J.

Habibie (menjabat Menristek ketika itu), juga KH. Abdurrahman Wahid dan beberapa kalangan lainnya yang secara penuh mendukung dan memberikan tanggapain positif kepada karya tersebut dengan melihat aspek kreasi sastra yang dilakukan oleh Jassin dalam mengeksplor isi kandungan Al-Qur’an dan juga mengenalkan tingginya nilai sastra yang dikandung oleh bahasa Indonesia. Menurut mereka, sungguh tidaklah terlalu berlebihan jika karya tersebut diapresiasi dan jika pun ada kekeliruan dan proses penerjemahan maka hendaknya diberikan masukan demi terwujudnya sebuah sebuah pengayaan dalam bidang kajian Al-Qur’an.

Di samping Jassin dan beberapa orang lainnya, ternyata usaha mendekati Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan sastra ini juga muncul di Aceh yang dilakukan oleh Mahjiddin Jusuf (1918-1994 H).40 Dalam menerjemahkan Al- Qur’an, Mahjiddin menggunakan gaya puisi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dalam kitabnya Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh,41 yang secara lengkap menerjemahkan seluruh isi Al-Qur’an dari surah al-

38 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, (Bandung: Pustaka Jaya, 2006), 27

39 HB. Jassin, Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi, (Jakarta: Graviti, 1994), 17.

40 Peusangan adalah tempat kelahiran Mahjiddin Jusuf, pada tanggal 16 September 1918. Ayahnya bernama Fakir Jusuf merupakan tempat ia menimba ilmu semenjak kecil.

Menimba ilmu dari Dayah (pondok pasantren) yang ada di Aceh sampai ke Normal Islam di Padang selesai pada tahun 1941 H. Semasa hidupya, Mahjiddin mendedikasikan ilmunya sebagai Asisten Sipil Negara, dosen luar biasa di Institute Agama Islam Negeri Ar-Raniry (sekarang Universitas Islam Negeri Ar-Raniry) Banda Aceh, Imam Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Ia juga pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Aceh dan Sumatra Utara dari Mashumi sebagai Partai Politik Islam pada masa itu, serta beberapa jabatan lain dalam lembaga sosial kemasyarakatan. Penerjemahan ini dilakukan pada tahun 1955 di dalam penjara. Peristiwa DI-TII Aceh yang berkobar pada tahun 1953 menyebabkan beliau dipenjara dan menghabiskan masa empat tahun di sana dengan menghasilkan sebuah karya besar. Lihat, Mahjiddin Jusuf, Al-Qur’an Al-KarimTerjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, (Banda Aceh: Pusat penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) Aceh, 2007), xvii.

41 Pada awalnya, terjamah ini masih berupa naskah yang terdapat di perpustakaan Ali Hasjimy Banda Aceh dengan Nomor: 8/ NKT/ YPAH/ 1992. Yang kemudian di cetak oleh P3KI Banda Aceh menjadi sebuah kitab yang dapat dibaca oleh semua kalangan. Tafsir

(25)

11

Fa>tih}ah hingga surah al-Na>s. Penerjemahan ini pada mulanya lebih ditujukan untuk mendekatkan Al-Qur’an dengan kondisi sosio-kultural masyarakat Aceh.42

Tidak terlalu berlebihan, jika karya tersebut dalam proses terjemahannya menggunakan model terjemah idiometis atau uslu>biyah. Mahjiddin berupaya menyingkap dan memformulasikan makna kandungan teks Al-Qur’an dalam bentuk sajak (hikayat) dalam bahasa Aceh dengan berbagai nilai dan budaya yang dikandung oleh bahasa tersebut.43 Hal tersebut bisa dilihat banyak hikayat Aceh yang memiliki persamaan bunyi pada akhir kata dan pada setiap baris terdiri dari sepuluh kata yang juga berbentuk puitis. Penulisannya bergandengan dan tidak dipisahkan dalam susunan dengan susunan baris-baris. Oleh penyunting, baris tersebut sudah dipisahkan dan menjadi satu kesatuan berjumlah empat baris. Namun terkadang kesatuan tersebut bisa tidak konsisten pada akhir surat menjadi dua baris saja karena mengikuti ayat yang ada.44

Terkait dengan diktum di atas, penulis berasumsi bahwa penulisan kitab terjemah ini adalah bentuk dari respon terhadap masyarakat Aceh yang dekat dengan sajak dan menyukai puisi dengan bentuk yang indah ketika dibaca dan didengarkan.

Tujuannya adalah untuk mengajak masyarakat Aceh dekat dengan Al-Qur’an dan memahaminya dengan bahasa Aceh. Maka akan tersampaikan nilai kandungan Al- Qur’an kepada seluruh lapisan masyarakat. Tidak bisa dihindari pula, bahwa penulisan dilatarbelakangi oleh adanya hikayat prang sabi (perang sabil) ditulis oleh Teungku Chiek Muhammad Pante Kulu.45 Hikayat tersebut bertujuan untuk ini hadir pada masa modern kurun waktu kedua (1951-1980). Dalam kajiannya, Nasharuddin memetakan perkembangan tafsir Al-Qur’an menjadi empat periode. Lihat Nasharuddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai, 2002), 35

42 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika hingga Ideologi (Jakarta: Teraju, 2003), 248-249. Lihat juga, Thaha Husein, Fi> al-Ada>b al-Jahili>, (Mesir: Da>r al- Ma’a>rif), 89. Juga Must{a>fa> Musli>m, Maba>his\ fi> I’ja>z Al-Qur’a>n, (Jeddah: Da>r al- Manarah, 1988), 72.

43 Terjemahan secara idiomatik pada dasarnya hampir sama dengan terjemah secara literlek (harfiyah). Penerjemah berusaha menampilkan kalimat yang menarik dalam bahasa sasaran tanpa menghilangkan esensi bahasa asal. Penerjemahan yang benar-benar dilakukan secara idiomatis akan menimbulkan sensasi yang menimbulkan kembali bahasa sumber dan bahasa asli tanpa terasa. Tujuan akhir setiap terjemahan hendaknya terjemahan idiomatis.

Mildred L. Larson, Meaning-based Translation: A Guide to Cross-Langguage Equivalence, (London: University Press of America, 1984), 3.

44 Mahjiddin Yusuf, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahan Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh, xxii

45 Hikayat Prang Sabil telah disusun kembali oleh H. M. Zainuddin, yang berjumlah sebanyak 80 halaman, dicetak di Medan. Hikayat tersebut tertulis dalam bentuk bait, sebagaiamana yang dikutip oleh Alfian: “Watee jitueng naggroe le kaphe, Dum ta sare wajeb temuprang, Han jeued ta’lem peuseungue droe, Duek lam naggroe teumeuseunang, Bak watee nyan fardhu ain, Beu tayakin sang seumahyang, Wajeb tapubuet jeuep kutika Meunghan deesya teu hai abang.” Yang artinya: Tatkala negeri direbut kafir, kitab semua wajib berperang tidak boleh berdiam diri, kita bersenang-senang di dalam negeri, Diketika itu hukum fardhu ain, harus yakin seperti sembahyang Wajib kerjakan setiap waktu, kalau tak begitu dosa hal abang. Lihat. Teuku Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta:

Sinar Harapan. 1987), 112-113.

Gambar

Diagram  tersebut  menyimpulkan:  Pertama,  hubungan  antara  linguistik  dan  stilistika  adalah  bahwa  stilistika  membutuhkan  linguistik  dalam  menganalisa  komponen  bahasa

Referensi

Dokumen terkait

Sementara pondok pesantren tah{fīz} Al-Qurʹan dalam model B, bahwa kurikulum pendidikan Al-Qur′an diformulasikan dengan mengalokasikan waktu lebih untuk program tah{fīz}