PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG POLA INTEGRASI
(Development of Cattle Beef Production Towards Integrated Farming Systems)
ATIEN PRIYANTI1danANDI DJAJANEGARA2
1Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E 59, Bogor 16151
2Balai Penelitian Ternak, PO Box 121, Bogor 16002
ABSTRAK
Usaha peternakan sapi potong di Indonesia semakin mendapat perhatian dari pemerintah, karena permintaan terhadap daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat. Hal ini disebabkan karena pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi, perbaikan tingkat pendidikan dan kesadaran gizi, arus globalisasi informasi dan perdagangan, serta urbanisasi dan perubahan gaya hidup. Dalam 3−4 tahun terakhir ini permintaan daging sapi meningkat dengan cepat, sementara di sisi produksi hal tersebut tidak dapat mengimbangi laju permintaan. Pasokan sapi bakalan dan daging asal impor relatif menurun 2 tahun terakhir ini akibat depresiasi nilai rupiah terhadap dollar Amerika. Hal ini mengakibatkan populasi ternak sapi potong pada kondisi perkembangan yang mengkhawatirkan. Tingkat pemotongan ternak lokal meningkat, sehingga terjadi kecenderungan pengurasan ternak produktif. Saat ini usaha peternakan untuk menghasilkan sapi bakalan (cow-calf operation) sebagian besar dilakukan oleh peternakan rakyat dengan skala relatif kecil.
Usaha yang masih tetap bertahan ini biasanya merupakan usaha sambilan (memanfaatkan waktu luang, tabungan, memanfaatkan limbah, atau alasan lainnya), karena margin untuk menghasilkan pedet relatif sangat kecil atau justru merugi. Dalam upaya meningkatkan populasi ternak sapi potong dengan biaya produksi yang layak, pendekatan pola integrasi ternak sapi dengan tanaman pangan, perkebunan dan hutan tanaman industri layak untuk dikembangkan baik secara teknis, ekonomis maupun ramah lingkungan. Dengan inovasi teknologi yang tepat, ’limbah’ tanaman dapat diubah menjadi bahan pakan sumber serat bagi ternak sapi.
Melalui pendekatan LEISA (low external input sustainable agriculture), setiap ha tanaman pangan (padi/jagung) dapat menghasilkan pakan untuk memelihara sapi 2-3 ekor/ha. Dalam hal ini sapi berperan sebagai ’pabrik kompos’ dengan bahan baku ’limbah’ tanaman, yang pada akhirnya kompos tersebut dipergunakan sebagai bahan pupuk organik bagi tanaman. Untuk efisiensi, perlu dipilih sapi yang mempunyai daya adaptasi baik, misalnya sapi Bali. Pemeliharaan sapi secara ’zero waste’ ini berarti juga ’zero cost’, sehingga bakalan yang dihasilkan akan sangat kompetitif.
Kata kunci: Sapi potong, pola integrasi
ABSTRACT
Cattle beef production in Indonesia nowadays getting a substantial attention from the GoI due to the increasing demand for beef steadily year to year. The growth rate of increasing demand for beef is determined by economic factors such as increasing population, increasing income and prices along with lifestyle changes that cause people’s dietary patterns to evolve in qualitative ways. Recently, within 3-4 years, demand for beef has increased rapidly, on the other hand, it can’t be met by the increasing on production side. Imported feeder cattle and beef in the last two year has decreased slowly due to rupiah depreciation to US dollar, so that the price of the products were very expensive which most of the imported firms can’t afford it. This fact, in turn, has caused decreasing of the domestic cattle population. Most of the cattle has slaughtered to meet the demand and it tend to do with the productive animals. Cow-calf operation in Indonesia as stock foundation for beef industry mostly raised by the farmers in small scale. Its sustainability based on farmers’ motivation in traditional way due to the minimal and limited cash input. Economic margin estimation for cow-calf operation was very small, a system approach to minimize cost production in raising cattle is needed. In order to increase cattle population based on liable production cost, an approach of animal integrated system with food crops, estate crops, forestry and others has feseable to develop. Introducing appropriate feed technologies have changed agricultural by products to be a valuabel feeds fo cattle. Through an approach of LEISA (low external input sustainable agriculture), for every hectare of paddy or corn field has yield feed for 2-3 adult cattle. The role of the cattle in the systems to be a compost machine with agricultural by products as feed resources and its use for organic fertilizer. In terms of eficiency, the use of local cattle breed as Bali
cattle is recommended to the systems due to its high adapatability. Raising cattle in zero waste approach, along with its zero feed cost will meet the goal of having cow-calf operation competitively.
Key words: Beef cattle, crop-animals integration
PENDAHULUAN
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berindikasikan peningkatan pendapatan nasional per kapita menuntut adanya perubahan pola konsumsi terutama dalam mencukupi kebutuhan konsumsi protein hewani. Selama periode 1988 sampai 2003 rata-rata laju peningkatan konsumsi daging adalah sebesar 11,7% per tahun (STATISTIK PETERNAKAN, 2003). Kontribusi sapi dari total konsumsi daging berdasarkan komoditas adalah 23% dan menduduki urutan kedua setelah daging unggas (56%) dan kenaikan konsumsi daging sapi sekitar 3,7%. Produksi daging sapi sebagian besar berasal dari peternakan rakyat, padahal populasi sapi hanya bertumbuh sekitar 2%.
Pemenuhan kebutuhan daging yang meningkat setiap tahun mengakibatkan terjadinya impor sapi, utamanya dari Australia, yang cenderung terus meningkat. Sampai akhir tahun 2003, Indonesia telah mengimpor 377.741 ekor sapi bakalan, dan mungkin >16.000 ton daging (TRIKESOWO, 2004). Impor dilakukan meski menguras devisa negara, karena sangat menarik bagi pengusaha, dan kebutuhan masyarakat akan daging sapi terus meningkat, tetapi di sisi lain produksi daging di dalam negeri belum mampu mengejar laju pertambahan permintaan baik secara kuantitas maupun kualitasnya.
Pada periode menjelang tahun 2000 disinyalir terjadi pengurasan ternak di berbagai daerah, sehingga populasi sapi potong menurun secara nyata. Informasi pelaku bisnis, pakar dan petugas Dinas Peternakan dalam berbagai kesempatan diskusi dirangkum dalam panel tanggal 7 Februari 2003, pengurasan ternak ini masih terus terjadi. Di NTT diberitakan bahwa populasi sapi menurun drastis hampir 50%
(KOMPAS 14 Agustus 2003, hlm. 31), karena pengurasan atau pengeluaran ternak yang tidak terkendali. Pemotongan hewan betina produktif dan hewan muda yang ukurannya masih kecil banyak terjadi, karena kebutuhan petani dan fokus para jagal memperoleh keuntungan yang maksimal. Di pasar hewan di Jawa Timur banyak pula yang khusus mencari ternak sapi
kecil karena kemampuan modal dan pasar yang terbatas.
Dewasa ini, impor sapi potong cenderung terus meningkat dengan tajam, bahkan melampaui angka tertinggi (360.000 sapi) pada tahun 1996. Impor sapi potong pada tahun 2002 mencapai lebih dari 420.000 ekor, tapi data tercatat relatif lebih kecil (STATISTIK
PETERNAKAN, 2003). Saat ini impor sapi tidak hanya dilakukan oleh pengusaha besar yang tergabung dalam Assosiasi Pengusaha Feedlot Indonesia (Apfindo), tetapi juga dilakukan oleh siapa saja (pedagang baru) yang kadang- kadang memasukkan sapi dengan ukuran berat di atas 350 kg. Sapi dengan ukuran tersebut biasanya tidak perlu digemukkan lagi, bahkan sering dijumpai sapi-sapi tersebut dipotong beberapa hari setelah tiba di pelabuhan. Hal ini jelas telah menyalahi peraturan dan mungkin prosedur karantina (tidak sesuai dengan tujuan semula untuk mendatangkan sapi). Kondisi ini sangat merisaukan peternak karena pedagang sapi lokal kesulitan untuk menjual sapinya dengan harga sapi dan daging anjlok (KOMPAS
13 Agustus 2003, hlm. 13).
Makalah ini menyampaikan pentingnya pola integrasi tanaman dengan usaha peternakan sapi dalam mengantisipasi perkembangan industri daging sapi di Indonesia. Topik difokuskan pada model pengembangan sapi pola integrasi crop livestock system (CLS), serta pengembangan ternak berkesinambungan dan berdaya saing tinggi. Model yang ditawarkan adalah mengubah masalah dan tantangan menjadi peluang, terutama dalam hal lahan, pupuk, efisiensi, dan pendapatan dengan memanfaatkan kearifan teknologi tradisional serta inovasi modern, agar petani/peternak mampu memperoleh kerja dan pendapatan yang memadai.
PERKEMBANGAN USAHA SAPI DI INDONESIA
Dengan terjadinya krisis ekonomi medio 1997, impor daging dan sapi potong untuk
sementara menurun dengan tajam (Tabel 1) dengan akibat banyak usaha penggemukan sapi (feedlotter) gulung tikar (HADI et al., 2002).
Keadaan ini juga mendorong terjadinya pengurasan ternak di beberapa daerah, sehingga populasi sapi potong diduga menurun cukup nyata. Pengurasan ini masih terus terjadi, walaupun intensitasnya berbeda antar daerah. Pemotongan sapi betina produktif dan sapi muda yang ukurannya masih kecil banyak dilaporkan, karena tuntutan kebutuhan petani- pemelihara ternak dan para pedagang sapi terfokus untuk memperoleh keuntungan yang maksimal. Data yang akurat untuk konfirmasi fenomena tersebut di atas tidak tersedia secara lengkap.
Beberapa tahun terakhir ini impor daging dan sapi bakalan cenderung terus meningkat (Tabel 1) (STATISTIK PETERNAKAN, 2003).
Pada tahun 2002 impor sapi telah mencapai sekitar 420.000 ekor yang jauh diatas impor sebelum krisis ekonomi. Disamping impor sapi hidup, impor daging dan jerohan juga terus meningkat, bahkan pada tahun 2000 perbandingannya sudah mendekati 1 : 1 : 1 (HADI et al., 2002). Pasar daging yang cukup bagus ini ternyata juga mendorong penyelundupan daging dengan potensi penyebaran berbagai penyakit berbahaya, seperti penyakit mulut dan kuku (PMK) dan bovine spongiform encepthalopathy (BSE), serta tiadanya jaminan halal.
Tabel 1. Realisasi impor daging dan sapi bakalan dari Australia
Tahun Impor daging (ribu ton)
Impor sapi potong (ribu)
1994 10,6 118,4 1995 12,0 246,9 1996 17,7 378,5 1997 12,7 349,5 1998 03,5 38,8 1999 17,2 133,0 2000 18,7 266,4 2001 19,3 251,8 2002 16,2 379,4*)
*)Data Apfindo: lebih dari 420.000 ekor Sumber: DIREKTORAT JENDERAL BPPETERNAKAN
(2003)
Peningkatan impor jerohan, daging dan sapi potong tersebut terjadi dengan analisis kemungkinan, yaitu: (a) peningkatan produksi daging dalam negeri tidak mampu mengimbangi laju permintaan yang sangat besar; (b) dinamika nilai tukar rupiah dan valuta asing yang mendorong impor sangat murah; dan (c) kondisi pasar di Australia
‘kelebihan pasokan’. Pada awal sampai pertengahan tahun 2003, banyak keluhan peternak dan pedagang sapi lokal, yang mengalami kesulitan dalam memasarkan sapi dengan turunnya harga sapi. Akan tetapi gejolak permintaan dan harga daging sapi di pasar global, serta menguatnya nilai tukar dollar Australia mendorong harga sapi terus meningkat. Tantangannya adalah, kebutuhan domestik negara pengekspor sapi juga akan meningkat, dengan kemungkinan terhentinya pasokan sapi impor. Tantangan tersebut di atas harus direspon sebagai peluang untuk mengembangkan usaha atau industri peternakan sapi potong dalam negeri.
Usaha ternak sapi untuk menghasilkan sapi bakalan (cow-calf operation) 99% dilakukan oleh peternakan rakyat (DJAJANEGARA dan DIWYANTO, 2001), yang sebagian besar berskala kecil. Usaha ini biasanya terintegrasi dengan kegiatan lainnya (DIWYANTO et al., 2002), sehingga fungsi ternak sapi sangat komplek tetapi menunjang kehidupan peternak (PEZO dan DEVENDRA, 2002). Petani umumnya hanya berperan sebagai ‘keeper’ atau ‘user’, bukan sebagai ‘producer’ apalagi ‘breeder’
dan hampir tidak ada investor yang berminat untuk mengembangkan usaha cow-calf operation, bahkan producer atau breeder yang sudah bergerak pun hampir tidak mampu bertahan. Di Indonesia untuk memulai usaha cow-calf operation, investor menghadapi berbagai kendala atau masalah seperti: (a) modal untuk membeli sapi, (b) kredit bunga bank yang sangat tinggi disamping rumit dan terbatas, serta (c) keterbatasan lahan (padang pangonan) (Tabel 2), infrastruktur (sarana transport) dan kelembagaan, disamping (d) masalah pencurian ternak, serta (e) rantai pemasaran yang rumit, dan lain-lain.
Untuk menghasilkan pedet (anak sapi) bila dihitung secara parsial, maka biaya pakan dan bunga bank yang harus dibayar peternak tidak dapat tertutup dari hasil penjualan pedet yang harganya sekitar Rp. 1−1,5 juta. Bagi peternak
Tabel 2. Penggunaan lahan di luar kehutanan 1980−2000
Luas lahan menurut wilayah dan tahun
Jawa (1000 Ha) Luar Jawa (1000 Ha) Penggunaan lahan
1980 2000 1980 2000
Pemukiman 1.553,7 1.783,6 2,94,5 3.450,9
Lahan kering 2.922,2 3.071,2 6.943,4 9.445,3
Tanah pangonan 78.1 42,1 3.397,5 2.166,8
Tambak dan kolam 141,9 163,9 275,0 513,5
Perkebunan rakyat 237,8 233,5 6.407,6 11.475,4
Perkebunan besar 365,0 223,7 942,8 3.786,9
Sawah 3.491,3 3.119,0 3.580,0 4.441,0
Lahan pertanian 7.321,3 6.853,6 21.661,5 32.207,9
Total lahan 8.875,0 8.490,2 24.406,4 35.658,8
Sumber: Diolah dari BPS (2002)
kecil, memulai usaha cow-calf operation harus tersedia modal sedikitnya Rp. 3-4 juta untuk membeli satu sapi calon induk. Bila jarak beranak sekitar 400-500 hari, dan biaya pakan induk (dihitung secara ekonomi) sekitar Rp.
3000/hari, maka biaya untuk menghasilkan seekor pedet sekitar Rp. 2 juta. Kondisi tersebut tetap berjalan dan membuktikan bahwa rugi dalam pemeliharaan sapi potong bukan perhitungan ekonomi dan diusahakan dalam suatu sistem yang terintegrasi (CHANTALAKHANA dan SKUNMUN, 2002;
DIWYANTO et al., 2002; PEZO dan DEVENDRA, 2002). Sebagian besar petani pemelihara sapi hanya sebagai keeper dengan manfaat untuk berbagai tujuan, antara lain: (a) akumulasi asset, (b) mengisi waktu luang, (c) sumber tenaga kerja, (d) penghasil kompos, dan (e) sebagai simbol status sosial atau hobby.
Dengan kondisi tersebut, pengembangan sapi secara bisnis di Indonesia terutama di kawasan baru harus dilakukan secara terintegrasi (in-situ maupun ex-situ) memanfaatkan sumberdaya pakan yang ada.
Kualitas pakan dari limbah pertanian, perkebunan atau agroindustri biasanya 'rendah' dan perlu ditingkatkan (feed enrichment), baik melalui perlakuan fisik, kimiawi maupun biologis. Teknologi yang tersedia saat ini memungkinkan untuk dilakukan penyediaan pakan dalam jumlah yang memadai untuk disimpan sepanjang tahun. Pemeliharaan sapi pola integrasi dilakukan dalam sistem kandang kelompok, sehingga inovasi berbagai teknologi budidaya (pemuliaan, reproduksi, nutrisi dan
veteriner) dapat diaplikasikan. Inovasi teknologi yang diaplikasikan dalam pengembangan sapi (ternak) pola integrasi melalui Partisipatory Rural Appraisal (PRA), harus dipilih sesuai dengan Agro Ecological Zone (AEZ) serta kondisi sosekbud masyarakat. Dalam hal ini harus diusahakan agar eksternal input dalam usaha integrasi minimal, sehingga pendapatan dan keuntungan akan maksimal.
MODEL PENGEMBANGAN SAPI POLA INTEGRASI
Usaha integrasi sapi dikaitkan dengan persawahan, perkebunan, padang penggembalaan dan kawasan HTI paling ideal untuk pengembangan usaha cow-calf operation. Sangat diperlukan berbagai dukungan dan penegakan kebijakan yang ditetapkan. Secara tradisional, pola integrasi telah diaplikasikan oleh peternak, sehingga usaha cow-calf operation akan terus bertahan.
Melalui pola ini dimungkinkan untuk mengurangi biaya produksi (pakan) dengan memperoleh tambahan pendapatan dari kompos. Pemanfaatan limbah pertanian untuk menyediakan pakan lengkap dengan harga relatif terjangkau (skala komersial) telah diawali oleh Lolit Sapi Potong Grati), sementara kotoran yang telah diolah menjadi pupuk organik bernilai sekitar Rp. 400/kg (usaha di Solo dan Sukabumi). Pemeliharaan secara kelompok pola integrasi ini memungkinkan keluarga petani memelihara
sapi sampai 20 ekor induk (Sukamandi), karena (a) kemudahan penyediaan dan pemberian pakan dan murah, (b) perawatan dan manajemen kandang maupun perkawinan lebih praktis dan efisien, serta (c) upaya menjaga kesehatan ternak dapat dilakukan dengan mudah dan murah. Kondisi serupa juga terjadi pada integrasi sawit-sapi di Bengkulu, karena hampir 100% biaya pemeliharaan sapi dapat tersedia dari limbah sawit (pelepah, daun, dan limbah pabrik) yang saat ini sebagian besar masih dibuang.
DEVENDRA (1993) menunjukkan delapan keuntungan penerapan pola integrasi tanaman- ternak, yaitu (a) diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi, (b) menekan resiko usaha mono-commodity, (c) efisiensi tenaga kerja, (d) efisiensi penggunaan komponen produksi, (e) mengurangi ketergantungan sumber energi kimia dan biologi serta sumberdaya lainnya, (f) ekologi lebih lestari dan tidak menimbulkan polusi lingkungan, (g) peningkatan hasil, dan (h) perkembangan rumah tangga petani yang lebih stabil.
Penelitian pola integrasi ini sudah dimulai di Batumarta, Sumatera Selatan sejak tahun 1985 dengan bantuan IDRC (International Development Research Center - Canada) memberikan bantuan kepada Puslitbang Tanaman Pangan untuk penelitian tanaman dan ternak secara terpadu (ISMAIL et al, 1989).
Hasil penelitan dan pengembangan model di Batumarta menunjukkan bahwa ‘Model Tanaman-Ternak’ selama tiga tahun, kesejahteraan petani meningkat dengan tingkat pendapatan US $ 1500 per keluarga tani per tahun (ISMAIL et al., 1988).
Berbagai varian pola tersebut yang saat timbulnya bersamaan maupun lebih dulu seperti “parlabek” (pari–lauk–bebek/padi–
ikan-itik) dan mina-padi di Balai Penelitian Padi, Sukamandi, padi IP-300 dan sapi dan lain-lain, termasuk juga kegiatan pola integrasi di lahan tadah hujan di Cilawu, Garut (ILRI).
Penelitian integrasi kelapa–sapi (dikenal dengan “cocobeef” sapi di bawah pohon kelapa di Sulawesi Utara), sapi di kebun kopi dan melinjo (Yogyakarta) dan beberapa di wilayah lain menunjukkan bahwa penerapan model integrasi tanaman-ternak sudah diterima oleh masayarakat. Integrasi sapi-padi pola tanam IP- 300 di beberapa wilayah menunjukkan hasil yang relatif lebih tinggi, dibandingkan jika
usaha tersebut dilaksanakan secara monokultur. DIWYANTO dan HARYANTO (2001) menyatakan bahwa penerapan sistem ini meningkatkan penghasilan petani hingga 100% dibandingkan dengan pola tanam padi saja tanpa ternak. Sekitar 40% hasil berasal dari pupuk organik dari ternak sapi. Penelitian HARYANTO et al (1999) juga menunjukkan bahwa pada sapi perah teknologi ini memberikan keuntungan Rp. 11.000 per sapi per hari, karena dengan produksi susu 8−10 liter/hari diperlukan biaya pakan senilai penjualan 3-4 liter susu. Hasil penelitian di berbagai tempat dan agroekologi menunjukkan bahwa pada umumnya integrasi ternak dengan tanaman, baik tanaman pangan, tanaman perkebunan maupun tanaman industri memberikan nilai tambah yang cukup signifikan.
Pengembangan model usaha pengembangan sapi dapat dilakukan di tiga kelompok sasaran, yakni a) keluarga tani, b) kelompok tani dan c) kawasan. Pada model dengan sasaran keluarga tani, pengembangan sapi ditujukan sebagai usaha pembiakan dengan tujuan produksi anak disesuaikan dengan luas pemilikan lahan. Pola ini dapat dilakukan secara semi intensif atau intensif, dengan tetap memperhatikan pendekatan sistem. Jaminan pasar, dukungan kelembagaan dan kebijakan harga harus diperhatikan secara serius mencakup seluruh pelaku usaha peternakan sapi potong. Model dengan sasaran b) kelompok tani ditujukan sebagai usaha pembiakan dan penggemukan sapi dengan pola pemeliharaan ternak intensif maupun semi intensif. Skala minimal pemeliharaan sapi adalah 20 sapi betina induk yang mampu menghasilkan 8 ton manure setiap bulan dapat dipergunakan untuk pupuk organik untuk luas 4 hektar areal pertanian. Pada model dengan sasaran c) perkebunan maka pemanfaatan lahan saat peremajaan atau penanaman baru (karet sampai 6 tahun dan sawit sampai 4 tahun) dapat dioptimalkan untuk penanaman tanaman pangan seperti padi gogo, jagung, dan lain sebagainya. Pengembangan usaha sapi oleh perkebunan swasta dengan pendekatan pola PIR ternak maupun tanaman pangan.
Usaha ini ditujukan untuk pembiakan dan atau penggemukan ternak sapi, maupun industri pendukungnya seperti pabrik pakan dan pupuk organik. Peluang mengembangkan unit
produksi pakan ternak komplit berbasis limbah tanaman pangan maupun limbah industri perkebunan sangat mungkin dilakukan karena pada umumnya perkebunan sudah memiliki kelembagaan yang relatif baik kondisinya.
Apabila setiap tahun dilakukan peremajaan kebun sebesar 4%, dan penanaman tumpang sari dapat dilakukan selama empat tahun sebelum canopy menutup permukaan lahan, maka tersedia sekitar 16% areal perkebunan yang dapat dimanfaatkan untuk ekstensifikasi penanaman jagung misalnya. Dari kawasan perkebunan kelapa sawit saja, yang saat ini luasnya sekitar lima juta ha, potensi mengembangkan corn estate seluas hampir satu juta hektar. Bila kawasan ini dimanfaatkan, maka tersedia produksi jagung sedikitnya tiga juta ton, atau dua kali lipat dari total impor saat ini (DIWYANTO et al., 2004).
Di kawasan perkebunan umumnya sudah terbangun prasarana jalan yang sangat baik, serta manajemen relatif lebih mudah. Sebagai ilustrasi saat ini terdapat lahan perkebunan karet, kelapa, dan tanaman industri lainnya yang sangat luas, masing-masing sebesar 3,3 juta ha, 4,1 juta ha, dan 1,8 juta ha (STATISTIK
PERTANIAN, 2003).
Gambar 1. Produksi ternak dikaitkan dengan tingkat manajemen
Pemilihan jenis ternak perlu memperhati- kan kemampuan produksi dikaitkan dengan daya adaptasi yang baik dari berbagai jenis ternak lokal yang ada di Indonesia. Penentuan jenis sapi lokal dari plasma nutfah Indonesia (Ongole, Bali, Madura, Pesisir, dll.) akan lebih potensial dibandingkan sapi yang diimpor dari daerah ilkim sedang karena seleksi genetik dilakukan sesuai kondisi dimana pemuliaan dilakukan, Sebagai gambaran umum, kondisi manajemen sangat menentukan produksi (Gambar 1) yang dalam kondisi rendah (M1)
akan lebih condong pada jenis sapi lokal daripada menggunakan sapi iklim sedang dimana sistem manajemen lebih baik. Untuk sementara ini informasi yang tersedia menunjukkan jenis sapi Bali yang memiliki potensi dengan tingkat reproduksi tinggi, mampu bertahan pada kondisi kering dan keterbatasan pakan, akan tetapi hanya untuk daerah-daerah tanpa domba dengan adanya gangguan penyakit MCF (Malignant Catharral Fever).
PENUTUP
Menyadari bahwa (a) petani harus lebih mandiri dimasa depan, (b) keterbatasan lapangan kerja di pedesaan, (c) kepemilikan lahan yang sempit, dan (d) pendapatan petani (tanaman pangan) yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga, maka pengembangan sistem usaha agribisnis pola integrasi tanaman- ternak berpeluang sangat baik untuk diterapkan. Dengan tujuan utama memelihara ternak bukan semata-mata untuk menghasilkan daging atau susu, tetapi untuk menghasilkan kompos, maka terjadi efisiensi usaha ternak yang menghasilkan susu, daging dan sapibakalan. Sebagian besar biaya produksi untuk produksi ternak dapat dikompensasi ‘nilai kompos’ untuk keperluan budidaya tanaman.
Seperti dimasa lalu, ternak mempunyai peran multi-fungsi yaitu sebagai (a) penghasil protein hewani, (b) mesin pembuat kompos dengan memanfaatkan limbah pertanian, (c) menciptakan lapangan kerja, (d) tabungan, (e) meningkatkan status sosial, dan (d) meningkatkan ketahanan (pangan) keluarga petani, daerah, maupun nasional.
Keterkaitan antara tanaman dengan ternak sapi dalam satu sistem usaha tani terpadu ini dapat dikembangkan keluarga petani secara berkelompok maupun kawasan perkebunan maupun lahan 'bero' yang saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Dengan pendekatan pola ini diharapkan petani mendapatkan sumber income dari dua komoditas yang diusahakan, disamping kemungkinan penurunan biaya produksi baik pada usaha tanaman maupun usaha ternaknya dengan munculnya kondisi saling menunjang diantara kedua usaha komoditas tersebut.
Manajemen yang diaplikasikan adalah 'zero waste' dan 'zero cost', terutama pendekatan
Ternak lokal Ternak impor
M1 M2 M3
Tingkat manajemen
LEISA. Teknologi untuk menunjang sistem ini sudah tersedia, tetapi pengorganisasian dalam pelaksanaan harus dipilah dan dipilih berdasarkan AEZ dan kondisi sosekbud masyarakat. Model integrasi dapat dilakukan secara in-situ maupun ex-situ, tetapi yang terpenting adalah aliran atau siklus biologis yang tidak terputus.
DAFTAR PUSTAKA
CHANTALAKHANA, C. dan P. SKUNMUN. 2002.
Sustainable Smallholder Animal Systems in the Tropics. Kasetsart University Press.
DEVENDRA,C. 1993. Sustainable Animal Production from Small Farm Systems in South East Asia.
FAO Animal Production and Health Paper.
FAO, Rome.
DIREKTORAT JENDERAL BP PETERNAKAN. 2003.
Laporan Pembangunan Peternakan tahun 2002. Bahan Rapat Internal Deptan.
DIWYANTO, K. dan A. PRIYANTI. 2004.
Pengembangan sistem integrasi jagung-ternak untuk meningkatkan daya saing dan pendapatan petani: Model Sub sistem agro produksi mendukung sistem integrasi jagung- ternak. Makalah disampaikan dalam rangka
‘Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Jagung- Ternak’ Pontianak, 22-24 September 2004.
DIWYANTO, K., B.R. PRAWIRODIPUTRO dan D.
LUBIS. 2002. Integrasi tanaman ternak dalam pengembangan agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkerakyatan. Wartazoa 12(1): 1-8.
DIWYANTO, K., et al. 2001. Importance of integration in sustainable farming system.
International Seminar on Integration of
Agricultural and Environmental Policies in an Environmental Age. Korea Rural Economic Institute (KREI), Food and Fertilizer Technology Center for The Asian and Pasific Region (FFTC-ASPAC). Seoul, Korea 2001.
DJAJANEGARA, A. dan K. DIWYANTO. 2001.
Development strategies for genetic evaluation of beef production in Indonesia. Proc. Of an Int’l Workshop Held in Khon Kaen Province, Thailand, July 23-28, 2001. ACIAR. No. 108.
HADI,P.U.,N.ILHAM,A.THAHAR.,B.WINARSO,D.
VINCENT dan D. QUIRKE. 2002. Improving Indonesia’s Beef Industry. ACIAR Monograph No. 95.
HARYANTO, B., M. SABRANI, M. WINUGROHO, B.
SUDARYANTO, B.RISDIONO, A. PRIYANTI, E.
MARTINDAH, M. SIAHAAN, E. SUYANTI dan SUBIYANTO. 1999. Pengembangan hijauan makanan ternak menunjang IP 300. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Pemimpin Bagian Proyek Pemberdayaan Petani Peternak Pusat.
PEZO,D. dan C.DEVENDRA. 2002. The relevance of crop-animal systems in South Esat Asia. In:
Research Approaches and Methods for Improving Crop-Animal Systems in South East Asia. ILRI. pp.1-27.
STATISTIK PETERNAKAN. 2003. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Departemen Pertanian, Jakarta.
TRIKESOWO, N. 2004. Peluang dan kendala pengembangan agribisnis peternakan sapi.
Makalah disampaikan pada acara Lokakarya
‘Peranan road map dalam membantu penyusunan program pembangunan peternakan yang berkelanjutan menuju tahun 2020’.
Puslitbang Peternakan, Bogor, 1 September 2004.
DISKUSI Pertanyaan:
Apakah pengelolaan sapi pola integrasi disarankan untuk dilakukan secara berkelompok?
Jawaban:
Pengelolaan sapi sebaiknya berkelompok. Pemeliharaan sapi ekonomis minimal berjumlah 8 ekor.