• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi

Sapi adalah hewan sosial yang hidupnya berkelompok (Bouissou dan Boissy 2005), sedangkan bangsa sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Bangsa Taurus (Simmental, Limousin dan FH) memiliki karakteristik performans yang berbeda sesuai dengan genetiknya (Kuswahyuni, 2008). Karakteristik tersebut dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Seluruh sapi berpotensi dijadikan sebagai ternak bibit yang didasarkan pada berbagai faktor.

Sapi asli Indonesia yang meliputi sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh dan sapi Hissar, sedangkan kelompok sapi persilangan yaitu bangsa sapi impor yang meliputi sapi Simmental, sapi Limousin, sapi Angus, sapi Brahman dan sapi Brangus. Keunggulan yang dimiliki oleh sapi Indonesia pada umumnya adalah daya adaptasi dan tingkat kesuburan tinggi, persentase karkas lebih tinggi, dapat digunakan sebagai tenaga kerja dan daya tahan terhadap caplak. Karmita et al.

(2001) menyatakan khususnya sapi Bali memiliki potensi ekonomi yang tinggi dibandingkan sapi Indonesia lainnya. Adapun sapi persilangan biasanya unggul dalam hal pertumbuhan bobot badan yang tinggi dan mempunyai kualitas daging lebih baik.

Sapi merupakan ternak potensial untuk memenuhi kebutuhan daging dan susu

di Indonesia. Prajogo et al. (2002) menyatakan ternak sapi perah yang potensial di

Indonesia adalah sapi FH, sedangkan ternak sapi potong yang potensial adalah sapi

Limousin dan Simmental. Program peningkatan populasi sapi potong dapat

dilakukan melalui pengendalian pemotongan ternak sapi produktif, pengendalian

penyakit reproduksi dan penyediaan bibit ternak sapi bermutu (Sodiq, 2006). Faktor

yang menentukan efisiensi maksimum produksi susu sapi perah adalah berapa

banyak liter susu yang diproduksi per hari sepanjang hidupnya, sedangkan untuk sapi

tipe pedaging faktor yang menentukan adalah kecepatan tumbuh setiap hari dan dari

bagian karkas yang dapat dimakan (Philips, 2001).

(2)

Sapi Fries Holstein

Sapi FH merupakan sapi tipe perah yang banyak terdapat di Indonesia. Sapi perah ini berasal dari daerah subtropis provinsi Belanda Utara dan daerah Friesland Barat (Philips, 2001). Sapi ini dikembangkan dari nenek moyang sapi liar Bos (Taurus) Typicus Primigineus. Sapi FH mempunyai ciri-ciri kepala panjangnya sedang, mulut lebar dengan hidung terbuka lebar, rahang kuat, dahi lebar, leher panjang dan warna tubuh belang hitam putih. Hasil penelitian di Thailand, yang juga negara tropis menunjukan bahwa sapi-sapi perah subtropis dapat beraklimatisasi dengan baik pada suhu dibawah 18 ºC dan kelembaban di atas 55% (Siregar, 2003).

Sapi FH dapat dikawinkan pertama kali pada umur 15 bulan dimana bobot badannya mencapai sekitar 400 kg, dan lama bunting sapi FH umumnya 9 bulan (Oklahoma State University, 2000).

Populasi sapi perah di Indonesia menunjukan perkembangan, selama kurun waktu 1970 hingga 2009 dari 52.000 ekor menjadi 500.000 ekor. Tahun 1994 produksi susu tercatat 426.727 ton dan meningkat menjadi 750.000 ton pada tahun 2009 (Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2009). Philips (2001) menyatakan FH adalah sapi yang intensif dalam system produksi susu di dunia, di Inggris 90% produsen susu menggunakan sapi ini karena produksi susu sapi perah ini dapat mencapai 7342 kg/tahun (Talib et al., 2003). Faktor yang menyebabkan belum terpenuhinya kriteria mutu susu segar di Indonesia adalah kebutuhan jumlah dan jenis pakan yang tidak terpenuhi, penerapan sanitasi dan higiene yang tidak benar dalam proses pemeliharaan, pemerahan serta kebersihan kandang yang kurang memadai (Mirdhayati et al., 2008). Imbangan rumput lapangan dan konsentrat 70 : 30 merupakan ransum terbaik bila ditujukan untuk meningkatkan kadar lemak susu, kadar protein dan bahan kering tanpa lemak (Suherman, 2005).

Sapi Simmental

Sapi Simmental adalah bangsa Bos Taurus berasal dari lembah Simme di

Swiss, sapi ini sudah banyak menyebar di daerah Eropa Tengah dan Eropa Timur

(Philips, 2001). Setengah dari ternak di Swiss berasal dari sapi Simmental dan

merupakan jenis ternak sapi yang paling populer di Eropa. Sapi Simmental memiliki

wajah putih dengan tubuh gelap, memiliki tubuh yang besar (sapi jantan dewasa

bobot badannya dari 1.043-1.179 kg, sedangkan sapi betina dewasa bobot badannya

(3)

sekitar 658-816 kg) dan dapat beradaptasi dalam berbagai iklim. Simmental memiliki pertumbuhan yang sangat cepat, sekitar 3 pon (1,4 kg) per hari (Gillespie dan Flanders, 2009). Sapi ini bukan hanya sapi dwiguna, tetapi triguna karena dapat berfungsi sebagai sapi pekerja, meskipun Simmental digolongkan dalam tipe triguna, tetapi pemanfaatan sapi ini umumnya sebagai ternak pedaging karena memiliki pertumbuhan otot yang sangat baik, menghasilkan karkas yang tinggi dan sedikit lemak (Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2006).

Sapi Limousin

Sapi Limousin berasal dari Perancis keturunan dari Bos Taurus. Sapi Limousin memiliki bulu warna mulai dari kuning sampai merah keemasan dan tanduknya berwarna cerah dengan tanduk jantan tumbuh keluar dan melengkung.

Kepala Limousin adalah kecil dan pendek dengan dahi yang lebar dan leher yang pendek. Sapi jantan dewasa bobot badan 907-998 kg dan bobot badan sapi betina dewasa 544-635 kg. Sapi Limousin dikenal untuk efektivitas mereka dalam efisiensi pakan ternak, karkas yang tinggi dan besarnya daerah loin (Gillespie dan Flanders, 2009).

Sapi potong ini termasuk jenis yang berukuran tubuh besar, bentuk tubuh panjang, mempunyai perototan bagus dan kandungan lemaknya sedikit, menghasilkan 63% daging dengan tekstur yang baik, 16% lemak dan 21% tulang dari bobot karkas, sedangkan pada sapi jenis lain daging yang dihasilkan 43%, lemak 44% dan tulang 13%. Secara genetik Limousin merupakan sapi tipe besar, mempunyai volume rumen yang besar, voluntary intake (kemampuan menambah konsumsi diluar kebutuhan yang sebenarnya) yang tinggi dan metabolic rate yang cepat, sehingga menuntut tata laksana pemeliharaan yang lebih teratur (Gillespie dan Flanders, 2009).

Inseminasi Buatan

Aplikasi teknologi IB menggunakan semen beku telah dilakukan di Indonesia sejak tahun 1972 menggunakan semen beku hasil impor. Produksi semen beku di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1976 di BIB Lembang (Jawa Barat) dan dilanjutkan di Singosari (JawaTimur) pada tahun 1982 (Feradis, 2010a).

Beberapa keuntungan dari teknik IB menurut Ball dan Peters (2004) adalah :

(4)

a. Mendapatkan genetik yang diinginkan jadi dapat disesuaikan dengan kebutuhan para peternak dan dapat memanfaatkan pejantan yang genetik unggul dengan semaksimal mungkin.

b. Penghematan biaya, tidak perlu memelihara pejantan yang belum tentu merupakan pejantan yang terbaik untuk diternakkan.

c. Lebih aman, penggunaan IB dapat menghindari penggunaan hanya satu pejantan dalam persilangan dengan banyak betina di dalam suatu peternakan.

d. Fleksibel, untuk mendapatkan semen dari pejantan yang berkualitas baik tidak perlu membawa pejantan ke lokasi, hanya membawa semen saja.

Semen

Semen adalah sekresi kelamin jantan yang secara normal diejakulasikan ke dalam saluran kelamin betina saat kopulasi yang terdiri atas plasma semen dan spermatozoa. Semen normal akan mengandung sejumlah spermatozoa yang bergerak progresif, mati, hidup tetapi immotil atau motilitasnya lemah (Campbell et al., 2003a). Ejakulat normal semen sapi berwarna krem sampai putih, semen dengan konsentrasi yang rendah akan terlihat bening, tembus cahaya dan volume semen berkisar antara 6-8 ml (Garner dan Hafez, 2000).

Karakteristik semen sapi dapat dilihat secara makroskopis dan mikroskopis.

Penilaian secara makroskopis meliputi warna, konsistensi, volume dan pH. Derajat keasaman (pH) normal untuk semen sapi berkisar antara 6,5-6,9. Menurut Feradis (2010b) semen sapi yang normal memiliki konsistensi dari sedang sampai kental.

Campbell et al. (2003b) menyatakan bahwa konsentrasi spermatozoa pada sapi jantan dewasa berkisar antara 800-1200 juta/ml semen. Pejantan dianggap sudah memuaskan jika memiliki konsentrasi spermatozoa >500 juta/ml dengan nilai motilitas spermatozoa sapi antara 70-80% (Garner dan Hafez, 2000).

Pengamatan mikroskopis yang harus diperhatikan adalah morfologi

(normalitas) dari spermatozoa. Spermatozoa dalam suatu kelompok mempunyai

kecenderungan untuk bergerak bersama-sama ke satu arah yang menyerupai

gelombang-gelombang yang tebal dan tipis, bergerak cepat atau lamban tergantung

dari konsentrasi spermatozoa yang hidup di dalamnya. Gerakan massa semen yang

memiliki kualitas baik (++), bila terlihat gelombang-gelombang kecil, tipis, jarang,

kurang jelas dan bergerak lamban, sedangkan kualitas yang sangat baik (+++), bila

(5)

terlihat gelombang-gelombang besar, banyak, gelap, tebal dan aktif (Feradis, 2010b).

Jumlah volume, konsentrasi dan konsistensi dari seekor pejantan sangat bervariasi hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain kondisi masing-masing individu, seperti kualitas organ reproduksi, umur dan kondisi manajemen peternakan (Gordon, 2004). Persentase motilitas spermatozoa mempunyai korelasi dengan fertilitas, sehingga motilitas dapat menjadi parameter kualitas semen yang utama (Tappa et al., 2007). Pengujian konsentrasi spermatozoa dan morfologi spermatozoa merupakan dasar hubungan kondisi spermatozoa yang dapat menentukan tingkat abnormal dan dapat berpengaruh pada fertilitas ternak (Januskaukas dan Zilinskas, 2002).

Spermatogenesis

Spermatozoa dibentuk di dalam testes melalui proses yang disebut spermatogenesis, tetapi mengalami pematangan lebih lanjut di dalam epididimis dimana spermatozoa disimpan sampai saat ejakulasi.

Tahapan spermatogenesis meliputi:

a. pembentukan spermatosit primer dan sekunder dari spermatogonia tipe A b. spermiogenesis atau metamorfosis spermatozoa dari spermatid.

Spermatositogenesis dikendalikan oleh FSH dari adenohypophysa dan spermiogenesis berada di bawah pengaruh LH dan testosteron. Proses spermatogenesis pada sel-sel kelamin jantan berkembang secara progresif dan bermigrasi dari membrana basalis ke arah lumen tubuli seminiferi.

a. Fase I (15-17 hari)

Pembelahan mitosis spermatogonia tipe A menjadi dua anak sel yaitu spermatogonium dorman yang menjamin kontinuitas spermatogonia dan satu spermatogonium aktif yang membagi diri empat kali hingga akhirnya membentuk 16 spermatosit primer (2n).

b. Fase II (kurang lebih 15 hari)

Pembelahan meiosis dari spermatosit primer (2n) menjadi spermatosit sekunder (n)

c. Fase III (beberapa jam)

Pembelahan spermatosit sekunder menjadi spermatid

d. Fase IV (kurang lebih 15 hari)

(6)

Metamorfosis spermatosit menjadi spermatozoa tanpa pembelahan sel. Proses spermatogenesis disini meliputi perombakan radikal bentuk sel dimana sebagian besar sitoplasma termasuk asam ribo nukleat (ARN), air dan glikogen terlepas atau menghilang (Nuryadi, 2001).

Spermatid adalah suatu sel bundar yang relatif besar sedangkan spermatozoa merupakan suatu sel langsing memanjang yang kompak dan motil, dan terdiri dari kepala dan ekor. Aparat golgi dari spermatid membentuk tudung anterior atau akrosom spermatozoa dan mitokondria dari sitoplasma berkumpul pada ekor yang bertumbuh keluar sentriol (Feradis 2010a).

Secara teoritis pada sapi 16 spermatosit primer dan 64 spermatozoa berkembang dari spermatogonia tipe A, akan tetapi selama meiosis terjadi kehilangan sel, sekitar 25% yang ditandai oleh adanya inti-inti piknotis. Spermatozoa akhirnya dilepaskan dari sitoplasma sel-sel sertoli dan memasuki lumen tubuli seminiferi.

Kurang lebih 15 hari setelah terbentuk, spermatogonia dorman mulai membagi diri dengan cara yang sama dan proses ini berulang secara terus menerus. Fase I, II dan III disebut spermatositogenesis dan fase IV disebut spermiogenesis. Spermatozoa sapi memerlukan kira-kira 10 hari untuk melewati epididimis, karena spermatogenesis pada sapi berlangsung selama 50 sampai 62 hari maka waktu yang dibutuhkan dari spermatogonia tipe A sampai spermatozoa yang diejakulasikan pada sapi kira-kira 60 sampai 70 hari (Feradis 2010a).

Spermatozoa

Spermatozoa terbagi atas kepala, akrosom dan ekor. Kepala spermatozoa umumnya berbentuk oval, datar dan inti mengandung kromatin yang kompak. Inti spermatozoa terdiri deoksiribonukleat acid (DNA) kompleks yang merupakan protein dasar disebut dengan protamines spermatozoa (Ax et al., 2000)

Bagian ujung anterior inti spermatozoa di lindungi oleh kantong membran

berlapis ganda dan tipis yang disebut akrosom. Akrosom mengandung enzim

akrosin, hialuronidase dan enzim hidrolitik lainnya yang akan mempengaruhi proses

fertilisasi. Ekor spermatozoa terdiri atas bagian leher, tengah, utama dan ujung. Ekor

spermatozoa mengandung axonema yang ditutupi oleh membran plasma, dimana

axonema tersebut bertanggung jawab terhadap motilitas spermatozoa. Komponen

kimia utama dari spermatozoa adalah asam nukleat, protein dan lipid, sedangkan

(7)

unsur pokok inorganik dari spermatozoa adalah phosphor, nitrogen dan sulfur (Garner dan Hafez, 2000).

Pengencer Semen

Media yang digunakan untuk pengenceran semen tidak hanya menambah volume tetapi juga dapat mempertahankan kelangsungan dan lama hidup dari spermatozoa dalam jangka waktu tertentu. Tujuan utama pengenceran semen adalah untuk memperbanyak volume semen sehingga menambah jumlah betina yang akan dikawinkan (Campbell et al., 2003b) dan dilakukan untuk menjamin kebutuhan fisik dan kimiawi spermatozoa (Nuryadi, 2001).

Bahan pengencer semen biasanya menggunakan kuning telur, karena mengandung lipoprotein dan lesitin yang berfungsi untuk melindungi dan mempertahankan integritas selubung lipoprotein spermatozoa (Gordon, 2004). Aku et al. (2007) menyatakan

l

esitin adalah campuran phosfatida dan senyawa-senyawa lemak yang meliputi Phosphatidil choline, phosphatidil anolamin dan phosphatidil inositol yang merupakan bahan penyusun alami pada hewan maupun tanaman.

Zat pelindung yang sering digunakan untuk mempertahankan spermatozoa dalam jangka waktu yang lama dan mencegah spermatozoa dari pengaruh buruk pembekuan semen disebut dengan agen krioprotektan. Salah satu krioprotektan yang sering ditambahkan dalam pengencer semen adalah gliserol. Penambahan gliserol ke dalam pengencer bergantung pada jenis pengencer, metode pembekuan dan spesies hewan yang digunakan (Garner dan Hafez, 2000). Penambahan gliserol dapat mencegah pembentukan kristal es besar, pembentukan kristal es dapat merusak organel sel secara mekanis misalnya jika lisosom pecah akan mengeluarkan asam hidrolase yang dapat mencerna bagian lain dari sel, jika mitokondria rusak maka rantai oksidasi akan terputus (Gordon, 2004).

Semen Beku

Nebel (2007), menyebutkan semen beku atau frozen semen adalah semen

yang disimpan pada suhu di bawah titik beku suhu (-79 °C sampai -196 °C). Salah

satu kerusakan pada spermatozoa selama proses kriopreservasi sampai pencairan

kembali adalah peroksidasi lipid (Waluyo, 2006). Pembekuan semen (kriopreservasi)

merupakan usaha untuk menjamin daya tahan spermatozoa dalam waktu yang lama

(8)

melalui proses pengolahan, pengawetan dan penyimpanan semen sehingga dapat digunakan pada suatu waktu sesuai dengan kebutuhan.

Pembekuan adalah suatu fenomena pengeringan fisik, pada pembekuan semen terbentuk kristal-kristal es, terjadi penumpukan elektrolit dan bahan terlarut lainnya di dalam larutan atau di dalam sel. Pada umumnya masalah pengawetan semen berkisar pada dua hal, yaitu pengaruh cold shock terhadap sel yang dibekukan dan perubahan-perubahan intraseluler akibat pengeluaran air yang berhubungan dengan pembentukan kristal-kristal es. Kedua masalah tersebut akan menyebabkan kerusakan pada spermatozoa. Menurut Gao dan Crister (2000), kerusakan sel selama proses pembekuan terjadi pada saat sel yang tersuspensi didinginkan hingga mencapai suhu -15 °C, kristal es mulai terbentuk di ruang ekstraseluler sedangkan sel itu sendiri tidak ikut membeku, hal ini disebabkan karena membran plasma menahan perkembangan kristal es di dalam sitoplasma sel. Air yang terdapat di dalam sel kemudian berdifusi keluar karena meningkatnya konsentrasi cairan ekstraseluler yang disebabkan oleh membekunya sebagian besar air yang ada di ruang ekstraseluler.

Komposisi dasar sebagai krioprotektan untuk air mani beku adalah: a)

substansi non-ionik dan ion mempertahankan osmolaritas dan menyediakan kapasitas

buffer, b) sumber lipoprotein untuk mencegah kejutan dingin, seperti kuning telur,

susu atau kedelai (lesitin), c) glukosa atau fruktosa aditif sebagai sumber energi

(Gordon, 2004).

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam menanamkan kesadaran Pluralisme agama kepada para santri melalui; pertama, penanaman Aqidah Islamiyah yang kuat sebagai pondasi

independen digunakan adalah profitabilitas, struktur aktiva, ukuran perusahaan dan pertumbuhan penjualan hal ini dikarenakan pada pemetaan penelitian terdahulu diperoleh

Pada kondisi berbeban nilai arus juga menurun bersamaan dengan nilai temperatur yang meningkat, hal ini disebabkan nilai tegangan yang lebih dahulu turun akibat

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori penerimaan diri dari Jersild (1963) dimana penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran

Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor yang mempengaruhi (PUS) tidak menggunakan alat kontrasepsi yang diteliti di Desa Sigulang Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara

Sedangkan menurut Cronbach (2006: 191) “Kesiapan belajar adalah segenap sifat atau kekuatan yang membuat seseorang dapat bereaksi dengan cara tertentu”. Dari

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui parameter-parameter yang tepat pada simulasi aliran fluida dalam thermo vapor compressor dan mengetahui pengaruh

Dalam penelitian Mulyadi (2010), respon baik siswa tergambar dari: (1) Siswa menjadi lebih antusias atau semangat mengikuti kegiatan pembelajaran; (2)