• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUATAN KOPERASI SUSU UNTUK MENDORONG PENGEMBANGAN USAHA SAPI PERAH RAKYAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGUATAN KOPERASI SUSU UNTUK MENDORONG PENGEMBANGAN USAHA SAPI PERAH RAKYAT"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUATAN KOPERASI SUSU UNTUK MENDORONG

PENGEMBANGAN USAHA SAPI PERAH RAKYAT

(Empowerment of Milk Cooperation to Support the Development of Dairy

Cattle Farming)

R.A.SAPTATI danS.RUSDIANA

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor

ABSTRACT

The increase of international milk price since early 2007 that reached 41 percent may cause better condition for national milk industry. This was due to the national high demand by the milk processing industry (IPS). One of the institutions that directly related to the development of dairy cattle farming is milk cooperation in the production center of dairy cattle. The relationship between milk cooperation and the dairy cattle business not only of historical factor for government policy implementation, but also the role as a middle chain between farmers and the IPS in milk marketing. However, many milk cooperation that do not perform the role optimally so that affects the farmers empowereless. Empowerement of milk cooperation is one of the efforts to accelerate dairy cattle development which may increase national milk production. Professional and good human resources is needed for the cooperation and have high willingness to work and commitment to put cooperation above the self interest. The cooperation has been asked to enlarge the net-working with the IPS. Contract farming adaptation could help to attain the program because the mutual collaboration that has the same interest among farmers, cooperation and the IPS. It is suggested for cooperation to diverse the business towards down stream industry through milk processing, such us pasteurization and ultra high temperature (UHT) milk.

Keywords: Milk cooperation, empowerment, dairy cattle ABSTRAK

Kenaikan harga susu di tingkat global sejak awal tahun 2007 yang mencapai 41 persen telah memberikan perbaikan bagi industri persusuan nasional. Produksi susu dari peternak di dalam negeri terserap baik dengan harga yang relatif meningkat. Hal ini dikarenakan tingginya permintaan susu di dalam negeri oleh industri pengolahan susu (IPS). Salah satu wadah organisasi yang berhubungan langsung dengan pengembangan usaha sapi perah adalah koperasi susu yang terdapat di daerah-daerah sentra usaha sapi perah. Keterkaitan antara koperasi susu dengan usaha sapi perah tidak hanya sebatas faktor historis kebijakan pemerintah dalam pengembangan usaha sapi perah, akan tetapi koperasi tersebut juga merupakan lembaga yang bertindak sebagai mediator antara peternak dengan IPS terutama dalam pemasaran susu. Namun banyak koperasi yang belum dapat menjalankan fungsinya secara optimal, yang berdampak terhadap ketidakberdayaan peternak. Penguatan koperasi susu merupakan salah satu upaya untuk memacu pengembangan usaha sapi perah dan peningkatan produksi susu nasional. Untuk itu dibutuhkan SDM koperasi yang profesional dan handal, memiliki naluri berusaha yang tinggi serta memiliki komitmen untuk mengutamakan kepentingan koperasi di atas kepentingan pribadi. Selain itu, koperasi juga dituntut untuk memperkuat jaringan (networking) dengan industri-industri pengolahan susu. Adaptasi kelembagaan contract farming akan sangat membantu dalam terwujudnya hal ini, karena adanya kemitraan yang jujur dan memperhatikan kepentingan bersama antara peternak, koperasi susu dan IPS. Disarankan koperasi untuk mengembangkan usahanya ke arah pengembangan industri down stream melalui pengolahan susu misalnya pasteurisasi dan ultra high

temperature (UHT).

(2)

PENDAHULUAN

Susu merupakan produk hewani yang mengandung zat-zat nutrisi lengkap yang sangat dibutuhkan oleh manusia, bukan saja untuk pertumbuhan dan kesehatan, tetapi juga untuk kecerdasan berpikir terutama bagi anak-anak. Bahkan diyakini dengan meningkatkan konsumsi susu pada anak-anak, maka kemung-kinan terjadinya lost generation yang saat ini mengancam Indonesia dapat dicegah. Saat ini konsumsi susu dan produknya di Indonesia paling rendah di kawasan Asia Tenggara, yaitu baru mencapai 7 liter/kapita/tahun. Sementara konsumsi susu negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Singapura rata-rata mencapai 30 liter/kapita/tahun, bahkan negara-negara di Eropa sudah mencapai 100 liter/ kapita/tahun (DARYANTO, 2007). Seiring dengan semakin meningkatnya pendapatan masyarakat, jumlah penduduk, perubahan gaya hidup dan kesadaran akan pemenuhan kon-sumsi pangan yang bergizi, dapat dipastikan bahwa konsumsi produk susu oleh penduduk Indonesia akan meningkat. Saat ini produksi susu dalam negeri baru dapat memasok sekitar 30 persen dari permintaan nasional atau sekitar 1.200 ton per tahun (SUTEJO, 2008), dan 70 persen sisanya berasal dari impor. Tingginya importasi produk susu menimbulkan kerugian-kerugian seperti terkurasnya devisa nasional, hilangnya kesempatan baik (opportunity loss) yang berasal dari tidak termanfaatkannya potensi sumberdaya yang ada untuk pengem-bangan agribisnis persusuan (DARYANTO, 2007).

Kenaikan harga susu dunia sejak awal tahun 2007 dimana kenaikannya pada lima bulan pertama menurut US Daily Market News (USDMN) mencapai 41,22 persen, telah membuat industri pengolahan susu (IPS) beralih untuk menyerap produksi susu sapi di dalam negeri. Hal ini karena harga bahan baku susu impor yang dibeli oleh IPS mencapai Rp. 4.800 - Rp. 5.000,- per liter (ANTARA NEWS on line, 2007) atau naik dari US$ 2,900 per ton menjadi US$ 4,500 per ton pada semester pertama 2007 (SUTEJO, 2008). Kenaikan harga susu bubuk dunia tersebut dipicu oleh menyusutnya produksi internasional akibat kekeringan di sejumlah negara produsen serta adanya pengurangan subsidi dari pemerintah

bagi peternak di masing-masing negara penghasil.

Hal tersebut merupakan peluang bagi peningkatan produksi susu segar dalam negeri, dimana sebagian besar dihasilkan oleh usaha rakyat. Mengingat potensi sumberdaya yang ada, maka sudah sewajarnya bahwa usaha sapi perah rakyat harus dikembangkan agar dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan meningkatkan dayasaing produk di pasar global.

Salah satu wadah organisasi yang berhubungan langsung dengan pengembangan usaha sapi perah adalah koperasi susu yang terdapat di daerah-daerah sentra usaha sapi perah. Sebagian besar peternak sapi perah tergabung dalam koperasi susu, dimana saat ini terdapat 96 koperasi susu yang aktif dengan jumlah anggota mencapai 92.500 peternak yang memelihara sekitar 290 ribu ekor sapi (DIRJEN PERBENDAHARAAN, 2007). Keterkaitan antara koperasi susu dengan usaha sapi perah tidak hanya sebatas faktor historis kebijakan pemerintah dalam pengembangan usaha sapi perah, akan tetapi koperasi tersebut juga merupakan lembaga yang bertindak sebagai mediator antara peternak dengan IPS (DARYANTO, 2007). Begitu eratnya hubungan antara koperasi susu dengan usaha sapi perah, sehingga pengembangan usaha sapi perah sangat tergantung kepada kemampuan koperasi susu untuk melaksanakan fungsinya. Koperasi susu mempunyai peranan yang strategis dalam pengembangan usaha sapi perah. Banyak koperasi susu yang belum dapat melaksanakan fungsi-fungsinya secara optimal, yang mengakibatkan ketidakberdayaan peternak. Oleh sebab itu penguatan koperasi susu merupakan suatu potensi yang besar untuk memacu pengembangan usaha sapi perah yang berdampak terhadap peningkatan produksi susu nasional. Makalah ini memberikan ulasan terhadap upaya penguatan koperasi susu di Indonesia dalam rangka mendorong pengembangan usaha sapi perah rakyat.

PERMASALAHAN PERSUSUAN NASIONAL

Perkembangan persusuan di Indonesia dapat dikatakan stagnan atau tidak mengalami perkembangan yang berarti selama 12 tahun terakhir. Produksi susu lokal belum beranjak

(3)

dari angka 1,1 juta–1,2 juta liter per hari. Jumlah ternak sapi perah berkisar 290 ribu ekor. Padahal, kebutuhan susu mencapai 4–4,5 juta liter per hari, yang diperkirakan dapat dihasilkan oleh 750 ribu ekor sapi (KHAIRINA, 2007). Sampai saat ini, untuk mengatasi disparitas supply dan demand yang besar tersebut, Indonesia masih bergantung pada impor bahan baku susu terutama dari Australia dan New Zealand. Perkembangan produksi susu yang lambat ini dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu: (1) iklim tropis yang kurang sesuai dengan pengembangan komoditas susu; (2) rendahnya skala usaha pemilikan sapi oleh peternak dimana rata-rata hanya 2-4 ekor; (3) kondisi kesehatan ternak serta kualitas genetik ternak yang rendah; (4) manajemen usaha ternak yang masih rendah akibat rendahnya kualitas sumberdaya peternak; (5) kesulitan bahan pakan berkualitas, sementara lahan rumput semakin sempit; (6) masih kurangnya tenaga ahli yang membantu peternakan rakyat; (7) rendahnya kualitas susu yang dihasilkan; (8) biaya transportasi tinggi akibat kondisi infrastuktur transportasi kurang memadai dan (9) rendahnya tingkat konsumsi susu masya-rakat serta pemasaran susu karena tingginya persaingan susu impor (BAGA, 2003).

Kendala yang dihadapi dalam pengem-bangan usaha sapi perah selama ini terutama adalah ketidakberdayaan para peternak untuk mengembangkan usaha sebagai akibat rendah-nya pendapatan yang diperoleh selama ini. Sebagian besar peternak sapi perah (91 persen) merupakan usaha kecil dengan skala kepemilikan 2-4 ekor sapi perah per peternak. Jumlah pemilikan ternak merupakan salah satu ukuran skala usaha disamping ukuran-ukuran lainnya (KAY et al., 1994 dalam RAHAYU et al., 2008). Skala usaha ini kurang ekonomis karena keuntungan yang didapatkan selama ini pada umumnya hanya dapat memenuhi sebagian kebutuhan hidup, dan tidak memungkinkan untuk mengembangkan usaha sapi perahnya. Hasil kajian SUGIARTI dan SIREGAR (1999) di Kabupaten Bandung yang mencakup daerah-daerah Pengalengan, Cisarua dan Lembang menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata usaha sapi perah hanya sebesar Rp. 633.903,90,- per bulan dengan rataan jumlah sapi perah induk sepanjang tahun sebanyak 3 (tiga) ekor. Lebih lanjut, hasil kajian di daerah Cirebon dengan rataan pemeliharaan 2 (dua)

ekor sapi perah induk, menunjukkan penda-patan rata-rata usaha sapi perah hanya Rp.796.580,- per bulan (SIREGAR dan KUSNADI, 2004).

Rendahnya pendapatan peternak juga dipicu oleh rendahnya harga jual susu segar yang diterima oleh peternak. Sebagai perbandingan, harga susu impor di negara asalnya mencapai Rp.4.500,- per liter, dan di Indonesia harganya menjadi Rp.5.600,- per liter, sedangkan harga susu lokal di tingkat IPS hanya Rp.2.750 – Rp.3.450,- per liter. Di tingkat koperasi, harga beli susu dari peternak lebih rendah lagi yaitu Rp.2.300 – Rp.2.500,- per liter (KHAIRINA, 2007). Walaupun setelah terjadi kenaikan harga susu dunia, saat ini harga susu lokal di tingkat peternak berkisar antara Rp. 3.500 – Rp. 3.900,- per liter. Bagi para peternak kenaikan ini sebenarnya belum dapat mencapai angka break even point dari biaya per liter susu sapi apabila dihitung dari biaya pakan, obat-obatan dan tenaga kerja (ANTARA NEWS on line, 2007). Idealnya harga jual susu lokal sebesar 80 persen dari harga susu impor (KHAIRINA, 2007). Disparitas harga susu segar yang relatif besar di tingkat IPS dan peternak ini dikarenakan posisi tawar (bargaining position) peternak/koperasi terhadap IPS yang rendah. Harga susu lebih ditentukan oleh IPS berdasarkan standar kualitas mutu yang ketat seperti kandungan mikroba (TPC) dan total solid (TS) yang harus dipenuhi oleh koperasi. Di sisi lain banyak peternak belum mampu menghasilkan susu sesuai dengan kualitas yang ditetapkan oleh IPS, karena rendahnya kemampuan budidaya peternak.

Kemampuan budidaya peternak khususnya menyangkut kesehatan ternak dan mutu bibit yang masih rendah, sangat berpengaruh terhadap kualitas susu yang dihasilkan selain juga mengakibatkan lambatnya pertumbuhan produksi susu (DARYANTO, 2007). Rendahnya mengakibatkan banyak ternak yang terserang mastitis serta brucellosis, yang berakibat mengganggu kemampuan sapi untuk mempro-duksi susu. Sedangkan rendahnya mutu bibit sapi diakibatkan oleh terjadinya perkawinan inbreeding karena peternak belum melakukan penomoran dan pencatatan (recording) dengan baik, sehingga tidak terpantaunya program IB serta terbatasnya jumlah pejantan unggul penghasil semen. Kondisi ini dapat

(4)

menurun-kan produktivitas sapi hingga 20 persen dan banyaknya ras sapi perah yang dikawinkan dengan sapi potong dari ras Simental ternyata juga berpengaruh terhadap kemampuan dalam menghasilkan susu (NURYATI, 2007). Saat ini rata-rata produksi susu sapi perah peternak hanya berkisar antara 10 – 13 liter/laktasi/hari. Selain itu peternak juga menghadapi masalah kelangkaan sumber bibit sapi perah yang digunakan untuk replacement karena minimn-ya pihak minimn-yang mau berusaha dalam bidang pembibitan/rearing.

Terbatasnya lahan hijauan pakan ternak, mahalnya harga konsentrat dan tingginya biaya transportasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak, juga menjadi penghambat perkem-bangan usaha sapi perah. Keterbatasan lahan untuk penyediaan pakan hijauan merupakan masalah serius yang saat ini dihadapi oleh peternak. Di Indonesia belum tersedia lahan khusus yang diperuntukkan bagi peternakan sapi, selama ini peternakan sapi berada di atas tanah milik pribadi dengan luas terbatas. Apalagi lahan bagi pengembangan budidaya rumput semakin sempit akibat desakan atau tekanan penduduk serta keterbatasan jenis hijauan yang berkualitas sehingga peternak tidak mampu mencukupi kebutuhan hijauan yang dibutuhkan oleh ternaknya. Negara produsen susu seperti Australia, pemerintah menyediakan lahan luas untuk memenuhi kebutuhan pakan sapi. Harga pakan konsentrat yang semakin tinggi juga mengakibatkan banyak peternak yang memberikan konsentrat dengan kualitas rendah atau dalam jumlah yang kurang, padahal pakan merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap kemampuan berproduksi susu sapi perah induk. Pada usaha sapi perah biaya pakan konsentrat dapat mencapai 54,6 persen dari total biaya produksi susu (DARYONO dan MARTANEGARA, 1989).

PERANAN KOPERASI SUSU DALAM PENGEMBANGAN USAHA SAPI PERAH Perkembangan koperasi susu di Indonesia

Koperasi susu (sapi perah) yang pertama di Indonesia baru berdiri pada tahun 1949 yaitu Gabungan Petani Peternak Sapi Perah Pengalengan (GAPPSIP), dan pada tahun 1962 berdiri koperasi peternak SAE Pujon di Malang. Pada tahun 1963 GAPPSIP terpaksa

tutup akibat buruknya situasi sosial ekonomi dan politik saat itu, dan pada tahun 1969 atas inisiatif pemerintah dan masyarakat, di tempat yang sama kembali berdiri koperasi susu bernama Koperasi Peternak Bandung Selatan. Di Provinsi Jawa Timur sampai dengan tahun 1978 terdapat beberapa koperasi susu selain SAE Pujon, yaitu KUD Batu, Koperasi Setia Kawan di Nongkojajar dan Koperasi Suka Makmur, Grati. Perjalanan koperasi susu terus berkembang sesuai dengan berbagai permasalahan, terutama terkait dengan masalah pemasaran susu kepada IPS. Koperasi susu memiliki posisi tawar yang sangat lemah terhadap IPS baik dalam menentukan harga susu, jumlah dan waktu penjualan susu (BAGA, 2005).

Titik balik perkembangan koperasi susu di Indonesia dimulai pada tahun 1978, dengan terbentuknya Badan Koordinasi Koperasi Susu Indonesia (BKKSI) yang merupakan cikal bakal GKSI. Dengan adanya kelembagaan koperasi susu pada tingkat nasional, berbagai permasalahan yang dihadapi koperasi susu sedikit demi sedikit dapat teratasi dengan keluarnya beberapa kebijakan pemerintah seperti penetapan kuota impor susu oleh IPS, pengawasan pemerintah terhadap harga susu, penyediaan pakan ternak serta impor sapi perah berkualitas. Pada perkembangan selanjutnya dengan tetap mendapat perlindungan dan bantuan dari pemerintah, koperasi terus berkembang dari jumlah 27 buah pada tahun 1979 menjadi 198 buah pada tahun 1989 (Baga, 2005). Pertumbuhan jumlah koperasi sapi perah (termasuk KUD yang bergerak dalam usaha sapi perah) mengalami pertumbuhan 5,8 persen per tahun, sementara jumlah peternak yang menjadi anggota koperasi mengalami pertumbuhan yang lebih cepat yakni 10,8 persen per tahun. Setelah tahun 1984 koperasi mengalami pertumbuhan yang relatif lambat dan hampir tidak berkembang, sementara jumlah peternak per koperasi terus meningkat tajam (YUSDJA dan SAYUTI, 2002). Pada tahun 2000 jumlah koperasi susu mencapai 210 buah (GKSI, 2000 dalam YUSDJA dan SAYUTI, 2002) dan saat ini jumlah koperasi susu yang masih aktif tinggal 96 buah dengan jumlah anggota mencapai 92,5 ribu peternak yang memelihara sekitar 290 ribu ekor sapi (DIRJEN PERBENDAHARAAN, 2007).

(5)

Peranan koperasi susu di Indonesia

Bila melihat perkembangan agribisnis persusuan di negara lain, peran koperasi sangatlah besar dalam mengembangkan usaha tersebut. Di India misalnya, koperasi susu telah berkembang sedemikian rupa sehingga sampai saat ini telah berjumlah 57 ribu unit dengan 6 juta anggota. Demikian pula di Uruguay, dimana para peternak domestik telah mampu memproduksi 90 persen dari total produksi susu nasional (DARYANTO, 2007). Perkembangan usaha sapi perah rakyat di Indonesia juga tidak terlepas dari peranan koperasi yang merupakan salah satu lembaga yang mewadahi peternak sapi perah.

Pada awalnya peranan koperasi susu hanya sebatas pada penampungan dan pemasaran susu dari peternak ke IPS. Peternak tidak dapat menjual langsung ke IPS karena adanya persyaratan jumlah minimal setiap penyetoran susu, yang tidak mungkin dipenuhi oleh peternak jika tidak bergabung dalam suatu koperasi. Sebelum adanya kebijakan bukti serap (BUSEP) dijalankan, banyak IPS tidak menerima susu domestik dan lebih memilih susu impor untuk bahan baku industri karena kualitas dan harga susu impor yang lebih murah. Koperasi (GKSI) berhasil mendesak pemerintah untuk mengendalikan susu impor, mewajibkan IPS untuk menyerap susu rakyat, penentuan harga susu secara nasional, pembebasan pajak bagi koperasi, dan terus memajukan persusuan nasional melalui gerakan koperasi serta merealisir usaha pengembangan sapi perah di Indonesia (SYARIEF, 1997).

Keberhasilan koperasi dalam memperbaiki posisi tawar peternak mulai dirasakan dengan dilaksanakannya kebijakan BUSEP yang mewajibkan IPS untuk menyerap susu dari koperasi. Kebijakan ini berdampak terhadap peningkatan share produksi susu dari koperasi terhadap produksi susu nasional, dari sekitar 17,5 persen pada tahun 1979 menjadi 92,6 persen pada tahun 1984. Dengan kebijakan ini rasio penyerapan susu domestik dapat diperjuangkan menjadi 1:3,5 pada tahun 1984, dari perbandingan 1:20 pada tahun 1979 (BAGA, 2003 dan BAGA, 2005). Namun dalam perkembangannya, tingkat harga yang diterima oleh peternak tidak terus membaik. Besarnya ratio farm gate price terhadap consumer price

semakin menurun. Apalagi dengan adanya Inpres No. 4 tahun 1998 yang merupakan bagian dari LoI yang ditetapkan IMF, maka ketentuan pemerintah yang membatasi impor susu melalui BUSEP menjadi tidak berlaku lagi sehingga susu impor menjadi komoditas bebas masuk. Hal ini merupakan pukulan yang berat bagi peternak, karena posisi IPS menjadi lebih kuat dibandingkan peternak dan mengakibatkan rendahnya harga susu segar yang diterima peternak. Pada tahun 2000 ratio farm gate price terhadap consumer price kurang dari separuh ratio pada tahun 1979. Untuk mengatasi ketergantungan pemasaran terhadap IPS dan membuka pasar bagi produk susunya, beberapa koperasi seperti KPSBU Lembang dan KPBS Pengalengan telah merintis pengembangan usahanya ke arah pengembangan industri down stream, melalui pengembangan susu pasteurisasi maupun ultra high temperature (UHT).

Koperasi juga membantu peternak dalam penyediaan dan pendistribusian sarana produksi, sarana pemasaran, kesehatan hewan, IB, dan lain sebagainya. Dalam pengadaan sapronak koperasi bekerja sama dengan dinas terkait, GKSI, perbankan, pemasok bahan baku dan pabrik makanan ternak. Beberapa koperasi susu sudah mampu memproduksi konsentrat yang dibutuhkan oleh para anggotanya. Usaha pengadaaan pakan ternak sapi perah tersebut merupakan usaha kedua terbesar setelah susu segar (YUSDJA dan SAYUTI, 2002), walaupun dalam pelayanan penyediaan konsentrat ini masih ditemui kendala terkait dengan kualitas, harga, cara penyaluran serta kontinuitas pengadaan (TARYOTO dan SUNARSIH, 1994). Sebagian besar konsentrat yang diproduksi oleh koperasi memiliki kualitas rendah dan belum dapat memenuhi kebutuhan nutrisi untuk sapi perah yang berproduksi susu tinggi. Penelitian yang dilakukan di daerah Jawa Barat mendapatkan, bahwa konsentrat yang diproduksi oleh koperasi-koperasi susu masih berkualitas sangat rendah dengan kandungan protein kasar hanya sekitar 10,6 persen dan energi TDN di bawah 65 persen (SIREGAR dan WINUGROHO, 2005). Sapi-sapi perah yang berkemampuan tinggi dalam berproduksi susu memerlukan konsentrat yang mengandung protein kasar minimal 18 persen dan energi TDN 75 persen dari bahan kering (SIREGAR, 1996). Pemberian konsentrat yang berkualitas

(6)

rendah berakibat kepada kemampuan berproduksi susu yang rendah, dan umur ekonomis sapi perah akan menurun yaitu maksimal hanya sampai laktasi ke tujuh. Rendahnya kualitas konsentrat yang diproduksi oleh koperasi selain disebabkan oleh kurangnya kemampuan/keahlian dalam menyusun ransum juga karena rendahnya daya beli peternak. Untuk mengatasi kekurangan bibit sapi perah untuk replacement, beberapa koperasi telah melakukan kegiatan pembibitan (rearing) sapi perah. Pada sub sistem penunjang koperasi dapat berperan dalam pengembangan sumberdaya manusia (SDM) peternak, transfer teknologi, ketersediaan permodalan dan asuransi serta sebagai advokator-negosiator terdepan dalam pembentukan regulasi yang melindungi nasib petani (BAGA, 2005). YUNASAF (2008) menyatakan bahwa fungsi koperasi dalam hal ini belum optimal, terutama yang terkait dengan: (1) fungsi pengembangan keanggotaan, (2) fungsi pemberdayaan kelompok, dan (3) fungsi pengembangan partisipasi. Melemahnya peran koperasi dalam aktivitas sub sistem penunjang tersebut kemungkinan disebabkan melemahnya motivasi individu-individu koperasi susu dalam upaya terus meningkatkan kinerja koperasi susu dalam agibisnis susu nasional (BAGA, 2005).

PENGUATAN KELEMBAGAAN KOPERASI SUSU

Maju mundurnya usaha ternak sapi perah rakyat juga tergantung dari peran lembaga koperasi tersebut. Oleh karenanya penguatan/ pemberdayaan lembaga koperasi menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Koperasi tidak mungkin dapat memajukan anggotanya, jika koperasi tersebut tidak berdaya. Apalagi bila dibandingkan dengan negara India maupun Uruguay misalnya, peran koperasi di Indonesia belum terlihat signifikan. Beberapa koperasi seperti KPSBU Lembang dan KPBS Pengalengan merupakan contoh koperasi susu yang saat ini mampu berdiri kokoh dan maju.

Perkembangan koperasi susu sangat tergantung pada mekanisme yang terjadi di dalam koperasi. Koperasi dituntut dapat

melaksanakan fungsi-fungsinya secara optimal berupa pemasaran hasil produksi, juga pelayanan kebutuhan konsentrat, obat-obatan, IB dan fasilitas penyaluran kredit. Berdasarkan mekanisme kerja tersebut, seharusnya peternakan sapi perah rakyat dapat berkembang dengan baik (FIRMAN, 2008). Namun kenyataannya perkembangan populasi dan produksi cenderung stagnan.

Beberapa kelemahan koperasi susu antara lain: (1) rendahnya efisiensi manajemen yang menyebabkan tingginya handling cost (SETIADI, 2006), (2) banyaknya SDM koperasi yang kurang profesional dan tidak amanah, (3) kurangnya transparansi manajemen pengelolaan dan bersifat keluarga (pengelola berhubungan keluarga), (4) lemahnya posisi tawar (bargaining position) terhadap IPS, (5) belum sepenuhnya berpihak pada peternak (YUNASAF, 2008), serta (6) daya kompetisi yang rendah (FIRMAN, 2008).

Hasil penelitian YUSDJA dan SAYUTI

(2002) membuktikan bahwa koperasi tidak menjalankan manajemen tanpa pengawasan yang ketat oleh anggota, justru sebaliknya koperasi mempunyai kecenderungan lebih berkuasa mengatur anggota. Peternak tidak mempunyai hak kontrol sepenuhnya terhadap manajemen sehingga menimbulkan mismanajemen. Koperasi memiliki aset yang relatif kuat secara ekonomi, dengan investasi yang relatif besar dan adanya prospek permintaan susu segar yang terus meningkat, seharusnya koperasi mampu mengembangkan usaha sapi perah rakyat. Namun pada kenyataannya koperasi tidak dapat memberi insentif kepada peternak karena penggunaan investasi tersebut tidak terkait dengan usaha meningkatkan produktivitas dan ukuran skala usaha dari anggota. Koperasi pada umumnya melakukan diversifikasi usaha dengan menggunakan bagian SHU untuk mengembangkan usaha tersebut, sehingga SHU yang diterima oleh peternak semakin kecil. Hasil kajian YUSDJA (2005) menunjukkan bahwa koperasi di Jawa Timur memiliki SHU sebesar 13 persen, tetapi yang dibagikan ke peternak hanya 1,4 persen, sedangkan sisanya digunakan untuk membiayai usaha koperasi yang lain. Jumlah pegawai yang bekerja di koperasi relatif besar, sekitar 20 persen dari jumlah peternak dan meningkat seirama dengan peningkatan jumah peternak.

(7)

Hal ini tidak rasional dan merupakan pemborosan serta menyebabkan kesulitan dalam pengambilan keputusan (YUSDJA, 2005).

Keterbatasan informasi pasar yang dihadapi oleh peternak menyebabkan posisi tawar peternak terhadap IPS menjadi rendah, peternak hanya berperan sebagai price taker. Dengan bergabung melalui koperasi diharapkan peternak dapat memperbaiki posisi tawar, baik dalam memasarkan hasil produksi maupun dalam pengadaan input yang dibutuhkan. Diharapkan posisi tawar tersebut dapat berkembang menjadi kekuatan penyeimbang (countervailing power) dari berbagai ketidakadilan pasar yang dihadapi para petani (BAGA, 2005). Namun kenyataan yang ada koperasi belum mampu memperjuangkan posisi tawar peternak terhadap IPS secara maksimal, sehingga harga susu masih secara sepihak ditentukan oleh IPS. Dicabutnya kebijakan BUSEP oleh pemerintah dan meningkatnya harga susu global seharusnya dapat menjadikan koperasi lebih mandiri mampu berusaha dan terjun ke dalam persaingan usaha.

Oleh karena itu koperasi perlu melakukan reorganisasi penggunaan faktor produksi terutama membenahi kembali sistem pendanaan, pengurus, arah penggunaan investasi dan modal yang harus berorientasi efisiensi. Koperasi seharusnya tidak bertujuan memaksimumkan keuntungan koperasi, tetapi memaksimumkan keuntungan anggota (YUSDJA dan SAYUTI, 2002). Dalam melakukan diversifikasi usaha hendaknya koperasi tidak membebankan biaya aktivitas usaha tersebut dari pendapatan/fee penjualan susu peternak.

Koperasi susu harus mampu meningkatkan posisi tawar agar lebih dapat berperan dalam menentukan setiap kebijakan IPS. Koperasi juga harus memperkuat jaringan dengan industri-industri pengolahan susu. Adaptasi kelembagaan contract farming akan sangat membantu dalam terwujudnya hal ini, karena kemitraan yang jujur dan memperhatikan kepentingan bersama antara peternak, koperasi susu dan industri pengolahan susu merupakan hal mendasar. Akan lebih baik apabila setiap koperasi susu adalah juga pemegang saham terbesar IPS. Namun yang paling diharapkan dan merupakan jalan yang terbaik adalah dengan mendirikan pabrik pengolahan susu

kepunyaan koperasi susu yang akan menampung keseluruhan produksi susu para peternak sapi perah.

Selain itu untuk memberdayakan koperasi dibutuhkan SDM koperasi yang profesional dan andal, memiliki naluri berusaha yang tinggi serta yang terpenting memiliki komitmen untuk mengutamakan kepentingan koperasi diatas kepentingan pribadi

Peran pemerintah sangat diperlukan melalui berbagai kebijakan yang kondusif, fasilitasi, serta penganggaran melalui berbagai program, untuk mendorong pengembangan sapi perah berdaya saing. Dukungan kebijakan pemerintah yang diharapkan untuk mendukung pengembangan usaha sapi perah di Indonesia adalah: (1) mencabut subsidi impor, (2) perbaikan tataniaga dan harga susu (PRASETYA

ON LINE, 2006), (3) perluasan lahan untuk penanaman hijauan pakan, (4) mengalokasikan dana untuk mendukung program revolusi putih yang antara lain: penyediaan peralatan prosesing susu dengan teknologi tepat guna, peralatan untuk peningkatan kualitas susu, sarana pemasaran, mesin pemerah yang portable dan sebagainya.

KESIMPULAN

Pengembangan usahaternak sapi perah rakyat tidak dapat dilepaskan dari peran koperasi susu sebagai lembaga mitra peternak sapi perah. Namun pada kenyataannya masih banyak koperasi yang belum berdaya, sehingga tidak mampu meningkatkan kesejahteraan peternak dan peningkatan usaha peternak. Beberapa faktor kelemahan koperasi yang mempengaruhi pengembangan usahaternak sapi perah antara lain: (1) rendahnya efisiensi manajemen yang menyebabkan tingginya handling cost, (2) banyaknya pengurus (SDM) koperasi yang kurang profesional dan tidak amanah, (3) kurangnya transparansi manajemen pengelolaan dan bersifat keluarga (pengelola berhubungan keluarga), (4) lemahnya posisi tawar terhadap IPS, (5) belum sepenuhnya berpihak pada peternak, serta (6) daya kompetisi yang rendah.

Dalam upaya memperkuat dan lebih memberdayakan koperasi peru ditempuh langkah-langkah sebagai berikut: (1) Koperasi perlu melakukan reorganisasi penggunaan

(8)

faktor produksi terutama membenahi kembali sistem pendanaan, pengurus, arah penggunaan investasi dan modal yang harus lebih berorientasi efisiensi, (2) Koperasi susu harus mampu meningkatkan posisi tawar agar lebih dapat berperan dalam menentukan setiap kebijakan IPS dan memperkuat jaringan dengan industri-industri pengolahan susu, (3) Adaptasi kelembagaan contract farming dengan memperhatikan kepentingan bersama antara peternak, koperasi susu dan IPS, (4) Sebaiknya setiap koperasi susu adalah juga pemegang saham terbesar IPS, serta (5) Mengembangkan usahanya ke arah industri down stream sehingga menampung keseluruhan produksi susu para peternak sapi perah

DAFTAR PUSTAKA

ANTARA NEWS ON LINE. 2007. Koperasi susu: Kenaikan harga susu wajar dan gairahkan peternak.

http://www.antara.co.id/arc/2007/7/3/koperasi -susu-kenaikan-harga-susu-wajar-dan-gairahkan -peternak/

BAGA, LUKMAN M. 2005. Penguatan kelembagaan koperasi petani untuk revitalisasi pertanian. Makalah disampaikan pada acara Seminar Revitalisasi Pertanian untuk Kesejahteraan Bangsa. Diselenggarakan oleh Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI). Jakarta, 19 Juni 2005.

BAGA,LUKMAN M. 2003. Peran wirakoperasi dalam pengembangan sistem agribisnis: Kajian terhadap pengembangan agribisnis persusuan di Indonesia. Makalah disampaikan pada seminar Dwibulanan ISTECS Eropa. Pusat Studi Asia Tenggara-Universitas Frankfurt am Main. 5 Juli 2003.

DARYANTO, ARIEF. 2007. Persusuan Indonesia: Kondisi, permasalahan dan arah kebijakan. http://ariefdaryanto.wordpress.com/2007/09/2 3/persusuan-indonesia-kondisi-permasalahan. DARYONO,J.M. dan A.B.D.MARTANEGARA. 1989.

Analisis ekonomi kombinasi usaha sapi perah dengan usahatani sayuran di Kecamatan Pangalengan, Bandung. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar, Puslitbang Peternakan, Bogor.

DIRJEN PERBENDAHARAAN –DEP.KEUANGAN. 2007. Hilangkan PPN atas susu peternak. http://www.perbendaharaan.go.id/perben/mod ul/terkini/index.php/id=1141

FIRMAN,ACHMAD.2008.Kajian koperasi persusuan di Jawa Barat. Prosiding Focus Group

Discusión Arah Pengembangan Industri Persusuan Jangka Panjang. Fakultas Peternakan Univesitas Padjadjaran, Bandung. 18-19 Januari 2008.

KHAIRINA. 2007. Susu sapi juga butuh perhatian. http://64.203.71.11/kompas-cetak/0707/21/ Fokus/301562.htm. 21 Juli 2007.

NURYATI, SITI. 2007. Tragedi 15 tetes susu. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0710/24/ opi01.html. 25 Oktober 2007.

PRASETYA ON LINE. 2006. Pertemuan komunitas persusuan di Universitas Brawijaya. http://prasetya.brawijaya.ac.id/apr06.html. 17 April 2006.

RAHAYU,S.,C.FIRMANSYAH,S.KUSWARYAN dan A. FITRIANI. 2008. Kontribusi sumberdaya lokal terhadap pendapatan peternak sapi perah rakyat: Survei di peternak sapi perah KSU Tandangsari Kabupaten Sumedang. Prosiding

Focus Group Discusión Arah Pengembangan

Industri Persusuan Jangka Panjang. Fakultas Peternakan Univesitas Padjadjaran, Bandung. 18-19 Januari 2008.

SYARIEF,A. 1997. Membangun usaha koperasi susu mandiri: Pengalaman, pemikiran dan perjuangan Drh. Daman Danuwidjaja. KPBS Pengalengan.

SIREGAR, S.B. 1996. Sapi perah, teknik pemeliharaan dan analisis usaha. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.

SIREGAR, S.B.dan M. KUSNADI. 2004. Peluang pengembangan usaha sapi perah di daerah dataran rendah Kabupaten Cirebon. Media Peternakan Jurnal Ilmu Pengetahuan Teknologi Peternakan No.2 : 38-87.

SIREGAR, S.B.dan WINUGROHO. 2004. Pakan dan kemampuan berproduksi susu sapi perah laktasi pada peternak yang tergabung dalam koperasi susu/KUD di daerah Jawa Barat. Seminar Nasional Program Pembangunan Usaha Peternakan Berdaya Saing di Lahan Kering. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

(9)

SUTEJO, BAMBANG. 2008. Budi daya sapi perah terganjal modal dan pakan. http://202.158.49.150/artikel/2id832.html(bisn is Indonesia online)

TARYONO, A.H. dan SUNARSIH. 1994. Kelembagaan penyaluran sapronak dan pemasaran hasil pada usahatani sapi perah di Jawa Barat dan Jawa Timur. Jurnal Penelitian Peternakan Nomor 1, Maret 1994.

YUNASAF, UNANG. 2008. Potensi dan prospek kelompok sebagai wadah pemberdayaan peternak sapi perah. Prosiding Focus Group

Discusión Arah Pengembangan Industri Persusuan Jangka Panjang. Fakultas Peternakan Univesitas Padjadjaran, Bandung. 18-19 Januari 2008.

YUSDJA, Y. dan SAYUTI, R. 2002. Skala usaha koperasi susu dan implikasinya bagi pengembangan usaha sapi rakyat. Jurnal Agro

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efisiensi kolektor surya pada pengering surya tipe aktif tidak langsung yang terdapat pada pelataran atap

Apalagi didukung dengan adanya pemadaman listrik secara otomatis pada pukul 17.30 WIB atau pada waktu yang disesuaikan dengan kebutuhan pemakaian komponen /

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji regresi linier berganda dan uji hipotesis dengan uji t yang menghasilkan secara parsial word of mouth

Sistem penanggulangan kebakaran pada Padepokan Seni Pertunjukan Musik, Tari dan Teater di Yogyakarta yaitu dengan peletakan tabung gas karbon dioksida di setiap ruangan dan

Semuanya sudah diperhitungkan sesuai dengan kebutuhan yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dalam operasionalnya, jauh dekatnya tujuan pengiriman.Bahkan terkadang

Pembelajaran problem based learning merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk

Keton atau alkanon adalah suatu senyawa turunan alkana dengan gugus fungsi –C=O- yang terikat pada dua gugus alkil R dan R’.. Rumus