ZUHUD DALAM TAFSIR
RU><>H} AL-
MA‘A<
NI< KARYA AL-ALU>SI>
Skripsi:
Disusun untuk memenuhi Tugas Akhir Guna mendapat gelar Strata Satu (S-1)
Ilmu Al-Quran dan Tafsir
Disusun oleh :
REZA PERMANA ADITYA NIM: E73213142
PRODI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
ABSTRAK
Peneliti dengan nama Reza Permana Aditya Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir,
dengan judul “Zuhud Dalam Tafsir Ruh al-Ma`ani karya Al-Alusi”
Berangkat dari latar belakang masalah diantara sekian banyak orang masih kurang memahami arti dari zuhud. setiap harinya masih banyak orang-orang bukan tekun beribadah, tetapi sibuk dengan pekerjaannya tanpa mengenal waktu. Mereka hanya mengejar kemewahan dunia dan lupa dengan kehidupan akhirat, kemudian adanya perbedaan pendapat tentang zuhud diantara para ulama sufi yang menghasilkan dua pemikiran yang berbeda yaitu zuhud sebagai maqam dan zuhud sebagai moral (akhlak). Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaiaman menejelaskan makna zuhud menurut Al-Alusi dan relevansinya pada zaman modern. Tujuan penelitian ini adalah untuk menegtahui makna zuhud menurut Al-Alusi dalam Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Zuhud bukan semata-mata tidak mau memiliki harta dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi, seperti dalam surat al-hadid ayat 20 menurut al-Alusi bahwa dalam ayat ini menjelaskan dunia merupakan sarana membekali diri untuk menuju akhirat, dengan maksud beribadah untuk akhirat dan juga mampu mencari rizki di dunia karena Allah semata dengan kata lain keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Dan hasil penelitian ini memberikan penjelasan berupa relevansi zuhud di zaman modern yaitu Zuhud sebagai upaya pembentukan sikap terhadap dunia dimasa modern. Dalam kaitannya dengan problema masyarakat modern, maka secara praktis tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembebasan spiritual, ia mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya. Tasawuf dalam hal ini zuhud dapat memberi jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka akibat pendewaan mereka terhadap selain Tuhan, seperti materi dan sebagainya.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
ABSTRAK ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
PEDOMAN TRANSLITASI ... xiii
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Tujuan Penelitian ... 7
E. Manfaat Penelitian ... 7
F. Telaah Pustaka ... 8
G. Metodologi Penelitian ... 10
BAB II: ZUHUD DAN TASAWUF
A. Pengertian Zuhud ... 15
B. Tingkatan dan Tanda-tanda zuhud ... 16
C. Asal usul Zuhud ... 19
D. Zuhud Sebagai Maqam Tasawuf ... 21
BAB III: Al-ALUSI DAN AYAT-AYAT ZUHUD A. Biografi al-Alu>si> ... 27
B. Profil Tafsir Ruh al-Ma’ani ... 30
1. Latar Belakang Tafsir ... 30
2. Ciri-ciri Umum penafsiran ... 31
C. Bentuk Penafsiran ... 32
D. Metode dan Corak penafsiran ... 33
E. Penafsiran Al-Alusi Tentang Ayat-ayat Zuhud ... 36
1. Tartib Nuzul al-Ayat ... 36
2. Surah Makkiyah ... 37
a. Surah al-Qashash ayat 28 ... 37
b. Surah Yu>suf ayat 20 ... 38
c. Surah Luqman ayat 33 ... 47
d. Surah Ibrahim ayat 3 ... 49
e. Surah al-‘Ankabut ayat 64 ... 50
3. Surah Madaniyah ... 51
a. Surah Ali-Imra>n ayat 14 ... 51
b. Surah al-Hadid ayat 20 ... 52
c. Surah al-Hadid ayat 23 ... 55
BAB IV: ANALISIS TERHADAP PENAFSIRAN Al-ALU>SI>> TENTANG AYAT-AYAT ZUHUD DAN RELEVANSINYA DI ZAMAN MODERN A. Analisa penafsiran al-Alu>si> pada ayat-ayat zuhud ... 57
BAB V: PENUTUP
A. Simpulan ... 78
B. Saran ... 79
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang MasalahBerdasarkan dalil-dalil Al-Quran dan Hadis, ajaran zuhud dalam Islam
tidak bisa lepas dari ajaran islam tentang Tasawuf. Kedua nilai tersebut tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Karena zuhud disini merupakan
keharusan yang menentukan bagi kesufian seseorang, demikian juga sebaliknya
ketasawufan merupakan yang menentukan bagi kezuhudannya seseorang.
Di zaman sekarang ini, dimana kehidupan dunia semakin modern, banyak
orang yang setiap harinya bukan tekun beribadah, tetapi sibuk dengan
pekerjaannya tanpa mengenal waktu. Mereka hanya mengejar kemewahan dunia
dan lupa dengan kehidupan akhirat, maka dalam keadaan seperti itulah kita
dituntut untuk berlaku zuhud agar selamat dari godaan materi yang menyesatkan
dan bahkan kadang-kadang menyeret manusia dalam kekufuran.1
Zuhud dalam islam dasarnya adalah firman Allah dan Rasul-Nya sendiri,
baik ucapan maupun tingkah laku perbuatan serta sikap hidup sederhana beliau
sehari-hari. Tujuan zuhud dalam islam adalah untuk memperoleh ketentraman,
kebahagiaan dan keselamatan lahir maupun batin baik di dunia maupun di akhirat.
Pengertian dan tata cara zuhud dalam islam tidak berarti harus meninggalkan
segala keperluan dan urusan hidup dan kehidupannya di dunia ini.
Zuhud artinya sikap menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan
dengan dunia. Seorang yang zuhud seharusnya hatinya tidak terbelenggu atau
1
2
hatinya tidak terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi dan tidak menjadikannya
sebagai tujuan. Hanya sarana untuk mencapai derajat ketaqwaan yang merupakan
bekal untuk akhirat.2
Kandungan zuhud membangkitkan semangat spiritual yang tinggi.
Seorang zahid menahan jiwanya dari pelbagai bentuk kenikmatan dan kelezatan
hidup duniawi, menahan dorongan nafsu yang berlebihan agar memperoleh
kebahagiaan yang abadi. Seorang zahid juga mengikis habis nilai yang akan
menghalanginya untuk memperoleh rahmat dan kelezatan hidup di bawah
naungan Allah. Kecintaan kepada Allah mengalahkan segala alternatif yang
mendorong kepada Hubb As-Sahawa>t (cinta untuk menuruti hawa nafsu).
Perasaan naluri memberi kesaksian ke atas kecintaan, kedamaian, dan
kebahagiaan hubungan dengan Rabb ketika ia lebih mengutamakan kebenaran
berbanding dorongan hawa nafsu.3
Al-Ghazali menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang
halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih
memperyai apa yang ada ditangan Allah dari pada apa yang ada ditanganmu.
Menurut Al-Ghazali seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya
dalam rangka melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah Swt. Seluruh
aktifitas hidupnya termasuk kegiatan ekonomi harus dilaksanakan sesuai dengan
Syariat Islam, tidak boleh bersifat kikir dan tidak boleh pula bersifat boros.4
2
Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),14. 3
A.Bachrun Rifa‟I dan Hasan Mud‟is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2010),208. 4
3
Al-Junaid berkata, “orang yang zuhud tidak gembira karena menapatkan
dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia”. Sedangkan menurut Abu Hafsh,
zuhud tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang halal. Sementara di dunia ini tidak
ada lagi hal yang halal, yang berarti tidak ada lagi zuhud.5
Menurut Yahya bin Muadz, zuhud itu menimbulkan kedermawanan dalam
masalah hak milik, sedangkan cinta menimbulkan kedermawanan dalam ruh.
Menurut Ibnu jala’, zuhud itu memandang dunia dengan pandangan yang
meremehkan sehingga mudah bagimu untuk berpaling darinya. Menurut Abdullah
bin Mubarak zuhud artinya percaya kepada Allah dengan disertai kecintaan
kepada kemiskinan. Dan menurut Sufyan Ats Tsauri zuhud di dunia artinya tidak
mengumbar harapan, bukannya makan sesuatu yang kering dan mengenakan
pakaian yang tidak bagus.6
Menurut Hasan al-Basri zuhud terhadap dunia, menolak kemegahannya
semata menuju kepada Allah, tawakkal, khauf, dan raja’, semuanya tidaklah
terpisah jangan hanya takut kepada Allah, tetapi ikutilah ketakutan itu terhadap
pengharapan. Takut akan murkan-Nya, tetapi mengharap karunianya.7
Menurut Hamka salah sorang tokoh Muhammadiyah zuhud adalah tidak
ingin, tidak demam kepada dunia, kemegahan, harta benda dan pangkat.
Sedangkan menurut Syafiq A Mughni kekayaan duniawi dan ukhrowi harus dicari
5
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikhin, jilid 2 terj:kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 1999),185.
6
Ibid.,186. 7
4
dengan tanpa meninggalkan keduanya dengan semangat pula untuk beribadah
kepada Allah SWT.8
Banyak orang Salaf yang mewujudkan zuhud dalam hidupnya, tetapi
mereka juga kaya, penuh dengan timbunan harta. Rasulullah sendiri dikala hidup
bersama istrinya Khadijah turut mengecap manis dan nikmatnya duniawi. Umar
bin Khathab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Umar bin Abdul Aziz dan
beberapa sahabat nabi lainnya pernah juga hidup dalam timbunan harta. Meskipun
demikian bagi mereka harta yang banyak hanyalah bagaikan angin lalu, yang
sekali datang menyejukkan tubuh kemudian pergi.9
Al-Quran telah mengisyaratkan tentang pentingnya bersikap zuhud
terhadap dunia. Salah satunya seperti dalam Q.S al-Hadid ayat 20-23.
ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di
8
Skripsi, Muadhiful Chilmi, Konsep Zuhud Perspektif Tokoh Muhammadiyah, 2007.56.
9
5
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
21. berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-diberikan-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar.
22. tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. 23. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira[1459] terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap
orang yang sombong lagi membanggakan diri.10
Ayat di atas tidak menyebutkan kata zuhud, tetapi mengungkapkan tentang
makna dan hakikat zuhud. Ayat ini menerangkan tentang hakikat dunia yang
sementara dan hakikat akhirat yang kekal. Kemudian menganjurkan orang-orang
beriman untuk berlomba-lomba meraih ampunan dari Allah da surge-Nya di
akhirat. Selanjutnya Allah SWT menyebutkan tentang musibah yang menimpa
manusia adalah ketetapan Allah dan bagaimana orang-orang beriman harus
menyikapi musibah tersebut. sikap yang benar adalah agar tidak mudah berduka
terhadap musibah dan apa saja yang luput dari jangkauan tangan. Selain itu, orang
yang beriman juga tidak terlalu gembira sehingga hilang kesadaran terhadap apa
yang didapatkan. Begitulah metodologi Al-Quran ketika berbicara tentang
nilai-nilai dan prinsip yang mengarahkan manusia untuk bersikap zuhud.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti permasalahan ini dari sudut
pandang al-Al{u>si> dalam karyanya yaitu kitab tafsir Ru>h al-ma’a>ni>, yang mana
tafsir ini dinilai para ulama bercorak Isy’ari atau sufi yaitu tafsir yang mencoba
10
6
menguak dimensi makna batin berdasarkan isyarat dan ta’wil sufi karena tema
zuhud yang diambil oleh penulis merupakan bagian dari perilaku sufi.
B. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan diatas Adapun masalah-masalah yang teridentifikasi
adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan zuhud?
2. Apa perbedaan zuhud dengan wara?
3. Apa hikmah berperilaku zuhud?
4. Apakah zuhud harus miskin?
5. Bagaimana kedudukan zuhud dalam tasawuf?
6. Bagaimana pengaruh zuhud terhadap kegiatan ekonomi?
7. Bagaiman konsep zuhud dalam Al-Sunnah?
8. Bagaimana penafsiran ayat-ayat zuhud dalam Alquran?
Berdasarkan identifikasi masalah di atas dalam memahami zuhud tidaklah
mungkin untuk diteliti secara keseluruhan dan mendalam pada penelitian ini,
meskipun untuk memahami zuhud secara utuh dibutuhkan semua itu. Namun,
setidaknya penelitian yang fokus dan mendalam akan memberikan manfaat yang
lebih baik. Maka masalah yang hendak dibahas akan difokuskan pada penafsiran
ayat-ayat yang membahas tentang zuhud dalam Al-Quran dan relevansinya pada
7
C. Rumusan Masalah
Dari gambaran umum latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep zuhud menurut al-Al{u>si>?
2. Bagaimana relevansi zuhud dengan zaman modern?
D. Tujuan Penelitian
Setelah masalah dirumuskan, tujuan penelitian disusun untuk
menjawabnya. Hal ini dilakukan agar hasil penelitian menjadi jelas dan mendalam
sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan. Berikut ini adalah tujuan
penelitian yang disusun:
1. Untuk menemukan konsep zuhud menurut al-Alusi
2. Untuk menyajikan relevansi zuhud pada zaman modern.
E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuannya yang telah disusun di atas,
maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat bagi semua
pembaca.
1. Secara teoritis
Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan wawasan
kepada umat Islam tentang kemungkinan-kemungkinan penafsiran terhadap
kata isla>m dan kata-kata yang seakar dengannya yang berusaha diungkap oleh
8
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah keluasan wawasan,
pengetahuan, dan pemahaman kepada masyarakat muslim terhadap makna kata
isla>m dan kata-kata yang seakar dengannya yang disampaikan oleh Allah
SWT. melalui firman-Nya. Pengetahuan yang luas tersebut dapat membuka
pikiran mereka, bahwa penafsiran dan kebenarannya bersifat relatif dan
temporal. Hal tersebut dapat menciptakan toleransi antar sesama muslim,
terlebih lagi sesama umat beragama seperti yang tercipta pada masa Nabi
SAW. di Madinah.
F. Telaah Pustaka
Perlu untuk menampilkan kajian terdahulu agar penelitian yang dilakukan
dapat teruji orisinilitasnya. Sehingga dapat telihat perbedaan dan kekayaan
pembahasan yang saling melengkapi antara penelitian-penelitian yang ada.
Berikut ini adalah penelitian yang saling berkaitan:
1. Zuhud dari zaman ke zaman, rofiatul ulya, tahun 2010. Skripsi
mahasiswa STAIN Pekalongan di dalamnya menyatakan untuk
menghadapi krisis dunia modern zuhud yang diajarkan oleh para
pendahulu-pendahulu bisa dijadikan alternatif pemecahan masalah
sekaligus dapat dijadikan benteng untuk membangun diri sendiri,
terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi, dengan zuhud akan
9
dan menerima nikmat dengan lapang hati dan menggunakan sesuai
dengan fungsi dan porsinya.
2. Konsep zuhud perspektif tokoh Muhammadiyah, Muadhiful chilmi,
tahun 2007. Skripsi mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya berisi
pendangan-pandangan tokoh Muhammadiyah tentang zuhud seperti:
Syafiq A. Mughni, Haji Abdul Malik Amrullah dan Abdul Munir
Mulkham.
3. Relevansi Zuhud Terhadap Etos Kerja Manusia Modern(Studi
Pemikiran Ibn Al-Qayyim Al-jauziyah), Mohammad Anwar Sodiq,
tahun 2014. Skripsi Mahasiswa IAIN Walisongo ini berisi tentang
pemikiran Ibn Qayyim tentang zuhud yang lebih moderat dibanding
dengan konsep sufisme lama, memandang aktifitas duniawi secara
positif yang mengarah pada etos kerja manusia modern yang tinggi.
Dan Ibn jauzi membagikan tingkatan zuhud menjadi tiga tingkatan
pertama, zuhud dalam subhat. Kedua, dalam perkara yang berlebihan.
Ketiga, zuhud dalam zuhud.
4. Pengaruh Membaca Komik Sufi Terhadap Zuhud Anak, Furrizta
Novalliya, Tahun 2015. Skripsi Mahasiswa UIN Walisongo ini berisi
penelitian lapangan yang mana hasil dari penelitian tersebut
menunjukan ada perbedaan perubahan tingkat zuhud anak antara
kelompok eksperimen dan kelompok control. Yaitu anak yang
membaca komik sufi memiliki perubahan tingkat zuhud lebih tinggi
10
5. Zuhud dalam pandangan Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Tri Nurhaeni,
2008. Skirpsi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah ini berisi pendapat
Ibn Qayyim mengenai zuhud bahwa menurut Ibn Qayyim al-Jawziyah
kecintaan kepada akhirat tidak akan sempurna kecuali dengan
berzuhud di dunia. Orang yang mencintai dunia, tamak dan dan
mengutamakannya akan percaya bahwa ada dunia yang lebih mulia,
lebih utma dan lebih kekal, namun bisa juga tidak percaya, penyebab
utamanya adalah tidak beriman. Akan tetapi apabila ia percaya akhirat
tetapi tidak mengutamakannya penyebabnya adalah kerusakan akal
dalam memilih untuk dirinya sendiri
Berdasarkan penelusuran dari beberapa penelitian yang telah penulis
kemukakan di atas, maka penulis memilih judul dengan alasan belum pernah
dibahas oleh peneliti terdahulu. Karena penelitian di atas kebanyakan meneliti
dari sudut pandang para ulama. Dari sinilah penulis mencoba untuk
mengembangkan tentang pembahasan tersebut dari sudut pandang penafsiran.
G. Metode penelitian
Setiap kegiatan yang bersifat ilmiah, memerlukan adanya suatu metode
yang sesuai dengan masalah yang dikaji, karena metode merupakan cara
11
demi mencapai hasil yang maksimal.11 Adapun metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian kepustakaan) yaitu
serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data
pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian, yaitu
dengan mengumpulkan teori-teori dalam kitab-kitab, pendapat para ahli dan
karangan ilmiah lainnya yang ada relevansinya dengan pembahasan dengan
karya skripsi ini. Maka teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah
metode dokumentasai, dengan memperoleh data dari benda-benda tertulis
seperti buku, majalah, dokumen, peraturan, notulen rapat, catatan harian dan
sebagainya.12
2. Metode penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif sebuah metode penelitian atau
inkuiri naturalistik atau alamiyah, perspektif ke dalam dan interpreatif.13
Inkuiri naturalistik adalah pertanyaan yang muncul dari diri penulis terkait
persoalan tentang permasalahan yang sedang diteliti. Perspektif ke dalam
adalah sebuah kaidah dalam menemukan kesimpulan khusus yang semula
didapatkan dari pembahasan umum. Sedangkan interpretatif adalah
penterjemahan atau penafsiran yang dilakukan oleh penulis dalam
mengartikan maksud dari suatu kalimat, ayat atau pernyataan.
11
Anton Bakker, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 10. 12
Fadjrul Hakam Chozin, Cara Mudah Menulis Karya Ilmiyah,(Ttp: Alpha, 1997),66. 13
12
3. Sumber Data
Mengingat penelitian ini menggunakan metode Library Research, maka
diambil data dari berbagai sumber tertulis. Dalam pembahasan skripsi ini
menggunakan sumber data yang terbagi menjadi sumber data primer dan
sumber data skunder, yang perinciannya sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer
Sumber primer adalah sumber yang berasal dari tulisan buku-buku
yang berkaitan langsung dengan buku ini. Sumber utama penelitian ini
adalah al-Qura>n dan kitab tafsir Ru>h al-Ma’a>ni>
b. Sumber Data Skunder
Sumber Data Sekunder, bersumber dari penelitian berupa buku,
skripsi dan jurnal yang disusun untuk menghadirkan berbagai cara pandang
dalam melihat masalah yang hendak diteliti serta bebrapa kitab tafsir seperti :
- Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi
- Tafsir al-Azha>r karya Hamka
- Tafsir al-Qur’a>n al-Adhi>m karya Ibnu katsi>r
- Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab
4. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul secara lengkap dari berbagai sumber referensi,
kemudian penulis membahas dengan menggunakan metode sebagai berikut:
- Maud}u>’i: menurut bahasa adalah meletakkan, menjadikan atau
13
berusaha mencari ayat al-Qura>n tentang suatu masalah tertentu dengan
jalan menghimpun seluruh ayat-ayat yang dimaksud, lalu
menganalisanya melalui pengetahuan yang relevan dengan masalah
yang dibahas, kemudian melahirkan konsep yang utuh dari al-Qura>n
tentang masalah tersebut.14
- Langkah-langkah untuk menerapkan tafsir maud}u>’i: menetapkan
masalah yang akan dibahas, menghimpun ayat-ayat yang berkaitan
dengan masalah tertentu, menyusun runtutan ayat-ayat sesuai masa
turunnya disertai dengan sebab turunnya ayat, memahami kolerasi
antara surah yang satu dengan surah yang lain, menyusun atau
menyempurnakan pembahasan judul atau topik kemudian dibagi ke
dalam beberapa bagian yang berhubungan, mempelajari ayat-ayat
secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang
mempunyai pengertian yang sama.15
H. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan hasil penelitian, dibutuhkan sebuah sistematika agar
pembahasan menjadi sistematis dan tidak keluar dari fokus pembahasan.
Penelitian terbagi menjadi lima bab, yaitu sebagai berikut:
14
Abd al-Hayy al-Farma>wi>, Metode Tafsir Mawdlu>’i>y, (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 1994), 37. 15
14
Bab satu berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka, dan metode
penelitian.
Bab Dua, Konsep Umum tentang Zuhud, Berupa Pengertian Zuhud,
Tingkatan zuhud, Asal-usul Zuhud, dan Zuhud sebagai maqam tasawuf.
Bab Tiga, Biografi dan penafsiran al-Alusi terhadap ayat-ayat zuhud.
Bab Empat, Analisis Penafsiran al-Alusi tentang ayat-ayat zuhud.
BAB II
ZUHUD DAN TASAWUF
A. Pengertian ZuhudSecara etimologi, zuhud berarti
هنم يضارلاو هنع بغارلا
, artinya tidak tertarikpada dunia dan hanya menginginkan keridhoan-Nya.1 ada pula kata zahada berarti
ra>ghaba ‘An Shay’in wa Tarakahu, artinya tidak tertarik pada sesuatu dan
meniggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti megosongkan diri dari dari dunia.2
Orang yang melakukan zuhud disebut za>hid, zuhha>d dan za>hidun, zahidah
jamaknya zuhdan artinya kecil atau sedikit.3
Zuhud menurut bahasa Arab materinya tidak berkeinginan. Dikatakan
zuhud pada sesuatu apabila tidak tamak padanya. Adapun sasarannya adalah
dunia. Dikatakan pada seseorang bila dia menarik diri untuk tekun beribadah dan
menghindarkan diri dari keinginan menikmati kelezatan hidup adalah zuhud pada
dunia.4
Adapun arti zuhud secara terminologi Dalam pandangan kaum sufi, dunia
dan segala isinya merupakan sumber kemaksiatan dan kemungkaran yang dapat
menjauhkannya dari Tuhan. Karena hasrat, keiginan, dan nafsu seseorang sangat
berpotensi untuk menajadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai
1
Al-Asfihani, Mu’jam Mufradat li al-Fadh al-Qur’an (Beirut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah,
1425), 241.
2 Moh. Fudholi, “ Zuhud Menurut Al-Qusyairi Dalam Risalah Al-Qusyairiyah”, Teosofi
Jurnal Fisafat Dan Pemikiran Islam, vol. 01, No. 01, (Juni, 2011), 43. 3
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), 1.
4
16
tujuan kehidupan, sehingga memalingkan Tuhan. Oleh karena itu maka seorang
sufi dituntut untuk terlebih dahulu memalingkan seluruh aktifitasnya baik jasmani
dan rohaninya dari hal-hal yang bersifat duniawi. Dengan demikian segala apa
yang dilakukannya dalam kehidupan tidak lain hanyalah dalam rangka
mendekatkan diri kepada Tuhan. Perilaku inilah yang dalam terminologi sufi
disebut zuhud meskipun banyak pengertian yang diberikan oleh toko sufi tentang
zuhud, tapi ungkapan para sufi mengarah pada arti deskriptif di atas.5
B. Tingkatan dan Tanda-Tanda Zuhud
Menurut Al Hasan “di hari kiamat kelak, manusia akan dikumpulkan
dalam keadaan telanjang, kecuali orang-orang zuhud. Ada orang-orang yang
ketika di dunia sangat terhormat kedudukannya, namun di akhirat ia digantung
dipapan salib dalam keadaan terhina. Maka janganlah kalian gusor dan tenanglah,
jika hanya kalian dihina dalam perkara duniawi”. Apabila engkau tergoda oleh
dunia dan dalam keadaan khawatir dan gelisah , maka itulah tandanya bahwa
kehidupan dunia itu penuh was-was, selalu menimbulkan kegelisahan dan air
mata.6
Hakekat zuhud disisi seorang sufi adalah ketenangan hati tentang apa
yang telah dijanjikan Allah kepadanya. Maka tenangkanlah hatimu apabila engkau
5
Moh Fudholi, Zuhud Menurut Al-Qusyairi, 43-44. 6
17
telah mendapatkan anugerah dari Allah. Hendalah engkau cukupkan pemberian
itu dan nikmatilah dengan sabar dan syukur.
Dengan demikian zuhud yang benar bukan karena kosongnya tangan dari
memiliki harta dunia, namun zuhud yang hakiki adalah kosongnya hati dari
mencintai dunia, meskipun kedua tangannya mengenggam harta dunia tersebut.
Menurut Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi Zuhud ada tiga tingkatan yaitu:7
1. Zuhud terhadap hal-hal duniawi. Inilah zuhud yang paling
rendah, karena dalam hati zahid (orang zuhud) sebenarnya
masih ada keinginan pada hal keduniaan, hanya saja ia
berusaha mengatasinya. Orang yang baru berada pada tingkatan
ini masih dalam keadaan bahaya, karena jiwanya masih dapat
dikalahkan oleh dorongan hawa nafsu yang rendah. Sehingga ia
terjerumus kelubuk kehinaan dan menajadi hamba materi.
2. Kezuhudan seseorang yang telah sanggup meninggalkan
hal-hal keduniaan karena dipandang sebagai sesuatu yang tidak
memiliki nilai, disamping kecenderungan hatinya yang
senantiasa berupaya meraih kebahagiaan yang lebih besar disisi
Allah SWT. Zuhud pada tingkat ini dipandang sebagai zuhud
tingkat menengah, karena zahid tidak lagi terpengaruh oleh
hal-hal keduniaan.
7 Abdul Aziz Dahlan , “Ajaran”Ensiklopedi Tematis Dunia Islam
18
3. Zuhud tingkat tertinggi ialah zuhud yang semata-mata
mengharap ridha Allah SWT. Pada tingkatan ini tidak terlintas
lagi di dalam jiwa zahid hal-hal keduniaan, karena segala harta
benda duniawi tidak lagi memiliki nilai di hatinya. Ia hanya
merasa tentram dalam makrifatnya kepada Allah SWT.
Selain tingkatan orang-orang zuhud juga ada tanda-tanda seseorang yang
menjalankan zuhud (za>hid), ada yang berpendapat bahwa meninggalkan harta itu
zuhud. Sebenarnya tidaklah seperti itu karena meninggalkan harta dan
menimbulkan keburukan itu sangat mudah dilakukan oleh orang-orang yang
dianggap miskin, lalu tekun beribadah. Dan ia mendapat pujian dan predikat
zuhud. Kemudian ia merasa sangat senang dipuji. Hal yang demikian itu bukanlah
yang dimaksud zuhud. Secara lahiriah mereka zuhud, namun secara batiniah Allah
maha tahu, bahwa jiwanya dipenuhi oleh sifat riya’ dan ujub. Mereka mengikuti
hawa nafsunya.
Oleh karena itu mengetahui zuhud itu sukar. Bahkan mengetahui
seseorang itu benar-benar zuhud pun sangat sulit. Yang penting adalah berpegang
pada batin.8 Dan tanda-tanda zuhud yang dirasakan dalam batin seseorang
adalah:9
1. Tidak merasa senang dengan hal-hal duniawi yang didapatnya, tidak
bersedih atas hilangnya hal-hal keduniawian dari dirinya.
8
Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin (Surabaya : Gita Media Press, 2003),
358. 9
19
2. Seseorang tidak risau jika dicela dan tidak berbangga hati jika dipuji.
Mendapat pujian atau hinaan sama saja dalam bersikap.
3. Merasa sangat cinta kepada Allah dan perasaan itu membuat
ketaatannya menjadi semakin kuat.
C. Asal Usul Zuhud
Menurut Harun Nasution ada lima pendapat tentang asal usul zuhud.
Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi
oleh phythagoras yang mengharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam
rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi
iniah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam islam. Ketiga,
dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka
penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus
meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh budha dengan faham nirwananya bahwa
untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup
kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia
meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada kepada Tuhan untuk mencapai
persatuan Atman dan Brahman.10
Sedangkan Abu “Ala Afifi mencatat empat pendapat para sarjana tentang
faktor atau asal usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua,
dipengaruhi oleh asketisme Nasrani. Ketiga, dipengaruhi oleh berbagai sumber
10
20
yang berbeda beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat,
dipengaruhi oleh ajaran islam.11
Untuk faktor keempat ini Afifi merinci lebih jauh menjadi dua:12
Pertama, faktor ajaran islam sebagaimana terkandung dalam kedua
sumbernya, al-Quran dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untuk hidup
wara’, taqwa, dan zuhud. Selain itu kedua sumber tersebut mendorong agar
umatnya beribadah, bertingkah laku baik, shalat tahajjud, berpuasa dan
sebagainya. Dalam berbagai ayat banyak dijumpai sifat surga dan neraka, agar
umat termotifasi mencari surge dan menjauhkan diri dari neraka.
Kedua, reaksi Rohanian kaum muslimin terhadap sistem sosial politik dan
ekonomi dikalangan islam sendiri, yaitu ketika islam telah tersebar ke berbagai
negara yang sudah tentu membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu, seperti
terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran disatu pihak, dan terjadinya
pertikaian politik interen umat islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali
Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah, yang bermula dari al-Fitnah al-kubra yang
menimpa khalifah ketiga, Utsman Bin Affan (35 H/ 655 M). dengan adanya
fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat atau ulama’nya tidak
ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu
terhadap pergolakan yang ada, mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dlam
pertikaian tersebut.
11
Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, 5. 12
21
Terhadap asal usul zuhud di atas, penulis tidak sependapat dengan
pandangan tersebut sebagaimana yang disebutkan oleh Harun Nasution bahwa
dipengaruhi oleh Rahib-rahib Kristen. Sebenarnya dalam Islam tidak ada sistem
rahib (kependetaan) seperti dalam agama-agama lainnya. Kesamaan antara zuhud
dengan rahib dalam nasrani dan agama-agama lain bukan berarti Islam mengambil
daripadanya atau mencontohnya. Karena hidup semacam zuhud ada dalam semua
agama bisa juga dikatakan sember agama adalah satu, sekalipun berbeda dalam
detailnya
D. Zuhud Sebagai Maqam Dalam Tasawuf
Secara harfiah maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti
tempat berpijak atau pangkat mulia.13 Dalam bahasa inggris maqamat dikenal
dengan istilah stages yang berarti tangga.14 Sedangkan dalam ilmu tasawuf
maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang
telah diusahakan nya, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah.
Disamping itu, maqamat berarti jalan panjang menuju fase yang harus ditempuh
oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin kepada Allah.15 Maqam dilalui
oleh seorang hamba melalui usaha sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah
kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba
tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam
sebelumnya.
13
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Komtemporer Arab – Indonesia
(Yogyakarta : Pondok Pesantren Krapyak, 1996), 362 14
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia (Jakarta : Gramedia,
1988), 550 15
22
Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf.
Hal ini dapat dilihat dari pendapat para ulama tasawuf yang senantiasa
mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat, meskipun dengan
sistematika yang berbeda-beda al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan
maqam: al-wara’, al-zuhud, al-tawakkal, dan al-ridla. Dan al-Thusi
menempatkan zuhud dalam dalam sistematika: al-taubah, al-wara’, al-zuhud,
al-faqr, al-sabr, al-ridla, al-tawakkal dan al-ma’rifah. Sedangkan al-Ghazali
menempatkan zuhud dalam sistematika: al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud,
al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla.16 Penjelasan semua tingakatan
itu sebagai berikut:
1. Taubat
Taubat berasal dari bahasa Arab taba- yatubu- taubatan yang berarti
“kembali” dan “penyesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi
kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai
dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak
mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan
kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.17
Taubat menurut Dzun Nun al Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan:
(1) orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang yang
bertaubat dari kelalaian mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat
karena memandang kebaikan dan ketaatannya.18 Dari ketiga tingkatan
16
Moh Fudholi, Zuhud Menurut Al-Qusyairi, 45. 17
Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu tasawuf (Bandung : Pustaka Setia, 2000), 58 18
23
taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam dalam tasawuf adalah
upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin.
2. Zuhud
Secara harfiah berarti tidak tertarik oleh kesenangan dunia.19 Menurut
pandangan para sufi, zuhud secara umum diartikan sebagai suatu sikap
melepaskan diri dan rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi
dengan mengutamakan kehidupan ukhrawi.
3. Sabar
Sabar secarah harfiah berarti tabah hati. Secara terminology sabar
adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh , stabil dan konsekuen dalam
pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri sabar
berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan
kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan
menempatkan sifat cukup, walaupun sebenarnya dalam kefakiran.20
4. Wara’
Wara’ secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan
dosa atau maksiat. Sedangkan pengertian wara dalam pandangan sufi
adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik
yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya.
Menurut qamar kaialani yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’
dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara
lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan
19
Al-Asfihani, Mu’jam Mufradat li al-Fadh al-Qur’an, 241
20
24
dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ bathiniyah adalah
tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat
Allah.21
5. Faqr
Faqr mengandung makna seseorang yang penghasilannya setelah
bekerja tidak mencukup kebutuhannya. Dinamakan faqr karena masih
membutuhkan bantuan untuk meningkatkan taraf hidup. Sedangkan
dalam konteks eksistensi manusia faqr mengandung makna bahwa
semua manusia secara universal membutuhkan Allah. Dalam
pandangan sufi, faqr diartikan tidak menuntut lebih banyak dari apa
yang telah dimiliki dan merasa puas dengan apa yang dimiliki
sehingga tidak menginginkan sesuatu yang lain.22
6. Tawakkal
Tawakkal berarti menyerahkan segalanya kepada Allah setelah
melakukan suatu rencana atau usaha. Sikap ini erat kaitannya dengan
amal dan keikhlasan hati, yaitu ikhlas semata-mata karena Allah dan
menyerahkan segalanya kepada Allah. Menurut al-Misri
mendifinisikan tawakkal yaitu berhenti memikirkan diri sendiri dan
merasa tidak memiliki daya dan kekuatan. Initnya adalah penyerahan
21
Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufi Klasik ke Neo Sufisme (jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), 118
22
25
diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki
kekuatan apapun.23
7. Ridha
Ridha secara harfiah berarti rela, senang dan suka. Sedangkan
pengertiananya secara umum adalah tidak menentang qadha dan
qadhar Allah, menerima qadha dan qadhar dengan hati senang.
Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di
dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang
menenrima cobaan sebagaimana merasa senang menerima nikmat.
Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari
neraka.24
8. Ma’rifah
Rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu
yang didapat pada umunya, dan merupakan pengetahuan yang
objeknya bukan hal-hal yang bersifat dzahir, tetapi bersifat bathin yaitu
pengetahuan mengenai rahaisa tuhan melalui pancaran cahaya ilahi.
Adapun alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sur, qalb, dan
ruh. Qalb yang suci akan dipancari cahaya ilahi dan akan dapat
mengetahui segala rahasia Tuhan. Pada saat itulah seorang sufi sampai
pada tingkatan ma’rifat.
Melihat sistematika yang dikemukakan para „ulama sufi tersebut bahwa
zuhud merupakan suatu maqam yang pasti harus dilalui oleh seorang sufi, ia
23
A. Riva Siregar, Tasawuf, 121 24
26
menempati posisi penting. Pentingnya posisi zuhud dalam tasawuf karena melalui
maqam zuhud seorang sufi akan dapat membawa dirinya pada kondisi
pengosongan kalbu dari selain Allah SWT. Dan terpenuhinya kalbu dengan zikir
atau ingat kepada Allah. Dalam pandangan sufi dunia tidak bisa berada dalam
kalbu secara bersamaan dengan Tuhan.25
25
BAB III
AL-ALU>>>SI>>>
DAN AYAT-AYAT ZUHUD
A. Biografi Al-Alu>si>
Al-Alu>si> nama lengkapnya Alusi ditulis Abu Fadhl Syihab Din
al-Sayyid Mahmud Affandi al-Alusi al-baghdadi. Tapi al-Dzahabi dalam kitabnya
al-Tafsir wa al Mufassirun menulis Abu al-Tsana’ sebagai ganti Abu al-Fadhl.1
Ternyata dalam muqaddimah yang ditulis oleh Al-Alu>si sendiri tertulis
sebagaimana yang ditulis oleh al-Dzahabi di atas. Al-Alu>si lahir di Baghdad tahun
1217 / 1802 M. al-Alu>si> adalah nama sebuah desa yang terletak di sebuah pulau
di tengah-tengah sungai efrat. Dari desa itulah nenek moyang al-Alu>si> berasal.2 Ia
seorang jenius, mula-mula belajar pada ayahnya sendiri yang juga seorang ulama
besar, kemudian Syekh Khlmid al-Naqsyabandi dan Syekh Ali al-Suwaidi. Pada
usia 13 tahun ia sudah mampu mengaja dan mengarang. Kitab tafsirnya di atas
mulai ditulis pada waktu ia masih berusia 23 tahun.3
Sebelumnya ia telah mempunyai keinginan untuk mengarang kitab tafsir
sendiri, tetapi ia mengalami kembimbangan. Sampai pada suatu malam, bulan
rajab tahun 1252 H dia bermimpi rasanya Allah memerintahkan kepadanya untuk
mempertemukan langit dan bumi. Lalu ia mengangkat tangannya yang satu dan
membenamkan yang satunya lagi kedasar lautan. Dia berusaha mencari makna
1 Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, juz I (Daral-ma’arif, 1976),
35. 2
Ibid., 353 3
28
mimpi tersebut, yang itu merupakan isyarat baginya untuk menulis tafsir. Tidak
heran dia dikenal sebagai „allamah (ulama besar), baik dalam bidang ilmu naqli
maupun aqli, dengan apresiasi yang dalam setiap cabang dan dasar kedua bidang
tertsebut. Sejak usia muda ia sudah mulai giat mengajar dan mengarang. Ia
mengajar diberbagai perguruan. Selain dari negeri tempat ia mengajar
murid-muridnya berasal dari berbagai negeri yang jauh. Banyak anak didiknya yang
menjadi tokoh di negerinya sendiri. Al-Alu>si> tercatat sebagai seorang
penanggungjawab wakaf madrasah marjaniyah, sebuah yayasan pendidikan yang
mensyaratkan penanggungjawabanya seorang tokoh ilmuwan di negeri itu.4
Dia dikenal sebagai seorang pendidik yang sangat memperhatikan sandang
pangan dan perumahan bagi murid-muridnya. Ia memberikan pemondokan yang
lebih baik dari tempat tinggalnya sendiri, sehingga orang-orang semakin menaruh
perhatian pada ilmu pengetahuan. Dengan wawasan ilmu yang luas, Al-Alu>si>
mendiktekan penjelasan-penjelasannya dengan cara yang sangat mudah ditangkap
dan mengemukakan perumpamaan-perumpamaan dengan jelas dan dapat
dimengerti.5
Pada tahun 1248 H al-Alu>si> mengikuti fatwa-fatwa kalangan mazhab
Hanafi. Ia menghayati dan mengetahui perbedaan-perbedaan mazhab serta
berbagai corak pemikiran aliran akidah. Ia menganut akidah salaf dan bermazhab
4
Yunanhar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Tafsir al-Quran Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), 33
5
29
Syafi’I meskipun dalam banyak hal ia adalah pengikut Imam Abu Hanifah.
Namun ia juga memiliki kecenderungan untuk berijtihad.6
Pada tahun ini pula ia menduduki jabatan mufti dalam mazhab Hanafi
yang dilepasnya pada tahun 1263 H, lalu membulatkan perhatiannya pada
penyelesaian penulisan kitab tafsirnya. Setelah penulisan itu selesai tahun 1267 H,
ia berangkat ke Konstatinopel untuk memperlihatkn kitab tafsirnya kepada Sultan
Abd al-Majid, dan memperoleh restunya. Ia kembali ke Baghdad pada tahun 1269
M. 7
Sebagai mufassir, Ia juga menaruh perhatian kepada beberapa ilmu, seperti
ilmu Qiraah, ilmu Munasabah, dan ilmu Asbab an-Nuzul. Ia banyak melihat
syair-syair Arab yang mengungkapkan suatu kata dalam menetukan Asbab
an-Nuzulnya. 8
Hasil karya tulisan beliau antara lain:
1. Syarh al-muslim fi al-manthiqi
2. Al-Ajwibah al-Iraqiyyah „ani al-As’ilati al-Lahutiyyah
3. Al-Ajwibah al-Iraqiyyah „ala al-As’ilati al-Iraniyyah
4. Hasyiyah „ala al-Qatr al-Salim tentang ilmu logika
5. Durrah al-Ghawas fi Awham al-Khawas
6. Al-Nafakhat al-Qudsiyyah fi Adab al-Bahs
6
Ibid., 34 7
Depag Republik Indonesia, Ensiklopedi Islam Indonesia, 109 8
30
7. Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran al-Azmi wa al-Sab’I al
-Masani dan lain-lain.
Beliau wafat pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H, dimakamkan di dekat
makam Syaikh Ma’ruf al-Kharki, salah seorang sufi yang sangat terkenal di kota
kurkh. Setelah meninggal, kitab Ruh al-Ma’ani disempurnakan oleh anaknya, as
-Sayyid Nu’am al-Alu>si>. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia disebutkan bahwa
setelah kembali dari Istanbul al-Alu>si> menulis tiga karya lagi, yaitu: Nasywat
al-Syamsu fi al-Dzahab al-Istanbul. Nasywat al-Mudan fi al-„awd ila dar al-Salam
dan Gharaib al-Ightirah wa Nuzhat al-Albab, yang diterbitkan do Baghdad dua
kali antara tahun 1291-1293 H/ 1874-1876 M dan yang ketiga kalinya pada tahun
1327 H/1909 M.9
B. Profil Tafsir Ruh al-Ma’ani
1. Latar Belakang Penulisan Tafsir
Tafsir ini buah karya Imam Al-Alu>si> seorang ulama dari irak. Terdiri dari
30 juz dalam 15 jilid. Pertama kali dicetak pada tahun 1301 H. kemudian pada
cetakan kedua di Baghdad dan Mesir pada tahun 1553 terdiri dari 30 juz dalam 10
jilid. Dicetak ulang oleh percetakan Idarah al-Taba’ah al-Munirah di mesir dan
Dar Ihya al-Turats al-Araby, pada tahun 1405 H.
Al-Alu>si> mulai menulis tafsirnya tanggal 16 Sya’ban 1252 H, yang
sebelumnya didahului oleh mimpi mempertemukan langit dan bumi. Penulisan ini
9
31
berlangsung selama 10 tahun lebih. Kitab tafsir Ruh al-Ma’ani berisi berbagai
pandangan baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf dan juga menerangkan
pendapat tafsir-tafsir sebelumnya, misalnya Ibn Aliyah, Ibn Hayyan, al-Kassyaf,
Abi Su’ud, Baidhawi dan Fahral Razi. Ketika dia menukil dari tafsir Abu
al-Su’ud biasanya dengan memakai kalimat “Qala Syaikh al-Islam”. Ketika menukil
dari tafsir al-Baidhawi dia memakai kalimat “Qala Qadhi”. Ketika menukil dari
tafsir Fahr al-Razi memakai kalimat “Qala al-Imam”.
2. Ciri-ciri Umum Penafsiran
Dalam memberikan penjelasan, Al-Alu>si> banyak mengutip pendapat para
ahli tafsir pendahulunya, dan tentunya yang berkompeten di bidangnya, ia juga
sering kali memiliki pendapat sendiri yang berbeda dengan pendapat yang dikutip.
Bahkan ia kadang-kadang juga mengomentari dan terkadang juga menganggap
kurang tepat di antara pendapat-pendapat yang disebutkan, jika dilihat dari
caranya menjelaskan tersebut.10
Penjelasan yang diberikan oleh Al-Alu>si> bisa dikatakan sangat detail,
sehingga tepatlah jika Tafsir Ru>h al-Ma’a>n>i dimasukan ke dalam golongan tafsir
Ithnabi (detail). Hal tersebut dapat kita temukan pada penejelasan beliau pada
setiap awal surat yangh biasanya diawali dari nama surat, asbab an-nuzul,
munasabah dengan surat sebelumnya, makna kata I’rab, pendapat para ulama,
10 Abu Hasan, “
32
dalil yang ma’tsur (namun jarang), makna di balik lafaz (makna isyari) dan jika
pembahasannya panjang terkadang juga ia beri kesimpulan.11
C. Bentuk Penafsiran
Dilihat dari sumbernya, tafsir Ruh al-ma’ani menggunakan dalil nash
al-Quran, al-Hadis, aqwal al-„ulama dan juga ra’yu. Ra’yu inilah yang paling besar
porsinya. Sehingga tidak heran apabila Dr. Jam’ah memasukannya ke dalam
golongan Tafsir bi al-ra’yi.12 Al-Alusi juga menggunakan analisi linguistic dan
bahkan informasi para sejarawan yang dinilai akurat. Akan tetapi menurut hemat
penulis, dengan mengutip dari apa yang dikatakan oleh Ridwan Nasir bahwa tafsir
Ru>h al-Ma’a>n>i bisa juga dikelompokan ke dalam golongan tafsir bil iqtirani,
yakni tafsir yang memadukan antara sumber penafsiran yang ma’tsur juga
menggunakan ra’yu.13
Selain itu masadir (sumber-sumber) penafsiran yang dipakai, al-Alusi
berusaha memadukan sumber ma’tsur (riwayat) dan al-ra’yi (ijtihad). Artinya
bahwa riwayat dari Nabi atau sahabat atau bahkan tabiin tentang penafsiran
al-Quran dan ijtihad dirinya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu
dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Sedangkan pendekatan yang dipakai
dalam menafsirkan. Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam menafsirkan salah
satunya adalah pendekatan sufistik, meskipun ia juga tidak mengesampingkan
11
Ibid., 54
12 Ali Abd Qadir Jam’ah, Zad al-Raghibin fi Manahij al-Mufassirin (Kairo : Jami’ah al
Azhar, Kuliah Ushul al-Din, 1989), 76 13
33
pendekatan bahasa, seperti nahwu saraf balaghah dan sebagainya. Bahklan
sebagaimana penilaian al-Dzahabi porsi sufistiknya relatif lebih sedikit.
D. Metode dan Corak Penafsiran
Metode yang dipakai oleh al-Alu>si> dalam menafsirkan Quran adalah
metode tahlili. Salah satu yang menonjol dalam tahlili (analisis) adalah bahwa
seorang mufassir akan berusaha menganalisis sebagai dimensi yang terdapat
dalam dalam ayat yang ditafsirkan. Maka biasanya mufassir akan menganalisis
dari segi bahasa, asbab al nuzul, nasikh mansukhnya dan lain-lain. Namun
biasanya metode tahlili tidak mampu menyajikan sebuah tafsir secara
komprehensif, sehingga seringkali terkesan parsial.14
Adapun sumber-sumber penafsiran yang dipakai, al-Alu>si> berusaha
memadukan sember ma’sur (riwayat) dan al-Ra’yi (ijtihad) artinya bahwa riwayat
dari Nabi atau sahabat atau bahkan tabi’in tentang penafsirkan al-Quran dan
ijtihad dirinya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu dapat
dipertanggungjawabkan akurasinya.15
Menurut Ibn al-Qayyim,16 Tafsir isy’ari/sufi dapat diterima dengan empat
syarat, yaitu:
1. Tidak berlawanan dengan makna ayat
2. Makna yang diajukan itu sendiri benar
3. Di dalam lafad terdapat isyarat makna
14
AS Hornbay, Oxford Advanced Leavers Dictionary of Current English (tp : Oxford University press 1963), 534
15
Ibid,. 535
34
4. Antara makna isy’ari dan makna ayat ada pertalian dan talazum (saling
menetapkan)
Contoh tafsir isy’ari adalah penafsiran Ibn Abbas pada ayat “aza jaa nasr
Allah sa al fath”. Menurut beliau apabila kaum muslimin sudah bisa menakhlukan
Makkah berarti pertanda ajal Rasulullah SAW sudah dekat. Al-Alusi
mengemukakan riwayat Izz bi Abd al Salam bahwa khalifah Ali RA memutuskan
untuk memerangi Mu’awiyah berdasarkan makna isy’ari dari ayat (قسعمح (, tapi
sayang tidak ada penjelasan lebih detail tentang hal ini.17
Tafsir Ru>h al-ma’a>ni> dinilai oleh sebagian ulama sebagai tafsir yang
bercorak isy’ari (tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin berdasarkan
isyarat dan ta’wil sufi) sebagaimana tafsir al-Naisaburi. Namun anggapan ini
dibantah oleh al-Dzahabi dengan menyatakan bahwa tafsir Ru>h al-Ma’a>n>i bukan
untuk tujuan tafsir isy’ari, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir isy’ari.
Al-Dzahabi memasukan tafsir al-Alu>si> ke dalam tafsir bi al-ra’yi al Mahmud
(tafsir berdasar ijtihad yang terpuji).18
Ada ulama sependapat dengan al-Dzahabiu, sebab memang maksud utama
dari penulisan tafsir bukan untuk menafsirkan al-Quran berdasarkan
isyarat-isyarat, melainkan menafsirkan al-Quran berdasarkan apa yang dimaksud oleh
lahirnya ayat dengan tanpa mengabaikan riwayat yang sahih. Meskipun tidak
dapat diingkari bahwa beliau juga memberikan penafsiran secara isy’ari, tetapi
17
Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, 105
18
35
porsinya relative lebih sedikit dibanding yang bukan isy’ari. Menentukan corak
suatu tafsir selalu berdasarkan kecenderungan yang paling menonjol dari sekian
kecenderungan.19
Imam Ali al-Sabuni sendiri juga menyatakan bahwa al-Alu>si> memang
member perhatian kepada tafsir isy’ari, segi-segi balaghah dan bayan. Dengan
apresiatif beliau lalu mengatakan bahwa tafsir al-Alu>si> dapat dianggap sebagai
tafsir yang paling baik untuk dijadikan rujukan dalam kajian tafsir bi al-riwayah,
bi al dirayah dan isyarah.20
Menurut al-Dzahabi dan Abu Syuhbah, tafsir Ruh al-Ma’ani merupakan
kitab tafsir yang dapat menghimpun sebagian besar pendapat para mufassir
dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjih terhadap pendapat-pendapat yang
beliau kutip. Disamping itu, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab, Rasyid
Ridha juga menilai bahwa al-Alu>si> sebagai mufassir yang terbaik dikalangan
ulama mutaakhirin karena keluasan pengetahuannya menyangkut
pendapat-pendapat Muta’akhhirin dan mutaqaddimin. Namun, al-Alu>si> tidak luput dari
kritikan. Seperti, dia dituduh sebagai penjiplak pendapat ulama-ulama
sebelumnya, bahkan tanpa merubah redaksi-redaksi yang dikutipnya.21
Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam menafsirkan salah satunya
adalah pendekatan sufistik, meskipun ia juga tidak mengesampingkan pendekatan
19
Ibid,. 87
20
Ibid,. 88 21
36
bahasa, seperti nahwu-saraf balagah dan sebagainya. Bahkan sebagaimana
penilaian al-Dzahabi, porsi sufistiknya relatif lebih sedikit.22
Adapun sistematika sebagai langkah metodis yang ditempuhnya, biasanya
al-Alusi menyebutkan ayat-ayat al-Quran dan langsung menjelaskan makna
kandungan ayat demi ayat. Dalam analisisnya, terkadang juga al-Alu>si>
menyebutkan asbab al-nuzu>l terlebih dahulu, namun kadang beliau langsung
mengupas dari segi gramatiknya, kemudian mengutip riwayat hadis atau qaul
tabiin.23
Terhadap riwayat-riwayat isra’illiyat yang sering disusupkan dalam
beberapa literature hadis dan tafsir, al-Alu>si> dinilai sangat selektif dalam
mengambil riwayat-riwayat isra’iliyat. Hal itu disebabkan Karena beliau banyak
menekuni disiplin ilmu hadis dan banyak bergaul dengan para ulama ahli hadis
mutaakhirin. Kalaupun al-Alu>si> menyebutkan riwayat-riwayat isra’illiyat atau
ahdis maudhu’ hal nitu bukan dimaksudkan sebagai dasar penafsiran, melainkan
untuk menunjukan kabatilan riwayat tersebut dan memberikan tahzir (peringatan)
kepada kaum muslimin, terutama para peneliti dan mahasiswa.24
E. Penafsiran al-Alusi Tentang Ayat-ayat Zuhud 1. Tartib Nuzul al-Ayat
Berikut urutan Tartib Nuzul ayat berdasarkan keterangan para Ulama’.25
22
AS Hornbay, Oxford Advanced leavers Dictionary of Current English, 534 23
Ibid,. 534 24
Ibid,. 535 25
Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), 172-
37
Tartib Surah Makkiyah
No Tartib Nuzul Nama Surah No. Surah
1 49 Al-Qas}s} }as> 28
3 53 Yu>suf 12
4 57 Luqman 31
5 72 Ibra>him 14
6 85 Al-„Ankabut 29
Tartib Surah Madaniyah
No Tartib Nuzul Nama Surah No. Surah
1 3 Ali-Imra>n 3
2 8 Al-Hadid 57
2. Surah Makkiyah
a. Surah Al-Qas}s} }as> ayat 77
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.26
Harta benda itu adalah anugerah dari Allah. Dengan adanya harta
itu janganlah kamu sampai lupa bahwa sesudah hidup ini kamu akan mati.
26
38
Sesudah dunia ini kamu akan pulang ke akhirat. Harta benda dunia ini,
sedikit ataupun banyak hanya semata-mata akan tinggal di dunia. Kalau
kita mati kelak, tidak sebuah pun yang akan dibawa ke akhirat. Sebab itu
pergunakanlah harta ini untuk membina hidupmu yang di akhirat kelak.
Berbuat baiklah, nafkakanlah rezeki yang dianugerahkan Allah itu kepada
jalan kebijakan. Niscaya jika kamu mati kelak bekas amalmu untuk akhirat
itu akan engkau dapati berlipat ganda disisi Allah. Dan yang untuk dunia
janganlah pula dilupakan. Tinggallah dalam rumah yang baik, pakailah
kendaraan yang baik dan semoga semuanya itu diberi puncak kebahagiaan
dengan isteri yang setia.
) (
kebaikan Allah kepada kamu tidaklah terhitung banyaknya, sejak
dari kamu dikandung ibu, smapai datang ke dunia. Sampai dari tidak
mempunyai apa-apa, lalu diberi rezeki berlipat ganda.maka sudah
sepatut-nyalah berbuat baik pula. () segala perbuatan yang akan
merugikan orang lain yang akan memutuskan silaturrahmi, aniaya, mengganggu
keamanan, menyakiti hati sesama manusia, membuat onar, menipu dan mencari
keuntungan semata untuk diri sendiri dengan melupakan kerugian orang lain,
semuanya itu adalah merusak. Oleh karena itu Allah tidak menyukai orang yang
berbuat kerusakan
b. Surah Yusuf ayat 20
39
dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, Yaitu beberapa dirham
saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.27
ورشو
kata ganti yang rofa’ jika hal itu ditujukan kepadasaudara-saudaranya Nabi Yusuf maka kata tersebut bermakna
عا
(menjual), danjika ditujukan ke kabilah (yang membeli Nabi Yusuf), maka bermakna
ىرشا
(membeli) sebagaimana dalam syair :ما ت ك درب دعب نم # يتيل ادرب تيرشو
Aku membeli mantel agar supaya diriku # setelah merasakan
kedinginan dapat memakainya (terus menerus seolah-olah mencintainya).
Dan diperbolehkan makna dari kata tersebut
عا
(menjual)berdasarkan pada saudara-saudara Nabi Yusuf menjualnya ketika bertemu
dengan suatu kabilah atau musafir. )
سخ نمثب(
yaitu kurang. Kata tersebutadalah Mashdar yang memiliki makna isim maf’ul yaitu
صوق م
(dikurangi). Dan diperbolehkan yang memiliki keiingan menjualnya
bermakna
سخا
( kurang) dari harga yang semestinya. Seorang berperang
40
berkata : pemalsuan itu kurangnya takaran. Qatadah berkata : pengurangan
itu dzalim karena mereka mengurangi standart penjualannya. Ibnu Abbas
berkata, Dlahhak : pengurangan itu haram, mengapa hal itu haram ?
karena hal itu berkenaan dengan harga kemerdakaan (budak), dinamakan
pengurangan itu haram karena kurangnya keberkahan atau terkurangnya
dari keberkahan. Lalu, Firman Allah selanjutanya : (
م رد
( kata inimerupakan badl dari harga yaitu tidak adanya dinar. )
ةدودعم(
yaitu sedikitdikunyah (kiyas) dengan bilangan sedikit karena banyaknya ditimbangkan
bagi mereka, adapun bilangan dirham tersebut sebagaimana riwayat
mengatakan 20 dirham, Ibnu Abbas berkata : 22 dirham, pendapat lain
mengatakan : 20 sepatu yang berlumuran lumpur serta dua sandal, dan
dikatakan : 30 sepatu yang berlumuran lumpur serta dua sandal, dikatakan
pula : membelinya dengan harga 18 sepatu boots serta beberapa sandal.
Diakatakan pula : 10. Ikrimah berkata : 40 dirham, tidak dihiraukan
berdasarkan yang telah disebutkan pendapat-pendapat sebelumnya bahwa
mereka hanya menimbang atau menjualnya seukuran 200 Gram, yaitu 40
dirham ketika hal itu itdak terdapat peniadaan bahwa 40 ada yang
berpendapat tentangnya. )
يف اوناكو(
yaitu pada diri Nabi Yusuf )نيد ازلا نم(
yaitu sangat membenci, kata ganti pada kalimat
اوناك
jika menunjukkan
41
pada pengantar lalu mereka menjualnya serta berkeinginan untuk itu
karena mereka berjumpa dengan para kafilah sedangkan yang dijumpainya
menganggap mereka remeh atau hina tidak memperdulikan terhadap apa
yang ia ciptakan dan karena ia takut untuk mengungkapkan haknya yang
terlepas dari tangannya (pengantar) lalu ia menjualnya dengan kesepakatan
banderol harga dibawah standart meskipun ia berada ditangan mereka dan
mereka pada mulanya menjual agar supaya dibeli oleh sebagian kafilah
atau dari saudara-saudaranya nabi Yusuf, mereka membencinya karena
menganggap nabi Yusuf lari dari tawanannya lalu mereka takut untuk
membahayakan apa yang mereka miliki, diakatakan pula : kata ganti dari
kalimat )
يف(
kembali ke harga. Mereka membencinya karenaketampanannya atau tujuannya mereka hanyalah menjauhkan Nabi Yusuf.
Hal ini sangatlah jelas bahwa kata gantinya merujuk pada kalimat )
اوناك
(merujuk pada saudara-saudaranya. Jar (konjungsi) –sebagaimana
dinukilkan oleh Ibnu Malik- dihapus yang menunjukkan pada kalimat
نيد ازلا
yaituنيد ازلا نم يف نيد از اوناك
. Hal itu bahwa laam pada kalimatنيد ازلا
merupakan Isim Maushul dan tidak didahului ام padaلوصوما ةلص
يلع
,
dan karenaام
setelah jar tidak mengamal sebelumnya, lalu apakah
42
sebagaimana dalah perkataan :
ءاملعلا نم ماع
atau sifat mabni yaituنيد از
telah sampai pada mereka zuhud sehingga dikatakan sebagai
نيد ازلا
karena orang yang zahid terkadang tidak hanya terdapat pada keturunan
bangsawan sehingga dikatakan mereka zahid jika telah terbiasa atau
sebagai khobar kedua ?, semua itu mungkin, dan kalimat tersebut tidaklah
pengganti dari yang ada yaitu )
نم(
yang besertanya, sebagian ada yangmengatakannya terhapus yakni
نيد ازلا نم يف اأو
, Ibnu Hajib berkata :sesungguhnya kalimat tersebut berkenaan dengan Shilah dan makna dari
tersebut tanpada ada keraguan akan tetapi hanyalah terlepas darinya
ketika memahami shilah maushul tidak mengamal sebelum Maushul
secara muthlak, dan diantara Shilah
لأ
dengan lainnya terdapat perbedaansesungguhnya kalimat tersebut merupakan sebuah gambaran huruf yang
menempati tempatnya Juz min al kalimat (sebagian dari kata), maka
diperbolehkan mendahului Ma’mulnya dan tidak membutuhkan lagi pada
perkataan yang menyatakan kalimatnya disebut, hal ini hanyalah
diungkapkan oleh Al-Mazini yang mengatakan
لأ
pada kalimat tersebutsebagai Makrifat seakan-akan ia tidak memandang pendahuluan Ma’mul
majrur yang tidak dibolehkan, jika tidak maka tidaklah sempurna
43
Hal ini tidak dibutuhkan untuk menjawab pelepasan Jar majrur
dari hukum Fa’il dan maf;ul bih shorih meskipun hal