• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zuhud dalam Tafsir Ruh al Ma'ani karya al Alusi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Zuhud dalam Tafsir Ruh al Ma'ani karya al Alusi."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

ZUHUD DALAM TAFSIR

RU><>H} AL-

MA‘A<

NI< KARYA AL-ALU>SI>

Skripsi:

Disusun untuk memenuhi Tugas Akhir Guna mendapat gelar Strata Satu (S-1)

Ilmu Al-Quran dan Tafsir

Disusun oleh :

REZA PERMANA ADITYA NIM: E73213142

PRODI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Peneliti dengan nama Reza Permana Aditya Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir,

dengan judul “Zuhud Dalam Tafsir Ruh al-Ma`ani karya Al-Alusi”

Berangkat dari latar belakang masalah diantara sekian banyak orang masih kurang memahami arti dari zuhud. setiap harinya masih banyak orang-orang bukan tekun beribadah, tetapi sibuk dengan pekerjaannya tanpa mengenal waktu. Mereka hanya mengejar kemewahan dunia dan lupa dengan kehidupan akhirat, kemudian adanya perbedaan pendapat tentang zuhud diantara para ulama sufi yang menghasilkan dua pemikiran yang berbeda yaitu zuhud sebagai maqam dan zuhud sebagai moral (akhlak). Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaiaman menejelaskan makna zuhud menurut Al-Alusi dan relevansinya pada zaman modern. Tujuan penelitian ini adalah untuk menegtahui makna zuhud menurut Al-Alusi dalam Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Zuhud bukan semata-mata tidak mau memiliki harta dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi, seperti dalam surat al-hadid ayat 20 menurut al-Alusi bahwa dalam ayat ini menjelaskan dunia merupakan sarana membekali diri untuk menuju akhirat, dengan maksud beribadah untuk akhirat dan juga mampu mencari rizki di dunia karena Allah semata dengan kata lain keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Dan hasil penelitian ini memberikan penjelasan berupa relevansi zuhud di zaman modern yaitu Zuhud sebagai upaya pembentukan sikap terhadap dunia dimasa modern. Dalam kaitannya dengan problema masyarakat modern, maka secara praktis tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembebasan spiritual, ia mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya. Tasawuf dalam hal ini zuhud dapat memberi jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka akibat pendewaan mereka terhadap selain Tuhan, seperti materi dan sebagainya.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

PEDOMAN TRANSLITASI ... xiii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 7

F. Telaah Pustaka ... 8

G. Metodologi Penelitian ... 10

(8)

BAB II: ZUHUD DAN TASAWUF

A. Pengertian Zuhud ... 15

B. Tingkatan dan Tanda-tanda zuhud ... 16

C. Asal usul Zuhud ... 19

D. Zuhud Sebagai Maqam Tasawuf ... 21

BAB III: Al-ALUSI DAN AYAT-AYAT ZUHUD A. Biografi al-Alu>si> ... 27

B. Profil Tafsir Ruh al-Ma’ani ... 30

1. Latar Belakang Tafsir ... 30

2. Ciri-ciri Umum penafsiran ... 31

C. Bentuk Penafsiran ... 32

D. Metode dan Corak penafsiran ... 33

E. Penafsiran Al-Alusi Tentang Ayat-ayat Zuhud ... 36

1. Tartib Nuzul al-Ayat ... 36

2. Surah Makkiyah ... 37

a. Surah al-Qashash ayat 28 ... 37

b. Surah Yu>suf ayat 20 ... 38

c. Surah Luqman ayat 33 ... 47

d. Surah Ibrahim ayat 3 ... 49

e. Surah al-‘Ankabut ayat 64 ... 50

3. Surah Madaniyah ... 51

a. Surah Ali-Imra>n ayat 14 ... 51

b. Surah al-Hadid ayat 20 ... 52

c. Surah al-Hadid ayat 23 ... 55

BAB IV: ANALISIS TERHADAP PENAFSIRAN Al-ALU>SI>> TENTANG AYAT-AYAT ZUHUD DAN RELEVANSINYA DI ZAMAN MODERN A. Analisa penafsiran al-Alu>si> pada ayat-ayat zuhud ... 57

(9)

BAB V: PENUTUP

A. Simpulan ... 78

B. Saran ... 79

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan dalil-dalil Al-Quran dan Hadis, ajaran zuhud dalam Islam

tidak bisa lepas dari ajaran islam tentang Tasawuf. Kedua nilai tersebut tidak

dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Karena zuhud disini merupakan

keharusan yang menentukan bagi kesufian seseorang, demikian juga sebaliknya

ketasawufan merupakan yang menentukan bagi kezuhudannya seseorang.

Di zaman sekarang ini, dimana kehidupan dunia semakin modern, banyak

orang yang setiap harinya bukan tekun beribadah, tetapi sibuk dengan

pekerjaannya tanpa mengenal waktu. Mereka hanya mengejar kemewahan dunia

dan lupa dengan kehidupan akhirat, maka dalam keadaan seperti itulah kita

dituntut untuk berlaku zuhud agar selamat dari godaan materi yang menyesatkan

dan bahkan kadang-kadang menyeret manusia dalam kekufuran.1

Zuhud dalam islam dasarnya adalah firman Allah dan Rasul-Nya sendiri,

baik ucapan maupun tingkah laku perbuatan serta sikap hidup sederhana beliau

sehari-hari. Tujuan zuhud dalam islam adalah untuk memperoleh ketentraman,

kebahagiaan dan keselamatan lahir maupun batin baik di dunia maupun di akhirat.

Pengertian dan tata cara zuhud dalam islam tidak berarti harus meninggalkan

segala keperluan dan urusan hidup dan kehidupannya di dunia ini.

Zuhud artinya sikap menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berkaitan

dengan dunia. Seorang yang zuhud seharusnya hatinya tidak terbelenggu atau

1

(11)

2

hatinya tidak terikat oleh hal-hal yang bersifat duniawi dan tidak menjadikannya

sebagai tujuan. Hanya sarana untuk mencapai derajat ketaqwaan yang merupakan

bekal untuk akhirat.2

Kandungan zuhud membangkitkan semangat spiritual yang tinggi.

Seorang zahid menahan jiwanya dari pelbagai bentuk kenikmatan dan kelezatan

hidup duniawi, menahan dorongan nafsu yang berlebihan agar memperoleh

kebahagiaan yang abadi. Seorang zahid juga mengikis habis nilai yang akan

menghalanginya untuk memperoleh rahmat dan kelezatan hidup di bawah

naungan Allah. Kecintaan kepada Allah mengalahkan segala alternatif yang

mendorong kepada Hubb As-Sahawa>t (cinta untuk menuruti hawa nafsu).

Perasaan naluri memberi kesaksian ke atas kecintaan, kedamaian, dan

kebahagiaan hubungan dengan Rabb ketika ia lebih mengutamakan kebenaran

berbanding dorongan hawa nafsu.3

Al-Ghazali menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang

halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih

memperyai apa yang ada ditangan Allah dari pada apa yang ada ditanganmu.

Menurut Al-Ghazali seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya

dalam rangka melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah Swt. Seluruh

aktifitas hidupnya termasuk kegiatan ekonomi harus dilaksanakan sesuai dengan

Syariat Islam, tidak boleh bersifat kikir dan tidak boleh pula bersifat boros.4

2

Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),14. 3

A.Bachrun Rifa‟I dan Hasan Mud‟is, Filsafat Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia,

2010),208. 4

(12)

3

Al-Junaid berkata, “orang yang zuhud tidak gembira karena menapatkan

dunia dan tidak sedih karena kehilangan dunia”. Sedangkan menurut Abu Hafsh,

zuhud tidak berlaku kecuali dalam hal-hal yang halal. Sementara di dunia ini tidak

ada lagi hal yang halal, yang berarti tidak ada lagi zuhud.5

Menurut Yahya bin Muadz, zuhud itu menimbulkan kedermawanan dalam

masalah hak milik, sedangkan cinta menimbulkan kedermawanan dalam ruh.

Menurut Ibnu jala’, zuhud itu memandang dunia dengan pandangan yang

meremehkan sehingga mudah bagimu untuk berpaling darinya. Menurut Abdullah

bin Mubarak zuhud artinya percaya kepada Allah dengan disertai kecintaan

kepada kemiskinan. Dan menurut Sufyan Ats Tsauri zuhud di dunia artinya tidak

mengumbar harapan, bukannya makan sesuatu yang kering dan mengenakan

pakaian yang tidak bagus.6

Menurut Hasan al-Basri zuhud terhadap dunia, menolak kemegahannya

semata menuju kepada Allah, tawakkal, khauf, dan raja’, semuanya tidaklah

terpisah jangan hanya takut kepada Allah, tetapi ikutilah ketakutan itu terhadap

pengharapan. Takut akan murkan-Nya, tetapi mengharap karunianya.7

Menurut Hamka salah sorang tokoh Muhammadiyah zuhud adalah tidak

ingin, tidak demam kepada dunia, kemegahan, harta benda dan pangkat.

Sedangkan menurut Syafiq A Mughni kekayaan duniawi dan ukhrowi harus dicari

5

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikhin, jilid 2 terj:kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 1999),185.

6

Ibid.,186. 7

(13)

4

dengan tanpa meninggalkan keduanya dengan semangat pula untuk beribadah

kepada Allah SWT.8

Banyak orang Salaf yang mewujudkan zuhud dalam hidupnya, tetapi

mereka juga kaya, penuh dengan timbunan harta. Rasulullah sendiri dikala hidup

bersama istrinya Khadijah turut mengecap manis dan nikmatnya duniawi. Umar

bin Khathab, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Umar bin Abdul Aziz dan

beberapa sahabat nabi lainnya pernah juga hidup dalam timbunan harta. Meskipun

demikian bagi mereka harta yang banyak hanyalah bagaikan angin lalu, yang

sekali datang menyejukkan tubuh kemudian pergi.9

Al-Quran telah mengisyaratkan tentang pentingnya bersikap zuhud

terhadap dunia. Salah satunya seperti dalam Q.S al-Hadid ayat 20-23.

                                                                                                                                                                                              

ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di

8

Skripsi, Muadhiful Chilmi, Konsep Zuhud Perspektif Tokoh Muhammadiyah, 2007.56.

9

(14)

5

akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

21. berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-diberikan-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar.

22. tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. 23. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira[1459] terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap

orang yang sombong lagi membanggakan diri.10

Ayat di atas tidak menyebutkan kata zuhud, tetapi mengungkapkan tentang

makna dan hakikat zuhud. Ayat ini menerangkan tentang hakikat dunia yang

sementara dan hakikat akhirat yang kekal. Kemudian menganjurkan orang-orang

beriman untuk berlomba-lomba meraih ampunan dari Allah da surge-Nya di

akhirat. Selanjutnya Allah SWT menyebutkan tentang musibah yang menimpa

manusia adalah ketetapan Allah dan bagaimana orang-orang beriman harus

menyikapi musibah tersebut. sikap yang benar adalah agar tidak mudah berduka

terhadap musibah dan apa saja yang luput dari jangkauan tangan. Selain itu, orang

yang beriman juga tidak terlalu gembira sehingga hilang kesadaran terhadap apa

yang didapatkan. Begitulah metodologi Al-Quran ketika berbicara tentang

nilai-nilai dan prinsip yang mengarahkan manusia untuk bersikap zuhud.

Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti permasalahan ini dari sudut

pandang al-Al{u>si> dalam karyanya yaitu kitab tafsir Ru>h al-ma’a>ni>, yang mana

tafsir ini dinilai para ulama bercorak Isy’ari atau sufi yaitu tafsir yang mencoba

10

(15)

6

menguak dimensi makna batin berdasarkan isyarat dan ta’wil sufi karena tema

zuhud yang diambil oleh penulis merupakan bagian dari perilaku sufi.

B. Identifikasi Masalah

Dari pemaparan diatas Adapun masalah-masalah yang teridentifikasi

adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan zuhud?

2. Apa perbedaan zuhud dengan wara?

3. Apa hikmah berperilaku zuhud?

4. Apakah zuhud harus miskin?

5. Bagaimana kedudukan zuhud dalam tasawuf?

6. Bagaimana pengaruh zuhud terhadap kegiatan ekonomi?

7. Bagaiman konsep zuhud dalam Al-Sunnah?

8. Bagaimana penafsiran ayat-ayat zuhud dalam Alquran?

Berdasarkan identifikasi masalah di atas dalam memahami zuhud tidaklah

mungkin untuk diteliti secara keseluruhan dan mendalam pada penelitian ini,

meskipun untuk memahami zuhud secara utuh dibutuhkan semua itu. Namun,

setidaknya penelitian yang fokus dan mendalam akan memberikan manfaat yang

lebih baik. Maka masalah yang hendak dibahas akan difokuskan pada penafsiran

ayat-ayat yang membahas tentang zuhud dalam Al-Quran dan relevansinya pada

(16)

7

C. Rumusan Masalah

Dari gambaran umum latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep zuhud menurut al-Al{u>si>?

2. Bagaimana relevansi zuhud dengan zaman modern?

D. Tujuan Penelitian

Setelah masalah dirumuskan, tujuan penelitian disusun untuk

menjawabnya. Hal ini dilakukan agar hasil penelitian menjadi jelas dan mendalam

sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan. Berikut ini adalah tujuan

penelitian yang disusun:

1. Untuk menemukan konsep zuhud menurut al-Alusi

2. Untuk menyajikan relevansi zuhud pada zaman modern.

E. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuannya yang telah disusun di atas,

maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat bagi semua

pembaca.

1. Secara teoritis

Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan wawasan

kepada umat Islam tentang kemungkinan-kemungkinan penafsiran terhadap

kata isla>m dan kata-kata yang seakar dengannya yang berusaha diungkap oleh

(17)

8

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah keluasan wawasan,

pengetahuan, dan pemahaman kepada masyarakat muslim terhadap makna kata

isla>m dan kata-kata yang seakar dengannya yang disampaikan oleh Allah

SWT. melalui firman-Nya. Pengetahuan yang luas tersebut dapat membuka

pikiran mereka, bahwa penafsiran dan kebenarannya bersifat relatif dan

temporal. Hal tersebut dapat menciptakan toleransi antar sesama muslim,

terlebih lagi sesama umat beragama seperti yang tercipta pada masa Nabi

SAW. di Madinah.

F. Telaah Pustaka

Perlu untuk menampilkan kajian terdahulu agar penelitian yang dilakukan

dapat teruji orisinilitasnya. Sehingga dapat telihat perbedaan dan kekayaan

pembahasan yang saling melengkapi antara penelitian-penelitian yang ada.

Berikut ini adalah penelitian yang saling berkaitan:

1. Zuhud dari zaman ke zaman, rofiatul ulya, tahun 2010. Skripsi

mahasiswa STAIN Pekalongan di dalamnya menyatakan untuk

menghadapi krisis dunia modern zuhud yang diajarkan oleh para

pendahulu-pendahulu bisa dijadikan alternatif pemecahan masalah

sekaligus dapat dijadikan benteng untuk membangun diri sendiri,

terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi, dengan zuhud akan

(18)

9

dan menerima nikmat dengan lapang hati dan menggunakan sesuai

dengan fungsi dan porsinya.

2. Konsep zuhud perspektif tokoh Muhammadiyah, Muadhiful chilmi,

tahun 2007. Skripsi mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya berisi

pendangan-pandangan tokoh Muhammadiyah tentang zuhud seperti:

Syafiq A. Mughni, Haji Abdul Malik Amrullah dan Abdul Munir

Mulkham.

3. Relevansi Zuhud Terhadap Etos Kerja Manusia Modern(Studi

Pemikiran Ibn Al-Qayyim Al-jauziyah), Mohammad Anwar Sodiq,

tahun 2014. Skripsi Mahasiswa IAIN Walisongo ini berisi tentang

pemikiran Ibn Qayyim tentang zuhud yang lebih moderat dibanding

dengan konsep sufisme lama, memandang aktifitas duniawi secara

positif yang mengarah pada etos kerja manusia modern yang tinggi.

Dan Ibn jauzi membagikan tingkatan zuhud menjadi tiga tingkatan

pertama, zuhud dalam subhat. Kedua, dalam perkara yang berlebihan.

Ketiga, zuhud dalam zuhud.

4. Pengaruh Membaca Komik Sufi Terhadap Zuhud Anak, Furrizta

Novalliya, Tahun 2015. Skripsi Mahasiswa UIN Walisongo ini berisi

penelitian lapangan yang mana hasil dari penelitian tersebut

menunjukan ada perbedaan perubahan tingkat zuhud anak antara

kelompok eksperimen dan kelompok control. Yaitu anak yang

membaca komik sufi memiliki perubahan tingkat zuhud lebih tinggi

(19)

10

5. Zuhud dalam pandangan Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Tri Nurhaeni,

2008. Skirpsi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah ini berisi pendapat

Ibn Qayyim mengenai zuhud bahwa menurut Ibn Qayyim al-Jawziyah

kecintaan kepada akhirat tidak akan sempurna kecuali dengan

berzuhud di dunia. Orang yang mencintai dunia, tamak dan dan

mengutamakannya akan percaya bahwa ada dunia yang lebih mulia,

lebih utma dan lebih kekal, namun bisa juga tidak percaya, penyebab

utamanya adalah tidak beriman. Akan tetapi apabila ia percaya akhirat

tetapi tidak mengutamakannya penyebabnya adalah kerusakan akal

dalam memilih untuk dirinya sendiri

Berdasarkan penelusuran dari beberapa penelitian yang telah penulis

kemukakan di atas, maka penulis memilih judul dengan alasan belum pernah

dibahas oleh peneliti terdahulu. Karena penelitian di atas kebanyakan meneliti

dari sudut pandang para ulama. Dari sinilah penulis mencoba untuk

mengembangkan tentang pembahasan tersebut dari sudut pandang penafsiran.

G. Metode penelitian

Setiap kegiatan yang bersifat ilmiah, memerlukan adanya suatu metode

yang sesuai dengan masalah yang dikaji, karena metode merupakan cara

(20)

11

demi mencapai hasil yang maksimal.11 Adapun metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian kepustakaan) yaitu

serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data

pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian, yaitu

dengan mengumpulkan teori-teori dalam kitab-kitab, pendapat para ahli dan

karangan ilmiah lainnya yang ada relevansinya dengan pembahasan dengan

karya skripsi ini. Maka teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah

metode dokumentasai, dengan memperoleh data dari benda-benda tertulis

seperti buku, majalah, dokumen, peraturan, notulen rapat, catatan harian dan

sebagainya.12

2. Metode penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif sebuah metode penelitian atau

inkuiri naturalistik atau alamiyah, perspektif ke dalam dan interpreatif.13

Inkuiri naturalistik adalah pertanyaan yang muncul dari diri penulis terkait

persoalan tentang permasalahan yang sedang diteliti. Perspektif ke dalam

adalah sebuah kaidah dalam menemukan kesimpulan khusus yang semula

didapatkan dari pembahasan umum. Sedangkan interpretatif adalah

penterjemahan atau penafsiran yang dilakukan oleh penulis dalam

mengartikan maksud dari suatu kalimat, ayat atau pernyataan.

11

Anton Bakker, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 10. 12

Fadjrul Hakam Chozin, Cara Mudah Menulis Karya Ilmiyah,(Ttp: Alpha, 1997),66. 13

(21)

12

3. Sumber Data

Mengingat penelitian ini menggunakan metode Library Research, maka

diambil data dari berbagai sumber tertulis. Dalam pembahasan skripsi ini

menggunakan sumber data yang terbagi menjadi sumber data primer dan

sumber data skunder, yang perinciannya sebagai berikut:

a. Sumber Data Primer

Sumber primer adalah sumber yang berasal dari tulisan buku-buku

yang berkaitan langsung dengan buku ini. Sumber utama penelitian ini

adalah al-Qura>n dan kitab tafsir Ru>h al-Ma’a>ni>

b. Sumber Data Skunder

Sumber Data Sekunder, bersumber dari penelitian berupa buku,

skripsi dan jurnal yang disusun untuk menghadirkan berbagai cara pandang

dalam melihat masalah yang hendak diteliti serta bebrapa kitab tafsir seperti :

- Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi

- Tafsir al-Azha>r karya Hamka

- Tafsir al-Qur’a>n al-Adhi>m karya Ibnu katsi>r

- Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab

4. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul secara lengkap dari berbagai sumber referensi,

kemudian penulis membahas dengan menggunakan metode sebagai berikut:

- Maud}u>’i: menurut bahasa adalah meletakkan, menjadikan atau

(22)

13

berusaha mencari ayat al-Qura>n tentang suatu masalah tertentu dengan

jalan menghimpun seluruh ayat-ayat yang dimaksud, lalu

menganalisanya melalui pengetahuan yang relevan dengan masalah

yang dibahas, kemudian melahirkan konsep yang utuh dari al-Qura>n

tentang masalah tersebut.14

- Langkah-langkah untuk menerapkan tafsir maud}u>’i: menetapkan

masalah yang akan dibahas, menghimpun ayat-ayat yang berkaitan

dengan masalah tertentu, menyusun runtutan ayat-ayat sesuai masa

turunnya disertai dengan sebab turunnya ayat, memahami kolerasi

antara surah yang satu dengan surah yang lain, menyusun atau

menyempurnakan pembahasan judul atau topik kemudian dibagi ke

dalam beberapa bagian yang berhubungan, mempelajari ayat-ayat

secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang

mempunyai pengertian yang sama.15

H. Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan hasil penelitian, dibutuhkan sebuah sistematika agar

pembahasan menjadi sistematis dan tidak keluar dari fokus pembahasan.

Penelitian terbagi menjadi lima bab, yaitu sebagai berikut:

14

Abd al-Hayy al-Farma>wi>, Metode Tafsir Mawdlu>’i>y, (Jakarta: PT. Grafindo

Persada, 1994), 37. 15

(23)

14

Bab satu berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka, dan metode

penelitian.

Bab Dua, Konsep Umum tentang Zuhud, Berupa Pengertian Zuhud,

Tingkatan zuhud, Asal-usul Zuhud, dan Zuhud sebagai maqam tasawuf.

Bab Tiga, Biografi dan penafsiran al-Alusi terhadap ayat-ayat zuhud.

Bab Empat, Analisis Penafsiran al-Alusi tentang ayat-ayat zuhud.

(24)

BAB II

ZUHUD DAN TASAWUF

A. Pengertian Zuhud

Secara etimologi, zuhud berarti

هنم يضارلاو هنع بغارلا

, artinya tidak tertarik

pada dunia dan hanya menginginkan keridhoan-Nya.1 ada pula kata zahada berarti

ra>ghaba ‘An Shay’in wa Tarakahu, artinya tidak tertarik pada sesuatu dan

meniggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti megosongkan diri dari dari dunia.2

Orang yang melakukan zuhud disebut za>hid, zuhha>d dan za>hidun, zahidah

jamaknya zuhdan artinya kecil atau sedikit.3

Zuhud menurut bahasa Arab materinya tidak berkeinginan. Dikatakan

zuhud pada sesuatu apabila tidak tamak padanya. Adapun sasarannya adalah

dunia. Dikatakan pada seseorang bila dia menarik diri untuk tekun beribadah dan

menghindarkan diri dari keinginan menikmati kelezatan hidup adalah zuhud pada

dunia.4

Adapun arti zuhud secara terminologi Dalam pandangan kaum sufi, dunia

dan segala isinya merupakan sumber kemaksiatan dan kemungkaran yang dapat

menjauhkannya dari Tuhan. Karena hasrat, keiginan, dan nafsu seseorang sangat

berpotensi untuk menajadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai

1

Al-Asfihani, Mu’jam Mufradat li al-Fadh al-Qur’an (Beirut : Daar al-Kutub al-Ilmiyah,

1425), 241.

2 Moh. Fudholi, “ Zuhud Menurut Al-Qusyairi Dalam Risalah Al-Qusyairiyah”, Teosofi

Jurnal Fisafat Dan Pemikiran Islam, vol. 01, No. 01, (Juni, 2011), 43. 3

Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), 1.

4

(25)

16

tujuan kehidupan, sehingga memalingkan Tuhan. Oleh karena itu maka seorang

sufi dituntut untuk terlebih dahulu memalingkan seluruh aktifitasnya baik jasmani

dan rohaninya dari hal-hal yang bersifat duniawi. Dengan demikian segala apa

yang dilakukannya dalam kehidupan tidak lain hanyalah dalam rangka

mendekatkan diri kepada Tuhan. Perilaku inilah yang dalam terminologi sufi

disebut zuhud meskipun banyak pengertian yang diberikan oleh toko sufi tentang

zuhud, tapi ungkapan para sufi mengarah pada arti deskriptif di atas.5

B. Tingkatan dan Tanda-Tanda Zuhud

Menurut Al Hasan “di hari kiamat kelak, manusia akan dikumpulkan

dalam keadaan telanjang, kecuali orang-orang zuhud. Ada orang-orang yang

ketika di dunia sangat terhormat kedudukannya, namun di akhirat ia digantung

dipapan salib dalam keadaan terhina. Maka janganlah kalian gusor dan tenanglah,

jika hanya kalian dihina dalam perkara duniawi”. Apabila engkau tergoda oleh

dunia dan dalam keadaan khawatir dan gelisah , maka itulah tandanya bahwa

kehidupan dunia itu penuh was-was, selalu menimbulkan kegelisahan dan air

mata.6

Hakekat zuhud disisi seorang sufi adalah ketenangan hati tentang apa

yang telah dijanjikan Allah kepadanya. Maka tenangkanlah hatimu apabila engkau

5

Moh Fudholi, Zuhud Menurut Al-Qusyairi, 43-44. 6

(26)

17

telah mendapatkan anugerah dari Allah. Hendalah engkau cukupkan pemberian

itu dan nikmatilah dengan sabar dan syukur.

Dengan demikian zuhud yang benar bukan karena kosongnya tangan dari

memiliki harta dunia, namun zuhud yang hakiki adalah kosongnya hati dari

mencintai dunia, meskipun kedua tangannya mengenggam harta dunia tersebut.

Menurut Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi Zuhud ada tiga tingkatan yaitu:7

1. Zuhud terhadap hal-hal duniawi. Inilah zuhud yang paling

rendah, karena dalam hati zahid (orang zuhud) sebenarnya

masih ada keinginan pada hal keduniaan, hanya saja ia

berusaha mengatasinya. Orang yang baru berada pada tingkatan

ini masih dalam keadaan bahaya, karena jiwanya masih dapat

dikalahkan oleh dorongan hawa nafsu yang rendah. Sehingga ia

terjerumus kelubuk kehinaan dan menajadi hamba materi.

2. Kezuhudan seseorang yang telah sanggup meninggalkan

hal-hal keduniaan karena dipandang sebagai sesuatu yang tidak

memiliki nilai, disamping kecenderungan hatinya yang

senantiasa berupaya meraih kebahagiaan yang lebih besar disisi

Allah SWT. Zuhud pada tingkat ini dipandang sebagai zuhud

tingkat menengah, karena zahid tidak lagi terpengaruh oleh

hal-hal keduniaan.

7 Abdul Aziz Dahlan , “Ajaran”Ensiklopedi Tematis Dunia Islam

(27)

18

3. Zuhud tingkat tertinggi ialah zuhud yang semata-mata

mengharap ridha Allah SWT. Pada tingkatan ini tidak terlintas

lagi di dalam jiwa zahid hal-hal keduniaan, karena segala harta

benda duniawi tidak lagi memiliki nilai di hatinya. Ia hanya

merasa tentram dalam makrifatnya kepada Allah SWT.

Selain tingkatan orang-orang zuhud juga ada tanda-tanda seseorang yang

menjalankan zuhud (za>hid), ada yang berpendapat bahwa meninggalkan harta itu

zuhud. Sebenarnya tidaklah seperti itu karena meninggalkan harta dan

menimbulkan keburukan itu sangat mudah dilakukan oleh orang-orang yang

dianggap miskin, lalu tekun beribadah. Dan ia mendapat pujian dan predikat

zuhud. Kemudian ia merasa sangat senang dipuji. Hal yang demikian itu bukanlah

yang dimaksud zuhud. Secara lahiriah mereka zuhud, namun secara batiniah Allah

maha tahu, bahwa jiwanya dipenuhi oleh sifat riya’ dan ujub. Mereka mengikuti

hawa nafsunya.

Oleh karena itu mengetahui zuhud itu sukar. Bahkan mengetahui

seseorang itu benar-benar zuhud pun sangat sulit. Yang penting adalah berpegang

pada batin.8 Dan tanda-tanda zuhud yang dirasakan dalam batin seseorang

adalah:9

1. Tidak merasa senang dengan hal-hal duniawi yang didapatnya, tidak

bersedih atas hilangnya hal-hal keduniawian dari dirinya.

8

Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin (Surabaya : Gita Media Press, 2003),

358. 9

(28)

19

2. Seseorang tidak risau jika dicela dan tidak berbangga hati jika dipuji.

Mendapat pujian atau hinaan sama saja dalam bersikap.

3. Merasa sangat cinta kepada Allah dan perasaan itu membuat

ketaatannya menjadi semakin kuat.

C. Asal Usul Zuhud

Menurut Harun Nasution ada lima pendapat tentang asal usul zuhud.

Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi

oleh phythagoras yang mengharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam

rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi

iniah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam islam. Ketiga,

dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka

penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus

meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh budha dengan faham nirwananya bahwa

untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup

kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia

meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada kepada Tuhan untuk mencapai

persatuan Atman dan Brahman.10

Sedangkan Abu “Ala Afifi mencatat empat pendapat para sarjana tentang

faktor atau asal usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua,

dipengaruhi oleh asketisme Nasrani. Ketiga, dipengaruhi oleh berbagai sumber

10

(29)

20

yang berbeda beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat,

dipengaruhi oleh ajaran islam.11

Untuk faktor keempat ini Afifi merinci lebih jauh menjadi dua:12

Pertama, faktor ajaran islam sebagaimana terkandung dalam kedua

sumbernya, al-Quran dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untuk hidup

wara’, taqwa, dan zuhud. Selain itu kedua sumber tersebut mendorong agar

umatnya beribadah, bertingkah laku baik, shalat tahajjud, berpuasa dan

sebagainya. Dalam berbagai ayat banyak dijumpai sifat surga dan neraka, agar

umat termotifasi mencari surge dan menjauhkan diri dari neraka.

Kedua, reaksi Rohanian kaum muslimin terhadap sistem sosial politik dan

ekonomi dikalangan islam sendiri, yaitu ketika islam telah tersebar ke berbagai

negara yang sudah tentu membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu, seperti

terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran disatu pihak, dan terjadinya

pertikaian politik interen umat islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali

Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah, yang bermula dari al-Fitnah al-kubra yang

menimpa khalifah ketiga, Utsman Bin Affan (35 H/ 655 M). dengan adanya

fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat atau ulama’nya tidak

ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu

terhadap pergolakan yang ada, mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dlam

pertikaian tersebut.

11

Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, 5. 12

(30)

21

Terhadap asal usul zuhud di atas, penulis tidak sependapat dengan

pandangan tersebut sebagaimana yang disebutkan oleh Harun Nasution bahwa

dipengaruhi oleh Rahib-rahib Kristen. Sebenarnya dalam Islam tidak ada sistem

rahib (kependetaan) seperti dalam agama-agama lainnya. Kesamaan antara zuhud

dengan rahib dalam nasrani dan agama-agama lain bukan berarti Islam mengambil

daripadanya atau mencontohnya. Karena hidup semacam zuhud ada dalam semua

agama bisa juga dikatakan sember agama adalah satu, sekalipun berbeda dalam

detailnya

D. Zuhud Sebagai Maqam Dalam Tasawuf

Secara harfiah maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti

tempat berpijak atau pangkat mulia.13 Dalam bahasa inggris maqamat dikenal

dengan istilah stages yang berarti tangga.14 Sedangkan dalam ilmu tasawuf

maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang

telah diusahakan nya, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah.

Disamping itu, maqamat berarti jalan panjang menuju fase yang harus ditempuh

oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin kepada Allah.15 Maqam dilalui

oleh seorang hamba melalui usaha sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah

kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba

tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam

sebelumnya.

13

Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Komtemporer Arab – Indonesia

(Yogyakarta : Pondok Pesantren Krapyak, 1996), 362 14

John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia (Jakarta : Gramedia,

1988), 550 15

(31)

22

Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf.

Hal ini dapat dilihat dari pendapat para ulama tasawuf yang senantiasa

mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat, meskipun dengan

sistematika yang berbeda-beda al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan

maqam: al-wara’, al-zuhud, al-tawakkal, dan al-ridla. Dan al-Thusi

menempatkan zuhud dalam dalam sistematika: al-taubah, al-wara’, al-zuhud,

al-faqr, al-sabr, al-ridla, al-tawakkal dan al-ma’rifah. Sedangkan al-Ghazali

menempatkan zuhud dalam sistematika: al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud,

al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla.16 Penjelasan semua tingakatan

itu sebagai berikut:

1. Taubat

Taubat berasal dari bahasa Arab taba- yatubu- taubatan yang berarti

“kembali” dan “penyesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi

kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai

dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak

mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan

kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.17

Taubat menurut Dzun Nun al Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan:

(1) orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan, (2) orang yang

bertaubat dari kelalaian mengingat Allah dan (3) orang yang bertaubat

karena memandang kebaikan dan ketaatannya.18 Dari ketiga tingkatan

16

Moh Fudholi, Zuhud Menurut Al-Qusyairi, 45. 17

Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu tasawuf (Bandung : Pustaka Setia, 2000), 58 18

(32)

23

taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam dalam tasawuf adalah

upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin.

2. Zuhud

Secara harfiah berarti tidak tertarik oleh kesenangan dunia.19 Menurut

pandangan para sufi, zuhud secara umum diartikan sebagai suatu sikap

melepaskan diri dan rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi

dengan mengutamakan kehidupan ukhrawi.

3. Sabar

Sabar secarah harfiah berarti tabah hati. Secara terminology sabar

adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh , stabil dan konsekuen dalam

pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri sabar

berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan

kehendak Allah, tetap tenang ketika mendapat cobaan dan

menempatkan sifat cukup, walaupun sebenarnya dalam kefakiran.20

4. Wara’

Wara’ secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan

dosa atau maksiat. Sedangkan pengertian wara dalam pandangan sufi

adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik

yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya.

Menurut qamar kaialani yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’

dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara

lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan

19

Al-Asfihani, Mu’jam Mufradat li al-Fadh al-Qur’an, 241

20

(33)

24

dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ bathiniyah adalah

tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat

Allah.21

5. Faqr

Faqr mengandung makna seseorang yang penghasilannya setelah

bekerja tidak mencukup kebutuhannya. Dinamakan faqr karena masih

membutuhkan bantuan untuk meningkatkan taraf hidup. Sedangkan

dalam konteks eksistensi manusia faqr mengandung makna bahwa

semua manusia secara universal membutuhkan Allah. Dalam

pandangan sufi, faqr diartikan tidak menuntut lebih banyak dari apa

yang telah dimiliki dan merasa puas dengan apa yang dimiliki

sehingga tidak menginginkan sesuatu yang lain.22

6. Tawakkal

Tawakkal berarti menyerahkan segalanya kepada Allah setelah

melakukan suatu rencana atau usaha. Sikap ini erat kaitannya dengan

amal dan keikhlasan hati, yaitu ikhlas semata-mata karena Allah dan

menyerahkan segalanya kepada Allah. Menurut al-Misri

mendifinisikan tawakkal yaitu berhenti memikirkan diri sendiri dan

merasa tidak memiliki daya dan kekuatan. Initnya adalah penyerahan

21

Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufi Klasik ke Neo Sufisme (jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), 118

22

(34)

25

diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki

kekuatan apapun.23

7. Ridha

Ridha secara harfiah berarti rela, senang dan suka. Sedangkan

pengertiananya secara umum adalah tidak menentang qadha dan

qadhar Allah, menerima qadha dan qadhar dengan hati senang.

Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di

dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang

menenrima cobaan sebagaimana merasa senang menerima nikmat.

Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari

neraka.24

8. Ma’rifah

Rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu

yang didapat pada umunya, dan merupakan pengetahuan yang

objeknya bukan hal-hal yang bersifat dzahir, tetapi bersifat bathin yaitu

pengetahuan mengenai rahaisa tuhan melalui pancaran cahaya ilahi.

Adapun alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sur, qalb, dan

ruh. Qalb yang suci akan dipancari cahaya ilahi dan akan dapat

mengetahui segala rahasia Tuhan. Pada saat itulah seorang sufi sampai

pada tingkatan ma’rifat.

Melihat sistematika yang dikemukakan para „ulama sufi tersebut bahwa

zuhud merupakan suatu maqam yang pasti harus dilalui oleh seorang sufi, ia

23

A. Riva Siregar, Tasawuf, 121 24

(35)

26

menempati posisi penting. Pentingnya posisi zuhud dalam tasawuf karena melalui

maqam zuhud seorang sufi akan dapat membawa dirinya pada kondisi

pengosongan kalbu dari selain Allah SWT. Dan terpenuhinya kalbu dengan zikir

atau ingat kepada Allah. Dalam pandangan sufi dunia tidak bisa berada dalam

kalbu secara bersamaan dengan Tuhan.25

25

(36)

BAB III

AL-ALU>>>SI>>>

DAN AYAT-AYAT ZUHUD

A. Biografi Al-Alu>si>

Al-Alu>si> nama lengkapnya Alusi ditulis Abu Fadhl Syihab Din

al-Sayyid Mahmud Affandi al-Alusi al-baghdadi. Tapi al-Dzahabi dalam kitabnya

al-Tafsir wa al Mufassirun menulis Abu al-Tsana’ sebagai ganti Abu al-Fadhl.1

Ternyata dalam muqaddimah yang ditulis oleh Al-Alu>si sendiri tertulis

sebagaimana yang ditulis oleh al-Dzahabi di atas. Al-Alu>si lahir di Baghdad tahun

1217 / 1802 M. al-Alu>si> adalah nama sebuah desa yang terletak di sebuah pulau

di tengah-tengah sungai efrat. Dari desa itulah nenek moyang al-Alu>si> berasal.2 Ia

seorang jenius, mula-mula belajar pada ayahnya sendiri yang juga seorang ulama

besar, kemudian Syekh Khlmid al-Naqsyabandi dan Syekh Ali al-Suwaidi. Pada

usia 13 tahun ia sudah mampu mengaja dan mengarang. Kitab tafsirnya di atas

mulai ditulis pada waktu ia masih berusia 23 tahun.3

Sebelumnya ia telah mempunyai keinginan untuk mengarang kitab tafsir

sendiri, tetapi ia mengalami kembimbangan. Sampai pada suatu malam, bulan

rajab tahun 1252 H dia bermimpi rasanya Allah memerintahkan kepadanya untuk

mempertemukan langit dan bumi. Lalu ia mengangkat tangannya yang satu dan

membenamkan yang satunya lagi kedasar lautan. Dia berusaha mencari makna

1 Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, juz I (Daral-ma’arif, 1976),

35. 2

Ibid., 353 3

(37)

28

mimpi tersebut, yang itu merupakan isyarat baginya untuk menulis tafsir. Tidak

heran dia dikenal sebagai „allamah (ulama besar), baik dalam bidang ilmu naqli

maupun aqli, dengan apresiasi yang dalam setiap cabang dan dasar kedua bidang

tertsebut. Sejak usia muda ia sudah mulai giat mengajar dan mengarang. Ia

mengajar diberbagai perguruan. Selain dari negeri tempat ia mengajar

murid-muridnya berasal dari berbagai negeri yang jauh. Banyak anak didiknya yang

menjadi tokoh di negerinya sendiri. Al-Alu>si> tercatat sebagai seorang

penanggungjawab wakaf madrasah marjaniyah, sebuah yayasan pendidikan yang

mensyaratkan penanggungjawabanya seorang tokoh ilmuwan di negeri itu.4

Dia dikenal sebagai seorang pendidik yang sangat memperhatikan sandang

pangan dan perumahan bagi murid-muridnya. Ia memberikan pemondokan yang

lebih baik dari tempat tinggalnya sendiri, sehingga orang-orang semakin menaruh

perhatian pada ilmu pengetahuan. Dengan wawasan ilmu yang luas, Al-Alu>si>

mendiktekan penjelasan-penjelasannya dengan cara yang sangat mudah ditangkap

dan mengemukakan perumpamaan-perumpamaan dengan jelas dan dapat

dimengerti.5

Pada tahun 1248 H al-Alu>si> mengikuti fatwa-fatwa kalangan mazhab

Hanafi. Ia menghayati dan mengetahui perbedaan-perbedaan mazhab serta

berbagai corak pemikiran aliran akidah. Ia menganut akidah salaf dan bermazhab

4

Yunanhar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Tafsir al-Quran Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), 33

5

(38)

29

Syafi’I meskipun dalam banyak hal ia adalah pengikut Imam Abu Hanifah.

Namun ia juga memiliki kecenderungan untuk berijtihad.6

Pada tahun ini pula ia menduduki jabatan mufti dalam mazhab Hanafi

yang dilepasnya pada tahun 1263 H, lalu membulatkan perhatiannya pada

penyelesaian penulisan kitab tafsirnya. Setelah penulisan itu selesai tahun 1267 H,

ia berangkat ke Konstatinopel untuk memperlihatkn kitab tafsirnya kepada Sultan

Abd al-Majid, dan memperoleh restunya. Ia kembali ke Baghdad pada tahun 1269

M. 7

Sebagai mufassir, Ia juga menaruh perhatian kepada beberapa ilmu, seperti

ilmu Qiraah, ilmu Munasabah, dan ilmu Asbab an-Nuzul. Ia banyak melihat

syair-syair Arab yang mengungkapkan suatu kata dalam menetukan Asbab

an-Nuzulnya. 8

Hasil karya tulisan beliau antara lain:

1. Syarh al-muslim fi al-manthiqi

2. Al-Ajwibah al-Iraqiyyah „ani al-As’ilati al-Lahutiyyah

3. Al-Ajwibah al-Iraqiyyah „ala al-As’ilati al-Iraniyyah

4. Hasyiyah „ala al-Qatr al-Salim tentang ilmu logika

5. Durrah al-Ghawas fi Awham al-Khawas

6. Al-Nafakhat al-Qudsiyyah fi Adab al-Bahs

6

Ibid., 34 7

Depag Republik Indonesia, Ensiklopedi Islam Indonesia, 109 8

(39)

30

7. Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran al-Azmi wa al-Sab’I al

-Masani dan lain-lain.

Beliau wafat pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H, dimakamkan di dekat

makam Syaikh Ma’ruf al-Kharki, salah seorang sufi yang sangat terkenal di kota

kurkh. Setelah meninggal, kitab Ruh al-Ma’ani disempurnakan oleh anaknya, as

-Sayyid Nu’am al-Alu>si>. Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia disebutkan bahwa

setelah kembali dari Istanbul al-Alu>si> menulis tiga karya lagi, yaitu: Nasywat

al-Syamsu fi al-Dzahab al-Istanbul. Nasywat al-Mudan fi al-„awd ila dar al-Salam

dan Gharaib al-Ightirah wa Nuzhat al-Albab, yang diterbitkan do Baghdad dua

kali antara tahun 1291-1293 H/ 1874-1876 M dan yang ketiga kalinya pada tahun

1327 H/1909 M.9

B. Profil Tafsir Ruh al-Ma’ani

1. Latar Belakang Penulisan Tafsir

Tafsir ini buah karya Imam Al-Alu>si> seorang ulama dari irak. Terdiri dari

30 juz dalam 15 jilid. Pertama kali dicetak pada tahun 1301 H. kemudian pada

cetakan kedua di Baghdad dan Mesir pada tahun 1553 terdiri dari 30 juz dalam 10

jilid. Dicetak ulang oleh percetakan Idarah al-Taba’ah al-Munirah di mesir dan

Dar Ihya al-Turats al-Araby, pada tahun 1405 H.

Al-Alu>si> mulai menulis tafsirnya tanggal 16 Sya’ban 1252 H, yang

sebelumnya didahului oleh mimpi mempertemukan langit dan bumi. Penulisan ini

9

(40)

31

berlangsung selama 10 tahun lebih. Kitab tafsir Ruh al-Ma’ani berisi berbagai

pandangan baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf dan juga menerangkan

pendapat tafsir-tafsir sebelumnya, misalnya Ibn Aliyah, Ibn Hayyan, al-Kassyaf,

Abi Su’ud, Baidhawi dan Fahral Razi. Ketika dia menukil dari tafsir Abu

al-Su’ud biasanya dengan memakai kalimat “Qala Syaikh al-Islam”. Ketika menukil

dari tafsir al-Baidhawi dia memakai kalimat “Qala Qadhi”. Ketika menukil dari

tafsir Fahr al-Razi memakai kalimat “Qala al-Imam”.

2. Ciri-ciri Umum Penafsiran

Dalam memberikan penjelasan, Al-Alu>si> banyak mengutip pendapat para

ahli tafsir pendahulunya, dan tentunya yang berkompeten di bidangnya, ia juga

sering kali memiliki pendapat sendiri yang berbeda dengan pendapat yang dikutip.

Bahkan ia kadang-kadang juga mengomentari dan terkadang juga menganggap

kurang tepat di antara pendapat-pendapat yang disebutkan, jika dilihat dari

caranya menjelaskan tersebut.10

Penjelasan yang diberikan oleh Al-Alu>si> bisa dikatakan sangat detail,

sehingga tepatlah jika Tafsir Ru>h al-Ma’a>n>i dimasukan ke dalam golongan tafsir

Ithnabi (detail). Hal tersebut dapat kita temukan pada penejelasan beliau pada

setiap awal surat yangh biasanya diawali dari nama surat, asbab an-nuzul,

munasabah dengan surat sebelumnya, makna kata I’rab, pendapat para ulama,

10 Abu Hasan, “

(41)

32

dalil yang ma’tsur (namun jarang), makna di balik lafaz (makna isyari) dan jika

pembahasannya panjang terkadang juga ia beri kesimpulan.11

C. Bentuk Penafsiran

Dilihat dari sumbernya, tafsir Ruh al-ma’ani menggunakan dalil nash

al-Quran, al-Hadis, aqwal al-„ulama dan juga ra’yu. Ra’yu inilah yang paling besar

porsinya. Sehingga tidak heran apabila Dr. Jam’ah memasukannya ke dalam

golongan Tafsir bi al-ra’yi.12 Al-Alusi juga menggunakan analisi linguistic dan

bahkan informasi para sejarawan yang dinilai akurat. Akan tetapi menurut hemat

penulis, dengan mengutip dari apa yang dikatakan oleh Ridwan Nasir bahwa tafsir

Ru>h al-Ma’a>n>i bisa juga dikelompokan ke dalam golongan tafsir bil iqtirani,

yakni tafsir yang memadukan antara sumber penafsiran yang ma’tsur juga

menggunakan ra’yu.13

Selain itu masadir (sumber-sumber) penafsiran yang dipakai, al-Alusi

berusaha memadukan sumber ma’tsur (riwayat) dan al-ra’yi (ijtihad). Artinya

bahwa riwayat dari Nabi atau sahabat atau bahkan tabiin tentang penafsiran

al-Quran dan ijtihad dirinya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu

dapat dipertanggungjawabkan akurasinya. Sedangkan pendekatan yang dipakai

dalam menafsirkan. Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam menafsirkan salah

satunya adalah pendekatan sufistik, meskipun ia juga tidak mengesampingkan

11

Ibid., 54

12 Ali Abd Qadir Jam’ah, Zad al-Raghibin fi Manahij al-Mufassirin (Kairo : Jami’ah al

Azhar, Kuliah Ushul al-Din, 1989), 76 13

(42)

33

pendekatan bahasa, seperti nahwu saraf balaghah dan sebagainya. Bahklan

sebagaimana penilaian al-Dzahabi porsi sufistiknya relatif lebih sedikit.

D. Metode dan Corak Penafsiran

Metode yang dipakai oleh al-Alu>si> dalam menafsirkan Quran adalah

metode tahlili. Salah satu yang menonjol dalam tahlili (analisis) adalah bahwa

seorang mufassir akan berusaha menganalisis sebagai dimensi yang terdapat

dalam dalam ayat yang ditafsirkan. Maka biasanya mufassir akan menganalisis

dari segi bahasa, asbab al nuzul, nasikh mansukhnya dan lain-lain. Namun

biasanya metode tahlili tidak mampu menyajikan sebuah tafsir secara

komprehensif, sehingga seringkali terkesan parsial.14

Adapun sumber-sumber penafsiran yang dipakai, al-Alu>si> berusaha

memadukan sember ma’sur (riwayat) dan al-Ra’yi (ijtihad) artinya bahwa riwayat

dari Nabi atau sahabat atau bahkan tabi’in tentang penafsirkan al-Quran dan

ijtihad dirinya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu dapat

dipertanggungjawabkan akurasinya.15

Menurut Ibn al-Qayyim,16 Tafsir isy’ari/sufi dapat diterima dengan empat

syarat, yaitu:

1. Tidak berlawanan dengan makna ayat

2. Makna yang diajukan itu sendiri benar

3. Di dalam lafad terdapat isyarat makna

14

AS Hornbay, Oxford Advanced Leavers Dictionary of Current English (tp : Oxford University press 1963), 534

15

Ibid,. 535

(43)

34

4. Antara makna isy’ari dan makna ayat ada pertalian dan talazum (saling

menetapkan)

Contoh tafsir isy’ari adalah penafsiran Ibn Abbas pada ayat “aza jaa nasr

Allah sa al fath”. Menurut beliau apabila kaum muslimin sudah bisa menakhlukan

Makkah berarti pertanda ajal Rasulullah SAW sudah dekat. Al-Alusi

mengemukakan riwayat Izz bi Abd al Salam bahwa khalifah Ali RA memutuskan

untuk memerangi Mu’awiyah berdasarkan makna isy’ari dari ayat (قسعمح (, tapi

sayang tidak ada penjelasan lebih detail tentang hal ini.17

Tafsir Ru>h al-ma’a>ni> dinilai oleh sebagian ulama sebagai tafsir yang

bercorak isy’ari (tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin berdasarkan

isyarat dan ta’wil sufi) sebagaimana tafsir al-Naisaburi. Namun anggapan ini

dibantah oleh al-Dzahabi dengan menyatakan bahwa tafsir Ru>h al-Ma’a>n>i bukan

untuk tujuan tafsir isy’ari, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir isy’ari.

Al-Dzahabi memasukan tafsir al-Alu>si> ke dalam tafsir bi al-ra’yi al Mahmud

(tafsir berdasar ijtihad yang terpuji).18

Ada ulama sependapat dengan al-Dzahabiu, sebab memang maksud utama

dari penulisan tafsir bukan untuk menafsirkan al-Quran berdasarkan

isyarat-isyarat, melainkan menafsirkan al-Quran berdasarkan apa yang dimaksud oleh

lahirnya ayat dengan tanpa mengabaikan riwayat yang sahih. Meskipun tidak

dapat diingkari bahwa beliau juga memberikan penafsiran secara isy’ari, tetapi

17

Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, 105

18

(44)

35

porsinya relative lebih sedikit dibanding yang bukan isy’ari. Menentukan corak

suatu tafsir selalu berdasarkan kecenderungan yang paling menonjol dari sekian

kecenderungan.19

Imam Ali al-Sabuni sendiri juga menyatakan bahwa al-Alu>si> memang

member perhatian kepada tafsir isy’ari, segi-segi balaghah dan bayan. Dengan

apresiatif beliau lalu mengatakan bahwa tafsir al-Alu>si> dapat dianggap sebagai

tafsir yang paling baik untuk dijadikan rujukan dalam kajian tafsir bi al-riwayah,

bi al dirayah dan isyarah.20

Menurut al-Dzahabi dan Abu Syuhbah, tafsir Ruh al-Ma’ani merupakan

kitab tafsir yang dapat menghimpun sebagian besar pendapat para mufassir

dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjih terhadap pendapat-pendapat yang

beliau kutip. Disamping itu, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab, Rasyid

Ridha juga menilai bahwa al-Alu>si> sebagai mufassir yang terbaik dikalangan

ulama mutaakhirin karena keluasan pengetahuannya menyangkut

pendapat-pendapat Muta’akhhirin dan mutaqaddimin. Namun, al-Alu>si> tidak luput dari

kritikan. Seperti, dia dituduh sebagai penjiplak pendapat ulama-ulama

sebelumnya, bahkan tanpa merubah redaksi-redaksi yang dikutipnya.21

Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam menafsirkan salah satunya

adalah pendekatan sufistik, meskipun ia juga tidak mengesampingkan pendekatan

19

Ibid,. 87

20

Ibid,. 88 21

(45)

36

bahasa, seperti nahwu-saraf balagah dan sebagainya. Bahkan sebagaimana

penilaian al-Dzahabi, porsi sufistiknya relatif lebih sedikit.22

Adapun sistematika sebagai langkah metodis yang ditempuhnya, biasanya

al-Alusi menyebutkan ayat-ayat al-Quran dan langsung menjelaskan makna

kandungan ayat demi ayat. Dalam analisisnya, terkadang juga al-Alu>si>

menyebutkan asbab al-nuzu>l terlebih dahulu, namun kadang beliau langsung

mengupas dari segi gramatiknya, kemudian mengutip riwayat hadis atau qaul

tabiin.23

Terhadap riwayat-riwayat isra’illiyat yang sering disusupkan dalam

beberapa literature hadis dan tafsir, al-Alu>si> dinilai sangat selektif dalam

mengambil riwayat-riwayat isra’iliyat. Hal itu disebabkan Karena beliau banyak

menekuni disiplin ilmu hadis dan banyak bergaul dengan para ulama ahli hadis

mutaakhirin. Kalaupun al-Alu>si> menyebutkan riwayat-riwayat isra’illiyat atau

ahdis maudhu’ hal nitu bukan dimaksudkan sebagai dasar penafsiran, melainkan

untuk menunjukan kabatilan riwayat tersebut dan memberikan tahzir (peringatan)

kepada kaum muslimin, terutama para peneliti dan mahasiswa.24

E. Penafsiran al-Alusi Tentang Ayat-ayat Zuhud 1. Tartib Nuzul al-Ayat

Berikut urutan Tartib Nuzul ayat berdasarkan keterangan para Ulama’.25

22

AS Hornbay, Oxford Advanced leavers Dictionary of Current English, 534 23

Ibid,. 534 24

Ibid,. 535 25

Rachmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1995), 172-

(46)

37

Tartib Surah Makkiyah

No Tartib Nuzul Nama Surah No. Surah

1 49 Al-Qas}s} }as> 28

3 53 Yu>suf 12

4 57 Luqman 31

5 72 Ibra>him 14

6 85 Al-„Ankabut 29

Tartib Surah Madaniyah

No Tartib Nuzul Nama Surah No. Surah

1 3 Ali-Imra>n 3

2 8 Al-Hadid 57

2. Surah Makkiyah

a. Surah Al-Qas}s} }as> ayat 77

                                                 

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat

kerusakan.26

Harta benda itu adalah anugerah dari Allah. Dengan adanya harta

itu janganlah kamu sampai lupa bahwa sesudah hidup ini kamu akan mati.

26

(47)

38

Sesudah dunia ini kamu akan pulang ke akhirat. Harta benda dunia ini,

sedikit ataupun banyak hanya semata-mata akan tinggal di dunia. Kalau

kita mati kelak, tidak sebuah pun yang akan dibawa ke akhirat. Sebab itu

pergunakanlah harta ini untuk membina hidupmu yang di akhirat kelak.

Berbuat baiklah, nafkakanlah rezeki yang dianugerahkan Allah itu kepada

jalan kebijakan. Niscaya jika kamu mati kelak bekas amalmu untuk akhirat

itu akan engkau dapati berlipat ganda disisi Allah. Dan yang untuk dunia

janganlah pula dilupakan. Tinggallah dalam rumah yang baik, pakailah

kendaraan yang baik dan semoga semuanya itu diberi puncak kebahagiaan

dengan isteri yang setia.

)          (

kebaikan Allah kepada kamu tidaklah terhitung banyaknya, sejak

dari kamu dikandung ibu, smapai datang ke dunia. Sampai dari tidak

mempunyai apa-apa, lalu diberi rezeki berlipat ganda.maka sudah

sepatut-nyalah berbuat baik pula. () segala perbuatan yang akan

merugikan orang lain yang akan memutuskan silaturrahmi, aniaya, mengganggu

keamanan, menyakiti hati sesama manusia, membuat onar, menipu dan mencari

keuntungan semata untuk diri sendiri dengan melupakan kerugian orang lain,

semuanya itu adalah merusak. Oleh karena itu Allah tidak menyukai orang yang

berbuat kerusakan

b. Surah Yusuf ayat 20

(48)

39

dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, Yaitu beberapa dirham

saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf.27

ورشو

kata ganti yang rofa’ jika hal itu ditujukan kepada

saudara-saudaranya Nabi Yusuf maka kata tersebut bermakna

عا

(menjual), dan

jika ditujukan ke kabilah (yang membeli Nabi Yusuf), maka bermakna

ىرشا

(membeli) sebagaimana dalam syair :

ما ت ك درب دعب نم # يتيل ادرب تيرشو

Aku membeli mantel agar supaya diriku # setelah merasakan

kedinginan dapat memakainya (terus menerus seolah-olah mencintainya).

Dan diperbolehkan makna dari kata tersebut

عا

(menjual)

berdasarkan pada saudara-saudara Nabi Yusuf menjualnya ketika bertemu

dengan suatu kabilah atau musafir. )

سخ نمثب(

yaitu kurang. Kata tersebut

adalah Mashdar yang memiliki makna isim maf’ul yaitu

صوق م

(dikurangi). Dan diperbolehkan yang memiliki keiingan menjualnya

bermakna

سخا

( kurang) dari harga yang semestinya. Seorang berperang

(49)

40

berkata : pemalsuan itu kurangnya takaran. Qatadah berkata : pengurangan

itu dzalim karena mereka mengurangi standart penjualannya. Ibnu Abbas

berkata, Dlahhak : pengurangan itu haram, mengapa hal itu haram ?

karena hal itu berkenaan dengan harga kemerdakaan (budak), dinamakan

pengurangan itu haram karena kurangnya keberkahan atau terkurangnya

dari keberkahan. Lalu, Firman Allah selanjutanya : (

م رد

( kata ini

merupakan badl dari harga yaitu tidak adanya dinar. )

ةدودعم(

yaitu sedikit

dikunyah (kiyas) dengan bilangan sedikit karena banyaknya ditimbangkan

bagi mereka, adapun bilangan dirham tersebut sebagaimana riwayat

mengatakan 20 dirham, Ibnu Abbas berkata : 22 dirham, pendapat lain

mengatakan : 20 sepatu yang berlumuran lumpur serta dua sandal, dan

dikatakan : 30 sepatu yang berlumuran lumpur serta dua sandal, dikatakan

pula : membelinya dengan harga 18 sepatu boots serta beberapa sandal.

Diakatakan pula : 10. Ikrimah berkata : 40 dirham, tidak dihiraukan

berdasarkan yang telah disebutkan pendapat-pendapat sebelumnya bahwa

mereka hanya menimbang atau menjualnya seukuran 200 Gram, yaitu 40

dirham ketika hal itu itdak terdapat peniadaan bahwa 40 ada yang

berpendapat tentangnya. )

يف اوناكو(

yaitu pada diri Nabi Yusuf )

نيد ازلا نم(

yaitu sangat membenci, kata ganti pada kalimat

اوناك

jika menunjukkan
(50)

41

pada pengantar lalu mereka menjualnya serta berkeinginan untuk itu

karena mereka berjumpa dengan para kafilah sedangkan yang dijumpainya

menganggap mereka remeh atau hina tidak memperdulikan terhadap apa

yang ia ciptakan dan karena ia takut untuk mengungkapkan haknya yang

terlepas dari tangannya (pengantar) lalu ia menjualnya dengan kesepakatan

banderol harga dibawah standart meskipun ia berada ditangan mereka dan

mereka pada mulanya menjual agar supaya dibeli oleh sebagian kafilah

atau dari saudara-saudaranya nabi Yusuf, mereka membencinya karena

menganggap nabi Yusuf lari dari tawanannya lalu mereka takut untuk

membahayakan apa yang mereka miliki, diakatakan pula : kata ganti dari

kalimat )

يف(

kembali ke harga. Mereka membencinya karena

ketampanannya atau tujuannya mereka hanyalah menjauhkan Nabi Yusuf.

Hal ini sangatlah jelas bahwa kata gantinya merujuk pada kalimat )

اوناك

(

merujuk pada saudara-saudaranya. Jar (konjungsi) –sebagaimana

dinukilkan oleh Ibnu Malik- dihapus yang menunjukkan pada kalimat

نيد ازلا

yaitu

نيد ازلا نم يف نيد از اوناك

. Hal itu bahwa laam pada kalimat

نيد ازلا

merupakan Isim Maushul dan tidak didahului ام pada

لوصوما ةلص

يلع

,

dan karena

ام

setelah jar tidak mengamal sebelumnya, lalu apakah
(51)

42

sebagaimana dalah perkataan :

ءاملعلا نم ماع

atau sifat mabni yaitu

نيد از

telah sampai pada mereka zuhud sehingga dikatakan sebagai

نيد ازلا

karena orang yang zahid terkadang tidak hanya terdapat pada keturunan

bangsawan sehingga dikatakan mereka zahid jika telah terbiasa atau

sebagai khobar kedua ?, semua itu mungkin, dan kalimat tersebut tidaklah

pengganti dari yang ada yaitu )

نم(

yang besertanya, sebagian ada yang

mengatakannya terhapus yakni

نيد ازلا نم يف اأو

, Ibnu Hajib berkata :

sesungguhnya kalimat tersebut berkenaan dengan Shilah dan makna dari

tersebut tanpada ada keraguan akan tetapi hanyalah terlepas darinya

ketika memahami shilah maushul tidak mengamal sebelum Maushul

secara muthlak, dan diantara Shilah

لأ

dengan lainnya terdapat perbedaan

sesungguhnya kalimat tersebut merupakan sebuah gambaran huruf yang

menempati tempatnya Juz min al kalimat (sebagian dari kata), maka

diperbolehkan mendahului Ma’mulnya dan tidak membutuhkan lagi pada

perkataan yang menyatakan kalimatnya disebut, hal ini hanyalah

diungkapkan oleh Al-Mazini yang mengatakan

لأ

pada kalimat tersebut

sebagai Makrifat seakan-akan ia tidak memandang pendahuluan Ma’mul

majrur yang tidak dibolehkan, jika tidak maka tidaklah sempurna

(52)

43

Hal ini tidak dibutuhkan untuk menjawab pelepasan Jar majrur

dari hukum Fa’il dan maf;ul bih shorih meskipun hal

Referensi

Dokumen terkait

Ru&gt;h} al-Baya&gt;n dan penafsiran Ibn ‘Aji&gt;bah dalam tafsirnya, al-Bah{r al-.. Madi&gt;d terhadap ayat-ayat

Permasalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah Pertama apa perbedaan dan kesamaa penafsiran Hamka dan al-Alusi tentang kalimat Tauhid dalam surat

cocok digunakan untuk menjelaskan hal-hal yang bersifat i’tiqadi. Pada akhirnya, penelitian ini memberikan jawaban bahwa, 1) penciptaan kematian dalam penafsiran al-Alusi

Adapun pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan meto e mau hu‟i Yaitu menghimpun seluruh a at al- Qur‟an yang memiliki kesatuan makna atau maksud yang

namun mengandung pengertian yang secara substantif identik dengan zuhud, penelitian ini akan mengeksplorasi lebih jauh tentang konsepsi zuhud sebagaimana yang

Tesis dengan judul “ ZUHUD DALAM PERSPEKTIF HAMKA Studi Maudhu’i atas Tafsir Al Azhar” ini ditulis oleh Ahmad Wafi Nur Safaat dengan dibimbing oleh Dr.. Ahmad Zainal

QURAISH SHIHAB DAN PENERAPANNYA PADA ZAMAN SEKARANG .... Quraish Shihab tentang ayat-ayat

Selanjutnya pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata