• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

14

1. Pengertian Motivasi melanjutkan pendidikan strata 2 Kata motivasi berasal dari bahasa Latin yaitu movere, yang berarti bergerak (move). Motivasi menjelaskan apa yang membuat orang melakukan sesuatu, membuat mereka tetap melakukannya, dan membantu mereka dalam menyelesaikan tugas-tugas.

Hal ini berarti bahwa konsep motivasi digunakan untuk menjelaskan keinginan berperilaku, arah perilaku (pilihan), intensitas perilaku (usaha, berkelanjutan), dan penyelesaian atau prestasi yang sesungguhnya (Pintrich, 2003).

Menurut Santrock, motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku.

Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Santrock, 2007). Dalam kegiatan belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak didalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan

(2)

yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai (Sardiman, 2000)

Sejalan dengan pernyataan Santrock (2007) diatas, Brophy (2004) menyatakan bahwa motivasi belajar lebih mengutamakan respon kognitif, yaitu kecenderungan siswa untuk mencapai aktivitas akademis yang bermakna dan bermanfaat serta mencoba untuk mendapatkan keuntungan dari aktivitas tersebut. Siswa yang memiliki motivasi belajar akan memperhatikan pelajaran yang disampaikan, membaca materi sehingga bisa memahaminya, dan menggunakan strategi-strategi belajar tertentu yang mendukung. Selain itu, siswa juga memiliki keterlibatan yang intens dalam aktivitas belajar tersebut, rasa ingin tahu yang tinggi, mencari bahan- bahan yang berkaitan untuk memahami suatu topik, dan menyelesaikan tugas yang diberikan.

Siswa yang memiliki motivasi belajar akan bergantung pada apakah aktivitas tersebut memiliki isi yang menarik atau proses yang menyenangkan. Intinya, motivasi belajar melibatkan tujuan-tujuan belajar dan strategi yang berkaitan dalam mencapai tujuan belajar tersebut (Brophy, 2004).

Lebih lanjut Wexley & Yukl, (2001) memberikan batasan mengenai motivasi sebagai the process by which behaviour is energized and directed. Hal ini didukung

(3)

oleh Mc.Celland (dalam Trismaningrum,2007) yang berpendapat bahwa didalam motivasi terdapat sebuah tujuan dari individu tersebut. Dengan kata lain motivasi adalah serangkaian usaha untuk menyediakan keadaan- keadaan tertentu agar seseorang menjadi mau dan ingin melakukan sesuatu.

Berdasarkan beberapa definisi diatas selanjutnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan motivasi adalah faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang yang menggerakkan dan mengarahkan perilakunya untuk memenuhi tujuan tertentu.

Dalam penelitian ini, motivasi yang dimaksud adalah motivasi untuk melanjutkan pendidikan strata 2.

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) S2 atau yang sering dikenal dengan gelar magister berhubungan dengan tingkat pendidikan atau pengetahuan sesudah sarjana (S1). Selain itu, sebutan Magister (Inggris, Master) merupakan gelar akademik yang diberikan kepada lulusan program pendidikan Magister (S2) atau graduate. Selain itu, untuk mendapatkan gelar magister, biasanya dibutuhkan waktu selama 1 (satu) sampai 3 (tiga) tahun, serta menyelesaikan suatu karya ilmiah atau tesis (http://id.wikipedia.org/wiki/pendidikan.html).

Jadi, definisi dari motivasi melanjutkan pendidikan strata 2 adalah dorongan yang ada dalam diri seseorang

(4)

yang menggerakkan dan mengarahkan perilakunya untuk mencapai tujuannya yaitu untuk melanjutkan pendidikan strata 2 agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi

Menurut Irwanto, (2005) faktor yang dapat mempengaruhi motivasi adalah:

a. Faktor Internal

Pendorong dan pengarah sikap individu yang melanjutkan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor yang mendorong, mengarahkan, mempertahankan dan menghentikan perilaku yang berasal dari dalam diri individu berupa sikap, kepribadian, pendidikan, pengalaman, pengetahuan, harapan, cita-cita, dan lain sebagainya.

b. Faktor Eksternal

Faktor yang mendorong, mengarahkan, mempertahankan dan menghentikan perilaku yang berasal dari luar individu seperti kepemimpinan, pengaruh lingkungan, orang tua, saudara, dan lain sebagainya.

Selanjutnya Suprihanto, dkk (2003) mengungkapkan bahwa didalam motivasi itu terdapat suatu interaksi antar berbagai faktor. Berbagai faktor yang dimaksud meliputi:

(5)

a. individu dengan segala unsur-unsurnya : kemampuan dan keterampilan, kebiasaan, sikap dan sistem nilai yang dianut, latar belakang kehidupan sosial budaya, tingkat kedewasaan, dsb.

b. Situasi dimana individu berada akan menimbulkan berbagai rangsangan , persepsi individu terhadap harapan dan cita-cita.

c. Proses penyesuaian yang harus dilakukan oleh masing-masing individu.

d. Pengaruh yang datang dari berbagai pihak : pengaruh teman, komunitas, maupun keluarga.

e. Reaksi yang timbul terhadap pengaruh individu f. Perilaku atas perbuatan yang ditampilkan oleh

individu.

g. Timbulnya persepsi dan bangkitnya kebutuhan baru, cita-cita, dan tujuan.

Dari berbagai paparan tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi motivasi dapat disimpulkan bahwa motivasi untuk melanjutkan pendidikan strata 2 dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal atau pengaruh dari luar diri individu seperti pengaruh tngkat pendidikan ibu.

(6)

3. Aspek-aspek motivasi

Menurut Conger (dalam Aftiyan, 2005), motivasi memiliki beberapa aspek diantaranya:

a. Kekuatan yang mendorong

Aspek ini menunjukkan bahwa timbulnya suatu kekuatan akan dapat mendorong individu untuk melakukan sesuatu. Kekuatan ini bisa berasal dari dalam diri individu, lingkungan sekitar serta keyakinan atau kekuatan yang bersifat kodrati. Secara sadar ataupun tidak sadar, dalam diri individu sering terjadi gejolak yang sangat kuat untuk melakukan sesuatu dengan tujuan tertentu. Gejolak itu dapat berasal dari keluarga, teman, lingkungan, pengalaman atau apapun yang membuat kita merasa terdorong dan memiliki kekuatan untuk melakukan sesuatu.

b. Memiliki sikap yang positif

Aspek ini menunjukkan adanya keyakinan dari dalam diri individu yang kuat, penerimaan diri yang tinggi serta selalu optimis dalam menghadapi suatu hal.

Ketika individu (anak) sudah mempunyai kekuatan yang mendorong untuk melakukan sesuatu, maka akan timbul pikiran-pikiran positif dari kekuatan pendorong tersebut yang akan mengarahkan individu untuk mempunyai sikap-sikap positif. Seseorang yang mempunyai dorongan yang kuat untuk melanjutkan

(7)

studi ke jenjang yang tinggi akan memupuk dirinya dengan pikiran-pikiran positif yang akan mempertebal keyakinan dan rasa percaya diri dalam diri individu sehingga akan mengarahkan individu pada sikap-sikap positif, seperti pantang menyerah, bekerja keras, berpikiran positif dan sebagainya.

c. Berorientasi pada pencapaian suatu tujuan

Aspek ini menunjukkan bahwa motivasi menyediakan suatu orientasi tujuan tingkah laku yang dilakukan, diarahkan pada suatu yang dianggap penting dalam kehidupan individu tersebut. Setiap individu yang ingin melanjutkan studinya kejenjang yang lebih tinggi pasti membutuhkan persiapan yang benar- benar matang untuk mewujudkannya. Salah satu caranya, individu harus mempersiapkan materi / tekun belajar untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi guna mencapai apa yang menjadi tujuan individu.

Selanjutnya, Morgan (1987) mengemukakan tiga aspek motivasi yaitu:

a. keadaan yang mendorong tingkah laku (motivating states)

b. tingkah laku yang didorong oleh keadaan tersebut (motivated behavior)

(8)

c. tujuan daripada tingkah laku tersebut (goals or ends of such behavior)

Lebih lanjut Walgito (2004), menyebutkan aspek-aspek motivasi yakni:

1. keadaan terdorong dalam diri organisme (a driving state), yaitu kesiapan bergerak karena kebutuhan misalnya kebutuhan jasmani, karena keadaan lingkungan, atau karena keadaan mental seperti berpikir dan ingatan.

2. perilaku yang timbul dan terarah karena keadaan ini.

3. goal atau tujuan yang dituju oleh perilaku tersebut.

4. Fungsi motivasi

Sardiman, (2005) menyatakan bahwa ada tiga fungsi utama dari motivasi. Pertama, motivasi mendorong manusia untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuannya sehingga motivasi dapat diilustrasikan sebagai mesin dalam kendaraan yang dapat bergerak apabila pemilik ingin memakainya untuk pergi ke suatu tempat.

Sama halnya dengan manusia yang dapat bergerak apabila ada yang mendorongnya untuk mencapai sesuatu.

Fungsi motivasi yang kedua adalah menentukan arah perbuatan yang mengarah ke arah tujuan yang

(9)

hendak dicapai jika individu sudah termotivasi untuk mempunyai gelar pascasarjana, maka individu mengetahui secara benar dan pasti langkah apa yang harus diambil dalam mencapai tujuannya. Secara sadar dan tidak sadar rasa motivasi yang demikian membawa individu untuk pergi ke tujuan yang ingin dicapai individu.

Fungsi terakhir dari motivasi menurut Sardiman, (2005) adalah sebagai juri yang bertugas untuk menyeleksi perilaku individu dalam mencapai tujuan.

Dengan kata lain, motivasi adalah detektif pribadi bagi diri individu sendiri dimana ia dapat mendeteksi mana hal yang harus dilakukan untuk mencapai tujuannya dan mana hal yang harus dibuang karena mengganggu tujuannya.

Selanjutnya, Siagian (2001) menyebutkan beberapa fungsi motivasi, yaitu:

a. Motivasi sebagai pendorong individu untuk berbuat Fungsi motivasi dipandang sebagai pendorong seseorang untuk berbuat sesuatu. Motivasi akan menuntut individu untuk melepaskan energi dalam kegiatannya.

(10)

b. Motivasi sebagai penentu arah perbuatan

Motivasi akan menuntun seseorang untuk melakukan kegiatan yang benar-benar sesuai dengan arah dan tujuan yang ingin dicapai.

c. Motivasi sebagai proses seleksi perbuatan

Motivasi akan memberikan dasar pemikiran bagi individu untuk memprioritaskan kegiatan mana yang harus dilakukan.

d. Motivasi sebagai pendorong pencapaian prestasi Prestasi dijadikan motivasi utama bagi seseorang dalam melakukan kegiatan.

Jadi secara ringkas, fungsi motivasi adalah sebagai pendorong, pengarah, dan penggerak dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai.

B. Tingkat Pendidikan ibu

1. Pengertian Tingkat Pendidikan

Individu sering mendengar khalayak ramai menyebut dan menggunakan istilah “tingkat” dalam mengungkapkan sesuatu. Muda 2006, mendeskripsikan

“tingkat” sebagai sebagai suatu ukuran tinggi atau rendahnya kedudukan seseorang atas Sesuatu. Dalam dunia pendidikan, tingkat selalu dihubungkan dengan istilah “pendidikan”. Tambunan (2009) menjelaskan bahwa istilah pendidikan berasal dari kata Latin yaitu

(11)

educare yang secara harafiah berarti “menarik keluar dari” sehingga pendidikan diartikan sebagai sebuah aksi dalam membawa seorang (anak / peserta didik) keluar dari kondisi yang tidak merdeka, tidak dewasa, dan tergantung ke suatu situasi merdeka, dewasa, dan dapat menentukan diri sendiri, serta bertanggung jawab.

Brubacher (dalam Baraja, 2005) juga berpendapat bahwa pendidikan adalah proses timbal balik dari setiap manusia dalam menyesuaikan dirinya dengan alam, dengan teman, dan dengan alam semesta. Bahkan, Dewey (dalam Baraja, 2005) memandang bahwa pendidikan sebagai proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional sesama manusia.

Whiterington (dikutip oleh Buchori dalam Palupi, 2007) mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu proses yang sengaja dilakukan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan seseorang dimana kepribadian yang dimaksud adalah seluruh tingkah laku seseorang, mulai dari cara berpikir, bersikap, dan bertindak. Baraja, (2005) menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa / mencapai tingkat hidup penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.

(12)

Menurut Sikula (dalam Mangkunegara, 2003), tingkat pendidikan adalah suatu proses jangka panjang yang menggunakan prosedur sistematis dan terorganisir, yang mana tenaga kerja manajerial mempelajari pengetahuan konseptual dan teoritis untuk tujuan-tujuan umum.

Dari beberapa pengertian tingkat dan pendidikan tersebut diatas, selanjutnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tingkat pendidikan adalah tinggi rendahnya suatu proses bimbingan yang dilakukan pendidik kepada anak didik di tempat pendidikan formal dengan menggunakan prosedur yang sistematis dan terorganisir serta bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan individu dalam mengembangkan potensi yang ada dalam diri individu tersebut. Seperti potensi fisik, moral, sosial, pengetahuan dan keterampilan.

2. Tingkat pendidikan.

Jika kita teliti lebih dalam lagi, ada berbagai macam tingkat pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan capai, dan kemampuan yang dikembangkan. Tingkat pendidikan di Indonesia meliputi

(http://id.wikipedia.org/wiki/pendidikan.html):

(13)

a. Pendidikan anak usia dini/tidak lulus SD

Mengacu pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, pasal 1 butir 14 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

b. Pendidikan Dasar

Pendididkan dasar merupakan tingkat pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama. Pendidikan dasar mencakup Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

c. Pendidikan Menengah

Pendidikan Menengah merupakan tingkat pendidikan lanjutan pendidikan dasar yang harus dilaksanakan minimal 9 (sembilan) tahun.

Pendidikan Menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

(14)

d. Pendidikan tinggi

pendidikan tinggi adalah tingkat pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Berikut adalah penjelasan singkat mengenai berbagai macam program pendidikan di perguruan tinggi.

a. Sarjana (dari Bahasa Sansekerta, dalam bahasa Inggris: Bachelor) adalah gelar akademik yang diberikan kepada lulusan program pendidikan sarjana (S-1) atau undergraduate.

b. Magister (dalam Bahasa Inggris: Master) adalah gelar akademik yang diberikan kepada lulusan program pendidikan magister (S-2) atau graduate.

c. Doktor (dalam Bahasa Inggris: Doctor) adalah gelar akademik tingkat tertimggi yang diberikan kepada lulusan program pendidikan doktor (S-3) atau postgraduate.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tingkat pendidikan yang diklasifikasikan dari Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah Pertama, Pendidikan Menengah Umum, Diploma, Sarjana (S1), Magister (S2)

(15)

3. Pengertian ibu

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2003), “ibu” berarti wanita yang telah melahirkan seorang anak.

Menurut Kartono (1992), ibu adalah seorang yang mendidik anak, memelihara fisik anak dan harus melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan psikis anak agar anak bisa mengadakan adaptasi terhadap lingkungan sosial, melatih anak agar mampu mengendalikan instink-instink agar anak menjadi manusia yang disiplin, terkendali dan menjadi baik.

Partasari (2006), menambahkan ibu adalah orang yang memberikan perlindungan dan keteraturan, orang yang harus menciptakan ikatan emosional kuat sehingga dapat membentuk anak lebih bersikap empati dan memberikan penguasaan diri yang baik.

Dari pengertian ibu diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ibu adalah seorang wanita yang melahirkan anak dari rahimnya sendiri, membesarkan, mendidik, dan merawat serta memberikan perhatian, kasih sayang dan pendidikan yang layak bagi anak tersebut.

(16)

4. Pengertian tingkat pendidikan ibu

Dari pengertian tingkat pendidikan dan ibu dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan ibu adalah tinggi rendahnya suatu proses bimbingan yang dilakukan oleh seorang perempuan dalam hal ini adalah ibu, di tempat pendidikan formal, dengan menggunakan prosedur yang sistematis dan terorganisir serta bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan individu tersebut.

5. Pengaruh dari tingkat Pendidikan ibu terhadap anak Setyorini, (2011) menyatakan bahwa tingkat pendidikan orang tua akan menentukan cara orang tua dalam membimbing dan mengarahkan anaknya dalam hal pendidikan. Tingkat pendidikan yaitu jenjang pendidikan yang telah ditempuh secara formal. Sikap yang terbentuk pada masing-masing individu pada setiap tingkat pendidikan formal akan berbeda-beda antara lulusan sekolah dasar, lulusan menengah pertama, lulusan sekolah menengah atas, lulusan perguruan tinggi.

Hal inilah yang menjadi latar belakang tingkat pendidikan orang tua menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi orang tua dalam membimbing dan mengarahkan anaknya dalam hal pendidikan yang akan ditempuh oleh anaknya. Tingkat pendidikan orang tua yang rendah akan cenderung sempit wawasannya

(17)

terhadap pendidikan, lulus sekolah menengah dirasa sudah cukup. Sedangkan tingkat pendidikan orang tua yang tinggi akan lebih luas wawasannya terhadap pendidikan. Mereka akan mengarahkan dan membimbing anaknya untuk terus menambah ilmu sehingga anak tersebut mempunyai motivasi untuk melanjutkan studi, dalam hal ini adalah program strata 2.

C. Perempuan suku Jawa

Perempuan Jawa dengan pandangan tradisional menganggap kedudukan suami lebih dominan dari pada isteri atau ibu rumah tangga. Kekuasaan, kepemimpinan dalam keluarga berada di tangan suami. Perempuan dengan pandangan tradisional akan lebih memilih untuk berada di rumah. Setelah menikah perempuan tersebut akan mencurahkan tenaganya untuk suami dan keluarganya.

Sehingga mereka akan menjalani peran domestik, yaitu tinggal dirumah, memasak, membersihkan rumah, mencuci, mengurus anak-anak dan suaminya, serta mencurahkan seluruh tenaga dan waktunya hanya untuk keluarga.

Dowling, (1981) menyatakan bahwa perempuan dengan karakteristik tradisional menganggap bahwa perempuan yang berhasil adalah perempuan yang mampu membesarkan, membimbing, dan mendidik anak-anaknya sehingga berhasil dalam pendidikan serta mendorong suami

(18)

mencapai kesuksesan dalam pekerjaannya. Sehingga, perempuan dengan konsep ini memandang karir bukan merupakan suatu hal yang menjadi prioritas utama, akan tetapi keluargalah yang utama dan akan selalu fokus pada urusan rumah tangga atau keluarganya.

Di indonesia pada budaya Jawa memandang perempuan masih diletakkan pada wilayah-wilayah domestik. Bahkan ketika kesempatan memperoleh pendidikan sudah terbuka lebar bagi siapapun, masih ada stigma bahwa perempuan boleh saja berpendidikan tinggi akan tetapi tidak boleh melupakan tugasnya di wilayah domestik (mengurus rumah tanga dan menjaga anak)

Perempuan Jawa selalu diidentikkan dengan kelemahlembutan, penurut, sopan santun, dan beberapa sifat feminism lainnya. Bahkan ada falsafah seorang istri adalah konco wingking bagi suaminya. Seorang istri harus mendukung suaminya dari belakang tanpa boleh mendahului langkah suaminya. Menempatkan posisi seorang istri lebih rendah dari suami. Ada pula falsafah Jawa lain yang harus dipegang oleh seorang istri terhadap suaminya, yakni “surgo nunut, neroko katut”. Falsafah tersebut menyiratkan bahwa seorang istri harus mengikuti suaminya. Keputusan mutlak ditangan laki-laki dan perempuan berkewajiban menurutinya tanpa boleh membantah.

(19)

Sejalan dengan perkembangan teknologi serta globalisasi terjadi perubahan tuntutan peran pada perempuan dimana perempuan mulai masuk kedalam peran sosial, seperti mereka melakukan sosialisasi dengan cara keluar rumah, mengaktualisasikan diri, serta mereka mulai terjun dalam berbagai aktivitas ataupun berbagai macam bentuk kegiatan, bahkan ada yang terjun ke dalam dunia kerja untuk mengembangkan pendidikannya serta potensi yang dimilikinya. Bahkan saat ini banyak di antara mereka yang mulai mencapai posisi penting atau posisi tinggi di dalam pekerjaan mereka (Kusumaningrum, 2009).

Dari paparan tentang perempuan Jawa diatas maka sangat penting bagi seorang perempuan dalam hal ini adalah seorang mahasiswi suku Jawa untuk dapat mencapai pendidikan formal yang tinggi (strata 2) supaya derajat serta martabat perempuan Jawa tidak lagi direndahkan dan mendapat tempat tersendiri di mata masyarakat.

D. Hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan motivasi melanjutkan pendidikan strata 2.

Pada era globalisasi sekarang ini persaingan di dunia bisnis meningkat tajam. Mengingat hal tersebut saat ini sangat dibutuhkan orang-orang yang profesional dan berwawasan luas baik kinerja maupun intelektualnya dalam dunia bisnis. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka

(20)

diperlukan pendidikan yang berkualitas. Sejalan dengan dinamika perkembangan bisnis, mulai terjadi pergeseran orientasi pasar, pada awalnya peningkatan pendidikan hanya dikhususkan bagi para dosen perguruan tinggi, dari sarjana strata 1 ke strata 2. Kini praktisi profesional serta wirausahawan juga banyak yang membutuhkan pendidikan strata 2 (Sieniwati, 2003).

Melihat kenyataan tersebut di atas tentunya terdapat sejumlah alasan yang memotivasi seseorang untuk melanjutkan studi ke tingkat strata 2. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh orang tua dapat menjadi motif yang kuat bagi seorang anak untuk melanjutkan studinya ke tingkat yang lebih tinggi. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Hossler dan Coopersmith (dikutip oleh Adams dalam Hartono dan Supramono, 2005) yang mengemukakan bahwa tingkat pendidikan orang tua berhubungan positif terhadap keinginan anak untuk melanjutkan sekolah. Orang tua dituntut harus memiliki pendidikan dan proses pembelajaran pada tataran tertinggi agar dapat mengarahkan pendidikan anaknya (Shochib, 1998). Berlandaskan pernyataan tersebut terlihat bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki oleh orang tua mengarahkan dan memotivasi anak untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

(21)

Latar belakang pendidikan orang tua dapat meningkatkan motivasi seorang anak untuk terus lebih baik lagi guna melanjutkan studi mereka ke tingkat yang lebih tinggi, karena dalam hal ini orang tua merupakan panutan dan contoh yang baik bagi anaknya. Selain itu apa yang dilakukan oleh orang tua akan dicontoh oleh anaknya sendiri atau dengan kata lain orang tua adalah sebagai “modal” bagi para anaknya. Dalam sistem modeling pada pembelajaran pengajaran secara langsung dimana anak dapat melihat, mendengar dan meniru sehingga anak secara tidak sadar sudah melakukan proses modeling. Berdasarkan pemahaman tersebut maka dapat dikatakan bahwa seorang anak yang mana orang tuanya memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi tentu akan memotivasi anaknya untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang tinggi juga seperti orang tuanya.

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: “Ada hubungan positif dan signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan motivasi melanjutkan studi strata 2 pada mahasiswi suku Jawa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana”. Yang artinya semakin tinggi pendidikan ibu maka akan semakin

(22)

tinggi pula motivasi anak untuk melanjutkan pendidikan strata 2.

Secara statistik hipotesis tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:

H0 = rxy 0, artinya tidak ada hubungan positif dan signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan motivasi melanjutkan pendidikan strata 2 pada mahasiswa suku Jawa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.

H1 = rxy > 0, artinya ada hubungan positif dan signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan motivasi melanjutkan pendidikan strata 2 pada mahasiswa suku Jawa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.

Uji hipotetis dalam penelitian ini menggunakan uji satu sisi (one tailed) sebab hipotetis penelitian menyatakan

“terdapat hubungan positif” atau “terdapat hubungan negatif”, yang artinya bentuk hubungan sudah ditentukan.

Referensi

Dokumen terkait

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UMS 2015 834 Sentiment analysis atau yang disebut juga dengan opini mining merupakan analisis yang bertujuan untuk

Fitri Hartanto,Hen driani Selina 3 Tahun: 2009 ( Paediatrica Indonesiana, vol.51,no.4 (suppl),Juli 2011) Siswa SMP di Kota Semarang Prevalensi Masalah Mental Emosional

Akan tetapi jika ketahanan rotan tersebut dinilai berdasarkan persentase jumlah bubuk yang hidup (Lampiran 3), maka dari 16 jenis rotan yang diamati, sebanyak 4 jenis (25%),

Pengertian korban dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi “Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental ataupun

Berdasarkan pada pengertian-pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan leverage adalah suatu tingkat kemampuan perusahaan dalam menggunakan

Belum adanya regulasi daerah yang mengatur tentang pengembangan e-government membuat kerancuan dan ketakutan aparat untuk melangkah pasti dalam pengembangan e-government di

Pengaturan terkait lembaga pengawas pengelolaan dana desa di Indonesia, selain diatur dalam Undang-undang Desa, juga diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang berdasar