• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS TERJUN TAHUN 2021 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS TERJUN TAHUN 2021 SKRIPSI"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS

TERJUN TAHUN 2021

SKRIPSI

Oleh

TISA FEBRINA ALFANNY NIM. 171000106

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2022

(2)

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS

TERJUN TAHUN 2021

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

TISA FEBRINA ALFANNY NIM. 171000106

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2022

(3)

i

Judul Skripsi : Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas

Terjun Tahun 2021 Nama Mahasiswa : Tisa Febrina Alfanny Nomor Induk Mahasiswa : 171000106

Program Studi : S1 Kesehatan Masyarakat/Epidemiologi

Menyetujui Pembimbing:

(Drs. Jemadi, M.Kes) NIP. 196404041992031005

Ketua Program Studi, Dekan,

(Dr. Ir. Evi Naria, M.Kes) (Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M. Si) NIP. 196803201993032001 NIP. 196803201993082001

Tanggal Lulus : 11 Januari 2022

(4)

ii

Telah diuji dan dipertahankan Pada tanggal :11 Januari 2022

TIM PENGUJI SKRIPSI

Ketua : Drs. Jemadi M, Kes.

Anggota : 1. dr. Rahayu Lubis, M. Kes, Ph.D.

2. drh. Hiswani, M. Kes

(5)

iii

Pernyataan Keaslian Skripsi

Saya menyatakan dengan ini bahwa skripsi saya yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Terjun Tahun 2021” beserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, Januari 2022

Tisa Febrina Alfanny

(6)

iv Abstrak

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh virus atau bakteri yang paling banyak menyerang usia balita. Prevalensi ISPA pada balita menurut Riskesdas Tahun 2018 sebesar 12,8%. Prevalensi ISPA pada balita di Sumatera Utara sebesar 8,7%. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Terjun. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan cross-sectional, besar sampel sebanyak 99 balita 6-59 bulan yang diambil dengan Teknik accidental sampling. Data diperoleh dari hasil wawancara menggunakan kuesioner. Data diolah dengan analisis univariat dan bivariat menggunakan uji chi-square dengan tingkat kemaknaan α=0,05. Dari 99 sampel balita didapatkan sebanyak 53(53,5%) yang ISPA dan 46(46,5%) tidak ISPA. Hasil analisis univariat jenis kelamin laki-laki 55(55,5%), perempuan 44(44,5%), 6-35 bulan 61(61,6%), 36-59 bulan 38(38,4%), gizi lebih 7(7,1%), gizi normal 66(66,7%), gizi kurang 22(22,2%), gizi buruk 4(4,0%), ventilasi memenuhi syarat 24(24,2%), tidak memenuhi syarat 75(75,8%), kepadatan hunian padat 42(42,4%), tidak padat 57(57,6%), ada paparan asap rokok dalam rumah 40(40,4%), tidak ada 59(59,6%).

Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin (p=0,702), umur (p=0,948), berat badan lahir (p=0,325), status gizi (p=0,463). Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan bermakna antara pemberian vitamin A (p=0,005), status imunisasi (p=0,013, ventilasi (p=0,012), kepadatan hunian (p=0,041), paparan asap rokok dalam rumah (p=0,037) dengan kejadian ISPA.

Diharapakan kepada petugas kesehatan Puskesmas Terjun untuk memberikan penyuluhan tentang manfaat imunisasi dan pemberian vitamin A, dan edukasi tentang rumah sehat. Diharapkan kepada masyarakat Terjun untuk rutin membawa anak ke posyandu, puskesmas, rumah sakit ataupun klinik untuk mendapatkan vitamin A dan imunisasi lengkap, membuka jendela setiap hari agar terjadi pertukaran udara dalam rumah, menghilangkan kebiasaan merokok dalam rumah.

Kata kunci : ISPA, balita, Imunisasi

(7)

v Abstract

Acute Respiratory Infection (ARI) is a disease that attacks the respiratory tract caused by a virus or bacteria that mostly attacks toddlers. The prevalence of ARI in toddlers according to Riskesdas 2018 is 12.8%. The prevalence of ARI among toddlers in North Sumatra is 8.7%. This study aims to analyze the factors associated with ARI in toddlers at Terjun Health Center. This study is an analytic study with a cross-sectional design, a sample size of 99 children aged 6-59 months taken by accidental sampling technique. Data obtained from interviews using questionnaire.

The data were processed by univariate and bivariate analysis using the chi-square test with a significance level of =0.05. From 99 samples of toddlers, 53(53.5%) had ARI and 46(46.5%) did not. The results of the univariate analysis ofmale 55(55,5%), female 44(44,5%), 6-35months 61(61,6%), 36-59 months 38(38,4%), nutrition over 7(7.1%), normal nutrition 66(66,7%), less nutrition 22(22,2%), poor nutrition 4(4,0%), qualified ventilation24(24,2%), does not 75(75,8%), dense residence 42(42,4%), not dense 57(57,6%), exposed to cigarette smoke40(40,4%), none 59(59.6%). The results of the bivariate showed no relationship between gender (p=0.702), age (p=0.948), birth weight (p=0.325), nutritional status (p=0.463). The results of the bivariate analysis showed that there was a relationship betweenvitamin A (p=0.005), immunization status (p=0.013), ventilation (p=0.012), occupancy density (p=0.041), exposure to cigarette smoke in the house (p=0.037) with ARI. It is hoped that the health workers of the Terjun Health Center will provide counseling about the benefits of immunization andvitamin A, and education about healthy homes.

It is hoped that the Terjun society routinely take their children to posyandu, health center, hospital or clinic to get vitamin A and complete immunizations, open windows every day so that air exchange occurs in the house, eliminate smoking habits in the house.

Keywords : ARI, toddlers, immunization

(8)

vi

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkah dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Terjun Tahun 2021”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Pertama-tama saya ingin mengapresiasi diri sendiri karena telah mampu bertahan dan melewati berbagai rintangan dalam hidup terutama dalam pengerjaan skripsi ini hingga bisa sampai di titik sekarang ini. Selanjutnya penulis ingin menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada Drs.M. Soim dan Yurita Mayasari selaku orang tua yang tidak pernah lepas memberikan kasih sayang dan dukungan kepada saya.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin manyampaikan rasa terima kasih kepada kepada:

1. Dr. Muryanto Amin, S.sos., M.Si., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si., selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(9)

vii

3. Dr. Ir. Evi Naria, M.Kes., selaku Ketua Program Studi S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Drs. Jemadi, M.Kes., selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalan memberikan saran dan solusi serta bimbingan kepada penulis sehinggan skripsi ini dapat diselesaikan.

5. dr. Rahayu Lubis, M.Kes., selaku Dosen Penguji I yang senantiasa memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan pengerjaan skripsi ini.

6. drh. Hiswani, M.Kes., selaku Dosen Penguji II yang senantiasa memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan pengerjaan skripsi ini.

7. dr. Ria Masniari, M.Kes., selaku Dosen Penasihat Akademik Penulis di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Seluruh dosen dan Staf Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

9. dr. Tissa Rildayanti Hasibuan selaku Kepala UPT Puskesmas Terjun beserta staf yang telah memberikan bantuan untuk memberikan kemudahan kepada penulis dalam melakukan penelitian.

10. Kedua orangtua penulis, Drs. M. Soim dan Yurita Mayasari, yang tidak pernah lepas memberikan kasih sayang dan dukungan kepada penulis.

11. Saudara penulis, Muhammad Alif Maulana, yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

12. Teman-teman peminatan Epidemiologi angkatan 2017 yang telah memberikan motivasi, semangat, dan dukungan kepada penulis.

(10)

viii

13. Teman-teman SMA (Nadya, Sania, Nasywa, Mita, Mimi) yang banyak mendukung dan menemani penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

14. Teman-teman kuliah (Salsa, Ina, Raffina, Arwa, Gebrina, Shinta, Alma, Edikin) yang banyak memberikan dukungan, bantuan, dan motivasi kepada penulis.

15. Yang terakhir penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada diri sendiri karena telah mampu dan bertahan melewati banyak hal hingga bisa sampai di titik ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam pengetikan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi pembacanya.

Medan, Januari 2022

Tisa Febrina Alfanny

(11)

ix Daftar Isi

Halaman

Halaman Persetujuan i

Halaman Pengesahan Tim Penguji ii

Pernyataan Keaslian Skripsi iii

Abstrak iv

Abstract v

Kata Pengantar vi

Daftar Isi ix

Daftar Gambar xii

Daftar Lampiran xiii

Daftar Istilah xiv

Riwayat Hidup xv

Pendahuluan 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 7

Tujuan Penelitian 8

Tujuan umum 8

Tujuan khusus. 8

Manfaat Penelitian 9

Tinjauan Pustaka 10

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) 10

Pengertian 10

Etiologi 11

Klasifikasi ISPA 11

Bukan pneumonia 12

Pneumonia 16

Pneumonia berat 18

Faktor Risiko ISPA 18

Faktor lingkungan. 18

Faktor individu anak. 20

Faktor perilaku 23

Penularan ISPA 25

Penatalaksaan Kasus ISPA 26

Pencegahan ISPA 28

Landasan Teori 29

Kerangka Konsep 32

Metode Penelitian 33

Jenis Penelitian 33

(12)

x

Lokasi dan Waktu Penelitian 33

Populasi dan Sampel 33

Variabel dan Definisi Operasional 34

Definisi operasinal. 35

Metode Pengumpulan Data 37

Metode Pengukuran Data 38

Metode Analisis Data 39

Hasil Penelitian 40

Gambaran Umum Puskesmas Terjun 40

Analisis Univariat 41

Analisis Bivariat 44

Pembahasan 47

Proporsi Kejadian ISPA pada Balita 47

Hubungan Faktor Individu Bayi dan Anak terhadap Kejadian ISPA 48 Hubungan Faktor Lingkungan terhadap Kejadian ISPA 54

Keterbatasan Penelitian 58

Kesimpulan dan Saran 59

Kesimpulan 59

Saran 60

Daftar Pustaka 61

Lampiran 63

(13)

xi Daftar Tabel

No Judul Halaman

1 Metode Pengukuran Variabel 38

2 Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA di Puskesmas Terjun Tahun 2021

41

3 Distribusi Frekuensi Variabel Individu Anak 42

4 Distribusi Frekuensi Variabel Faktor Lingkungan 43 5 Hubungan Faktor Individu Bayi dan Anak terhadap

Kejadian ISPA

44

6 Hubungan Faktor Lingkungan terhadap Kejadian ISPA 46

(14)

xii

Daftar Gambar

No Judul Halaman

1. Segitiga Epidemiologi 30

2. Kerangka Teori 31

3 Kerangka konsep 32

4. Diagram pie proporsi kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Terjun Tahun 2021

47

5. Diagram bar hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Terjun Tahun 2021

48

6. Diagram bar hubungan antara umur dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Terjun Tahun 2021

49

7. Diagram bar hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Terjun Tahun 2021

50

8. Diagram bar hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Terjun Tahun 2021

51

9. Diagram bar hubungan antara pemberian vitamin A dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Terjun Tahun 2021

52

10. Diagram bar hubungan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Terjun Tahun 2021

53

11. Diagram bar hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Terjun Tahun 2021

54

12. Diagram bar hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Terjun Tahun 2021

56

13. Diagram bar hubungan antara paparan asap rokok dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Terjun Tahun 2021

57

(15)

xiii

Daftar Lampiran

No Judul Halaman

1 Kuesioner 63

2 Master Data 65

3 Output Hasil SPSS 71

4 Surat Survei Pendahuluan 81

5 Surat Permohonan Izin Penelitian 82

6 Surat Izin Penelitian 83

7 Surat Selesai Penelitian 84

8 Dokumentasi 85

(16)

xiv Daftar Istilah

AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome BBLR Berat Badan Lahir Rendah

Depkes RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia DPT Difteri Pertusis Tetanus

ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut

MTBS Manajemen Terpadu dalam Penanganan Balita Sakit NCHS National Center for Health Statics

OM Otitis Media

PUSKESMAS Pusat Kesehatan Masyarakat SDG Sustanaible Development Goals UNICEF United Nations Children’s Fund UPT Unit Pelaksana Teknis

WHO World Health Organization

(17)

xv

xv

Riwayat Hidup

Penulis bernama Tisa Febrina Alfanny berumur 21 tahun, dilahirkan di Medan pada tanggal 9 Februari 2000. Penulis beragama Islam, anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan bapak Drs. M. Soim dan ibu Yurita Mayasari.

Pendidikan formal dimulai di SD. Dr. Wahidin Sudirohusodo Tahun 2005- 2011, SMP Dr. Wahidin Sudirohusodo Tahun 2011-2014, SMA Shafiyyatul Amaliyah Tahun 2014-2017, selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Medan, Januari 2022

Tisa Febrina Alfanny

(18)

1 Pendahuluan

Latar Belakang

Pemerintah Indonesia berkomitmen mencapai target dari program Sustainable Development Goals (SDG’s) pada tahun 2030. Salah satu target utamanya terkait dengan pembangunan anak Indonesia. Target 3.2 SDG antara lain: pada 2030, mengurangi angka kematian anak dan balita dengan semua negara bertujuan untuk mengurangi kematian neonatal paling rendah menjadi 12 per 1.000 dan kematian balita menjadi 25 per 1.000.

Sangat tidak dapat diterima bahwa anak-anak ini sebagian besar meninggal karena penyebab yang bisa dicegah atau diobati seperti penyakit menular, saat kita memiliki sarana untuk mencegahnya. Penyebab utama kematian anak dibawah lima tahun menurut WHO antara lain adalah komplikasi kelahiran prematur, asfiksia/trauma, pneumonia, kelainan bawaan, diare dan malaria, yang mana penyakit-penyakit tersebut dapat dicegah dan diobati dengan intervensi yang sederhana dan terjangkau melalui imunisasi, gizi yang cukup, air bersih, makanan, dan kualitas kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih

Angka kematian balita telah mengalami penurunan dramatis sebanyak sekitar 60% selama dua puluh tahun terakhir. Secara global angka kematian balita menurun dari 93 per 1.000 lahir hidup 38 per 1.000. Hal ini setara dengan 1 dari 11 anak meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun di tahun 1990 menjadi 1 dari 27 anak meninggal di tahun 2019. Terlepas dari kemajuan ini, terjadi perbedaan angka kematian anak dibawah 5 tahun yang signifikan antar wilayah dan negara.

(19)

2

Sub-sahara Afrika merupakan wilayah dengan jumlah kematian anak dibawah lima tahun tertinggi di dunia, dimana 1 dari 13 anak meninggal sebelum mencapai usia lima tahun.

Angka kematian balita tertinggi di dunia terdapat di benua Afrika sebanyak 74 per 1.000 kelahiran hidup, angka inisembilan kali lebih tinggi dibandingkan di benua eropa yaitu 8 per 1.000 kelahiran hidup. Menurut laporan WHO tahun 2019, Indonesia menduduki posisi ke-7 dengan jumlah kematian balita tertinggi di dunia. Angka kematian balita di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik Tahun 2017 adalah 32 per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian balita mencerminkan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan tempat tinggal anak dalam masyarakat, termasuk perawatan kesehatannya. Secara global, penyakit infeksi seperti pneumonia, diare dan malaria, bersamaan dengan kelahiran prematur, asfiksia/ trauma, dan kelainan bawaan tetap menjadi penyebab utama kematian balita. Pneumonia merupakan salah satu penyebab utama terbesar kematian balita. Pneumonia adalah bentuk infeksi saluran pernapasan akut yang menyerang paru-paru yang umumnya disebabkan oleh virus dan bakteri.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara berkembang. WHO mengatakan 4 dari 15 juta kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun disebabkan oleh ISPA setiap tahunnya. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Insiden menurut kelompok umur balita diperkirakan 0,29% per anak /tahun di negara berkembang dan 0,05% per anak/tahun di negara maju.

(20)

Infeksi Saluran Pernapasan Akut diklasifikasikan menjadi Infeksi Saluran Pernapasan Atas dan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah. Infeksi pernapasan atas adalah penyakit infeksi yang paling umum termasuk rhinitis (common cold), sinusitis, infeksi telinga, faringitis akut, tonsillifaringitis, epiglotitis, laryngitis.Infeksi saluran pernapasanbawah paling umum adalah pneumonia dan bronkiolitis.Pneumonia adalah bentuk yang parah dari infeksi saluran pernapasan bawah akut. Hampir semua kematian ISPA pada anak-anak umumnya disebabkan oleh Pneumonia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut pneumonia sebagai the forgotten killer of children, yang membunuh anak-anak melebihi penyakit lainnya seperti AIDS, malaria, dan campak. Lebih dari dua juta anak meninggal dari pneumonia setiap tahunnya. Hampir 1 dari 5 balita di dunia meninggal karena pneumonia, namun masih rendahnya perhatian terhadap penyakit ini.UNICEF menyatakan seorang anak meninggal karena pneumonia setiap 39 detik. Kematian yang disebabkan pneumonia sangat kuat hubungannya dengan faktor kemiskinan seperti kurang gizi, kurangnya penyediaan air bersih, polusi udara, dan juga keterbatasan akses kesehatan.

Di Indonesia ISPA selalu masuk 10 penyakit tertinggi puskesmas.

Berdasarkan data laporan ruin Subdit ISPA Tahun 2018, didapatkan insiden (per 1000 balita) di Indonesia sebesar 20,06% hampir sama dengan data tahun sebelumnya 20,56%.Hasil Riskesdas 2018 prevalensi ISPA pada Balita menurut diagnosis tenaga kesehatan dan gejala yang dialami sebesar 12,8%. Provinsi dengan prevalensi ISPA menurut diagnosis tenaga kesehatan dan gejala yang dialami paling tinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur yaitu 18,6%. Sementara

(21)

4

itu, provinsi dengan prevalensi ISPA pada Balita menurut diagnosis tenaga kesehatan dan gejala yang dialami paling rendah terdapat di Maluku Utara yaitu sebesar 6%.

Data riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi ISPA pada balita menurut jenis kelamin Laki-laki sebesar (13,2%) dan perempuan (12,4%).Menurut Noor (2008) berdasarkan teori, jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap gangguan pada saluran pernapasan. Hal ini dikarenakanterdapat perbedaan pada bentuk anatomi, fisiologis, dan sistem hormonal pada laki-laki dan perempuan. Selain itu, perbedaan frekuensi penyakit tertentu menurut jenis kelamin kemungkinan dapat disebabkan karena adanya perbedaan pekerjaan, pola hidup, keterpaparan, tingkat kerentanan, dan penggunaan sarana kesehatan seperti di pelayanan kesehatan primer yang lebih banyak dikunjungi oleh perempuan dan anak-anak dibandingkan laki-laki sehingga angka penyakit yang tercatat kemungkinan akan berbeda menurut jenis kelamin laki- laki maupun perempuan. Sementara itu, Menurut Menurut Sukamawa (dalam Nora dkk, 2018) jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian ISPA, penyakit ISPA dapat terjadi pada setiap orang dengan tidak memandang suku, ras, agama, usia, jenis kelamin dan status sosial. Sedangkan menurut WHO (dalam Nora dkk, 2018), menyatakan bahwa pada umumnya hanya terdapat sedikit perbedaan prevalensi kejadian ISPA berdasarkan jenis kelamin, dimana lebih sering terjadi pada laki-laki khususnya pada balita, hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurang matangnya fungsi paru- paru balita laki-laki.

(22)

Berdasarkan data Riskesdas 2018, prevalensi ISPA pada balita menurut tempat tinggal antara pedesaan dan perkotaan relatif sama. Pedesaan sebesar 12,8% dan perkotaan sebesar 12,9%. Hasil penelitian yang dilakukan Ni Luh Guantari, Agung Wiwiek Indrayani, I Wayan Sumardika (2012) mengatakan bahwa kejadian ISPA di perkotaan lebih tinggi (21,9%) dibandingkan dengan perdesaan (13,5%). Dalam penelitian tersebut dikatakan perbedaan angka kejadian ISPA kemungkinan besar disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berbeda terutama tingkat polusi yang terjadi.

Menurut data WHO tahun 2017 sebanyak 19.671 balita di Indonesia meninggal karena infeksi saluran pernapasan akut bawah atau sebesar 15,81% dari total penyebab kematian balita. Pada tahun 2019 angka kematian akibat pneumonia pada balita sebesar 0,12%. Angka kematian akibat Pneumonia pada kelompok bayi lebih tinggi hampir dua kali lipat dibandingkan pada kelompok anak umur 1 – 4 tahun. Prevalensi pneumonia berdasarkan diagnosis nakes dan gejala yang dialami adalah 4% pada tahun 2018.

Program pencegahan dan pemberantasan penyakit ISPA bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan dari penyakit menular serta mencegah penyebaran serta mengurangi dampak sosial akibat penyakit sehingga tidak menjadi masalah kesehatan. Upaya pencegahan dan pengendalian ISPA di provinsi Sumatera Utara lebih difokuskan pada upaya penemuan secara dini dan tata laksana kasus yang cepat dan tepat terhadap balita penderita pneumonia melalui manajemen terpadu dalam penanganan balita sakit (MTBS). Pendekatan MTBS dilakukan dengan cara menangani penderita ISPA di unit yang

(23)

6

menemukan, namun apabila kondisi balita sudah berada dalam tahap pneumonia berat dan peralatan yang tersedia tidak memadai untuk melakukan tindakan, maka penderita langsung dirujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih lengkap. Jumlah penemuan kasus pneumonia di Provinsi Sumatera Utara terus mengalami penurunan drastis pada tahun 2015 hingga 2019. Mulai dari 26.545 kasus pada tahun 2014 menjadi 5.601 kasus pada tahun 2019. Pada tahun 2019, penemuan kasus pneumonia untuk provinsi Sumatera Utara sebesar 12.47%. Kabupaten/Kota yang cakupan penemuan pneumonia balita sudah melebihi angka Provinsi yaitu Kabupaten Deli Serdang (60,04%), Kota Tebing Tinggi (24,93%), Kabupaten Langkat (17,91%), dan Kota Pematang Siantar (13,10%). Terdapat 10 Kabupaten/Kota dengan penemuan kasus pneumonia terendah yaitu Nias, Tapanuli Selatan, Dairi, Karo, Humbang Hasundutan, Labuhan Batu Selatan, Nias Utara, Nias Barat, Padang Sidempuan, dan Gunung Sitoli dengan penemuan kasus pneumonia sebesar 0%. Sementara itu, Kabupaten/Kota yang lain masih dibawah target 80%. Penemuan kasus pneumonia di kota medan sebesar 4,91%.

Dinas Kesehatan Kota Medan menyatakan ISPA masih merupakan urutan pertama 10 penyakit terbanyak di puskesmas dengan jumlah sebanyak 203.588 kasus pada tahun 2018. Infant Mortality Rate (IMR) di Kota Medan Tahun 2016 sebesar 0,1 bayi mati per 1.000 penduduk dalam setahun akibat ISPA. IMR mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2015 dengan IMR 29 per 1.000 penduduk.

Unit Pelaksana Teknis (UPT) Puskesmas Terjun merupakan salah satu puskesmas yang terletak di Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan, Sumatera

(24)

Utara.Kecamatan Medan Marelan memiliki luas wilayah 23.82 KM2 dan memiliki 5 kelurahan. Jumlah penduduk di Kecamatan Medan Marelan pada tahun 2018 sebanyak 172.456 jiwa dengan komposisi penduduk laki-laki sebanyak 85.368 jiwa dan perempuan sebanyak 87.088 jiwa dan kepadatan penduduk 7.240 jiwa/KM. Terdapat 1 puskesmas dan 3 puskesmas pembantu.

Berdasarkan survei awal yang dilakukan penulis, pemukiman masyarakat daerah Terjun sangat padat dan dan sanitasi lingkungannya kurang memadai.

Padatnya kendaraan bermotor membuat tingginya pencemaran dan polusi asap kendaraan di Terjun Kecamatan Medan Marelan.

Wilayah kerja Puskesmas Terjun mencakup tiga kelurahan yaitu Terjun, Paya Pasir, dan Labuhan Deli. Data ISPA Puskesmas Terjun tahun 2019 menemukan jumlah kasus ISPA pada balita sebanyak 1.147 kasus dengan incidence rate 16,9% , dan pada tahun 2020 sebanyak 947 kasus dengan incidence rate 13,4%. Berdasarkan data tersebut menunjukkan adanya penurunan kasus ISPA di UPT Puskesmas Terjun.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

Faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di puskesmas terjun, Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan?

(25)

8

Tujuan Penelitian

Tujuan umum. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan kejadian penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Terjun, Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan Tahun 2021

Tujuan khusus.

1. Mengidentifikasi gambaran kasus ISPA pada balita, faktor invidu bayi dan anak (umur,jenis kelamin, berat badan lahir,status gizi, status imunisasi, pemberian vitamin A), dan faktor lingkungan (kepadatan hunian, ventilasi, paparan asap rokok dalam rumah)

2. Untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dengan kejadian ISPA di Puskesmas terjun tahun 2021

3. Untuk mengetahui hubungan umur dengan kejadian ISPA di Puskesmas terjun tahun 2021

4. Untuk mengetahui hubungan berat badan lahir dengan kejadian ISPA di Puskesmas terjun tahun 2021

5. Untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian ISPA di Puskesmas terjun tahun 2021

6. Untuk mengetahui hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA di Puskesmas terjun tahun 2021

7. Untuk mengetahui hubungan pemberian vitamin A dengan kejadian ISPA di Puskesmas terjun tahun 2021

8. Untuk mengetahui hubungan ventilasi rumah dengan kejadian ISPA di Puskesmas terjun tahun 2021

(26)

9. Untuk mengetahui hubungan kepadatan Hunian dengan kejadian ISPA di Puskesmas terjun tahun 2021

10. Untuk mengetahui hubungan paparan asap rokok dalam rumah dengan kejadian ISPA di Puskesmas terjun tahun 2021

Manfaat Penelitian

Bagi masyarakat. Memberikan informasi yang berguna kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya ISPA pada balita, dengan cara memberikan hasil penelitian kepada puskesmas sebagai salah satu pedoman untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat khususnya tentang ISPA.

Bagi institusi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas dalam perencanaan program pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA.

(27)

10

Tinjauan Pustaka

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

Pengertian. Istilah ISPA yang merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut diperkenalkan pada tahun 1984. Istilah ini merupakan padanan dari istilah inggris acute respiratory infections. ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah suatu kelompok penyakit yang menyerang saluran pernapasan. Secara anatomis, ISPA dapat dibagi dalam dua bagian yaitu ISPA atas dan ISPA bawah, dengan batas anatomis adalah suatu bagian dalam tenggorokan yang disebut epiglotis.

Infeksi pernapasan akut adalah proses inflamasi yang disebabkan oleh virus, bakteri, atipikal (mikoplasma), atau aspirasi substansi asing yang melibatkan suatu semua bagian saluran pernapasan. Saluran pernapasan atas (jalan napas atas) terdiri dari hidung, faring, laring. Saluran pernapasan bawah terdiri dari bronkus, bronkiolus, dan alveoli. (Hartono, 2017)

Sedangkan menurut Hartono (2017), Infeksi pada sistem pernafasan dideskripsikan sesuai dengan areanya. Pernafasan atas atau saluran pernafasan atas (upper airway), yang meliputihidung dan faring. Sistem pernafasan bawah meliputi bronkus, bronkueolus (bagian reaktif pada saluran pernafasan karena ototnya yang halus dan kemampuan untuk membatasi), dan alveolus.

ISPA Atas (Acute Upper Respiratory Infections) yang perlu diwaspadai adalah radang saluran tenggorokan atau pharyngitis dan radang telinga tengah atau otitis. Pharyngitis yang disebabkan kuman tertentu (streptococcus hemolycitus) dapat berkomplikasi dengan penyakit jantung (endocarditis).

(28)

Sedangkan radang telinga tengah yang tidak diobati berakibat terjadinya ketulian.

ISPA Bawah (Acute Lower Respiratory Infections) yang berbahaya adalah pneumonia.

Etiologi. ISPA dapat disebabkan oleh virus, bakteria maupun riketsia, sedangkan infeksi bakterial sering merupakan penyulit ISPA yang disebabkan oleh virus, terutama bila ada epidemi atau pandemi. Penyulit bakterial umumnya disertai keradangan parenkim. (infeksi saluran pernapasan akut) dapat disebabkan oleh :

1. Bakteri : Escherichia coli, streptococcus pneumoniae, chlamidya trachomatis, clamidia pneumonia, mycoplasma pneumoniae, dan beberapa bakteri lain.

2. Virus: miksovirus, adenovirus, koronavirus, picornavirus, virus influenza, virus parainfluenza, rhinovirus, respiratorik syncytial virus, dan beberapa virus lain.

Bakteri dan virus penyebab ISPA masuk kedalam tubuh manusia melalui partikel udara (droplet infection), kuman ini akan melekat pada epitel hidung, dengan mengikuti proses pernapasan maka kuman tersebut bisa masuk ke bronkus dan masuk ke saluran pernapasan, yang mengakibatkan demam, batuk, pilek, sakit kepala, dan sebagainya. Jumlah penderita infeksi pernapasan akut kebanyakan pada anak. Etiologi dan infeksinya mempengaruhi umur anak, musim, kondisi tempat tinggal, dan masalah kesehatan yang ada.

Klasifikasi ISPA

Klasifikasi ISPA adalah sebagai berikut:

(29)

12

Bukan pneumonia. Kelompok balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam. Macam-macam ISPA bukan pneumonia adalah sebagai berikut.

Rinitis. Rinitis atau dikenal juga sebagai common cold, coryza, cold atau

selesma adalah salah satu penyakit ISPA atas tersering pada anak. Rinitis merupakan istilah konvensional untuk ISPA atas ringan dengan gejala utama hidung buntu. Infeksi ini terjadi secara akut, dapat sembuh spontan, dan merupakan penyakit yang paling sering diderita manusia. (Rahajoe et al., 2010)

Rinitis merupakan penyakit akut yang sangat infeksius, dan biasanya disebabkan oleh virus. Salah satu virus penyebab rhinitis adalah virus influenza, sehingga terdapat salah pengertian penyebutan rhinitis dengan flu, yang merupakan nama lain dari influenza. Pada kenyataanya, ada banyak jumlah virus yang dapat menyebabkan rhinitis, misalnya Rhinovirus, Adenovirus, virus Parainfluenza, Respiratory syncytial virus (RSV), dan lain-lain. (Rahajoe et al., 2010)

Kumpulan gejala yang terdapat pada penyakit ini adalah hidung tersumbat, bersin, coryza (inflamasi mukosa hidung dan pengeluara sekret), iritasi faring, serta dapat pula dijumpai demam yang tidak terlalu tinggi. Meskipun rhinitis merupakan penyakit yang dapat sembuh spontan dengan durasi yang pendek, komplikasi karena infeksi bakteri dapat juga dijumpai seperti otitis media, rhinosinusitis, infeksi saluran pernapasan bawah, eksaserbasi asma, epistaksis, konjugtivitis, dan faringitis. (Rahajoe et al., 2010)

(30)

Faringitis. Selain rinitis, faringitis juga merupakan salah satu ISPA atas

yang banyak terjadi pada anak. Istilah faringitis akut digunakan untuk menunujukkan semua infeksi akut pada faring termasuk tonsillitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari. Faringitis merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya. Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang terjadi hanya infeksi tonsillitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis. Infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan keluhan nyeri tenggorok. Virus penyebab penyebab respiratori seperti Adenovirus, Rhinovirus, dan virus Parainfluenza dapat menyebabkan faringitis. (Rahajoe et al., 2010)

Radang amandel. Tonsil adalah bentuk dari jaringan lymphoid yang

terletak di rongga faring. Amandel menyaring dan melindungi saluran pernapasan dan pencernaan dari serangan organisme pathogen. Mereka juga berperan dalam pembentukan antibodi. Meskipun ukuran amandel bervariasi, anak-anak umumnya memiliki amandel besar dibandingkan remaja atau orang dewasa.

Perbedaan ini dianggap sebagai mekanisme perlindungan karena anak-anak muda sangat rentan terhadap ISPA.(Hartono & H, 2017)

Infeksi mononucleosis. Infeksi mononucleosis adalah sebuah penyakit

yang memiliki pembatas sendiri, yang menular secara umum di antara orang muda dibawah 25 tahun. Penyakit ini ditandai dengan peningkatan elemen mononuclear dari darah dan oleh gejala dari proses infeksi. Program ini biasanya ringan tetapi kadang-kadang dapat menjadi berat atau, jarang, disertai dengan komplikasi serius.(Hartono & H, 2017)

(31)

14

Influenza. Influenza, atau “flu” disebabkan oleh tiga ortomyxoviruses,

dengan antigenik yang berbeda. Tipe A dan B yang menyebabkan penyakit epidemic, dan tipe C yang tidak penting secara epidemiologis. (Hartono & H, 2017)

Penyakit ini menyebar dari satu orang ke orang lain melalui kontak langsung (infeksi large-droplet) atau dengan partikel baru yang terkontaminasi oleh sekresi nasofaring.(Hartono & H, 2017)

Penyakit ini memiliki 1-3 hari masa inkubasi dari orang yang terkena dampak yang paling menular, selama 24 jam sebelum dan setelah timbulnya gejala.(Hartono & H, 2017)

Otitis media. Otitis Media (OM) adalah salah satu penyakit paling umum

pada anak usia dini. Sekitar 80% anak memiliki setidaknya satu episode dan hampir 50% telah memiliki tiga atau lebih episode dalam waktu 3tahun (Hartono

& H, 2017, 2017).

OM terutama mengakibatkan disfungsi saluran eustachius. Saluran eustachius adalah bagian dari sebuah penyusunan sistem yang berulang dari nares, nasofaring, saluran eustachius, telinga tengah, dan mastoid antrum dan sel udara.

Saluran eustachius memiliki tiga fungsi yang berhubungan dengan telinga tengah;

(1) perlindungan telinga tengah dari sekresi nasopharyngeal (2) Saluran sekresi yang di produksi di telinga tengah ke nasopharinyx, dan (3) ventilasi dari telinga tengah untuk menyamakan tekanan udara dalam telinga tengah dengan tekanan atmosfer di saluran telinga eksternal dan pengisian oksigen yang telah diserap.

(Hartono & H, 2017)

(32)

Otitis externa. Infeksi telinga luar yang berasal dari flora telinga

(staphylococcus epidermis dan corynebacteriuiin) yang mengasumsikan karakter pathogen dalam kondisi kelembaban berlebih atau kekeringan. (Hartono & H, 2017)

Sindrom sesak napas. Sesak napas adalah istilah umum yang diterapakan

pada gejala kompleks yang ditandai dengan suara serak resonan batuk yang digambarkan sebagai “gonggongan” atau “croupy”, berbagai tingkat dari inspiratory stridor, dan berbagai tingkat dari gangguan pernapasan akibat pembengkakan di bagian laring.(Hartono & H, 2017)

Epiglotitis akut. Epiglotitis akut atau akut supraglotitis, adalah proses

inflamasi obstruktif serius yang terjadi terutama pada anak-anak antara 2 dan 5 tahun tetapi dapat terjadi dari bayi sampai orang dewasa. Kelainan ini membutuhkan perhatian segera. Penyumbatannya adalah supraglotitic, kebalikan dari penyumbatan subglottic dan laryngitis. Organisme yang bertanggung jawab biasanya H. influenza, LTB dan epiglottitis, yang tidak terjadi secara bersama- sama.(Hartono & H, 2017)

Laring akut. Infeksi akut laring adalah penyakit umum pada anak-anak

dan remaja. Bayi dan anak kecil memiliki keterlibatan yang lebih umum. Virus adalah faktor yang biasa menyebabkannya, dan keluhan utama adalah suara serak yang disertai dengan gajala pernapasan atas lainnya misalnya, (coryza, sakit tenggorokan, hidng tersumbat) dan manifestasi sistemik (misalnya, demam, sakit kepala, myalgia, malaise). Keluhan lain bervariasi pada virus yang menginfeksi.

Sebagai contoh, virus adenoviruses dan influenza bertanggung jawab untuk

(33)

16

pengaruh sistemik; virus parainfluenza, rhinoviruses dan RSV menyebabkan penyakit yang lebih ringan.(Hartono & H, 2017)

Spasmodic laringitis akut. Spasmodic laringitis akut (spasmodic croup,

“croup malam hari,” or “croup dini hari”) berbeda dari laringitis dan LTB dan karakteristik dari serangan paroxysmal dari penyumbatan laryngeal yang terjadi terutama di malam hari. Tanda tanda peradangan tidak ada atau ringan, dan sering kali ada serangan sebelumnnya yang berlangsung selama 2 sampai 5 hari diikuti pemulihan yang lancer. Ini biasanya mempengaruhi anak usia 1 sampai 3 tahun.

Beberapa anak tampaknya mengalami kecenderungan kondisi; alergi, faktor psikogenik yang terlibat dalam beberapa kasus.(Hartono & H, 2017)

Bacterial tracheitis. Bacterial tracheitis, infeksi pada mukosa dari trakea

atas, adalah entitas yang berbeda dengan fitur dari kedua croup dan epiglottitis.

Penyakit ini terlihat pada anak usia 1 bulan sampai 6 tahun dan dapat menjadi penyebab serius dari obstruksi jalan napas yang cukup parah yang menyebabkan tertahannya pernapasan. Hal ini diyakini sebagai komplikasi dari LTB dan meskipun Staphylococci dan H. influenza juga bisa menjadi penyebabnya.

(Hartono & H, 2017)

Pneumonia. Pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus. Virus yang sering menyerang penyakit ini adalah respiratorik syncytial virus dan bakteri yang menyebabkan pneumonia antara lain staphylococcus aureus, streptococcus pneumoniae. Secara anatomi, pneumonia dapat dikenal sebagai berikut:

(34)

1. Pneumonia Lobaris, dimana yang terserang adalah seluruh atau segmen yang besar dari satu atau lebih lobus pulmonary. Apabila kedua paru yang terkena, maka hal ini sering disebut sebagai bilateral atau “double” pneumonia (pneumonia lobular)

2. Broncho pneumonia (pneumonia lobular) yang dimulai pada terminal bronchioles menjadi tersumbat dengan eksudat muco purulent sampai membentuk gabungan pada darah dekat lobules.

3. Interstitial pneumonia yang mana adanya suatu proses inflamasi yang lebih atau hanya terbatas di dalam dinding alveolar (interstitium) dan peribronchial dan jaringan inter lobular.

Sedangkan klasifikasi pneumonia berdasarkan penyebab atau etiologi adalah sebagai berikut:(Alsagaff & Mukty, 2005)

1. Pneumonia Lipid : Oleh karena aspirasi minyak mineral

2. Pneumonia kimiawi (chemical pneumonitis): inhalasi bahan-bahan organic dan anorganik atau uap kimia beryllium

3. Extrinsic allergic alveolitis: inhalasi bahan debu yang mengandung alergen, seperti spora aktinomisetes termofilik yang terdapat pada ampas tebu di pabrik gula.

4. Pneumonia karena obat: nitrofurantoin, busulfan, metrotreksat 5. Pneumonia karena radiasi

6. Pneumonia dengan penyebab tak jelas: Desquamative interstitial pneumonia, eosifilic pneumonia

7. Pneumonia yang disebabkan infeksi: bakteri, fungi, virus, riketsia.

(35)

18

Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut.

1. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, atau diare;

kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.

2. Gejala gangguan respiratori yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

Pneumonia berat. Gejala klinis pneumonia berat antara lain ditandai dengan adanya batuk atau kesukaran bernapas serta napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest Indrawing) pada anak usia bulan sampai <5 tahun. Sementara untuk kelompok usia <2 bulan, klasifikasi pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (fast breathing), yaitu frekuensi napas sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah kedalam (severe chest indrawing).

Faktor Risiko ISPA

Secara umum terdapat tiga faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.

Faktor lingkungan.

Pencemaran udara dalam rumah. Asap rokok dan asap hasil pembakaran

bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak dalam rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain.

(36)

Hal ini lebih memungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama-sama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi.

Hasil Penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya ada peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada anak-anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada kelompok umur 9 bulan dan 6-10 tahun.

Ventilasi rumah. Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan

udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut:

- Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang optimum bagi pernapasan

- Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengencaran udara.

- Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang

- Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan

- Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh, kondisi, evaporasi, ataupun keadaan eksternal

- Mendisfungskian suhu udara secara merata.

Kepadatan hunian rumah. Kepadatan hunian rumah dalam rumah menurut keputusan Menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah .

(37)

20

Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.

Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna antara kepadatan dan kematian dari bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan Pendidikan memberi korelasi yang tinggi pada faktor ini.

Faktor individu anak.

Umur anak. Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden

penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6-12 bulan.

Berat badan lahir. Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan

perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya.

Penelitian menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran Pernapasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted terhadap status pekerjaan, pendapatan, dan Pendidikan. Data ini meningkatkan meningkatkan bahwa anak

(38)

anak dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami rate lebih tinggi terhadap penyakit saluran Pernapasan, tetapi mengalami lebih berat infeksinya.

Status gizi. Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan

dan perkembangan anak dipengaruhi oleh : umur, keadaan fisik, kondisi kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan aktivitas dari anak itu sendiri. Penilaian status gizi dapat dilakukan antara lain berdasarkan antopometri: berat badan lahir, Panjang badan, tinggi badan, lingkar lengan atas.

Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh anak terhadap infeksi.

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan Balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama.

Vitamin A. Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan

kapsul 200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun. Balita yang mendapat vitamin A lebih dari enam bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko terjadinya

(39)

22

suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus 93,5% pada kelompok kontrol.

Pemberiaan vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang spesifik dan bukan sekadar antigen asing yang tidak berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat. Karena itu usaha massal pemberian vitamin A dan imunisasi secara berkala terhadap anak anak Prasekolah seharusnya tidak dilihat sebagai dua kegiatan terpisah. Keduanya haruslah dipandang dalam suatu kesatuan yang utuh, yaitu meningkatkan daya tahan tubuh dan perlindungan terhadap anak Indonesia sehingga mereka dapat tumbuh, berkembang dan berangkat dewasa dalam keadaan yang sebaik-baiknya.

Status imunisasi. Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan

selamat akan mendapatkan kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.

(40)

DepKes RI (2009) menyatakan bahwa imunisasi melindungi anak dari penyakit, mencegah kecacatan dan mencegah kematian anak. Imunisasi dasar yang harus dimiliki bayi diantaranya adalah:

1. Vaksin Hepatitis B yaitu dapat mencegah penyakit hepatitis B atau kerusakan hati

2. Vaksin BCG yaitu mencegah penyakit TBC/Tuberkulosis atau sakit paru-paru 3. Vaksin Polio yaitu mencegah penyakit polio atau lumpuh layu pada tungkai

kaki dan lengan tangan.

4. Vaksin DPT yaitu mencegah penyakit difteri atau penyumbatan jalan napas, batuk rejan atau batuk 100 hari dan tetanus.

5. Vaksin Campak yaitu mencegah penyakit campak yaitu radang paru, radang otak dan kebutaan.

Faktor perilaku. Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya.

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan berinteraksi.

Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya.

Peran aktif keluarga/masyarakat dalam mengangani ISPA sangat penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari dalam masyarakat atau keluarga. Ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga

(41)

24

yang sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit.

Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini pneumonia dan kapan mencari pertolongan dan rujukan pada sistem pelayanan kesehatan agar penyakit anak balitanya tidak menjadi lebih berat. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa peran keluarga dalam praktek penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab bila praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang atau buruk akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari ringan menjadi bertambah berat.

Dalam penanganan ISPA tingkat keluarga keseluruhannya dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu: perawatan penunjang oleh ibu balita;

tindakan yang segera dan pengamatan tentang perkembangan penyakit balita;

pencarian pertolongan pada pelayanan kesehatan.

Sedangkan faktor risiko untuk pneumonia telah diidentifikasi secara rinci, yaitu faktor yang meningkatkan terjadinya (morbiditas) pneumonia dan faktor yang meningkatkan terjadinya kematian (mortalitas) pada pneumonia.

a. Faktor risiko yang meningkatkan insiden pneumonia.

- Umur <2 bulan - Laki laki - Gizi kurang

- Berat badan lahir rendah - Tidak mendapat ASI memadai

- Polusi udara kepadatan tempat tinggal

(42)

- Imunisasi yang tidak memadai

- Membedong anak menyelimuti berlebihan - Defisiensi vitamin A

b. Faktor risiko yang meningkatkan angka kematian pneumonia - Umur <2 bulan

- Tingkat sosial ekonomi rendah - Gizi kurang

- Berat badan lahir rendah

- Tingkat Pendidikan ibu yang rendah

- Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah - Kepadatan tempat tinggal imunisasi yang tidak memadai - Menderita penyakit kronis

Penularan ISPA

Pada ISPA dikenal tiga cara penyebaran infeksi yaitu:

1. Melalui Aerosol yang lembut, terutama oleh karena batuk

2. Melalui Aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batuk dan bersin bersin.

3. Melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda yang telah dicemari jasad renik (hand to hand transmission).

Pada infeksi virus, transmisi diawali dengan penyebaran virus ke daerah sekitar terutama melalui bahan sekresi hidung. Virus yang menyebabkan ISPA terdapat 10-100 kali lebih banyak di dalam mukosa hidung dari pada mukosa faring. Dari beberapa penelitian klinik, laboratorium dan penelitian lapangan, diperoleh kesimpulan bahwa sebenarnya kontak hand to hand merupakan modus

(43)

26

yang terbesar bila dibandingkan dengan cara penularan aerogen (yang semula banyak diduga sebagai penyebab utama).

Penatalaksaan Kasus ISPA

Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA (Rasmaliah, 2004).

Dalam melakukan penatalaksanaan ISPA sebelumnya harus menentukan klasifikasi dan tindakan. Pertama yang harus dilakukan dalam klasifikasi adalah mengetahui usia anak, karena dalam tindakan penatalaksanaan ISPA berbeda antara umur anak di bawah 2 bulan dan anak umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. Secara garis besar ada tiga macam tindakan walaupun ada sedikit perbedaan tergantung pada umur anak, adanya wheezing atau demam, serta mungkin tidaknya rujukan dilaksanakan. (Kemenkes RI, 2010)

Tindakan penatalaksanaan ISPA pada anak meliputi langkah sebagai berikut:

Bukan pneumonia. Tanda batuk bukan pneumonia adalah tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, tidak ada napas cepat (<50x/menit pada anak umur 2-<12 bulan, dan <40x/menit pada anak umur 12 bulan sampai

<5 tahun). Jangan memberikan antibiotik pada anak dengan batuk atau pilek tanpa tanda-tanda pneumonia. Tindakan yang harus diberikan adalah:

(44)

1. Bila batuk lebih dari 3 minggu, rujuk

2. Nasihati ibu balita untuk tindakan perawatan di rumah 3. Obati demam, jika ada

4. Obati wheezing, jika ada.

A. Pneumonia tidak berat

Seorang anak dikatakan pneumonia tidak berat jika ada terjadinya napas cepat. Disebut napas cepat apabila :

1. Anak usia <2 bulan bernapas 60 kali atau lebih per menit.

2. Anak usia 2 bulan sampai 11 bulan bernapas 50 kali atau lebih per menit 3. Anak usia 12 bulan sampai 5 tahun bernapas 40 kali atau lebih per menit.

Tindakan yang harus dilakukan antara lain : 1. Memberikan antibiotika yang tepat untuk diminum

2. Menasihati ibu dan memberitahu bila harus kembali untuk kunjungan kontrol Pneumonia berat. Seorang anak dikatakan pneumonia berat apabila mengalami gejala sebagai berikut :

1. Napas cepat

2. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam 3. Stridor pada anak dalam keadaan tenang

Tindakan yang harus dilakukan antara lain :

1. Segera rujuk ke rumah sakit untuk pemberian suntikan antibiotika dan pemberian oksigen bila diperlukan

2. Berikan satu dosis antibiotika yang tepat

(45)

28

Pencegahan ISPA

Pencegahan ISPA dan pneumonia dilaksanakan melalui upaya peningkatan kesehatan seperti imunisasi, perbaikan gizi dan perbaikan lingkungan pemukiman. Peningkatan pemerataan cakupan kualitas pelayanan kesehatan juga akan menekan morbiditas dan mortalitas ISPA dan pneumonia.

Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi Campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi Campak yang efektif sekitar 11% kematian Pneumonia balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat dicegah.(Hartono & H, 2017)

Menurut Depkes RI upaya pencegahan terhadap penyakit ISPA meliputi : 1. Penyuluhan kesehatan

2. Penatalaksanaan penderita ISPA 3. Imunisasi

4. Menjaga keadaan gizi agar tetap baik 5. Cegah terjadinya malnutrisi,

Upaya pencegahan pneumonia dilakukan sebagai berikut.

A. Pencegahan Non spesifik yaitu :

1. Meningkatkan derajat sosio ekonomi a. Menurunkan kemiskinan

b. Meningkatkan Pendidikan

c. Menurunkan angka kekurangan gizi d. Menaikkan derajat kesehatan

e. Menurunkan morbiditas dan mortalitas

(46)

B. Pencegahan Spesifik : 1. Mencegah BBLR

2. Pemberian makanan yang baik/ gizi seimbang 3. Memberikan imunisasi

Secara umum dapat dikatakan bahwa cara pencegahan ISPA adalah dengan hidup sehat, cukup gizi, menghindari polusi udara dan pemberian imunisasi lengkap.

Peranan masyarakat sangat menentukan keberhasilan upaya penanggulangan ISPA dan pneumonia. Yang terpenting adalah masyarakat memahami cara deteksi dini dan cara mendapatkan pertolongan. Akibat berbagai sebab, termasuk hambatan geografi, budaya dan ekonomi, pemerintah juga menggerakkan kegiatan masyarakat seperti Posyandu, pos obat desa, dan lain lainnya untuk membantu balita yang menderita batuk atau kesukaran bernafas yang tidak dibawa berobat sama sekali.

Landasan Teori

Menurut John Gordon dan La Richt (1950), menyebutkan bahwa timbul atau tidaknya penyakit pada manusia dipengaruhi oleh tiga faktor utama host (pejamu), agent (agen), dan environment (lingkungan). Teori ini disebut dengan segitiga epidemiologi (triad epidemiology).

Agent. Agent adalah faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi. Agent dapat berupa benda hidup, tidak hidup, energi, dan lain sebagainya, yang dalam jumlah berlebih atau kurang merupakan sebab utama dalam terjadinya penyakit.

(47)

30

Host. Host adalah populasi atau organisme yang memiliki resiko untuk sakit. Element host ini sangat penting dalam proses terjadinya penyakit ataupun dalam pengendaliannya, karena ia sangat bervariasi keadaannya bila dilihat dari aspek sosial ekonomi budaya, keturunan, lokasi geografis, dan lainnya. Host juga akan sangat menentukan kualitas lingkungan yang ada dengan cara-cara perlakuan yang berbeda- beda sesuai dengan tarafpengetahuan, sikap, dan budaya hidupnya.

Faktor host sangat kompleks dalam proses terjadinya penyakit dan tergantung pada karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing individu. Karakteristik tersebut, yaitu umur, jenis kelamin, ras, dan genetik.

Environment. Environment atau Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host, baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen tersebut, termasuk host yang lain.

Gambar 1. Segitiga epidemiologi

(48)

Gambar 2. Kerangka teori Agent

Virus

- Miksovirus - Adenovirus - Koronavirus - Picornavirus - Influenza - Parainfluenza - Rhinovirus

- Respiratorik syncytial virus

Bakteri

- Escherichia coli - Streptococcus

pneumoniae

- Chlamidya trachomatis - Clamidiapneumoniae - Mycoplasma pneumoniae

Komponen Host Umur

Berat badan lahir Status gizi Vitamin A Status imunisasi

Komponen Lingkungan (environment)

Kepadatan hunian Ventilasi

Kebiasaan merokok keluarga Pendidikan ibu

ISPA

(49)

32

Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3. Kerangka konsep Faktor Lingkungan

1. Ventilasi

2. Kepadatan Hunian

3.

Paparan asap rokok dalam rumah

Faktor Individu Bayi dan Anak 1 Umur

2 Jenis Kelamin 3 Berat badan lahir 4 Status gizi 5 Vitamin A 6 Status Imunisasi

Kejadian ISPA pada Balita

(50)

33

Metode Penelitian

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan rancangan cross sectional.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Terjun Kota Medan. Data puskesmas terjun tahun 2020 menunjukkan bahwa ISPA menempati urutan pertama dengan jumlah kasus terbanyak. Hal ini menjadikan Alasan penulis untuk meneliti faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA di puskesmas terjun tahun 2021.

Waktu penelitian. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan juni 2020 sampai Januari2022.

Populasi dan Sampel

Populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita (6-59 bulan) Puskesmas Terjun Tahun 2021 yaitu sebanyak 7.016 balita.

Sampel. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian balita yang bertempat tinggal di cakupan wilayah Puskesmas Terjun Tahun 2021. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode accidental samplingyaitu berdasarkan siapa saja yang ditemui. Dimana pengambilan sampel dilakukan dengan mendatangi posyandu, rumah ke rumah, dan menunggu di Puskesmas

Besar sampel. Rumus perhitungan besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(51)

34

Keterangan :

n = Besar sampel N = Besar populasi

d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang di inginkan (0,1).

Berdasarkan rumus tersebut, dari jumlah populasi 7.016 orang maka diperoleh jumlah sampel sebanyak sebagai berikut :

n

n 98,59 dibulatkan menjadi 99 Variabel dan Definisi Operasional

Variabel. Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang menjadi fokus penelitian.Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen (variabel terikat).

Variabel independen. Pada penelitian ini yang menjadi variable

independent (bebas) adalah

Variabel dependen. Pada penelitian ini yang menjadi variabel dependen (terikat) adalah kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Terjun tahun 2021.

(52)

Definisi operasinal.

Kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Infeksi akut yang

menyerang salah satu bagian atau lebih saluran pernapasan berlangsung sampai dengan empat belas hari/akut dengan gejala batuk, pilek, danatau disertai demam, sampai ditemukan adanya sesak napas (Depkes RI, 2009). Kriteria obejktif : 1. ISPA : Bila ditandai dengan adanya batuk, pilek, serak, demam, baik yang

disertai nafas cepat ataupun sesak, berdasarkan diagnose Dokter/medical record dari pelaksana kesehatan, tenaga kesehatan kompeten atau memiliki data pemeriksaan seperti KMS.

2. Tidak ISPA : Bila tidak terdapat tanda seperti di atas.

Umur. Lama hidup responden (balita) saat dilakukan penelitian sesuai

yang tertera dalam rekam medis, dikategorikan menjadi : 1. 6-35 bulan

2. 36-59 bulan

Jenis kelamin. Karakteristik dan ciri yang menunjukkan bahwa responden

adalah laki-laki dan perempuan.

1. Laki-laki 2. Perempuan

Berat badan lahir. Berat badan balita pada saat kelahiran

Kriteria objektif :

1. BBLR : jika berat badan lahir <2500 gram 2. Normal : jika berat badan lahir ≥ 2500 gram

(53)

36

Status gizi. Keadaan gizi balita saat penelitian yang diperoleh dari berat

badan menurut umur (BB/U) sesuai dengan KMS berdasarkan standar WHO.

(Kemenkes RI, 2010b).

Kriteria objektif :

1. Gizi Lebih : jika hasil pengukuran z-score >+2 SD 2. Gizi baik : jika hasil pengukuran z-score -2 s/d +2 SD 3. Gizi normal : jika hasil pengukuran z-score -3 s/d <-2 SD 4. Gizi buruk : jika hasil pengukuran a-score <-3 SD

Vitamin A.Pemberian vitamin A secara oral dalam bentuk tablet

hisapsesuai dengan umur balita. Vitamin A dosis 100 μA diberikan kepada bayi 6- 11 bulan sebanyak 1 kali setahun dan Vitamin A dosis 200 μA diberikan kepada balita 12-59 bulan sebanyak 2 kali setahun.

Kriteria objektif

1. Lengkap : bila balita mendapat Vitamin A sesuai umur

2. Tidak lengkap : bila balita tidak mendapat vitamin A sesuai umur

Status imunisasi. Pemberian imunisasi sesuai dengan umur balita.

Imunisasi BCG 1 kali pada usia 0-2 bulan, imunisasi DPT 3 kali pada usia 2-6 bulan, imunsasi polio 4 kali pada usia 0-6 bulan, imunisasi Hepatitis B 3 kali pada usia 0-6 bulan dan imunisasi campak 1 kali pada usia 9 bulan (DepKes, 2009).

Kriteria objektif :

1. Lengkap : bila bayi mendapatkan imunisasi sesuai usia

2. Tidak Lengkap : bila bayi tidak atau belum mendapatkan imunisasi sesuai dengan usianya.

(54)

Ventilasi.Ventilasi yaitu jalur udara berupa jendela pada dinding kamar

atau rumah sebagai jalur masuk dan keluarnya udara secara alamiah ke dalam ruangan agar terjadi pertukaran udara yang segar dengan luas minimal 10% dari luas lantai.

Kriteria objektif :

1. Memenuhi syarat : bila ukuran ventilasi adalah ≥10% dari luas lantai ruangan

2. Tidak memenuhi syarat : Bila ukuran ventilasi < 10% dari luas lantai ruangan

Kepadatan hunian.Adalah tingkat kepadatan hunian yang dihitung dari

luas lantai dalam rumah dibagi dengan jumlah anggota keluarga.

Kriteria objektif :

1. Padat : > per orang 2. Tidak Padat : ≤ per orang

Paparan asap rokok dalam rumah. Adanya anggota keluarga yang

merokok dalam rumah.

Kriteria objektif :

1. Ada : terdapat anggota keluarga yang merokok dalam rumah 2. Tidak ada : tidak terdapat keluarga yang merokok dalam rumah Metode Pengumpulan Data

Data primer. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara langsung kepada responden, ibu balita, dengan menggunakan kuesioner yang diadopsi dari penelitian Rita Kristina Pasaribu dengan judul

Gambar

Gambar 1. Segitiga epidemiologi
Gambar 2. Kerangka teori Agent Virus -  Miksovirus -  Adenovirus -  Koronavirus -  Picornavirus -  Influenza -  Parainfluenza -  Rhinovirus  -  Respiratorik syncytial virus Bakteri -  Escherichia coli -  Streptococcus pneumoniae  -  Chlamidya trachomatis -
Gambar 3. Kerangka konsep Faktor Lingkungan
Gambar 4. Distribusi proporsi kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Terjun  Tahun 2021
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bertolak dari hasil penelitian tersebut, peneliti bertujuan untuk mengemas kembali bahan ajar pada materi ikatan kimia dengan harapan konsep-konsep kimia tersebut dapat

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa nilai Fhitung 9.475 &gt; Ftabel 2,78 dan nilai signifikan sebesar 0,000&gt; 0,05 , dengan demikian Ho diterima, hal

Penelitian yang digawangi oleh sebuah institusi mengemudi mengungkapkan bahwa anak- anak muda yang sering bermain game balapan ternyata lebih mahir dalam

Secara umum kesimpulan dalam penelitian ini adalah “ Implementasi pembelajaran tematik dengan Quantum Teaching di kelas III SDN 21 Kecamatan Sungai Raya

(iv) Saya mengesahkan hanya satu tuntutan sahaja yang saya kemukakan

Dengan pertimbangan hati-hati apakah perubahan itu diperlukan untuk memindahkan organisasi dari kondisi saat ini ke keadaan yang diinginkan, apakah atau

[r]

Densitas Trikoma dan Distribusi Vertikal Daun beberapa Varietas Kedelai (Glycine max Linnaeus) terhadap Preferensi Oviposisi Spodoptera litura Fabricius; Riyan Ayu