• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. ANALISIS DATA. 36 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "4. ANALISIS DATA. 36 Universitas Kristen Petra"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

36

Universitas Kristen Petra

4. ANALISIS DATA

4.1 Ngenest Movie 4.1.1 Sinopsis

Film komedi Indonesia berjudul “Ngenest” ini merupakan film yang diangkat dari buku karya Ernest Prakasa. Film ini bercerita tentang kisah seorang lelaki bernama Ernest yang merupakan seorang keturunan Tionghoa. Ernest bayi, saat itu tidak bisa memilih kalau ia harus terlahir sebagai anak keturunan Tionghoa. Dan tumbuh di masa Orde Baru yang di mana bau diskriminasi akan etnis Tionghoa sangat tinggi, sehingga membuat Ernest sering di bully oleh orang- orang sekitarnya.

Ernest bayi mulai tumbuh dan mengenyam pendidikan layaknya anak seusianya. Sejak masuk bangku sekolah dasar, Ernest anak anak tidak pernah lepas dari kejailan teman teman, terutama dari teman teman Fariz. Kejailan Fariz dan teman temannya tidak berakhir pada masa SD, namun juga berlanjut saat mereka masuk SMP. Tetapi beruntungnnya Ernest memiliki teman bernama Patrick yang selalu melindungi dan bersama Ernest saat Fariz dan anggotannya menjailinnya.

Suatu hari saat hendak berangkat sekolah, di Bus, Ernest dipalak oleh beberapa anak SMK. Salah satu dari mereka, merupakan orang keturunan Tionghoa. Karena kecerdikannya, Ernest lolos dari palakan anak SMK tersebut.

Selepas sekolah, Ernest dan Patrick memiliki rutinitas untuk singgah di markas mereka di rofftop sebuah gedung kosong tak jauh dari rumah dan sekolah mereka, dan Ernest pun menceritakan kejadian unik dipagi hari saat hendak kesekolah.

Berkaca dari kejadian tersebut, bahwa ada anak keturunan Tionghoa yang bisa membaur dengan golongan pribumi, Ernest mencoba untuk membaur dengan Fariz dan anggotanya, namun keputusan ini jelas ditolak oleh Patrick sahabatnya yang selama ini melindunginya dari kejailan Fariz. Namun, Ernest tetap kukuh untuk membaur dengan Fariz. Alih alih untuk membaur, Ernest sekain dimanfaatkan dan tetap dijailin.

Merasa tetap masih dibully meskipun sudah membaur, Ernest pasrah dengan kondisi itu. lalu ia memikirkan cara lain agar nanti keturunannya tidak

(2)

37

Universitas Kristen Petra

merasakan hal yang sama seperti yang ia alami. Akhirnya Ernest SMP berkeinginan bahwa nanti ia harus menikahi wanita pribumi.

Selepas dari SMP, Ernest tidak bisa masuk dalam sekolah SMA Negeri karena nilainya kurang. Akhirnya ia masuk Sekolah swasta, dimana semua muridnya beretnis Tionghoa, sehingga niatnya untuk mencari jodoh dengan orang pribumi tertunda. Karena itulah ia harus tetap belajar giat untuk masuk universitas negeri.

Selepas dari SMA, cita-citanya untuk masuk universitas negeri terwujud.

Ia diterima di salah satu universitas negeri terkenal di Bandung. Ernest yang di masa kuliahnya di Bandung, bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis pribumi bernama Meira di lembaga belajar bahasa Mandarin. Dari seringnya bertemu di lembaga tersebut, akhirnya mereka saling jatuh cinta. Keduanya akhirnya berpacaran meski mendapat tentangan dari Papa Meira. Meira dengan usahanya meyakinkan papanya bahwa Ernest bukan seperti apa yang dulu pernah dialaminya, dan Ernest pun membuktikan dirinya bahwa ia bukan orang keturunan Tionghoa yang buruk. Hal tersebut tidak membuat mereka menyerah untuk mengambil restu dari papa meira, akan tetapi membuat mereka yakin dan mantap untuk menikah. Ernest dan Meira akhirnya menikah dan menggunakan adat Tionghoa demi menyenangkan hati dari orangtua Ernest.

Setelah menikah, rasa takut dan khawatir Ernest tidaklah hilang, melainkan semakin menjadi jadi. Ernest takut jika nanti ia mempunyai anak, wajahnya mirip dengan dirinya yang masih memiliki wajah keturunan Tionghoa.

Hal ini yang membuat keluarga kecil Ernest mengalami konflik. Konflik tidak hanya dengan Meira istrinya tetapi juga dengan Patrick dan dirinya sendiri.

Semakin tua umur kandungan Meira, semakin khawatir pula Ernest terhadap apa yang dipikirkan, namun selalu ada Patrick yang selalu menyadarkan. Berkat Patrick, akhirnya Ernest siap menghadapi kelahiran anak pertamannya dan siap dengan konsekuensi yang ada.

(3)

38

Universitas Kristen Petra

4.1.2 Para Pemain “Ngenest”

Gambar 4.1 Pemain Film “Ngenest”

Sumber : Internet, 2016 1. Ernest Prakarsa : Sebagai Ernest Dewasa 2. Kevin Anggara : Sebagai Ernest Remaja 3. Marvell Adyatma : Sebagai Ernest Kecil 4. Gwensa Michelle : Sebagai Ernest Bayi 5. Morgan Oey : Sebagai Patrick Dewasa 6. Brandon Salim : Sebagai Patrick Remaja 7. Winson Silvo : Sebagai Patrick Kecil 8. Ardit Erwandha : Sebagai Fariz Remaja 9. Fico Fachriza : Sebagai Bowo Remaja 10. Amel Carla : Sebagai Ipeh Remaja 11. Bakriyadi Arifin : Sebagai Bakri Remaja 12. Fernadito Raditya : Sebagai Fariz Kecil

13. Muhammad Rizky Alfiah : Sebagai Bowo Kecil 14. Tasya Carla : Sebagai Ipeh Kecil

15. Baharuddin : Sebagai Bakri Kecil 16. Ferry Salim : Sebagai Papa Ernest

(4)

39

Universitas Kristen Petra

17. Olga Lydia : Sebagai Mama Ernest 18. Budi Dalto : Sebagai Papa Meira

19. Ade Fitria Sechan : Sebagai Mama Meira 20. Lala Karmela : Sebagai Meira

4.1.3 Sutradara dan Penulis

Ernest Prakasa lahir 29 Januari 1982 adalah seorang Komika, Aktor, dan Penulis. Ia dikenal sejak meraih peringkat ketiga dalam acara Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) pada 2011 dan juga dikenal sebagai seorang komedian Tionghoa-Indonesia yang sering menjadikan kehidupan etnisnya sebagai materi stand up comedy. Awal karir Ernest Prakasa pertama kali adalah di dunia industri musik Indonesia yang bergabung bersama Universal Music. Kemudian Ernest melanjutkan eksistensinya di dunia musik, di Sony Music. Sudah hampir enam tahun sejak di awal karirnya dia berada di dunia industri musik, Ernest Prakasa kemudian mendaftarkan dirinya dalam program Stand Up Comendy Indonesia (SUCI) Kompas TV. Tak disangka, Ernest Prakasa berhasil lolos audisi dan berlanjut menjadi salah satu finalis dari tiga belas finalis dari seluruh penjuru Indonesia, sampai pada akhirnya Ernest Prakasa berhasil meraih juara ketiga dalam kompetisi tersebut.

Sadar akan bakatnya selama ini sebagai seorang pelawak, akhirnya Ernest Prakasa memutuskan untuk menekuni profesi sebagai pelawak tunggal atau komika secara serius. Bersama dengan komika Indonesia lainnya, seperti Raditya Dika, Panji Pragiwaksono, Isman H. Suryaman dan Ryan Adriandhy mendirikan Stand Up Indo, sebuah komunitas pelawak tunggal pertama di Indonesia, yang hingga kini telah memiliki sub-komunitas di lebih dari 15 provinsi, dan dianggap sebagai salah satu perintis budaya komedi tunggal di Indonesia.

Ernest dalam karirnya juga telah melakukan sebuah tur komedi tunggal pada tahun 2012, dan ia merupakan komedian pertama Indonesia yang melakukan hal itu. Tur tersebut dinamai Merem Melek, menjelajah 11 kota dari Bandung, Semarang, Solo, Denpasar, Malang, Surabaya, Makassar, Kendari, Samarinda, hingga Palangkaraya, dan ditutup di Gedung Kesenian Jakarta pada tanggal 10

(5)

40

Universitas Kristen Petra

Juli 2012. Ia juga pernah menggelar sebuh pertunjukan komedi tunggal khusus bersama para komedian dari etnis Tionghoa-Indonesia, berjudul Ernest Prakasa &

The Oriental Bandits yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta pada tanggal 9 Februari 2013, sehari sebelum perayaan Imlek. Di bulan November 2013, Ernest melakukan tur keduanya yang diberi judul Illucinati, menyambangi 17 kota yakni Makassar, Samarinda, Balikpapan, Banjarmasin, Banda Aceh, Semarang, Solo, Jogjakarta, Padang, Depok, Bandung, Bogor, Malang, Sidoarjo, Surabaya, Denpasar, dan ditutup kembali di Gedung Kesenian Jakarta pada tanggal 25 Januari 2014. Acara puncak ini menorehkan rekor sebagai komedi tunggal spesial pertama di Indonesia yang digelar sebanyak tiga kali pertunjukan dalam satu hari.

Selain pintar menjadi seorang komedian, Ernest Prakasa juga pandai berakting dan menulis. Hasil karyanya yang telah diterbitkan antara lain, Dari Merem ke Melek: Catatan Seorang Komedian (2012), Ngenest – Ngetawain Hidup Ala Ernest (2013), Ernest Prakasa & The Oriental Bandits (2013), Ngenest 2 – Ngetawain Hidup Ala Ernest (2014), Illucinati (2014), Ngenest 3 – Ngetawain Hidup Ala Ernest (2015). Selain penulis, Ernest juga pernah beberapa kali membintangi sebuah film Indonesia antara lain Make Money (2013), Comic 8 (2014), Kukejar Cinta ke Negeri Cina (2014), CJR The Movie (2015), Comic 8:

Casino Kings (2015).

Belum cukup dikenal sebagai komika sekaligus aktor, Ernest Prakasa pun mengikuti jejak Raditya Dika dengan menjadi seorang sutradara. Ia melakukan debut penyutradaraan dalam film Ngenest yang diadaptasi dari trilogi novel berjudul sama. Film Ngenest sendiri mengangkat kisah Ernest Prakasa yang dilahirkan dari sebuah keluarga keturunan Tionghoa. Dia besar di masa orde baru di mana diskriminasi terhadap etnis Tionghoa begitu kental. Kehidupan Ernest pun menjadi bully-an dengan teman-temannya hingga akhirnya mencoba berbaur dengan orang pribumi.

(6)

41

Universitas Kristen Petra

4.1.4 Penghargaan

Adapun beberapa penghargaan yang diraih melalui film “Ngenest” ini adalah:

a) Penulis Skenario Terbaik oleh Ernest Prakarsa b) Soundtrack Film Terbaik

c) Masuk dalam 10 Besar, Urutan ke-7 Sebagai Film Terlaris 2015

d) Lala Karmela dan Kevin Anggara masuk dalam nominasi Pemeran Utama Wanita Terfavorit dan Pendatang baru Terfavorit.

e) Menjadi film komedi terfavorit satu satunya dalam nominasi Indonesia Movie Actors Awards 2016

f) Mencapai 800 ribu penonton pada tayang perdananya

4.1.5 Cover DVD

Gambar 4.2 Cover DVD

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

(7)

42

Universitas Kristen Petra

Film “Ngenest” adalah film komedi Indonesia tahun 2015 yang diangkat dari Trilogi novel dengan judul yang sama. Film ini disutradarai oleh Ernest Prakarsa selaku pemeran utama dalam film dan sebagai pokok ide cerita dalam film tersebut. Film ini merupakan kisah nyata pribadi dari kondisi seorang Ernest yang merupakan keturunan tionghoa dan tinggal di Indonesia.

Ngenest rilis secara perdana di Bioskop pada 30 Desember 2015 kemudian tak lama pada April 2016 diluncurkan dalam bentuk DVD. Ernest merasa bangga dalam peluncuran film perdananya ini, karena ini juga kali pertamannya ia membuat film yang tak disangka pula juga disukai penonton hingga mendapatkan 800 ribu penonton mengalahkan film Negeri Van Oranje yang tayang perdana selisih sehari dari Ngenest. Film besutan dari Starvision ini juga masuk dalam 10 besar film dengan pendapatan tertinggi, yakni sebesar 19 Miliar Rupiah dari diluncurkannya film tersebut.

4.2 Temuan Data

Dalam penelitian ini peneliti ingin meneliti penggambaran budaya dari Etnis Tionghoa yang ada dalam film “Ngenest”. Budaya merupakan keseluruhan dari sebuah sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia dengan cara belajar (Sutardi, 2009, p.9-10).

Budaya memiliki enam karakter yakni, bahasa, teknologi, sistem mata pencaharian, sistem pengetahuan, sistem religi, dan kesenian. Adapun peneliti, meneliti dari enam karakter budaya tersebut.

4.2.1 Penggambaran Budaya dari Sisi Bahasa

Bahasa, adalah sistem perlambangan manusia, baik lisan maupun tertulis untuk berkomunikasi satu sama lain dan mengidentifikasi diri (Sutardi, 2009).

Dalam film “Ngenest” penggambaran budaya Etnis Tionghoa dari sisi bahasa ditemukan dalam beberapa scene, baik secara lisan maupun tertulis.

(8)

43

Universitas Kristen Petra Gambar 4.1 Bidan memberi selamat atas kelahiran Ernest (scene 2)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Scene 2 dimulai ketika Bidan memberi selamat kepada sepasang suami istri (orang tua Ernest) atas kelahiran putra mereka. Bidan memanggil orang tua Ernest dengan sebutan Kokoh (bapak) dan Cici (saudara perempuan yang lebih tua). Panggilan khas Etnis Tionghoa ini memang tidak hanya digunakan untuk sesama Etnis Tionghoa, banyak orang pribumi menggunakan panggilan ini kepada Etnis Tionghoa untuk membangun hubungan lebih akrab.

Gambar 4.2 Ernest berkenalan dengan Fariz dan kawan-kawan (scene 3) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 3 ditunjukkan saat Ernest pertama masuk sekolah dasar. Ketika bertemu dengan Fariz dan kawan-kawan, Ernest mendapat sambutan yang tidak hangat. Hal ini nampak pada dialog Fariz dan kawan-kawan.

Fariz: “Halo cong kenalin gue Fariz. Ini Bowo, Bakrie, Ipeh.”

Bowo: “Hai cong yakin lu kelas 1B bukannya lu kelas 1C, Cina”

Ipeh: “Atau nggak C, Cipit”

Bakrie: “Atau C, Candi Borobudur”

Penggunaan kata cong disini merupakan penggalan dari kata Zhong guo ren (baca: cong kuo ren) yang berarti orang Tionghoa. Penyebutan cong dalam

(9)

44

Universitas Kristen Petra

dialog ini menggunakan intonasi yang keras dan cenderung melecehkan Ernest sebagai seorang Tionghoa.

Gambar 4.3 Ernest dan Patrick di sekolah (scene 11) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Gambar 4.4 Teman-teman Ernest di Sekolah Dasar (scene 12) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Dalam scene 11, narrator (Ernest dewasa) menceritakan tentang sahabat Ernest yang bernama Patrick. Berbeda dengan Ernest yang cenderung dibully oleh teman-temannya, Patrick yang juga Etnis Tionghoa lebih menerima keadaan. Tak hanya itu ia juga banyak akal dan selalu menolong Ernest saat dijahili Fariz dan kawan-kawan. Dalam narasinya, Ernest menyebut Patrick sebagai haopeng.

Dalam bahasa mandarin haopeng berasal dari kata hao beng you yang artinya teman.

Berlanjut pada scene 12, narrator (Ernest dewasa) masih mengisahkan persahabatannya dengan Patrick. Ernest bersyukur bisa berteman dengan Patrick.

Ernest merasa memiliki teman senasib yang bisa meringankan bebannya.

Narator: “Punya teman senasib itu lumayan meringankan beban ya gak berasa amsyong-amsyong amat la.”

(10)

45

Universitas Kristen Petra

Kata amsyong memiliki makna sial atau kurang beruntung.

Gambar 4.5 Korban palak Fariz dkk mengenali Ernest Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 22 dikisahkan Ernest sudah memasuki bangku SMP. Ia pun masih sering menjadi korban kenakalan Fariz dkk. Agar tak lagi menjadi korban bully Fariz, Ernest pun memutuskan untuk menjadi bagian dari geng Fariz.

Hingga suatu hari Fariz dkk memalak seorang anak SMP dari Etnis Tionghoa.

Ternyata anak tersebut kenal dengan Ernest.

Anak SMP : “Lu Ernest anaknya Cik Eni kan? Toko Jaya Baru. Nyokap gue sering belanja di toko lu. Gue laporin emak lu ya.”

Kata cik, pada dialog ini merupakan singkatan dari kata Tacik, yang sering diguakan sebagai pengganti penggilan untuk Ibu atau perempuan yang lebih tua.

Gambar 4.6 Patrick dan Ernest mengobrol di rumah Patrick (Scene 27) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

(11)

46

Universitas Kristen Petra

Scene 27 dimulai ketika Ernest datang ke rumah Patrick setelah sebelumnya ia pingsan saat menonton konser punk bersama Fariz dkk. Ernest merasa putus asa karena ia melakukan berbagai cara agar bisa berbaur dengan Fariz dkk termasuk menonton konser punk.

Ernest: “Jadi Cina itu serba salah ya.”

Patrick: “Yah gimana ya gue sih sudah pasrah, soalnya Engkong kita Cina, Bokap kita Cina, kita juga Cina, entar anak-anak kita juga Cina.”

Dalam bahasa mandarin, kata Engkong dalam dialog tersebut sama artinya dengan kata kakek.

Gambar 4.7 Sopir angkot menawari Ernest untuk naik angkotnya (Scene 37) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 37 dikisahkan Ernest sudah kuliah di perguruan tinggi negeri di Bandung. Di awal scene nampak Ernest diputuskan pacarnya yang bernama Fani. Ketika Ernest sedang berbicara dengan Fani, seorang sopir angkot menawari Ernest untuk naik angkotnya. Menariknya sopir angkot tersebut memanggil Ernest dengan sebutan Aa’ (panggilan untuk laki-laki dalam bahasa sunda). Setelah mengetahui bahwa Ernest Etnis Tionghoa, sopir angkot tersebut mengganti panggilan Aa’ dengan sebutan Koh. Dalam bahasa mandarin, Koh merupakan singkatan dari Engkoh yang berari bapak atau laki-laki yang lebih tua.

(12)

47

Universitas Kristen Petra Gambar 4.8 Ernest dan Patrick makan bersama di sebuah kafe (Scene 38)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Berlanjut pada scene 38 Ernest dan Patrick sedang makan di sebuah kafe.

Ernest membicarakan ayah mantan kekasihnya (Fani) yang juga Etnis Tionghoa.

Menurut Ernest, ayah Fani cenderung memandang sebelah mata kepada pribumi, hingga ada orang pribumi yang menyerempet mobilnya, dan ayah Fani memaki penyerempet mobilnya dengan sebutan Tiko. Penyebutan Tiko memiliki konotasi negatif untuk pribumi. Tiko berasal dari bahasa Hokkien, Tie (Babi) Kauw (Anjing).

Dalam percakapan di scene 38 Patrick juga menanyakan bagaimana kelanjutan les bahasa mandarin yang diikuti Ernest.

Patrick: “Trus lesmu gimana?”

Ernest: “Ngapain gua terusin orang gua masuk gara-gara dia, belum sebulan masih bisa refund.”

Patrick: “Kelakuan bener lu.”

Ernset: “ Lho cengli dong emang peraturannya begitu.”

Patrick: “Cengli sih, Cuma lu yang bocengli.”

Cengli dalam bahasa mandarin memiliki arti pantas atau masuk akal.

Sementara bocengli merupakan lawan kata cengli yakni tidak pantas

(13)

48

Universitas Kristen Petra Gambar 4.9 Ernest dan Meira di tempat kursus bahasa mandarin (Scene 41)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 41 Ernest berada di tempat kursus bahasa mandarinnya untuk refund dan membatalkan kursus mandarinnya. Hingga Ernest bertemu dengan siswa baru bernama Meira. Ernest yang berharap bisa mendapat pacar seorang pribumi, seketika itu juga membatalkan niatnya untuk refund dan mengikuti kursus mandarin lagi.

Di tempat kursus tersebut, terlihat sebuah banner yang bertuliskan “Kursus Mandarin Kending Neng”. Di banner juga terlihat tulisan mandarin yang dibaca

“Kending Neng”. Tulisan tersebut memiliki arti pasti bisa.

Gambar 4.10 Ayah Meira bercengkerama dengan istrinya (Scene 78) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 78 dikisahkan Meira dan Ernest sudah resmi berpacaran, namun hubungan mereka belum mendapat restu dari ayah Meira. Hal ini disebabkan ayah Meira pernah dikecewakan oleh Etnis Tionghoa. Di awal scene ayah Meira mewanti-wanti Meira akan hubungannya dengan Ernest. Sebelum hubungan mereka terlalu serius, ayah Meira berharap agar Meira mengakhiri

(14)

49

Universitas Kristen Petra

hubungan dengan Ernest, namun Meira tak mengindahkan ayahnya. Pada gambar 4.10 ayah Meira menceritakan soal kelakuan Meira kepada istrinya. Pada dialog dengan ibu Meira, ayah Meira pun menyebutkan beberapa nama Etnis Tionghoa kenalannya, yakni Ling Ling dan Cing Cing. Kedua nama itu merupakan nama- nama yang sering digunakan oleh masyarakat Tionghoa.

Gambar 4.11 Teman-teman Ernest melihat karangan bunga ucapan selamat menikah untuk Ernest dan Meira (Scene 88)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 88 dikisahkan Ernest dan Meira menikah. Untuk menyenangkan hati orangtua Ernest, pernikahan mereka menggunakan adat Tionghoa. Banyak karangan bunga ucapan selamat, datang dari rekan bisnis ayah Ernest. Uniknya ada salah satu karangan bunga yang salah tulis nama istri Ernest.

Nama Meira berubah menjadi Mei Mei. Nama Mei Mei ini memang identik dengan Etnis Tionghoa.

Gambar 4.12 Banner penyambatan tamu pernikahan Ernest dan Meira (Scene 88) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

(15)

50

Universitas Kristen Petra

Pada gambar 4.12 tampak banner penyambutan tamu pada pernikahan Ernest dan Meira. Tulisan mandarin atau yang sering dikenal dengan hanzi paling atas bertuliskan kaixinle yang memiliki arti suka musik, yang berada dalam lingkaran merah bertuliskan he merupakan kata sambung, dan. Sedangkan pada tulisan paling bawah bertuliskan anguan taochang feishucen berartikan selamat.

Gambar 4.13 Audrey, adik Ernest bercengkerama dengan Ernest dan Meira (Scene 91) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada gambar 4.13 tampak Ernest dan Meira mengamati persiapan pernikahan mereka. Pada scene 91 ini juga tampak adik Ernest yang bernama Audrey. Seperti Etnis Tionghoa lainnya, Audrey memanggil Ernest dengan sebutan “ko”. Kata “ko” merupakan singkatan dari “koko” dan memiliki arti kakak laki-laki.

Gambar 4.14 Ayah Ernest mengenalkan Hengky sebagai MC pernikahan Ernest (Scene 93) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

(16)

51

Universitas Kristen Petra

Pada scene 93 ayah Ernest mengenalkan MC yang bernama Hengky kepada Ernest dan Audrey. Ernest sebenarnya tidak terlalu suka dengan Hengky, karena ia tampak aneh dan suka menyanyikan lagu mandarin di berbagai kesempatan. Pada perkenalannya dengan Ernest, Hengy pun menyanyikan sebuah lagu Mandarin populer yang berjudul Wo Ai Nio dari penyanyi Teresa Tang.

Papa Ernest: “Nest, papa punya MC terkenal dia namanya Koh Hengky. Nest, Koh Hengky ini nggak Cuma MCnya aja yang bagus, tapi kalo nyanyi suaranya bagus banget, kalo makaman tu haujek.”

Dalam bahasa Mandarin kata papa berasal dari kata baba (baca: papa) yang berarti orang tua laki-laki atau ayah. Sedangkah kata Koh berasal dari kata Engkoh yang berarti bapak atau panggilan untuk orang laki-laki yang lebih tua.

Selain Hengky, di scene 93 ada juga seorang lelaki tua yang diperkenalkan ayah Ernest sebagai pemain keyboard. Ayah Ernest memanggilnya dengan sebutan “Encek”. Dalam bahasa Mandarin Encek memiliki arti yang hampir sama dengan kata Engkoh. Encek dalam bahasa Indonesia bisa berarti Oom atau panggilan kepada lelaki yang lebih tua.

Gambar 4.15 Ernest dan Patrick di sebuah kafe (Scene 99) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 99 terlihat Ernest dan Patrick sedang menghabiskan waktu bersama di sebuah kafe. Ernest bercerita kepada Patrick tentang ketakutannya memiliki anak. Ernest takut jika nanti anaknya memiliki wajah mirip dirinya, dan

(17)

52

Universitas Kristen Petra

nasibnya tak jauh beda dengan Ernest kecil yang suka dibully. Sementara Ernest berkeluh kesah tentang pernikahannya, Patrick memiliki masalah dengan pekerjaannya, ia tidak menyukai bekerja di perusahaan ayahnya. Namun ia memilih bertahan karena pekerjaan itu menghasilkan banyak uang. Patrick menyebutnya “kangtau”, dalam bahasa Mandarin kangtau memiliki arti pekerjaan atau usaha.

Dalam dialog pada scene 99 Patrick juga menanyakan angpao yang diterima Ernest pada pernikahannya

Patrick: “Lo pas marriage angpaonya dapat banyak ga?”

Ernest: “Ya lumayan sih tapi ga sampai balik modal juga, acara kaya gitu mahal tau”

Patrick: “Gue tau apa yang bikin mahal, bayar Koh Hengky hahaha. Ni Wen Wo Ai Nio Duo Shen” (menirukan gaya Koh Hengky menyanyikan lagu Wo Ai Nio)

Angpao berasal dari bahasa Mandarin Hong (merah) Bao (amplop).

Angpao merupakan amplop merah berisi uang yang biasa diberikan saat perayaan imlek. Selain memiliki arti amplop merah, angpao juga dikonotasikan sebagai uang pemberian. Seperti pada dialog secene 99, angpao disamakan dengan uang yang didapat Ernest dari hadiah pernikahannya.

Gambar 4.16 Lampion yang dipasang di acara Imlek keluarga Ernest (Scene 101) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

(18)

53

Universitas Kristen Petra Gambar 4.17 Chun Lian yang dipasang acara Imlek keluarga Ernest (Scene 101)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Scene 101 dikisahkan keluarga Ernest menggelar perayaan Imlek di rumahnya. Beragam hiasan khas Imlek seperti lampion dan gantungan keberuntungan (Chun Lian) tampak menghiasi rumah Ernest. Pada gambar 4.16 tampak lampion bertuliskan tulisan Mandarin. Hanzi yang berada pada posisi kiri berartikan gong xi fa cai, dan pada posisi kanan bertuliskan ji xiang yuri yang berarti semoga sukses. Sedangkan tulisan hanzi pada gantungan keberuntungan atau disebut juga Chun Lian bertuliskan zhao cai ce jin bao memiliki arti keberuntungan yang bagus.

Gambar 4.18 Ernest dan keponakannya di acara Imlek keluarga Ernest (Scene 101) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Masih di scene 101 pada gambar 4.18 terlihat keponakan Ernest yang bernama Ling Ling mengucapkan selamat Imlek kepada Ernest. Imlek identik dengan memberikan angpao kepada anak-anak atau saudara yang belum menikah.

Pada dialaog di scene 101 Ling Ling memanggil Ernest dengan sebutan Kyu kyu.

Dalam bahasa Mandarin, Kyu kyu berarti paman.

Sebelum memberikan angpao, Ernest menyuruh Ling Ling untuk melakukan kionghe. Dalam adat Imlek, kionghe berarti memberi salam. Setelah memberi salam, Ling Ling mendapat angpao dari Ernest. Setelah mengetahui isinya hanya cemban (dalam bahasa Indonesia Rp 10.000) Ling Ling memprotes

(19)

54

Universitas Kristen Petra

Ernest, namun Ernest hanya bisa menutup mulut Ling Ling, agar tidak diketahui saudara lainnya.

Gambar 4.19 Keluarga besar Ernest merayakan kelahiran anak Ernest dan Meira (Scene 150) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Scene 150 merupakan scene terakhir dari film “Ngenest”. Dikisahkan Ernest dan Meira akhirnya memiliki anak. Walau akhirnya anak Ernest bermata sipit seperti dirinya, Ernest tetap menyayanginya. Pada gambar 4.19 tampak keluarga dan teman-teman Ernest berkumpul di halaman klinik bersalin. Ayah Ernest membanggakan cucu pertamanya kepada kawan Ernest, dan mengatakan bahwa cucunya mirip dengan Kungkungnya. Dalam bahasa Mandarin Kungkung berarti kakek.

Sementara Ibu Ernest datang membawa Koh Hengky sebagai kado kelahiran anak Ernest. Koh Hengky pun menyanyikan lagu Wo Ai Nio, lagu yang dibawakannya pada acara pernikahan Ernest dan Meira. Ayah, Ibu Ernest, Patrick dan kekasihnya berdansa diiringi nyanyian Koh Hengky. Sementara Ernest, Meira dan teman-temannya bertepuk tangan, dan scene pun berakhir.

4.2.2 Penggambaran Budaya dari Sisi Teknologi

Menurut Koentjoroningrat, teknologi adalah jumlah keseluruhan teknik yang dimiliki oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Teknologi yang dimaksud dalam kategori ini adalah jumlah keseluruhan teknik yang dimiliki oleh para anggota suatu masyarakat, meliputi keseluruhan cara bertindak dan berbuat dalam hubungannya dengan pengumpulan bahan-bahan mentah, pemrosesan bahan-bahan untuk dibuat menjadi alat kerja, penyimpanan, pakaian, perumahan, alat trasportasi dan kebutuhan lain yang berupa benda meterial. Unsur

(20)

55

Universitas Kristen Petra

teknologi yang paling menonjol adalah kebudayaan fisik yang meliputi, alat alat produksi, senjata, wadah, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan serta alat alat transportasi (Sutardi, 2009).

Penggambaran budaya dari sisi teknologi pada film “Ngenest” hanya ditemukan pada dua scene, yakni scene 38 dan 101. Penggambaran teknologi yang ada pun hanya berhubungan dengan makanan dan pakaian.

Gambar 4.20 Ernest dan Patrick makan bersama di sebuah kafe (Scene 38) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Gambar 4.20 tampak Ernest dan Patrick sedang makan bersama di sebuah kafe. Ernest bercerita tentang mantan kekasihnya yang bernama Fani. Patrick mencemooh hubungan Ernest dan Fani, karena ia tahu bahwa sebenarnya Ernest mencari jodoh pribumi, sedangkan Fani adalah Etnis Tionghoa. Ernest membela diri bahwa ia sudah lama menyandang status jomblo.

Ernest: “Jomblo tiga tahun itu ya kayak lu pesen siomay tapi pare semua, pahit.”

Dalam dialog tersebut, Ernest mengibaratkan status jomblonya layaknya makanan khas Tionghoa siomay, berisi sayuran pare yang pahit.

Masih di scene 38, Ernest bercerita kepada Patrick tentang kehidupan cintanya di masa SMA. Karena di bangku SMA Ernest mengambil sekolah swasta, pergaulannya terbatas hanya Etnis Tionghoa, ia pun tak bisa mewujudkan mimpinya untuk memiliki pacar seorang pribumi. Ia pun mengibaratkan kondisinya seperti masuk warung bakmi.

Ernest: “Ibarat lu masuk warung bakmi ni ya menunya bakmi, mentok-mentok kwetiau.

(21)

56

Universitas Kristen Petra

Ernest mengibaratkan Etnis Tionghoa layaknya bakmi dan kwetiau yang sama-sama terbuat dari mie. Siomay, Bakmi, kwetaiu, adalah makanan khas Tionghoa. Siomay atau shao mai, merupakan daging cincang yang dibungkus dengan lembaran tipis yang terbuat dari tepung terigu. Bakmi, merupakan gabungan dari kata bak, daging dan mien, mie yang bila digabungkan menjadi mi dengan daging. Sedangkan kwetiau, gui tiao, merupakan sejenis mie yang terbuat dari tepung beras atau tepung gandum bertekstur kenyal dan lebar.

Gambar 4.21 Perayaan Imlek di rumah keluarga Ernest (Scene 101) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada gambar 4.21 tampak Ernest dan keluarga besar sedang merayakan Imlek bersama. Keponakan Ernest yang bernama Ling Ling terlihat memakai baju tradisional Tionghoa, begitu pula halnya dengan Meira. Pakaian yang digunakan Ling Ling dan Meira disebut qi pao (baca: jib bao). Warna dan motif baju tradisional Tionghoa kini sudah tak lagi kuno, dan sudah mulai mengikuti perkembangan zaman.

Gambar 4.22 Kue Keranjang di perayaan Imlek keluarga Ernest Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

(22)

57

Universitas Kristen Petra

Kue keranjang atau dodol cina atau kue bakul berasal dari kata nian gao (baca: nien kau). Makanan yang identik dengan perayaan Imlek ini terbuat dari ketan dan gula dengan tekstur yang lengket, manis dan berwarna coklat. Kue keranjang disuguhkan saat Imlek merupakan perlambang agar hubungan persaudaraan makin erat.

4.2.3 Penggambaran Budaya dari Sisi Sistem Mata Pencaharian

Dalam sebuah masyarakat yang majemuk, tentunya memiliki sistem pencaharian yang beragam. Biasanya dari setiap daerah, Etnis, atau suku memiliki mata pencaharian yang khas. Mata pencaharian dibedakan berdasarkan beberapa kategori, yakni berburu, beternak, bercocok tanam, dan nelayan (Sutardi, 2009).

Dalam film “Ngenest” penggambaran sistem mata pencaharian Etnis Tionghoa berkutat pada bidang perdagangan, hal ini tampak pada beberapa scene, sebagai berikut:

Gambar 4.23 Anak SMP yang mengenali Ernest sebagai anak pemilik Toko Jaya Baru (Scene 22) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 22 dikisahkan Ernest tak ingin dibully lagi oleh geng Fariz, ia pun memutuskan untuk menjadi bagian dari geng Fariz. Hingga suatu hari Fariz dkk memalak seorang anak SMP dari Etnis Tionghoa. Ternyata anak tersebut kenal dengan Ernest.

Anak SMP : “Lu Ernest anaknya Cik Eni kan? Toko Jaya Baru. Nyokap gue sering belanja di toko lu.”

Toko Jaya Baru adalah nama toko yang dikelola orangtua Ernest. Hal ini menjadi identitas orang Tionghoa sebagai pedagang.

(23)

58

Universitas Kristen Petra Gambar 4.24 Ayah Meira bercengkerama dengan istrinya (Scene 78)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 78 dikisahkan Meira dan Ernest sudah resmi berpacaran, namun hubungan mereka belum mendapat restu dari ayah Meira. Hal ini disebabkan ayah Meira pernah dikecewakan oleh Etnis Tionghoa. Pada dialog dengan ibu Meira, ayah Meira pun menyebutkan beberapa nama Etnis Tionghoa kenalannya. Etnis Tionghoa yang dikenal orang tua Meira memiliki pekerjaan sebagai pedagang. Ada yang pemilik toko material ada juga yang menjadi pemilik toko gorden.

Gambar 4.25 Karangan bunga ucapan selamat pada pernikahan Ernest dan Meira (Scene 88) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

(24)

59

Universitas Kristen Petra

Pada scene 88 tampak tiga karangan bunga ucapan selamat pada pernikahan Ernest dan Meira. Karangan bunga pertama dikirim dari Toko Obat Alung, sedangkan karangan bunga kedua berasal dari Toko Beras Ahong. Jika dilihat dari nama Alung dan Ahong, kedua nama tersebut merupakan orang Tionghoa. Mata pencaharian keduanya pun sama-sama pedagang. Dalam hal ini kedua toko tersebut termasuk pedagang eceran, yang melakukan penjualan kepada konsumen akhir.

Sedangkan pada karangan bunga ketiga berasal dari Pabrik Bihun Naga Abadi. Walau tak seperti dua karangan bunga sebelumnya yang memiliki unsur nama pemiliknya, karangan bunga dari Pabrik Bihun Naga Abadi ini juga bisa disimpulkan berasal dari orang Tionghoa. Naga merupakan hewan yang identik dengan Etnis Tionghoa. Naga melambangkan kebesaran sehingga dapat disimpulkan pula pemilik dari pabrik ini adalah orang Tionghoa, yang tentunya juga merupakan pedagang. Namun berbeda dengan toko yang merupakan pedagang eceran, pabrik tak hanya melakukan kegiatan perdagangan, tapi juga melakukan proses produksi, dan kegiatan distributor. Meskipun pabrik tidak berdagang secara langsung tetapi masih termasuk dalam perdagangan khususnya perdagangan dalam hal barang.

Gambar 4.26 Ernest dan Meira bercanda sebelum pernikahan mereka (Scene 91) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 91 tampak Ernest dan Meira di tengah acara persiapan pernikahan mereka. Setalah bertemu Koh Hengky yang akan menjadi MC mereka.

Ernest bercanda dengan Meira dan mengatakan bahwa Koh Hengky lebih pantas menjadi juragan toko besi daripada MC.

(25)

60

Universitas Kristen Petra Gambar 4.27 Ernest bercengkerama dengan saudaranya pada perayaan Imlek (Scene 101)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Scene 101, bersetting di acara perayaan Imlek yang diselenggarakan keluarga Ernest. Pada gambar 4.35 Ernest tampak berbincang dengan salah satu saudaranya yang berprofesi sebagai pedagang beras.

4.2.4 Penggambaran Budaya dari Sisi Sistem Pengetahuan

Sistem pengetahuan, merupakan uraian dari cabang-cabang pengetahuan akan astronomi dan gejala alam. Gejala alam juga berkaitan dengan sistem kepercayaan, dongeng, cerita rakyat; tumbuhan, pengetahuan akan tumbuhan yang bisa dimakan, beracun dan dijadikan obat; binatang, pengetahuan akan pemanfaatan binatang; tubuh manusia, pengetahuan akan tubuh manusia mengenai ciri ciri tubuh manusia; sifat dan tingkah laku, berkaitan dengan adat istiadat, sistem norma, hukum adat, pengetahuan tentang silsilah keluarga dan sejarahnya.

Gambar 4.28 Bidan menginformasikan kepada orang tua Ernest bahwa mata Ernest sipit (Scene 2)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

(26)

61

Universitas Kristen Petra

Pada scene 2 tampak seorang bidan menginformasikan kelahiran Ernest kepada orang tuanya. Sang bidan juga mengatakan bahwa bayi Ernest memiliki mata sipit sama seperti ayahnya. Ketika Ernest berada di gendongan ibunya, ibu Ernest pun mengatakan bahwa mata Ernest lebih sipit dari mata ayahnya. Orang Tionghoa memang identik memiliki mata sipit.

Gambar 4.29 Fariz dkk mengatai Ernest sipit (Scene 3) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 3 ditunjukkan saat Ernest pertama masuk sekolah dasar. Ketika bertemu dengan Fariz dan kawan-kawan, Ernest mendapat sambutan yang tidak hangat. Ernest yang menanyakan dimana kelas 1B, malah dijawab oleh Fariz dkk bahwa seharusnya Ernest masuk kelas 1 C, plesetan dari Cina dan Cipit. Orang pribumi memang selalu melabeli Etnis Tionghoa memiliki mata sipit. Tak jarang mata sipit Etnis Tionghoa dijadikan sebagai bahan bullying.

Gambar 4.30 Ernest di sekolah dasar bersama salah satu temannya (Scene 10) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Dalam scene 10, narrator (Ernest dewasa) menceritakan tentang kehidupan sekolahnya.

(27)

62

Universitas Kristen Petra

Narator: “Ternyata sekolah itu ga seperti yang gue bayangkan kita bisa diperlakukan berbeda, hanya karena punya penampilan fisik yang berbeda, padahal itu kan bukan salah kita.”

Gambar 4.31 Patrick, teman sepenanggungan Ernest di sekolah (Scene 12) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 12 narator masih bercerita tentang kehidupannya di sekolah dasar. Walau sering dibully oleh teman-teman pribuminya, Ernest masih bisa bertahan karena Patrick, teman satu sekolahnya yang juga Etnis Tionghoa.

Narator: “Punya temen yang senasib itu lumayan meringankan beban, yah ga berasa amsyong-amsyong amat la, paling gak gue sadar bukan bukan gue doang yang dibully cuma gara gara terlahir sebagai Cina”

Gambar 4.32 Ibu Ernest mengobati luka Ernest (Scene 13) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Scene 13 tampak Ibu Ernest mengobati luka Ernest. Ernest terluka karena dibully teman-temannya yang pribumi. Sedangkan pada dialog, narrator masih bercerita tentang masa kecilnya.

(28)

63

Universitas Kristen Petra

Narator: “Kata bokap gue apa yang gue alamin ini ga ada apa-apanya dibandingkan dia dulu. Sebagai minoritas kita harus kuat mental jadi ya ga boleh cengeng.”

Sistem pengetahuan pada scene 10 dan 11 meliputi pengetahuan akan diskriminasi yang sering didapatkan oleh orang Tionghoa. Diskriminasi ini disebabkan penampilan fisik Etnis Tionghoa yang berbeda dari orang pribumi, seperti mata sipit. Sementara pada scene 12, penggambaran budaya dari sistem pengetahuan yakni pengetahuan akan senasib sebagai Etnis minoritas.

Gambar 4.33 Ernest dan Patrick di tempat rahasia mereka (Scene 19) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Scene 19 dikisahkaan Ernest dan Patrick telah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Walau sudah SMP, Ernest masih tetap dibully Fariz dkk.

Suatu hari Ernest melihat seorang anak SMA Etnis Tionghoa yang memalak seseorang di bus. Anak SMA Etnis Tionghoa itu bergaul dengan anak-anak pribumi. Melihat kejadian itu, Ernest berkeinginan untuk bergaul dengan Fariz dkk agar ia tidak dibully lagi. Dalam scene 19 ini termasuk pengetahuan untuk bergaul agar diterima kelompok mayoritas.

Gambar 4.34 Ayah Ernest menunjukkan formulir pendaftaran masuk SMA untuk Ernest (Scene 24)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

(29)

64

Universitas Kristen Petra

Pada scene 24, dikisahkan dalam waktu dekat Ernest akan lulus SMP.

Ayah Ernest pun mulai mencari sekolah yang cocok untuk anaknya.

Ayah Ernest: “Papa sudah ambilin formulir sekolah nih. Nih ada Pemuda Luhur, SMA 29, sama Bunda Kudus, itu yang paling enak karena pulangnya cepet, setengah 1 udah bubar kalo sekolah yang lain rata-rata jam 2 baru pulang.”

Sistem pengetahuan pada scene ini, merupakan pengetahuan akan cara menghemat waktu dengan memilih sekolah yang jam pulangnya lebih cepat. Hal ini menunjukkan bahwa Etnis Tionghoa memiliki sifat tidak mau rugi dan cenderung efisien.

Gambar 4.35 Patrick menasehati Ernest agar tidak bergaul dengan Fariz dkk (Scene 25) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 25, tampak Patrick sedang bersama Ernest di kamarnya.

Patrick menasehati Ernest agar tidak bergaul dengan Fariz dkk, karena Fariz memanfaatkan Ernest.

Patrick: “Cina kok ngebet banget jadi Tiko. Lu nimbrung ma mereka mendingan dianggap iya iyalah baik, Lu tu di kacungin, disuruh jajanin gimana mereka ga baik sama elu.”

Scene 25 merupakan sistem pengetahuan akan pergaulan, dimana Patrick tidak setuju bila Ernest yang merupakan orang Tionghoa bergaul dengan pribumi.

Menurut Patrick orang pribumi suka memanfaatkan Etnis Tionghoa.

(30)

65

Universitas Kristen Petra Gambar 4.36Patrick dan Ernest mengobrol di rumah Patrick (Scene 27)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Scene 27 dimulai ketika Ernest datang ke rumah Patrick setelah sebelumnya ia pingsan saat menonton konser punk bersama Fariz dkk. Ernest merasa putus asa karena ia melakukan berbagai cara agar bisa berteman dengan Fariz dkk yang merupakan pribumi.

Ernest: “Jadi Cina itu serba salah ya.”

Patrick: “Yah gimana ya gue sih sudah pasrah, soalnya Engkong kita Cina, Bokap kita Cina, kita juga Cina, entar anak-anak kita juga Cina.”

Pada dialog di scene 27 Patrick menjelaskan, bahwa semua keluarga mereka merupakan keturunan Tionghoa. Pada scene ini termasuk pengetahuan akan silsilah keluarga dan juga diskriminasi yang diterima Etnis Tionghoa turun- temurun.

Gambar 4.37 Ernest bertekad mencari jodoh orang pribumi (Scene 28) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Berlanjut pada scene 28, dikisahkan Ernest menemukan cara untuk memutus rantai generasi Tionghoa, yakni dengan menikahi pribumi. Diskriminasi yang diterima Etnis Tionghoa disebabkan ciri fisik yang berbeda dengan pribumi.

(31)

66

Universitas Kristen Petra

Ernest berpendapat jika ia menikahi pribumi, keturunannya nanti akan memiliki ciri fisik layaknya pribumi, dan nantinya tak menjadi korban bulliying sepertinya.

Gambar 4.38 Fariz dkk meminta maaf kepada Ernest setelah lulus SMP (Scene 29) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 29 nampak Ernest sedang berada di SMP dalam acara kelulusan. Fariz dkk yang biasanya menjahili Ernest pun meminta maaf kepada Ernest atas kesalahan-kesalahan yang lalu. Narator (Ernest dewasa) mengatakan Fariz dkk meminta maaf agar mereka tidak terkena karma waktu SMA nanti.

Sistem pengetahuan dalam scene ini berkaitan dengan karma, atau yang sering disebut hukuman balasan atas apa yang pernah diperbuat.

Gambar 4.39 Ernest dan Patrick makan bersama di sebuah kafe (Scene 38) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 38 Ernest dan Patrick sedang makan di sebuah kafe. Ernest membicarakan ayah mantan kekasihnya (Fani) yang juga Etnis Tionghoa.

Menurut Ernest, ayah Fani termasuk Etnis Tionghoa yang memiliki paham ultranasionalis. Ayah Fani sangat membanggakan bangsa Cina dan cenderung memandang remeh pribumi. Ayah Fani beranggapan suatu saat nanti bangsa Cina

(32)

67

Universitas Kristen Petra

akan menguasai dunia. Itulah sebabnya mengapa anaknya dan Ernest disarankan mengikuti kursus bahasa Mandarin. Sehingga, sistem pengetahuan dalam scene ini termasuk pemahaman akan ultrasionalisme.

Gambar 4.40 Ernest hendak merefund biaya kursus mandarin yang ia ikuti (Scene 39) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 39 dikisahkan Ernest akan merefund biaya kursus mandarin yang ia ikuti. Ernest mengikuti kursus mandarin karena Fani (mantan pacar Ernest), setelah mereka putus tidak alasan lagi bagi Ernest untuk mengikuti kursus mandarin.Setelah mengatakan keinginannya untuk refund kepada pegawai administrasi, tiba-tiba Ernest melihat seorang perempuan cantik (Meira) yang akan mendaftar kursus mandarin. Seketika itu juga Ernest mengurungkan niatnya untuk merefund biaya kursus.

Sistem pengetahuan dalam scene 39 merupakan pengetahuan akan hak terkait pengembalian uang refund. Hal ini menunjukkan bahwa Etnis Tionghoa memiliki sifat tidak mau rugi dan cenderung efisien.

Gambar 4.41 Patrick dan Ernest sedang mengobrol di kamar (Scene 42) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

(33)

68

Universitas Kristen Petra

Scene 42 Patrick dan Ernest sedang mengobrol di kamar. Ernest menceritakan tentang Meira kepada sahabatnya Patrick. Patrick yang memiliki karakter santai pun menasehati Ernest dengan filosofi andalannya.

Patrick: “Lu tu serius amat sih, ga semua yang kita harapin akan berwujud ga semua yang kita takutin akan terjadi. Lu harus pakai filosofi tokai jalanin hidup. Banyak tokai aja berawal dari keiklhasan lalu mengalir mengambang menikmati arus go with the flows.”

Sistem pengetahuan dalam scene 42 berkaitan dengan filosofi yang menuntun dan jadi patokan dalam hidup.

Gambar 4.42 Ernest dan Meira sedang makan malam bersama (Scene 71) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 71 diceritakan Ernest dan Meira sedang makan malam bersama, ini merupakan kencan pertama mereka. Dalam dialognya Ernest mengatakan bahwa harusnya ia kuliah di universitas yang sama dengan Meira, namun ternyata ia diterima di universitas negeri.

Ernest: “Bokap Nyokap gue bangga banget gue ketrima di negeri karena lebih murah, Cina banget ya.”

Sistem pengetahuan dalam scene 71 merupakan pengetahuan bahwa Etnis Tionghoa suka dengan hal-hal yang murah dan tidak mau rugi.

(34)

69

Universitas Kristen Petra Gambar 4.43 Ernest dan Meira di kampus Meira usai menonton pertunjukan musik (Scene 77)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 77, tampak Ernest dan Meira berada di kampus Meira usai menonton pertunjukan musik. Sebelumnya mereka bertemu orang tua Meira di rumah. Ayah Meira sempat mengintrogasi Ernest. Walau belum resmi pacaran, Ernest menerima perlakuan ayah Meira kepadanya.

Meira: “Gue minta maaf soal bokap gue tadi.”

Ernest: “Gak apa-apa, yang penting kan Bokap lu yang gak anti Cina gitu kan.”

Sistem pengetahuan dalam scene 77 merupakan pengetahuan akan adanya hal atau kelompok yang tidak suka orang Tionghoa. Kelompok ini disebut anti Cina.

Gambar 4.44 Keluarga Meira sedang membicarakan hubungan Meira dan Ernest (Scene 78) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Scene 78 tampak Meira sedang bercengkerama dengan kedua orangtuanya.

Ayah Meira yang pernah ditipu Etnis Tionghoa tak ingin anaknya berpacaran dengan Ernest yang notabene Etnis Tionghoa. Meira yang yakin bahwa Ernest orang baik-baik menolak pendapat ayahnya.

Meira: “Pa, gak bisa gitu dong. Gak bisa dipukul rata kayak gitu. Papa dulu bangkrut gara-gara ditipu ama orang Cina, ya tapi bukan berarti semua orang Cina itu penipu.”

Sistem pengetahuan dalam scene 78 merupakan pengetahuan tentang stereotip negatif yang ditujukan untuk Etnis Tionghoa. Banyak pribumi menganggap Etnis Tionghoa pelit, dan mementingkan keuntungan sebesar- besarnya. Ayah Meira yang pernah ditipu orang Tionghoa, menggeneralisir semua orang Tionghoa penipu, padahal tak semuanya Etnis Tionghoa penipu.

(35)

70

Universitas Kristen Petra Gambar 4.45 Ernest dan teman-temannya memperhatikan karangan bunga pernikahan (Scene 90)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Scene 90 tampak Ernest dan teman-temannya sedang memperhatikan karangan bunga ucapan pernikahan Ernest dan Meira. Ada satu karangan bunga yang berbeda dari yang lain. Karangan bunga dari Toko Beras Ahok mencantumkan nomor telepon tokonya, sekaligus mencantumkan jasa antar beras kepada pelanggan. Sistem pengetahuan dalam scene ini merupakan pengetahuan bahwa orang Tionghoa tidak mau rugi. Bahkan dalam karangan bunga sampai mencamtukan iklan toko.

Gambar 4.46 Audrey mengkomentari dekorasi pernikahan Ernest yang terlalu mencolok (Scene 91)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

(36)

71

Universitas Kristen Petra Gambar 4.47 Suasana pernikahan Ernest dan Meira (Scene 95)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 91 tampak Ernest dan Meira mengamati persiapan pernikahan mereka. Pada scene 91 ini juga tampak Patrick dan adik Ernest yang bernama Audrey. Audrey merasa dekorasi dan tema pernikahan Ernest dan Meira terlalu berlebihan.

Audrey: “Kalau Aku si Ko dari pada harus nikah dengan gaya beginian, mending ditipe-ex dari kartu keluarga.”

Patrick: “Gue juga.”

Ernest: “Apa Lu juga. Lu ga ada di kartu keluarga gua. Ini juga adik murtad satu ini.”

Audrey: “Ya emang begini adanya ya. Warnanya lihat dong merah-merahan.”

Sistem pengetahuan dalam scene 91 merupakan pengetahuan akan silsilah keluarga. Hal ini nampak pada penyebutan “Ko” yang berarti saudara laki-laki.

Selain itu pada scene 91 juga termasuk sistem pengetahuan tentang pemaknaan warna. Pada scene 91 dan 95 nampak dekorasi pernikahan Ernest dan Meira didekorasi warna merah dan emas. Warna merah dan emas menurut orang Tionghoa merupakan warna keberuntungan. Dimana merah melambangkan suka cita, kegembiraan dan warna emas melambangkan kelimpahan dan kemewahan.

(37)

72

Universitas Kristen Petra Gambar 4.48 Teman-teman Ernest mengucapkan selamat kepada Ernest dan Meira (Scene 95)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada gambar 4.48 tampak teman-teman Ernest memberi selamat kepada Ernest dan Meira. Lucunya teman Ernest sempat bercanda saat memberikan selamat kepada Ernest.

Teman Ernest: “Tadi gue makan siomay, nasi goreng, minumnya air putih berapa tu semua.

Ernest: “Gratis goblok.”

Teman Ernest: “Ya biasanya situ bayar mulu.”

Sistem pengetahuan dalam scene ini berkaitan dengan karakteristik Etnis Tionghoa yang memiliki stereotip selalu perhitungan. Stereotip ini berkaitan dengan mata pencaharian Etnis Tionghoa yang mayoritas menjadi pedagang.

Seorang pedagang dikenal mengutamakan mendapatkan keuntungan sebanyak- banyaknya dan selalu perhitungan. Secara tidak langsung Etnis Tionghoa menerapkan prinsip ini tidak hanya di pekerjaannya, tapi juga di kehidupan sosialnya.

Gambar 4.49 Patrick dan Ernest di sebuah kafe (Scene 99) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

(38)

73

Universitas Kristen Petra

Pada scene 99 terlihat Ernest dan Patrick sedang menghabiskan waktu bersama di sebuah kafe. Ernest bercerita kepada Patrick tentang ketakutannya memiliki anak. Ernest takut jika nanti anaknya memiliki wajah mirip dirinya, dan nasibnya tak jauh beda dengan Ernest kecil yang suka dibully. Patrick menasehati Ernest agar tetap berpegang teguh dengan filosofi tokai (go with the flow). Sistem pengetahuan dalam scene ini berkaitan dengan filosofi sebagai pegangan dalam hidup.

Dalam dialog pada scene 99 Patrick juga menanyakan angpao yang diterima Ernest pada pernikahannya

Patrick: “Lo pas marriage angpaonya dapat banyak ga”?

Ernest: “Ya lumayan sih tapi ga sampai balik modal juga, acara kaya gitu mahal tau.”

Biasanya ketika mengadakan pernikahan, pasangan pengantin mendapatkan hadiah berupa uang dari para undangan. Patrick mengkonotasikan uang hadiah ini dengan angpao. Patrick mengira angpao yang didapat Ernest sanggup menutupi biaya pernikahan Ernest, namun Ernest menyanggahnya.

Sistem pengetahuan dalam scene ini berhubungan dengan karakteristik Etnis Tionghoa yang memiliki sifat selalu perhitungan.

Gambar 4.50 Ernest dan keponakannya pada perayaan imlek (Scene 101) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada gambar 4.50 tampak keponakan Ernest yang bernama Ling Ling mengucapkan selamat Imlek kepada Ernest. Imlek identik dengan memberikan angpao kepada anak-anak atau saudara yang belum menikah. Pada dialaog di scene 101 Ling Ling memanggil Ernest dengan sebutan Kyu kyu. Dalam bahasa

(39)

74

Universitas Kristen Petra

Mandarin, Kyu kyu berarti paman. Hal ini merupakan pengetahuan penyebutan akan silsilah keluarga.

Gambar 4.51 Ernest dan ayahnya pada perayaan imlek (Scene 101) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Sementara pada gambar 4.51 tampak Ernest dan ayahnya dalam perayaan Imlek. Di ruangan tampak buah apel dan jeruk. Warna dekorasi dan pakaian yang dipakai keluarga Ernest juga didominasi warna merah. Buah apel dan jeruk memiliki arti yang sama dengan warna merah dan kuning emas , di harapkan yang memakannya selalu bahagia dan berkelimpahan. Begitu juga dengan penggunaan warna merah, merupakan perlambang kebahagiaan.

Gambar 4.52 Ernest dan Meira melihat bayinya untuk pertama kali (Scene 111) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada gambar 4.52 terlihat Meira dan Ernest melihat bayinya untuk pertama kali.

Meira: “Hun, liat anak kita, ih sipit banget.”

Sistem pengetahuan dalam scene ini berkaitan dengan anatomi tubuh manusia. Jika mata sipit, berarti identik dengan Etnis Tionghoa.

(40)

75

Universitas Kristen Petra Gambar 4.53 Keluarga dan teman-teman Ernest berkumpul di depan klinik bersalin (Scene 150)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada gambar 4.53 tampak keluarga dan teman-teman Ernest berkumpul di halaman klinik bersalin. Ayah Ernest membanggakan cucu pertamanya kepada kawan Ernest, dan mengatakan bahwa cucunya mirip dengan Kungkungnya.

Dalam bahasa Mandarin Kungkung berarti kakek. Dalam scene ini termasuk pengetahuan akan silsilah keluarga,

4.2.5 Penggambaran Budaya dari Sisi Religi

Pada film “Ngenest” tidak ditemukan sistem pengetahuan dari sisi religi, baik dari scene saat upacara keagamaan atau saat mendatangi tempat peribadatan.

4.2.6 Penggambaran Budaya dari Sisi Kesenian

Kesenian merupakan ekspresi manusia akan keindahan. Menurut Koentjaraningrat dalam Tedi Sutardi (2009) kesenian dibagi menajdi dua yakni seni rupa (kesenian yang dinikmati oleh mata, seperti seni patung, ukir), dan seni suara (seni yang dinikmati oleh telinga, seperti seni vokal, instrument, sastra)

Gambar 4.54 Momen kelahiran Ernest (Scene 2)

(41)

76

Universitas Kristen Petra Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Scene di awal film memperlihakan kelahiran Ernest yang merupakan Etnis Tionghoa. Backsound instrumen Tionghoa mengiringi akhir scene 2 dan berlanjut ke gambar judul film dan juga penjelasan bahwa film ini diangkat dari buku karya Ernest Prakasa, yang juga seorang Tionghoa.

Gambar 4.55 Persahabatan antara Ernest dan Patrick (Scene 15) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Backsound instrumen Tionghoa juga terdengar pada scene 15. Pada scene ini instrumen terdengar lebih bersemangat dibanding scene 2. Instrumen yang dimainkan merujuk pada persahabatan dua Etnis Tionghoa, Ernest dan Patrick.

Mereka berdua sama-sama dibully saat sekolah dasar, beruntung persahabatan mereka tetap langgeng, mereka pun masuk SMP yang sama.

Gambar 4.56 Seorang anak SMP melawan Bakrie dengan kungfu (Scene 20) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene ini tampak seorang anak SMP yang melawan Bakrie dengan ilmu kungfunya. Dimana kungfu merupakan ilmu bela diri asal China.

(42)

77

Universitas Kristen Petra Gamber 4.57 Ayah Ernest menunjukkan formulir pendaftaran masuk SMA untuk Ernest (Scene

24)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 24 samar-samar terdengar backsound instrumen Tionghoa mengiringi ayah Ernest minum kopi dan menunjukkan formulir pendaftaran SMA.

Instrumen pada scene ini menegaskan bahwa keluarga Ernest merupakan Etnis Tionghoa.

Gambar 4.58 Ernest bahagia memeluk Patrick karena menemukan solusi untuk masalahnya (Scene 27)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Scene 27 tampak Ernest bahagia memeluk Patrick karena menemukan solusi untuk masalahnya. Ernest yang sedari dulu kesal karena sering dibully karena ia Etnis Tionghoa, akhirnya menyadari bahwa jika nanti ia menikah dengan pribumi, belum tentu anaknya berwajah sama dengannya. Rasa bahagia karena menemukan solusi ini diiringi backsound istrumen Tionghoa yang ceria.

(43)

78

Universitas Kristen Petra

Gamber 4.59 Moment Ernest selepas SMP mulai kelulusan hingga persiapan masuk ke perguruan tinggi

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada gambar 4.59 narator (Ernest dewasa) menceritakan kehidupannya selepas SMP. Gambar pertama tampak Fariz dkk meminta maaf kepada Ernest saat kelulusan SMP. Sementara pada gambar selanjutnya Ernest dan Patrick yang telah duduk di bangku SMA, tengah mengobrol di tempat rahasia mereka. Dan pada gambar ketiga Ernest tengah belajar untuk persiapan masuk perguruan tinggi bersama tutornya. Ketiga scene ini menggunakan backsound instrumen Tionghoa.

Pada saat Ernest dan Patric mengobrol bersama juga terdengar lagu mandarin Holosal, lagu ini biasanya terdengar saat pewayangan Tionghoa.

Gamber 4.60 Momen pernikahan Ernest dan Meira Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

(44)

79

Universitas Kristen Petra

Pada gambar 4.60 merupakan momen pernikahan Ernest dan Meira.

Pernikahan mereka menggunakan adat Tionghoa, sehingga mulai dari dekorasi hingga musik pun semuanya identik dengan Tionghoa. Dekorasi pernikahan didominasi dengan warna merah dan emas. Sementara backsound instrumen latar scene juga menggunakan instrumen Tionghoa. Koh Hengky yang menjadi MC pernikahan Ernest-Meira juga menyanyikan lagu Wo Ai Nio, sebuah lagu Mandarin populer yang dipopulerkan penyanyi Teresa Tang

Gambar 4.61 Lampion dan dekorasi pada perayaan Imlek di rumah Ernest (Scene 101) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Gambar 4.62 Keluarga Ernest banyak memakai baju warna merah saat perayaan Imlek (Scene 101)

Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Pada scene 101 tampak keluarga Ernest sedang merayakan Imlek di rumah orangtua Ernest. Beragam tradisi khas Imlek tampak pada scene ini. Mulai dari kue keranjang sebagai menu wajib Imlek, tradisi memberikan angpao, menghias rumah dengan lampion, hingga memakai baju warna merah. Backsound instrumen Tionghoa juga mengiringi scene ini.

Pada gambar 4.61 tampak lampion berwarna merah menjadi dekorasi perayaan Imlek. Fungsi lampion memang tak hanya sekedar sebagai alat penerangan, tapi merupakan bagian dari tradisi perayaan Imlek. Lampion menjadi semacam atribut budaya yang menandai peralihan tahun dalam penanggalan

(45)

80

Universitas Kristen Petra

Tionghoa. Pendar cahaya merah dari lampion memiliki makna filosofis tersendiri. Nyala merah lampion menjadi simbol pengharapan bahwa di tahun yang akan datang diwarnai dengan keberuntungan, rezeki, dan kebahagiaan.

Sedangkan pada gambar 4.62 tampak keluarga Ernest menggunakan pakaian berwarna merah. Warna merah dalam budaya Tionghoa melambangkan suka cita, dan kegembiraan, sehingga warna merah ini banyak dipakai etnis Tionghoa.

Namun berbeda dengan keluarga Ernest lainnya yang memakai baju warna merah, ayah Ernest tampak memakai baju berwarna putih dengan aksen batik. Hal ini menunjukkan adanya akulturasi budaya antara Tionghoa dan Indonesia.

Gambar 4.63 Koh Hengky menyanyi pada momen kelahhiran anak Ernest (Scene 150 ) Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”

Scene 150 merupakan scene terakhir dalam film Ngenest. Kebahagiaan tampak dari wajah Ernest dan keluarga setelah kelahiran anak Ernest dan Meira.

Pada gambar 4.63 Ibu Ernest datang membawa Koh Hengky sebagai kado kelahiran anak Ernest. Koh Hengky pun menyanyikan lagu Wo Ai Nio, lagu yang dibawakannya pada acara pernikahan Ernest dan Meira. Ayah, Ibu Ernest, Patrick dan kekasihnya berdansa diiringi nyanyian Koh Hengky. Sementara Ernest, Meira dan teman-temannya bertepuk tangan, dan scene pun berakhir.

4.3 Analisis dan Intepretasi Data 4.3.1 Analisis Data

Film sebagai salah satu media massa, mempunyai kekuatan dan kemampuan dalam menjangkau banyak segmen sosial. Film dipandang mampu memenuhi permintaan dan selera masyarakat akan hiburan. Film “Ngenest”

terbukti mampu menghibur penontonnya, film ini masuk dalam 10 besar film

(46)

81

Universitas Kristen Petra

terlaris di tahun 2015, dengan jumlah penonton mencapai 800 ribu orang pada tayang perdananya.

Film ini menjadi menarik karena sutradara, penulis skenario, dan pemeran utamanya adalah orang yang sama, Ernest Prakasa. Film “Ngenest” sendiri mengangkat kisah Ernest Prakasa yang dilahirkan dari sebuah keluarga keturunan Tionghoa. Dia besar di masa orde baru dimana diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa begitu kental. Kehidupan Ernest pun menjadi bully-an dengan teman- temannya hingga akhirnya ia mencoba berbaur dengan orang pribumi.

Penggambaran budaya Etnis Tionghoa dalam film “Ngenest” dapat dilihat dalam enam indikator yakni, bahasa, teknologi, sistem mata pencaharian, sistem pengetahuan, sistem religi, dan kesenian.

4.3.1.1 Penggunaan Bahasa Mandarin pada Film “Ngenest”

Bahasa menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia adalah satu sistem tanda bunyi yang secara sukarela dipergunakan oleh anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Sementara menurut Sutardi (2009), bahasa adalah sistem perlambangan manusia, baik lisan maupun tertulis untuk berkomunikasi satu sama lain dan mengidentifikasi diri.

Dalam film “Ngenest” penggambaran budaya Etnis Tionghoa dari sisi bahasa banyak didominasi oleh kata panggilan berbahasa Mandarin, seperti kata Kokoh, Engkoh, Engkong, Cici, Tacik, Kyu Kyu, Encek, hingga Kung Kung.

Selain itu penggunaan istilah Mandarin umum seperti Haochi (baca Haojek), Haopeng, Kangtau, Cengli, Angpao, Cemban, juga ditemukan di film ini.

Penggunaan bahasa Mandarin di film “Ngenest” menunjukkan bahwa Etnis Tionghoa masih berorientasi pada budaya leluhurnya. Menurut Ong Honk Kham (dalam Ning, 1992) secara umum Etnis Tionghoa di Indonesia, membuat lingkungannya sendiri untuk dapat hidup secara eksklusif dengan tetap mempertahankan kebudayaan atau tradisi leluhur. Eksklusivisme Etnis Tionghoa itu disebabkan oleh pemisahan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai kelompok minoritas.

Penggunaan istilah Mandarin dalam film “Ngenest” tidak hanya digunakan antara Etnis Tionghoa saja, orang pribumi pun menggunakan kata panggilan

(47)

82

Universitas Kristen Petra

berbahasa Mandarin ketika bertemu dengan Etnis Tionghoa. Bangsa pribumi menggunakan panggilan khas Tionghoa untuk membangun hubungan yang lebih akrab dengan Etnis Tionghoa.

Sejak dulu hubungan antara Etnis Tionghoa dan pribumi cenderung kurang harmonis. Hal ini dilatarbelakangi sejarah bahwa Etnis Tionghoa merupakan pendatang. Meskipun pendatang, di zaman kolonial Etnis Tionghoa menjadi mitra dagang Belanda dan mendapat perlakuan khusus dari pemerintahan Belanda (Onghokam, 2008). Sementara bangsa pribumi termasuk golongan yang jauh ketinggalan, baik dari segi ekonomi dan sosial. Perbedaan antara Etnis Tionghoa dengan pribumi sering dimanfaatkan oleh pemerintah Belanda untuk mengadu domba (Winarta, 2007).

Hubungan yang kurang harmonis antara Etnis Tionghoa dengan bangsa pribumi berlanjut pada masa Orde Baru. Pemerintah membatasi, menekan dan menghancurkan hak-hak politik Etnis Tionghoa dengan mengeluarkan kebijakan- kebijakan diskriminasi yang sangat mengucilkan Etnis Tionghoa di Indonesia.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya Tionghoa dilarang, mulai dari pelarangan penggunaan huruf-huruf Tionghoa, larangan perayaan Imlek, dan penggantian istilah “Tionghoa” ke “Cina” (Onghokam, 2008, p.16-17).

Batasan-batasan yang dilakukan pemerintah Orde Baru kepada Etnis Tionghoa memunculkan jarak antara etnis Tionghoa dengan pribumi. Contohnya seperti yang tampak di salah satu scene film “Ngenest”, ketika Ernest pertama kali masuk sekolah dasar, Ernest mendapat sambutan yang tidak hangat dari teman- temannya. Seorang temannya yang bernama Fariz, memanggil Ernest dengan sebutan “Cong”. Penggunaan kata cong disini merupakan penggalan dari kata Zhong guo ren (baca: cong kuo ren) yang berarti orang Tionghoa. Fariz menggunakan kata “Cong” dengan intonasi yang kasar untuk melecehkan Ernest sebagai Etnis Tionghoa.

Di sisi lain Etnis Tionghoa juga memiliki istilah tersendiri untuk menyebut pribumi. Di salah satu scene, Ernest bercerita tentang Ayah Fani, seorang Tionghoa yang cenderung memandang sebelah mata kepada pribumi. Ayah Fani menggunakan kata Tiko untuk menyebut bangsa pribumi. Penyebutan Tiko

Gambar

Gambar 4.5 Korban palak Fariz dkk mengenali Ernest  Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”
Gambar 4.7 Sopir angkot menawari Ernest untuk naik angkotnya (Scene 37)  Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”
Gambar 4.10 Ayah Meira bercengkerama dengan istrinya (Scene 78)  Sumber: Olahan peneliti dari DVD “Ngenest”
Gambar 4.11 Teman-teman Ernest melihat karangan bunga ucapan selamat menikah untuk Ernest  dan Meira (Scene 88)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Malang Nomor 29.1.34/UN32lKPl20L5 tanggal 29 Januari zoLs, dosen yang diberitugas tambahan sebagai Kepala Pusat Pengembangan Sumber Belajar (P2SB) Lembaga

Berdasarkan hasil kuisioner (angket) dan wawancara yang telah dilakukan di SMA Negeri 11 Semarang, diungkapkan bahwa dengan adanya kegiatan praktikum di

Perlu kami ingatkan bahwa Perguruan Tinggi yang tidak menyampaikan laporan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi secara berkala dan memasukan data penyelenggaraan pendidikan tinggi

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Pasal 74 UU 8/2010 secara tegas juga menyatakan, “Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal

Jadi dapat disimpulkan bahwa comfort zone atau zona nyaman adalah keadaan di mana seseorang merasa nyaman, terkendali, dan mengalami tingkat kecemasan yang rendah

yang memiliki nilai terendah adalah indikator “Harga jual smartphone Samsung Galaxy sesuai dengan kualitas produknya”. Untuk itu, saran yang diajukan: manajemen smartphone

Dengan menggunakan skala likert yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dalam hal ini telah

tesenyum kepada jemaat. Intonasi suara pada saat Robert memberikan khotbah juga berpengaruh dalam penyampaian pesan nonverbal. Ketika Robert menganggap apa yang