• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kajian Teori

2.1.1 Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Pembelajarannya Ilmu Pengetahuan Alam merupakan terjemahan bahasa Inggris yaitu natural science yang secara singkat sering disebut science. Natural artinya alamiah, berhubungan dengan alam atau bersangkut paut dengan alam, sedangkan science artinya ilmu pengetahuan. Jadi ilmu pengetahuan alam (IPA) atau science secara harfiah dapat disebut sebagai ilmu tentang alam. Ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam ini.

Berikut ini dikemukakan definisi IPA menurut para ahli. Definisi IPA menurut H.W. Fowler (dalam Salirawati, 2008:20) yakni ilmu yang sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas pengamatan dan deduksi.

Nokes dalam Abu Ahmadi (2008:1) menyatakan bahwa IPA adalah pengetahuan teoritis yang diperoleh dengan metode khusus. Menurut Robert B.

Sund (dalam Laksmi Prihantoro, 1986:1.3) ilmu pengetahuan alam adalah sekumpulan pengetahuan dan juga suatu proses. James B Conant dalam Laksmi Prihantoro (1986:1.3) mendefinisikan ilmu pengetahuan alam sebagai suatu rangkaian konsep – konsep yang saling berkaitan dan bagian – bagian konsep yang telah berkembang sebagai hasil eksperimen dan observasi dan bermanfaat untuk eksperimen serta observasi lebih lanjut.

Webster’s: New Lollegiate Dictionary (dalam Iskandar, 1996:2) menyatakan natural science knowledge concerned with the physical world and its phenomena, yang artinya ilmu pengetahuan alam adalah pengetahuan tentang alam dan gejala – gejalanya. Sedangkan di dalam Purnell’s: Concise Dictionary of Science tercantum definisi “Science the broad field of human knowledge, acquired by systematic observation and experiment, and explained by means of rules, laws, principles, theories, and hypotheses‖, artinya ilmu pengetahuan alam adalah pengetahuan manusia yang luas yang didapatkan dengan cara observasi

(2)

dan eksperimen yang sistematik, serta dijelaskan dengan bantuan aturan – aturan, hukum – hukum, prinsip - prinsip, teori – teori, dan hipotesa – hipotesa.

Wahyana dalam Trianto (2013:136) berpendapat bahwa IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas dalam gejala – gejala alam. Adapun Kardi dan Nur dalam Trianto (2013:136) berpendapat bahwa IPA atau ilmu kealaman adalah ilmu tentang dunia zat, baik makhluk hidup maupun benda mati yang diamati. Carin dan Sund (1993) dalam Trianto (2013:153) mendefinisikan IPA sebagai pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum (universal), dan merupakan kumpulan data hasil observasi dan eksperimen.

Trianto (2013:136) menyatakan bahwa IPA adalah suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala – gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah, seperti observasi dan eksperimen, serta menuntut sikap ilmiah, seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur dan sebagainya.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli, penulis menyimpulkan bahwa IPA merupakan ilmu yang mempelajari tentang alam semesta baik makhluk hidup maupun benda mati yang didapatkan dengan cara observasi atau eksperimen sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan.

Menurut Marsetio Donosepoetro (dalam Trianto 2013:137), IPA dipandang sebagai proses, produk, dan prosedur. Sebagai proses diartikan semua kegiatan ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan tentang alam maupun untuk menemukan pengetahuan baru. Sebagai produk diartikan sebagai hasil proses, berupa pengetahuan yang diajarkan dalam sekolah atau di luar sekolah ataupun bahan bacaan untuk penyebaran atau dissiminasi pengetahuan. Sebagai prosedur dimaksudkan adalah metodologi atau cara yang dipakai untuk mengetahui sesuatu (riset pada umumnya) yang lazim disebut metode ilmiah ( scientific method).

Selain sebagai proses dan produk, Daud Joesef (Trianto, 2013:137) pernah menganjurkan agar IPA dijadikan sebagai suatu ―kebudayaan‖ atau suatu kelompok atau institusi sosial dengan tradisi sosial dengan tradisi nilai, aspirasi, maupun inspirasi. Laksmi Prihantoro dkk. (1986) berpendapat bahwa IPA hakikatnya merupakan suatu produk, proses, dan aplikasi. Sebagai produk, IPA

(3)

merupakan sekumpulan pengetahuan dan sekumpulan konsep dan bagan konsep yang merupakan hasil suatu proses tertentu. Sebagai proses, IPA merupakan proses yang dipergunakan untuk mempelajari objek studi, menemukan dan mengembangkan produk – produk IPA. Dalam proses ini digunakan metode ilmiah dan terutama ditekankan pada proses observasi dan eksperimen. Sebagai aplikasi, teori – teori IPA akan melahirkan teknologi yang dapat memberi kemudahan bagi kehidupan. Penerapan IPA juga berguna untuk mengembangkan teori dan teknologi baru.

Trianto (2013:153) menyimpulkan bahwa hakikat IPA meliputi empat unsur utama, yakni:

a. Sikap: rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar.

b. Proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah.

c. Produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum.

d. Aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari- hari.

Fungsi dan tujuan IPA berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi (Depdiknas, 2003:2) secara khusus adalah sebagai berikut:

1) Menanamkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2) Mengembangkan keterampilan, sikap, dan nilai ilmiah.

3) Mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang melek sains dan teknologi.

4) Menguasai konsep sains untuk bekal hidup di masyarakat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Merujuk pada hakikat IPA, maka nilai-nilai IPA yang dapat ditanamkan dalam pembelajaran IPA antara lain sebagai berikut:

a. Kecakapan bekerja dan berpikir secara teratur dan sistematis menurut langkah-langkah metode ilmiah.

b. Keterampilan dan kecakapan dalam mengadakan pengamatan, mempergunakan alat-alat eksperimen untuk memecahkan masalah.

(4)

c. Memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam memecahkan masalah baik dalam kaitannya dengan sains maupun dalam kehidupan. (dalam Trianto 2013:141)

Sebagai alat pendidikan yang berguna untuk mencapai tujuan pendidikan maka pendidikan IPA di sekolah mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu:

a. Memberikan pengetahuan kepada siswa tentang dunia tempat hidup dan bagaimana bersikap.

b. Menanamkan sikap hidup ilmiah.

c. Memberikan keterampilan untuk melakukan pengamatan.

d. Mendidik siswa untuk menangani, mengetahui cara kerja serta menghargai para ilmuwan penemunya.

e. Menggunakan dan menerapkan metode ilmiah dalam memecahkan permasalahan. (dalam Trianto 2013 :142)

Kardi dan Nur (dalam Trianto, 2013:142) menyatakan bahwa hakikat IPA mesti tercermin dalam tujuan pendidikan dan metode mengajar yang digunakan.

Maka pembelajaran IPA pada tingkat pendidikan manapun harus dikembangkan dengan memahami berbagai pandangan tentang makna IPA, yang dalam konteks pandangan hidup dipandang sebagai suatu instrumen untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan sosial manusia.

Hakikat dan tujuan pembelajaran IPA diharapkan dapat memberikan antara lain sebagai berikut:

1. Kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam untuk meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2. Pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang dasar dari prinsip dan konsep, fakta yang ada di alam, hubungan saling ketergantungan, dan hubungan antara sains dan teknologi.

3. Keterampilan dan kemampuan untuk menangani peralatan, memecahkan masalah dan melakukan observasi.

4. Sikap ilmiah, antara lain skeptis, kritis, sensitif, obyektif, jujur, terbuka, benar, dan dapat bekerja sama.

(5)

5. Kebiasaan mengembangkan kemampuan berfikir analitis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip sains untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam.

6. Apresiatif terhadap sains dengan menikmati dan menyadari keindahan keteraturan perilaku alam serta penerapannya dalam teknologi. (Depdiknas 2003, dalam Trianto 2010:143)

Tujuan pendidikan IPA di Sekolah Dasar berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau Kurikulum 2006 adalah agar peserta didik mampu memiliki kemampuan sebagai berikut:

1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya.

2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat.

4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

5. Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.

6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs. (Mulyasa, 2010: 111)

Berdasarkan tujuan pembelajaran IPA di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran IPA adalah agar siswa memiliki sikap ilmiah, menerapkan metode ilmiah untuk memecahkan berbagai permasalahan, serta untuk meningkatkan keimanan dan mewjudkan rasa syukur kepada Tuhan atas keindahan alam yang telah Tuhan berikan.

Perlu dikembangkan suatu model pembelajaran IPA yang melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran untuk menemukan atau menerapkan

(6)

sendiri ide – idenya. Guru hanya memberi tangga yang membantu siswa untuk mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa dapat menaiki tangga tersebut.

2.1.2 Pembelajaran Make a Match

Model pembelajaran make a match diperkenalkan oleh Lorna Curran pada tahun 1994 (dalam Miftahul Huda, 2009:251). Dalam pembelajaran make a match guru lebih berperan sebagai fasilitator dan ruangan kelas juga perlu ditata sedemikian rupa, sehingga menunjang pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pengajaran yang membagi siswa dalam beberapa kelompok dimana siswa bekerja sama antara satu siswa dengan lainnya untuk memecahkan masalah. Suasana belajar cooperative learning menghasilkan prestasi yang lebih tinggi, hubungan yang lebih positif, dan penyesuaian psikologis yang lebih baik daripada suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan memisah-misahkan siswa (Johnson & Johnson, 1989).

Definisi make a match menurut penulis adalah salah satu bentuk pembelajaran kooperatif yang menuntut siswa untuk bekerja sama dan berkomunikasi antar siswa dalam menemukan pasangan atas kartu yang dipegangnya untuk memecahkan masalah. Jika kartu yang didapatkan berupa kartu jawaban, maka siswa harus mencari pasangan berupa kartu soal yang sesuai dengan kartu jawaban. Sedangkan jika mendapatkan kartu soal, maka siswa harus mencari pasangan berupa kartu jawaban yang sesuai. Siswa dituntut untuk berpikir teliti dan cepat.

Dengan adanya model pembelajaran kooperatif tipe mencari pasangan (make a match) maka siswa lebih aktif untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Disamping itu make a match juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya dan mengeluarkan pendapat serta berinteraksi dengan siswa yang menjadikan aktif dalam kelas. Hal-hal yang perlu dipersiapkan jika pembelajaran dikembangkan dengan make a match adalah (Miftahul Huda, 2013:251-252) :

a. Membuat beberapa pertanyaan yang sesuai dengan materi yang dipelajari kemudian menuliskannya dalam kartu – kartu pertanyaan.

(7)

b. Membuat kunci jawaban dari pertanyaan – pertanyaan yang telah dibuat dan menuliskannya dalam kartu – kartu jawaban.

c. Membuat aturan yang berisi penghargaan bagi siswa yang berhasil dan sanksi bagi siswa yang gagal (disini guru dapat membuat aturan ini bersama – sama dengan siswa).

d. Menyediakan lembaran untuk mencatat pasangan – pasangan yang berhasil sekaligus untuk penskoran presentasi.

Tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran menggunakan kartu berpasangan ada 3 yaitu: (1) pendalaman materi, (2) penggalian materi, dan (3) untuk selingan. Pengembangan model kartu berpasangan pada mulanya untuk pendalaman materi. Siswa melatih penguasaan materi dengan cara memasangkan antara pertanyaan dengan jawaban. Tapi sebelumnya guru terlebih dahulu membekali siswa dengan materi yang akan dilatihkan.

Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran

Ada beberapa keunggulan dari model pembelajaran make a match seperti yang dikemukakan oleh Anita Lie (2002:54) bahwa :‖Salah satu keunggulan make a match adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan dan dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia‖. Sedangkan beberapa keunggulan make a match menurut Miftahul Huda (2013:253) yaitu :

1) Dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun fisik.

2) Karena ada unsur permainan, metode ini menyenangkan.

3) Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.

4) Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi.

5) Efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar.

(8)

Selain memiliki keunggulan, Miftahul Huda (2013:253) juga mengungkapkan bahwa model pembelajaran make a match juga memiliki beberapa kelemahan yaitu:

a. Jika tidak dipersiapkan dengan baik, akan banyak waktu yang terbuang.

b. Banyak siswa yang akan malu berpasangan dengan lawan jenisnya.

c. Jika guru tidak mengarahkan siswa dengan baik, akan banyak siswa yang kurang memperhatikan pada saat presentasi pasangan.

d. Guru harus hati – hati dan bijaksana saat memberi hukuman pada siswa yang tidak mendapat pasangan, karena mereka bisa malu.

e. Jika model pembelajaran make a match digunakan terus menerus akan menimbulkan kebosanan.

Sintak pembelajaran make a match menurut Miftahul Huda (2013 : 252) dapat dilihat pada langkah – langkah kegiatan pembelajaran berikut ini:

1) Guru menyampaikan materi atau memberi tugas pada siswa untuk mempelajari materi di rumah.

2) Siswa dibagi kedalam 2 kelompok, misalnya kelompok A dan kelompok B.

Kedua kelompok diminta untuk berhadap – hadapan.

3) Guru membagikan kartu pertanyaan kepada kelompok A dan kartu jawaban kepada kelompok B.

4) Guru menyampaikan kepada siswa bahwa mereka harus mencari / mencocokkan kartu yang dipegang dengan kartu kelompok lain. Guru juga perlu menyampaikan batasan maksimum waktu yang ia berikan kepada mereka.

5) Guru meminta semua anggota kelompok A untuk mencari pasangannya di kelompok B. Jika mereka sudah menemukan pasangannya masing – masing, guru meminta mereka melaporkan diri kepadanya. Guru mencatat mereka pada kertas yang sudah dipersiapkan.

6) Jika waktu sudah habis, mereka harus diberitahu bahwa waktu sudah habis.

Siswa yang belum menemukan pasangan diminta untuk berkumpul tersendiri.

(9)

7) Guru memanggil satu pasangan untuk presentasi. Pasangan lain dan siswa yang tidak mendapat pasangan memperhatikan dan memberikan tanggapan apakah pasangan itu cocok atau tidak.

8) Guru memberikan konfirmasi tentang kebenaran dan kecocokan pertanyaan dari jawaban dari pasangan yang memberikan presentasi.

9) Guru memanggil pasangan berikutnya, begitu seterusnya sampai seluruh pasangan melakukan presentasi.

Anita Lie (2002:54) berpendapat bahwa langkah – langkah pembelajaran make a match adalah:

1. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang mungkin cocok untuk sesi review.

2. Setiap siswa mendapat satu buah kartu.

3. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya.

4. Siswa bisa juga bergabung dengan dua atau tiga siswa lain yang memegang kartu yang cocok.

Agus Suprijono (2009:94) menyatakan bahwa langkah – langkah pembelajaran make a match adalah:

1. Guru membagi komunitas kelas menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama merupakan kelompok pembawa kartu berisi pertanyaan. Kelompok ke dua adalah kelompok pembawa kartu berisi jawaban. Kelompok ke tiga adalah kelompok penilai.

2. Aturlah posisi kelompok – kelompok tersebut berbentuk huruf U. Upayakan kelompok pertama dan kelompok ke dua berjajar saling berhadapan.

3. Jika masing – masing kelompok sudah berada di posisi yang telah ditentukan, maka guru membunyikan peluit sebagai tanda agar kelompok pertama maupun kelompok ke dua saling bergerak untuk mencari pasangan pertanyaan jawaban yang cocok.

(10)

4. Pasangan – pasangan yang sudah terbentuk wajib menunjukkan pertanyaan – jawaban kepada kelompok penilai.

5. Kelompok penilai kemudian membaca apakah pasangan pertanyaan jawaban itu cocok.

6. Setelah penilaian dilakukan, aturlah sedemikian rupa kelompok pertama dan kelompok ke dua bersatu kemudian memposisikan dirinya menjadi kelompok penilai. Sementara kelompok penilai pada sesi pertama tersebut di atas dipecah menjadi dua, sebagian memegang kartu pertanyaan, sebagian lagi memegang kartu jawaban.

7. Permainan diulang sampai semua siswa pernah memposisikan dirinya menjadi kelompok pertama, ke dua, maupun kelompok penilai.

Berdasarkan langkah – langkah pembelajaran make a match yang telah dikemukakan oleh para ahli, maka penulis dapat menyimpulkan langkah – langkah pembelajaran make a match dalam kegiatan pembelajaran IPA di kelas yang disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 2.1

Sintak Pembelajaran Make a Match Langkah –

langkah Keterangan Perilaku Guru Perilaku Siswa Kegiatan Awal Melakukan

kegiatan apersepsi dan menyampai- kan tujuan pembelajaran.

1. Melakukan kegiatan apersepsi dengan tanya jawab untuk menuju materi yang akan disampaikan.

2. Menyampaikan tujuan

pembelajaran yang akan dicapai.

1. Memperhatikan dan menanggapi apersepsi yang dilakukan guru dengan

melakukan tanya jawab.

2. Menyimak tujuan

pembelajaran yang

disampaikan oleh guru.

Kegiatan Inti 1. Menyajikan

informasi

Guru menyampai- kan materi dilengkapi dengan alat

1. Menyampaikan materi kepada siswa

2. Melakukan tanya jawab

1. Memperhatikan penjelasan dari guru.

2. Mengajukan pertanyaan yang

(11)

peraga dan melakukan tanya jawab dengan siswa.

dengan siswa tentang materi yang

disampaikan.

berhubungan dengan materi.

3. Menjawab

pertanyaan yang diajukan oleh guru.

2.Mengorganisir peserta didik ke dalam tim – tim belajar

Guru membagi kelompok belajar secara heterogen.

1. Mengelompokkan siswa ke dalam 2 kelompok, yakni kelompok A dan kelompok B.

2. Membagi kartu pertanyaan kepada kelompok A dan kartu jawaban kepada kelompok B

1. Baris menurut kelompok masing – masing dan berhadap-hadapan dengan kelompok lain.

2. Masing-masing siswa menerima satu kartu.

3. Permainan make a match

Guru

memberikan instruksi agar kelompok yang

mendapatkan kartu soal mencari pasangan berupa kartu jawaban, dan yang

mendapatkan kartu jawaban mencari pasangan berupa kartu soal yang sesuai.

1. Meminta semua anggota kelompok A untuk mencari pasangannya di kelompok B dengan waktu yang sudah ditetapkan.

2. Mengawasi

aktivitas siswa dan memberikan bantuan pada siswa selama melakukan permainan.

1. Mencari kartu pasangan

berdasarkan waktu

yang telah

ditentukan.

4. Presentasi Pasangan yang

dipanggil urut berdasarkan nomor kartu soal yang diterima.

Memanggil masing – masing pasangan untuk melakukan presentasi.

Membacakan kartu soal dan kartu

jawaban dari

pasangannya masing - masing.

(12)

5.Mengevalua- si

Mengoreksi apakah masing – masing pasangan sudah benar dan sesuai atau belum.

1.Memberikan kesempatan pada siswa untuk memberikan tanggapan mengenai kecocokan kartu pasangan siswa yang sedang melakukan presentasi.

2. Memberikan konfirmasi tentang kebenaran dan kecocokan pertanyaan dan jawaban dari pasangan yang melakukan presentasi.

1. Memberikan tanggapan tentang kecocokan kartu dari pasangan yang sedang melakukan presentasi.

2. Memperhatikan konfirmasi yang diberikan oleh guru.

Kegiatan Akhir 1. Membuat

kesinpulan

Menarik kesimpulan dari materi yang baru saja dipelajari.

Membimbing siswa untuk membuat kesimpulan.

Membuat kesimpulan bersama guru.

2.. Refleksi Refleksi berupa penanaman nilai moral.

Menanamkan nilai moral pada siswa.

Membalik kartu ke tiga kemudian membacakan pesan moral yang terdapat dalam kartu.

2.1.3 Keaktifan Belajar

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:24-25) aktif adalah giat bekerja dan berusaha, sedangkan keaktifan adalah suatu keadaan atau hal dimana siswa dapat aktif. Glasgow (dalam Jamal Ma’mur Asmani, 2011:66) berpendapat bahwa siswa aktif adalah siswa yang bekerja keras untuk mengambil tanggung jawab lebih besar dalam proses belajarnya sendiri.

(13)

Menurut Mayer yang juga didukung oleh Kirschner, Sweller, dan Clarck, (Jamal Ma’mur Asmani, 2011:68) siswa aktif tidak hanya hadir di kelas, menghafalkan, dan akhirnya mengerjakan soal-soal di akhir pelajaran. Siswa harus terlibat aktif, baik secara fisik maupun mental. Siswa semestinya juga aktif melakukan praktik dalam proses pembelajaran.

Keaktifan merupakan salah satu prinsip belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2009:42). Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak aktif mengalami sendiri. John Dewey mengemukakan bahwa belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari siswa sendiri. Guru sekedar pembimbing dan pengarah.

Dari beberapa pendapat mengenai pengertian keaktifan belajar di atas, penulis menyimpulkan bahwa keaktifan belajar adalah suatu kegiatan yang bersifat fisik maupun mental dalam suatu proses pembelajaran yang meliputi aktif menjawab pertanyaan guru, aktif mengajukan pertanyaan pada guru, aktif memperhatikan penjelasan dari guru dan mencatat hal – hal yang penting dari penjelasan guru, serta aktif mengikuti pembelajaran sesuai dengan langkah – langkah model pembelajaran yang diterapkan oleh guru.

Menurut teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang sangat aktif, jiwa mengolah informasi yang diterima, tidak sekedar menyimpannya saja tanpa mengadakan transformasi. Menurut teori ini, anak memiliki sifat akif, konstruktif, dan mampu merencanakan sesuatu. Anak mampu untuk mencari, menemukan, dan menggunakan pengetahuan yang telah diperolehnya.

Thorndike mengemukakan keaktifan siswa dalam belajar dengan hukum

“law of exercise” yang menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latihan – latihan. Mc Keachie berkenaan dengan prinsip keaktifan mengemukakan bahwa individu merupakan ―manusia belajar yang aktif selalu ingin tahu, sosial‖ (dalam Dimyati dan Mudjiono, 2009:45).

Untuk dapat memproses dan mengolah perolehan belajarnya secara efektif, siswa dituntut aktif secara fisik, intelektual, dan emosional. Implikasi prinsip keaktifan bagi siswa berwujud perilaku – perilaku seperti mencari sumber

(14)

informasi yang dibutuhkan menganalisis hasil percobaan, ingin tahu hasil dari suatu reaksi kimia, membuat karya tulis, membuat kliping, dan perilaku sejenis lainnya. Implikasi prinsip keaktifan bagi siswa lebih lanjut menuntut keterlibatan langsung siswa dalam proses pembelajaran.

Para guru memberikan kesempatan belajar kepada siswa, memberikan peluang dilaksanakannya implikasi prinsip keaktifan bagi guru secara optimal.

Peran guru mengorganisasikan kesempatan belajar bagi masing-masing siswa berarti mengubah peran guru dari bersifat didaktis menjadi lebih bersifat mengindividualis, yaitu menjamin bahwa setiap siswa memperoleh pengetahuan dan ketrampilan di dalam kondisi yang ada (Sten, 1988:224) dalam Dimyati dan Mudjiono (2009:62). Hal ini berarti pula bahwa kesempatan yang diberikan oleh guru akan menuntut siswa selalu aktif mencari, memperoleh, dan mengolah perolehan belajarnya. Untuk dapat menimbulkan keaktifan belajar pada diri siswa, maka guru diantaranya dapat melaksanakan perilaku-perilaku berikut (Dimyati dan Mudjiono, 2009:63):

1) menggunakan multimetode dan multimedia,

2) memberikan tugas secara individual dan kelompok,

3) memberikan kesempatan kepada siswa melaksanakan eksperimen dalam kelompok kecil (beranggota tidak lebih dari 3 orang),

4) memberikan tugas untuk membaca bahan belajar, mencatat hal-hal yang kurang jelas,

5) mengadakan tanya jawab dan diskusi.

Bentuk – bentuk keaktifan belajar menurut Dimyati dan Mudjiono (2009 : 45) :

a. Kegiatan fisik yang mudah diamati, misalnya membaca, mendengar, menulis, berlatih ketrampilan – ketrampilan, dan lain – lain.

b. Kegiatan psikis yang susah diamati, misalnya menggunakan khasanah pengetahuan yang dimiliki dalam memecahkan masalah yang dihadapi, membandingkan satu konsep dengan yang lain, menyimpulkan hasil percobaan, dan lain sebagainya.

(15)

Indikator keaktifan belajar siswa (Nana Sudjana, 1989:21) dapat dilihat dari:

a. Keinginan, keberanian, menampilkan minat, kebutuhan, dan permasalahannya.

b. Keinginan dan keberanian serta kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan persiapan, proses, dan kelanjutan belajar.

c. Penampilan berbagai usaha atau kekreatifan belajar dalam menjalani dan menyelesaikan kegiatan belajar mengajar sampai mencapai keberhasilannya.

d. Kebebasan atau keleluasaan melakukan hal tersebut di atas tanpa tekanan guru atau pihak lainnya (kemandirian belajar).

Menurut Nana Sudjana (1990:61) keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal : 1. Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya.

2. Terlibat dalam pemecahan masalah.

3. Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya.

4. Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.

5. Melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru.

6. Menilai kemampuan dirinya dan hasil – hasil yang diperolehnya.

7. Melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis.

8. Kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang telah diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapinya.

Keaktifan belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi keaktifan belajar siswa menurut Nana Sudjana (1989:27-29) adalah sebagai berikut:

1. Stimulus belajar

Peran yang diterima siswa dari guru biasanya dalam bentuk stimulus.

Stimulus tersebut dapat berbentuk verbal atau bahasa, visual, auditif atau suara.

2. Perhatian dan motivasi

(16)

Perhatian dan motivasi merupakan prasyarat utama dalam proses belajar mengajar. Tanpa adanya perhatian dan motivasi, hasil belajar yang dicapai tidak akan maksimal.

3. Respon yang dipelajari

Belajar adalah proses yang aktif, sehingga apabila tidak dilibatkan dalam berbagai kegiatan belajar sebagai respon terhadap stimulus yang diterima, tidak mungkin dapat mencapai hasil belajar yang dikehendaki.

4. Penguatan

Setiap tingkah laku yang diikuti oleh kepuasan terhadap kebutuhan, maka akan mempunyai kecenderungan untuk diulang kembali.

5. Pemakaian dan pemindahan

Pikiran manusia mempunyai kesanggupan menyimpan informasi yang tidak terbatas jumlahnya. Dalam hal ini penyimpanan informasi yang tak terbatas ini penting sekali pengaturan dan penempatan informasi, sehingga dapat digunakan kembali apabila diperlukan.

Keaktifan belajar siswa dapat diukur dengan menggunakan lembar observasi.

Observer mengamati keaktifan siswa selama pelaksanaan tindakan dari awal sampai akhir dengan mengisi skor antar 1-4 pada lembar observasi keaktifan siswa yang telah diesdiakan oleh peneliti. Setelah observer selesai mengamati keaktifan siswa, observer melakukan penjumlahan terhadap skor keaktifan masing-masing siswa dari semua indikator yang telah ditetapkan oleh peneliti kemudian menentukan apakah jumlah skor yang didapat oleh masing-masing siswa termasuk kategori keaktifan rendah, sedang, atau tinggi.

2.1.4 Hasil Belajar

Reigeluth sebagaimana dikutip Keller (Hamzah B. Uno, 2008:137) menyebutkan bahwa hasil belajar adalah semua efek yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan suatu metode di bawah kondisi yang berbeda. Efek ini bisa berupa efek yang sengaja dirancang, karena itu ia merupakan efek yang diinginkan dan bisa juga berupa efek nyata sebagai hasil penggunaan metode pengajaran tertentu.

(17)

Menurut Nana Sudjana (1990:22) hasil belajar adalah kemampuan – kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.

Agus Suprijono (2009:5) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah pola – pola perbuatan, nilai – nilai, pengertian – pengertian, sikap – sikap, apresiasi, dan ketrampilan.

Hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar (Anni et al. 2005). Perolehan aspek-aspek perubahan perilaku tersebut tergantung pada pada yang di pelajari oleh pembelajar. Hasil belajar yang dicapai oleh siswa di sekolah merupakan tujuan dari kegiatan belajarnya.

Purwanto (2013: 44) mengemukakan bahwa hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang membentuknya, yaitu ―hasil‖ dan ―belajar‖.

Pengertian hasil (product) menunjuk pada suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatkan berubahnya input secara fungsional. Winkel dalam Purwanto (2013:45) mendefinisikan hasil belajar sebagai perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Aspek perubahan itu mengacu kepada taksonomi Bloom (aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik).

Purwanto (2013:46) mendefinisikan bahwa hasil belajar merupakan pencapaian tujuan pendidikan pada siswa yang mengikuti proses belajar mengajar.

Tujuan pendidikan bersifat ideal, sedangkan hasil belajar bersifat aktual. Hasil belajar merupakan realisasi tercapainya tujuan pendidikan, sehingga hasil belajar yang diukur sangat tergantung kepada tujuan pendidikannya.

Menurut Patta Bundu (2006: 17), hasil belajar adalah tingkat penguasaan yang dicapai siswa dalam mengikuti program belajar mengajar. sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Aspek kognitif berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki siswa, aspek afektif berkaitan dengan penguasaan nilai-nilai atau sikap yang dimiliki siswa sebagai hasil belajar, sedangkan aspek psikomotorik yaitu berkaitan dengan keterampilan-keterampilan motorik yang dimiliki oleh siswa.

(18)

Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:251) hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi :

1. Dari sisi siwa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat pra belajar.

2. Dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran.

Dari beberapa pendapat di atas maka penulis menyimpulkan bahwa hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku yang meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang merupakan hasil dari aktivitas belajar

Menurut Gagne dalam Agus Suprijono (2009:5), hasil belajar berupa:

a. Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan merespon secara spesifik terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut tidak memerlukan manipulasi simbol, pemecahan masalah, maupun penerapan aturan.

b. Ketrampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang. Ketrampilan intelektual terdiri dari kemampuan mengategorisasi, kemampuan analitis-sintesis, fakta-konsep, dan mengembangkan prinsip – prinsip keilmuan. Ketrampilan intelektual merupakan kemampuan melakukan aktivitas kognitif bersifat khas.

c. Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.

d. Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.

e. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa menginternalisasi dan eksternalisasi nilai – nilai. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai – nilai sebagai standar perilaku.

(19)

Menurut Nana Sudjana (2004:39) menyatakan bahwa hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni:

1. Faktor dari dalam diri siswa itu, seperti kemampuan, motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis.

2. Faktor yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan.

Lingkungan belajar yang paling dominan mempengaruhi hasil belajar di sekolah ialah kualitas pengajaran.

Caroll dalam Nana Sudjana (2004:40) berpendapat bahwa hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh lima faktor, yakni:

a. Bakat pelajar

b. Waktu yang tersedia untuk belajar.

c. Waktu yang diperlukan siswa untuk menjelaskan pelajaran.

d. Kualitas pengajaran.

e. Kemampuan individu.

Hasil belajar dalam penelitian ini diukur dengan memberikan soal tes kepada siswa. Tes digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar siswa. Bentuk tes yang dipakai untuk mengukur hasil belajar siswa adalah bentuk soal pilihan ganda dengan empat pilihan jawaban pada setiap nomornya. Tes diberikan sebelum tindakan, setelah tindakan siklus I, dan setelah tindakan siklus II.

2.1.5 Hubungan Pembelajaran Make a Match terhadap Keaktifan Belajar dan Hasil Belajar IPA

Pembelajaran make a match mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan ketrampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajarannnya. Pada penerapan pembelajaran make a match diperoleh beberapa temuan bahwa make a match dapat memupuk kerja sama siswa dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang ada di tangan mereka, proses pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa

(20)

tampak sekali pada saat siswa mencari pasangan kartunya masing – masing.

Pembelajaran make a match, menugaskan siswa untuk menemukan pasangan dari kartu yang didapatkannya. Hal ini menimbulkan rasa ingin tahu siswa tentang penyelesaian dari permasalahan dalam kartunya sehingga dapat segera mencocokkan kartu yang dimilikinya. Adanya rasa ingin tahu merupakan daya untuk meningkatkan keaktifan belajar siswa sehingga mampu berbagi pengetahuan belajar dengan yang lain.

Penerapan model make a match dapat membangkitkan keingintahuan dan kerjasama di antara siswa serta mampu menciptakan kondisi yang menyenangkan sehingga keaktifan dan hasil belajar siswa khususnya pada mata pelajaran IPA juga meningkat.

2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Noviana Irianti (2012), dalam skripsi yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Make a Match (Mencari Pasangan) untuk Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V Semester 2 SD N 05 Mulyoharjo Jepara”. Hasil penelitiannya adalah terjadi peningkatan keaktifan dan hasil belajar Matematika. Peningkatan hasil belajar siswa tampak pada kondisi awal dengan skor rata – rata nilai siswa 57,5, siklus I dengan rata – rata nilai 66,2, dan siklus II dengan rata—rata nilai 78,5. Peningkatan hasil belajar pada kondisi awal ke siklus I sebesar 61,5% dan dari siklus I ke siklus II 88,5%. Keaktifan siswa juga mengalami peningkatan, terlihat pada persentase rata – rata keaktifan pada kondisi awal sebesar 55,49% , siklus I dengan rata – rata 73,07%, dan siklus II dengan rata – rata 86,26%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan pembelajaran make a match dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa.

Suratman (2012), dalam skripsi yang berjudul ―Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPA melalui Pendekatan Make a Match pada Siswa Kelas V SDN Timbang 01 Semester II Tahun Ajaran 2011/2012”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penerapan model make a match dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas V. Terbukti pada hasil belajar siklus I persentase ketuntasan hasil belajar siswa 70,59% dengan 12 siswa yang mengalami tuntas belajar dan 5

(21)

siswa atau 29,41% siswa yang belum tuntas. Pada siklus II ketuntasan hasil belajar siswa meningkat menjadi 100% atau 17 siswa sudah tuntas.

Berdasarkan hasil – hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pembelajaran make a match dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa.

Dengan demikian penelitian tersebut mendukung penelitian ini. Pada penelitian ini menekankan penerapan pembelajaran make a match untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar IPA.

2.3 Kerangka Berpikir

Kegiatan belajar mengajar di SD N Kebondowo 01 lebih berpusat pada guru, siswa cenderung pasif. Siswa merasa bosan sehingga respon siswa selama pembelajaran ada yang hanya diam saja, bermain sendiri, mengobrol dengan teman, dan mengantuk. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam akan berjalan dengan baik, apabila guru dapat menerapkan pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif, salah satunya dengan pembelajaran make a match. Dalam pembelajaran make a match guru berperan sebagai fasilitator. Guru berusaha agar semua siswa berpartisipasi dalam pembelajaran dan melakukan eksplorasi pengetahuan dan pengalaman baru agar tujuan tercapai secara optimal. Siswa merupakan subjek yang mencari dan menemukan sendiri jawaban dari masalah yang dihadapi tanpa adanya tekanan dan takut salah. Disamping itu, dengan menerapkan pembelajaran make a match akan meningkatkan pemahaman siswa karena siswa memperoleh banyak pengalaman dengan berdiskusi bersama temannya dengan suasana yang menyenangkan.

2.4 Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kerangka pikir yang telah dikemukakan, maka hipotesis tindakan sebagai jawaban sementara dalam penelitian ini adalah:

1. Pembelajaran IPA dengan menerapkan pembelajaran make a match dapat meningkatkan keaktifan belajar IPA pada siswa kelas V SD Negeri Kebondowo 01 Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang semester II tahun pelajaran 2013/2014.

(22)

2. Pembelajaran IPA dengan menerapkan pembelajaran make a match dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas V SD Negeri Kebondowo 01 Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang semester II tahun pelajaran 2013/2014.

3. Penerapan beberapa tahapan pembelajaran make a match dapat meningkatkan keaktifan belajar IPA pada siswa kelas V SD Negeri Kebondowo 01 Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang semester II tahun pelajaran 2013/2014.

4. Penerapan beberapa tahapan pembelajaran make a match dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas V SD Negeri Kebondowo 01 Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang semester II tahun pelajaran 2013/2014.

Referensi

Dokumen terkait

1) Guru menyampaikan materi dengan mengajukan beberapa pertanyaan, misalnya mengajukan pertanyaan tentang contoh konkrit dari segiempat, sementara siswa memperhatikan penjelasan

a. Guru menerangkan mengenai topik pembahasan. Pada tahap ini di gunakan untuk penyajian materi oleh guru. Sebelum menyajikan materi pelajaran guru dapat menjelaskan

Pada saat pembelajaran guru diharuskan melakukan berbagau inovasi agar pada saat pembelajaran berlangsung dapat menyampaikan materi secara menarik hal tersebut

1) Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai. Di langkah ini guru diharapkan untuk menyampaikan apakah yang menjadi Kompetensi Dasar mata pelajaran yang

a) Memudahkan dalam penyampaian materi. Seorang pendidik akan memerlukan media untuk menyampaikan materi yang akan diajarkan. Salah satu media yang tepat untuk digunakan

Guru dalam menyampaikan pembelajaran sepakbola ke siswa dengan materi yang mudah dipelajari dan meningkat secara progresif menuju materi yang lebih sulit. Guru harus cermat

Guru memulai dengan menyampaikan indikator yang harus dicapai hari itu dan memotivasi rasa ingin tahu siswa tentang materi yang akan dipelajari, dalam penelitian

Guru menyampaikan materi pelajaran dengan terlebih dahulu menjelaskan tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pertemuan tersebut serta pentingnya pokok bahasan tersebut