30 BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan
Harta bersama merupakan harta di luar hadiah dan warisan, sehingga harta bersama adalah harta yang diperoleh dari usaha suami istri sendiri- sendiri atau bersama selama dalam ikatan perkawinan dengan tidak mempersoalkan terdaftar atasnama siapa. Di dalam harta bersama terdapat kepemilikan bersama dimana terdapat lebih dari satu orang yang memiliki hak milik atas benda yang sama sehingga yang disebut dengan harta bersama adalah harta milik suami dan istri secara bersama-sama yang terbentuk karena adanya suatu perkawinan yang dibawa oleh suami maupun istri untuk masuk ke dalam perkawinan dan diperoleh sepanjang perkawinan (Satrio, 1991, hal. 53). Hal ini tertuang dalam Pasal 35 ayat (1) UUP.
Harta pribadi merupakan harta yang telah dimiliki suami maupun istri sebelum terjadinya perkawinan. Harta pribadi tidak mengenal penggabungan harta dalam perkawinan, akan tetapi tetap terjadi pemisahan harta sehingga secara otomatis tidak ada hak kepemilikan secara kolektif suami dan istri. Harta pribadi bisa juga dimasukkan ke dalam harta bersama apabila suami istri tersebut memperjanjikan lain khususnya di dalam perjanjian perkawinan. Suami istri diberi kebebasan untuk menentukan lain mengenai harta bawaan masing-masing karena tidak ada aturan hukum yang memaksa, oleh karena itu tidak ada larangan bagi suami maupun istri untuk membuat perjanjian perkawinan yang di dalamnya menyatakan bahwa harta warisan maupun hibah yang diperoleh suami dan istri akan masuk ke dalam harta bersama.
Pada dasarnya, harta bersama dapat terbuka apabila perkawinan sudah terputus. Pembagian harta bersama baru bisa dilaksanakan apabila terjadi perceraian maupun kematian (Ramulyo, 1995, hal. 35). Apabila dalam perkawinan dibuat perjanjian perkawinan yang memperjanjikan sesuatu khususnya dalam hal ini mengenai pembagian harta bersama maka
penyelesaiannya dilaksanakan berdasarkan apa yang telah diperjanjikan di dalam perjanjian perkawinan tersebut, akan tetapi apabila dalam perkawinan tidak dibuat perjanjian perkawinan maka penyelesaian mengenai pembagian harta bersama dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang telah ada.
Setiap pihak diberi kebebasan untuk membuat perjanjian perkawinan atau tidak membuat. Apabila tidak dibuat perjanjian perkawinan antara suami dengan istri, maka mengenai kedudukan harta dalam perkawinan pada umumnya dianggap terjadi percampuran harta antara suami dengan istri, baik harta bawaan masing-masing pihak sebelum terjadinya perkawinan maupun harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
1. Syarat dan Prosedur Pengajuan Permohonan Izin Poligami a. Syarat Pengajuan Permohonan Izin Poligami
Syarat yang perlu diperhatikan untuk mengajukan izin poligami yaitu :
1) Surat permohonan kepada Pengadilan Agama yang dibuat oleh Pemohon. Surat permohonan dibuat dalam bentuk tertulis, diajukan ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal pemohon, dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama setempat. Beberapa Pengadilan Agama telah memberi contoh surat permohonan sehingga pemohon hanya tinggal mengganti berdasarkan identitas para pihak, alasan atau dalil permohonan pemohon, rincian harta kekayaan, jumlah penghasilan pemohon, serta petitum atau hal-hal yang dimohonkan putusannya.
2) Sebagian Pengadilan Agama juga mensyaratkan harus adanya surat pengantar dari RT, RW, dan Kelurahan tempat kediaman pemohon.
3) Surat keterangan tentang keadaan istri yang dapat dijadikan alasan untuk melakukan poligami. Contohnya apabila istri tidak dapat melahirkan keturunan atau
mengidap penyakit maka dibuktikan dengan surat pemeriksaan medis.
4) Surat persetujuan dari istri atau surat pernyataan kesediaan istri untuk dimadu baik tertulis maupun diucapkan secara lisan dihadapan sidang pengadilan. Surat persetujuan dibuat dengan format sendiri dan ditandatangani oleh istri, bermaterai 6000.
5) Surat pernyataan kesediaan calon istri menjadi istri kedua yang dibuat dan ditandatangani sendiri oleh calon istri kedua dan bermaterai 6000.
6) Surat pernyataan dapat berlaku adil (surat perjanjian) dari suami selaku pemohon terhadap istri dan anaknya. Surat ini dibuat oleh suami dan ditandatanganinya serta bermaterai 6000, akan tetapi adapula yang menyatakan bahwa surat ini nantinya dibuat kembali dihadapan majelis hakim dalam proses persidangan.
7) Fotokopi surat nikah suami dengan istri yang terdahulu, bermaterai 6000, dan dileges atau dicap atau dilegalisir di Kantor Pos.
8) Fotokopi KTP pemohon, istri pertama, dan calon istri kedua yang bermaterai 6000 dan dileges atau dilegalisir di Kantor Pos.
9) Daftar harta gono-gini (harta bersama) dengan istri terdahulu yang dibuat sendiri oleh pemohon kemudian diketahui Kelurahan dan ditandatangani oleh Kepala Desa.
Selain itu bisa juga terlebih dahulu menghadap notaris meminta untuk dibuatkan akta pemisahan harta bersama, kemudian difotokopi dan dilampirkan sebagai kedukan harta bersama dalam pengajuan permohonan.
10) Fotokopi surat keterangan dari calon istri apabila janda cerai dan janda mati yang dibuktikan dengan surat
kematian suami terdahulu, bermaterai 6000, lalu dileges atau dicap atau dilegalisir di Kantor Pos.
11) Fotokopi surat izin dari atasan apabila pemohon seorang pegawai negeri sipil atau TNI dan POLRI, diberi materai 6000 dan dileges atau dilegalisir di Kantor Pos.
12) Asli surat keterangan penghasilan suami apabila bekerja sebagai pegawai serta melampirkan fotokopi daftar gaji bulan terakhir yang dilegalisir oleh bendahara instansi tempat ia bekerja. Apabila suami bekerja sebagai wiraswasta maka surat penghasilan dibuat sendiri oleh pemohon dan diketahui (ditandatangani) oleh Kepala Desa tempat tinggal pemohon.
13) Apabila pemohon menggunakan kuasa hukum maka harus dilampirkan pula Surat Kuasa Khusus dan fotokopi Kartu Advokat yang masih berlaku.
Semua bukti surat terlebih dahulu difotokopi dan untuk keperluan pembuktian di persidangan semua bukti surat harus difotokopi, kemudian diberi materi 6000, lalu dimintakan cap atau legalisir di Kantor Pos.
b. Prosedur Permohonan Izin Poligami di Pengadilan Agama Di bawah ini merupakan bagan prosedur permohonan izin poligami :
Pemohon bersama Termohon mendatangi Pengadilan Agama setempat di wilayah tempat kediaman pemohon
Menuju meja bagian pendaftaran perkara. Pemohon mengumumkan alasannya untuk melakukan poligami, serta
tuntutannya
Permohonan pemohon di proses oleh panitera gugatan dan di daftarkan pada Register Induk Perkara dengan membawa bukti-
bukti
Bagan 2
Keterangan :
Jika hendak mengajukan permohonan izin poligami, terlebih dahulu suami selaku pemohon mendatangi Kantor Pengadilan Agama di tempat kediaman pemohon untuk mengutarakan keinginannya melakukan poligami.
Setelah itu petugas akan menjelaskan mengenai persyaratan yang harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan izin poligami dan apabila pemohon sudah menyiapkan semua persyaratan yang dibutuhkan maka bisa langsung menuju meja bagian pendaftaran perkara. Permohonan pemohon kemudian akan diproses oleh panitera untuk didaftarkan pada register induk
Sidang pertama pemohon, termohon, dan calon istri pemohon dilakukan mediasi oleh majelis hakim
Sidang kedua pemohon dengan menghadirkan saksi-saksi
Dilakukan pembuktian dengan adanya surat pernyataan dapat berlaku adil, surat keterangan penghasilan, surat pernyataan tidak keberatan untuk di madu, pemeriksaan KTP, pemeriksaan
buku kutipan akta nikah
Pelaksanaan poligami dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Membayar biaya perkara Putusan diterima oleh pemohon.
perkara dengan membawa bukti-bukti. Selanjutnya pemohon menunggu panggilan sidang. Pada sidang pertama, pemohon dan termohon, dihadirkan di dalam persidangan untuk dilakukan mediasi oleh majelis hakim. Apabila pemohon tetap pada pendiriannya untuk melanjutkan perkaranya maka mediasi dianggap tidak berhasil dan dilanjutkan dengan proses selanjutnya dengan agenda sidang kedua pemohon berupa pemeriksaan bukti-bukti serta menghadirkan saksi. Setelah mendengar keterangan para pihak, bukti, dan saksi serta permohonan yang diajukan pemohon, majelis hakim akan menilai dan mempertimbangkan apakah permohonan akan dikabulkan ataukah tidak. Proses selanjutnya adalah pembacaan putusan. Apabila majelis hakim memutus untuk mengabulkan permohonan pemohon maka langkah selanjutnya adalah pemohon membayar biaya perkara dan akan menerima salinan putusan. Salinan putusan ini kemudian dibawa dan ditunjukkan kepada pegawai pencatat perkawinan di Kantor Urusan Agama selanjutnya digunakan untuk bisa melangsungkan perkawinan kedua atau perkawinan selanjutnya. Besarnya biaya perkara yang dibebankan kepada pemohon pada permohonan izin poligami berbeda-beda, tergantung pada jumlah para pihak serta radius lokasi yang untuk keperluan panggilan para pihak dalam proses persidangan. Semakin dekat radius alamat untuk keperluan panggilan para pihak maka akan semakin kecil biaya yang dikeluarkan (semakin murah), sebaliknya apabila semakin jauh radius alamat maka semakin besar biaya yang dikeluarkan (semakin mahal). Untuk biaya pendaftaran dan materai dimanapun besarnya sama yakni sebesar Rp 30.000,00 dan biaya materai Rp 6.000,00, sedangkan biaya redaksi berbeda- beda ada yang Rp 5.000,00 dan ada pula yang sebesar Rp 10.000,00, begitupula pada biaya proses (ATK maupun pemberkasan) yang berbeda- beda.
2. Pengaturan Pembagian Harta Bersama
Konsekuensi dari adanya harta bersama menimbulkan terjadinya percampuran harta kekayaan suami dan istri selama perkawinan
berlangsung dan menjadi hak kepemilikan mereka berdua. Sebagai hak bersama suami dan istri, besarnya harta bersama untuk bagian suami dan bagian istri masing-masing sering kali dipertanyakan.
Mengenai hal ini, undang-undang tidak memberi penjelasan apapun.
Sebelum UUP berlaku, perlu diketahui bahwa Pengadilan Tinggi Medan pernah menetapkan dengan kesadaran perkembangan hukum Indonesia mengenai kedudukan suami dan istri adalah seimbang dan menimbulkan rasa keadilan, maka dipandang bahwa apabila terjadi perceraian besarnya harta bersama untuk suami maupun istri adalah dibagi menjadi dua bagian yang sama besar, begitu pula pada Pengadilan Tinggi Denpasar (Satrio, 1991, hal. 212).
Setelah UUP berlaku, Mahkamah Agung tidak melakukan perubahan pendapatnya atas penetapan Pengadilan Tinggi Medan dan Pengadilan Tinggi Denpasar sebelum berlakunya UUP. Mahkamah Agung menyatakan bahwa sejak UUP berlaku, harta benda yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi harta bersama dan apabila terjadi perceraian maka harta bersama tersebut harus dibagi menjadi dua antara suami istri yang besarnya sama rata (Satrio, 1991, hal.
213). Hal ini didasarkan bahwa dalam harta bersama pada prinsipnya merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan dengan tidak memandang harta tersebut atasnama siapa, dengan pula mengingat bahwa suami dan istri memiliki kedudukan yang seimbang maka dipandang adil apabila besarnya harta bersama bagi suami dan istri adalah dibagi dua dengan jumlah yang sama besar.
UUP dan KHI tidak menjelaskan mengenai besarnya bagian harta bersama bagi suami maupun istri, akan tetapi hanya mendasarkan bahwa besarnya bagian harta bersama antara suami dengan istri pada kedudukan mereka dalam perkawinan adalah seimbang, dengan demikian dapat di anggap bahwa besarnya bagian suami dengan bagian istri pada harta bersama mereka adalah masing- masing sebesar 50%. Hal ini sesuai dengan Pasal 31 UUP dan Pasal
97 KHI yang mengatakan bahwa janda atau duda yang bercerai memiliki hak setengah bagian dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan, begitu pula pada perkawinan suami dengan istri berjumlah lebih dari satu (poligami).
Dalam perkawinan poligami, setiap istri memiliki hak yang sama atas harta bersama yang terhitung sejak perkawinan mereka berlangsung.
Istri kedua dan istri selanjutnya tidak memiliki hak atas harta bersama yang sudah ada antara suami dengan perkawinan sebelumnya (Pasal 65 ayat (1) huruf c UUP dan Pasal 94 KHI).
Pada dasarnya isi perjanjian perkawinan bersifat bebas asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum, dan agama (Manan, 2003, hal. 153). Secara umum, perjanjian perkawinan berisi tentang pengaturan mengenai harta kekayaan suami istri (Susanto, 2008, hal. 78). Perjanjian perkawinan dapat memperjanjikan mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. Perjanjian seperti ini dapat meliputi percampuran harta maupun pemisahan harta masing- masing antara suami dengan istri. Apabila di dalam perjanjian perkawinan tersebut membahas mengenai pemisahan harta masing- masing antara suami istri, maka tidak boleh dengan adanya perjanjian ini menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Suami tetap memiliki kewajiban untuk menanggung seluruh biaya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sesuai dengan Pasal 48 KHI. Apabila dalam perjanjian perkawinan membahas mengenai percampuran harta, harta yang dicampur bisa meliputi harta pribadi masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh oleh masing-masing selama perkawinan maupun sekedar harta yang diperoleh masing masing selama perkawinan saja tanpa menyangkut harta pribadi atau harta bawaan masing-masing pihak.
Pada zaman yang semakin maju ini, semakin banyaknya tuntutan mengenai persamaan kedudukan antara suami dengan istri menimbulkan adanya perjanjian perkawinan semakin ditanggapi dan
diterima baik oleh masyarakat. Akan tetapi terdapat pula sebagian masyarakat yang masih menganggap bahwa perjanjian perkawinan dianggap kurang etis. Pembuatan perjanjian perkawinan umumnya dilakukan sebelum terjadinya perkawinan atau sebelum perkawinan dilangsungkan, akan tetapi setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tentang Perjanjian Perkawinan telah memperluas makna perjanjian perkawinan itu sendiri yakni bahwa setelah keluarnya putusan ini yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan tidak hanya perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan tetapi juga yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan memiliki manfaat yang cukup besar baik bagi kedua belah pihak maupun bagi negara. Perjanjian perkawinan tidak hanya perkawinan memberi batasan kepada suami maupun istri untuk mencegah dan mengurangi konflik yang terjadi dalam lingkup perkawinan, serta dapat pula digunakan sebagai perlindungan terhadap hak-hak masing-masing, contohnya dalam kasus poligami digunakan sebagai bentuk perlindungan terhadap hak- hak istri khususnya mengenai harta baik milik masing-masing maupun harta bersama antara istri pertama, istri kedua, dan selanjutnya.
Perjanjian perkawinan dapat digunakan sebagai acuan bahwa apabila terjadi konflik dalam rumah tangga yang mengharuskan perkawinan tersebut berakhir dengan perceraian, perjanjian perkawinan ini dapat digunakan sebagai dasar dan pegangan (Muchsin, 2008) serta rujukan mengenai sejauh mana hak dan kewajiban masing-masing pihak (Arief, 2017).
a. Pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan Monogami Pembagian harta bersama dalam perkawinan monogami diatur dalam peraturan perundang-undangan yakni KHI pada Bab III. Dalam perkara perceraian perkawinan monogami, besarnya bagian yang diterima oleh masing-masing suami istri adalah seimbang dan sama besar (50% : 50%). Hal demikian
sesuai dengan Pasal 31 UUP dan Pasal 97 KHI yang mengatakan bahwa janda atau duda yang bercerai memiliki hak setengah bagian dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan, sedangkan dalam perkara kewarisan perkawinan monogami sudah jelas mengenai besarnya bagian harta peninggalan yang akan diterima oleh ahli waris, yakni sebagai berikut:
1) Anak perempuan
a) Seorang diri akan mendapat ½ bagian harta peninggalan
b) Dua orang atau lebih akan mendapat 2/3 bagian harta bagian
c) Anak perempuan bersama anak laki-laki maka bagian anak laki-laki 2:1 dengan anak perempuan 2) Ayah
a) Bila pewaris meninggalkan anak, maka ayah akan mendapat 1/6 bagian harta peninggalan
b) Bila pewaris tidak meninggalkan anak, ayah akan mendapat 1/3 bagian harta peninggalan
3) Ibu
a) Bila pewaris meninggalkan anak atau dua saudara atau lebih, ibu mendapat 1/6 bagian harta peninggalan
b) Bila pewaris tidak meninggalkan anak atau dua saudara atau lebih, ibu mendapat 1/3 bagian harta peninggalan
c) Ibu mendapat 1/3 bagian sisa dari harta peninggalan sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama dengan ayah
4) Duda
a) Bila pewaris meninggalkan anak, duda mendapat ¼ bagian harta peninggalan
b) Bila pewaris tidak meninggalkan anak, duda mendapat ½ bagian harta peninggalan
5) Janda
a) Bila pewaris meninggalkan anak, janda mendapat 1/8 bagian harta peninggalan
b) Bila pewaris tidak meninggalkan anak, janda mendapat ¼ bagian dari harta peninggalan
6) Bila pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah, maka:
a) Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat 1/6 bagian harta peninggalan
b) Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu berjumlah dua orang atau lebih mendapat 1/3 bagian harta peninggalan
7) Bila pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah, maka:
a) Bila pewaris mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah akan mendapat ½ bagian harta peninggalan
b) Bila pewaris mempunyai saudara perempuan kandung atau seayah berjumlah dua orang atau lebih, mendapat 2/3 bagian dari harta peninggalan c) Bila pewaris mempunyai saudara perempuan
kandung atau seayah bersama dengan saudara laki- laki kandung atau seayah, bagian saudara laki-laki 2:1 dengan saudara perempuan
b. Pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan Poligami Harta bersama dalam KHI diatur dalam Bab XIII bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup
kemungkinan adanya harta masing-masing suami istri. Harta bersama dalam perkawinan poligami masing-masing terpisah dan berdiri sendiri dan kepemilikannya terhitung sejak berlangsungnya akad perkawinan kedua dan selanjutnya.
Peraturan yang ada hanya menjelaskan bahwa harta bersama dari perkawinan suami yang melakukan poligami masing-masing istri terpisah dan berdiri sendiri serta harta bersama terhitung sejak akad perkawinan yang kedua dan selanjutnya dilangsungkan. Istri kedua dan atau ketiga serta ke empat tidak memiliki hak atas harta bersama antara suami dengan istri pada perkawinan sebelumnya yang sudah terjadi terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Pasal 94 KHI dan Pasal 65 UUP. Pasal 96 KHI menjelaskan bahwa apabila terjadi cerai mati, pasangan yang hidup lebih lama memiliki hak untuk mendapat ½ bagian dari harta bersama, begitu pula apabila terjadi cerai hidup kecuali telah ditentukan lain di dalam perjanjian perkawinan.
Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, Pasal 82 mengatakan bahwa hak istri yang dipoligami adalah mendapat tempat tinggal dan biaya hidup yang berimbang dengan istri-istri yang lain. Wujud harta bersama dalam perkawinan poligami adalah tidak terpisah antara suami dengan masing-masing istri. Istri pertama tetap mendapat porsi pembagian harta bersama meski suami memiliki istri kedua, ketiga, dan keempat. Bagian harta bersama yang diterima oleh istri pertama tetap lebih besar dari istri kedua, istri kedua memiliki bagian yang lebih besar dari istri ketiga dan istri ketiga memiliki bagian yang lebih besar pula dari istri keempat (Fitrianti, 2017).
1) Karena Perceraian
Penyebab putusnya perkawinan terdiri atas tiga alasan yaitu kematian, perceraian, dan putusan Pengadilan (Pasal 113 KHI dan Pasal 38 UUP. UUP tidak mengatur secara tegas mengenai pembagian harta bersama karena perceraian, hanya dalam Pasal 37 mengatakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Hukum masing-masing di sini memiliki makna bahwa bisa menggunakan hukum adat, hukum agama, maupun hukum lain yang berlaku bagi perkawinan tersebut. Menurut Pasal 97 KHI, apabila terjadi perceraian maka masing-masing berhak mendapat setengah dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Putusnya perkawinan sudah pasti akan berpengaruh terhadap harta bersama suami istri. Pasal 94 KHI menyebutkan bahwa harta bersama dari perkawinan seorang suami yang memiliki istri lebih dari satu masing- masing terpisah dan berdiri sendiri. Berdasarkan ketentuan ini maka dapat dikatakan bahwa harta bersama dalam perkawinan poligami tetap ada namun terpisah antara istri pertama, istri kedua, istri ketiga, dan istri ke empat.
Perhitungan harta bersama pada perkawinan suami memiliki istri lebih dari satu orang terhitung pada saat mulai berlangsungnya akad perkawinan kedua, ketiga, dan keempat (Pasal 65 UUP).
Berdasarkan Pasal 65 ayat (1) huruf b UUP, pembagian harta bersama akibat perceraian dalam perkawinan poligami adalah kedudukan istri kedua tidak mempunyai hak atas harta bersama dari perkawinan suami dengan istri pertama, istri ketiga tidak mempunyai hak
atas harta bersama dari perkawinan suami dengan istri pertama dan istri kedua, serta istri keempat tidak mempunyai hak atas harta bersama dari perkawinan suami dengan istri pertama, istri kedua, dan istri ketiga.
Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan pedoman yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 7 Maret 1959 Nomor 393/K/SIP/1958 mengatakan bahwa janda mendapat ½ bagian harta bersama akibat perceraian atau biasa disebut harta gono gini. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 393/K/SIP/1958 kemudian iikuti oleh yursprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 1 Oktober 1969 Nomor 376/K/SIP/1969 mengatakan bahwa pembagian harta gono gini antara bekas suami dan bekas istri adalah masing-masing 50%.
Besarnya bagian yang diterima istri dalam perkawinan poligami tidak diatur secara tegas di dalam UUP maupun KHI. Menurut KHI, pembagian harta bersama akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah masing-masing berhak ½ bagian harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Pasal 31 ayat (1) UUP hanya menyebutkan bahwa hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami, oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa dalam harta bersama apabila dipresentasekan, suami mendapat 50% dan istri juga mendapat 50%.
Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2008 menerbitkan buku tentang Pedoman Teknis Peradilan Agama yang telah di revisi tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, di dalamnya diatur bahwa apabila terjadi pembagian harta
bersama suami memiliki istri lebih dari satu orang baik karena perceraian maupun kematian, pembagian untuk istri pertama adalah ½ dari harta bersama yang diperolehnya bersama suami selama perkawinan ditambah 1/3 kali dari harta bersama antara suami dengan istri kedua, ditambah ¼ kali dari harta bersama antara suami dengan istri ketiga, ditambah 1/5 kali dari harta bersama antara suami dengan istri ke empat. Harta yang diperoleh suami dengan istri pertama merupakan harta bersama antara suami dengan istri pertama. Harta yang diperoleh suami dengan istri kedua sedangkan suami masih terikat dengan perkawinan dengan istri pertama merupakan harta bersama antara suami, istri pertama, maupun istri kedua.
Begitupula dalam perkawinan kedua yang dilakukan oleh suami dengan istri ketiga dan ke empat.
Salah satu contoh apabila terjadi perceraian antara suami dengan istri kedua maka pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami tersebut adalah bagian yang diterima oleh istri kedua sebesar 1/3 bagian dari harta bersama perkawinannya dengan suami. Hal ini dikarenakan 1/3 bagian akan menjadi milik suami yang akan menjadi harta peninggalan suami, sedangkan 1/3 bagian menjadi hak dari istri pertama dan jika dalam perkawinan kedua tersebut terdapat anak, maka anak tersebut juga akan mendapat bagian dari harta peninggalan suami dan istri kedua tersebut. Hal ini bertujuan untuk dapat tercapainya keadilan dan atas dasar kemanusiaan.
Apabila suami menghibahkan harta bersama untuk istri kedua maka hal seperti ini akan merugikan istri pertama, oleh karena itu tidak diperbolehkan karena di dalam harta bersama suami dengan istri kedua terdapat hak bagi istri
pertama. Apabila terjadi hal seperti ini maka yang dapat dilakukan oleh istri pertama adalah mengajukan gugatan mengenai pembagian harta bersama.
Pada kasus lain apabila telah diketahui dan dibuktikan melalui surat keterangan dari rumah sakit bahwa istri ternyata infertil, sedangkan suami akan melakukan poligami akantetapi istri tidak memberikan izin maka dengan melihat aturan yang terdapat dalam UUP dan KHI bahwa pada prinsipnya apabila suami ingin beristri lebih dari satu (poligami) maka ia harus mendapat persetujuan dari istri. Persetujuan yang dimaksud tdak diperlukan apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian dari majelis hakim.
Jadi pada intinya suami yang akan melakukan poligami tetap harus mendapat persetujuan dari istri meskipun persetujuan tersebut dalam keadaan teetentu tidak mutlak diperlukan. Hal ini dikarenakan bahwa persetujuan istri merupakan syarat wajib yang harus dipenuhi oleh suami yang akan melakukan poligami. Apabila perkawinan tetap dilakukan tanpa adanya izin dari istri maka perkawinan tersebut batal demi hukum.
2) Karena Kematian
Kematian merupakan salah satu sebab putusnya perkawinan. Melalui kematian mengakibatkan terbukanya pembagian warisan. Pada perkawinan monogami yang suami hanya memiliki satu orang istri dan perkawinan poligami yang suami memiliki istri berjumlah lebih dari satu orang akan berbeda khususnya dalam hal pembagian
harta bersama baik karena perceraian maupun karena kematian.
Pasal 94 KHI menerangkan bahwa harta perkawinan dalam perkawinan poligami mengenai harta bersama pada perkawinan masing-masing berdiri sendiri. Aturan ini mempertegas dan memperjelas Pasal 65 UUP yang mengatakan bahwa istri kedua dan selanjutnya tidak memiliki hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan mereka berlangsung. Perhitungan harta bersama dari perkawinan poligami terhitung pada saat mulai berlangsungnya akad perkawinan kedua, dan selanjutnya.
Pembagian harta bersama untuk kasus putus perkawinan karena kematian yaitu 50% untuk suami dan 50% untuk istri. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 96 ayat (1) KHI. Contohnya Adit memiliki tiga orang istri bernama Berliana sebagai istri pertama, Caca sebagai istri kedua, dan Dinda sebagai istri ketiga. Mengingat ketentuan yang terdapat dalam buku tentang Pedoman Teknis Peradilan Agama yang telah di revisi tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia maka bagian yang didapat oleh Adit adalah sebagai berikut :
1. Perkawinan pertama, harta bersama Adit dan Berliana sebesar Rp 2.000.000.000,00, maka bagian yang diperoleh Adit sebesar
= ½ x Rp 2.000.000.000,00
= Rp 1.000.000.000,00
2. Perkawinan kedua, harta bersama Adit dan Caca sebesar Rp 1.200.000.000,00, maka bagian yang diperoleh Adit sebesar
= 1/3 x Rp 1.200.000.000,00
= Rp 400.000.000,00
3. Perkawinan ketiga, harta bersama Adit dan Dinda sebesar Rp 800.000.000,00, maka bagian yang diperoleh Adit sebesar
= ¼ x Rp 800.000.000,00
= Rp 200.000.000,00
Harta milik Adit apabila dikumpulkan akan menjadi harta peninggalan Adit, sedangkan yang menjadi bagian Berliana, Caca, Dinda menjadi harta tetap yang dikuasai oleh masing-masing pihak (Harahap, 2004, hal. 354).
Besarnya harta bersama milik masing-masing pihak apabila terjadi perceraian maupun kematian adalah sebagai berikut :
1. Adit = (1/2 x harta bersama dari perkawinan pertama) + (1/3 x harta bersama dari perkawinan kedua) + (1/4 x harta bersama dari perkawinan ketiga)
= Rp 1.000.000.000,00 + Rp 400.000.000,00 + Rp 200.000.000,00
= Rp 1.600.000.000,00
2. Berliana = (1/2 x harta bersama dari perkawinan pertama) + (1/3 x harta bersama dari perkawinan kedua) + (1/4 x harta bersama dari perkawinan ketiga)
= Rp 1.000.000.000,00 + Rp 400.000.000,00 + Rp 200.000.000,00
= Rp 1.600.000.000,00
3. Caca = (1/3 x harta bersama perkawinannya dengan Adit) + (1/4 x harta bersama perkawinan Adit dan Dinda)
= (1/3 x Rp 1.200.000,00) + (1/4 x Rp 800.000.000,00)
= Rp 400.000.000,00 + Rp 200.000.000.000,00
= Rp 600.000.000,00
4. Dinda = (1/4 x harta bersama perkawinannya dengan Adit)
= Rp 200.000.000,00
Menurut Mahkamah Agung Republik Indonesia, perhitungan seperti yang telah diatur dalam Pasal 94 KHI bahwa pemilikan harta bersama dari perkawinan poligami terhitung saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau ke empat dianggap kurang memberi keadilan bagi istri-istri terdahulu. Hal ini dikarenakan dalam keadaan tertentu dapat merugikan istri yang dinikahi terlebih dahulu. Contohnya pada saat Adit menikah dengan Berliana tidak memiliki apa-apa hingga akhirnya dapat memiliki kekayaan sebesar dua milyar rupiah, akan tetapi kemudian Adit menikah kembali untuk kedua kalinya dengan Caca tanpa menceraikan Berliana, maka pada umumnya Caca pasti mengklaim bahwa ia juga memiliki hak atas harta bersama Adit dalam pernikahannya yang pertama. Hal seperti ini yang merugikan istri pertama atau istri yang dinikahi terlebih dahulu, begitu pula dalam perkawinan ketiga Adit yang umumnya Dinda juga akan mengklaim bahwa ia memiliki hak atas harta bersama Adit dengan perkawinannya terdahulu.
B. Perlindungan Hukum Istri dan atau Istri-Istri Dalam Perkawinan Poligami
Pada prinsipnya, perlindungan hukum menurut Gustav Radbruch bertujuan untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami bertujuan untuk menentukan hukum yang adil bagi kaum perempuan (istri). Poligami dalam praktiknya banyak menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan istri dan anak-anak. Praktik poligami merupakan bagian dari tindakan ketidakadilan terhadap perempuan, dan kerelaan wanita untuk dipoligami merupakan keterpaksaan, ketidakmampuan untuk melawan, doktrin, serta janji-janji surga (Ashari, 2017).
Ketentuan mengenai harta bersama dalam Pasal 65 ayat (1) UUP menegaskan bahwa apabila suami berpoligami maka :
1. Suami wajib memberi jaminan hidup kepada semua istri dan anaknya, 2. Istri kedua dan selanjutnya tidak memiliki hak atas harta bersama
yang telah ada dalam perkawinan suami dengan istri sebelumnya, 3. Semua istri memiliki hak yang sama atas harta bersama yang terjadi
sejak perkawinan masing-masing berlangsung.
Sesungguhnya cukup sulit untuk menentukan secara konkret mengenai jaminan baik untuk dapat berlaku adil maupun untuk kehidupan bagi istri dan atau istri-istri dalam perkawinan poligami. Jaminan untuk berlaku adil dibuat oleh suami selaku pemohon dalam bentuk surat pernyataan yang dibuat di hadapan majelis hakim dalam persidangan sedangkan ukuran yang cukup obyektif digunakan sebagai jaminan bagi kehidupan istri dan anak adalah jumlah kekayaan yang ada pada saat pengajuan permohonan poligami. Jumlah kekayaan dapat didasarkan pada surat keterangan penghasilan suami, ataupun dari pajak penghasilannya.
Angka 5 penjelasan umum UUP ditentukan bahwa untuk menjamin kepastian hukum maka perkawinan dijalankan menurut hukum yang telah ada. Kepastian digunakan untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat.
Untuk menjamin ketertiban perkawinan maka harus dilakukan pencatatan
perkawinan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai bentuk pengakuan mengenai sahnya suatu perkawinan oleh negara.
Tujuan dari pencatatan perkawinan yaitu (Victor Situmorang, 1996, hal.
13):
1. Mewujudkan kepastian hukum, 2. Menciptakan ketertiban hukum, 3. Pembuktian, dan
4. Memperlancar aktivitas pemerintah di bidang administrasi kependudukan
Pada perkawinan poligami telah ditentukan syarat-syarat untuk dapat mengajukan permohonan izin poligami sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUP yang bertujuan untuk perlindungan serta kepastian akan tetapi dalam pelaksanaannya masih lemah. Salah satu aspek hukum perkawinan khususnya dalam perkawinan poligami yang perlu diperhatikan adalah masih banyaknya masyarakat yang melakukan perkawinan sirri.
Banyak terjadi kasus poligami yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari istri sehingga saat menikah suami mengaku masih lajang, akibatnya istri terdahulu dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Selain itu, juga terjadi pada kasus perkawinan poligami bahwa suami tidak mempu berlaku adil seperti pemenuhan nafkah sehingga terjadi penelantaran dan dapat menjurus kepada kekerasan dalam rumah tangga.
Undang-undang mengatur tentang perkawinan untuk tertib masyarakat di bidang hukum keluarga dan berperan sebagai peraturan hidup untuk menentukan bagaimana manusia bersikap dan berperilaku dalam masyarakat. Perkawinan sirri atau perkawinan di bawah tangan masih banyak dilakukan di kalangan masyarakat karena masih kurangnya pemahaman mengenai perlindungan negara terhadap para pihak apabila terjadi permasalahan dalam perkawinan. Dilihat dari aspek Hukum Administrasi Negara, adanya pencatatan perkawinan merupakan tindakan administrasi negara dan dengan sendirinya negara memberi pengakuan serta perlindungan hukum. Perkawinan sirri (perkawinan secara agama)
merupakan perkawinan yang sah dan timbul hubungan hukum antara suami istri, anak, maupun harta. Apabila dalam hubungan hukum tersebut para pihak melaksanakan kewajibannya dengan sukarela maka tidak akan menimbulkan permasalahan walaupun perkawinan tersebut tidak dicatatkan berdasarkan hukum negara, namun apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya maka pada perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut negara tidak dapat memberikan perlindungan hukum. Pencatatan perkawinan berdasarkan hukum negara hanya menentukan pengakuan serta seberapa jauh para pihak mendapat perlindungan dari negara.
Hukum Islam, hukum adat, dan hukum perdata warisan Belanda yang telah diakomodir oleh UUP, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan KHI mendudukkan poligami dalam posisi yang diperbolehkan dan dipersulit. Aturan yang telah ada memberi peluang untuk berpoligami bagi yang telah memenuhi persyaratan (Sunaryo, 2010). Pasal-pasal yang tercantum dalam UUP yang memuat alasan, syarat, dan prosedur poligami sesungguhnya semata-mata sebagai upaya untuk menjamin dapat dipenuhinya hak-hak istri dan calon istri yang menjadi kewajiban suami yang berpoligami dalam rangka mewujudkan tujuan perkawinan serta sebagai salah satu bentuk perlindungan dari negara terhadap istri dan atau istri-istri dalam kasus poligami.
Suami yang ingin berpoligami terlebih dahulu meminta pendapat dan izin dari istri. Izin istri diperlukan karena terkait dengan kedudukan istri sebagai mitra yang sejajar dan sebagai subjek hukum dalam perkawinan yang harus dihormati harkat dan martabatnya. Kebolehan seseorang yang melakukan poligami merupakan upaya negara untuk mengapresiasi pendapat para pendukung atau pelaku poligami, sedangkan izin poligami yang diperberat dan dipersulit merupakan upaya negara untuk mengapresiasi pendapat para penentang poligami.
Bentuk perlindungan yang diberikan negara terhadap istri dan atau istri-istri dalam perkawinan poligami berupa :
1. Sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf b UUP dan Pasal 58 KHI bahwa harus adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup bagi istri dan anak-anaknya, mengingat jaminan ini cukup sulit ditentukan, hakim dapat mengukur secara objektif dari jumlah kekayaan pemohon berupa surat penghasilan suami yang ditandatangani bendahara kantor tempat ia bekerja dan apabila suami wirausaha maka surat penghasilan suami bisa dibuat sendiri dan ditandatangani kepala desa tempat tinggal suami, atau dengan melihat besarnya pajak penghasilan, maupun surat lain yang dapat dijadikan pertimbangan oleh pengadilan.
2. Sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf c UUP bahwa harus adanya jaminan suami berlaku adil yang juga sulit ditentukan, hakim dapat meminta suami untuk membuat surat pernyataan dapat berlaku adil. Jaminan berlaku adil harus berupa janji atau pernyataan dari suami untuk berlaku adil yang dibuat dalam persidangan di hadapan Majelis Hakim. Apabila surat pernyataan tersebut dilanggar maka istri dapat melakukan tuntutan ke pengadilan. Surat pernyataan yang dibuat suami sebagai jaminan ini tidak dapat dijadikan dasar penuntutan bahwa suami telah melanggar surat pernyataan, akan tetapi hal-hal seperti penyediaan tempat tinggal serta pemberian nafkah untuk pemenuhan kebutuhan istri dan anak sebagaimana dalam surat pernyataan dapat dituntut ke pengadilan agama supaya dipenuhi oleh suami sehingga kewajibannya tetap dilaksanakan. Fokus hal yang dituntut adalah mengenai hak-hak istri yang tidak dipenuhi oleh suami dan surat pernyataan dari suami saat mengajukan permohonan izin poligami dapat disertakan dalam pemeriksaan gugatan.
3. Sesuai Pasal 9 UUP yang menyatakan bahwa seorang yang terikat perkawinan tidak bisa kawin lagi kecuali dalam hal sesuai Pasal 3 dan Pasal 4 UUP bahwa apabila suami akan beristri lebih dari satu orang maka wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama dan harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan (Prodjohamidjojo,
2002, hal. 20). Ketika suami melakukan poligami dengan tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan maka istri dapat memintakan pembatalan perkawinan sesuai Pasal 24 UUP dan 71 KHI.
4. Dibuatnya perjanjian perkawinan sesuai Pasal 29 UUP dan Pasal 47 KHI. Perjanjian perkawinan dapat memperjanjikan apapun asal tidak bertentangan dan melanggar batas-batas hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum. Dalam UUP istri sebagai ibu rumah tangga yang hanya mengurus urusan domestik, dipersamakan dengan suami sebagai kepala rumah tangga yang bekerja di luar rumah sehingga dipandang bahwa suami istri memiliki tanggungjawab serta kedudukan yang sama dan seimbang walau pada kenyataannya saat ini banyak istri yang juga bekerja, memiliki penghasilan, serta tetap mengurus rumah tangga dengan baik sehingga ketika bercerai harta yang didapat selama perkawinan tetap harus dibagi menjadi dua.
Pada perjanjian perkawinan antara suami dengan istri kedua pasti harta bersama antara suami dengan istri kedua (jika ada) akan lebih banyak jumlahnya daripada harta bersama antara suami dengan istri pertama, oleh karena itu istri kedua akan jelas mengalami kerugian jikalau harus membaginya dengan istri pertama. Dalam hal seperti ini perjanjian perkawinan melindungi istri kedua dan secara yuridis hal seperti demikian diperbolehkan akantetapi tidak etis. Istri pertama pada saat memberi izin poligami diperbolehkan untuk mensyaratkan tidak diperbolehkannya dibuat perjanjian perkawinan antara suami dengan istri kedua.
Terdapat dua bentuk perlindungan hukum, perlindungan hukum preventif untuk mencegah terjadinya sengketa dan perlindungan hukum represif untuk menyelesaikan sengketa. Bentuk perlindungan hukum preventif terhadap istri dan atau istri-istri dalam perkawinan poligami dapat berupa adanya persyaratan yang cukup ketat untuk melakukan poligami yang telah diatur oleh undang-undang, dan dapat dibuatnya perjanjian perkawinan, selain itu dalam buku Pedoman dan Tugas Administrasi
Pengadilan Agama yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2008 dan telah direvisi pada tahun 2013 menyebutkan bahwa pada saat mengajukan permohonan izin poligami suami harus mengajukan permohonan penetapan harta bersama dengan istri sebelumnya. Apabila suami tidak mengajukan permohonan penetapan harta bersama yang digabung dengan permohonan izin poligami dan istri terdahulu tidak mengajukan rekonvensi mengenai penetapan harta bersama maka permohonan penetapan izin poligami harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Bentuk perlindungan hukum represif adalah perkawinan kedua, ketiga, maupun keempat dapat dibatalkan apabila tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan poligami.
Pengajuan permohonan penetapan harta bersama suami dengan istri sebelumnya dalam pengajuan permohonan izin poligami dapat dilihat dari salah satu contoh putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1376/Pdt.G/2019/PA. Js.
1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1376/Pdt.G/2019/PA. Js
a. Duduk perkara
Senna Luckiardy bin Drs. Lucky Lukman Syarif bekerja sebagai karyawan swasta, bertempat tinggal di Jalan Tri Dharma Utama II No.
26 Cilandak Kota Jakarta yang selanjutnya disebut sebagai pemohon yang telah melangsungkan pernikahan dengan Via Erniyati bin Ngadi Wibowo bekerja sebagai ibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jalan Tri Dharma Utama II No. 26 Cilandak Kota Jakarta yang selanjutnya disebut sebagai termohon.
Tahun 2010 pemohon dan termohon telah melangsungkan perkawinan yang dibuktikan dengan Kutipan Akta Nikah Nomor : 245/100/III/2010. Setelah melangsungkan perkawinan, pemohon dan termohon bertempat tinggal di Jalan Tri Dharma Utama II No. 26, RT 03 RW 12 Kelurahan Cilandak, Kecamatan Cilandak Barat, Kota
Jakarta. Pemohon dan termohon hidup rukun sebagai suami istri dan dikaruniai tiga orang anak yang bernama :
1. Rasyad Azwar Bratasena, lahir di Jakarta tanggal 26 Agustus 2011
2. Ammar Sidqi Wirasena, lahir di Jakarta tanggal 1 Maret 2014 3. Muhammad Gibran Aryasena, lahir di Jakarta tanggal 13
Februari 2016
Pada bulan April tahun 2019, pemohon mengajukan permohonan izin poligami dengan seorang wanita bernama Dwinda Sofriani bin Iwan Sofyan Anwar yang bekerja sebagai karyawan swasta dan bertempat tinggal di Jalan Kayu Manis No. 28 Kramat Jati Jakarta Timur untuk selanjutnya disebut sebagai calon istri kedua pemohon. Alasan pemohon hendak mengajukan permohonan izin poligami salah satunya karena termohon tidak mampu memenuhi kebutuhan biologis pemohon.
Selama perkawinan pemohon dan termohon memiliki harta berupa : 1. Satu unit rumah di Perumahan Cinere Parkview dengan luas
tanah 105 meter persegi dan luas bangunan 60 meter persegi beserta isinya atasnama Senna Luckiardy,
2. Satu unit mobil minibus tahun pembuatan 2018 atasnama Vita Erniyati,
3. Satu unit motor yamaha tahun pembuatan 2016 atasnama Senna Luckiardy,
4. Satu unit motor honda tahun pembuatan 2013 atasnama Vita Erniyati,
5. Satu unit motor honda tahun pembuatan 2018 atasnama Vita Erniyati.
Antara pemohon dengan calon istri kedua pemohon tidak ada larangan untuk melangsungkan perkawinan karena:
1. Termohon dengan calon istri kedua pemohon, dan pemohon dengan calon istri kedua pemohon bukan saudara dan bukan saudara sesusuan,
2. Calon istri kedua pemohon berstatus janda cerai dan tidak terikat dengan laki-laki lain
3. Wali nikah calon istri kedua pemohon (ayah kandung calon istri kedua pemohon) bersedia untuk menikahkan pemohon dengan calon istri kedua pemohon
b. Pertimbangan Hakim
1) Majelis hakim menilai dan berpendapat bahwa karena pemohon tetap berpendirian untuk mengajukan permohonan izin poligami maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan yang isi materinya tetap dipertahankan oleh pemohon
2) Majelis hakim menilai dan mempertimbangkan bukti surat yang diajukan pemohon terdiri atas:
a) Bukti surat berupa kutipan akta nikah, kartu tanda penduduk, serta bukti pemilikan kendaraan bermotor telah diberi materai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya adalah akta otentik yang di keluarkan oleh pejabat yang berwenang serta bukti tersebut telah memenuhi syarat materil dan formil sehingga mempunyai kekuatan yang sempurna dan mengikat b) Bukti surat berupa surat keterangan bersedia untuk dimadu, surat keterangan berlaku adil, dan surat keterangan bersedia menjadi istri kedua merupakan bukti surat asli bukan akta tetapi dibuat berdasarkan aturan yang berlaku dan diakui kebenarannya oleh yang bersangkutan yang telah memenuhi syarat materiil dan formil sehingga mempunyai kekuatan yang sempurna dan mengikat
c) Bukti berupa surat keterangan penghasilan, slip gaji, serta surat keterangan gono gini merupakan bukti surat asli bukan akta otentik akan tetapi dibuat oleh pejabat yang berwenang berdasarkan aturan yang berlaku dan diakui kebenarannya oleh yang bersangkutan yang telah emmenuhi syarat materiil dan formil sehinggamempunyai kekuatan yang sempurna dan mengikat
3) Majelis hakim menilai dan mempertimbangkan keterangan para saksi yang diajukan oleh pemohon adalah sebagai berikut:
a) Para saksi mengenal pemohon dan termohon sah sebagai suami istri dan tidak bercerai
b) Para saksi mengetahui bahwa selama membina rumah tangga pemohon dan termohon telah dikarumiai tiga orang anak
c) Para saksi mengetahui bahwa pemohon akan berpoligami dengan wanita yang bernama Dwinda Safriani binti Iwan Sofyan Anwar dan antara pemohon dengan calon istri pemohon tidak ada larangan untuk melakukan perkawinan d) Para saksi mengetahui kondisi termohon selaku istri
pemohon kurang mampu melayani kebutuhan bologis pemohon
e) Para saksi mengetahui selama membina rumah tangga, pemohon dan termohon telah memiliki sebuah rumah, mobil, dan kendaraan bermotor
f) Para saksi mengetahui penghasilan pemohon setiap bulannya sebesar Rp 28.000.000,00
Keterangan para saksi yang diajukan pemohon adalah fakta yang dilihat dan relevan dengan dalil yang diajukan pemohon sehingga keterangan para saksi memenuhi syarat materiil dan memiliki kekuatan pembuktian serta dapat diterima sebagai alat bukti
4) Majelis hakim menilai dan berpendapat bahwa dari kenyataan dan fakta yang ditemukan pada persidangan, alasan pemohon dalam permohonannya untuk diberi izin berpoligami telah cukup beralasan serta sesuai dengan syarat alternatif dan kumulatif UUP, maka permohonan pemohon patut dikabulkan
c. Amar Putusan
1) Mengabulkan permohonan pemohon dengan verstek
2) Memberi izin kepada pemohon Senna Luckiardy bin Drs. Lucky Lukman Syarief untuk menikah yang kedua (poligami) dengan seorang wanita yang bernama Dwinda Safriani binti Iwan Sofyan Anwar
3) Menetapkan harta berupa :
a) Satu unit rumah di Perumahan Cinere Parkview Blok F 11 No. 12 dengan luas bidang tanah 105 meter persegi dan luas bangunan 60 eter persegi beserta isinya atasnama Senna Luckiardy
b) Satu unit mobil minibus honda BRV tahun pembuatan 2018 atas nama Vita Erniyati
a) Satu unit motor yamaha vixion tahun pembuatan 2016 atas nama Senna Luckiardy
b) Satu unit motor honda scoopy tahun pembuatan 2013 atas nama Vita Erniyati
c) Stau unit motor honda beat tahun pemuatan 2018 atas nama Vita Erniyati
Menjadi harta bersama antara pemohon dengan termohon 4) Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara
sejumlah Rp 341.000,00 (tiga ratus empat puluh satu ribu rupiah)
Setelah melihat putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 1376/Pdt.G/2019/PA.Js, adanya penetapan harta bersama antara suami
dengan istri terdahulu membuat harta istri mempunyai kekuatan dan kepastian hukum sehingga harta tersebut tidak bisa diganggu gugat oleh pihak lain kecuali dengan persetujuan bersama antara suami dengan istri terdahulu. Pada putusan ini, perlindungan harta bersama antara suami dengan istri pada perkawinan pertama terpenuhi karena telah sesuai dengan buku Pedoman Teknis Peradilan Agama yang telah di revisi tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2008, sedangkan harta bersama untuk istri pertama dan kedua yang didapat selama perkawinan kedua tidak dijelaskan.
Menurut penulis, alangkah baiknya sebelum suami melangsungkan perkawinan keduanya terlebih dahulu membuat perjanjian perkawinan mengenai kedudukan harta bersamanya kelak dengan istri pertama dan calon istri kedua sehingga perlindungan terhadap harta baik untuk suami, istri pertama maupun istri kedua tetap bisa terpenuhi. Mengenai amar putusan dalam putusan ini yang menyatakan bahwa majelis hakim mengabulkan permohonan pemohon secara verstek yakni putusan tanpa hadirnya pihak istri selaku tergugat yang ketidakhadiran ini dapat mengandung arti bermacam-macam. Terhadap putusan hakim verstek terdapat upaya hukum yang dapat ditempuh oleh istri selaku termohon manakala merasa haknya dirugikan yakni melalui upaya hukum verzet. Oleh karena itu hakim bertugas untuk menyelidiki apakah hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar adanya atau tidak. Hakim harus mengetahui kebenaran peristiwa yang bersangkutan secara objektif melalui pembuktian. Melalui pembuktian akan diperoleh kebenaran mengenai suatu peristiwa dan bertujuan untuk menetapkan hubungan hukum antara para pihak serta menetapkan putusan yang seadil-adilnya.