• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesesuaian dosis antibiotika pasien pediatrik demam Tifoid RS Panti Rapih Yogyakarta dengan metode Body Surface Area dan pedoman terapi (studi di instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Juni 2015-Juni 2016).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kesesuaian dosis antibiotika pasien pediatrik demam Tifoid RS Panti Rapih Yogyakarta dengan metode Body Surface Area dan pedoman terapi (studi di instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Juni 2015-Juni 2016)."

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

KESESUAIAN DOSIS ANTIBIOTIKA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID RS PANTI RAPIH YOGYAKARTA DENGAN METODE BODY

SURFACE AREA DAN PEDOMAN TERAPI

(Studi di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Juni 2015-Juni 2016)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Regina Asri Cahyaningtyas

NIM : 138114085

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

HALAMAN JUDUL

KESESUAIAN DOSIS ANTIBIOTIKA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID RS PANTI RAPIH YOGYAKARTA DENGAN METODE BODY

SURFACE AREA DAN PEDOMAN TERAPI

(Studi di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Juni 2015-Juni 2016)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Regina Asri Cahyaningtyas

NIM : 138114085

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Your true success in life begins only when you make

the commitment to become excellent at what you do”

- Brian Tracy -

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Tuhan Yesus Kristus sebagai sumber kekuatan dan pengharapanku, Bunda

Maria bunda pendengar, penolong, dan penghantar permohonanku, serta

Santa Regina santa pelindungku.

Papi & mami yang senantiasa mendoakan dan mendukungku, serta adikku

yang selalu menyayangi dan menyemangatiku

Sahabat – sahabat yang tiada henti menjadi penghibur, penyemangat, dan

(6)
(7)
(8)

vii PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Kasih yang telah memberikan rahmat

dan anugerah kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Kesesuaian Dosis Antibiotika Pasien Pediatrik Demam Tifoid RS Panti Rapih dengan Metode Body Surface Area dan Pedoman Terapi (Studi di Instalasi Rawat

Inap RS Panti Rapih Yogyakarta Juni 2015-Juni 2016)”. Skripsi ini disusun dalam

rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi. Diharapkan juga dapat menjadi tambahan pengetahuan

bagi para pembaca tentang kesesuaian dosis antibiotik pasien pediatrik demam

tifoid dengan metode Body Surface Area dan Pedoman Terapi.

Dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan tenaga, pikiran,

waktu, kasih saying, dan bantuan berbagai pihak, maka dengan penuh syukur

penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Dita Maria Virginia, M.Sc., Apt. selaku dosen pembimbing yang

telah memberikan ilmu, waktu, semangat dan masukan untuk

penyelesaian penelitian ini.

3. Ibu Dr. Rita Suhadi, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang bersedia

memberikan saran dan perbaikan yang membangun dalam penelitian

ini.

4. Ibu Putu Dyana Christasani, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang

bersedia memberikan saran dan perbaikan yang membangun dalam

penelitian ini.

5. Bapak Florentinus Dika Octa Riswanto, M.Sc. sebagai Bapak DPA

FSM B yang senantiasa mengayomi, mendukung, dan membimbing

penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma.

(9)

viii

6. Kedua orang tua, Bapak Tri Santosa, Ibu Sri Resminingsih, Adik

Tarcisius Risang Pratana, dan saudara–saudara penulis yang telah

memberikan semangat, doa, dan kasih.

7. Ervin, Sakti, dan Sara yang menjadi rekan berjuang bersama; atas

kerjasama dan dinamika selama penelitian berlangsung, Lexy yang

selalu memberi semangat dan masukan; Elwy, Tasha, Dipta, Fidel,

Ellin, Ajeng, Lia, Oka, Eta, Fenny, Lia Eliza, Wilda, Vania yang

menjadi tempat saling berbagi dan mendukung.

8. Sahabat-sahabat penulis yaitu Novi, Shanny, Angel, Ceria,Winner,

Sensa, Dea, Yovita, Febe, Titi, Yola, dan Inggih yang setia

mendampingi selama ini dan mendukung dalam penyelesaian skripsi

ini walaupun kita terpisah oleh selat, benua, dan samudera,

terimakasih atas doa dan semangat yang kalian berikan. Terimakasih

atas keceriaan dan pengalaman yang membuat rindu.

9. Seluruh Dosen Fakultas Farmasi Universitasi Sanata Dharma

Yogyakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan dan

pengarahan kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi

Sanata Dharma Yogyakarta.

10. Teman-teman FSM B dan FKK B serta semua angkatan 2013 yang

telah bersama-sama berbagi pengalaman, suka, dan duka selama

berkuliah di Fakultas Farmasi Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan di dalam skripsi ini.

Oleh karena itu dengan terbuka dan senang hati penulis menerima kritik dan saran

yang membangun dari para pembaca. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat

bermanfaat dan selamat membaca.

Yogyakarta, 20 Mei 2017

(10)

ix

KESESUAIAN DOSIS ANTIBIOTIKA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID RS PANTI RAPIH YOGYAKARTA DENGAN METODE BODY

SURFACE AREA DAN PEDOMAN TERAPI

(Studi di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Juni 2015-Juni 2016) Regina Asri Cahyaningtyas

Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Kampus III Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta, 55282, Indonesia.

Telp. (0274) 883037, Fax. (0274) 886529 reginaasri24@gmail.com

ABSTRAK

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Obat antibiotik merupakan salah satu obat yang banyak digunakan di masyarakat. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan rancangan cross sectional yang bersifat retrospektif yang membandingkan dosis resep dengan dosis BSA dan dosis resep dengan dosis pedoman terapi untuk mengetahui adanya hubungan keeratan kesesuaian dosis antibiotik antara dosis resep dengan dosis BSA dan antara dosis resep dengan dosis pedoman terapi.Terdapat 41 (58,57%) kasus obat yang tidak sesuai berdasarkan pedoman terapi dan 53 (75,71%) kasus obat tidak sesuai berdasarkan BSA dari total 70 kasus obat. Hasil uji Chi-Square (p=0,248) menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna kesesuaian dosis antibiotika pasien pediatrik demam tifoid terhadap dosis pedoman terapi dan dosis BSA. Uji hipotesis komparatif kategorik dilakukan dengan uji Cohen’s Kappadimana hasil uji Cohen’s kappa ( -0,128) menyatakan bahwa tidak ada hubungan keeratan kesesuaian dosis resep dengan dosis BSA dan dosis resep dengan dosis pedoman terapi.

(11)

x ABSTRACT

Typhoid fever is an infectious disease that is a health problem in developing countries, including Indonesia. An antibiotic drug is one of the most widely used drugs in the community. This was an observational analytical study with a retrospective cross-sectional design that compared prescription doses with BSA doses and prescribed doses with therapeutic dose guidelines to determine the association of agreement dose of antibiotics between prescription doses and BSA doses and between prescription doses and therapeutic dose guidelines. There were 41 (58.57%) unsuitable drug cases based on therapeutic guidelines and 53 (75.71%) of unsuitable drug cases based on BSA of a total of 70 drug cases. Chi-Square test results (p = 0.248) showed no significant difference in the dosage of antibiotics of pediatric patients with typhoid fever on therapeutic dose and BSA dosage. The categorical comparative hypothesis test was performed by Cohen's Kappa test wherein the Cohen's kappa test (-0.128) stated that there was no correlation between the dosage of prescribed dose prescribing with BSA dose and prescription dose with therapeutic dose of therapy.

(12)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

METODE PENELITIAN ... 2

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 4

KESIMPULAN ... 14

DAFTAR PUSTAKA ... 15

LAMPIRAN ... 17

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Formula Perhitungan Dosis denganBSA ... 3 Tabel II. Karakteristik Pasien berdasarkan Umur, Berat Badan,dan

Jenis Kelamin ... 5

Tabel III. Karakteristik Ketepatan Antibiotik ... 6 Tabel IV. Profil Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kesesuaian Dosis

Pedoman Terapi ... 7

Tabel V. Profil Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kesesuaian Dosis

BSA ... 8

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ethical Clearance ... 17

Lampiran 2. Surat Perizinan Penelitian Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta ... 18

Lampiran 3. Surat Legalitas SPSS 22 ... 19

Lampiran 4. Definisi Operasional Penelitian... 20

Lampiran 5. Kesesuaian Dosis Antibiotik (70 kasus obat) ... 21

Lampiran 6. Uji Statistika Chi-Square dan Cohen’s Kappa ... 24

(16)

1 PENDAHULUAN

Demam tifioid disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi. Demam

tifoid masih merupakan masalah kesehatan khususnya di negara berkembang. Manusia

merupakan satu-satunya host bagi bakteri Salmonella typhi. Infeksi demam tifoid

bersumber dari konsumsi makanan ataupun minuman yang terkontaminasi (WHO, 2011).

Rata-rata kejadian kasus demam tifoid di Indonesia sebanyak 900.000 per tahun dengan

angka kematian mencapai 20.000 jiwa. Pada area endemik demam tifoid banyak ditemukan

kasus demam tifoid terjadi pada usia 3-19 tahun (WHO, 2003). Menurut Anggraini, (2014)

data tahun 2010 menunjukkan bahwa demam tifoid menduduki peringkat ke-3 dari 10

besar penyakit terbanyak pada pasien rawat inap rumah sakit di Indonesia. Angka kejadian

demam tifoid sebanyak 55.098 kasus dengan CFR (Case Fatality Rate) sebesar 2,06%

(KEMENKES, 2012). Insiden demam tifoid di Indonesia sebesar 108,3 tiap 100.000 orang

tiap tahun direntang usia 5-15 tahun (Ochiai et al., 2008).

Antibiotik merupakan salah satu obat yang banyak digunakan di masyarakat. Hal

ini karena menurut KEMENKES RI (2011) penyakit infeksi termasuk dalam sepuluh

penyakit terbesar di Indonesia. Peresepan yang tidak tepat dapat berkontribusi dalam

kejadian resistensi antibiotik. Sebesar 30%-50% indikasi terapi, pemilihan antibiotik atau

durasi terapi antibiotik tidak tepat (Ventola, 2015). Pemberian terapi antibiotika yang

kurang tepat dapat menimbulkan masalah resistensi dan potensi adanya adverse reaction

sehingga diperlukan peran apoteker untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik

(CDC, 2015). Angka kejadian efek samping yang muncul saat pengobatan demam tifoid

pada anak menurut penelitian tahun 2009 sebesar 5% (Pratiwi, 2010). Aspek

farmakokinetik (absorbsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi) pada pediatrik

dipengaruhi oleh pertumbuhan dan perkembangan organ pediatrik. Perbedaan

farmakokinetik dan farmakodinamik antara pediatrik dan dewasa menjadi dasar dalam

penyesuaian dosis terapi (Kimble, 2013).

Perhitungan dosis untuk antibiotik dapat menggunakan formula Body Surface Area

(BSA). Rumus BSA diperkirakan lebih akurat dibandingkan dengan rumus yang lain,

seperti Clark, Young dan Fried. Perhitungan obat yang berdasarkan rumus BSA dipastikan

lebih aman dibandingkan dengan rumus yang berdasarkan hanya pada umur anak atau

berat anak. Oleh karena itu, rumus BSA dapat dijadikan sebagai gold standart dalam terapi

untuk pasien (Wilburta et al., 2014). Kesesuaian dosis antibiotik yang diterima pasien

(17)

2 2008).

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Rumah Sakit

Panti Rapih Yogyakarta memiliki 345 tempat tidur, dengan nilai Bed Occupancy Ration

(BOR) sebesar 78.65%. Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta diharapkan dapat mewakili

salah satu rumah sakit di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai ada atau

tidaknya hubungan keeratan kesesuaian dosis antara dosis resep dengan dosis pada

pedoman terapi rumah sakit dan dosis resep dengan dosis yang dihitung berdasarkan BSA

khususnya di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, sehingga formula ini dapat digunakan

sebagai acuan para teknisi untuk penyesuaian dosis jika tidak ada guideline.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan pola peresepan

antibiotika pada pasien pediatrik rawat inap penderita demam tifoid di Rumah Sakit Panti

Rapih Yogyakarta periode Juni 2015-Juni 2016. Penelitian ini juga bertujuan untuk

mengetahui persentase ketidaksesuaian dosis antibiotik yang dihitung menggunakan rumus

BSA dan pedoman terapi serta mengetahui adanya hubungan keeratan kesesuaian dosis

antara dosis resep dengan dosis pedoman terapi dan dosis resep dengan dosis BSA.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional dengan rancangan

cross-sectional yang bersifat retrospektif dimana pada penelitian ini tidak dilakukan

intervensi ataupun perlakuan terhadap subjek penelitian (Notoatmodjo, 2010).

Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni 2015 – Juni 2016. Pengambilan data

dilakukan dengan cara retrospektif yaitu dengan melakukan penelusuran data rekam medik

pasien demam tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada

periode Juni 2015 – Juni 2016. Penelitian ini mengobservasi adanya hubungan keerataan

kesesuaian dosis antara dosis resep dengan dosis pedoman terapi dan dosis resep dengan

dosis BSA.

Variabel bebas pada penelitian ini adalah metode perhitungan dosis yaitu metode

BSA dan pedoman terapi. Variabel tergantung dari penelitian ini adalah kesesuaian dosis

antibiotik berdasarkan BSA dan pedoman terapi. Variabel pengacau yang dikendalikan

peneliti adalah umur pasien yaitu 0-12 tahun dan yang tidak dapat dikendalikan peneliti

(18)

3

yang diambil dari rekam medik dalam penelitian ini adalah nomer rekam medik pasien,

umur, jenis kelamin, berat badan, nama dan dosis antibiotik, frekuensi pemberian dan

durasi pemberian antibiotik. Penelitian ini memiliki Ethical Clearence dari Fakultas

Kedokteran Universitas Duta Wacana Yogyakarta dengan nomor 292/C.16/FK/2017.

Metode pengukuran dosis yang digunakan dalam penelitian ini adalah perhitungan

dosis yang dihitung menggunakan rumus BSA dan dosis yang didapat dari pedoman terapi

yang digunakan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta untuk pasien pediatrik demam

tifoid.

Tabel I. Formula Perhitungan Dosis dengan BSA

BSA =

Dosis =

(Ogden, 2008)

Kesesuaian dosis antibiotik yang didapat pasien berdasarkan resep dokter (dosis resep)

kemudian akan dibandingkan dengan dosis yang dihitung dengan rumus BSA dan

pedoman terapi yang dipakai oleh rumah sakit sebagai acuan pengobatan untuk pasien

pediatrik demam tifoid yaitu Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Indonesia

(IDAI,2009), Standard an Pelayanan Medik Diagnosis & Tatalaksana Demam Tifoid pada

Anak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (2013), MIMS 2016, dan Drug Information

Handbook 17th edition. Referensi-referensi ini juga digunakan untuk menentukan ketepatan

dosis pasien (tepat dosis, tepat indikasi, tepat frekuensi, dan tepat durasi). Pasien pediatrik

penderita demam tifoid dapat diketahui dari diagnosa dari pemeriksaan dokter dan ICD 10

dengan nomer A01.0 pada rekam medik.

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Populasi pada

penelitian ini adalah pasien rawat inap pediatrik periode Juni 2015-Juni 2016. Kriteria

inklusi pada penelitian ini adalah pasien pediatrik dengan umur 0-12 tahun yang

didiagnosis positif menderita demam tifoid yang dirawat dan menyelesaikan pengobatan di

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, mendapat terapi antibiotik (obat antibiotik yang

diambil adalah seluruh antibiotik yang diberikan selama pasien dirawat dirumah sakit),

memiliki data usia, berat badan dan keterangan terapi antibiotik yang lengkap. Kriteria

eksklusi pada penelitian ini adalah pasien dengan catatan rekam medik yang tidak lengkap

atau tidak bisa dikonfirmasi, pasien yang terdiagnosa demam tifoid namun tidak mendapat

(19)

4

untuk demam tifoid terdapat 40 sampel yang diambil.

Catatan : RM= Rekam Medik; RS : Rumah Sakit

Gambar 1. Bagan Sampel Penelitian Pasien Pediatrik Rawat Inap Periode Juni 2015-Juni 2016

Pengumpulan data berupa dosis antibiotik, umur, berat badan, jenis kelamin,

frekuensi dan durasi pemberian antibiotik dari lembar data pasien. Data tersebut akan

dimasukkan dalam formula untuk perhitungan dosis yaitu BSA. Hasil perhitungan formula

BSA ini akan dibandingkan dengan dosis resep yang diberikan oleh dokter. Dosis resep

tersebut juga akan dibandingkan dengan dosis yang ada pada pedoman terapi Rumah Sakit.

Untuk mengetahui adanya hubungan keeratan kesesuaian dosis antibiotik antara dosis

resep dengan dosis BSA dan antara dosis resep dengan dosis pedoman terapi, maka

digunakan uji komparatif kategorik menggunakan uji Cohen’s Kappa dengan SPSS

(Santoso, 2005). Data pada penelitian ini dianalisin dengan menggunakan IBM SPSS

Statistics 22 Lisensi UGM. Syarat ketentuan nilai kappa (interpretasi kappa) adalah jika

nilai kappa ≤0 maka tidak ada hubungan keeratan (Less than chance agreement), 0,01-0,20

maka sedikit sesuai (Slight agreement), 0,21-0,40 maka lumayan sesuai (Fair agreement),

0,41-0,60 maka cukup sesuai (Moderate agreement), 0,61-0,80 maka hampir sesuai

(Substantial agreement), dan 0,81-1,00 maka keeratan tinggi/sempurna (almost perfect

agreement).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteriatik Demografi Pasien

Karakteristik pada penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, berat badan, dan

profil antibiotik pasien pediatrik demam tifoid. Diperoleh 40 data Rekam Medis pasien

pediatrik demam tifoid di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juni 2015 – Juni

2016. Keseluruhan populasi tersebut diambil sebagai sampel penelitian. Pasien yang 645 RM pasien

(20)

5

digunakan dalam penelitian ini memiliki rentang umur dari 0 – 12 tahun. Data yang masuk

dalam kriteria inklusi adalah sebesar 37 data (92,5%). Terdapat 70 kasus peresepan

antibiotik untuk pasien pediatrik demam tifoid dari 37 data yang diambil dalam penelitian

ini.

Tabel II. Karakteristik Pasien berdasarkan Umur, Berat Badan, dan Jenis Kelamin

Karakteristik Jumlah Pasien Dari pemaparan tabel diatas dapat dilihat bahwa kejadian pasien pediatrik demam

tifoid di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juni 2015 – Juni 2016 lebih banyak

terjadi pada pasien laki laki dengan jumlah 19 pasien (51,35%) dibanding dengan

perempuan yaitu sejumlah 18 pasien (48,65%). Menurut KEMENKES RI (2006) tidak ada

perbedaan yang nyata kejadian demam tifoid yang terjadi pada laki – laki dan perempuan,

namun menurut penelitian dari Utami (2010) dan Herawati (2009), laki – laki lebih

berpotensi terkena demam tifoid karena kurangnya kesadaran untuk menjaga kebersihan

dan pada rentang usia tersebut anak – anak masih sangat aktif untuk bermain tanpa

mempedulikan lingkungan sekitar. Menurut Artanti (2013) demam tifoid lebih banyak

diderita oleh pasien berjenis kelamin laki – laki karena anak laki – laki memiliki aktifitas di

luar rumah lebih banyak sehingga memungkinkan anak laki – laki beresiko lebih besar

terinfeksi Salmonella typhi dibandingkan anak perempuan. Berdasarkan tabel diatas pasien

pediatrik demam tifoid di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta dikelompokkan

berdasarkan tingkat umur yaitu neonates (<1 tahun), balita (1 – 5 tahun) dan anak sekolah

(6 – 12 tahun) (Wahab, 2011). Jumlah pasien pediatrik yang terkena demam tifoid

berdasarkan tabel diatas lebih banyak terjadi pada anak dengan rentang umur 6 – 12 tahun

dengan total 19 pasien (51,35%), kemudian diikuti oleh anak dengan rentang umur 1 – 5

(21)

6

dengan rentang berat badan 11 – 20 kg. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh Rufaldi (2011) bahwa diperoleh hasil persentase kasus demam tifoid banyak diderita anak pada rentang berat badan 11 – 20 kg dan pada rentang umur >5 – 12 tahun. Hal ini disebabkan karena anak pada rentang umur >5 – 12 tahun merupakan

kelompok anak sekolah yang memiliki kebiasaan jajan di sekolah atau tempat lain di luar

sekolah yang kebersihannya kurang terjamin. Bila diamati kebanyakan kejadian demam

tifoid banyak terjadi pada usia anak sekolah karena pergerakan anak sangat aktif dimana

memungkinkan anak untuk mengenal jajanan yang belum tentu terjamin kualitas dan

kebersihannya (Artanti,2013).

Tabel III. Karakteristik Ketepatan Antibiotik

Karakteristik Jumlah Antibiotik

Pada penelitian ini juga memperlihatkan jumlah antibiotik yang tepat dosis sebesar

29 antibiotik (41,43%), tepat indikasi sebesar 56 antibiotik (80,00%), tepat frekuensi

sebesar 56 antibiotik (80,00%) dan tepat durasi sebesar 4 antibiotik (5,71%). Pada

penelitian ini yang dimaksudkan tepat indikasi adalah antibiotik yang diberikan untuk

pasien pediatrik yang menderita demam tifoid yang disebabkan oleh bakteri Salmonella

typhi sesuai dengan diagnosa dokter. Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat

berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk

obat-obat dengan rentang terapi yang sempit akan sangat beresiko timbulnya efek samping,

sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang

diharapkan. Penentuan dosis antibiotika yang diberikan harus disesuaikan dengan diagnose

penyakit, tingkat keparahan penyakit/infeksi, riwayat kesehatan, efek, dan mekanisme

kerja antibiotika, serta efek samping obat karena berhubungan dengan kondisi intrinsic

pasien seperti fungsi ginjal normal, fungsi hati, umur, dan berat badan pasien. Terutama

penentuan dosis untuk anak-anak harus diperhatikan karena system organ yang digunakan

untuk melakukan metabolisme obat (ginjal dan hati) perkembangannya belum sempurna.

Hal ini menyebabkan proses ADME dalam tubuhnya belum optimal. Bila dosis obat tidak

tepat maka obat dapat menjadi racun dalam darah yang dapat mempengaruhi organ hati

dan ginjal pada anak (Kee and Hayes, 2009). Obat yang diberikan 3x sehari harus diartikan

(22)

7

antibiotika dipengaruhi oleh sifat farmakokinetika obat dan kondisi klinis pasien. Hal yang

perlu diperhatikan dalam farmakokinetika obat adalah waktu paro eliminasi (t ½ eliminasi)

dari antibiotika. Waktu paro eliminasi adalah waktu yang diperlukan agar kadar obat di

dalam darah berkurang menjadi setengah (50%) dari kadar semula (Brutler et al, 2011).

Interval pemberian obat bertujuan untuk menjaga konsentrasi obat di dalam cairan plasma

agar selalu berada pada konsentrasi terapeutik minimal sehingga obat dapat bekerja dengan

baik dan memberikan efek. Interval pemberian obat harus tepar agar pengobatan berjalan

efektif, efisien dan aman bagi pasien (Kee and Hayes, 2009). Durasi pengobatan adalah

waktu yang dibutuhkan agar pengobatan suatu penyakit maksimal. Durasi penggunaan

antibiotika untuk pasien demam tifoid tidak sama untuk setiap golongan antibiotika.

Menurut WHO (2011), durasi penggunaan krofamfenikol adalah 14-21 hari,

ampisilin/amoksisilin selama 14 hari, siproflosasin/ofloksasin selama 5-7 hari (mild

desease) dan 10-14 hari (severe illness), sefotaksime/seftriakson selama 10-14 hari, serta

sefiksime 7-14 hari (mild desease) dan 10-14 hari (severe illness).

Karakteristik Penggunaan Antibiotika

Jenis Antibiotika yang digunakan untuk pasien pediatrik yang menderita demam

tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juni 2015 –

Juni 2016 terdiri dari 14 antibiotik yaitu Cefotaxime, Chloramphenicol, Sultamicilin,

Amoxicilin, Cotrimoxazol, Tricodazol, Cefixime, Amikasin, Erythromicin, Paromomycin

Sulfate, Ciprofloxacin, Gentamycin, Thiamphenicol, dan Ceftriaxone.

Tabel IV. Profil Penggunaan Antibiotika Berdasarkan Kesesuaian Dosis Pedoman Terapi

(23)

8

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat jenis antibiotika yang paling banyak

digunakan untuk terapi demam tifoid adalah chloramphenicol sebanyak 27 kasus (38,57%)

yang diikuti oleh cefotaxime sebanyak 9 kasus (12,86%), cefixime sebanyak 8 kasus

(11,43%), dan amikasin sebanyak 6 kasus (8,57%). Pemilihan antibiotik – antibiotik untuk

demam tifoid di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juni 2015 – Juni 2016 untuk

Salmonella Typhi sudah tepat sesuai dengan pedoman terapi Rumah sakit, namun ada

beberapa antibiotik seperti paromomycin sulfate, sultamicillin, metronidazole, dan

erythromycin yang tidak sesuai indikasi atau lebih dipergunakan untuk pengobatan infeksi

bakteri yang lain. Chloramphenicol dan cefotaxime merupakan dua contoh obat yang

digunakan sebagai first line therapy demam tifoid. Chloramfenicol masih menjadi pilihan

terapi utama (drug of choice) untuk demam tifoid (IDAI, 2009; Sardjito, 2013), namun

antibiotik ini memiliki efek samping anemia aplastik, depresi sumsum tulang, neutropenia,

trombositopenia, dan grey baby syndrome (MIMS, 2016) sehingga penggunaan antibiotika

ini dalam penanganan kasus demam tifoid perlu dipertimbangkan karena resiko

kekambuhan setelah terapi menggunakan chloramphenicol sebesar 5-7% dengan waktu

terapi yang lebih lama dan adanya resiko menjadi karier Salmonella typhi (WHO, 2003).

Ceftriaxone juga merupakan antibiotik yang sering digunakan dalam pengobatan demam

tifoid. Pemberian ceftriaxone pada pasien demam tifoid lebih dianjurkan dari pada

chloramphenicol karena ceftriaxone tidak mudah menyebabkan resistensi, mempunyai efek

(24)

9

Pada penelitian Haryanti dkk, (2009) Cefotaxime merupakan antibiotik yang paling banyak

digunakan untuk pengobatan demam tifoid pada anak. Cefotaxime termasuk antibiotik

golongan cephalosporin gerenasi ketiga yang memiliki spectrum kerja yang sangat luas,

aktivitas antibakterinya lebih kuat, dan efek sampingnya relative rendah. Cefotaxime juga

merupakan antibiotik berspektrum luas yang lebih peka terhadap bakteri gram negative

sehingga dapat digunakan dalam terapi eradikasi infeksi bakteri Salmonella dan dapat

menjadi pilihan alternatif untuk terapi demam tifoid pada kasus multi drug resistant

Salmonella typhi (Ajum, 2009; Sidabutar dan Santari, 2010). Gentamycin yang diberikan

untuk terapi demam tifoid pada penelitian ini digunakan karena memiliki aktivitas

bakterisidal yang memiliki efek dapat membunuh bakteri Salmonella (Mandal, 2009).

Amoxicilin termasuk golongan penicillin yang efektif untuk pengobatan demam tifoid

karena dapat meningkatkan mortalitas akibat resistensi chloramphenicol (Utami, 2010).

Pemberian terapi antibiotik pada pasien pediatrik rawat inap demam tifoid di

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta ini dibagi dalam 2 kelompok pemberian yaitu

diberikan secara oral dan parenteral. Antibiotik yang diberikan secara oral adalah

chloramphenicol, sultamicilin, cotrimoxazol, cefixime, paromomycin sulfate,

ciprofloxacin, gentamycin, thiamphenicol, erythromycin, dan amoxicillin. Antibiotik yang

diberikan secara parenteral adalah chloramphenicol iv, cefotaxime, amikasin iv,

metronidazole iv, amoxicillin iv, dan ceftriaxone iv. Menurut Rifai (2011) pemberian

antibiotik demam tifoid didominasi oleh rute pemberian secara parenteral karena

pemberian antibiotik secara parenteral memiliki keuntungan yaitu onset yang lebih cepat

dan dapat diberikan pada pasien yang tidak sadar. Hal ini sesuai dengan jumlah antibiotik

untuk pengobatan pasien pediatrik demam tifoid yang digunakan di Rumah Sakit Panti

Rapih Yogyakarta yaitu untuk pemberian rute secara oral sebanyak 23 antibiotik (32,86%)

dan untuk pemberian rute secara parenteral sebanyak 47 antibiotik (67,14%). Pemilihan

cara pemberian obat harus dipilih rute yang paling aman dan bermanfaat bagi pasien

(Djatmiko dkk, 2008). Rute pemberian antibiotika secara oral seharusnya menjadi pilihan

pertama untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan

menggunakan antibiotika secara parenteral (PERMENKES, 2011).

Pada penelitian ini peneliti membandingkan dosis pada resep yang diberikan oleh

dokter dengan dosis pada pedoman terapi yang dimiliki oleh Rumah Sakit Panti Rapih

yaitu pedoman terapi dari buku Diagnosis & Tatalaksana Demam Tifoid pada Anak RSUP

(25)

10

pediatrik demam tifoid di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta dengan 70 kasus antibiotik

terdapat sebanyak 29 antibiotik yang sesuai dengan pedoman terapi (41,3%) dan sebanyak

41 antibiotik tidak sesuai dengan pedoman terapi (58,57%) sedangkan menurut BSA ada

17 antibiotik yang sesuai (24,29%) dan ada 53 antibiotik yang tidak sesuai (75,71%). Dari

tabel diatas juga dapat dilihat bahwa penyebab tidak sesuainya dosis menurut pedoman

terapi didominasi oleh dosis resep yang lebih rendah (underdose) begitu juga dengan tidak

sesuainya dosis menurut BSA juga didominasi oleh dosis resep yang lebih rendah

(underdose) dimana jika dosis lebih rendah atau terlalu kecil tidak akan menjamin

tercapainya kadar terapi yang diharapkan karena efek dari obat yang diberikan tidak

maksimal sebaliknya jika pemberian dosis yang berlebihan atau terlalu tinggi, khususnya

untuk obat-obat dengan rentang terapi yang sempit akan sangat beresiko timbulnya efek

samping (Kee and Hayes, 2009). Hal ini bisa disebabkan karena antibiotik yang tertera

pada rekam medis tidak ada dalam pedoman terapi rumah sakit karena beberapa antibiotik

memakai nama dagang sehingga membuat peneliti harus mencari sumber lain untuk

penyesuaian dosis, data yang tertera pada rekam medis berbeda-beda, dosis antibiotik yang

tertera tidak ditulis dengan lengkap dan jelas, kurangnya kesadaran untuk menggunakan

antibiotik yang tertera pada pedoman terapi, dan penyesuaian dosis karena berat badan

pasien yang berlebih atau kurang. Dari penelitian ini dapat dilihat bahwa dosis resep (dosis

pemberian) lebih dekat kesesuaiannya dengan dosis pada pedoman terapi yang dipakai di

rumah sakit. Hal ini karena dokter lebih senang menggunakan pedoman terapi sebagai

acuan untuk penyesuaian dosis karena lebih mudah dan cepat dibandingkan harus

menghitung dosis menggunakan rumus BSA yang membutuhkan waktu lebih lama dan

membutuhkan ketelitian dalam menghitung dosisnya.

Perbedaan Kesesuaian Dosis Antibiotika Antara BSA dan Pedoman Terapi

Pada penelitian ini peneliti membandingkan dosis pada resep yang diberikan dokter

dengan dosis pada pedoman terapi yang digunakan di RS Panti Rapih dan membandingkan

dosis pada resep dengan dosis yang dihitung menggunakan rumus Body Surface Area

(BSA), dengan dosis BSA sebagai gold standart terapi demam tifoid. Menurut Lack dan

Stuart (1997), Formularium Nasional Inggris dan banyak buku referensi

merekomendasikan agar dosis obat untuk anak dihitung sesuai dengan luas permukaan

(26)

11

berdasarkan usia, berat dan luas permukaan, namun tidak ada yang akurat dan cukup

sederhana untuk penggunaan rutin. Dengan perhitungan dosis menggunakan BSA

diharapkan akan lebih sedikit kesalahan dari resep utama yang diberikan untuk pengobatan

pasien. Dari 70 kasus antibiotik di bandingkan antara dosis resep dengan dosis pedoman

terapi dan dosis BSA kemudian diperoleh antibiotik yang mana pada resep yang sesuai

atau tidak sesuai dengan pedoman terapi dan BSA. Setelah itu dilakukan uji statistik

menggunakan uji Cohen’sKappa dengan SPSS dan diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel VI. Perbandingan Penilaian Dosis antara Pedoman Terapi dan BSA

Alat Ukur Kesesuaian Dosis Antibiotik Nilai p Nilai Kappa Sesuai n (%) Tidak Sesuai n(%)

*p < 0,05 menunjukkan berbeda bermakna; p > 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna

Pada penelitian ini data yang dianalisis proporsi kesesuaian dosisnya adalah seluruh

antibiotik yang digunakan untuk pengobatan pasien pediatrik demam tifoid di Rumah Sakit

Panti Rapih Yogyakarta. Berdasarkan tabel diatas hasil yang diperoleh dari uji Chi-Square

didapatkan p (0,248) atau p > 0,05 yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan

bermakna kesesuaian dosis antibiotika pasien pediatrik demam tifoid terhadap dosis

pedoman terapi dan dosis BSA. Berdasarkan hasil yang didapat maka dapat dikatakan

bahwa pedoman terapi dan formula BSA dapat digunakan untuk menentukan dan

menghitung kesesuaian dosis antibiotik karena kedua alat ukur tersebut tidak menghasilkan

perbedaan yang berarti berdasarkan statistik.

Menurut Viera dan Garrett (2005) apabila koefisien Cohen’s Kappa 0,61-0,80

menunjukkan kesepakatan substansial, jika koefisien Cohen’s Kappa 0,81-0,99

menunjukkan kesepakatan hampir sempurna, sedangkan menurut Zenk, et al (2007)

apabila nilai Cohen’s Kappa 0,60-1,00 termasuk dalam gold standart nilai koefisien Kappa

dalam kategori besar dan hampir sempurna. Uji Cohen’s Kappa dilakukan pada penelitian

ini untuk mengukur konsistensi. Menurut Cohen (1960), uji Cohen’s Kappa dapat

digunakan untuk menilai kesepakatan antara dua peneliti dan terdapat adanya proporsi

untuk koreksi kesepakatan. Keunggulan dari uji Cohen’s Kappa ini adalah dapat melihat

(27)

12

pada tabel yang dilakukan oleh dua penilai (Silcocks, 1983). Dari hasil uji Cohen’s Kappa

pada tabel di atas menunjukkan bahwa p.value yang didapat adalah – 0,128 (<0 less than

chance agreement or poor agreement) dimana tidak ada hubungan keeratan atau

kesepakatan kesesuaian dosis resep dengan dosis pedoman terapi dan kesesuaian dosis

resep dengan dosis BSA. Maka rumus BSA juga belum bisa digunakan sebagai gold

standart terapi demam tifoid karena dari hasil uji statistik menunjukkan hasil yang sangat

rendah yaitu -0,128. Hal ini disebabkan karena bias yang terjadi pada pemeriksa seperti

perawat yang memberikan obat, bias dari subjek atau pasien pediatrik yang menderita

demam tifoid karena peneliti tidak mengetahui secara langsung kondisi dari pasien, bias

yang disebabkan karena instrument yang digunakan untuk pengukuran, adanya antibiotik

yang tidak tertera dalam pedoman terapi yang ada di Rumah Sakit, adanya antibiotik yang

tidak sesuai dengan indikasi penyakit, adanya perbedaan dosis antara pedoman terapi yang

satu dengan yang lain, keterangan pada pedoman terapi yang tidak lengkap sehingga

peneliti harus mencari sumber lain, rumus BSA yang digunakan hanya berdasarkan berat

badan dan kurangnya ketelitian dalam perhitungan atau pengukuran dari peneliti. Maka

disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat hubungan adanya

hubungan keeratan atau kesepakatan antara kesesuaian dosis resep dengan dosis pedoman

terapi dan kesesuaian dosis resep dengan dosis BSA, untuk tercapainya terapi pasien

pediatrik demam tifoid yang lebih baik. Pada penelitian ini juga didapat persen (%)

kesetujuan untuk melihat berapa persentase nilai yang benar dan berapa persentase nilai

yang keliru. Persen kesetujuan yang didapat dalam penelitian ini sebesar 48,57% dimana

hasil dosis yang sesuai yang disetujui oleh kedua rater adalah sebesar 5 dan dosis tidak

sesuai yang disetujui kedua rater adalah 29. Hal ini menunjukkan bahwa ada sebesar

51,43% data yang keliru dalam seluruh data yang terkumpul, artinya hanya satu rater yang

benar atau setuju ketika terjadi ketidaksetujuan. Menurut McHugh (2012) nilai persen

kesetujuan yang hanya mencapai nilai 61% maka sudah merupakan suatu masalah,

sedangkan untuk laboratorium klinik, apabila data yang keliru mencapai 40% maka dapat

dikatakan bahwa ada masalah serius pada kualitasnya. Banyak buku merekomendasikan

nilai persen kesetujuan sebesar 80% sebagai nilai minimal yang dapat diterima untuk

kesetujuan antar rater. Dari hasil penelitian yang didapat, dapat dikatakan bahwa

(28)

13

Persen kesetujuan dan kappa memiliki kekuatan dan keterbatasan. Persentase

statistik kesetujuan mudah dihitung dan bisa ditafsirkan secara langsung. Keterbatasan

utamanya adalah bahwa hal itu tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa para penilai

menebak skor, dengan demikian penilai mungkin melebih-lebihkan kesepakatan sejati di

antara para penilai. Kappa dirancang untuk mempertimbangkan kemungkinan tebakan,

namun asumsi yang dibuat tentang independensi penilai dan faktor lainnya tidak didukung

dengan baik, dengan demikian dapat menurunkan perkiraan kesepakatan secara berlebihan.

Selanjutnya, Kappa tidak dapat ditafsirkan secara langsung, dan dengan demikian menjadi

hal yang biasa bagi peneliti untuk menerima nilai kappa yang rendah dalam studi

reliabilitas interrater mereka. Tingkat reliabilitas interrater yang rendah tidak dapat

diterima dalam perawatan kesehatan atau dalam penelitian klinis, terutama bila hasil

penelitian dapat mengubah praktik klinis dengan cara yang mengarah pada hasil pasien

yang lebih buruk. Saran terbaik bagi peneliti adalah menghitung keduanya yaitu persen

kesetujuan dan kappa. Jika mungkin ada banyak dugaan di kalangan penilai, mungkin

masuk akal untuk menggunakan statistik kappa, namun jika penilai terlatih dan tebakannya

kecil kemungkinannya ada, peneliti dapat dengan aman mengandalkan persen kesetujuan

untuk menentukan reliabilitas interrater (McHugh, 2012).

Pada penelitian ini juga dilakukan perhitungan statistik menggunakan Cohen’s

Kappa untuk rentang umur 1-5 tahun dan 6-12 tahun untuk melihat ada atau tidaknya

hubungan keeratan kesesuaian dosis antara dosis resep dengan dosis pedoman terapi dan

dosis resep dengan dosis BSA pada rentang umur tersebut dan untuk melihat apakah umur

mempengaruhi hasil uji hubungan keeratan kesesuaian dosis antibiotik. Pada pemaparan

tabel di atas memperlihatkan bahwa hasil yang didapat dari uji Chi-Square pada rentang

umur 1-5 tahun adalah p (0,935) dan pada rentang umur 6-12 tahun adalah p (0,184)

dimana dari hasil yang didapat menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna

kesesuaian dosis antibiotika pasien pediatrik demam tifoid pada rentang umur tersebut

terhadap dosis pedoman terapi dan dosis BSA. Pada tabel di atas juga memaparkan hasil

uji Cohen’s Kappa untuk rentang umur 1-5 tahun sebesar 0,015 dan untuk rentang umur

6-12 sebesar -0,160 dimana hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan keeratan

kesesuaian dosis antara dosis resep dengan dosis pedoman terapi dan dosis resep dengan

BSA. Maka dapat dikatakan bahwa umur tidak mempengaruhi hasil uji hubungan keeratan

(29)

14

tifoid ini dapat bermanfaat bagi klinisi kesehatan dan farmasi untuk meningkatkan kualitas

pelayanan kesehatan. Bagi klinisi kesehatan dan farmasis penelitian ini dapat memberikan

informasi bahwa konsistensi dosis pada resep yang diberikan dokter dengan pedoman

terapi yang dipakai oleh Rumah Sakit dan dosis BSA khususnya untuk antibiotik bagi

pasien pediatrik demam tifoid sangat rendah, sehingga dapat dijadikan evaluasi untuk lebih

teliti dan bijak dalam penyesuaian antibiotik untuk pasien pediatrik demam tifoid dan

penelitian ini berguna untuk menghitung dan menyesuaikan dosis antibiotika yang akan

diberikan kepada pasien pediatrik demam tifoid sehingga pasien dapat menerima terapi

antibiotika yang tepat dan sesuai serta dapat menurunkan efek samping obat dan resistensi

obat.

KESIMPULAN

1. Jumlah pasien pediatrik demam tifoid dengan umur <1 tahun sebesar 0%, rentang

umur 1-5 tahun sebesar 48,65% dan rentang umur 6-12 tahun sebesar 51,35%,

dengan jumlah pasien laki-laki sebesar 51,35% dan perempuan sebesar 48,65% dan

jumlah pasien terbanyak terjadi pada rentang berat badan 11-20 kg (51,35%), 21-30

kg (21,62%), dan 41-40 kg (16,22%) serta antibiotik yang tepat dosis sebesar

41,43%, tepat indikasi sebesar 80,00%, tepat frekuensi sebesar 80,00%, dan tepat

durasi sebesar 5,71%. Obat antibiotik yang paling banyak digunakan adalah

chloramphenicol sebesar 38,57%, cefotaxime sebesar 12,86%, dan cefixime sebesar

11,43%.

2. Persentase obat antibiotik pasien pediatrik demam tifoid yang tidak sesuai

berdasarkan pedoman terapi sebesar 58,57% dan berdasarkan formula BSA sebesar

75,71%.

3. Tidak ada hubungan keeratan atau kesepakatan kesesuaian dosis resep dengan dosis

pedoman terapi dan kesesuaian dosis resep dengan dosis BSA berdasarkan uji Cohen’s Kappa (-0,128), dan tidak ada perbedaan bermakna kesesuaian dosis antibiotika pasien pediatrik demam tifoid terhadap dosis pedoman terapi dan dosis

BSA berdasarkan uji Chi-Square (p 0,248), sedangkan berdasarkan uji Cohen’s

Kappa yang dilakukan pada rentang umur 1-5 tahun sebesar 0,015 dan rentang

umur 6-12 tahun sebesar -0,160 menunjukkan bahwa umur tidak mempengaruhi

(30)

15

DAFTAR PUSTAKA

Ajum, H.A., 2011, Evaluasi Kerasionalan Penggunaan Antibiotika pada Pasien Anak dengan Demam Tifoid Berdasarkan Kriteria Gyssens di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Januari-Desember 2013, Skripsi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

American Pharmacist Association, 2009, Drug Information Handbook, 17th edition, Lexi-Comp, United State.

Anggraini, A.B., Opitasari, C., and Sari, Q.A.M.P., 2014. The use of antibiotics in hospitalized adult typhoid patients in an Indonesian hospital. Health Science Indones., 5 (1), 40-43.

Artanti, N.W., 2013, Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan, Higiene Perorangan, dan Karakteristik Individu dengan Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmadu Kota Semarang Tahun 2012, Skripsi, Universitas Negeri Semarang.

Brutler, T., 2011, Treatment of Thypoid Fever in the 21st Century: Promises and Shortcomings, Clinical Microbiology and Infection, pp. 959-963.

CDC.,2015. Community Pharmacicts. http://www.cdc.gov/getsmart/community/for-hcp/community-pharmacists.html diakses pada 1 Agustus 2016.

Cohen, J.,1960, A coefficient of agreement for nominal scales. Educational and Psychological Measurement 20: 37-46.

Djatmiko, M., Sugiyanti, dan Anas, Y., 2008, Analisis Biaya dan Gambaran Penggunaan Antibiotik pada Pasien Demam Tifoid Rawat Inap di Puskesmas Telogosari Kulon Tahyn 2007, Jurnal Ilmu Farmasi dan Farmasi Klinik, Vol. 5 No. 2, hal. 23-26. Herawati, M.H., and ghani, L., 2009. Association of Determinant Factors with Prevalance

of Thypoid in Indonesia. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 19 (4), 165-173.

IDAI., 2009. Pedoman Pelayanan Medis. http://www.idai.or.id/downloads/PPM/Buku PPM.pdf diakses pada 2 Agustus 2016.

Kee, J.L., dan Hayes, E.R., 2009, Farmakologi : Pendekatan Proses Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta, hal. 28.

KEMENKES RI, 2011, Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi Antibiotik, Kementrian Kesehatan R.I., Jakarta, hal. 29.

KEMENKES RI., 2012. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011. http://www.depkes.go.id/ resources/download/pusdatin/profilkesehatanindonesia/ profilkesehatan-indonesia-2011.pdf diakses pada 1 Agustus.

KEPMENKES RI., 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Keputusan Mentreri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2006, Jakarta, hal. 27, 37.

Kimble, M.A., et al., 2013, Applied Therapeutic; The Clinical Use of Drugs, 9th ed, Lippincott Williams&Wilkins, Philladelphia, USA, p. 1773.

Lack, J. A., & Stuart-Taylor, M. E., 1997, Calculation of drug dosage and body surface area of children. British Journal of Anaesthesia, 78(5), 601-605.

Mandal, S., 2009. In Vitro Activity of Gentamicin and Amikacin Againts Salmonella enterica seroval Typhi: A Search For A Treatment Regimen For Thypoid Fever. East Mediterr Health J., 15 (2), 1.

McHugh, M. L., 2012, Interrater reliability: the kappa statistic. Biochemia medica, 22(3), 276 282.

(31)

16

Ochiai, et all., 2008. A study of typhoid fever in five Asian countries: Disease burden and implications for controls. Bulletin of the World Health Organization., 86 (4), 260– 268.

Ogden, 2008, Pediatric Dosage, American Medical Association, pp. 421-423.

PERMENKES, 2011, Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/Menkes/Per/XII/2011, hal. 8, 15-17, 34.

Pratiwi, E.P., 2010, Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD dr. Angoesdjam Ketapang.

Rifai, M. A., Sudarso, dan Anjar, M.K., 2011. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Terhadap Pasien Anak Penderita Demam Tifoid di Rumah Sakit Wijayakusuma Purwokerto Tahun 2009. Portal Garuda: Pharmacy., 8 (1), 13-14.

RSUP Dr. Sardjito, 2013, Standar Pelayanan Medik, Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito, Yogyakarta.

Rufaldi, C.D., 2011, Evaluasi Penggunaan Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari Desember 2010, Skripsi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, hal. 39, 56.

Santoso, S., 2005, Mengatasi Berbagai Masalah Statistik dengan SPSS, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. 233.

Sidabutar, S. dan Satari, H.I., 2010. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid Pada Anak: Kloramfenikol atau Seftriakson?. Sari Pediatri., 11(6), 434-439.

Silcocks, 1983, Measuring repeatability and validity of histologigal diagnosis-a brief review with some practical examples, J Clin Pathol, 36,1269-1275.

Utami, T.N., 2010, Demam Tifoid, Faculty of Medicine-University of Riau, Pekanbaru Riau, pp. 1-26.

Ventola, C.L., 2015. The antibiotic resistance crisis: part 1: causes and threats. P & T : A peer reviewed journal for formulary management., 40 (4), 277–83.

Viera, A.J., dan Garrett, J.M., 2005, Understanding Interobserver Agreement: The Kappa Statistic, Family Medicine, 37(5), 360-3.

Wahab, S., 2011, Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal. 1-4.

Wilburta, Q.L., et al., 2014, Delmar’s Comprehensive Medical Assisting: Administrative and Clinical Competencies, 5th ed., New York, Cengange Learning, p. 1025.

WHO, 2003. Background Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. World Health Organization, (Agustus).

WHO, 2011. Guidelines for the Management of Typhoid Fever. World Health Organization (Agustus).

(32)

26

Lampiran 1. Ethical Clearance

(33)

20

Lampiran 2. Surat Perizinan Penelitian Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

(34)

20

Lampiran 3. Surat Legalitas SPSS 22

(35)

20

Lampiran 4. Definisi Operasional Penelitian

Variabel Definisi Operasional Cara Pengukuran

Skala Pengukuran

Metode Pengukuran

Dosis

Instrumen yang digunakan untuk mengukur dosis obat pediatrik

Dosis = Luas permukaan tubuh anak/1,73 x Dosis Dewasa

Pedoman Terapi: Dosis pada guideline dibandingkan dengan dosis yang dihitung dengan BSA

Kesesuaian Dosis Antibiotik

Antibiotik yang didapatkan oleh pasien berdasarkan resep dokter dengan

kelengkapan dosis pemberian yang dilihat dari rekam medik. Termasuk dalam

antibiotik adalah semua golongan antibiotik menurut WHO (2011). Dosis yang dipakai adalah dosis dalam 1 kali dosis per dosis harian.

Berdasarkan pedoman penyesuaian dosis pada pasien pediatrik demam tifoid yaitu Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI,2009), Standar Peyananan Medik RSUP Dr. Sardjito (2013, Drug Information Handbook 17th Edition, MIMS.com (2016)

Antibiotik yang diambil dari rumah sakit adalah antibiotik yang diberikan kepada pasien selama dirawat dirumah sakit. Kategori dosis sesuai : Dosis dan atau frekuensi pemberian antibiotik sesuai dan atau tidak melampaui pedoman terapi dan dosis yang dihitung berdasarkan BSA

Kategori dosis tidak sesuai: Dosis obat dan atau frekuensi pemberian antibiotik tidak sesuai dengan pedoman terapi dan dosis yang dihitung berdasarkan BSA

Demam Tifoid

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype Thyphi (S. typhi) dan penyakit ini masuk dalam klasifikasi ICD-10 : A01.0 (WHO,2016)

-

Diagnosa dari pemeriksaaan dokter dan ICD 10 dengan nomor A01.0 pada rekam medik

(36)

20

Lampiran 5. Kesesuaian Dosis Antibiotik (70 kasus obat)

No. Nomor RM (Tahun) Umur BB (Kg)

JK

(P/L) Frekuensi Durasi Antibiotik

(37)

20

(P/L) Frekuensi Durasi Antibiotik

(38)

20

(P/L) Frekuensi Durasi Antibiotik

(39)

26

Lampiran 6. Uji Statistika Chi-Square dan Cohen’s Kappa

Dosis Resep vs BSA

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 17 4.0 24.3 24.3

2 53 12.6 75.7 100.0

Total 70 16.6 100.0

Missing System 351 83.4

Total 421 100.0

Dosis Resep vs Pedoman Terapi * Dosis Resep vs BSA Crosstabulation

Count

Dosis Resep vs BSA

Total

1 2

Dosis Resep vs Pedoman Terapi

1 5 24 29

2 12 29 41

Total 17 53 70

Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.336a 1 .248

Continuity Correctionb .762 1 .383

Likelihood Ratio 1.375 1 .241

Fisher's Exact Test .275 .192

Linear-by-Linear

Association 1.317 1 .251

N of Valid Cases 70

(40)

20

Lampiran 6. Lanjutan

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.04.

b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.

Case Processing Summary

Dosis resep vs Pedoman Terapi * Dosis resep vs Dosis BSA Rentang Umur 1 – 5 Tahun

Crosstabulation Count

Dosis resep vs Dosis BSA

(41)

20

Chi-Square Tests

Value df

Asymptotic Significance

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .007a 1 .935

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .007 1 .935

Fisher's Exact Test 1.000 .625

Linear-by-Linear

Association .006 1 .936

N of Valid Cases 31

a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.90.

b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value

Asymptotic Standardized

Errora

Approximate Tb

Approximate Significance

Measure of Agreement

Kappa

.015 .180 .082 .935

N of Valid Cases 31

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.

(42)

20

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Dosis resep vs Pedoman Terapi * Dosis resep vs Dosis BSA

39 100.0% 0 0.0% 39 100.0%

Dosis resep vs Pedoman Terapi * Dosis resep vs Dosis BSA Rentang Umur 6 – 12 Tahun

Crosstabulation Count

dosisresepvsdosisbsa

Total

1 2

dosisresepvspedomante rapi

1 2 18 20

2 5 14 19

Total 7 32 39

Chi-Square Tests

Value df

Asymptotic Significance

(2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.761a 1 .184

Continuity Correctionb .828 1 .363

Likelihood Ratio 1.804 1 .179

Fisher's Exact Test .235 .182

Linear-by-Linear

Association 1.716 1 .190

N of Valid Cases 39

(43)

20

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.41.

b. Computed only for a 2x2 table

Symmetric Measures

Value

Asymptotic Standardized

Errora

Approximate Tb

Approximate Significance

Measure of Agreement

Kappa

-.160 .121 -1.327 .184

N of Valid Cases 39

a. Not assuming the null hypothesis.

b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis.

(44)

20

Lampiran 7. Lembar Pengambilan Data

(45)

20

BIOGRAFI PENULIS

Penulis bernama lengkap Regina Asri

Cahyaningtyas, dilahirkan di Sribhawono, 24 Oktober

1995 oleh pasangan suami-istri bernama Tri Santosa dan

Sri Resminingsih. Penulis skripsi berjudul “Kesesuaian

Dosis Antibiotika Pasien Pediatrik Demam Tifoid RS

Panti Rapih Yogyakarta dengan Metode Body Surface

Area dan Pedoman Terapi (Studi di Instalasi Rawat Inap

RS Panti Rapih Juni 2015-Juni 2016)” ini merupakan anak

pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD

Negeri 2 Bandar Agung pada tahun 2001-2007. Kemudian, penulis melanjutkan

pendidikan menengah pertama di SMP Xaverius Metro pada tahun 2007-2010.

Setelah itu penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMA Fransiskus

Bandar Lampung pada tahun 2010-2013 dan mengambil jurusan IPA. Lalu pada

tahun 2013 penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta dengan mengambil minat Farmasi Klinik dan

Komunitas.

Penulis cukup aktif dalam kegiatan di dalam dan di luar Kampus, baik

kepanitiaan maupun organisasi. Selama menjalani pendidikan di Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, penulis pernah mengikuti kegiatan

kepanitiaan yaitu Panitia pelepasan wisuda tahun 2013 dan 2015, panitia Paskah

tahun 2014, panitia PPRTOS (Pharmacy Performance and Pharmacy Road to

School) tahun 2014, panitia Pharmacy 3 on 3 tahun 2015, Pelatihan dan

Pengembangan Kepribadian Mahasiswa I & II, Latihan Kepemimpinan I,

Pelatihan Jurnalistik dan Fotografi Fakultas Farmasi, dan menjadi Volunteer

dalam acara Kunjungan Universitas Indonesia Timur Fakultas Farmasi pada tahun

2014. Penulis juga aktif dalam organisasi di Fakultas Farmasi yaitu Dewan

Perwakilan Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

periode 16 Maret 2014-15 Maret 2015 sebagai anggota Divisi Advokasi dan

periode 24 Maret 2015-23 Maret 2016 sebagai Koordinator Divisi Advokasi.

(46)

KESESUAIAN DOSIS ANTIBIOTIKA PASIEN PEDIATRIK DEMAM TIFOID RS PANTI RAPIH YOGYAKARTA DENGAN METODE BODY

SURFACE AREA DAN PEDOMAN TERAPI

(Studi di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Juni 2015-Juni 2016) Regina Asri Cahyaningtyas

Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Kampus III Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta, 55282, Indonesia.

Telp. (0274) 883037, Fax. (0274) 886529 reginaasri24@gmail.com

ABSTRAK

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang menjadi masalah kesehatan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Obat antibiotik merupakan salah satu obat yang banyak digunakan di masyarakat. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan rancangan cross sectional yang bersifat retrospektif yang membandingkan dosis resep dengan dosis BSA dan dosis resep dengan dosis pedoman terapi untuk mengetahui adanya hubungan keeratan kesesuaian dosis antibiotik antara dosis resep dengan dosis BSA dan antara dosis resep dengan dosis pedoman terapi.Terdapat 41 (58,57%) kasus obat yang tidak sesuai berdasarkan pedoman terapi dan 53 (75,71%) kasus obat tidak sesuai berdasarkan BSA dari total 70 kasus obat. Hasil uji Chi-Square (p=0,248) menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna kesesuaian dosis antibiotika pasien pediatrik demam tifoid terhadap dosis pedoman terapi dan dosis BSA. Uji hipotesis komparatif kategorik dilakukan dengan uji Cohen’s Kappadimana hasil uji Cohen’s kappa (-0,128) menyatakan bahwa tidak ada hubungan keeratan kesesuaian dosis resep dengan dosis BSA dan dosis resep dengan dosis pedoman terapi.

(47)

ABSTRACT

Typhoid fever is an infectious disease that is a health problem in developing countries, including Indonesia. An antibiotic drug is one of the most widely used drugs in the community. This was an observational analytical study with a retrospective cross-sectional design that compared prescription doses with BSA doses and prescribed doses with therapeutic dose guidelines to determine the association of agreement dose of antibiotics between prescription doses and BSA doses and between prescription doses and therapeutic dose guidelines. There were 41 (58.57%) unsuitable drug cases based on therapeutic guidelines and 53 (75.71%) of unsuitable drug cases based on BSA of a total of 70 drug cases. Chi-Square test results (p = 0.248) showed no significant difference in the dosage of antibiotics of pediatric patients with typhoid fever on therapeutic dose and BSA dosage. The categorical comparative hypothesis test was performed by Cohen's Kappa test wherein the Cohen's kappa test (-0.128) stated that there was no correlation between the dosage of prescribed dose prescribing with BSA dose and prescription dose with therapeutic dose of therapy.

Keywords: Typhoid Fever, Body Surface Area, Therapeutic Guidelines, Antibiotic

Gambar

Tabel VI. Perbandingan Penilaian Dosis antara Pedoman Terapi dan BSA ....... 11
Gambar 1. Bagan Sampel Penelitian Pasien Pediatrik Rawat Inap Periode
Tabel I. Formula Perhitungan Dosis dengan BSA
Gambar 1. Bagan Sampel Penelitian Pasien Pediatrik Rawat Inap Periode Juni 2015-Juni 2016
+5

Referensi

Dokumen terkait

68/MPP/Kep/2/2003 Penjualan local produk tissue yang dilakukan antar pulau tidak termasuk dalam kelompok produk yang wajib PKAPT. Tidak

Parsons dan Trussel (2008) menyimpulkan bahwa salah satu ukuran yang dapat mewakili kemampuan sebuah organisasi nirlaba untuk berhasil dalam misinya (untuk program) dan

Seleksi massa (dalam pemuliaan tanaman) atau seleksi individu (dalam pemuliaan hewan) adalah salah satu metode seleksi yang tertua untuk memilih bahan tanam yang

Dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam hal pembentuakan kepribadian peserta didik dalam pendidikan agama Islam...

Dalam hal ini nilai jual Bangunan untuk Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan lebih besar dari nilai jual tertinggi Klasifikasi NJOP Bumi

[r]

Siswa bersama guru memberikan kesimpulan bahwa segi 3 menit empat adalah bangun datar yang memiliki empat sisi dan.. empat titik sudut, Segi empat memiliki jenis yang berbeda

Catatan yang digunakan dalam transaksi retur penjualan adalah : jurnal umum, buku pembantu piutang, buku pembantu sediaan, dan buku besar3. Aktivitas Pengendalian dalam Sistem