REPRESENTASI CINTA DI FILM “3 HATI 2 DUNIA 1 CINTA”
( Studi Semiotik Tentang Representasi Cinta di Film “3 Hati 2 Dunia 1
Cinta”)
SKRIPSI
Di susun oleh : NURUL AZIZAH
0743010309
Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Komunikasi
(Studi Semiotik Tentang Representasi Cinta di Film “3HATI 2DUNIA 1CINTA”)
Oleh : NURUL AZIZAH NPM. 0743010309
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Pada tanggal 13 Juni 2011
PEMBIMBING
Dra. Sumardjijati, M.si NIP. 19620323 199309 2001
TIM PENGUJI 1. Ketua
Ir. H. Didiek Tranggono, M.Si NIP. 19581225 199001 001 NIP. 19641225 199 3092001
Mengetahui
DEKAN
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,atas kasih dan berkat yang telah
diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Representasi
cinta di Film “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta”. Penulis tidak akan mampu menyelesaikan
skripsi dengan baik, tanpa adanya bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai
pihak.
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Dekan Fisip Dra.Hj.
Suparwati.Msi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Dan juga kepada ibu Dra
Sumardjijati M.si selaku dosen yang telah membimbing dan memberi saran juga
dukungan demi kelancaran penulisan Skripsi ini. Serta untuk semua pihak yang
terkait dengan kelancaran penulisan laporan ini antara lain :
1. Tuhan Allah SWT atas karunianya, penulis diberikan kesehatan dan kekuatan
baek fisik jasmani mauun rohani.
2. Juwito S.Sos,M.si selaku ketua Program Studi Ilmu Komunikasi dan seluruh
Dosen Ilmu Komunikasi serta Staf TU.
3. Kedua orang tuaku abah dan umi yang selalu mendoakan dan memberi
memberi masukan dan motifasi.
4. Buat teman dikosan MA.IE 14: m.Ve, m.Pandu, Lieva, hesti, nunik, janetha,
mereka teman yang membantuku jikalau sakit, nonton Tv dan berbagi
makanan serta memberi support dalam mengerjakan laporan skripsi ini..
5. Buat abang-abangku di Armada (Ryan,Farid,hasan,agus,eko,dan xilmi) yang
biasanya mentraktir makan dan ngajak karaokean makasih hari-harinya!.
6. Buat teman seperjuanganku Mario, Riska, Ristin, Septrie, dan seluruh teman
di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik angkatan ’07 khususnya Ilmu Komunikasi
yang saling memotifasi “sucses always guys”.
7. Buat someoneku yang selalu sayang, sabar dan setia serta memberi motivasi
untuk menyelesaikan laporan ini.
8. Buat Best Friendku, Raissa Mathilda, Mario S, Yefta, Suha Aenny, Firdaus
Innabah, Nenekku(Via), Vina, dan Eki Nawestina dan The nietha yang selalu
memberi semangat, saran dan bantuannya dalam menyelesaikan laporan
skripsi ini.
9. Buat penjaga Perpus Fisip dan Perpus Pusat, terimakasih atas bantuannya
terimakasih atas doanya.
Penulis sadar bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun senantiasa penulis
harapkan demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca, khususnya teman-teman di Program
Studi Ilmu Komunikasi. Terima kasih.
Surabaya,juni 2011
HALAMAN JUDUL ………. i
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI... ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ………. iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAKSI ... vi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Manfaat Penelitian ... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11
2.1. Landasan Teori ... 11
2.1.1. Film, Masyarakat dan Realitas Sosial ... 11
2.1.2. Film sebagai Media Komunikasi Massa ... 14
2.1.3.Representasi Film ... 16
2.1.4. Devinisi Cinta ... 19
2.1.5. Teori Cinta Sigmund Freud ... 25
2.1.6. Model Semiotik John Fiske ...….…….……...………….. 27
2.1.7.Kode-kode Televisi John Fiske... 29
3.1. Metode Penelitian ... 34
3.2. Kerangka Konseptual ... 35
3.2.1. Corpus ……… 35
3.3. Definisi Operasional ... 36
3.3.1. Representasi ……….... 36
4.1. Gambaran Umum Objek Dan Penyajian Data……… 41
LAMPIRAN ... 76
Vi
NURUL AZIZAH, REPRESENTASI CINTA DI FILM “ 3 HATI 2 DUNIA 1 CINTA”(Studi Semiotik Tentang Representasi Cinta di Film “3 HATI 2 DUNIA 1 CINTA”)
Penelitian ini didasarkan pada sebuah fenomena cinta Elektra komplek yang menuai pro dan kontra di masyarakat. Film “3Hati 2Dunia 1 Cinta “, merupakan film yang menyajikan beberapa cmakna cinta didalamnya,mulai dari tokoh utamaRosyid yang menjalin hubungan dengan Delia seoarng nasrani sampe cinta Rosyid dan kedua orang tuanya dan Nabila.
Penelitian ini bertujuan untukmengetahui bagaimana cinta direpresentasikan dalam film. Cinta dalam media massa sering ditampilkan dengan sikap maupun perilaku seorang wanita dan pria dewasa, sampai perilaku orang tua dan anaknya. Fenomena cinta Elektra kompleks adalah sebuah fenomena cinta yang dirasakan dan diwujudkan dalam sebuah perilaku, sikap seorang muslim dan non muslim yang sedang berusaha ingin memperthankan hubungannya dihadapan keluarga masing-masing. Dan sikap seorang orang tua yang keras tehadap anaknya. Film sebagai komunikasi massa dan realitas sosial, serta teori semiotic dalam film.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode semiotic. Pendekatan semiotic yang dikemukakan oleh John Fiske melalui level realitas dan level representasi.
Data dibagi menjadi dua level yaitu level realitas dan level representasi. Pada level realitas, dianalisis penandaan yang terdapat pada kostum, make-up, setting, dan dialog. Pada level representasi dianalisis penandaan yang terdapat pada cara kerja kamera. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan konsep yang melibatkan hubungan tanda, obyek interpran serta menggunakan ikon, indeks dan simbol yang menjadi penandaan terhadap representasi cinta oleh tokoh Rosyid.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Cinta merupakan sesuatu yang abstrak, sebuah perasaan yang ditampilkan
melalui sikap serta perbuatan dari seseorang yang merasakan cinta. Cinta tidak pernah
terlepas dari kehidupan manusia. Berbicara tentang cinta dalam kehidupan, mungkin
secara tidak sadar, terkadang sering dilibatkan sebuah dialog tentang cinta yang cukup
kompleks karena seperti yang diketahui bahwa cinta mengandung makna yang
kompleks dan tidak terbatas. Misalnya, adanya dengar pendapat atau argument dua
orang berbeda dan bukan tidak mungkin juga akan menemukan beberapa poin yang
berbeda dari kedua orang tersebut. Tidak ada batasan yang jelas tentang arti cinta,
oleh karena itu sering secara tidak sadar berdialog sendiri untuk menemukan arti cinta
yang sesungguhnya. Setiap orang mempunyai pemikiran dan pendapat sendiri
mengenai cinta, hal ini berkaitan dengan pengalaman, latar belakang dan tingkat
kepekaan individu.
Cinta dalam mitologi Yunani dalam sejarahnya berasal dari kata Eros, kata
Eros merupakan sebuah cinta. Eros, juga termasuk para dewa diantara dewa
kekacauan dan dewa bumi. Eros meskipun tidak mempunyai hal yang istimewa
dibandingkan dengan para dewa lainnya, namun Eros memiliki kekuatan yang sangat
besar. Eros memiliki peranan dan kekuatan yang besar untuk mengendalikan dan
mempengaruhi para dewa serta manusia melalui sebuah perasaan cinta yang dapat
yakni dengan cinta dapat menjadi jahat, sanggup melakukan apapun, tidak terkecuali
untuk membunuh. Eros dengan kekuatan cintanya juga dapat menjadikan sebuah
dendam, permusuhan, rasa sakit serta peperangan menjadikan semuanya indah dan
menyatukan semua perbedaan. (Rasyadi,2000:39).
Ketika cinta berasal dari bahasa sansekerta, yaitu citta yang berarti selalu
dipikirkan; senang; kasih; (ngatenan,1990:43). Sedangkan dalam kamus
Poerwodarminto, disebutkan bahwa :
“Cinta adalah selalu teringat dan terpikirkan dalam hati, lantas berarti; rasa susah hati;rindu, sangat ingin bertemu; sangat suka, sangat kasih dan sangat tertarik hati.” (Poerwodarminto, 1987; 296 dalam Ningrum, 2004:16)
Cinta adalah sebuah perasaan yang ingin membagi bersama atau sebuah
persaan terhadap seseorang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi atau kegiatan
aktif yang dilakukan manusia terhadap obyek lain, berupa pengorbanan diri, empati,
perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti,
patuh, dan mau melakukan apapun yang diinginkan obyek tersebut.
(http://id.wikipedia.org/wiki/cinta).
Cinta juga dapat diartikan sebagai kekuatan, kemandirian yang dapat berdiri
sendiri. Cinta merupakan sebuah tindakan yang spontan, kemampuan untuk bertindak
atas keinginannya sendiri. (Fromm,2007:232).
Cinta identik dengan ungkapan perasaan sayang, suka sepasang sejoli yang
dimabuk asmara. Ada yang mengatakan cinta itu suci, cinta itu agung, cinta itu indah
dan begitu indahnya hingga tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata, hanya dapat
Didalam masyarakat sendiri, selain terdapat berbagai macam definisi dan arti
cinta, juga terdapat konsep cinta. Konsep Cinta itu menurut Sujadi (1984:40) yang ada
dalam kehidupan manusia, digolongkan kedalam empat macam :
1. Cinta Agape, yakni cinta manusia kepada Tuhan
2. Cinta Philia, yakni cinta kepada kedua orang tua dan saudaranya
3. Cinta Eros dan Amor, yakni cinta antara pria dan wanita
4. Cinta Sesama, yakni perpaduan antara Agape dan Philia, lebih dikenal
sebagai rasa belas kasih.
Cinta didalam agama Islam merupakan suatu perkara yang suci. Hal ini telah
dijelaskan dalam ayat-ayat Al-qur’an. Didalam Islam, seorang muslim dan muslimah
tidak dilarang untuk saling mencintai, bahkan dianjurkan. Islam tidak membelenggu
cinta, karena itu Islam menyediakan lembaga pernikahan.
Cinta tidak akan pernah terlepas dalam kehidupan manusia, bermacam-macam
tema cinta dalam film, telah disuguhkan pada masyarakat. Tema cinta tersebut,
mendominasi per-filman di Indonesia. Tema cerita cinta dalam film diangkat dari
sebuah realitas yang terjadi dalam masyarakat. Film sendiri bisa dikategorikan
sebagai media massa. Karakteristik film sebagai media massa mampu membentuk
semacam visual public consensus. Hal ini disebabkan karena film selalu bertautan
dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan selera public. Singkatnya, film
merangkum pluralitas nilai yang ada dalam masyarakatnya. (Jowett dalam
Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen social, lantas para
ahli percaya bahwa memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya. Sejak itu,
maka merebaklah berbagai penelitian yang hendak melihat dampak film terhadap
masyarakat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya keatas layar lebar.
Film juga merupakan sebuah karya seni pada abad 20 yang dapat menghibur,
mendidik, melibatkan perasaan, merangsang pikiran, dan memberikan dorongan
terhadap penontonnya. Pengaruh terhadap khalayak luas sebagai penonton ini lebih
jauh, misalnya sebuah film dapat menjadi media untuk menghibur masyarakat dalam
bentuk komedi, atau bisa juga untuk mendidik masyarakat melalui film dokumenter,
dan lain sebagainya (Irawanto, 1999 : 45).
Dunia film, pada dasarnya juga merupakan sebuah bentuk pemberian
informasi kepada masyarakat. Film juga memiliki kebebasan dalam menyampaikan
informasi atau pesan dari seorang pembuat sineas kepada penonton. Kebebasan dalam
hal ini adalah film seringkali secara lugas dan jujur menyampaikan sebuah pesan,
informasi, atau suatu karakter tertentu. Sementara itu di pihak lain, film juga
terkadang disertai tendensi tertentu, misalnya ingin mendeskripsikan suatu tema
sentral.
Secara umum, film dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu film cerita
dan film non cerita. Film cerita adalah film yang menyajikan kepada public atau
khalayak sebuah cerita dan mengandung unsur-unsur yang menyentuh rasa manusia.
Selain didukung audio, film juga dilengkapi dengan visualisasi gambar sehingga suatu
pesan yang disampaikan kepada khalayak luas khususnya penonton dapat benar-benar
dipahami. Namun demikian, untuk bisa memahami realitas sosial budaya yang
terekam di dalam sebuah film tentu saja memerlukan data yang hanya dapat diperoleh
dengan menggunakan metode tertentu. salah satu pengumpulan data yang dapat
digunakan adalah observation ex post facto, yakni pengamatan terhadap suatu
peristiwa / fenomena / gejala-gejala melalui media perekam jejak-jejak dari peristiwa
/ fenomena / gejala itu sendiri, baik dalam bentuk rekaman visual berupa gambar atau
foto maupun rekaman audio visual berupa film (Irawanto, 1999 : 52).
Film sebagai seni yang sangat kuat pengaruhnya, dapat memperkaya
pengalaman hidup seseorang, dan bisa menutupi segi-segi kehidupan yang lebih
dalam. Film selalu diwaspasai karena kemungkinan pengaruhnya juga buruk. Pada
tahun 1993, dunia perfilman dicemaskan oleh kekerasan yang seringkali ditampilkan
dalam film-film di televise ataupun di bioskop-bioskop secara vulgar. Namun
demikian, film-film tersebut tetap disajikan dalam konteks yang fiktif atau karangan
scenario belaka (Irawanto, 1999 : 78 – 79).
Selain itu, film juga berpengaruh kuat dan besar terhadap jiwa manusia karena
penonton tidak hanya terpengaruh ketika menonton film saja tetapi juga akan terus
terbawa sampai waktu yang cukup lama. Jadi, film merupakan bagian yang sangat
penting dalam media massa untuk menyampaikan suatu pesan atau setidaknya
memberikan pengaruh kepada khalayak luas untuk bertindak sesuatu (Effendy, 2003 :
Berbagai tema cinta pada sebuah film telah disuguhkan pada masyarakat,
seperti film Ada Apa Dengan Cinta (AADC), Eiffel I’m In Love, Badai Pasti Berlalu,
dll. Namun pada akhir tahun film 2008, sebuah film menyuguhkan tema cinta yang
berbeda tentang perbedaan Keyakinan (Agama), seperti Film Ayat-ayat Cinta
(sutrarada Hanung Bramantyo) yaitu cinta antara Maria Girgis (Carissa Putri) kepada
tokoh utama film, Fahri (Fedi Nuril). Namun AAC tidak mempersoalkan perbedaan
agama tersebut, karena film ini justru menggunakan perbedaan itu untuk menekankan
keunggulan salah satu agama dibanding yang lainnya. Dalam film itu Maria Girgis,
penganut Kristen Koptik, akhirnya masuk Islam, dan kisah cinta beda agama itu tak
menjadi persoalan sama sekali. Film berakhir dengan baik, dan akhiran film menutup
segala macam perdebatan mengenai perbedaan agama ini tanpa menyisakan
pertanyaan sedikitpun.
Pada pertengahan tahun 2010 Kembalinya latar belakang perbedaan cinta
membuat sutradara Benni Setiawan, menyutradarai film 3 Hati Dua Dunia Satu Cinta.
Film ini Diadaptasi dari dua buah novel karya Ben Sohib, The Dapeci Code dan Rosid
& Delia yang kemudian skenarionya ditulis sendiri, 3 Hati Dua Dunia Satu Cinta
menceritakan kisah cinta dengan berbagai kriteria cinta di kehidupan manusia.
Film ini bercerita tentang sebuah keluarga Betawi keturunan Arab dan
muslim yang taat, film ini berkisah tentang Rosyid (Reza Rahadian). Rosyid adalah
anak lelaki yang membuat pusing si abah (Rasyid Karim) dan umi (Henidar Amroe).
Bukan hanya karena dia berambut kribo dan cuma sibuk berpuisi-puisi, tetapi juga
karena si bocah lanang itu berpacaran dengan Delia, seorang gadis Manado yang
Nasrani yang taat, Rosyid anak lelaki baik tetapi yang juga membuat mereka
menghela nafas karena perbedaan keimanan.
Peneliti memilih film “ 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta “ karena masalah tentang kisah
cinta yang beraneka ragam. Jadi tidak hanya cinta kepada lawan jenis saja yang
dibahas, tetapi cinta terhadap orang tua (Philia) dan cinta kepada tuhan (Agape)
Representasi film ini dan kedekatannya terhadap kenyataan masyarakat
metropolis yang sesungguhnya untuk bisa menghargai dan membedakan cinta kepada
yang dicintainya. peneliti sebagai satu aspek yang sangat penting dalam proses
pemaknaan dan pendeskripsian isi film, agar dapat diperoleh eksplorasi imajinasi
makna semaksimal mungkin terhadap kode-kode verbal, non verbal dan tanda-tanda
konotasi maupun denotasi yang bertebaran di keseluruhan bagiannya untuk
menangkap keutuhan makna dan representasi yang disajikannya.
Cinta merupakan isu sentral yang hingga kini masih disukai oleh masyarakat,
Beberapa film Indonesia sempat mengangkat representasi masalah cinta, namun
dalam film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta, isu cinta beda Agama, cinta kepada orang tua dan
cinta terhadap tuhan hadir dalam usahanya untuk mencoba memperjuangkan kisahnya
tanpa mengorbankan agama yang di yakini. Bagaimana masalah mereka dengan krisis
identitas hubungan mereka dan konsekuensinya jika mengungkapkan kepada
masyarakat luas, yang merupakan pertanyaan sekaligus ketakutan terbesar sebagian
mereka selama ini atas efek yang akan diterimanya dari pihak keluarga dan
masyarakat. “3 Hati 2 Dunia 1 cinta” merupakan sebuah film yang berusaha
Dalam Festival Film Indonesia (FFI ) yang diadakan di Jakarta pada tanggal
06 Desember 2010, 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta telah berhasil meraih Piala Citra sebagai
film Indonesia terbaik tahun 2010. Predikat ini bisa jadi dipertanyakan mengingat film
Sang Pencerah (sutradara Hanung Bramantyo) disingikirkan oleh komite seleksi FFI
dengan alasan “akurasi sejarah” yang lemah. Sekalipun demikian, jelas film ini
merupakan salah satu film terpenting tahun 2010 karena keberaniannya menabrak
tabu.
Strategi komedi film ini memang mampu membawa tema yang tergolong berat
dan sensitif dengan sukses tanpa menjadikannya melodramatis. Sebuah melodrama
mungkin akan menguras emosi dan bisa jadi lebih laris. Namun pendekatan komedi
telah membuat drama menjadi proporsional dan tidak ada penghitam-putihan yang
mengorbankan karakter sehingga menjadi jahat dan mudah dibenci. Alih-alih, elemen
penghalang (adversaries) dalam plot film ini dikenakan berbagai stereotip
(typecasting) untuk menimbulkan efek karikatural yang berguna sebagai bahan
lelucon, terutama pada tokoh ayah Rosid. Pilihan komedi ini akhirnya memang
berhasil melakukan sublimasi atau menghaluskan konflik.
(http://cintabedaagama.com/layar/article.php?id=92646&cat)
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian deskriptif
kualitatif, serta dengan menggunakan pendekatan semiotika yang dikemukakan oleh
John Fiske, yang terdiri dari dua level realitas dan level representasi, serta
menginterprestasikan dan memaknai cinta di film “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta”. Peneliti
memilih model semiotik milik Fiske karena memiliki kelebihan yaitu dapat diterapkan
non verbal. Serta analisis semiotik pada sinema atau layar lebar (wide screen)
disertakan dengan analisis film yang ditayangkan ditelevisi, yang dikemukakan oleh
John Fiske, mempresentasikan Hal ini sangat relevan dengan pendekatan semiotik
dalam analisis film. Dikarenakan penelitian ini adalah film yang ditayangkan di
Bioskop maka analisis setara dengan dengan kode-kode televisi pada sinema yang
diutarakan oleh John Fiske.
1.2Perumusan Masalah
Setelah peneliti memaparkan uraian latar belakang masalah yang telah
dikemukakan pada sub bab sebelumnya, maka permasalahan dalam penelitian ini
dapat di rumuskan sebagai berikut : “bagaimana sebuah cinta di representasikan di
Film “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta ?”
1.3Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini untuk mengetahui
1.4Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian ilmu komunikasi, khususnya
yang berkaitan dengan pengembangan studi analisis semiotika film dalam kajian
media massa.
1.4.2 Manfaat Praktis
Dengan adanya Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan studi
pada berbagai studi film yang selama ini telah melembaga baik formal maupun non
formal. Dan di harapkan pula dapat berguna sebagai bahan pertimbangan bagi industri
perfilman atau pihak-pihak yang terkait didalamnya yang ingin melakukan perbaikan
dan penyempurnaan terhadap kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam film
tersebut dengan mengetahui arti memaknai cinta dari berbagai criteria, yakni cinta
Agape ( cinta kepada tuhan. Cinta Pilia (cinta kepada orang tua dan sodara), dan cinta
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1 Film, Masyarakat dan Realitas Sosial
Film yang dimaksud dalam penelitian ini adalah film teatrikal, jenis film cerita
yaitu film yang menyajikan suatu cerita dan diproduksi secara khusus untuk pertunjukkan
digedung-gedung bioskop atau cinema. Film jenis ini berbeda dengan film tv ( TV film)
atau sinetron (sinetron elektronik) yang khusus dibuat untuk siaran itu. Film teatrikal
dibuat secara mekanik, sedangkan film TV dibuat secara elektronik. (Effendy,1993:201).
Film juga merupakan gambar hidup yang merupakan bentuk seni, bentuk popular dari
hiburan dan juga bisnis. (http://id.wikipedia.org/wiki/film).
Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang terpadu dengan hasil
seni dan budaya. Karena perpaduan ini pula, sehingga memungkinkan film dapat dengan
mudah disambut baik oleh masyarakat dan akhirnya menjadi bagian yang menyatu dalam
sejarah umat manusia.
Pesan-pesan dalam film yang dikemas sedemikian rupa, juga mempermudah
audience atau khalayak untuk mencerna dan menerima maksud yang dicoba untuk
disampaikan kepada mereka. Sejak awal dilahirkannya industry film, oleh para pembuat,
distributor dan pemilik cineplax memang sudah dirintis untuk membangun konsumen
untuk film produksinya, sehingga film selain menjadi sebuah karya seni, juga merupakan
bentuk komoditi komersial progresif, dan media representasi social yang dinamis
Film cerita adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yaitu lazim
dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan para bintang film yang tenar. Film ini
distribusikan sebagai barang perdagangan dan diperuntukkan bagi masyarakat dimana
saja. (Onong,2000:211). Film berperan berperan sebagai sarana baru yang digunakan
untuk menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu. Serta menyajikan
cerita, peristiwa, music, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat
umum. (McQuail,1994:13)
Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam
realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan memproyeksikannya
kedalam layar. (Irwanto,1993;13 dalam Alex Sobur 2004;127)
Film adalah dokumen kehidupan social sebuah komunitas. Film mewakili realitas
kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk imajinasi maupun
realitas kelompok dalam arti sebenarnya. Film itu menunjukkan pada kita jejak-jejak
yang ditinggalkan pada massa lampau, cara menghadapi masa kini dan keinginan
manusia terhadap massa yang akan datang. Sehingga dalam perkembangannya film
bukan lagi sekedar usaha menampilkan citra bergerak (moving image) namun juga telah
di ikuti oleh kepentingan tentang seperti politik,kapitalisme, hak asasi manusia atau gaya
hidup. Film juga sudah di anggap bias mewakili citra atau identitas komunikasi tertentu.
Bahkan bisa-bisa membentuk komunitas sendiri, komunikasi sifatnya yang universal
meskipun demikian film juga bukan tidak menimbulkan dampak negative. (Victor
Status awal film sebagai media massa paradigmatic yang fenomenal merupakan
penjabaran utama atas korelasinya terhadap aktifitas dan masalah social yang terjadi
dalam masyarakat. Popularitasnya yang bisa dibilang kolosal seringkali menjadi alasan
bagi anggota atau beberapa komponen masyarakat untuk ikut merasa ‘bertanggungjawab’
dan khawatir akan akibat film pada pikiran dan sikap dari beberapa kelompok social
tertentu. Pengalaman intens dan menyenangkan yang didapatkan oleh pemirsa film dari
sinema tampak jelas menjelaskan bahwadampak pengaruh film terhadap pikiran
seseorang juga bisa dipastikan akan intens (Gripsurd,1995:131).
Dasar dari tradisi panjang dalam teori film dan hubungannya dengan realitas
social dalam masyarakat berakar dari konsepsi Marxist yang memandang bahwa film
adalah sebuah medium untuk mengubah cara berpikir seseorang menuju arah yang
progresif. Dalam kata lain bisa di artikan sebagai reproduksi dan penyebaran false
consciousness atau kesadaran palsu (Hill,2001:203).
Berkaitan dengan kemampuannya dalam mempresentasikan realitas social yang
ada dalam masyarakat dan menghadirkannya kehadapan khalayak pemirsanya, film
mempunyai potensi yang luar biasa besar dalam menggugah sisi psikologis emosional
manusia (Gripsurd dalam Hill2001:206). Dari berbagai macam cara komunikasi
dilaksanakan dalam masyarakat manusia, salah satunya adalah komunikasi massa.
Konsep komunikasi massa itu sendiri pada satu sisi mengandung pengertian suatu proses
dimana organisasi media memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara
luas dan pada sisi lain merupakan proses dimana pesan tersebut dicari digunakan dan
2.1.2 Film sebagai Media Komunikasi Massa
Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media
cetak dan elektronik). Sebab awal perkembangannya saja, komunikasi massa berasal dari
pengembangan kata media of mass communication (media komunikasi massa). Massa
dalam arti komunikasi massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan
dengan media massa. Dengan kata lain, massa yang dalam sikap dan perilakunya
berkaitan dengan peran media massa. Oleh karena itu, massa di sini menunjuk kepada
khalayak, audience, penonton, pemirsa atau pembaca.
Pengertian komunikasi massa, merujuk kepada pendapat Tan dan Wright dalam
Liliweri (1991), bahwa komunikasi massa merupakan bentuk komunikasi yang
menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikasi
secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat
heterogen, dan menimbulkan efek tertentu.
Rumusan masalah yang sudah tersurat diatas akan dibedah dalam pencarian
kembali makna-makna yang ada dalam objek penelitian. Proses pencarian makna tersebut
memerlukan cara pandang dalam upaya memahami masalah yang ada. Paradigma dilihat
sebagai suatu cara pandang, cara memahami, cara menginterprestasikan, suatu kerangka
pikir, set dasar keyakinan yang memberi arahan pada tindakan Dalam hal ini pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan Interpretatif sebagai cara membaca fenomena yang
terjadi dalam film Persepolis.
Berbeda dengan pendekatan objektif, pendekatan Interpretif percaya bahwa tidak
memahami makna dari suatu realitas. Secara umum dalam ilmu sosial terdapat dua
paradigma besar yaitu objektif dan interpretif (Salim, 2006: 5). EM Griffin dalam
bukunya A First Look at Communication Theory menyebutnya dengan pandangan
objektif dan interpretif (Griffin, 2003: 9). Jika positivis sering disebut sebagai pendekatan
objektif dan pendekatan scientific, maka pendekatan interpretif juga dipahami sebagai
pendekatan subjektif. Pendekatan subjektif mengasumsikan bahwa pengetahuan tidak
mempunyai sifat yang objektif dan sifat yang tetap, melainkan bersifat interpretif
(Mulyana, 2001: 33).
Paradigma interpretif adalah suatu paradigma yang menganggap bahwa ilmu
bukanlah didasarkan pada hukum dan prosedur yang baku, setiap gejala atau peristiwa
bisa jadi memiliki makna yang berbeda; artinya tidak ada kebenaran yang bersifat
tunggal, ilmu bersifat induktif berjalan dari yang sepesifik menuju yang umum.
Pendekatan interprestif pada akhirnya melahirkan pendekatan kualitatif (Salim, 2006: 5).
Peneliti menggunakan paradigma interpretif sebagai upaya untuk dapat melihat
fenomena dan menggali pengalaman dari objek penelitian. Pendekatan interpretif
berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau
budaya yang didasarkan pada perspektif dan fenomena yang diteliti. Dalam paradigma
interpretif, realitas sosial dilihat dengan kondisi yang cair dan mudah berubah. Fenomena
sosial senantiasa bersifat sementara (Mulyana, 2001: 34).
Data-data yang tersaji dalam penelitian ilmiah ini adalah data-data yang bersifat
kualitatif. Tidak ada hukum positif yang berlaku secara baku. Sifat dan karakter dari
adanya pengetahuan baku. Maka proses pencarian makna dari sebuah fenomena
masyarakat yang terjadi dalam film Persepolis membuat pendekatan interpretif dirasa
tepat. Penelitian bergerak dari upaya untuk menemukan makna-makna dari fenomena
tersebut.
2.1.3 Representasi dalam Film
Pengertian representasi sendiri adalah sebuah bagian yang essensial dari proses
dimana makna dihasilkan atau diproduksi dan diubah antara anggota kultur tersebut.
Untuk menyatakan atau menggambarkannya dapat dilakukan menggunakan bahasa. Oleh
karenanya hal ini tidak lepas dari kultur atau budaya. karena antara makna, bahasa dan
kultur berhubungan satu sama lain (Hall,1997:15).
Konsep representasi penting digunakan untuk menggambarkan hubungan antara
teks media dengan realitas. Chiara Giaccardi menyatakan secara semantic representasi di
artikan; “to depict, to be a picture of, atau to act or speak for (in the place of, in the name
of) somebody. Berdasarkan kedua makna tersebut, to represent bisa didefinisikan to stand
for. (Giaciardi dalam Noviani, 2002:61). Ia menjadi sebuah tanda (a sign) untuk sesuatu
atau seseorang, sebuah tanda yang tidak sama dengan realitas yang direpresentasikan tapi
dihubungkan dengan, dan mendasarkan diri pada realitas yang menjadi referensinya.
Pada relasi anggota relasi anggota sosial dengan kulturnya akan melahirkan
makna dan menyebarkan pengertiannya karena adanya interaksi yang hidup pada kultur
tertentu melalui bentuk-bentuk representasi. Apakah itu melalui media massa atau
Termasuk disini adalah film, karena film termasuk media massa yang dapat
menghasilkan makna dan direkonstruksi dalam kehidupan sosial. Makna dikonstruksi
oleh sistem representasi dan diproduksi melalui bahasa, tidak hanya melalui ungkapan
verbal namun juga non verbal. Sistem representasi tersusun melalui pengorganisasian,
penyusunan dan pengklarifikasian dan berbagai kompleksitas hubungan diantara mereka.
Jadi konsep representasi tidak dapat tersusun dengan sendirinya. Seperti yang
diungkapkan oleh Sturken dan Cartwright : representasi merujuk pada penggunaan
bahasa dan imajinasi untuk menciptakan makna tentang dunia sekitar kita. Kita
menggunakan bahasa untuk memahami, menggambarkan dan menjelaskan dunia yang
kita lihat, dan demikian pula dengan penggunaan imaji. Proses ini terjadi melalui sistem
representasi, seperti media bahasa dan visual, yang memiliki aturan dan konvensi tentang
bagaimana mereka diorganisir (Hall,2001:12).
Representasi dikatakan sebagai proses produksi makna melalui bahasa, hal ini
mengandung dua prinsip, pertama untuk mengartikan sesuatu, untuk menjelaskannya atau
menggambarkannya dalam pikiran dengan sebuah gambaran imajinasi: untuk
menempatkan persamaan ini sebelumnya dalam pikiran atau perasaan kita. Kedua adalah
representasi digunakan untuk menjelaskan konstruksi makna sebuah simbol, jadi kita
dapat mengkomunikasikan makna objek melalui bahasa kepada orang lain yang bisa
mengerti dan memahami konvensi bahasa yang sama Pembahasan tentang representasi
tidak lepas dari media.
Media massa merupakan tempat dimana totalitas sosial. Bentuk-bentuk gambaran
sekedar media yang merefleksikan realitas, namun film juga mengkonstruksikan kembali
realitas tersebut berdasar cara-cara tertentu. Hal ini diungkapkan Turner (dalam
Irawanto, 1999:14)
“Film does not reflect or even record reality: like any other medium of representation it construct and ‘represent’ it picture of reality by way of codes, conventions, myts and ideologies of its culture as well as by way of the specific signifying practices of the medium” (film tidak mencerminkan atau bahkan merekam realitas seperti medium representasi yang lain, ia mengkonstruksikan dan menghadirkan kembali gambaran dari realitas melalui kode-kode, konvensi-konvensi, mitos, ideology-ideologi dari kebudayaannya sebagaimana cara praktik signifikasi yang khusus dari medium”).
Jadi istilah representasi mungkin lebih tepat untuk menggambarkan realitas
masyarakat dalam suatu film, karena realitas yang hadir dalam film bukanlah
semata-mata cerminan dari realitas di masyarakat, tetapi proyeksi dari daya serap penciptanya
dan di hadirkan kembali dalam film.
Representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan.
Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut ‘pengalaman
berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia
yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi tanda-tanda kebudayaan yang
sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang
sama.(Hall.1997:29).
Dalam representasikan kita menggunakan tanda ( sign ) yang diorganisasikan
dalam bahasa yang bermacam-macam, untuk berkomunikasi dengan orang lain. Tanda ini
bisa berupa kata-kata, gambar atau bahkan suara
Tanda diorganisasikan kedalam bahasa, dan yang membuat kita dapat mengubah
mereka untuk mengkomunikasikan maksud kita kepada orang lain. Dua system dari
representasi bekerja bersama untuk menyediakan makna dalam budaya kita. Pertama
mempersuakan kita membuat hubungan antara “sesuatu” dan system konsep kita. Kedua
menghubungkan peta konsepsi kita dengan satu set tanda, yang kemudian
diorganisasikan menjadi bahasa. Proses menghubungkan antara konsep, tanda dan
sesuatu hal dalam memproduksi makna adalah apa yang kita sebut “representasi”.
Representasi dalam film adalah penggambaran suatu objek yang ditampilkan
dalam film. Penggambaran ini ditampilkan melalui serangkaian tanda-tanda. Tanda-tanda
yang dimaksud berarti tanda yang menjadi unsur sebuah film. Unsur tersesbut berupa
dialog, sikap masing-masing pemain, angel kamera hingga music. Tanda dari unsur-unsur
film ini akan dianalisis dan dicari maknanya, sehingga makna dibalik tanda tersebut dapat
diungkapkan. Dalam penelitian ini, representasi menunjuk pada pemaknaan tanda-tanda
yang terdapat pada film “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta" dengan mengacu pada pendekatan atau
konsep kehidupan yang menjalani hubungan yang berbeda agama,dan keragaman etnis
budaya yang saling berbagi.
2.1.4 Devinisi Cinta dan Jenis Cinta
Seorang psikologis asal Amerika serikat, Ashley Montagu, memandang cinta
sebagai sebuah perasaan yang memerhatikan, menyayangi, dan menyukai yang
mendalam dan biasanya, rasa cinta itu disertai rasa rindu dan hasrat terhadap sang objek.
Sedangkan menurut psikologis Elain dan William Wasten, cinta adalah suatu keterlibatan
yang kuat dan diiringi dengan perasaan mendambakan pasangan dan keinginan untuk
memuaskannya.(Widianti, Dian: 2007:37).
Pengertian cinta dalam kamus Funk dan Wagnalis, yaitu :
“cinta adalah suatu emosi atau perasaan yang kompleks dan kuat yang dibangkitkan oleh sesuatu, seseorang atau suatu kausalitas yang menyebabkan seseorang menghargai, senang serta mengharapkan kehadiran si obyek dan menyenangkan atau meningkatkan kesejahteraan obyek tersebut, kerinduan atau keramahan jiwa terhadap sesuatu yang dipahami dan dipandang baik atau sempurna dari berbagai sudut pandang yang dalam bermacam hubungan, perasaan sayang atau kasih sayang yang kuat yang dicurahkan terhadap seseorang.” (Issac dalam Ridha,2000:20, Lukita,16).
Tidak ada batasan yang jelas tentang arti cinta, oleh karena itu kita sering secara
tidak sadar berdialektika sendiri untuk menemukan arti cinta sesungguhnya. Setiap orang
mempunyai pemikiran dan pendapat sendiri mengenai cinta, hal ini berkaitan dengan
pengalaman, latar belakang dan tingkat kepekaan individu.
Kata cinta berasal dari bahasa sansekerta, yaitu citta yang berarti selalu
dipikirkan; senang; kasih; (ngantenan,1990:43). Sedangkan dalam kamus
Poerwodarminto, disebutkan bahwa :
“Cnta adalah selalu teringat dan terpikirkan dalam hati, lantas berarti: rasa susah
hati; rindu, sangat ingin bertemu; sangat suka, sangat sayang; sangat kasih
dan sangat tertarik hati.” (Poerwodarminto, 1987;296).
Cinta identik dengan ungkapan perasaan sayang, suka sepasang sejoli yang
dimabuk asmara, ada yang mengatakan cinta itu suci, cinta itu agung, cinta itu indah dan
begitu indahnya hingga tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan.
Menurut sujadi (1984:40) tentang kehidupan manusia, khususnya mengenai cinta
menggolongkan kedalam empat macam :
2) Cinta Philia, yakni cinta kepada kedua orang tua dan saudaranya
3) Cinta Eros dan Amor, yakni cinta antara pria dan wanita
4) Cinta sesama, yakni perpaduan antara cinta Agape dan Philia, lebih dikenal
sebagai rasa belas kasih.
Ada enam batasan cinta, menurut Master Johnson dan Kolodny (1985), serta
Turner dan Hlems (1995) :
1) Cinta Eros alias cinta birahi,
Cinta ini identik dengan cinta seksual dan erotic yang bersumber dari
melekatnya cairan seksual dalam tubuh bermuara pada lust (nafsu). Cinta
ini ditandai dengan keinginan memiliki, menuntut, merengek, mendesak,
mengambil, dan bukan memberi.
2) Cinta Philia alias rasa sayang dan kasih.
Cinta ini tumbuh dari diri seseorang; bisa karena hubungan keluarga atau
indahnya sebuah persahabatan yang mendalam. Biasanya, cinta model ini
ada pada hubungan orang tua- anak dan kakak-adik.
3) Cinta Agape
Cinta ini ditandai dengan perhatian aktif pada orang yang dicintai dengan
penuh keikhlasan, saling memberi, saling menghargai dan memberi.
4) Cinta Storage (cinta pesahabatan)
Cinta yang ini tumbuh subur dibenak hati seseorang karena adanya sebuah
persahabatan yang hangat dan akrab sehingga tidak menekankan unsur
5) Cinta Hudus
Cinta ini sering dilakukan anak muda yang sering bermain cinta namun
tidak ada tingkat keseriusannya.
6) Cinta Pragma (cinta untung-rugi)
Cinta yang mempunyai kualitas suatu hubungan dipikirkan dan dihitung
dengan rumus jumlah keuntungan yang didapat oleh sebuah pasangan
yang sedang dimabuk cinta.
Menurut tokoh Sternberg (papilia et. Al, 1998), cinta terdiri dari tiga komponen,
yaitu intimacy (keintiman), passion (gairah), dan komitmen. Ada delapan jenis cinta
berdasarkan ada tidaknya ketiga komponen tadi, yaitu :
1) Non love
Hubungan antara individu yang berbeda jenis kelamin, namun tanpa disertai
unsur intimasi, hawa nafsu biologis (passion), ataupun komitmen.
2) Liking
Dua sosok individu saling mengenal, tetapi hanya sebatas sahabat dan saling
peduli.
3) Infactuation
Hubungan yang terjadi antara dua individu yang berbeda jenis kelamin, hanya
didasari oleh nafsu biologis tanpa adanya keakraban ataupun komitmen.
1. Empty love
Jenis cinta ini didasari dengan komitmen, tetapi tidak ada unsur passion
2. Romantic love
Jenis cinta ini berdasarkan intimasi dan nafsu seksual, tapi tidak memiliki
sebuah komitmen sampai pada jenjang yang lebih serius, yakni pernikahan.
3. Companiote love
Hubungan jangka panjang yang tidak melibatkan unsur seksual, termasuk
persahabatan.
4. Fatuous love
Disebut juga hubungan dengan komitmen tertentu.
5. Consummate love
Cinta jenis ini menjadi tujuan hubungan cinta yang ideal karena ketiga unsur
sama-sama ada dan tegar menghadapi berbagai penderitaan, cobaan, ataupun
rintangan.
Berbeda dengan Sternberg, Sawitri Supardi Sedarjo, dalam konsultasi
psikologi-nya membagi cinta menjadi dua, yaitu :
a. Cinta romatis
Cinta dilukiskan sebagai suatu hal yang imajinatif serta tidak praktis,
misterius, dan fiktif karena hanya mengondisikan suatu rangsangan yang
bersifat emosional, petualangan hati, dan pemenuhan idealism yang dilandasi
emosi.
b. Cinta sejati
Cinta sejati cenderung menyertakan rasa hormat, toleransi, penerimaan
manifestasi kesepian mendalam pada pasangan yang saling mencintai. (Widianti,
Dian:2007:66).
Dalam Wikipedia, para pakar telah membagi cinta dalam beberapa macam, yakni :
1. Cinta terhadap keluarga
2. Cinta terhadap teman-teman, atau Philia
3. Cinta yang romantic
4. Cinta yang hanya merupakan hawa nafsu atau cinta eros
5. Cinta sesama atau juga Agape
6. Cinta dirinya sendiri, narsisme
7. Cinta akan sebuah konsep tertenu
8. Cinta akan negaranya, patriostisme
9. Cinta akan bangsa atau nasionalisme
Beberapa bahasa, termasuk bahasa Indonesia atau bahasa Melayu apabila
dibandingkan dengan beberapa bahasa mutakhir di Eropa, terlihat lebih banyak
kosakatanya dalam mengungkapkan konsep ini. Termasuk juga bahasa Yunani kuna,
yang membedakan antara tiga tiga atau lebih konsep: eros,philia, dan agape.
Menurut Syaikh Ibnu Qoyyim, seorang ulama di abad ke-7, ada enam peringkat
cinta (maratibul –mahabah), yaitu:
1. Tatayum, yang merupakan hak Allah semata-mata.
2. Lsyk, yang merupakan hak Rosulullah SWT. Cinta yang melahirkan sikap
hormat, patuh, ingin selalu membelanya, ingin mengikutinya, mencontohnya,
3. Syauq, cinta antara mukmin dengan mukmin yang lainnya. Antara suami
istri, antara orang tua-anak.
4. Shahabah. Yaitu cinta sesama muslim yang melahirkan ukhuwah islamiah.
5. Lthf, yaitu rasa simpati yang ditujukan kepada sesama manusia . rasa simpati
ini melahirkan kecenderungan untuk menyelamatkan manusia, berdakwah
dan sebagainya.
6. Lnthifa, yaitu keinginan untuk mendayagunakan atau memanfaatkan,
keinginan terhadap harta benda.
(www.cahayahidayah.mukjizat-cinta-dan-iman.html).
2.1.5 Teori Cinta Sigmund Freud
Tema utama dalam penelitian ini adalah sebuah representasi cinta yang
ditampilkan dalam film, tema cinta dalam penelitian ini memiliki suatu perbedaan tema
cinta yang diangkat dalam tema-tema cinta sebelumnya.
Didalam psikoanalisis, Freud mengemukakan teori cinta yang membhas cinta
seksual dimana obyek cinta adalah lawan jenis; ini semua merupakan obyek-obyek
normal yang dimiliki insting seksual. Semua jenis cinta lain misalnya cinta diri, cinta
familial, persahabatab dan cinta akan kemanusiaan, cinta terhadap obyek konkrit maupun
abstrak, dibentuk lewat pengalihan obyek normal atau rintangan atau lewat
penyimpangan dari tujuan normal.
Dalam praktek psikoanalisisnya Freud telah menjadi sangat terbiasa dengan
kehidupan cinta yang menyangkut fenomena cinta yang tak biasa, bagaimana semua
mengalami suatu perkembangan yang emrupakan akar dari suatu sikap dan perilaku
seorang manusia. Tahap perkembangana seorang anak, memiliki beberapa serangkaian
tahapan yang secara dinamis bertahan selama lima tahun pertama kehidupan, kemudian
selama suatu proses periode lima atau enam tahun berikutnya menjadi stabil. Masing-
masing tahap perkembangan selama lima thaun pertama ditentukan oleh cara-cara reaksi
suatu zona tubuh tertentu.
Dirumuskan dengan singkat, Oedipus dan Elektra kompleks ditimbulkan adanya
permusuhan ataupun persaingan antara orang tua dan anak sejenis. Anak laki-laki ingin
memiliki ibunya atau mencari sosok yang sama seperti ibunya. Perasaan –perasaan ini
menyatakan diri dalam khayalan pada waktu anak-anak melakukan masturbasi dan dalam
bentuk pergantian antara sikap cinta dan sikap cinta melawan orang tuanya.
Mengenai kompleks Oedipus dan kompleks Elektra, Karen Horney berpendapat
bahwa hal tersebut bukanlah suatu konflik seksual dan agresif yang terjadi antara anak
dengan orang tuanya, melainkan kecemasan yang timbul dari gangguan-gangguan dasar,
misalnya penolakan, perlindungan yang berlebihan dan hukuman-hukuman yang
diterapkan dalam sebuah keluarga. Agresif bukanlah sifat bawaan, sebagaimana
dinyatakan Freud, melainkan merupakan cara dimana manusia berusaha melindungi
keamanannya. Narsisme pada dasarnya bukanlah cinta diri, melainkan penbawaan diri
dan penilaian diri yang berlebihan akibat perasaan – perasaan tidak aman.
(Hall,Calvin&Lindzey,Gardney,1993:265)
Teori Oedipus komplek dan Elektra komplek, didasarkan pada kenyataan didalam
Hal ini, yang menyebabkan terjadinya perasaan khusus yang disebut cinta seorang anak
terhadap sosok ibunya sendiri muncul, begitu sebaliknya yang disebut Elektra komplek.
(Santas,Gerosimos,2002:200).
2.1.6 Model Semiotika John Fiske
Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural and communication Studies,
disebutkan bahwa terdapat dua persepektif dalam mempelajari ilmu komunikasi.
Perspektif pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan, sedangkan perspektif
kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi perpespektif
yang kedua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dna kebudayaan, metode studinya
yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna) (Fiske,2006:9).
Perspektif produksi dan pertukaran makna menfokuskan bahasannya pada
bagiamana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya
untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks
tersebut dalam budaya. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan dalam
berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan (komunikator)
dan penerima pesan (komunikan). Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah
signifikansinyadan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan. Untuk itulah pendekatan
yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik.
(Fiske,2006:09).
Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda. Studi ini tidak
hanya mengarah pada “tanda” dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi juga tujuan dibuatnya
suara, gesture, dan objek. Bila kita mempelajari tanda maka kita tidak bisa memisahkan
antara satu dengan yang lainnya yang membentuk sebuah sistem, dan kemudian disebut
sistem tanda. Lebih sederhana semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk
sebuah makna, menurut John Fiske dan John Hartley, konsentrasi semiotic adalah pada
hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya, juga
bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode (Chandler,2002:
www.aber.ac.uk)
Penerapan semiotik pada film, berarti harus mempertahankan aspek medium film
atau cinema yang berfungsi sebagai tanda. Maka dari sudut pandang ini jenis
pengambilan kamera (selanjutnya disebut Shot saja) dan kerja kamera (camera work).
Dengan cara ini peneliti dapat memahami shot apa saja yang muncul dan bagaimana
misalnya, Close-up. Terdapat pula kerja kamera yaitu bagaimana gerak kamera terhadap
objek. (Berger,1987:37)
Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk
berbagai sistem tanda yang bekerja sama denganbaik dalam upaya mencapai efek yang
diharapkan. Yang penting dalam film adalah gambar dan suara : kata yang diucapkan
(ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar yang
bergerak) dan juga musik pada film itu. Sistem semiotika yang lebih penting lagi dalam
film adalah digunakannya tanda-tanda dan ikonis, yakni tanda-tanda yang
menggambarkan sesuatu.(Sobur,2004:128)
Berkaitan dengan permasalahan maupun ruang lingkup dalam penelitian ini, maka
dalam film yang berupa scene atau gambar dan suara (kata yang diucapkan). Adapun hal
tersebut nantinya akan dianalisis dengan menggunakan “kode-kode televise” dari John
Fiske.
2.1.7 Kode-kode Televisi John Fiske
Untuk menganalisis sinema atau film, Fiske (1990:40) membagi kode menjadi 3
level, yaitu:
1. Level Realitas ( reality )
Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan, pakaian, dan make-up yang
digunakan oleh pemain, lingkungan, perilaku, ucapan, gesture, ekspresi, suara dan
sebagainya yang dipaham sebagai kode-kode teknis.
2. Level Representasi (representation)
Level representasi meliputi kerja kamera pencahyaan, editing, music, dan suara, yang
ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensioanal.
Bentuk-bentuk representasi dapat berupa cerita, konflik, karakter, action, dialog, setting dan
sebagainya. Level representasi meliputi :
a. Tekhnis Kamera : jarak dan sudut pengambilan.
Ada tiga jenis shot gambar yang paling dasar yaitu meliputi :
1. Long Shot ( LS ), yaitu shot gambar yang jika obyeknya adalah manusia maka
dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang diatas kepala. Dari jenis
shot ini dapat dikembangkan lagi yaitu Extreme Long shot (ELS). Mulai dari
sedikit ruang dibawah kaki hingga ruang tertentu diatas kepala. Pengambilan
penonton mengenai penampilan tokoh (termasuk pada body language,
ekspresi tubuh, gerak cara berjalan dan sebagainya dari ujung, rambut sampai
kaki) yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang
sedang terjadi pada adegan itu.
2. Medium Shot ( MS ), yaitu shot gambar yang jika obyeknya adalah manusia,
maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang di atas kepala. Dari
Medium Shot dapat dikembangkan lagi, yaitu Wide Medium Shot (WMS),
gambar medium shot tetapi agak melebar kesamping kanan kiri. Pengambilan
gambar medium shot menggambarkan dan memberikan informasi kepada
penonton tentang ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi dibandingkan
long shot.
3. Close Up (CU), menggambarkan secara detail ekspresi pemain dari suatu
peristiwa ( lebih detail pada ekspresi tubuh, contohnya mata, bibir, tangan dan
sebagainya ).
4. Extreme Close-Up : menggambarkan secara detail ekspresi pemain dari suatu
peristiwa (lebih detail pada ekspresi tubuh, seperti mata,bibir,tangan, dan
sebagainya).
b. Pencahayaan
Cahaya menjadi salah satu unsure media visual, karena dengan cahayalah
informasi bias dilihat. Cahaya ini pada mulanya hanya merupakan unsure
tekhnis yang membuat benda bias dilihat. Maka penyajian film juga, pada
dalam perkembangan bertutur dengan gambar, ternyata fungsinya berkembang
semakin banyak. Yakni mampu menjadi informasi waktu, menunjang mood
atau atmosfer set dan bisa menunjang dramatic adegan.(Biran,2006:43).
c. Penataan Suara
1. Sound effect, untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu kejadian.
2. Music, untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk mengiringi
suatu adegan, warna emosional pada music turut mendukung keadaan
emosional pada music turut mendukung keadaan emosional suatu adegan.
d. Tekhnik Editing
1. Cut, perubahan secara tiba-tiba dari suatu pengambilan, sudut pandang
atau lokasi lakonnya. Ada bermacam-macam cut yang mempunyai efek
untuk merubah Scene, mempersingkat waktu, memperbanyak pont of
view, atau membentuk kesan terhadap image atau ide.
2. Jump Cut, untuk membuat suatu adegan yang dramatis
3. Motivated Cut, bertjuan untuk membuat penonton segera ingin melihat
adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan sebelumnya.
Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada suara
dan penataan music yang ada pada level representasi, karena keduanya dianggap tidak
memiliki kaitan langsung terhadap representasi cinta di film “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta”
4. Level Ideologi
Level ideologi diorganisasikan kedalam kesatuan dan penerimaan sosial seperti
II.2. Kerangka Berpikir
Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan maka dapat diketahui bahwa
mengerti dan memahami beberapa bentuk visual yang mempresentasikan cinta beda
agama dalam film “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta”, peneliti menggunakan teori analisis semiotic
film oleh John Fiske, analisis semiotic pada sinema atau film layar lebar (wide screen)
disetarakan dengan analisis film yang ditayangkan di televise yang dikemukakan oleh
John Fiske. Analisis ini terbagi menjadi level realitas dan level representasi.
Dalam pengembangan kerangka berpikir peneliti menggunakan analisis berupa
scene-scene yang menunjukkan karakteristik cinta beda agama, pertama Film akan
dipilah penanda-penandanya ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun. Pada
tahap kedua film “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta” scene-scene yang sudah dipilah tersebut akan
dianalisa secara mendalam dan dimaknai, yang menunjukkan adegan percintaan beda
agama, menurut level realitas dan representasi menurut Jhon Fiske.
Fenomena tentang hubungan yang dtabu ini sangat menarik untuk
divisualisasikan dalam bentuk karya seni berupa film. Penelitian ini menggunakan studi
semiotic Jhon Fiske, mengingat film ini terdiri dari yang mendasari tanda-tanda yang
perlu dimaknai.
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif. Mendefenisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang diamati. (Meleong,1998:3)
Metode penelitian kualitatif lebih banyak dipakai untuk meneliti dokumen yang
berupa teks, gambar, symbol dan sebagainya untuk memahami budaya dari suatu konteks
social tertentu. Metodelogi analisis yang interaktif dan lebih secara konseptual tertentu.
Metode kualitatif ini, merujuk pada metode analisis dokumen untuk menemukan,
mengidentifikasi, mengolah dan menganalisi dokumen untuk memahami makna atau
signifikasi.
Oleh karena itu peneliti yang melakukan studi analisis isi kualitatif harus
memperhatikan beberapa hal: pertama adalah konteks atau situasi social diseputar
dokumen atau teks yang diteliti. Disini, peneliti diharapkan dapat memahami the nature
atau kealamiahan dan culture meaning atau makna cultural dari artifact atau teks yang
diteliti. Kedua adalah proses atau bagaimana suatu produksi media atau isi pesannya
dikreasi secara actual dan diorganisasikan secara bersama. Ketiga adalah emergence,
yakni pembentukan secra gradual/ bertahap dari makna sebuah pesan melalui pemahaman
dan interprestasi.
menggunakan metode semiotic, peneliti berusaha menggali realitas real yang didapatkan
melalui interprestasi symbol-simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan sepanjang film.
Analisis semiotic termasuk dalam metode kualitatif. Tipe penelitian ini adalah deskriptif,
dimana peneliti berusaha untuk menggambarkan bagaimana cinta yang berbeda agama itu
dipresentasikan melalui sistem tanda pada film “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta”.
3.2. Kerangka Konseptual
3.2.1 Corpus
Didalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan masalah yang
disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada
perkembangannya oleh analisis kesemenaan. Corpus haruslah cukup luas untuk memberi
harapan yang beralasan bahwa unsur-unsur akan memelihara sebuah sistem kemiripan
dan perbedaan yang lengkap. Corpus juga bersifat sehomogen mungkin, baik homogen
pada taraf waktu (Kurniawan,2000:70).
Pada penelitian kualitatif ini memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya
interprestasi alternatif. Corpus dalam penelitian ini adalah tokoh Rosyid dan Delia yang
mengalami cinta yang tidak biasa dalam film yang berjudul “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta”,
yang ditonton dalam versi VCD (Video Compact Disc).
Film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta merupakan film teatrikal (layar lebar) jenis film
cerita dan diproduksi secara khusus untuk dipertunjukkan di gedung-gedung
bioskop/cinema. Film jenis ini berbeda dengan film televise ( television film) atau
di bioskop-bioskop 21 indonesia pada awal bulan juli 2010, film ini disutradarai oleh
Benni Setyawan
3.3. Definisi Operasional
3.3.1. Representasi
Representasi berasal dari kata dasar dalam bahasa inggris “represent” yang
bermakna “stand for”, artinya “berarti” atau “act as a delegate for”, yang artinya
bertindak sebagai perlambang atas sesuatu.
Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses social pemaknaan
melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan
sebaginya. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna lewat bahasa. Lewat
bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan atau gambar) tersebut bitulah seseorang
dapat mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang sesuatu (Juliastuti,200).
Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan
pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri
juga tidak pernah tetap, ia selalu berada dalam proses negoisasi dan disesuaikan dengan
situasi yang baru. Intinya adalah : makna akan inheren dalam suatu dunia ini. Ia selalu
dikonstruksikan, diproduksi, lewat proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek
penandaan.
Ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang
“sesuatu” yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental
diterjemahkan dalam bahasa yang “lazim”, supaya kita dapat menghubungkan konsep
dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan symbol-simbol tertentu.
Proses pertama memungkinkan untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi
seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan system “peta konseptual” kita.
Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai koresponden antara “peta
konseptual” dengan bahasa atau symbol yang berfungsi merepresentasikan
konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara “sesuatu”, “peta konsep-konseptual”, dan “bahasa atau
symbol” adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan
ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang kita namakana representasi.
Konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada pengertian tentang
bagaimana seseorang, sebuah kelompok atau sebuah gagasan ditunjukkan dalam media
massa (Eriyanto,2001:113). Oleh karena itu, representasi cinta beda agama di film “3
Hati 2 Dunia 1 Cinta” berarti dalam film ini terdapat tanda dan symbol-simbol yang
menunjukkan adanya adegan yang mewakili makna perbedaan.
3.3.2. Cinta
Cinta ialah sebuah perasaan selalu teringat dan terpikirkan dalam hati, lantas
berarti; rasa susah hati; rindu, sangat tertarik hati. Cinta dapat diwujudkan kedalam
sebuah aksi perilaku atau sebuah sikap seseorang yang sedang mengalami perasaan cinta.
Perasaan cinta mendorong seseorang berperilaku dengan menggunakan emosi dan sering
kali bertindak irasional.
3.3.3. Film
dipertunjukkan digedung-gedung bioskop/cinema. Film jenis ini berbeda dengan film
televise (television film) atau sinetron (sinema elektronika) yang khusus dibuat untuk
siaran televise. Film teatrikal dibuat secara mekanik, sedangkan film televisi dibuat
secara elektronik. Berkaitan dengan penelitian ini, yang ingin diteliti ialah tentang
penokohan dalam sebuah layar lebar, yakni penokohan Rosyid dan Delia dalam film “3
Hati 2 Dunia 1 Cinta”, yang dalam hal ini mempresentasikan Cinta.
3.4 Unit Analisis
Tanda – tanda dalam tataran bergerak (film) tersebut telah dikombinasikan
menjadi kode-kode, untuk memungkinkan sesuatu pesan disampaikan dari komunikator
kepada komunikan. Adapun tanda-tanda tersebut oleh John Fiske dikategorikan menjadi
tiga level, yakni :
1. Level realitas yang mencakup kode-kode sosial seperti penampilan pakaian
dan make up, lingkungan, perilaku, ucapan, gesture, ekspresi dan dialog.
Penampilan kostum dan make-up yang digunakan oleh pemain di film 3 Hati
2 Dunia 1 Cinta. Dalam penelitian ini tokoh yang menjadi obyek penelitian
adalah Rosyid dan Delia. Pentingnya peran busana, pakaian, dandanan dan
perhiasan dalam proses komunikasi insani telah mendapatkan sorotan.
Pakaian di yang digunakan, serta apakah kostum dan make-up yang
ditampilkan tersebut memberikan signifikasi tertentu menurut kode social dan
2. Level representasi yang meliputi kode-kode tekhnik seperti kerja kamera,
pencahayaan, editing, music dan suara
Analisis semiotic pada sinema atau film layar lebar (wide screen) disetarakan
dengan analisis film yang ditayangkan di televise. Fiske mengkategorikan sign pada film
kedalam tiga kategori, yakni kode-kode social (social codes), dank kode-kode tekhnis
(technical codes), dan kode-kode representasi (representational codes). Hal ini untuk
mengetahui bagaimana representasi cinta beda agama dalam film tersebut.
3.5. Tekhnik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tekhnik dokumentasi
dan mengamati film yang berjudul “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta” secara langsung serta
melakukan studi keperpustakaan untuk melengkapi data-data dan bahan-bahan yang
dapat dijadikan sebagai referensi.
3.6. Tekhnik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan Peneliti berdasarkan sign atau
sistem tanda yang tampak pada cerita “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta” yang dapat digolongkan
sebagai pesan pemaknaan cinta, kemudian dianalisis dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan kode-kode televise oleh John fiske, analisis semiotic pada film dibagi
menjadi beberapa elemen, yaitu level realitas, dan level representasi. Untuk
selanjutnyaakan dilakukan analisis terhadap masing-masing unit analisis disetiap level.
Pada level realitas, dianalisis beberapa kode-kode sosial yang merupakan realitas
berupa penampilan dan kostum, perilaku, ekspresi, dan dialog.
Pada Level reprenstasi yang akan diamati, meliputi kerja kamera, pewarnaan dan
suara yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional.
Namun dalam penelitian ini, peneliti tidak akan membahas lebih lanjut tentang tekhnik
editing, dan music yang ada pada level representasi, karena dianggap tidak memiliki
korelasi langsung terhadap pembahasan di dalam film “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta”. Level
representasi ini membantu dalam melakukan analisis pada level realitas, menunjukkan
alur cerita melalui penggambaran tokoh dan setting yang dapat menjurus ke karekter dan
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Objek Dan Penyajian Data
4.1.1. Gambaran Umum Objek
Gambar 4.1. Poster Film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta
Film drama religious ini mengisahkan tentang percintaan beda agama, film
“3Hati 2Dunia 1Cinta yang dibintangi oleh Reza Rahardian, Laura Basuki dan
Arumi Bachsin. Film ini diadaptasi dari buah novel karya Ben Sohib, The Dapeci
. Meskipun novel ini tak
sefenomenal novel AAC dan Sang Pencerah namun novel tersebut sudah mencuri
perhatian novel Indonesia.
Sepintas, novel ini mirip ketenaran novel Da Vinci Code, karangan
penulis Amerika Serikat Dan Brown Tapi isinya beda sekali. Da Vinci Code
mengisahkan misteri legenda cawan suci (Holy Grail) dan peran Maria
Magdalena dalam sejarah Kristen, teori-teori yang oleh Kristen dipertimbangkan
sebagai ajaran sesat dan telah dikritik sebagai sejarah yang tidak akurat.
Sementara itu, novel Da Peci Code mengisahkan perseteruan antara ayah
(Mansur) dan anaknya (Rosyid). Di novel best seller itu, Rosyid menabrak tradisi
memakai peci putih di masyarakat Betawi-Arab.
Novel yang ditulis Ben Sohib mencoba mengenalkan lebih lanjut budaya
Betawi dalam khazanah sastra yang belum banyak dilakukan, penulis Indonesia,
Ben juga mencatat pergulatan yang terjadi antara Betawi tradisional dan modern.
Bahkan, beberapa pergulatan yang diangkatnya itu termasuk masalah yang gawat
dan sensitif. “Persoalan peci, itu masalah gawat. Kemudian di novel kedua Rosyid
dan Delia ini dia mengangkat pernikahan beda agama. Ben kembali
menghadirkan rosyid yang kritis bersama pacarnya, Delia. Keduanya hadir
Betawi-Arab kini berinteraksi dengan beragam budaya dan agama, bukan tidak
mungkin perkawinan beda agama terjadi. Ben Sohib mengangkat budaya Betawi
ke dalam sastra. Menurut Ben, Betawi sangat dekat dengan kesehariannya, yang
sudah 20 tahun tinggal di daerah Condet-Cililitan, Jakarta Timur. Dari
pengamatannya, ada fenomena yang menarik dari masyarakat Condet. Condet
adalah sebuah prototipe yang sempurna untuk masyarakat Betawi yang bisa
dibilang tertinggal, kalau tidak mau dibilang terpinggirkan dari pergerakan
zaman.
Dalam perkembangannya, ada perbenturan antara tradisi yang terus
dipertahankan dengan budaya yang makin berkembang. “Termasuk tradisi
memakai peci putih dan budaya Arab yang berakulturasi dengan budaya Betawi
di mana peci putih menjadi simbol identifikasi agama Islam.
Beda lagi dengan Sutradara Benny setiawan, sutradara ini mungkin belom
banyak dikenal oleh masyarakat karena termasuk sutradara terbaru didunia
hiburan saat ini, setelah membuat film “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta” Benni Setiawan
akhirnya meraih penghargaan sebagai Sutradara Terbaik versi Festival Film
Indonesia (FFI) pada tahun 2010 dan Benni juga meraih penghargaan untuk
Cerita Skenario dan Adaptasi Terbaik di film yang yang sama.
4.1.2 Sinopsis Film 3 Hati 2 dunia 1 Cinta
Film ini awalnya dimulai dengan adegan Rosyid yang mengundang
kemarahan abahnya karena rambut kribo yang tak kunjung di potongnya, Rosyid,