Scristia, 2014
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh :
SCRISTIA
1201469
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
Oleh SCRISTIA
S.Pd FKIP Universitas Sriwijaya, 2012
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Fakultas Pendidikan Matematika
© Scristia 2014
Universitas Pendidikan Indonesia Juni 2014
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian,
Melalui Metode Discovery Learning” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan
dengan cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam
masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi
yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran
terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain
terhadap keaslian karya saya ini.
Bandung, Juni 2014
Yang membuat pernyataan
Scristia, 2014
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ... i
Lembar Pengesahan ... ii
Lembar Pernyataan ... iii
Abstrak ... iv
Kata Pengantar ... v
Ucapan Terima Kasih ... vi
Daftar Isi ... ... vii
Daftar Tabel ... ix
Daftar Gambar ... x
Daftar Lampiran ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 14
1.3 Tujuan Penelitian ... 15
1.4 Manfaat Penelitian ... 15
1.5 Definisi Operasional ... 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 18
2.2 Self-Efficacy ... 25
2.3Metode Discovery Learning ... 32
2.4Teori Belajar yang Mendukung ... 43
2.5Kerangka Berpikir ... 47
2.6Penelitian yang Relevan ... 50
2.7Hipotesis Penelitian ... 54
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian ... 55
3.2 Waktu, Lokasi dan Subjek Penelitian ... 55
3.4 Instrumen Penelitian dan Pengembangannya ... 57
3.4.1 Tes Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 58
3.4.2 Skala Self-Efficacy ... 65
3.4.3 Pedoman Wawancara ... 67
3.4.4 Lembar Observasi ... 67
3.5 Kelengkapan Penelitian ... 68
3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 72
3.7 Teknik Analisis Data ... 73
3.8 Prosedur Penelitian ... 80
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 81
4.1.1 Data Kemampuan Awal Matematika ... 82
4.1.2 Data Hasil Observasi ... 85
4.1.3 Hasil Penelitian mengenai Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 87
4.1.4 Hasil Penelitian mengenai Self-Efficacy ... 101
4.2 Pembahasan ... 106
4.2.1 Metode Discovery Learning ... 106
4.2.2 Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 110
4.2.3 Self-Efficacy ... 125
4.3 Keterbatasan Penelitian ... 174
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 177
5.2 Implikasi ... 178
5.3 Rekomendasi ... 178
DAFTAR PUSTAKA ... 180
Scristia, 2014
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Dimensi dan Deskriptor Self-Efficacy ... 32
Tabel 2.2 Tahapan Discovery Learning ... 40
Tabel 3.1 Level KAM Siswa ... 56
Tabel 3.2 Jumlah Siswa Berdasarkan KAM ... 57
Tabel 3.3 Indikator Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 58
Tabel 3.4 Pedoman Penskoran Mathematical Visual Thinking ... 59
Tabel 3.5 Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas ... 61
Tabel 3.6 Uji Validitas Instrumen Tes ... 62
Tabel 3.7 Interpretasi Koefisien Korelasi Reliabilitas ... 62
Tabel 3.8 Klasifikasi Daya pembeda ... 63
Tabel 3.9 Daya Pembeda Butiran Soal Tes ... 63
Tabel 3.10 Kriteri Indeks Kesukaran ... 64
Tabel 3.11 Tingkat Kesukaran Instrumen Tes ... 65
Tabel 3.12 Indikator Validasi LKS ... 71
Tabel 3.13 Klasifikasi Gain Ternormalisasi ... 74
Tabel 3.14 Kriteria Pencapaian ... 78
Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Data Awal ... 82
Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Awal ... 83
Tabel 4.3 Uji Homogenitas Data Awal ... 83
Tabel 4.4 Uji Beda Rata-rata Data Awal ... 84
Tabel 4.5 Persentase Aktivitas Guru ... 85
Tabel 4.6 Persentase Aktivitas Siswa ... 86
Tabel 4.7 Statistik Deskriptif Kemampuan Mathematical Visual Thinking . 88 Tabel 4.8 Hasil Uji Normalitas Pretes Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 90
Tabel 4.9 Hasil Uji Mann-Whitney ... 91
Tabel 4.11 Hasil Uji Homogenitas Postes Kemampuan Mathematical Visual
Thinking ... 93
Tabel 4.12 Hasil Uji Perbedaan Postes Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 94
Tabel 4.13 Hasil Uji Normalitas N-gain Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 95
Tabel 4.14 Hasil Uji Homogenitas N-gain Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 95
Tabel 4.15 Hasil Uji Perbedaan N-gain Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 96
Tabel 4.16 Hasil Uji Normalitas & Homogenitas N-gain Kemampuan Mathematical Visual Thinking Berdasarkan KAM ... 97
Tabel 4.18 Uji ANOVA Satu Jalur N-gain Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 98
Tabel 4.19 Uji ANOVA Dua Jalur Peningkatan Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 99
Tabel 4.20 Hasil Perbandingan antar Pembelajaran dan KAM..………. 99
Tabel 4.21 Distribusi Proporsi Skala Self-Efficacy ……….……… 102
Tabel 4.22 Uji Beda Proporsi Peningkatan Self-Efficacy ……… 103
Tabel 4.23 Distribusi Skala Self-Efficacy untuk setiap indikator ……… 104
Scristia, 2014
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Tiga Cara Berpikir Sword ... 3
Gambar 1.2 Kesalahan Jawaban Siswa ... 8
Gambar 2.1 Manfaat Visual Thingking dalam Pembelajaran ... 21
Gambar 2.2 Manfaat Latihan Visual Thingking ... 22
Gambar 2.3 Alur Pengujian Hipotesis Penelitian ... 79
Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian ... 81
Gambar 4.1 Persentase Keterlaksanaan Pembelajaran ... 85
Gambar 4.2 Persentase Aktivitas Siswa ... 82
Gambar 4.3 Perbandingan Rataan Postes, pretes ... 88
Gambar 4.4 Perbandingan Rataan N-Gain ... 88
Gambar 4.5 Interaksi antara Pembelajaran dan KAM terhadap Peningkatan Kemampuan Matehmatical Visual Thinking... 100
Gambar 4.4 Keantusiasan Siswa saat Pembelajaran ... ... 109
Gambar 4.7 Respon Siswa Terhadap Soal Imagining ... ... 112
Gambar 4.8 Respon Siswa Terhadap Soal Showing & Telling ... 113
Gambar 4.9 Respon Siswa Terhadap Soal Representation .... ... 115
elajaran ... 109
Lampiran A.3 Kisi-Kisi Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis ... 127
Lampiran A.4 Naskah Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis ... 128
Lampiran A.5 Alternatif Jawaban ... 130
Lampiran A.6 Lembar Judgment ... 133
Lampiran A.7 Angket untuk Siswa ... 136
Lampiran A.8 Pedoman Observasi ... 137
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A.1 Silabus ... 192
Lampiran A.2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen ... 198
Lampiran A.3 Lembar Kerja Siswa Kelas Eksperimen ... 238
Lampiran A.4 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelas Kontrol ... 313
Lampiran A.5 Lembar Kerja Siswa Kelas Kontrol ... 336
Lampiran A.6 Pedoman Wawancara Respon Siswa ... 363
Lampiran A.7 Pedoman Wawancara Self-Efficacy... 366
Lampiran A.8 Lembar Observasi Siswa Kelas Eksperimen... 367
Lampiran A.9 Lembar Observasi Guru Kelas Eksperimen ... 369
Lampiran A.10 Lembar Observasi Siswa Kelas Kontrol ... 370
Lampiran A.11 Lembar Observasi Guru Kelas Kontrol... 371
Lampiran B.1 Nama-nama Anggota Kelompok Belajar ... 373
Lampiran B.2 Analisis Validitas Ahli terhadap Instrumen Tes Mathematical Visual Thinking ... 375
Lampiran B.3 Analisis Small Group terhadap Instrumen Tes Mathematical Visual Thinking ... 380
Lampiran B.4 Skor Uji Coba Tes Mathematical Visual Thinking ... 385
Lampiran B.5 Analisis Validitas, Reliabilitas, Daya Pembeda, dan Tingkat Kesukaran Tes Mathematical Visual Thinking ... 386
Lampiran B.6 Rekapitulasi Hasil Uji Coba Tes Mathematical Visual Thinking ... 389
Lampiran B.7 Hasil Uji Coba Perkiraan Waktu pada Self-Efficacy ... 392
Lampiran B.8 Kisi-Kisi Soal Tes Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 393
Lampiran B.9 Alternatif Jawaban Tes Kemampuan Mathematical Visual Thinking ... 397
Scristia, 2014
Lampiran B.11 Kisi-Kisi Skala Self-Efficacy ... 412
Lampiran B.12 Instrumen Skala Self-Efficacy ... 413
Lampiran C.1 Analisis Data KAM ... 419
Lampiran C.2 Data Aktivitas Guru ... 422
Lampiran C.3 Data Aktivitas Siswa ... 424
Lampiran C.4 Data Hasil Kemampuan Mathematical Visual Thinking Siswa ... 426
Lampiran C.5 Data Hasil Self-Efficcay Siswa ... 435
Lampiran D.1 Foto Aktivitas Siswa ... 447
Lampiran D.2 Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian ... 450
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Pendidikan dipandang memiliki peranan yang sangat penting, antara lain
dapat menciptakan manusia-manusia yang berkualitas, cerdas, kreatif, terampil,
produktif, bertanggung jawab dan berbudi luhur yang sangat berguna bagi
pembangunan demi kemajuan bangsa dan negara. Pendidikan matematika adalah
salah satu bagian dari pendidikan Nasional yang memiliki peranan yang sangat
penting. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dirasakan saat ini adalah
salah satu bentuk dari kontribusi matematika. Melalui matematika juga, manusia
dapat mempelajari dan sekaligus mendapatkan model atas fenomena yang terjadi
atau yang diamatinya. Oleh karena itu, secara sadar maupun tidak, kita telah
banyak menggunakan dan memanfaatkan matematika dalam kehidupan
sehari-hari.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tahun 2006 tentang standar
kompetensi dan kompetensi dasar, matematika merupakan ilmu universal yang
mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam
berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Untuk menguasai dan
mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat
sejak dini. Matematika juga merupakan suatu alat dalam mengembangkan cara
berpikir siswa, khususnya melatih penggunaan pikirannya secara logis, analitis,
sistematis, kritis dan kreatif, serta memiliki kemampuan bekerjasama dalam
menghadapi berbagai masalah dan mampu memanfaatkan informasi yang
diterimanya. Hal ini juga sejalan dengan tujuan pembelajaran matematika yang
dirumuskan National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) yaitu
belajar untuk berkomunikasi; belajar untuk bernalar; belajar untuk memecahkan
masalah; belajar untuk mengaitkan ide; dan belajar untuk merepresentasikan
kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk
bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Peran dan pentingnya matematika diberikan kepada peserta didik juga
dikemukakan oleh Ebbutt dan Straker (Marsigit, 2003) mendefinisikan
matematika sekolah yang selanjutnya disebut sebagai matematika yaitu kegiatan
penelusuran pola dan hubungan. Implikasi dari pandangan ini terhadap
pembelajaran adalah memberi kesempatan siswa untuk melakukan kegiatan
penemuan dan penyelidikan pola-pola untuk menentukan hubungan; memberi
kesempatan kepada siswa untuk melakukan percobaan dengan berbagai cara;
mendorong siswa untuk menemukan adanya urutan, perbedaan, perbandingan,
pengelompokan, dsb; mendorong siswa menarik kesimpulan umum; membantu
siswa memahami dan menemukan hubungan antara pengertian satu dengan yang
lainnya.
Beberapa tujuan dan peran matematika yang dijelaskan seperti di atas
terlihat bahwa matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat
meningkatkan kemampuan berpikir, beragumentasi dan memberikan kontribusi
dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dunia kerja, serta memberikan
dukungan dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Untuk itu matematika perlu
diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar, membekali peserta
didik dengan kemampuan memecahkan masalah, mengaitkan dan
merepresentasikan ide-ide, serta mampu mengelola dan memanfaatkan informasi
yang diterimanya, yang selanjutnya diharapkan dapat mendorong dan membantu
peserta didik dalam melakukan kegiatan penemuan dan penyelidikan.
Kemampuan berpikir yang baik merupakan hal yang mendasar dalam
menyelesaikan permasalahan matematika, membantu dalam mengelola informasi
yang diterima, serta membantu dalam kegiatan penyelidikan dan penemuan yang
diharuskan dalam kegiatan matematika. Pendapat ini didukung oleh Plato
(Sugilar, 2012) bahwa seseorang yang baik dalam matematika akan cenderung
baik pula dalam proses berpikirnya, dan seseorang yang dilatih dalam matematika
Tiga cara berpikir (Sword, 2005) seseorang yang berhubungan dengan
bagaimana otak kita berproses berdasarkan indra pendengaran, penglihatan, indra
badan (gerak tubuh dan perasaan yaitu auditory thinking, visual thinking, dan
kinesthetic thingking) seperti tampak pada gambar di bawah ini :
Tahap berpikir dalam matematika salah satunya adalah tahap berpikir
secara visual yang merupakan tahapan dasar yang harus dimiliki siswa dalam
belajar matematika. Berpikir visual (visual thinking) dapat menjadi salah satu
alternatif untuk mempermudah siswa dalam mempelajari matematika. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Surya (2011) yang menyatakan bahwa
siswa biasanya mengalami kesulitan menjembatani pengetahuan informal ke
matematika sekolah, untuk mengatasi kesulitan (gap) tersebut dibutuhkan waktu
(pembelajaran), pengalaman (latihan) dan bantuan dalam pembelajaran oleh guru
(scaffolding). Siswa perlu bimbingan dan bantuan khusus pada bentuk
representasi pemikiran visual (visual thinking) dari apa yang mereka maksud atau
mereka pikirkan sehingga dapat divisualisasikan dalam bentuk struktur ide, ide
tersebut bisa sebagai angka, simbol, gambar, diagram, penjelasan model, lukisan
yang dapat membantu siswa dalam proses belajar dan menyelesaikan
berpikir secara visual adalah proses intelektual intuitif dan ide imajinasi visual,
baik dalam gambaran mental atau melalui gambar.
Menurut Sword (2005), pemikir visual (visual thinker) berpikir lebih
efisien ketika materi ditunjukkan menggunakan diagram, bagan alur, ketepatan
waktu, film dan demonstrasi. Visual thinker akan cenderung spasial (keruangan)
dan memperhatikan ukuran, ruang dan hubungan. Untuk mengingat informasi
visual thinker sering menggambarkannya dalam bentuk diagram dan tidak hanya
melihat dari gambaran umum, tetapi melalui sudut pandang yang lebih jelas dan
kreatif dibanding pemikir lainnya serta memerlukan waktu yang lebih banyak
untuk mengerti suatu informasi, tetapi pemahaman akhirnya lebih luas.
Kemampuan visual thinking pada pembelajaran matematika dapat menjadi
alat yang ampuh untuk mengekplorasi masalah matematis dan untuk memberi arti
bagi konsep-konsep matematis dan hubungannya (Rosken & Rolka, 2007).
Cunninghamm & Zimmermann (1999) dari kajian teorinya menyimpulkan bahwa
visual thinking digunakan untuk menerangkan bermacam-macam fakta dan
permasalahan matematika. Sementara itu, Arcavi (2003) mendefinisikan visual
thinking sebagai kemampuan, proses dan hasil kreasi, interpretasi, penggunaan
serta gagasan mengenai image, gambar dan diagram di dalam pikiran, di atas
kertas atau menggunakan alat-alat teknologi, dengan tujuan menggambarkan dan
mengkomunikasikan informasi dan gagasan, mengembangkan ide-ide sebelumnya
serta meningkatkan pemahaman. Visual thinking juga didefinisikan oleh
Hershkowitz (Kania, 2013) sebagai kemampuan merepresentasikan,
mentransformasikan, menggeneralisasikan, mengkomunikasi,mendokumentasikan
dan merefleksikan objek atau benda menjadi informasi visual. Lebih lanjut,
Wileman (Stoke, 2001) mendeskripsikan visual thinking sebagai kemampuan
untuk mengubah informasi dari semua jenis ke dalam gambar, grafik atau
bentuk-bentuk lain yang dapat membantu mengkomunikasikan informasi.
Permasalahan matematika yang menuntut siswa untuk segera mendapatkan
pemecahannya atau penyelesaiaannya, kemungkinan siswa dapat dengan segera
menyelesaikannya jika pada masalah tersebut siswa telah memiliki pengetahuan
menyelesaikan permasalahan tersebut, tentu siswa akan menyajikannya dalam
bentuk gambar, grafik atau coretan-coretan lainnya sebagai perantara untuk
menyampaikan maksudnya atau agar secara intuitif dapat diterima dan membantu
dalam memahami masalah tersebut (Munir, 2012).
Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, dapat dikatakan bahwa
kemampuan visual thinking mendukung tercapainya tujuan dari pembelajaran
matematika dalam Standar Isi yang di atur Permendiknas tahun 2006 yaitu siswa
dapat mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Kemampuan visual thinking dalam
pembelajaran matematika mempunyai hubungan positif dengan materi geometri,
karena dalam geometri kemampuan visual thinking dapat mendorong kemampuan
pengorganisasian dalam proses memahami, mengkomunikasikan informasi dan
mengingat konsep-konsep geometri secara lebih bermakna (Kania, 2013). Hal ini
didukung oleh pendapat Bishop (Saragih, 2000) bahwa kemampuan visual
thinking dalam geometri merupakan kemampuan menginterpretasikan informasi
yang melibatkan gambar-gambar yang relevan, dan kemampuan untuk memproses
visual, melibatkan perhitungan transformasi visual yang relevan. Dalam bukunya,
Giaquinto (2007) mengatakan bahwa imajinasi visual berperan penting dalam
memperluas pengetahuan geometri. Ismi & Hidayatullloh (2012), menyatakan
bahwa visual thinking berperan penting dalam keberhasilan pembelajaran
geometri sebagai objek yang kajiannya bersifat abstrak, sebab siswa yang belajar
tanpa mengandalkan visual thinking, rawan mengalami miskonsepsi (kesalahan
konsep).
Namun fakta dari hasil survey Trends International Mathematics Science
Study (TIMSS) tahun 2007 (Wardhani & Rumiati, 2011) dalam domain konten
geometri kemampuan visual thinking atau berpikir secara visual serta visualisasi
terhadap informasi yang diberikan belum dikatakan tinggi, terlihat dari jawaban
siswa pada soal TIMSS berikut ini, hanya 19% siswa Indonesia menjawab dengan
Soal tersebut berada dalam domain konten geometri dan domain kognitif
penerapan. Kemampuan yang dibutuhkan untuk menjawab soal tersebut telah
dipelajari siswa di kelas VII SMP yaitu “menentukan hubungan antara dua garis, serta besar dan jenis sudut” (KD 5.1).
Siswa diminta untuk menghitung besar sudut yang belum diketahui
ukurannya, yaitu E atau x jika beberapa sudut diketahui besarnya. Untuk
menjawab soal tersebut siswa perlu memahami bahwa besar sudut siku-siku
adalah 900, jumlah sudut dalam suatu segitiga adalah 1800, dua sudut yang
bertolak belakang besarnya sama dan dua sudut alas pada segitiga samakaki
besarnya sama. Dalam hal ini untuk mendapatkan jawaban benar siswa perlu
memahami bahwa besar B = 900, ACB = DCE (bertolak belakang) dan E =
D = x (sudut alas pada ABC yang sama kaki). Selanjutnya ACB ditentukan
dengan memperhatikan jumlah sudut dalam ABC, yaitu A + B + ACB =
1800 atau 500 + 900 + ACB = 1800 atau ACB = 400. Karena ACB = DCE,
berarti DCE = 400, sehingga x + x + DCE =1800 atau 2x + 400 = 1800 atau 2x =
1400 atau x = 700.
Hasil TIMSS menunjukkan bahwa secara internasional, 32% siswa
menjawab benar dan hanya 19% siswa Indonesia menjawab benar. Soal ini masih
cukup sulit bagi siswa Indonesia. Ada banyak kemungkinan penyebabnya
sehingga siswa belum berhasil menjawab dengan benar, antara lain siswa kurang
memahami pengetahuan terkait sudut, besarnya jumlah sudut dalam segitiga, dan
hubungan antar sudut. Kemungkinan penyebab lain adalah siswa kurang
memahami bagian unsur-unsur dalam masalah yang berhubungan satu sama lain,
berpikir secara visualnya. Selanjutnya pada tahun 2011 menunjukkan bahwa nilai
rata-rata siswa Indonesia kelas delapan SMP untuk TIMSS-Matematika dengan
skor 386 poin berada di peringkat 38 dari 45 negara, skor ini menurun dari tahun
2007 yaitu 397. Topik soal yang diujikan adalah domain konten geometri
mengenai bentuk-bentuk geometri, pengukuran, letak dan perpindahan. Kondisi
ini menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa Indonesia, khususnya di
jenjang SMP belum optimal.
Rendahnya kemampuan matematika siswa pada topik geometri
berdasarkan beberapa penelitian yang juga dilakukan di Indonesia, yaitu Sunardi
(2001) menyatakan bahwa di SMP ditemukan bahwa masih banyak siswa yang
belum memahami konsep-konsep geometri. Sementara Madja (Abdussakir, 2010)
mengemukakan bahwa hasil tes geometri siswa SMU kurang memuaskan jika
dibandingkan dengan materi matematika lainnya.
Surya (2011) juga menemukan kasus kesalahan pekerjaan siswa pada
permasalahan lingkaran :
Pada bangun sebuah lingkaran
Luas Lingkaran = (benar)
Keliling Lingkaran = 2 (benar)
Tetapi hasil pekerjaan siswa untuk bangun tigaperempat lingkaran
Luas ¾ Lingkaran = ¾ ( ) (benar)
Keliling ¾ Lingkaran = ¾ (2. ) ? (Salah, siswa berpikir rutin sehingga siswa dan guru terjebak dalam berpikir rutin, seharusnya ( ¾ . 2 ) + 2r Selanjutnya Surya (2011) juga memperoleh kasus masalah aplikasi matematika,
berikut soal yang diberikan :
Sebuah kolam renang diketahui panjang kolam 60 meter, lebar kolam 20 meter, dalam kolam yang dangkal 1 meter dan kolam yang ujung satu lagi 5 meter. Dasar kolam renang landai dari yang dangkal hingga yang dalam. Jika kolam diisi penuh air. Permasalahan yang diberikan kepada siswa: a. Gambarlah situasi kolam renang tersebut. b. Tentukan volume air kolam renang tersebut.
(b)
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan Surya ini, hasil yang diperoleh
pada kasus di atas adalah siswa dan guru tidak dapat berpikir secara visual atau
mempresentasikan kasus tersebut dan memecahkan masalah kolam renang
tersebut, sebanyak 75% guru SMP dari 40 guru yang diteliti kesulitan
menggambarkan masalah kolam renang dan salah dalam memecahkan
permasalahan kasus itu. Hampir seluruh siswa (60 siswa) juga keliru dalam
menggambarkan kasus kolam renang tersebut.
Hal ini pula dialami oleh beberapa siswa di MTsN Kasomalang Bandung.
Berdasarkan hasil observasi awal peneliti kepada 13 orang siswa, kemampuan
siswa dalam melukis dan menggambar yang merupakan representasi visual dari
informasi yang masih abstrak masih belum dikatakan baik, berikut soal yang
diberikan peneliti:
Sebuah bola plastik dimasukkan ke dalam tabung, sehingga bola menyinggung sisi alas, sisi atas dan selimut tabung, jika jari-jari bola adalah 7 cm. Gambarkanlah kondisi tersebut ! (Sumber: Kania, 2013)
Jawaban siswa untuk soal di atas adalah :
7 cm
1
4
c
m
Jawaban Siswa A
Gambar yang tepat
Berdasarkan jawaban siswa di atas, terlihat bahwa siswa belum tepat
memvisualkan informasi yang masih abstrak ke bentuk visual dalam hal ini
melukis ataupun menggambar. Hal ini mengindikasikan bahwa siswa belum
mampu membayangkan dengan baik untuk mampu menghasilkan gambar dengan
tepat. Padahal, kemampuan untuk menggambarkan atau memvisualkan informasi
yang abstrak merupakan bagian penting bagi kita untuk dapat menyelesaikan
persoalan matematika, dan menjadikannya sebagai jembatan untuk sampai pada
penyelesaian. Dengan kata lain, kemampuan siswa dalam mengubah informasi
yang ada menjadi informasi visual berupa gambar, grafik, diagram ataupun
dengan kata-kata yang dapat membantu menghubungkan dan mengkomunikasikan
informasi untuk menyelesaikan masalah perlu ditingkatkan, kemampuan yang
sering disebut dengan kemampuan representasi inilah yang harus ada dalam
kemampuan visual thinking siswa, agar siswa dapat menggunakan bantuan
variabel visual seperti menggunakan bantuan gambar atau coretan-coretan yang
dapat membantu mengingat informasi yang pernah dipelajari sebelumnya, selain
itu juga digunakan untuk mengecek solusi yang dikerjakan.
Hasil temuan di lapangan juga menunjukkan bahwa beberapa siswa merasa
kurang mampu dan tidak percaya diri dalam menyelesaikan suatu permasalahan
matematika yang diberikan guru sehingga kurang bersemangat dan fokus dalam
proses belajar mengajar di kelas, ada beberapa dari mereka yang meniru hasil
pekerjaan teman tetapi tidak sedikit juga siswa yang mengosongkan lembar
jawabannya. Siswa tampaknya tidak berusaha terlebih dahulu sebelum mencoba
menyelesaikan soal tersebut, baik dengan membuat coretan, ataupun membuat
gambar yang dapat membantu mempermudah menyelesaikan masalah
matematika.
Rendahnya kemampuan dalam mengkonstruksi konsep dalam geometri dari
hasil penelitian dan studi awal yang dipaparkan di atas disebabkan karena siswa
belum begitu terbiasa dalam memvisualisasikan suatu masalah matematika dari
penggunaan operasi konkret ke penerapan operasi formal dalam bernalar.
verbal, menggambar, logika dan terapan. Untuk itulah perlu ditingkatkannya
kemampuan visual thinking siswa dalam matematika, demi tercapainya
keberhasilan suatu program matematika.
Menurut Wahyudin (2008) keberhasilan suatu program matematika
ditentukan oleh guru, hal pokok bukanlah matematika baru versus matematika
tradisional, hal sesungguhnya adalah bagaimana guru mengajarkan matematika.
Banyak peneliti pendidikan matematika (Midwest Consortium for Mathematics
and Science Education dalam Wahyudin, 2008) mendukung pandangan bahwa
terlalu banyak penekanan yang diberikan pada matematika mekanik dan
matematika prosedural, yang menghambat belajar bermakna.
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas dapat dikatakan
bahwa apabila siswa diberi kesempatan untuk terlibat aktif dalam proses belajar
dan penemuan, mereka menjadi lebih mampu dan percaya diri untuk membangun
makna-makna mereka sendiri tentang berbagai gagasan dan konsep matematika.
Selain kemampuan visual thinking yang berperan dalam keberhasilan
pembelajaran matematika khusunya geometri, terdapat aspek afektif yang turut
memberikan kontribusi yaitu self-efficacy. Wilson & Janes (2008) menyatakan
bahwa self-efficacy merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan
prestasi matematika seseorang.
Self-efficacy juga dituntut dalam kurikulum matematika sekolah menengah
pertama. Tuntutan pengembangan Self-efficacy yang tertulis dalam kurikulum
metematika antara lain menyebutkan bahwa pelajaran matematika harus
menanamkan sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri, dan pemecahan masalah. Bandura (2006)
menyatakan bahwa self-efficacy berkaitan dengan penilaian seseorang terhadap
kemampuan dirinya sendiri dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Bandura
juga memandang self-efficacy sebagai kemampuan untuk mengatasi situasi
spesifik. Konsep self-efficacy bagi Bandura, berhubungan dengan pertimbangan
yang dibuat individu mengenai kemampuannya untuk melaksanakan perilaku
Hasil OECD’s Teaching and Learning International Survey (TALIS) bahwa self-efficacy telah menunjukkan hubungan pengaruh tindakan terhadap
produktivitas seseorang dalam pekerjaan. Lane & Lane (2001) juga menunjukkan
prediksi self-efficacy mengatasi tuntutan intelektual dari program akademik
sebesar 11,5%, penelitian ini menyarankan bahwa self-efficacy memiliki beberapa
manfaat dalam setting akademik. Bandura (Wilson & Janes, 2008) menyatakan
bahwa perasaan positif yang tepat tentang self-efficacy dapat mempertinggi
prestasi, meyakini kemampuan, mengembangkan motivasi internal, dan
memungkinkan siswa untuk meraih tujuan yang menantang. Perasaan negatif
tentang self-efficacy dapat menyebabkan siswa menghindari tantangan, melakukan
sesuatu dengan lemah, fokus pada defisiensi dan hambatan, dan mempersiapkan
diri untuk outcomes yang kurang baik. Seseorang yang salah menilai
kemampuannya akan bertindak dalam suatu cara tertentu yang akan merugikan
dirinya. Seseorang yang terlalu menilai tinggi kemampuannya akan melakukan
kegiatan yang tidak dapat diraih, akibatnya ia mengalami kesulitan dan juga
kegagalan, sebaliknya individu yang menilai rendah kemampuannya akan
membatasi diri dari pengalaman yang menguntungkan. Selanjutnya individu yang
mempunyai efficacy tinggi menganggap kegagalan sebagai kurangnya usaha,
sedangkan individu yang memiliki efficacy rendah menganggap kegagalan berasal
dari kurangnya kemampuan (Widyastuti, 2010).
Penelitian yang dilakukan Widyastuti (2010), untuk kategori self-efficacy
siswa SMP baik pada kelompok kontrol maupun kelompok eksperimen, dengan
kelas eksperimen mendapatkan pembelajaran MEas masih belum dapat dikatakan
bagus mengingat self-efficacy merupakan keyakinan peserta didik terhadap
kemampuannya untuk dapat melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam
menyelesaikan suatu tugas/masalah tertentu dengan berhasil, sehingga terbuka
peluang dalam penelitian selanjutnya untuk dapat meningkatkan self-efficacy yang
dimiliki peserta didik melalui metode pembelajaran lainnya. Menurut Nurfauziah
(2013) agar pembelajaran yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan, dan terjadinya
belajar yang terjadi memungkinkan siswa untuk mengkonstruksi, menemukan dan
mengembangkan pengetahuannya.
Metode Discovery Learning diduga dapat meningkatkan rasa percaya
terhadap diri sendiri, dengan kepercayaan dan keyakinan akan kemampuan diri
sendiri, peserta didik dapat melakukan pertimbangan dan penilaian terhadap
kemampuan dirinya sendiri dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Pendapat
ini didukung oleh Richard (Lutfan, 2008) dan Ruseffendi (2006) yang
mengungkapkan keunggulan dan pentingnya metode discovery untuk membantu
siswa memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan
penemuan sendiri. Dengan metode discovery tidak berarti penemuan-penemuan
yang dilakukan harus selalu ilmiah, tapi bagaimana seseorang secara pribadi
menyadari bahwa ada sesuatu yang tepat dan benar (Giaquinto, 2007).
Selanjutnya selama proses penemuan (discovery learning) siswa dihadapkan
untuk berpikir sendiri, menganalisa sendiri, sehingga dapat menemukan prinsip
atau prosedur matematika yang telah dipersiapkan oleh guru, dengan discovery
learning juga siswa dihadapkan kepada situasi dimana siswa bebas menyelidiki,
menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis,
mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan-bahan serta membuat
kesimpulan-kesimpulan, dalam proses menyelidiki hingga menarik kesimpulan. Kemampuan
siswa dalam berpikir secara visual (visual thinking) sangat diperlukan untuk
sampai pada penarikan kesimpulan dari proses penemuan tersebut. Pendapat ini
didukung oleh Giaquinto (2007) yang menyatakan bahwa visualisasi menjadi
diandalkan setiap kali digunakan untuk menemukan (discovery).
Penemuan sebagai kreativitas merupakan karakteristik dari matematika
(Marsigit, 2011). g e o m e t r i s a l a h s a t u m a t e r i
p o k o k d a l a m m a t e m a t i k a , m e n u r u t G i a q u i n t o ( 2 0 0 7 ) , d a l a m g e o m e t r i berpikir
secara visual (visual thinking) dapat menjadi sarana dalam penemuan (discovery).
NCTM (2000) menyatakan bahwa siswa harus mengembangkan kemampuan
visualisasi melalui hands-on experience dengan variasi terhadap objek-objek
menggambarkan perspektif, serta dapat mendeskripsikan sifat-sifat yang tidak
tampak tetapi dapat disimpulkan. Balim (2009) juga berpendapat bahwa dalam
discovery learning, siswa mengkontruksi pengetahuan berdasarkan informasi baru
dan kumpulan-kumpulan data melalui lingkungan mereka sendiri.
Berbeda dengan pembelajaran konvensional, proses penyelesaian soal
pada soal cerita dilakukan dengan mengubah soal cerita ke dalam bentuk kongkrit,
dilanjutkan ke dalam bentuk simbol melalui proses pemahaman soal dengan
menunjukkan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan operasi hitung apa
yang diperlukan dan diberikan di akhir pembelajaran sebagai aplikasi konsep
matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Metode discovery learning juga merupakan proses pembelajaran yang
disarankan dalam kurikulum 2013 salah satunya mengutamakan dimana dalam
pembelajaran siswa tidak disajikan dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan siswa
mengorganisasi sendiri. Kemendikbud (2013) menyatakan bahwa dalam
mengaplikasikan metode discovery learning guru berperan sebagai pembimbing
dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif,
sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan
belajar siswa sesuai dengan tujuan. Discovery learning juga disarankan Schwartz
& Bransford (1998); Swaak, De Jong & Joolingen (2004), untuk merekonstruksi
intuisi dan pemahaman awal siswa.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa metode discovery learning
memiliki kaitan yang erat dengan kemampuan visual thinking siswa dan
self-efficacy matematis siswa. Diharapkan dengan menerapkan metode discovery learning dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan kemampuan visual thinking dan self-efficacy matematis siswa. Selain dari aspek kognitif dan afektif
yang disebutkan di atas, aspek Kemampuan Awal Matematika (KAM) siswa yang
diklasifikasikan dalam kelompok tinggi, sedang dan rendah juga diduga
memberikan kontribusi pada kemampuan visual thinking matematis siswa maupun
self-efficacy siswa terhadap matematika yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
pengelolaan, yang berkaitan dengan bagaimana menata pengajaran yang optimal
untuk meningkatkan kebermaknaan pengajaran, yang selanjutnya membawa
dampak dalam memudahkan proses-proses internal yang berlangsung dalam diri
siswa ketika belajar.
Kemampuan awal matematika yang dimiliki siswa berbeda satu sama lain
dalam memahami materi pelajaran, sehingga menjadi bahan pertimbangan bagi
guru dalam mengembangkan rancangan pembelajaran, karena menurut Ruseffendi
(Saragih, 2011) dari sekelompok siswa yang dipilih secara acak akan selalu
dijumpai siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah, hal ini
disebabkan kemampuan siswa menyebar secara distribusi normal.
Oleh karena itu pemilihan metode pembelajaran harus dapat
mengakomodasi kemampuan matematika siswa yang heterogen sehingga
memaksimalkan hasil belajar siswa. Dalam hal ini metode discovery learning
menjadi pilihan peneliti dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan
perbedaan kemampuan awal matematika siswa yang pada akhirnya dapat
meningkatkan kemampuan visual thinking siswa maupun self-efficacy siswa
terhadap matematika. Sehubungan dengan subjek penelitian adalah siswa SMP
kelas VIII, peneliti menetapkan perbedaan kemampuan awal matematika siswa
dalam penelitian ini akan dikelompokkan menjadi kelompok tinggi, sedang dan
rendah berdasarkan hasil belajar mata pelajaran matematika pada semester
sebelumnya.
Berkaitan dengan uraian yang telah dikemukakan di atas, peneliti tertarik
untuk mengajukan penelitian dengan judul: “Meningkatkan Kemampuan
Mathematical Visual Thinking dan Self-efficacy Siswa SMP melalui Metode Discovery Learning”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah penerapan metode discovery
self-efficacy siwa Sekolah Menengah Pertama dibandingkan dengan pembelajaran
konvensional?”
Rumusan masalah tersebut di atas dapat dijabarkan menjadi beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
a) Apakah peningkatan kemampuan mathematical visual thinking siswa yang
belajar dengan discovery learning lebih baik dibandingkan dengan siswa yang
belajar secara konvensional?
b) Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan mathematical visual
thinking antara siswa yang memiliki kemampuan awal matematika tinggi,
sedang dan rendah setelah belajar dengan discovery learning?
c) Apakah terdapat interaksi antara pembelajaran ( discovery learning dan
pembelajaran konvensional) dengan kemampuan awal matematika siswa
(tinggi, sedang, rendah) terhadap peningkatan kemampuan mathematical
visual thinking siswa?
d) Bagaimanakah kualitas pencapaian kemampuan mathematical visual thinking
siswa yang belajar dengan discovery learning?
e) Apakah terdapat perbedaan peningkatan self-efficacy siswa yang belajar
dengan discovery learning dan siswa yang belajar secara konvensional?
f) Bagaimanakah gambaran self-efficacy siswa dan peningkatannya melalui
belajar dengan discovery learning?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji :
a) Peningkatan kemampuan mathematical visual thinking antara siswa yang
belajar dengan discovery learning dengan siswa yang belajar secara
konvensional.
b) Perbedaan peningkatan kemampuan mathematical visual thinking antara
siswa yang memiliki kemampuan awal matematika tinggi, sedang dan rendah
c) Interaksi yang terjadi antara pembelajaran (discovery learning dan
pembelajaran konvensional) dengan kemampuan awal matematika siswa
(tinggi, sedang, rendah) terhadap peningkatan kemampuan mathematical
visual thinking siswa.
d) Kualitas pencapaian kemampuan mathematical visual thinking siswa yang
belajar dengan discovery learning.
e) Perbedaan peningkatan self-efficacy siswa yang belajar dengan discovery
learning dan siswa yang belajar secara konvensional
f) Gambaran self-efficacy siswa yang belajar dengan discovery learning.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai
berikut:
a) Sebagai bahan pertimbangan bagi guru matematika khususnya, dalam
menerapkan metode discovery learning sebagai salah satu alternatif untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran.
b) Sebagai masukan bagi pengambilan kebijakan dalam peningkatan kualitas
pembelajaran matematika, untuk meningkatkan kemampuan mathematical
visual thinking dan self-efficacy siswa SMP.
c) Memberikan pandangan kepada pendidik untuk lebih mengembangkan
kemampuan mathematical visual thinking siswa, agar dapat menghasilkan
siswa yang memiliki kemampuan mathematical visual thinking yang baik.
d) Memberikan informasi tentang pengaruh pembelajaran dengan discovery
learning terhadap kemampuan mathematical visual thinking siswa.
e) Memberikan informasi tentang pengaruh pembelajaran dengan discovery
terhadap self-efficacy siswa.
f) Memberikan gambaran pencapaian kemampuan mathematical visual
1.5 Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah
yang terdapat pada rumusan masalah dalam penelitian ini, perlu dikemukakan
definisi operasional sebagai berikut:
1. Metode discovery learning adalah bentuk pembelajaran yang difasilitasi oleh
guru untuk menemukan kembali gagasan matematika melalui tahapan
stimulation, problem statement, data collection, data Processing, verification,
dan generalization.
2. Pembelajaran konvensional dalam penelitian ini adalah proses belajar
mengajar yang biasa dilakukan guru di kelas yaitu pembelajaran yang bersifat
informatif dari guru kepada siswa, siswa mendengar, mencatat dan
mengerjakan latihan yang diberikan oleh guru.
3. Kemampuan mathematical visual thinking adalah proses berfikir analitis
dalam memahami, menafsirkan dan memproduksi pesan secara visual dari
semua jenis informasi kemudian mengubahnya ke dalam bentuk gambar,
grafik, diagram, pola, atau dengan kata-kata, yang diukur dengan
menggunakan indikator looking & seeing, imagining, showing and telling,
representation.
4. Peningkatan kemampuan mathematical visual thinking adalah gain
ternormalisasi dari skor tes mathematical visual thinking setiap siswa.
5. Self-efficacy yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keyakinan
seseorang terhadap kemampuannya melakukan tindakan-tindakan yang
diperlukan untuk menyelesaikan soal yang melibatkan kemampuan
mathematical visual thinking dengan berhasil.
6. Peningkatan self-efficacy adalah peningkatan persentase respon siswa sebelum
Scristia, 2014
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment atau eksperimen
semu yang terdiri dari dua kelompok penelitian yaitu kelompok eksperimen (kelas
perlakuan) merupakan kelompok siswa yang pembelajarannya menggunakan
metode discovery learning dan kelompok kontrol (kelas pembanding) adalah
kelompok siswa yang pembelajarannya tidak menggunakan metode discovery
learning (pembelajaran konvensional). Pertimbangan penggunaan desain
penelitian ini adalah bahwa kelas yang ada sudah terbentuk sebelumnya, sehingga
tidak dilakukan lagi pengelompokkan secara acak. Apabila dilakukan
pembentukan kelas baru dimungkinkan akan menyebabkan kekacauan jadwal
pelajaran dan mengganggu efektivitas pembelajaran di sekolah.
Penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan terikat. Variabel bebasnya
yaitu discovery learning dan pembelajaran konvensional. Variabel terikatnya
adalah kemampuan mathematical visual thinking dan self-efficacy siswa. Variabel
kontrolnya yaitu kategori Kemampuan Awal Matematika (KAM) siswa sebelum
dilakukan penelitian.
Dengan demikian penelitian ini menggunakan desain kelompok
Nonequivalent Control Group Design (Borg & Gall, 1989: 690) berikut:
Kelompok Eksperimen : O X O
Kelompok Kontrol : O O
Dimana X menunjukkan treatment pada kelompok eksperimen yaitu
metode discovery learning, O menunjukkan pengukuran pretes dan postes
variable terikat (mathematical visual thinking dan self-efficacy), dan garis
putus-putus menyatakan bahwa kelompok kontrol dan kelompok eksperimen tidak
dibentuk secara acak.
3.2 Waktu, Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Lubuklinggau Provinsi Sumatera
bulan April 2014. Subjek yang diambil dalam penelitian ini adalah siswa kelas
VIII di SMP N 3 kota Lubuklinggau, dalam hal ini sekolah yang dipilih adalah
sekolah yang memiliki kualitas sedang. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa sekolah menengah pertama kelas VIII. Adapun pemilihan kelas
VIII didasarkan atas pertimbangan bahwa siswa kelas VIII dianggap peneliti telah
memenuhi prasyarat yang cukup untuk menjadi objek penelitian, sedangkan
dipilihnya sekolah dengan level sedang dikarenakan pada level ini kemampuan
akademik siswa bersifat heterogen, mulai dari yang terendah sampai dengan yang
tertinggi. Dari sekolah sampel diambil secara purposif yaitu satu kelas eksperimen
dan satu kelas kontrol. Kelas ekperimen adalah kelas yang diberikan perlakuan
dengan matode discovery learning, sedangkan kelompok kontrol pembelajarannya
tidak diberikan perlakuan, pembelajaran dilakukan secara konvensional.
Siswa-siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol, akan dikelompokkan
berdasarkan kemampuannya menjadi tiga level yaitu, kemampuan tinggi, sedang,
dan rendah. Pengelompokkan kemampuan ini dilakukan berdasarkan rata-rata
nilai ulangan harian dan nilai UAS semester ganjil. Peneliti hanya mengambil data
dari hasil ulangan harian dan UAS semester ganjil dikarenakan guru yang
mengajar di kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah guru yang telah
bersertifikat profesional, sehingga peneliti menganggap bahwa soal yang
digunakan guru yang bersangkutan dapat membedakan KAM siswa. Dari hasil
rata-rata ulangan siswa tersebut kemudian dikelompokkan kemampuan siswa
tinggi, sedang dan rendah.
Adapun kriteria penetapan kelompok tersebut menurut Arikunto (2009)
didasarkan pada rataan ( ̅) dan simpangan baku (SB), yakni:
Tabel 3.1 Level KAM Siswa
Rentang Level KAM Siswa
KAM > + SB Tinggi
- SB KAM ≤ + SB Sedang
Scristia, 2014
Berdasarkan hasil perhitungan terhadap data KAM siswa, kelas eksperimen
diperoleh = 66,39 dan SB = 17,97, dan kelas kontrol diperoleh = 55,66 dan
SB = 16,26. Tabel.3.2 berikut menyajikan banyaknya siswa yang berada pada
kelompok tinggi, sedang dan rendah pada kelas eksperimen dan kontrol :
Tabel 3.2
Kemampuan Awal Matematika Siswa
KAM Eksperimen Kontrol
Tinggi 9 10
Sedang 18 20
Rendah 8 6
Total 35 36
3.3 Variabel Penelitian
Penelitian ini melibatkan tiga jenis variabel yakni variabel bebas, variabel
terikat dan variable kontrol. Sugiyono (2011) menjelaskan bahwa:
1) Variabel bebas atau variabel independen merupakan variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya
variabel dependen (terikat). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel
bebasnya yaitu metode discovery learning dan pembelajaran konvensional.
2) Variabel terikat atau variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi
atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Variabel terikat
dalam penelitian ini yaitu kemampuan mathematical visual thinking dan
self-efficacy siswa.
3) Variabel kontrol pada penelitian ini yaitu kategori KAM siswa (tinggi,
sedang, dan rendah).
3.4 Instrumen Penelitian dan Pengembangannya
Instrumen penelitian yang dikembangkan meliputi instrumen
pengumpulan data dan perangkat pembelajaran. Instrumen pengumpul data ini
terdiri dari tes berupa seperangkat soal tes untuk mengukur kemampuan
mathematical visual thinking. Intrumen pengumpulan data selanjutnya yaitu skala self-efficacy, wawancara dan lembar observasi. Berikut ini merupakan uraian dari
3.4.1 Tes Kemampuan Mathematical Visual Thinking
Tes kemampuan mathematical visual thinking disusun dalam bentuk
uraian. Hal ini mengingat mathematical visual thinking merupakan kemampuan
individu dan memerlukan ruang gerak yang lebih luas bagi siswa dalam
mengemukakan pendapat, gambar-gambar, serta penjelasannya terhadap materi
yang dipelajari, sehingga tepat jika menggunakan jenis tes ini. Agar tercipta
keseimbangan, maka tipe tes uraian ini digunakan untuk kedua kelompok sampel,
yaitu untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol. Selain berbagai pertimbangan di
atas, dalam tes tipe uraian proses berpikir siswa dalam menyelesaikan soal
matematika terlihat dengan jelas, melalui tes ini dapat terlihat pula sejauh mana
kemampuan mathematical visual thinking yang dimiliki siswa.
Adapun rincian indikator kemampuan mathematical visual thinking yang
akan diukur adalah sebagai berikut :
Tabel 3.3
Mengidentifikasi bangun geometri berdasarkan tampilannya secara utuh serta mengklasifikasikan bangun geometri berdasarkan karakteristik yang sama
Imagining
Melukis ataupun menggambar yang berupa representasi dari informasi yang masih abstrak serta menggabungkannya dengan pengalaman baru, dengan cara menggunakan pengetahuan sebelumnya untuk menyimpulkan pola, atau membuat jenis tertentu dari representasi data yang diberikan.
Showing & Telling
Menjelaskan apa yang dilihat dan diperoleh kemudian mengkomunikasikannya, ataupun membuat komentar yang
mencerminkan upaya untuk mewujudkan atau
mengidentifikasi bentuk dari informasi yang diberikan.
Representation
Merepresentasikan permasalahan dalam bentuk visual berupa gambar, grafik, diagram ataupun dengan kata-kata yang dapat membantu menghubungkan dan mengkomunikasikan informasi untuk menyelesaikan masalah
Adapun teknik penskoran kemampuan mathematical visual thinking
adalah mengacu kepada kriteria penskoran Holistic Scoring Rubriks yang
Scristia, 2014
Tabel 3.4
Skor Respon Siswa Terhadap soal Visual thinking matematika
Indikator Respon Siswa terhadap Soal Skor SMI
Looking & Seeing
Mengidentifikasi dan mengklasifikasikan bangun geometri dengan lengkap berserta penjelasannya dan merupakan representasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan
4
12 Mengidentifikasi dan mengklasifikasikan bangun geometri
dengan lengkap tanpa penjelasan lengkap dan merupakan representasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan
3
Mengidentifikasi dan mengklasifikasikan bangun geometri dengan kurang lengkap dan kurang merepresentasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan
2
Mengidentifikasi bangun geometri dan hanya sedikit mengandung penjelasan sesuai indikator yang diberikan
1
Tidak ada jawaban sama sekali 0
Imagining
Melukis atau menggambar bangun geometri dengan lengkap dan merupakan representasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan
4
12 Melukis atau menggambar bangun geometri dengan lengkap
namun kurang merepresentasikan indikator pertanyaan yang diberikan
3
Melukis atau menggambar bangun geometri kurang lengkap dan kurang merepresentasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan
2
Melukis atau menggambar bangun geometri hanya sedikit mengandung penjelasan sesuai indikator yang diberikan 1
Tidak ada jawaban sama sekali 0
Showing & Telling
Mendeskripsikan bangun geometri dengan lengkap beserta penjelasan atau perhitungan secara matematis dan merupakan representasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan
4
12 Mendeskripsikan bangun geometri dengan lengkap namun
penjelasan atau perhitungan secara matematis kurang lengkap dan merupakan representasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan
3
Mendeskripsikan bangun geometri dengan kurang lengkap dan kurang merepresentasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan
2
Mendeskripsikan bangun geometri dan hanya sedikit mengandung penjelasan sesuai indikator yang diberikan
1
Tidak ada jawaban sama sekali 0
Represen-tation
Semua penjelasan lengkap beserta gambar atau perhitungan secara matematis dan merupakan representasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan
4
20 Penjelasan, gambar atau perhitungan secara matematis kurang
lengkap namun merepresentasikan indikator pertanyaan yang diberikan
3
Penjelasan yang diberikan kurang lengkap dan kurang merepresentasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan
2
Penjelasan yang diberikan hanya sedikit mengandung penjelasan konsep sesuai indikator yang diberikan
1
Sebelum soal tes kemampuan mathematical visual thinking digunakan,
terlebih dahulu untuk melihat validitas isi dan validitas muka. Validitas muka
dilakukan dengan melihat tampilan dari soal itu yaitu keabsahan susunan kalimat
atau kata-kata dalam soal sehingga jelas pengertiannya dan tidak salah tafsir atau
kejelasan bahasa/redaksional dan gambar/representasi dari setiap butir tes yang
diberikan. Jadi suatu instrumen dikatakan memiliki validitas muka yang baik
apabila instrumen tersebut mudah dipahami maksudnya sehingga siswa tidak
mengalami kesulitan ketika menjawab soal. Validitas isi mengacu pada seberapa
banyak materi tes tersebut dapat mengukur keseluruhan materi yang telah
diajarkan. Validitas isi dilakukan dengan melihat kesesuaian materi tes dengan
kisi-kisi tes, materi pelajaran yang telah diajarkan dan apakah soal pada instrumen
sesuai atau tidak dengan indikator kemampuan yang diukur dan tingkat kesukaran
untuk siswa (Nasution, 2007).
Pemeriksaaan validitas muka dan validitas isi dikonsultasikan kepada
dosen pembimbing. Selain itu, pemeriksaan validitas muka dan isi juga dilakukan
oleh orang yang dipandang ahli, yaitu dosen ahli di bidang geometri, guru
matematika di sekolah yang bersangkutan, teman sejawat yaitu rekan dari S2
pendidikan matematika, dan mahasiswa S3 pendidikan matematika. Khusus
untuk validitas muka soal tes kemampuan mathematical visual thinking juga
divalidasi oleh dosen Bahasa Indonesia. Setelah validasi ahli dilaksanakan dan
diperoleh saran dari ahli dan teman sejawat mengenai isi dan desain instrumen
tes, hasil validasi tersebut dijadikan dasar untuk merevisi intrumen tes
Setelah direvisi dari ahli, validasi selanjutnya yaitu tiga siswa kelas IX
untuk melihat keterbacaan bagi siswa yang kemampuan tinggi, sedang dan
rendah. Setelah dilakukan revisi dari keterbacaan masing-masing siswa tersebut,
dilanjutkan dengan small group, untuk melihat bagaimana keterbacaan soal visual
thinking secara menyeluruh. Pelaksanaan small group ini dilakukan di MTsN
Kasomalang. Hasil revisi dari small group inilah yang digunakan peneliti untuk
dilakukan uji coba kelapangan. Melalui validasi ini, akan diketahui kelemahan
Scristia, 2014
Selanjutnya soal tes diujicobakan pada siswa diluar sampel penelitian,
yaitu siswa kelas IX SMPN 1 Lembang Kota Bandung sebanyak 30 orang yang
telah terlebih dahulu mendapatkan pembelajaran mengenai materi Bangun Ruang
Sisi Datar. Ujicoba soal tes dilaksanakan pada awal bulan Februari. Setelah
ujicoba soal tes dilaksanakan, kemudian dilakukan analisis mengenai validitas
butir soal, reliabilitas tes, daya pembeda dan tingkat kesukaran.
Setelah ujicoba soal tes dilaksanakan, kemudian dilakukan analisis
mengenai validitas butir soal, reliabilitas tes, daya pembeda dan tingkat kesukaran
dengan berbantuan software ANATES V.4 sebagai berikut :
a. Validitas Instrumen
Validitas adalah sejauhmana akurasi suatu tes dalam menjalankan fungsi
pengukurannya, pengukuran dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila
menghasilkan data yang secara akurat memberikan gambaran mengenai variabel
yang diukur seperti dikehendaki oleh tujuan pengukuran tersebut (Azwar, 2012).
Untuk mengetahui valid-tidaknya instrumen tes kemampuan mathematical visual
thinking tergantung pada kemampuan instrumen tes tersebut dalam mencapai
tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Untuk itu dilakukan analisis
validitas terhadap butir soal. Tingi-rendahnya validitas pengukuran dinyatakan
secara empirik oleh suatu koefisien, yaitu koefisien validitas.
Adapun untuk menentukan tingkat validitas soal digunakan kriteria
menurut Guilford (Erman, 2003) sebagai berikut:
Tabel 3.5
Kriteria Koefisien Korelasi
Nilai rxy Kriteria
0,90<rxy≤ 1,00 Sangat Tinggi
0,70<rxy≤ 0,90 Tinggi
0,40<rxy≤ 0,70 Sedang
0,20<rxy≤ 0,40 Rendah
0,00<rxy≤ 0,20 Sangat Rendah
xy
Hasil uji validitas soal tes kemampuan mathematical visual thinking
matematis dapat dilihat pada Lampiran B. Hasil uji validitas ini dapat
diinterpretasikan dalam rangkuman yang disajikan pada Tabel 3.6 berikut :
Tabel 3.6
Data Hasil Uji Validitas Instrumen Tes
Nomor Soal Korelasi Interpretasi Kriteria
1 0,734 Sangat Signifikan Validitas Tinggi
2 0,453 Signifikan Validitas Sedang
3 0,638 Signifikan Validitas Sedang
4 0,482 Signifikan Validitas Sedang
5 0,529 Signifikan Validitas Sedang
6 0,454 Signifikan Validitas Sedang
7 0,458 Signifikan Validitas Sedang
8 -0,068 Tidak Signifikan Tidak Valid
Dari delapan butir soal tersebut terdapat 1 butir soal yang tidak
signifikan, sedangkan butir soal lainnya signifikan dan sangat signifikan. Artinya,
soal tes nomor delapan tidak valid atau tidak layak digunakan untuk mengukur
kemampuan mathematical visual thinking siswa pada penelitian ini.
b. Reliabilitas Instrumen
Suatu alat evaluasi dikatakan reliabel, jika mampu menghasilkan data yang
memiliki tingkat reliabilitas tinggi, dengan kata lain konsistensi, keterandalan,
keterpercayaan, kestabilan, ataupun keajegan. Reliabilitas menurut Azwar (2012)
adalah sejauhmana hasil suatu proses pengukuran dapat dipercaya. Untuk itu
dilakukan analisis reliabilitas terhadap butir soal. Derajat reliabilitas pengukuran
dinyatakan secara empirik oleh suatu koefisien, yaitu koefisien reliabilitas.
Adapun kriteria derajat reliabilitas menurut Guilford (Erman, 2003) dapat
dilihat pada Tabel 3.7 sebagai berikut :
Tabel 3.7
Kriteria Koefisien Reliabilitas
Nilai r11 Kriteria
11
r ≤ 0,20 Derajat Reliabilitas Sangat Rendah
0,20 <r11≤ 0,40 Derajat Reliabilitas Rendah
Scristia, 2014
0,60 <r11≤ 0,80 Derajat Reliabilitas Tinggi 0,80 <r11≤ 1,00 Derajat Reliabilitas Sangat Tinggi
Pada Lampiran B dapat dilihat bahwa soal tes kemampuan mathematical visual
thinking memiliki reliabilitas sedang dengan koefisien korelasi 0.54. Artinya,
soal-soal tes pada penelitian ini akan memberikan hasil yang hampir sama jika
diujikan kembali kepada siswa.
c. Daya Pembeda
Daya pembeda dari sebuah butir soal menyatakan seberapa jauh
kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan kemampuan individu peserta
tes. Butir soal yang baik akan mampu membedakan siswa yang memiliki
kemampuan tinggi (pandai) dengan siswa yang memiliki kemampuan rendah
(kurang pandai). Derajat daya pembeda suatu butir soal dinyatakan dengan indeks
diskriminasi yang bernilai dari -1,00 sampai dengan 1,00.
Klasifikasi interfensi untuk menentukan daya pembeda tiap butir soal
digunakan kriteria menurut Erman (2003) sebagai berikut :
Tabel 3.8
Hasil perhitungan daya pembeda soal tes mathematical visual thinking
dapat dilihat pada Tabel 3.9 berikut :
Tabel 3.9
Data Hasil Uji Daya Pembeda setiap Butir Soal Tes
No Soal Indeks Daya Pembeda Interpretasi
1 0,81 Sangat Baik
2 0,41 Baik
3 0,28 Cukup Baik
4 0,59 Baik
6 0,17 Jelek
7 0,21 Cukup Baik
8 -0,01 Sangat jelek
Delapan butir soal tes, yaitu butir soal no 3, 5, dan 7 memiliki daya
pembeda yang cukup baik, sehingga ketiga butir soal ini perlu direvisi atau
perbaikan. Untuk soal no 6 dengan daya pembeda jelek maka butir soal no 6 ini
perlu dirombak tetapi tidak dibuang karena dari hasil pekerjaan siswa ada poin
soal yang memang tidak terjawab sama sekali tetapi bukan secara keseluruhan.
Sedangkan untuk butir soal no 8, dari uji kevalidan sudah terlihat bahwa soal no 8
ini tidak valid, dan dengan daya pembeda yang sangat jelek, sehingga soal no 8 ini
dibuang atau tidak digunakan untuk mengukur kemampuan mathematical visual
thinking siswa. Hasil analisis dan perhitungan secara lengkap dapat dilihat pada
Lampiran B. Secara umum dari 8 soal terdapat 7 soal tes dapat dikerjakan oleh
siswa yang pandai dengan baik, sedangkan siswa yang kurang pandai tidak dapat
mengerjakannya dengan baik. Artinya, instrumen tes pada penelitian ini sudah
mampu membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang kurang pandai.
d. Tingkat Kesukaran
Analisis tingkat kesukaran tiap butir soal dilakukan untuk menunjukkan
kualitas butir soal atau untuk mengetahui tingkat kesukaran masing-masing soal
yang diberikan, apakah soal tersebut termasuk kategori mudah, sedang atau sukar.
Menurut Nasution (2007) besarnya tingkat kesukaran butir soal dapat dihitung
dengan memperhatikan proporsi peserta tes yang menjawab benar terhadap setiap
butir soal. Untuk menentukan tingkat kesukaran suatu butir soal dinyatakan
dengan suatu bilangan yang disebut indeks kesukaran, yang berada pada interval
0,00 sampai dengan 1,00. Klasifikasi indeks kesukaran digunakan kriteria
menurut Erman (2003) sebagai berikut:
Tabel 3.10
Kriteria Indeks Kesukaran
Indeks Kesukaran Kriteria
IK = 0,00 Sangat Sukar
0,00 < IK ≤ 0,30 Sukar
Scristia, 2014
0,70 < IK ≤ 1,00 Mudah
IK= 1,00 Sangat Mudah
Hasil perhitungan tingkat kesukaran soal tes pada penelitian ini
dirangkum dalam Tabel 3.11 :
Tabel 3.11
Data Hasil Uji Tingkat Kesukaran Instrumen Tes
No Soal Indeks Kesukaran Interpretasi
1 0,59 Sedang
Berdasarkan hasil perhitungan tingkat kesukaran dan terlihat pada Tabel
3.11 diatas, bahwa butir soal no.8 sangat sukar, hasil ini mendukung terhadap
keputusan hasil daya pembeda, bahwa soal no.8 ini dibuang. Sedangkan untuk
soal no.1 perlu diperbaiki agar menjadi soal dalam kategori mudah. Butir soal
no.6 terdapat beberapa poin soal yang harus direvisi, karena dengan melihat hasil
perhitungan tingkat kesukaran yang paling rendah. Hasil analisis dan keputusan
revisi secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran B.
Berdasarkan hasil analisis validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat
kesukaran terhadap hasil ujicoba instrumen tes kemampuan mathematical visual
thinking yang diujikan pada 30 siswa kelas IX SMPN 1 Lembang, dapat
disimpulkan bahwa instrumen tes tersebut layak dipakai sebagai acuan untuk
mengukur kemampuan mathematical visual thinking siswa kelas VIII yang
merupakan sampel dalam penelitian ini.
3.4.2 Skala self-efficacy
Instrumen self-efficacy dikonstruksi dan dikembangkan oleh peneliti dengan
mengacu kuesioner yang dikembangkan oleh Bandura (2006), Zimmerman