• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS ASAS HUKUM PERJANJIAN DALAM PERJANJIAN LEASING DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK (STUDI : PT. ADI SARANA ARMADA) TESIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS YURIDIS ASAS HUKUM PERJANJIAN DALAM PERJANJIAN LEASING DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK (STUDI : PT. ADI SARANA ARMADA) TESIS."

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

SERI ULINA S. KEMBAREN 087011121/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2011

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SERI ULINA S. KEMBAREN 087011121/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2011

(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T, Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 08 Februari 2011

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

4. Dr. Dedy Harianto, SH, MHum

(5)

Nama : SERI ULINA S. KEMBAREN

Nim : 087011121

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS ASAS HUKUM PERJANJIAN DALAM PERJANJIAN LEASING DAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK (STUDI PADA PT. ADI SARANA ARMADA)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : SERI ULINA S. KEMBAREN Nim : 087011121

(6)

i

Fasilitas yang diadakan oleh perusahaan leasing sebagai perusahaan pembiayaan sangat meringankan konsumen yang kekurangan modal untuk membeli alat pendukung usaha, maka leasing menjadi alternative untuk memenuhi kebutuhan usaha dari pihak lessee.

Para pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa guna usaha/leasing adalah lessor,lessee,suppUer dan kreditur, namun yang menjadi pihak utama dalam perjanjian leasing adalah lessor dan lessee. Obyek dalam perjanjian sewa guna usaha / leasing adalah setiap aktiva tetap berwujud , dalam hal ini adalah kendaraan bermotor yaitu mobil.

Dalam praktek perjanjian sewa guna usaha/ leasing d\ PT Adi Sarana Armada (ASSA) Medan terdapat resiko dan hambatan dalam perjanjian leasing pada umumnya disebabkan oleh wanprestasi, Upaya atau cara yang dapat dilakukan oleh PT Adi Sarana Armada (ASSA) sebagai pihak lessee untuk mengatasi resiko atau hambatan tersebut diatas adalh tindakan- tindakan seperti pengenaan sanksi berupa denda dalam perjanjian leasing, penetapan jaminan yang harus diberikan oleh lessee dalam perjanjian leasing, penarikan kembali atau penguasaan kembali barang leasing oleh lessor, serta pengajuan gugatan ke pengadilan sebagai upaya terakhir apabila tindakan-tindakaii tersebut belum berhasil.

Kata kunci : leasing, lessor, lessee

(7)

ii

The facility provided by a leasing company in its capacity as a payment institution is very helpful for the consumers who do not have enough money to buy the stuff to support their businesses. Therefore, leasing has become an alternative way to meet the needs of the lessee's business.

The parties involved in a leasing agreement are lessor, lessee, supplier and creditor, but the most important parties in a leasing agreement are lessor and lessee.

The object in a leasing agreement is any tangible asset available, in this context, car is preferred.

In practice, the risks and constraints generally occurred related to the leasing agreement implemented by PT. Adi Sarana Armada (ASSA) and CV. Yoga Solafide Finance Medan are commonly caused by wanprestasi (one of the parties involved did not keep his/her promise as stated in the agreement they made).

The attempts that can be taken by PT. Adi Sarana Armada (ASSA) and CV.

Yoga Solafide Finance Medan as lessors to overcome the risk or constraint mentioned above are to give a sanction in the form of fine in the leasing agreement, to set the amount of money/guarantee must be paid by the lessee in the leasing agreement, the lessors confiscate the leased stuff, and if these do not work, the lessors file their claim to the court of law.

Key words: Leasing, Lessor, Lessee

(8)

iii

"ANALISIS YURIDIS ASAS HUKUM PERJANJIAN DALAM PERJANJIAN LEASING DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK (STUDI: PT ADI SARANA ARMADA)".

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa saran dan masukan, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terimakasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH., MKn., Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., C.N., dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., S,H., C.N., M.Hum, selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Terimakasih juga kepada semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan araha yang konstruktif dalam penulisan ini sejak tahap kolokium, senunar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Ucapan terimakasih yang sebesar- besarnya juga penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumater Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Univesitas Sumatera Utara.

(9)

iv

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tests ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumater Utara, yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat kepada Penulis selama mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.

6. Seluruh Staff dan Pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.

7. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Angkatan Tahun 2008 yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Kepada Staff dan Pegawai PT Adi Sarana Armada (ASSA) Medan yang telah banyak membantu Penulis untuk memberikan informasi dalam hal pengambilan data yang berkenaan dengan penulisan tesis ini. Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Ayahanda T. Sembiring, S.H., M.A dan Ibunda R.Sitepu, B.A yang telah mengasuh, mendidik dan

(10)

v

kepada Penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu diimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penyusunan tesis ini telah diupayakan semaksimal mungkin, namun kenyataannya masih ditemukan kekurangan yang disebabkan karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan tesis ini.

Medan, Februari 2011 Penulis,

SERIULINA S.KEMBAREN

(11)

vi

Nama : SERI ULINA S. KEMBAREN

Tempat /Tanggal Lahir : Medan/10 AGUSTUS 1986

Agama : Kristen Protestan

Jems Kelamin : Perempuan

II. KELUARGA

Nama Orang Tua : 1. TAMBAH SEMBIRING,SH,MA 2. ROSITA SITEPU, BA

Nama Saudara Kandung : 1.JUNE KALVIN SEMBIRING KEMBAREN, SH 2.KURNIA YOYKE SEMBIRING KEMBAREN, ST

III.PENDIDIKAN

1. SD ST. ANTONIUSS II MEDAN 2. SMP ST. THOMAS 1 MEDAN 3. SMU ST. THOMAS 2 MEDAN 4. SI UNIVERSITAS PANCABUDI

5. S2 PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FH - USU

(12)

vii

ABSTRACT ... ii

KATAPENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LatarBelakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian ... 7

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 8

A. Kerangka Teori ... 8

B. Konsepsi ... 22

G. Metode Penelitian ... 24

A. Sifat dan Jenis Penelitian ... 24

B. Sumber Data Penelitian ... 24

C. Alat Pengumpulan Data ... 26

D. Analisis Data ... 26

BAB II ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN TERIMPLEMENTASI DALAM PERJANJIAN LEASING INDONESIA ... 27

A. Implementasi Asas Hukum Perjanjian dalam Perjanjian Leasing ... 27

B. Karakter Keperdataan Leasing dalam Pengaturan Sistem Hukum Perjanjian Menurut KUH Perdata... 42

(13)

viii

Armada (ASSA) ... 52

B. Cara Mengatasi Hambatan Yang Timbul pada Sistem dan Pelaksanaan Perjanjian Leasing di PT Adi Sarana Armada 57 BAB IV PENERAPAN PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PARA PIHAK APABILA TERJADI SENGKETA DALAM PRAKTEK PERJANJIAN SEWA GUNA USAHA (LEASING) DI PT ADI SARANA ARMADA (ASSA) ... 61

A. Pengertian Umum Perlindungan Konsumen ... 61

B. Tanggung Jawab Lesse dan Lessor terhadap Obyek Perjanjian di PT Adi Sarana Armada ... 65

C. Upaya Leasing yang dapat ditempuh oleh PT Adi Sarana Armada selaku Pihak Lessor Dalam Menyelesaikan Sengketa Berupa Wanprestasi yang Dilakukan Oleh Konsumen Selaku Lessee di PT Adi Sarana Armada ... 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

A. Kesimpulan ... 87

B. Saran-Saran ... 88

DAFTARPUSTAKA ... 90

(14)

ix

Debitur, yaitu pihak yang memerlukan barang modal, barang modal dimana dibiayai oleh lessee dan diperuntukkan kepada lessor.

Kreditur atau Lender, yaitu pihak yang disebut juga dengan debt holders atau loan participants dalam suatu transaksi leasing. Umumnya kreditur atau lender terdiri dari bank, insurance company trust dan yayasan.

Supplies, yaitu penjual atau pemilik barang yang disewakan dapat terdiri dari perusahaan yang berada di dalam negeri atau yang mempunyai kantor pusat di luar negeri.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan dana atau modal bagi seseorang saat mi sangatlah penting, untuk memenuhi kebutuhan dana atau modal maka diperlukan suatu lembaga pembiayaan.

Bank sebagai lembaga keuangan ternyata tidak cukup mampu untuk menanggulangi kebutuhan dana atau modal yang dibutuhkan masyarakat. Hal tersebut diakibatkan keterbatasan jangkauan penyebaran kredit oleh bank, keterbatasan sumber dana, dan keterbatasan lain yang mengaklbatkan kurang fleksibel dalam melakukan fungsmya1, dan dalam hal tertentu tingkal resikonya lebih tinggi yang dikenal dengan lembaga pembiayaan, yang menawarkan bentuk-bentuk baru terhadap pembenan dana atau pembiayaan, yang salah satunya dalam bentuk sewa guna usaha atau lesing.

Pengertian leasing menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan pembiayaan adalah suatu kegiatan pembiayaan dalam benyuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan Hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.

Sebagai suatu perjanjian, leasing mempunyai alas hukum yang pokok yaitu asas hukum kebebasan berkontrak.2 Seperti yang terdapat pada pasal 1338 KUH Perdata, yang disebutkan:

"Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya".3

1Munir Fuady, Hukum tentang Pembiayaan (Dalam Teori dan Prafctek), Citra Aditya Bakti, Bandung 2002. hal 2.

2Ibid hal 6

(16)

Setiap orang bebas melakukan perjanjian, asal perjanjian tersebut memenuhi persyaratan-persyaratan mengenai sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sepanjang memenuhi syarat seperti yang diatur pada perundang-undangan, maka leasing berlaku sesuai dengan ketentuan tentang perikatan seperti terdapat dalam buku ketiga KUH Perdata, demikian disamping alas hukum mengenai asas kebebasan berkontrak terdapat beberapa alas hukum lainnya yang lebih bersifat administratif dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep 38/MK/IV/1/1972, tentang Lembaga Keuangan yang telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 562/KMK/011/1982.

2. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustiran dan Menteri Perdagangan Repubiik Indonesia, Nomor Kep- 122/MK/IV/2/1974, Nomor 30/Kbp/l/3974, tentang Perizinan Usaha Leasing.

3. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1988 tertanggal 20 Desember 1988 tentang Lembaga Pembiayaan,

4. Surat Keputusan Menteri Keuangan Repubiik Indonesia Nomor 1251/KMK.013/1988, tertanggal 20 Desember 1988, tentang Ketentuan dan Tatacara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, sebagaimana telah berkali-kali diubah, terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Repubiik Indonesia Nomor 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan,

5. Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 634/KMK.013/1990, tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas melalui perasahaan Sewa Guna Usaha (Perusahaan Leasing)

6. Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK/.01/1991, tertanggal 21 November 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha.

7. Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 448/KMK. 017/2000, tertanggal 27 Oktober 2000, tentang Perusahaan Pembiayaan.4

Leasing sebagai lembaga pembiayaan dalam sistem kerjanya akan menghubungkan kepentingan beberapa pihak atau subjek perjanjian, yaitu:5

3R Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata PT Pradnya Paramita, Jakarta 1999. Hal 3.

4 Amin Widjaya Tunggal dan Arif Djohan, Aspek Yuridis dalam Leasing, Jakarta, Rineka 1994, hal. 7

5Dahara Djoko Prakoso, Leasing dan permasalahan, Effhar & prize, Semarang 19%, hal 3-4

(17)

1. Lessor, yaitu pihak yang menyewakan barang, terdiri dari beberapa perasahaan.

Lessor disebut juga investor, equity holder, owner participants, atau truster owners.

2. Debitur, yaitu pihak yang memerlukan barang modal, barang modal dimana dibiayai oleh lessee dan diperuntukkan kepada lessor.6

3. Kreditur atau Lender, yaitu pihak yang disebut juga dengan debt holders atau loan participants dalam suatu transaksi leasing. Umumnya kreditur atau lender terdiri dari bank, insurance company trust dan yayasan.

4. Supplies, yaitu penjual atau pemilik barang yang disewakan dapat terdiri dari perasahaan yang berada di dalam negeri atau yang mempunyai kantor pusat di luar negeri.7

Fasilitas yang diadakan oleh perusahaan leasing sebagai perusahaan pembiayaan sangat meringankan konsumen/ pasar yang kekurangan modal untuk membeli alat pendukung usaha maka leasing menjadi alternatif. Demikian pula kegiatan pembiayaan yang dilakukan oleh PT Adi Sarana Armada yang memberikan kemudahan bagi masyarakat yang membutuhkan sarana transportasi di Kota Medan dengan pembiayaan secara leasing. Sehingga Adi Sarana Armada dengan pihak lessor hal ini PT ASSA dengan pihak lessee dalam hal ini konsumen dari PT Adi Sarana Armada.

Hubungan lessor dan lessee merupakan hubungan timbal balik, menyangkut pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu hak atau tuntutan kewajiban dan menggunakan fasilitas pembiayaan, untuk itu para lessor atau lessee dibuat

6Munir Fuady, Op. cit, hal. 7.

7Ibid

(18)

perjanjian financial lesse atau kontrak leasing , dimana perjanjian dibuat dan disepakati harus berbentuk perjanjian tertulis ,tidak ada ketentuan khusus apakah harus dalam bentuk otentik atau akta dibawah tangan .Apabila ditinjau dari sudut hokum yang berlaku di Indonesia, maka bukti yang paling kuat adalah bukti dalam bentuk otentik, seperti diatur pada pasal 1870 KUH Perdata yaitu: "Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak serta ahli waris-ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.

Berdasarkan pasal ini, maka beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal kebenaran adanya akta otentik tersebut. Sedangkaa akta dibawah tangan baru mempunyai kekuatan pembuktian jika pihak yang menandatangani akta mengakui tangannya dalam akta tersebut, maka banyak perusahaan leasing membuat perjanjian sewa guna usaha/leasing secara notaril.8

Dalam perjanjian dimana bentuk, syarat atau isi dituangkan dalam klausul- telah dibuat secara baku (standart contract-contract) maka posisi hukum (recht positie) pembeli tidak leluasa atau bebas dalam mengutarakan kehendak. Hal ini bisa terjadi karena pembeli tidak mempunyai kekuatan menawar (bargaining power).

Dalam standart form contract pembeli disodori perjanjian dengan syarat-yang ditetapkan oleh penjual, sedangkan pembeli hanya dapat mengajukan pada hak-hak tertentu, umpamanya tentang harga, tempat penyerahan barang dan tata cara pembayaran, dimana hal ini dimungkinkan oleh penjual .

8Eddy P. Soekadi, Mekanisme Leasing, Ghalia Indonesia, Jakarta 1987hlm.153

(19)

Tentang hal-hal esensial Dalam perjanjian, umpamanya tentang pembatalan perjanjian, cara menyelesaikan perselisihan, resiko perjanjian, tidak dapat ditawar Untuk itu diperlukan campur tangan pemerintah tentang syarat-syarat dalam perjanjian baku. Pada umumnya Dalam perjanjian baku hak-hak penjual lebih menonjol dibandingkan dengan hak-hak pembeli, karena pada umumnya syarat-syarat atau klausal bagi pembeli merupakan kewaiiban-kewajiban saja. Sehingga dengan antara hak-hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli tidak seimbang.

Kebebasan berkontrak akhirnya menjurus kepada penekanan oleh pihak kepada pihak pembeli. Oleh karena itu, untuk memberi perlindungan hukum kepada pembeli, maka perlu adanya pembatasan pada kebebasan berkontrak. Untuk itu canpur tangan pemerintah guna melindungi pihak yang lemah dalam hal ini melalui peraturan Perundang-undangan. Hal tersebut penting karena mengingat menyangkut kepentingan rakyat banyak dan pembangunan ekonomi.

Leasing termasuk bisnis yang loosely regulated dimana perlindungan para pihaknya hanya sebatas itikad dari masing-masing pihak tersebut yang dituangkan dalam bentuk perjanjian leasing. Dalam hal ini terdapat kemungkinan salah satu pihak dalam perjanjian tidak dapat melaksanakan prestasinya sesuai perjanjian, sebagai contoh kelalaian pihak lessee dalam menjaga barang modal di tengah berlangsungnya proses pelaksanaan leasing tersebut. Menyangkut terhindarnya dari RESIKO adalah tidak terikatnya seorang lessee pada kemungkinan hilang atau rusaknya objek leased, karena antisipasi keadaan tersebut telah beralih ke asuransi,

(20)

dalam pembayaran uang sewa atau pembayaran lain yang menjadi kewajiban lessee dalam perjanjian.

Pelanggaran perjanjian dari pihak lessee tersebut dapat merugikan pihak lessor terutama apabila kelalaiannya berpengaruh secara langsung kepada obyek leased.

Maka dari uraian diatas dapat diangkat hal yang menarik untuk dibahas lebih adalah bagaimana Analisis Yuridis Asas Hukum Perjanjian dalam Perjanjian dan Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak.

B. Permasalahan

Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan mi yang perlu mendapat kajian lebih lanjut adalah:

1. Apakah Asas-asas Hukum perjanjian (KUH Perdata) terimplementas! dalam perjanjian leasing di PT ASSA ?

2. Hambatan-hambatan hukum apa saja yang timbul pada pelaksanaan perjanjian sewa guna usaha/leasing tersebut serta bagaimana cara mengatasinya?

3. Bagaimana perlindungan hukum para pihak apabila terjadi sengketa dalam praktek perjanjian Sewa Guna Usaha di PT ASSA?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan mi adalah:

1. Untuk mengetahui apakah asas-asas Hukum perjanjian (KUH Perdata) terimplementasi dalam perjanjian Leasing

(21)

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan hukum yang timbul pada pelaksanaan perjanjian sewa guna usaha/ leasing serta bagaimana cara mengatasinya.

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi para pihak apabila terjadi sengketa dalam praktek perjanjian Sewa Guna Usaha di PT Adi Sarana Armada (PT ASSA)

D. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan mamfaat, baik secara teoritis maupun praktis yaitu:

1. Secara teoritis, kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa sumbang saran dan dapat dijadikan bahan kajian yang pada gilirannya dapat memberikan andil bagi perkembangan ihnu hukum, khususnya mengenai Analisis Yuridis Asas Hukum Perjanjian Dalam Perjanjian Leasing dan Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak.

2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembangunan hukum, terutama dalam perumusan kebijakan oleh pemerintah dibidang perjanjian sewa guna usaha/leasing.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya pada sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian yang menyangkut masalah "Analisis Yuridis Asas Hukum Perjanjian dalam Perjanjian leasing dan Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak".

(22)

Akan tetapi penelitian tesis yang dilakukan oleh Elfi Yulianty yang berjudul

“Pengikatan Benda Bergerak Sebagai Jaminan Hutang dalam praktek Bank”. Dengan permasalahannya adalah:

1. Bagaimana prinsip pengikatan benda bergerak sebagai jaminan hutang dalam praktek perbankan dan leasing ?

2. Bagaimana pengaturan klausal kontrak pada perjanjian leasing dan perbankan sebagai jaminan ?

3. Bagaimana akibat hukum terhadap hukum penerima jaminan benda bergerak yang tidak didaftarkan?

Dilihat dari titik permasalahannya masing-masing penelitian diatas, terdapat perbedaan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini betul asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan,yang untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang berkaitan dan berkenaan dengan hukum. Dengan itu harus cukup menguraikan apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada hukum. Teori juga merupakan sebuah desain Iangkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu

(23)

kebijakan maupun narasumber penting lainnya. Sebuah teori harus diuji dengan menghadapkannya kepada fakta-fakta yang kemudian harus menunjukkan kebenarannya. Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. Dalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny. H. Soemitro bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran teoritis.9

Menurut Kaelan M.S landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.10

Oleh sebab itu kerangka teoritis sebagai suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut:

1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-defenisi;

3. Teori biasanya merupakan suatu iktisar daripada hal-hal yang diteliti;

4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor- faktor tersebut akan timbul lagi pada masa mendatang.11

9Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm.37.

10Kaelan M. S, Metode Penelitian KualUatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Indispliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), Paradigma, Yogyakarta, 2005, hlmn. 239.

11Soejno Soekanto, Penganta Penelitian Hukum, UI Pres, Jakarta, 1986, hal.121

(24)

Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan sebagai pisau analitis dalam analisis. Secara konseptual, teori yang dapat dijadikan acuan dalam Analisis Yuridis Asas Hukum Peijanjian Dalam Perjanjian Leasing Dan Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak adalah menggunakan teori keadilan dari Aristoteles. Pandangan- pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nichomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, "karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan"

yang sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga negara adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.12

Aristoteles dalam bukunya "Rethorica" mengatakan bahwa tujuan dari hukum adalah menghendaki keadilan semata- mata dan isi dari pada hukum ditentukan oleh

12 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum PersfektifHistoris, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004, haL24.

(25)

kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil.

Menurut teori ini hukum mempunyai tugas suci dan luhur yaitu dengan memberikan keadilan kepada setiap orang yang berhak ia terima serta memerlukan peraturan tersendiri bagi setiap kasus. Untuk terlaksananya hal tersebut maka menurut teori ini hukum harus membuat apa yang dinamakan "Algemene Regel "(peraturan/ ketentuan umum) yang mempunyai sifat sebagai berikut:

a. Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat- alatnya.

b. Sifat Undang- Undang yang berlaku bagi siapa saja. Asas kebebasan berkontrak dalam melakukan suatu perjanjian merupakan bentuk dari adanya suatu kedaulatan hukum yang dipunyai oleh setiap individu dalam melakukan perbuatan hukum. Setiap individu menurut kepentingannya secara otonom berhak melakukan perjanjian dengan individu lain atau masyarakat lainnya.

Namun demikian dalam praktek apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan, maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan di satu sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip- prinsip kepastian hukum, kemudian apabila pada prakteknya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilan pada umumnya lahir dari hati nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum lahir dari sesuatu yang konkrit.13

Menurut Subekti, perianjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana itu saling berianji melaksanakan sesuatu hal.14

Menurut R.Wirjono Prodjodikoro, mendefenisikan perianjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak

13Ibid

14R. Subekti, Op Cit, hal.5

(26)

berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.15

Asas kebebasan berkontrak dalam melakukan suatu perianjian merupakan bentuk dari adanya suatu kedaulatan hukum yang dipunyai oleh setiap individu dalam melakukan perbuatan hukum. Setiap individu menurut kepentingannya secara otonom berhak melakukan perjanjian dengan individu lain atau masyarakat lainnya.

Hukum kontrak di Indonesia diatur dalam Buku III KUH Perdata Bab Kedua yang mengatur tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau persetujuan. Pengertian kontrak dengan persetujuan adalah sama seperti terlihat yang didefenisikan pada Pasal 1313 KUH Perdata. Hukum kontrak hanya mengatur aspek tertentu dari pasar dan mengatur jenis perjanjian tertentu.16

Sekalipun demikian mungkin kontrak adalah bagian yang kurang menonjol dari Hukum yang hidup (Living Law) dibandingkan bidang lain yang berkembang berdasarkan hukum kontrak atau pemikiran tentang kontrak.17

Asas-asas Hukum Kontrak di Indonesia

Menurut Paul Scholten, asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individu yang dapat dipandang

15R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1991 hal.9

16 Lawrence F. Friedman, American Law Introduction, Second Edition, Hukum Amerika sebuah pengantar (Penerjemah Wisnu Basuki), PT.TataNusa, Jakarta 200l,hal 195

17Ibid hal 197

(27)

penjabarannya18 Pada umumnya asas hukum tidak dituangkan dalam bentuk yang konkrit, misalnya "asas konsensualitas" yang terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu, "Sepakat mereka yang mengikatkan dirt". Untuk menemukan asas hukum dicarilah sifat-sifat umum dalam kaedah atau peraturan yang konkrit.19

Dalam tulisannya Johannes Gunawan menyebutkan, ada asas-asas Hukum Kontrak yang tersirat dalam Kitab KUH Perdata yaitu, Asas kebebasan Berkontrak, Asas Mengikat Sebagai Undang-Undang, Asas Konsensualitas, dan Asas Itikad Baik20

a. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)

Latar Belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan lahirnya paham individualisme. Paham individualisme secara embrional lahir pada zaman Yunani yang kemudian diteruskan oleh kaum epicuristem dan berkembang pesat pada zaman renaisance melalui ajaran-ajaran antara lain ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan Rpusseau.21 Asas kebebasan berkontrak terdapat dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Kebebasan dalam membuat perjanjian dimana para pihak dapat dengan bebas mengatur hak dan kewajiban dalam perjanjian yang disepakati. Menurut Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian, Asas Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang

18J J.H. Bruggink (alih bahasa Arief Sidharta), Refleksi Tentang Hukum, PT. Citra Adytia Bakti,

19Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakatta, 1999, Hai.34-35

20Johannes Gunawan, Op. cit. hal 47 dan juga lihat Mariam Darns Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni Bandung, 1993 Hal. 108

21Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika Jakarta 2003, Hal. 9

(28)

berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.22 Kebebasan berkontrak bukan berarti para pihak dapat membuat kontrak (perjanjian) secara bebas, akan tetapi tetap mengindahkan syarat-syarat sahnya perjanjian, maupun syarat khusus untuk perjanjian-perjanjian tertentu.

Pendekatan terhadap asas kebebasan berkontrak berdasarkan hukum alam, dikemukakan oleh Hugo de Groot dan Thomas Hobbes. Grotius sebagai penganjur terkemuka dari ajaran hukum alam berpendapat bahwa hak untuk mengadakan perjanjian adalah hak asasi manusia. Ia beranggapan, suatu kontrak adalah suatu tindakan sukarela dari seseorang yang berjanji satu sama lain dengan maksud orang lain itu menerimanya. Kontrak lebih dari sekedar janji karena suatu janji tidak dapat memberikan hak kepada pihak lain atas pelaksanaan janji itu. Selanjutnya Hobbes menyatakan bahwa kebebasan berkontrak sebagai kebebasan manusia yang fundamental. Kontrak adalah metode dimana hak-hak fundamental manusia dapat dialihkan.23

Menurut Munir Fuady, Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasan untuk mengatur sendiri isi kontrak tersebut.24Asas ini tersirat dalam pasal 1338 KUH Perdata, pada intinya menyatakan bahwa terdapat kebebasan membuat kontrak apapun sejauh tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban dan kesusilaan.

22Subekti, Op.cit.Hal.13

23 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian, Institut Bankir Indonesia (IBI) Jakarta 1993, Hal. 18-20

24Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung 2002, hal.12

(29)

Subekti dalam bukunya pokok-pokok Hukum Perdata, menyebutkan orang leiuasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan, pada umumnya juga boleh mengenyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam buku III karena Buku III merupakan "hukum pelengkap" (aanvulled recht) bukan hukum keras atau hukum yang memaksa25 meliputi lima macam kebebasan, yaitu:

a) Kebebasan para pihak menutup atau tidak menutup kontrak.

b) Kebebasan menentukan dengan siapa para pihak akan tertutup kontrak.

c) Kebebasan para pihak menentukan isi kontrak d) Kebebasan para pihak menentukan bentuk kontrak.

e) Kebebasan pada pihak menentukan cara penutupan kontrak.

Menurut Felix.O.Soebagjio, dalam penerapan asas kebebasan berkontrak, bukan berarti dapat dilakukan bebas-sebebasnya, akan tetapi juga ada pembatasan yang diterapkan oleh pembuat peraturan perundang-undangan, yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan.26 Dengan demikian kita melihat bahwa asas kebebasan ini tidak hanya milik KUH Perdata, akan tetapi bersifat universal.27

Sehubungan dengan itu, teori-teori hukum Common Law tertentu memperbolehkan untuk membatalkan kontrak-kontrak yang bersifat menindas atau

25Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet Ke-XXXIII, PT. Intermasa, Jakarta 2005.Hal128.

26 Felix. O. Soebagjo, Perkembangan Asas-asas Hukum Kontrak Dalam Praktek Bisnis Selama 25 Tahun terakhir, Disampaikan dalam pertemuan Ilmiah "Perkembangan Hukum kontrak dalam praktek bisnis di Indonesia", diselenggarakan oleh Badan Pengkajian Hukum Naslonal, Jakarta 18 dan 19 Februari 1993.

27Bandingkan dengan, Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, hal. 108-109

(30)

adanya unsur ketidakadilan sebagai bentuk adanya pembatasan kebebasan berkontrak, Dorongan pembatasan kebebasan berkontrak tampil kepermukaan guna lebih menyediakan ruang dan peluang lebih besar pada pengertian-pengertian keadilan, kebenaran, kesusialaan serta ketertiban umum. Karenanya kontrak merupakan dasar dari banyak kegiatan bisnis dan hampir semua kegiatan bisnis diawali oleh adanya kontrak, meskipun kontrak dalam tampilan yang sangat sederhana sekalipun.

b. Asas Mengikat Sebagai Undang undang.

Pacta Sunt Servanda, bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati.28 Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya dan perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain oleh Undang-Undang. Dan Perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Suatu hal yang lebih penting yang patut diperhatikan bahwa, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang- Undang.29 Asas hukum ini, telah meletakkan posisi perjanjian yang dibuat oleh masyarakat menjadi Undang-Undang baginya sehingga Negara tidak berwenang lagi ikut campur tangan dalam perjanjian.

Kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan yang tak terbatas, karena tetap ada batasannya dan akan ada akibat hukum yang tirobul terhadap kebebasan yang terbatas itu.

28C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka Jakarta 1983, Hal. 48

29 1.G. Ray Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta 2000., Merancang suatu Kontrak (Contract Drafting), Kesaint Blanc, Jakarta 2003 Hal.135

(31)

Sutan Remi Sjahdeini, menyebutkan adanya batas-batas kebebasan berkontrak, yaitu bila suatu kontrak melanggar peraturan perundang-undangan atau suatu public policy, maka kontrak tersebut menjadi illegal. Public policy amat tergantung kepada nilai-nilai yang ada dalam suatu masyarakat30

Asas ini tercantum dalam pasal yang sama dengan pasal yang berisi asas kebebasan berkontrak, yaitu pasal 1338 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa

"Semua kontrak yang dibuat secara sah akan mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak dalam kontrak tersebut". Pemuatan dua asas hukum, yaitu asas kebebasan berkontrak dan asas mengikat sebagai Undang-Undang di dalam satu pasal yang sama, menurut logika hukum berarti:

1. Kedua asas hukum tersebut tidak boleh bertentangan satu dengan yang lainnya.

2. Kontrak baru akan mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak dalam kontrak tersebut, apabila di dalam pembuatanhya terpenuhi asas kebebasan berkontrak yang terdiri atas lima macam kebebasan.31

Asas bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka terima sebagai kewajiban masing-masing karena persetujuan merupakan undang-undang bagi pihak- pihak yang mengadakannya dan kekuatan mengikatnya dianggap sama dengan kekuatan undang-undang, sehingga istilah Pacta Sunt Servanda berarti "Janji itu mengikat". Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada

30Sutan Remi Sjahdeini, Op.cit Hal. 41.

31Johannes Gunawan, "Reorientasi Hukum Kontrak di Indonesia", (2003) Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22-No. 6 Tahun 2008. Hal. 48

(32)

apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara moral.32

c. Asas Konsensualitas (Consensualitas)

Sebagaimana yang tersirat dalam pasal 1320 KUH Perdata, bahwa sebuah kontrak sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak dalam kontrak sejak terjadi kata sepakat tentang unsur pokok dari kontrak tersebut. Dengan kata lain, kontrak sudah sah apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai unsur pokok kontrak dan tidak diperlukan formalitas tertentu.33Banyak pertanyaan, kapan saatnya kesepakatan dalam perjanjian itu terjadi. Kesepakatan itu akan timbul apabila pihak para yang membuat perjanjian itu pada suatu saat bersama-sama berada disatu tempat dan disitulah terjadi kesepakatan itu. Akan tetapi dalam surat menyurat, sehingga juga timbul persoalan kapan kesepakatan itu terjadi. Hal ini penting dikarenakan untuk perjanjian-perjanjian yang tunduk pada asas konsensualitas, saat terjadinya kesepakatan merupakan saat terjadinya perjanjian.34 Kekuatan mengikat dan suatu kontrak adalah lahir ketika telah adanya kata sepakat, atau dikenal dengan asas konsensualitas, dimana para pihak yang berjanji telah sepakat untuk meningkatkan dirinya dalam suatu perjanjian menurut hukum.

Subekti, dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan bahwa menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran (efferter) menerima yang termaktub dalam

32Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Adytia Bakti, Bandung, 2001. Hal.88.

33Johanes Gunawan, Op cit

34Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni Banctung 2000, Hal. 214

(33)

surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan.

Bahwasanya mungkin ia tidak membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.35

Menurut Wirjono Prodjodikoro sebagaimana yang dikutip oleh Riduan Syahrini, ontvangs theorie dan verneming theorie dapat dikawinkan sedemikian rupa, yaitu dalam keadaan biasa perjanjian harus dianggap terjadi pada saat surat penerimaan sampai kepada alamat penawar (ontvangs theorie), tetapi dalam keadaan luar biasa kepada si penawar diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa itu mungkin dapat mengetahui isi surat penerimaan pada saat surat itu sampai dialamatnya, misalnya karena bepergian atau sakit keras.36

Asas ini juga dapat ditemukan dalam pasal 1338 KUH Perdata, dalam istilah

"semua". Kata-kata "Semua" menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginan (will) yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian37

d. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik dalam suatu perjanjian terdapat dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, Yang menyatakan persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Akan tetapi dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit apa yang dimaksud dengan "itikad baik". Akibatnya orang akan menemui kesulitan dalam menafsirkan dari itikad baik itu sendiri. Karena itikad baik merupakan suatu

35Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta Get VI. 1979, Hal.29-30

36Riduan Syahrini, Op.cit. Hal. 216

37Mariam Darus Badrulzaman, Op. cit, Hal. 87

(34)

perjanjian yang abstrak yang berhubungan dengan apa yang ada dalam alam pikiran manusia. Menurut James Gordley, sebagaimana yang dikutip oleh Ridwan Khairandy, memang dalam kenyataanya sangat sulit untuk mendefenisikan itikad baik.38 Dalam praktek pelaksanaan perjanjian sering ditafsirkan sebagai hal yang berhubungan dengan kepatutan dan kepantasan dalam melaksanakan suatu kontrak.

Menurut teori klasik hukum kontrak, asas itikad baik dapat diterapkan dalam situasi dimana perjanjian sudah memenuhi syarat hal tertentu, akibat ajaran ini tidak melindungi pihak yang menderita kerugian dalam tahap pra kontrak atau tahap perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi syarat tertentu.39

Penerapan asas itikad baik dalam kontrak bisnis, haruslah sangat diperhatikan terutama pada saat melakukan perjanjian pra kontrak atau negoisasi, karena itikad baik baru diakui pada saat perjanjian sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian atau setelah negoisasi dilakukan. Terhadap kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pemberlakuan asas itikad baik ini, Suharmoko menyebutkan bahwa secara implisit Undang-Undang Perlindungan Konsumen sudah mengakui bahwa itikad baik sudah harus ada sebelum ditandatangani perjanjian, sehingga janji-janji pra kontrak dapat diminta pertanggungjawabkan berupa ganti rugi, apabila janji tersebut diingkari.40

Subekti, dalam bukunya hukum perjanjian, menyebutkan bahwa itikad baik itu dikatakan sebagai suatu sendi yang terpenting dalam buku perjanjian.41

38 Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Pascasaijana Fakultas Hukum Universitas Indonesiajakarta 2003,Hal 129-130

39Suharmoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta 2004, Hal. 5

40Ibid, hal 8-9

41Subekti, Op. Cit. hlm.41

(35)

Sehingganya Riduan Syahrani menyebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan perjanjian peranan itikad baik (te goeder trouw) sungguh mempunyai arti yang sangat penting sekali.42 Pemikiran ini berpijak dari pemahaman bahwa itikad baik merupakan landasan dalam melaksanakan perjanjian dengan sebaik baiknya dan semestinya.

Asas itikad baik menjadi salah satu instrumen hukum untuk membatasi kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam hukum kontrak itikad baik memiliki tiga fungsi yaitu, fungsi yang pertama, semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu. Sedangkan fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking vande goeder trouw).43Dengan fungsi ini hakim dapat mengenyampingkan isi perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak. Tidak semua ahli hukum dan pengadilan menyetujui fungsi ini, karena akan banyak hal bersinggungan dengan keadaan memaksa, sehingganya masih dalam perdebatan dalam pelaksanaannya,

Pengertian itikad baik secara defenisi tidak ditemukan, begitu juga dalam KUHPerdata tidak dijelaskan secara terperinci tentang apa yang dimaksud dengan itikad baik, pada pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata hanyalah disebutkan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan "itikad baik".

42Riduan Syahrani, Op.cit. Hal. 259

43Ridwan Khairandy, Op.Cit. Hal. 33. 24

(36)

Menurut Wirjono Prodjodikoro dan Subekti, itikad baik (te goeder trouw) yang sering diterjemahkan sebagai kejujuran, dibedakan menjadi dua macam, yaitu;

1) itikad baik pada waktu akan mengadakan hubungan hukum atau perjanjian, dan

2) itikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut.44

Sampai sekarang tidak ada makna tunggal itikad baik dalam kontrak, sehingga masih terjadi perdebatan mengenai bagaimana sebenarnya makna dari itikad baik itu.

Itikad baik para pihak, haruslah mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang ditengah masyarakat, sebab itikad baik merupakan bagian dari masyarakat

Sifat dari itikad baik dapat berupa subjektif, dikarenakan terhadap perbuatan ketika akan mengadakan hubungan hukum maupun akan melaksanakan perjanjian adalah sikap mental dari seseorang. Banyak penulis ahli hukum Indonesia menganggap itikad baik bersifat subjektif. Akan tetapi sebagaimana dikutip Riduan Syahrini dalam bukunya Wirjono prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, menyebutkan para kalangan ahli hukum Belanda antara lain Hoftmann dan Volmar menganggap bahwa disamping adanya pengertian itikad baik yang subjektif, juga ada itikad baik yang bersifat objektif, oleh mereka tidak lain maksudnya adalah kepatutan (billijkheid redelijkheid).45

2. Konsepsi

Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan

44Riduan Syahiani, .Op.c& Hal. 260. 25

45Riduan Syahrini, Ibid, Hal. 262

(37)

penulis, Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus,46 yang disebut sebagai defenisi operasional.

Dalam penelitian ini dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau defenisi operasional sebagai berikut:

1. Implementasi adalah proses untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut.

2. Asas kebebasan Berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun dimana para pihak dapat dengan bebas mengatur hak dan kewajiban dalam perjanjian yang disepakati.

3. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada atau dimana dua pihak saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

4. Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu tertentu , berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang

46Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1998, hal. 3 26

(38)

bersangkutan atau memperpanjang waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang yang telah disepakati bersama.

5. Perlindungan Hukum adalah adanya kepastian hukum, artinya pada suatu perjanjian leasing setiap pihak dilindungi oleh hukum karena dibuat secara otentik, yang memiliki sanksi-sanksi apabila para pihak tidak melaksanakan hak dan kewajibannya.

6. Para pihak adalah orang perorangan yang sepakat melakukan perjanjian yang harus memenuhi suatu hak dan kewajiban.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Dalam penulisan ini penulis menggunakan spesifikasi penelitian bersifat deskriptis-analitis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal didaerah tertentu dan pada saat tertentu.

Dalam penelitian ini akan digambarkan peraturan perundang-undangan mengenai perjanjian sewa guna usaha/leasing kemudian dikaitkan dengan pernyataan dalam pelaksanaan implementasi asas hukum perjanjian dalam perjanjian leasing dan perlindungan hukum bagi para pihak di PT Adi Sarana Armada. Melalui penggambaran tersebut kemudian dilakukan analisa.

Penelitian ini mempergunakan metode pendekatan hukum yuridis normatif yaitu metode yang melakukan penelitian dengan mengkaji peraturan perundang-undagan atau efektifitas hukum yang berlaku dalam masyarakat.

2. Sumber Data Penelitian

Data pokok dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud disini adalah data yang dikumpulkan melalui wawancara dari

(39)

informan yakni 1 orang staff legal PT Adi Sarana Armada (ASSA). Sedangkan data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri dari:

1. Bahan Hukum Primer, bahan hukum yang mengikat yang berasal dari peraturan perundang-undangan yaitu:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

b. Kep.Men.Keu Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha

c. Kep.Men.Keu.RI Nomor 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu:

Bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, yaitu buku-buku dan sumber bacaan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, karya ilmiah dari kalangan hukum serta dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

3. Bahan Hukum tertier, yaitu:

Bahan pendukung diluar bidang hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia, surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.47

47 Soerjono Soekanto dan Sri Madmuji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo, Jakarta, 1985, hlm.23.

(40)

3. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:

a. Studi Kepustakaan (Library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelahaan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti

b. Studi Lapangan (Field Research) yaitu menghimpun data dengan melakukan wawancara yang menggunakan pedoman wawancara yang akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap.

4. Analisis Data

Setelah semua data sekunder diperoleh melalui penelitian Kepustakaan (Library Research) serta data pendukung yang diperoleh dari penelitian Lapangan (Field research), maka dilakukan pemeriksaan dan evaluasi untuk mengetahui keabsahannya, kemudian data diseleksi, diolah, dan dikelompokkan atas data yang sejenis, dianalisis sesuai dengan peraturan terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara yuridis,48 Logis yang dituangkan secara sitematis dalam bentuk karya ilmiah.

48 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm.77

(41)

BAB II

ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN TERIMPLEMENTASI DALAM PERJANJIAN LEASING INDONESIA

A. Implementasi Asas Hukum Perjanjian dalam Perjanjian Leasing.

1. Leasing sebagai suatu Perikatan

Perikatan berasal dari bahasa Belanda " verbintenis" atau bahasa Inggris

"binding", yang dalam Bahasa Indonesia selain diterjemahkan sebagai 'perikatan', juga ada yang menterjemahkan sebagai 'perutangan49. Sedangkan menurut Subekti, mendefenisikan bahwa suatu perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain itu berkgwajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut50. Menurut pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tiap-tiap perikatan itu dilahirkan dari:

a. Perjanjian, b. Undang-Undang.

Kata " Undang-undang" disini mempunyai arti baik secara formil maupun secara materil meskipun sesungguhnya kata Undang-undang itu terjemahan dari bahasa Belanda: wet namun dapat diartikan baik menurut peraturan (hukum) tertulis maupun tidak tertulis.

Dari uraian tersebut jelas bahwa suatu perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi, baik karena perjanjian maupun karena hukum tertulis dan atau hukum

49Ny. Sri Soedewi masjhoen Sofran, "Pengantar Hukum Perdata Internasioanal Indonesia, BinaCipta, 1987, Hal 23

50Subekti, "Hukum Perjanjian", Cet Ke XL, PT. Interraasa, 1980 Hal. 27

(42)

tidak tertulis. Disebut sebagai "perikatan" karena hubungan hukum ini sifatnya mengikat segala kewajiban yang muncul dari adanya perikatan itu. Serta dapat dipaksakan secara hukum. Jadi suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak dapat dipaksakan adalah bukan perikatan.

Dalam perikatan minimal ada dua pihak, pihak kesatu sebagai pihak yang berkewajiban sebagai pihak yang berhak. Konsekwensinya, bila suatu prestasi Dalam perikatan tidak dilaksanakan oleh yang berkewajiban atau sebaliknya, maka secara hukum pihak yang dirugikan dapat menuntut pemenuhan janji itu secara paksa atau menuntut ganti rugi.51

Dengan perkataan lain, hubungan hukum telah menimbulkan akibat hukum yaitu hak (right) dan kewajiban (duty/obligation) karena persetujuan atau kesepakatan para pihak dan atau karena undang-undang atau hukum tidak tertulis (hukum adat) yang menentukan demikian tanpa perlu ada persetujuan atau kesepakatan para pihak terlebih dahulu. Perikatan lahir dari hukum tergolong Dalam dua klasiflkasi yaitu : perikatan karena hukum saja dan perikatan karena hukum sehubungan dengan perbuatan melawan hukum diatur Dalam pasal 1365 KUH Perdata, sedangkan perikatan sehubungan dengan perbuatan orang yang tidak melawan hukum, misalnya melakukan pembayaran yang tidak diwajibkan diatur Dalam pasal 1359 KUH Perdata. Dari berbagai pembahasan diatas jelaslah bahwa leasing sebagai suatu perikatan adalah perikatan yang lahir dari suatu perjanjian, bukan karena hukum.

Dengan demikian kesepakatan para pihak lessee dan lessor adalah syarat utama

51Ibid, hal 81

(43)

sahnya perikatan Dalam perjanjian leasing. Leasing tidak termasuk perikatan yang lahir atau berdasarkan hukum karena perbuatan orang yang tidak melawan hukum, karena dalam perikatan jenis ini tidak disaratkan adanya suatu kesepakatan terlebih dahulu. Hal ini tampak dari diktum pembukaan pada pasal 2 Perjanjian Sewa Guna Usaha yang secara tegas menyatakan lease agreement adalah suatu "perjanjian" atas dasar kesepakatan. Adapun isi kesepakatannya adalah pengadaan barang modal yang pembiayaannya langsung disediakan oleh perusahaan sewa guna usaha (lessor) dan sebagai kontra prestasi dari lessee adalah sejumlah uang yang harus dibayar kepada lessor selama jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan yang dibuat bersama- sama.52

Memahami isi perjanjian sewa guna usaha (lease agreement) tersebut dapat disimpulkan bahwa prestasi (kontra prestasi) dalam perjanjian leasing adalah suatu kewajiban dan syarat dalam (promissory condition). Dikatakan demikian karena salah satu pihak, dalam hal ini lessor, terlebih dahulu wajib menyetujui memberikan fasilitas kepada lessee (prestasi) Karena masing-masing pihak mempunyai kewajiban, maka perjanjian leasing dapat juga disebut "perjanjian bilateral". Dalam Black's Law Dictionary perjanjian bilateral diartikan sebagai: "Bilateral (or resiprocal) contracts are those by which the parties expressly enter into mutual engangements, such as sale of hire" (perjanjian bilateral, atau timbal balik adalah perjanjian yang para pihaknya masing-masing berjanji, seperti misalnya dalam jual beli dan sewa). Hal ini membedakan dari perjanjian yang unilateral dimana salah satu pihak saja yang

52Lihat lampiran 1, khususnya diktum pembukan dan pasal 2 dari pejanjian sewa guna.

(44)

melakukan prestasi tanpa menerima balasan janji atau berjanji untuk melakukan kontra prestasi dari lawannya.53

Pasal 1314 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membagi perjanjian dalam dua macam, yaitu: perjanjian cuma-cuma ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lainnya tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri, sedangkan perjanjian atas beban ialah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Dari konstruksi pasal 1314 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini, jelas leasing termasuk "perjanjian atas beban", karena inti dari perjanjian atas beban ini tidak lain adalah beban untuk melakukan sesuatu prestasi yang haras dibalas dengan suatu kontra prestasi. Dengan demikian sama dengan perjanjian bilateral sebagaimana dikemukakan sebelumnya.

Sebaliknya, dari segi hubungan antara prestasi para pihak,Vollmar mengkualifisir perjanjian sebagai perjanjian timbal balik dan perjanjian atas beban.

Pada perjanjian timbal balik prestasi dan kontra prestasi para pihak tidak terdapat hubungan karena kedua prestasi para pihak tersebut adalah merupakan prestasi pokok. Selanjutnya Vollmar mencontohkan perjanjian timbal balik ini misalnya jual beli dan atau sewa menyewa.54 Sedangkan dalam syarat potestatif perjanjian atas beban antara prestasi dengan kontra prestasinya ada hubungan, yang dalam hal ini

53Pasal 5 perjanjian Sewa Guna Usaha ,menyiratkan kewajiban dan syarat bagi penguasaan obyek sewa guna usaha (lease agreement)

54Vollmar,h.f,s, Penganfar studi HukumPerdata jilid ll, CV Rajawali, Jakarta. Hal. 131

(45)

kontra prestasinya merupakan suatu syarat potestatif yaitu suatu syarat pemenuhannya sama sekali tidak terletak dalam kekuasaan salah satu pihak yaitu kreditur, karena bila syarat itu tergantung pada orang yang terikat debitur, maka perikatan itu adalah batal (Pasal 1265 KUH Perdata) . Dari sudut pandang Volhnar ini, leasing tergolong dalam "perjanjian timbal balik", karena merupakan perjanjian atas beban bilateral. Dalam Black's Law Dictionary ini disebut dengan reciprocal yaitu suatu perjanjian yang prestasi maupun kontra prestasinya merupakan kewajiban atau prestasi pokok. Jadi antara keduanya tidak ada hubungan sebagaimana yang terdapat Dalam perjaajian atas beban unilateral.

Pasal 1266 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa "syarat batalnya suatu perjanjian dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian, manakala salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya". Dari konstruksi pasal ini, bila salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya, maka perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan. Terdapatnya kewajiban para pihak secara timbal balik dalam perjanjian leasing, dapat dimaknai sebagai berikut: "manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya", karena hanya pihak yang mempunyai kewajiban saja yang dapat dikatakan tidak memenuhi kewajiban,

2. Asas kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Leasing

Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa kepada lessor selama jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan yang dibuat bersama- sama.

(46)

Memahami isi perjanjian sewa guna usaha (lease agreement) tersebut dapat disimpulkan bahwa prestasi (kontra prestasi) dalam perjanjian leasing adalah suatu kewajiban dan syarat {promissory condition). Dikatakan demikian karena salah satu pihak, dalam hal ini lessor, terlebih dahulu wajib menyetujui memberikan fasilitas kepada lessee (prestasi), dengan sejumlah syarat tertentu yang pada akhirnya merupakan suatu kewajiban maka perjanjian leasing dapat juga disebut perjanjian bilateral". Dalam Black's Law Dicitonary perjanjian bilateral diartikan sebagai : Bilateral (or resiprocal) contracts are those by -which the parties expressly enter into mutual engangements, such as sale of hire (perjanjian bilateral, atau timbal balik adalah perjanjian yang para pihaknya masing-masing berjanji, seperti misalnya dalam jual beli dan sewa). Hal ini membedakan arti perjanjian yang unilateral dimana salah satu pihak saja yang melakukan prestasi tanpa menerima balasan janji atau berjanji untuk melakukan kontra prestasi dari lawannya.

Para pihak untuk melakukan perbuatan hukum, Pasal 1330 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata menegaskan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:

a. Orang-orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

c. Orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang telah dilarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Sedangkan subyek hukum yang cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian, meaurut para ahli hukum Indonesia ada dua yaitu:

(47)

a. Orang-orang pribadi

b. Badan Hukum (legal entity)55

Pasal 1654 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah dasar hukum yang menyatakan badan apa saja yang dapat melakukan perbuatan hukum atau menjadi pihak/subyek dalam suatu hubungan hukum. Ketentuan ini menegaskan bahwa

"semua perkumpulan yang sah, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata"

selanjutnya tidak ada penjelasan dalam kitab Undang-undang hukum perdata tentang apa yang merupakan badan yang sah itu, tetapi mengkualifisir perkumpulan atau badan yang sah itu dalam dua golongan yaitu:

a. Perseroan sejati (badan usaha);

b. Perhimpunan orang (badan/organisasi sosial) atau perkumpulan dalam arti sempit.

Keberadaan perkumpulan-perkumpulan ini harus diakui oleh kekuasaan umum dan dibolehkan atau didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang/kesusilaan (Pasal 1653 KUH Perdata).

Dihadapkan dengan leasing, maka Surat Keputusan Menteri Keuangan R.I.

No. Kep-448/KMK.017/2000 tentang perizinan usaha leasing menetapkan bahwa usaha leasing hanya dapat dilakukan oleh lembaga keuangan dan badan usaha baik yang untuk perusahaan nasional maupun perusahaan campuran, yang sebelumnya harus mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan didirikan berdasarkan hukum

55 Rusly Hardijan, Badan Hukum dan Bentuk Perusahaan di Indonesia, Huvepindo 1989, hal.2-3

(48)

Indonesia khusus untuk usaha sebagai agen tunggal harus mendapat Izin Departemen Perdagangan dan atau Departemen Perindustrian (Pasal 2 ayat 1 dan 2; pasal 4 ayat 2). Sedangkan pihak lainnya (lessee) adalah orang-orang tertentu yang bertindak untuk dan atas nama badan usaha yang dipimpinnya, yang tentu pula didirikan atas hukum Indonesia. Oleh sebab itu pada pembukaan perjanjian sewa guna usaha pada PT ASSA telah disebutkan siapa saja yang menjadi subyek perjanjian yaitu, perusahaan sebagai pihak lessee dan orang- perorangan sebagai pihak lessor.

Kemudian tentang syarat-syarat "hal yang tertentu" atau "sebab yang halal"

disini diartikan bahwa dalam suatu perjanjian harus mempunyai pokok (obyek) sesuatu barang, jumlahnya dapat ditentukan pada waktu dibuatnya perjanjian (Pasal 1333 KUH Perdata). Bila dilihat dari bahasa belanda, maka terjemahan kata "Barang"

dalam pasal 1333 tersebut berasal dari kata "zaak" , yang menurut kamus Umum Indonesia:

1) Benda (barang);

2) Usaha (Perusahaan);

3) Sengketa (perkara);

4) Pokok persoalan;

5) Sesuatu yang diharuskan56;

Sedangkan perihal "sebab yang halal" dijelaskan sebagai sebab yang tidak terlarang atau tidak bertentangan dengan undang-undang, sebab yang sesuai dengan

56Rusli Hardijan, Ibid hal 219

(49)

kesusilaan, sebab yang sesuai dengan ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).

Dengan demikian, maka sebab yang bertentangan dengan undang-undang akan menyebabkan perjanjian menjadi batal, bila ternyata perjanjian itu menimbulkan akibat yang bertentangan dengan undang-undang atau membahayakan kepentingan umum (publik interest).

Hal tertentu dalam perjanjian leasing lebih tepat kita sebut sebagai pokok persoalan, hal mana antara lainnya dapat kita temukan dalam pasal 2, pasal 5 dan pasal 6 perjanjian sewa guna usaha (lease agreement). Sedangkan perihal "sebab yang halal" dapat disimpulkan dari amar menimbang S.K. bersama tiga Menteri yang mengatur tentang perizinan usaha leasing, yang antara lain dikemukakan:

a. Bahwa leasing merupakan suatu bentuk usaha di bidang pembiayaan yang dianggap penting peranannya dalam peningkatan pembangunan perekonomian Nasional;

b. Bahwa usaha leasing termaksud memerlukan pengaturan dan pengawasan untuk dapat mengarahkan perkembangannya sesuai dengan pola umum kebijaksanaan pemerintah di bidang pembangunan.

Dari ketentuan pasal 2, pasal 5 dan pasal 6 perjanjian sewa guna usaha tersebut diatas diketahui bahwa "hal tertentu" dalam perjanjian leasing adalah pengadaan barang modal oleh lessor yang kemudian diserahkan kepada lessee sebagai angsuran. Sedangkan "sebab yang halal" tidak lain daripada upaya meningkatkan pembangunan infrastruktur ekonomi yang halal dalam konteks

Referensi

Dokumen terkait

Alur informasi tingkat kepuasan pelayanan kantor desa terhadap masyarakat desa yang akan diterapkan oleh perangkat desa dengan capaian tingkat kepuasan selanjutnya

Terdapat beberapa siswa di SMP Mutiara Persada yang memiliki persepsi negatif terhadap Guru Bimbingan dan Konseling. Beberapa siswa tersebut masih setuju dengan

Dalam sebuah pipa lurus, air mengalir dari penampang kecil yang luasnya 10 cm2 dengan cepat aliran 10 cm/dt menuju penampang besar yang luasnya 30 cm2.. Dalam sebuah pipa lurus,

Saran-saran yang dianggap perlu dikemukakan disini guna perbaikkan dan pengembangan system lebih lanjut pada masa yang akan datang, serta dijadikan sebagai bahan rujukan oleh

Sehingga berdampak pada selisih temperatur menjadi meningkat maka laju pembuangan panas mesin pada radiator dengan kondisi pembebanan Air Conditioner lebih tinggi

Rumusan masalah dalam penelitian ini apakah metode analisis residu pestisida triadimefon dalam kubis dengan kromatografi - gas spektrometri massa (KG-SM) memenuhi parameter

KEPUST

selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Bisnis Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membantu dan memberikan