• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH FDI DAN MODAL MANUSIA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARDAERAH DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH FDI DAN MODAL MANUSIA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARDAERAH DI INDONESIA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH FDI DAN MODAL MANUSIA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARDAERAH DI INDONESIA

Almira Salsabila Ari Kuncoro

Email: almirasalsabila91@gmail.com   Telepon: +6282123508164

Abstrak

Penelitian ini menganalisis pengaruh keberadaan Foreign Direct Investment (FDI) terhadap pertumbuhan ekonomi antar provinsi di Indonesia pada periode setelah krisis 1998 atau pada masa otonomi daerah. Pertumbuhan nasional yang sudah cukup tinggi pascakrisis belum menghasilkan pemerataan pendapatan antar provinsi. Kesiapan masing-masing provinsi dalam menghadapi otonomi daerah pun berbeda sehingga disparitas dapat menjadi lebih tajam. FDI diharapkan dapat menjadi engine of growth bagi provinsi-provinsi di Indonesia pada masa otonomi daerah. Namun hasil regresi terhadap model pertumbuhan menunjukkan tidak ditemukannya dampak positif FDI terhadap pertumbuhan. Provinsi harus memiliki kesiapan modal manusia agar keberadaan FDI berdampak positif bagi pertumbuhan ekonominya. Pada akhirnya, walaupun masih terdapat disparitas pendapatan regional, namun hasil analisis menggunakan teori konvergensi memperlihatkan bahwa terdapat kecenderungan daerah miskin dapat mengejar ketertinggalan dari daerah kaya.

Kata Kunci: Disparitas provinsi; Foreign Direct Investment; Konvergensi; Modal Manusia; Model Pertumbuhan Solow

Klasifikasi JEL:O33, O47

Abstract

This paper aims to analyze the effects of Foreign Direct Investment (FDI) on economic growth among provinces in Indonesia in the period after Financial Crisis of 1998 or in the period of regional autonomy. Although National growth is already high after the crisis, there are still income inequality across provinces. Readiness of each region to face regional autonomy is different that the disparity could be more severe. FDI is expected to be the engine of growth for the Indonesia provinces during the regional autonomy era. For FDI to have positive impact on economic growth, however, there is a need of readiness of human capital for each provinces. Finally, although there are regional income disparities, the results of the analysis using the convergence theory show that there exist a tendency for poorer regions to catch up with richer regions.

Keyword: Convergence; Disparity; Foreign Direct Investment; Human Capital; Solow Growth Model JEL Classification: O33, O47

1. Pendahuluan

Pasca pulih dari krisis finansial yang terjadi pada 1997/1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami ekspansi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2011), ekonomi Indonesia tumbuh dengan rerata 5.03% tiap tahunnya pada periode 2004-2011. Data yang sama menunjukkan bahwa pada tahun 2011, Indonesia mencapai angka pertumbuhan tertinggi pasca krisis, yaitu sebesar 6.5%. Era reformasi yang terjadi setelah krisis juga telah memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional, yaitu dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih adil dan berimbang (Tarigan, 2007). Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah. Berdasarkan KPPOD (2012), otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan pembangunan di masing-masing wilayah secara maksimal, yang berujung pada meratanya pembangunan di seluruh Indonesia. Namun demikian tingginya pertumbuhan ekonomi nasional dan otonomi yang diberikan ke masing-masing daerah kini sayangnya belum menghasilkan pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan antar daerah di Indonesia. Studi mengenai disparitas pendapatan telah banyak dilakukan di

(2)

54%  

19%  

8%  

7%   5%  

2%  

2%  

1%  

1%  

1%  

0%  

DKI  Jakarta   Jawa  Barat   Banten   Jawa  Timur   Riau   Jawa  Tengah   Kalimantan  Timur   Sumatera  Utara   Bali  

Kepulauan  Riau  

Indonesia baik sebelum maupun setelah krisis 1998. Namun dalam Resosudarmo dan Viddyattama (2006) disebutkan bahwa isu disparitas pendapatan antar wilayah masih belum hilang pasca pulihnya Indonesia dari krisis dan adanya otonomi daerah. Hal ini terjadi karena kesiapan yang berbeda-beda dari masing-masing wilayah dalam menghadapi otonomi daerah.

Keberhasilan pertumbuhan ekonomi atau pendapatan suatu provinsi tidak dapat dipisahkan dari meningkatnya investasi. Secara teoritis telah diketahui bahwa investasi merupakan sarana peningkatan stok modal, yang keberadaannya di suatu daerah akan menentukan kapasitas perekonomian daerah tersebut. Terkait hal ini dalam KPPOD (2004) dinyatakan bahwa dengan adanya otonomi daerah, peran investasi baik domestik maupun asing diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah (engine of growth). Pada berbagai literatur telah terdapat konsensus mengenai produktivitas investasi asing (FDI) yang lebih besar relatif terhadap investasi domestik (Crespo & Paula, 2007). FDI dapat menciptakan efek penggandaan bagi output, transfer teknologi dan pengetahuan, serta meningkatkan derajat kompetisi pada perusahaan domestik (Blomstrom et al.,1996; De Mello, 1997; Borensztein et al.,1998).

Gambar 1. Rata-Rata Realisasi FDI Menurut Lokasi 2000-2009 Sumber: BKPM, diolah

Gambar 1 memperlihatkan rata-rata realisasi FDI menurut provinsi di Indonesia.

Perkembangan FDI seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 menunjukkan adanya ketimpangan secara spasial antara investasi di Jawa dan luar Jawa. Secara tidak langsung, hal ini juga memperlihatkan bagaimana siapnya suatu daerah dibanding daerah lainnya untuk mengondisikan daerah mereka agar menarik bagi investor asing. FDI di lain sisi merupakan jenis investasi yang memanfaatkan aglomerasi, sehingga sekali pemerintah daerah dapat menarik FDI, maka FDI lainnya akan bisa terus berdatangan ke daerah tersebut. Secara teoritis telah disebutkan bahwa FDI berkorelasi positif dengan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, jika investasi jenis ini tidak berkembang di suatu wilayah, maka pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut kemungkinan besar akan tertinggal dibandingkan dengan daerah lain yang memiliki FDI. Namun demikian, berbagai studi literatur menyatakan keberadaan FDI di suatu wilayah tidak serta merta akan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi (De Mello, 1997., Bengoa & Robles, 2003., Alfaro et al., 2004). Menurut studi-studi tersebut, dampak positif spillover FDI sangat

(3)

bergantung pada kapasitas penyerapan di daerah bersangkutan, yang ditunjukkan dengan tingkat pengembangan di daerahnya, seperti pengembangan infrastruktur dan basis modal manusia.

Oleh karena itu, keberadaan dampak positif FDI terhadap pertumbuhan ekonomi di suatu provinsi masih belum dipastikan. Provinsi tersebut haruslah memiliki basis modal manusia tertentu dalam menyerap spillover teknologi yang dibawa FDI. Penelitian ini akan menyoroti peran FDI dan modal manusia (sebagai kemampuan daya serap FDI) sebagai penentu pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia. Penelitian ini akan melakukan penyelidikan empiris mengenai derajat saling saling melengkapi antara FDI dan modal manusia dalam proses pertumbuhan provinsi-provinsi di Indonesia. Pada akhirnya, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat ada tidaknya tendensi pengurangan disparitas antar daerah di Indonesia, terutama disebabkan oleh FDI dan modal manusia. Secara teoritis dikenal dengan istilah analisis konvergensi.

2. Tinjauan Literatur

Penelitian ini berdasarkan teori model pertumbuhan Solow yang telah dimodifikasi oleh Mankiw, Romer, dan Weil (1992). Berbeda dengan Solow (1956), Mankiw, Romer, dan Weil (1992) mendefinisikan modal secara lebih luas, tidak hanya modal fisik namun juga modal manusia. Model pada penelitian Mankiw, Romer, dan Weil (1992) ini sama seperti model Solow dalam mengasumsikan tingkat pengembalian konstan. Akan tetapi, model berbeda dalam hal bahwa jika terjadi perubahan sedikit saja pada sumber daya yang dipakai untuk modal fisik dan manusia, maka akan menyebabkan dampak besar pada perubahan output.

Model Mankiw, Romer, dan Weil (1992) tetap menyerupai model Solow dengan fungsi produksi Cobb-Douglas. Output diberikan sebagai:

! ! =   ! ! !!(!)![! ! ! ! ]!!!!!;      ! > 0;  ! > 0;  ! + ! < 1 (1)

H adalah stok modal manusia, L sebagai jumlah pekerja. Sama seperti model Solow, model ini mengasumsikan tingkat pengembalian konstan dari K, H, dan L. Sementara itu ! + ! < 1 mengimplikasikan imbas balik yang kian menurun (diminishing return) terhadap kedua kapital.

Pada model ini terdapat dinamisasi baik modal fisik maupun modal manusia, yang diperlihatkan pada gambar 2. Gambar mengimplikasikan bahwa darimana pun perekonomian berada, maka akan berkonvergensi ke poin keseimbangan E (balanced growth path). Apabila terjadi peningkatan modal fisik (misal karena peningkatan tingkat tabungan), maka kurva ! = 0 akan bergeser ke atas.

Analisis pada kurva akan memperlihatkan bahwa apabila modal fisik mengalami kenaikan, modal manusia juga akan mengalami kenaikan. Sebaliknya, apabila terjadi peningkatan modal manusia (kurva  ℎ = 0), analisis kurva akan memperihatkan bahwa apabila terjadi peningkatan modal manusia, modal fisik harus sudah siap.

(4)

Gambar 2. Dinamis Modal Fisik dan Manusia Sumber: Romer (1996)

Model oleh Mankiw, Romer, dan Weil (1992) tersebut kemudian diturunkan secara matematis, lalu didapatkan persamaan umum berikut:

ln !=!!α!βα ln!!+  !!α!ββ ln!!!!α!βα!β ln ! + ! , (2)

dimana α merupakan bagian modal fisik dan β yang merupakan bagian modal manusia. Persamaan (2) sama dengan persamaan model Solow, namun berbeda dengan telah dimasukkannya modal manusia.

Isu Konvergensi Model Mankiw, Romer, dan Weil (1992)

Salah satu prediksi yang di dapat dalam model Solow adalah masalah konvergensi. Secara umum konvergensi dapat dipahami sebagai proses pengurangan kesenjangan pendapatan antar daerah, atau dapat dipahami pula sebagai proses ‘catch-up’ ketertinggalan daerah berpendapatan rendah terhadap daerah berpendapatan tinggi. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya konvergensi antar entitas ekonomi yang berbeda adalah fakta bahwa imbas balik dari modal fisik bersifat menurun atau diminishing.

Teori konvergensi selain itu juga dapat mengukur seberapa cepat perekonomian akan berkonvergensi. Output ! berkonvergensi menuju steady state ! pada tingkat:

!"#$(!)

!" ≅   −![!"#(!) −  !"#] (3)

Persamaan (3) mengimplikasikan bahwa !"#(!) mendekati !"# secara eksponensial:

!"#(!) −  !"#= −!!!"[!"#(0) −  !"#] (4)

dimana ! 0 merupakan tingkat pendapatan per pekerja efektif pada suatu waktu awal tertentu.

Dengan menambahkan kedua sisi dengan !"#− !"# 0 maka didapatkan:

!" ! ! − ln ! 0 = −(1 − !!!")[!"#(0) −  !"#] (5)

! = 0  

!  

ℎ   ℎ = 0  

E  

(5)

Persamaan (5) mengimplikasikan konvergensi kondisional, yaitu negara dengan pendapatan awal yang rendah relatif terhadap balance growth path (y*) masing-masing, akan memiliki pertumbuhan lebih tinggi. Akhirnya, dengan mensubstitusi ln! (output per pekerja efektif) persamaan (2) didapatkan persamaan (6) berikut:

!" ! ! − ln ! 0 = 1 − !!!"

1−∝ −!ln !! + 1 − !!!" !

1−∝ −!ln !! −   1 − !!!" ∝!!

!!∝!!ln ! + ! + ! − (1 − !!!")!"# 0

Pada akhirnya, dalam model Solow, pertumbuhan pendapatan merupakan fungsi dari determinan-determinan steady state (modal fisik, modal manusia, pertumbuhan populasi) dan tingkat awal pendapatan suatu perekonomian. Studi oleh Mankiw, Romer, dan Weil (1992) menyimpulkan bahwa apa yang diprediksi oleh Solow tentang konvergensi memang terjadi, akan tetapi setelah mengontrol determinan-determinan pertumbuhan ekonomi lainnya selain initial growth (konvergensi β-kondisional). Konvergensi bersifat kondisional karena dibutuhkan kontrol terhadap tingkat pendapatan awal per kapita suatu daerah dalam melakukan analisis konvergensi.

Selain itu juga terdapat konvergensi β-absolut, yaitu konvergensi yang hanya ditentukan oleh posisi pendapatan awal suatu daerah, dan setiap daerah diasumsikan berkonvergensi ke titik steady state yang sama.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder pada tingkat provinsi di Indonesia yang merupakan pooled cross-section data 27 provinsi pada dua periode 5 titik waktu, yaitu periode 2000-2004 dan 2005-2009. Untuk melihat perilaku rata-rata pertumbuhan pada 2 jangka waktu tersebut, digunakanlah metode pooled cross-section. Jadi, akan terdapat 2 observasi rata-rata dari masing-masing provinsi (2000-2004 dan 2005-2009). Adapun digunakannya 27 provinsi dikarenakan keterbatasan data yang essensial pada 6 provinsi baru setelah otonomi daerah, yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, Papua Barat. Maka ke-6 daerah baru ini digabung kembali ke Provinsi awal mereka. Adapun data pada setiap variabel didapatkan dari berbagai sumber baik tercetak maupun elektronik, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementrian Keuangan, dan Bank Indonesia.

Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan acuan dari studi oleh Borensztein et al. (1998). Namun penelitian ini juga banyak mengambil framework studi oleh Mankiw, Romer, dan Weil (1992). Landasan teori di atas ditranslasikan ke dalam spesifikasi model penelitian sebagai berikut:

!!" =   !!+ !!!!!+ !!!"#!"+ !!!!!+ !!!"#!"∗ ! + ⋯ + !!!"!"+ !!" (7) dimana ! adalah tingkat pertumbuhan !"#$yang dihitung dengan persamaan:

(6)

! =!"

!!"!!

!!"

! (8)

!!! adalah logaritma dari PDRB per kapita di awal periode (variabel konvergensi absolut);

!"#  adalah nilai realisasi penanaman FDI setiap provinsi di Indonesia; H adalah modal manusia di awal periode, yang akan diproksikan dengan 3 proksi berbeda yaitu education attainment SMA dan SMK, education attainment universitas, dan pengeluaran pemerintah provinsi bidang pendidikan;

!"# ∗ ! adalah interaksi antara modal manusia dan FDI. Selanjutnya,  !" merupakan variabel kontrol tambahan yang relevan dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi sesuai model pertumbuhan modal fisik dan manusia pada landasan teori, yaitu: (i) infrastruktur, diproksi menggunakan panjang jalan provinsi dalam keadaan baik; (ii) share manufaktur dalam PDRB, (iii) kredit, diproksi menggunakan stok kredit bank umum di setiap provinsi; (iv) institusi ekonomi, diproksi menggunakan jumlah peraturan daerah di setiap provinsi; (v) pertumbuhan penduduk, yang merupakan variabel utama dalam model Solow. Selain itu juga akan digunakan (vi) variabel dummy, 1 untuk Jawa dan 0 untuk luar Jawa. Terakhir, ! adalah sebagai error, ! menotasikan paramater,  ! menotasikan provinsi dan ! menotasikan tren waktu.

Penelitian ini mencoba mengukur modal manusia dari 3 proksi yang berbeda, yaitu SMA dan SMK, universitas, dan pengeluaran pendidikan. Penulis tidak memasukkan ketiga proksi tersebut ke dalam 1 model melainkan akan dipisah ke dalam 3 model berbeda. Hal ini dikarenakan ketiga proksi ini memiliki arah hubungan yang kuat. Selain itu, pemisahan ini bertujuan untuk melihat jenis modal manusia yang paling berpengaruh dalam konteks penelitian ini. Dengan demikian, terdapat 3 model besar dalam penelitian ini, berturut-turut model regresi SMA dan SMK, regresi universitas, dan regresi pengeluaran pendidikan. Selanjutnya variabel SMA dan SMK akan disingkat menjadi SLTA.

4. Hasil dan Analisis

Tabel 1 dan 2 merangkum hasil regresi pooled cross-section untuk 27 provinsi di Indonesia pada 2 periode, 2000-2004 dan 2005-2009. Tabel merupakan rangkuman model regresi pertumbuhan dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) yang telah memenuhi asumsi Best Linear Unbiased Estimator (BLUE).

Dalam model konvergensi absolut pada tabel 2 (regresi 1), nilai PDRB per kapita di awal periode yang menunjukan relasi negatif dengan pertumbuhan merupakan indikasi proses konvergensi. Artinya, semakin tinggi PDRB per kapita suatu provinsi pada awal suatu periode maka akan semakin rendah pertumbuhan PDRB nya sepanjang periode tersebut. Sebaliknya, daerah yang memiliki PDRB per kapita awal yang rendah cenderung mengalami pertumbuhan PDRB yang lebih tinggi relatif terhadap daerah kaya. Maka konvergensi absolut yang menyatakan bahwa telah

(7)

terjadi proses pengejaran ketertinggalan dalam hal ekonomi (catching up effect) terbukti di Indonesia.

Koefisien konvergensi, baik pada konvergensi absolut maupun kondisional, merupakan besarnya kecepatan konvergensi (speed of convergence) yang menunjukkan kecepatan suatu daerah mencapai titik steady state. Dengan demikian, arti dari angka 0.61% sebagai koefisien konvergensi adalah bahwa rata-rata laju pergerakan tingkat pendapatan aktual provinsi-provinsi di Indonesia menuju pendapatan steady state (yang diasumsikan memiliki steady state sama pada konvergensi kondisional) adalah sebesar 0.61% pada periode observasi. Nilai ini lebih rendah dari apa yang ditemukan oleh Wibisono (2003) di Indonesia untuk periode waktu 1975-1980, 1980-1985, 1985- 1990, 1990-1995, dan 1995-2000. Berturut-turut nilai konvergensi absolut tersebut adalah 2.19%, 2.60%, 1.55%, 1.90% dan 1.02% per tahun. Kecepatan konvergensi pada temuan Wibisono tersebut semakin menurun sepanjang waktu dan karenanya semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menutup setengah kesenjangan awal. Jika temuan tersebut nilainya berturut-turut adalah 32, 27, 45, 36, dan 68 tahun, maka pada penelitian dengan menggunakan data terbaru ini waktu yang dibutuhkan untuk menutup setengah dari kesenjangan awal adalah 114 tahun.

Hasil analisis konvergensi absolut namun menunjukkan bahwa tidaklah cukup untuk menjelaskan proses konvergensi hanya dengan melihat hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita awal. Bagaimanapun konvergensi absolut dianggap kurang dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya dikarenakan setiap daerah memiliki karakteristik mendasar atau steady state yang berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan kontrol terhadap variabel PDRB per kapita awal untuk mengatasi estimasi yang kurang tepat akibat tidak dimasukkannya variabel penting lain pada model yang memengaruhi konvergensi. Oleh karena variabel-variabel ini dapat dikontrol atau dipengaruhi oleh pemerintah daerah, maka terbuka peluang bagi pemerintah daerah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerahnya masing-masing. Dengan demikian diharapkan proses konvergensi antar provinsi akan berjalan lebih cepat.

Konvergensi Kondisional

Hasil regresi 2 hingga 4 (analisis dengan variabel utama FDI dan modal manusia) masih menunjukkan eksisnya konvergensi di Indonesia. Walaupun berbeda-beda nilainya di ketiga proksi modal manusia, kecepatan konvergensi kondisional dibandingkan dengan konvergensi absolut menunjukkan peningkatan. Temuan ini sama seperti hasil studi lainnya dalam topik konvergensi yang menemukan bahwa proses konvergensi kondisional berlangsung lebih cepat dibandingkan konvergensi absolut. Kecepatan konvergensi pada regresi 2 sampai 4 beturut-turut adalah 1.19%, 1.04%, dan 0.8%.

(8)

Nilai kecepatan konvergensi ataupun pertumbuhan ekonomi tentunya tidak hanya dapat dijelaskan oleh keberadaan modal manusia dan FDI. Pada penelitian ini, penulis telah memilih variabel bebas lainnya yang dianggap dapat menjelaskan pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia sebagai variabel kontrol. Pada lampiran (tabel 1-3 regresi 5), terlihat bahwa ketika semua variabel utama maupun kontrol telah dimasukkan ke dalam model, kecepatan konvergensi menjadi lebih cepat, sekitar 1.48%-1.75% per tahunnya. Dengan demikian, dibutuhkan waktu sekitar 40-47 tahun untuk menutup setengah dari kesenjangan pendapatan awal provinsi-provinsi di Indonesia apabila berbagai variabel makroekonomi dapat dipertimbangkan oleh pemerintah atau pelaku ekonomi. Nilai kecepatan konvergensi absolut dan kondisional, serta half-life of convergence kemudian dirangkum dalam tabel 1. Tabel 1 memperlihatkan kecepatan konvergensi yang semakin meningkat setelah dikontrolnya berbagai variabel ekonomi terpilih, khususnya dalam penelitian ini, seperti FDI, modal manusia, industri manufaktur, kredit, infrastruktur, peraturan daerah, pertumbuhan penduduk, serta efek lokasi.

Konvergensi Absolut Konvergensi Kondisional (Modal manusia dan FDI)

Konvergensi Kondisonal (SemuaVariabel) Kecepatan Konvergensi

per Tahun (%)

0.61% 0.88 % - 1.19 % 1.48% - 1.75%

Half life of Convergence (tahun)1

114 59-80 40-47

Tabel 1. Rangkuman Hasil Konvergensi-β Sumber: Hasil regresi olahan penulis

Analisis Pengaruh FDI dan Modal Manusia terhadap Pertumbuhan

Analisis pengaruh FDI terhadap pertumbuhan ekonomi diperlihatkan pada tabel 2, regresi 2 hingga 7. Regresi 2 hingga 4 memperlihatkan hasil regresi variabel utama, yaitu hanya pengaruh FDI dan modal manusia sendiri (tanpa interaksi) dalam memengaruhi pertumbuhan. Pada regresi 2 hingga 4 ditemukan hasil bahwa variabel FDI di 3 persamaan secara statistik tidak memperlihatkan signifikansi dan berkoefisien negatif. Artinya, setelah mengontrol modal manusia dan pendapatan per kapita awal, keberadaan FDI sendiri tidak memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia.

Regresi dengan interaksi amtara modal manusia dan FDI kemudian dimasukkan ke dalam persamaan untuk melihat apakah modal manusia dan FDI bersama-sama memengaruhi pertumbuhan. Pada regresi 5 hingga 7, kini pengaruh dari FDI terhadap pertumbuhan harus dilihat dari koefisiennya sendiri ditambah dengan koefisien interaksinya dengan modal manusia. Temuan menarik didapatkan ketika melihat interaksi modal manusia dengan FDI. Dari ketiga proksi modal manusia, hanya interaksi universitas dan FDI yang tidak menunjukkan signifikansi. Padahal

                                                                                                                         

1  1 half life of convergence didapatkan dari rumus ! = ln 0.5 /!  

(9)

variabel universitas (tanpa interaksi) signifikan pada regresi sebelumnya (regresi 3). Hubungan positif dan signifikansi justru diperlihatkan oleh interaksi FDI-SLTA serta FDI-pengeluaran pendidikan, variabel yang pada regresi sebelumnya (2 dan 4) tidak signifikan saat berdiri sendiri.

Berikut pembahasan satu per satu dari ketiga pendekatan modal manusia tersebut:

Modal Manusia Lulusan SLTA

Dari setiap regresi, variabel proksi modal manusia berupa lulusan SLTA ini tidak pernah signifikan walaupun memiliki arah positif terhadap pertumbuhan. Dapat dikatakan bahwa penelitian ini tidak dapat menjelaskan lulusan SLTA sebagai faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia secara positif. Akan tetapi penelitian ini dapat menyatakan bahwa lulusan SLTA dapat berkontribusi ke pertumbuhan apabila terdapat FDI di daerahnya. Secara statistik hal ini diperlihatkan oleh signifikan dan positifnya koefisien interaksi variabel ini dengan FDI. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat sifat saling melengkapi antara FDI dan modal manusia berupa lulusan SLTA. Dengan sifatnya yang saling melengkapi, keberadaan FDI mampu mendorong peranan modal manusia. Sebaliknya, dengan adanya modal manusia yang semakin memadai, mampu menjadikan peranan FDI lebih besar dalam mendorong pertumbuhan.

Dengan demikian dampak positif yang dirasakan suatu wilayah atas keberadaan FDI terhadap pertumbuhan ekonominya adalah melalui pasar tenaga kerja. Melalui kesempatan kerja yang diciptakan FDI ini, terdapat dua kemungkinan lulusan-lulusan SLTA tersebut memengaruhi pertumbuhan di daerahnya, yaitu melalui peningkatan pendapatan dan peningkatan produktifitas/transfer teknologi. Namun penelitian ini tidak dapat membedakan keduanya karena model yang reduced-form. Bagaimanapun, studi yang dilakukan oleh Lipsey dan Sjöholm (2010) di Indonesia menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan asing memberikan gaji yang relatif lebih tinggi dibanding perusahaan domestik, bahkan untuk semua tingkat pekerja mereka. Dengan pendapatan yang lebih tinggi ini, para pekerja lulusan-lulusan SLTA tersebut dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan misalnya melalui konsumsi. Selanjutnya, transfer teknologi mungkin terjadi melalui bimbingan dan perekrutan terhadap para pegawai lokal. Salah satu daya tarik investasi adalah faktor tenaga kerja di suatu wilayah. Perekrutan yang dilakukan terhadap para lulusan SLTA ini dikarenakan perusahaan-perusahaan multinasional menggunakan mereka (terutama diperkirakan dari lulusan SMK) sebagai buruh, bukan pekerja profesional. Hal ini menjadikan keraguan akan keberadaan transfer teknologi bagi pekerja dengan level tersebut. Namun demikian, merangkum berbagai studi mengenai pengembangan modal manusia oleh FDI, UNCTAD (1999) mencatat bahwa bahkan di negara berkembang dengan upah yang rendah, dimana diekspektasikan training atau pelatihan akan rendah, FDI yang bersifat export oriented setidaknya masih berinvestasi besar dalam training yang diberikan kepada pegawai lokal. Mengingat standardisasi kualitas yang harus

(10)

dimiliki oleh produk yang dikeluarkan FDI beorientasi ekspor. Dengan training yang diberikan oleh FDI, setidaknya para pekerja telah memiliki keterampilan yang dapat ditiru atau dipraktekkan secara langsung atau ketika mereka sudah tidak bekerja di perusahaan asing tersebut. Jika FDI ini kelak tidak ada lagi di daerahnya, dampaknya terhadap keterampilan pekerja akan berkelanjutan.

Modal Manusia Lulusan Universitas

Hal yang menarik ditemukan pada analisis dengan menggunakan variabel ini. Saat variabel ini berdiri sendiri, ditemukan bahwa koefisiennya bertanda positif dan signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi (regresi 3). Lulusan universitas berarti telah menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial melebihi biayanya. Pengetahuan yang lebih baik yang diperoleh dari pendidikan tinggi tersebut misalnya dapat menciptakan pembaharuan-pembaharuan dalam berbagai bidang dan aspek kehidupan masyarakat di wilayahnya. Hal inilah yang kemudian secara teoritis dikenal dengan istilah pentingnya pembentukan stok modal manusia. Semakin baik dan tinggi kualitas stok modal manusia di suatu wilayah, maka kontribusinya terhadap pertumbuhan dapat semakin dirasakan.

Namun demikian, interaksi yang tidak signifikan antara FDI dan Universitas menyiratkan bahwa FDI yang masuk ke Indonesia tidak mempekerjakan lulusan-lulusan universitas sebagai tenaga kerja utama. Dengan kata lain, lulusan universitas di Indonesia tidak memiliki keterkaitan dengan FDI. Hal ini ternyata didukung oleh studi empiris yang dilakukan oleh World Bank (2010)2 yang menemukan dampak yang ambigu atas permintaan terhadap pekerja terampil (skilled workers) oleh FDI di Indonesia. Dengan demikian, hal ini menambah justifikasi mengapa perusahaan-perusahaan asing tersebut hanya berinteraksi dengan lulusan-lulusan SLTA pada temuan sebelumnya. Karena FDI yang datang ke Indonesia memang hanya membutuhkan buruh dan tidak membutuhkan skill yang tinggi. Untuk tenaga kerja utama (skilled workers), alih-alih menggunakan lulusan universitas di Indonesia, FDI diperkirakan menggunakan ekspatriat-ekspatriat yang mereka pilih atau didatangkan dari luar negeri (home country).

Bagaimanapun juga dampak keberadaan FDI terhadap wilayah yang didatanginya akan bergantung kepada motivasi atau sifat FDI itu sendiri. FDI dapat memiliki motivasi sebagai efficiency-seeking atau market-seekeing serta bersifat labor-intensive atau technology-intensive.

Menurut survei yang dilakukan oleh Japan Bank For International Cooperation (2004), Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi tujuan utama perusahaan multinasional Asia untuk melakukan kegiatan produksi dengan biaya yang lebih murah. Dengan demikian, menambah analisis sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa dipakainya lulusan-lulusan SLTA oleh FDI adalah karena Indonesia menjadi tempat untuk efficiency-seeking untuk perusahaan labor-intensive, yaitu                                                                                                                          

2 World Bank. 2010. Indonesia Skills Report: Trends in Skills Demand, Gaps, and Supply in Indonesia. Publikasi World Bank.

(11)

pembuatan produksi dengan biaya lebih murah. Hal ini sebenarnya baik, karena dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Dan dalam penelitian ini, lapangan pekerjaan tersebut terbuka bagi lulusan SLTA. Selanjutnya dalam Taki (2007) disebutkan bahwa perusahaan asing non-Asia yang berada di Indonesia bermotivasi export-orieted3 yang fokus pada sektor resource-intensive atau labor- intensive, dua sektor yang masih dirasa sebagai keunggulan komparatif Indonesia.

Selain itu, jika melihat kelima sektor utama yang menjadi sektor terbesar penanaman FDI, maka dapat disimpulkan bahwa FDI yang masuk ke Indonesia memang tidak memproduksi produk yang sophisticated.4 Melalui sektor-sektor tersebut dapat dilihat bahwa FDI yang masuk ke Indonesia juga berorientasi pasar domestik (market oriented), sebut saja perusahaan transportasi, gudang, telekomunikasi, industri kimia, dan makanan. Tidak mengherankan jika mereka memang tidak membutuhkan skill yang tinggi bagi pekerja di Indonesia.

Tingkat Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap Pendidikan

Temuan pada regresi model pengeluaran pemerintah ini hampir sama dengan analisis pada variabel lulusan SLTA, yaitu tidak signifikannya variabel ketika berdiri sendiri, namun signifikan ketika diinteraksikan dengan FDI. Dengan demikian, pengeluaran anggaran pendidikan yang selama ini dikeluarkan oleh pemerintah provinsi ternyata tidak memiliki dampak langsung terhadap pertumbuhan, setidaknya ditemui pada periode observasi di penelitian ini. Anggaran pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi memang masih sangat kecil pada periode penelitian.

Dalam Mauro (1993) disebutkan bahwa pemerintah yang tidak stabil dan korup akan menghabiskan hanya sedikit dana untuk pendidikan. Namun demikian, Levine dan Renelt (1992) telah menunjukkan bahwa secara umum, pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan memang tidak memiliki hubungan yang robust dengan pertumbuhan ekonomi. Pada analisis inferensial penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah provinsi yang efisien dalam pengeluaran pendidikan dapat memanfaatkan masuknya FDI di wilayahnya. Setidaknya diperlihatkan dari signifikan dan positifnya interaksi antara FDI dan pengeluaran pemerintah. Anggaran pendidikan yang efisien mencerminkan usaha pemerintah daerah untuk menghasilkan modal manusia yang baik dan meningkatkan daya saing provinsinya.

                                                                                                                         

3 Namun dalam Bjorvatn (2000) disebutkan bahwa sebenarnya kegiatan ekspor oleh FDI di Indonesia hanya terbatas pada barang-barang tertentu (low value added, labour intensive & primary) serta sektor yang berada di daerah enclave sehingga tidak akan banyak dampaknya terhadap pertumbuhan. Bahkan dalam beberapa sektor, bahan antara untuk produksi masih diimpor, sehingga terjadi linkage yang jelek antara ekonomi lokal dan FDI.

4 Berdasarkan perhitungan penulis menggunakan data BKPM (2013), 5 sektor penanaman FDI tertinggi pada 2000- 2009 (rata-rata) adalah sektor Transportasi, Gudang dan Telekomunikasi (30.21%); sektor Industri Kimia Dasar, Barang Kimia dan Farmasi (10.09%); sektor Industri Logam Dasar, Barang Logam, Mesin dan Elektronik (8.52%); sektor Industri Makanan (5.46%); serta sektor Listrik, Gas dan Air (5.44%).

(12)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

g g g g g g g

PDRB awal -0.0061* -0.0119** -0.0104** -0.00881** -0.0107*** -0.00994** -0.00965***

(0.0027) (0.00352) (0.00314) (0.00280) (0.00291) (0.00298) (0.00258)

SLTA 0.00128 0.000219

(0.000682) (0.000525)

UNIVERSITAS 0.00685* 0.00274

(0.00339) (0.00312)

Pengeluaran 0.00226 -0.00147

Pendidikan (0.00299) (0.00421)

FDI -0.00101 -0.00109 -0.000339 -0.00775* -0.00504 -0.0145*

(0.00106) (0.00104) (0.000954) (0.00352) (0.00315) (0.00675)

FDIxSLTA 0.000326*

(0.000144)

FDIxUNIV 0.00137

(0.000870)

FDIxPEND 0.00140*

(0.000693)

_cons 0.141** 0.214*** 0.199*** 0.161*** 0.213*** 0.200*** 0.212***

(0.0418) (0.0465) (0.0442) (0.0349) (0.0421) (0.0434) (0.0456)

N 54 51 51 53 51 51 53

R2 0.069 0.191 0.210 0.104 0.252 0.250 0.192

adj. R2 0.051 0.140 0.160 0.049 0.187 0.185 0.125

F-test 0.0294* 0.0076** 0.0128* 0.0120* 0.008** 0.0179* 0.0005***

Tabel 1. Hasil Regresi Model Pertumbuhan FDI dan Modal Manusia Sumber: Olahan Penulis

Dampak Berbagai Variabel Ekonomi

Temuan pada regresi tabel 2 yang menyimpulkan adanya interaksi signifikan antara modal manusia dan FDI menarik perhatian penulis untuk memasukkan variabel baru, yaitu variabel yang membedakan daerah penanaman FDI. Daerah dengan tingkat penanaman modal yang tinggi di Indonesia merupakan Pulau Jawa. Pulau Jawa selain itu juga merupakan pusat dari hampir seluruh kegiatan ekonomi. Oleh karena itu ingin dilihat sejauh apa pertumbuhan ekonomi berbeda antar pulau Jawa dan luar Jawa, khususnya dipengaruhi oleh FDI dan modal manusia. Dengan demikian, untuk membedakan pengaruh FDI dan modal manusia yang berada di pulau Jawa dan luar pulau Jawa terhadap pertumbuhan ekonomi serta mengontrol efek lokasi FDI yang cenderung banyak di Pulau Jawa, variabel dummy pulau Jawa dan interaksinya dengan kedua variabel tersebut kini ditambahkan ke dalam model.

Lampiran (tabel 1-3 regresi 4) memperlihatkan regresi setelah dimasukkannya variabel dummy Jawa dan interaksinya dengan FDI dan modal manusia. Pada regresi model modal manusia

(13)

SLTA (Lampiran tabel 1), variabel interaksi FDI dan modal manusia masih signifikan dan memiliki arah positif, sama seperti sebelumnya. Menunjukkan dampak dari kedua variabel ini yang masih robust dan kuat. Akan tetapi, hal ini tidak ditemui pada model regresi universitas dan pengeluaran pemerintah (Lampiran tabel 2 dan 3). Setelah dimasukkannya variabel kontrol lain, nyatanya kini FDI dan modal manusia dengan proksi tersebut sudah tidak memiliki dampak lagi terhadap pertumbuhan.

Sementara itu, koefisien dummy Pulau Jawa dan interaksinya dengan modal manusia di semua proksi modal manusia secara statistik tidaklah signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terdapat perbedaan pertumbuhan ekonomi baik di Pulau Jawa maupun non-Jawa yang disebabkan oleh modal manusia. Akan tetapi, terdapat perbedaan pertumbuhan ekonomi Jawa dan non-Jawa yang disebabkan oleh keberadaan FDI. Hal ini ditandai dengan signifikan dan positifnya koefisien variabel ‘FDIxJawa’ pada regresi SLTA (lampiran tabel 1) dan regresi universitas (lampiran tabel 2). Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat spillover effect dari FDI yang ada di pulau Jawa yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Pulau ini, yang berbeda atau lebih tinggi dari daerah-daerah non Jawa. Spillover ini dapat dirasakan mungkin karena keberadaan modal manusia di Pulau Jawa yang dipakai oleh FDI.

Penelitian ini selanjutnya juga memasukkan variabel kontrol lainnya yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kolom 6 pada tabel lampiran tabel 1-3 memperlihatkan hasil regresi setelah dimasukkannya variabel-variabel kontrol tersebut. Dari ketiga model regresi ditemukan bahwa variabel FDI dan modal manusia kini tidak lagi signifikan memengaruhi pertumbuhan seperti pada model sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh dari FDI dan modal manusia terhadap pertumbuhan adalah lemah. Mengimplikasikan bahwa hasil estimasi dampak variabel pada model sebelumnya signifikan mungkin dikarenakan masih adanya omitted variabel. Secara empiris dapat dikatakan bahwa pendidikan bukan merupakan faktor utama sebagai penyerap spillover FDI yang ada di Indonesia. Modal manusia memang memiliki fungsi sebagai saluran dalam mendorong dampak positif FDI terhadap pertumbuhan. Tetapi efek ini tidak luar biasa atau bahkan tidak ada.

Bagaimanapun juga, bahwa masih terdapat faktor-faktor lain yang memengaruhi pertumbuhan provinsi-provinsi di Indonesia tidaklah dapat dipungkiri. Misalnya saja kontribusi kegiatan manufaktur dan tingkat kredit bank umum di setiap provinsi. Kedua variabel ini signifikan dan bertanda sesuai dengan hipotesis. Menurut Nehru (2013), kegiatan manufaktur di Indonesia dapat menciptakan permintaan terhadap input dan disisi lain output komplementer dari sektor lain, seperti sektor pertanian dan jasa, yang pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan. Selain itu, kredit yang diberikan bank umum terhadap provinsi juga signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi, bahkan dengan koefisien yang besar (lampiran tabel 1). Negara-negara dengan pasar keuangan berkembang dengan baik cenderung mendapatkan lebih dari FDI. Kredit yang semakin

(14)

besar memperlihatkan bahwa daerah tersebut semakin ‘bankable’. FDI yang berorientasi pasar lokal setidaknya akan datang ke daerah tersebut karena kemampuan daya beli penduduk sekitar yang relatif lebih besar. Namun demikian kredit yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya overheating atau bubble dalam perekonomian. Hal teserbut mungkin saja telah terjadi, mengingat kuat dan robustnya pengaruh variabel ini pada regresi SLTA dan regresi pengeluaran pendidikan, bahkan disaat variabel lain tidak signifikan. Pemerintah harus dapat mengidentifikasi pada saat mana pertumbuhan kredit yang berlebihan dapat berpotensi menimbulkan risiko sistem keuangan.

Tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia selain itu juga dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan penduduknya. Pada penelitian ini, variabel ini signfikan memengaruhi pertumbuhan walaupun tandanya tidak sesuai dengan apa yang diprediksikan oleh model Solow. Koefisien pertumbuhan penduduk ini memiliki arah yang positif dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Pada tingkat seperti sekarang, pertumbuhan penduduk mungkin masih dapat berkontribusi positif terhadap pertumbuhan di Indonesia. Dengan naiknya tingkat pertumbuhan populasi, suatu negara dapat diuntungkan dengan angkatan kerja yang besar, dapat lebih murah, sehingga dapat menaikkan tingkat employment.

Faktor lain yang juga memengaruhi tingkat pertumbuhan di Indonesia adalah tingkat kualitas institusi, yang pada penelitian ini diproksi dengan menggunakan jumlah peraturan daerah per kabupaten di setiap provinsi. Jumlah peraturan daerah di suatu provinsi akan sangat memengaruhi iklim investasi atau lingkungan usaha di wilayah tersebut. Ada bukti bahwa efisiensi birokrasi setidaknya sama pentingnya dengan stabilitas politik sebagai penentu investasi dan pertumbuhan (Mauro, 1995). Semakin banyak peraturan daerah akan membuat kualitas institusi menjadi tidak efisien. Hal ini pun dapat menjadi disinsentif bagi para investor untuk melakukan investasi di wilayah tersebut. Walaupun tidak signifikan, variabel ini memiliki arah yang sesuai dengan hipotesis, yaitu bertanda negatif. Selanjutnya infrastruktur juga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi pertumbuhan di Indonesia. Walaupun secara statistik variabel yang diproksi dengan panjang jalan provinsi dengan kondisi baik ini tidak signifikan, namun memiliki arah yang sesuai dengan hipotesis, yaitu memiliki relasi positif dengan pertumbuhan. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Fernald (1999) menggunakan proksi panjang jalan sebagai infrastruktur di United States. Sejumlah studi telah menemukan bukti empiris mengenai dampak positif infrastruktur terhadap aggregate output, terutama pada negara berkembang. Sayangnya, kondisi infrastruktur di Indonesia masih belum dapat dikatakan baik. Laporan yang dikutip pada The Economist (2009), dinyatakan bahwa infrastuktur telah menjadi masalah utama untuk menjalankan bisnis di Indonesia, selain masalah lain seperti pembebasan lahan dan minimnya dana untuk infrastruktur.

(15)

Masalah Endogenitas

Regresi model pertumbuhan yang telah dilakukan sebelumnya mungkin mengalami masalah endogenitas. Penulis mencoba memecahkan permasalahan endogenitas ini dengan menggunakan teknik instrumental variable (IV), berupa lag nilai PMTDB tahun 1995. Berdasarkan pengujian statistik, instrumen yang dipilih ini merupakan variabel instrumen yang cukup kuat. Namun demikian, tes endogenitas menggunakan uji Hausman memberi kesimpulan bahwa tidak terdapat masalah endogenitas pada model. Hasil regresi IV pun menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan OLS. Namun, hasil penelitian akan tetap mengacu pada model OLS mengingat efisiensi yang lebih diberikan oleh OLS dibandingkan IV ketika tidak terdapat masalah endogenitas.

5. Kesimpulan

Menjawab pertanyaan pertama penelitian mengenai dampak FDI terhadap pertumbuhan ekonomi, penelitian ini tidak dapat menyimpulkan bahwa keberadaan FDI di dalam suatu provinsi akan serta merta memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di provinsi tersebut.

Hal ini sesuai dengan berbagai literatur yang menyatakan bahwa FDI berinteraksi secara kompleks dengan berbagai faktor di dalam suatu wilayah sebelum dapat berkontribusi pertumbuhan. Dalam kasus Indonesia dalam penelitian ini, FDI yang masuk nyatanya harus berinteraksi dengan pasar tenaga kerja sampai pada akhirnya berkontribusi positif terhadap pertumbuhan.

Dibandingkan dengan lulusan universitas, hasil penelitian memerlihatkan bahwa FDI banyak berinteraksi dengan para lulusan SMA dan SMK yang ada wilayah investasinya. Interaksi yang signifikan antara FDI dan lulusan SMA dan SMK telah memperlihatkan bahwa modal manusia lulusan SMA dan SMK merupakan saluran yang menaikkan dampak positif FDI terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayahnya. Saluran ini dapat terjadi melalui ketenagakerjaan yang diberikan oleh FDI terhadap para lulusan tersebut, yang kemungkinan besar berasal dari SMK.

Melalui perekrutan tersebut, para tenaga kerja mendapat keterampilan dan pengetahuan yang sifatnya sustained bahkan ketika FDI tersebut sudah tidak berada lagi di wilayahnya. Melalui ketenagakerjaan itu pula, para lulusan SMA dan SMK dapat meningkatkan pendapatannya sehingga kapasitas perekonomiannya dapat meningkat untuk melakukan konsumsi atau investasi lain yang dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan di wilayahnya.

Penelitian membuktikan bahwa terdapat perbedaan pertumbuhan yang lebih tinggi di Pulau Jawa dibanding non-Jawa yang disebabkan oleh FDI. Pulau Jawa secara umum merupakan pusat dari keberadaan FDI dan modal manusia, dan hal ini turut mendukung analisis bahwa suatu daerah akan mendapatkan keuntungan lebih dari FDI dengan semakin besarnya modal manusia di wilayah tersebut. Sebaliknya, modal manusia juga akan dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayahnya dengan keberadaan FDI.

(16)

Komitmen pemerintah daerah terhadap pendidikan diperlihatkan melalui anggaran belanja terhadap pendidikan. Pada perode observasi, anggaran pendidikan oleh pemerintah provinsi relatif masih rendah, dan tidak ditemukan signifikansinya dengan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, interaksinya dengan FDI dapat berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi di daerahnya.

Semakin besar pengeluaran pemerintah daerah dalam bidang pendidikan, berarti semakin besar komitmennya terhadap pendidikan yang akan menghasilkan modal manusia dengan lebih baik, sehingga pada akhirnya dapat menikmati keberadaan FDI di wilayahnya. Lagi-lagi, modal manusia sebagai saluran yang menaikkan dampak positif FDI terhadap suatu daerah telah terbukti.

Namun demikian, nyatanya penelitian ini menemukan bahwa FDI yang masuk ke Indonesia tidaklah berinteraksi dengan lulusan universitas. Ada banyak faktor yang bisa menjelaskan hal ini.

Pertama, FDI mungkin tidak mempercayai lulusan-lulusan universitas di Indonesia. Dan karenanya alih-alih menggunakan lulusan Indonesia, mereka mendatangkan tenaga ahli asing dari negara asalnya. Kedua, melihat sektor-sektor utama FDI yang masuk ke Indonesia, sektor tersebut bukanlah sektor yang cukup ‘sophisticated’ untuk membutuhkan skill yang tinggi. Melihat sektor- sektor tersebut, dimungkinkan bahwa FDI yang masuk ke Indonesia berorientasi kepada pasar dalam negeri.

Bagaimanapun dampak FDI dan modal manusia terhadap pertumbuhan ekonomi nyatanya sangat lemah. Ketika dilakukan kontrol terhadap berbagai variabel determinan pertumbuhan lainnya, seperti pangsa manufaktur, kredit, regulasi daerah, serta pertumbuhan penduduk, efek dari FDI dan modal manusia terhadap pertumbuhan tidak ada lagi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan bukanlah faktor utama sebagai spillover FDI, efeknya memang ada, namun tidak luar biasa terhadap pertumbuhan ekonomi.

Menjawab pertanyaan terakhir penelitian mengenai konvergensi, penelitian ini menyimpulkan adanya konvergensi absolut ataupun kondisional di Indonesia. Namun demikian, tendensi konvergensi adalah sangat panjang di dalam konvergensi absolut, yakni mencapai 114 tahun untuk mengejar setengah ketertinggalan awal. Sehingga memang dibutuhkan usaha pemerintah untuk membuat konvergensi berjalan lebih cepat. Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan FDI dan modal manusia nyatanya dapat membuat catch-up effect berjalan lebih cepat, yaitu sekitar 59 tahun. Jenis modal manusia yang paling membuatnya cepat ternyata adalah pada model lulusan SMA dan SMK.

Pada akhirnya dimasukkannya berbagai determinan kondisi mapan perekonomian sangat mempercepat proses konvergensi. Sehingga diperlukan berbagai usaha untuk memperbaiki kondisi- kondisi tersebut, seperti kegiatan manufaktur, infrastruktur, dan kredit agar disparitas yang selama ini terjadi di Indonesia dapat semakin mengecil.

(17)

Daftar Pustaka

Alfaro, L., Chandna, A., Kalemli-Ozcan, S., & Sayek, S. (2004). FDI and Economic Growth: The Role of Local Financial Markets. Journal of International Economics , 445-465.

Bengoa, & Sanchez-Robles. (2003). Foreign Direct Investment, Economic Freedom and Growth: New Evidence from Latin America. European Journalof Political Economy .

Blomström, M., & Kokko, A. (2002). FDI and Human Capital: A Research Agenda. OECD Development Centre Working Paper , 195 .

Borensztein, E., Gregorio, J. D., & Lee, J.-W. (1998). How Does Foreign Direct Investment Affect Growth? Journal of International Economics , 115-135 .

Crespo, N., & Paula, F. M. (2007). Determinant Factors of FDI Spillovers – What Do We Really Know? World Development , 410 - 425.

Fernald, J.G. (1999). Roads to Prosperity? Assessing the Link between Public Capital and Productivity. American Economic Review, American Economic Association, 89 (3), 619-638 .

KPPOD Brief. (2012). Review Kebijakan Desentralisasi & Otonomi Daerah. Jakarta: KPPOD .

KPPOD News. (2004). Harapan Peluang Investasi Pasca Revisi UU No. 22 dan 25 Tahun 1999. Jakarta: KPPOD . Levine, Ross & Renelt, David. (1991). A Sensitivity Analysis of Cross-Country Growth Regressions. Policy Research

Working Paper Series 609, The World Bank.

Lipsey, R. E., & Sjöholm, F. (2010). FDI and Growth in East Asia: Lessons for Indonesia. IFN Working Paper, 852 . Mankiw, Romer, & Weil. (1992). A Contribution to The Empirics of Economic Growth. The Quarterly Journal of

Economics .

Mauro, P. (1995). Corruption and Growth. The Quarterly Journal of Economies , 681 - 712.

Mello, D. (1997). Foreign Direct Investment in Developing Countries and Growth: A Selective Survey. Journal of Development Studies , 1- 34.

Nehru, V. (2013). Manufacturing in India and Indonesia: Performance and Policies. Bulletin of Indonesian Economic Studies .

Resosudarmo, B. P., & Vidyattama, Y. (2006). Regional Income Disparity in Indonesia: A Panel Data Analysis. ASEAN Economic Bulletin .

Takii, S. (2007). Japanese and Asian Investment in Indonesian Manufacturing. ICSEAD Working Paper Series .

Tarigan, K. (2007). Pengaruh Otonomi Daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jurnal Perencanaan &

Pengembangan Wilayah , 2 (3) .

Wibisono, Y. (2003). Konvergensi di Indonesia, Temuan Awal dan Implikasinya. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia , 53-82 .

(18)

LAMPIRAN

Tabel 1 Regresi SLTA

(1) (2) (3) (4) (5)

g g g g g

PDRB awal -0.00610* -0.0119** -0.0107*** -0.0133*** -0.0148*

(0.00272) (0.00352) (0.00291) (0.00302) (0.00553)

SLTA 0.00128 0.000219 0.000932 0.000293

(0.000682) (0.000525) (0.000691) (0.000853)

FDI -0.00101 -0.00775* -0.00925* -0.00816

(0.00106) (0.00352) (0.00411) (0.00475)

FDIxSLTA 0.000326* 0.000357* 0.000276

(0.000144) (0.000176) (0.000217)

Jawa 0.0230 0.0643

(0.0177) (0.0332)

SLTAxJawa -0.00174 -0.00314*

(0.00102) (0.00135)

FDIxJawa 0.00457** -0.0000537

(0.00145) (0.00280)

Manufaktur 0.000386

(0.000317)

Perda -0.000340

(0.00111)

Kredit 0.00107*

(0.000420)

Infra 0.000128

(0.000118)

Penduduk 0.0186

(0.00939)

_cons 0.141** 0.214*** 0.213*** 0.243*** 0.241**

(0.0418) (0.0465) (0.0421) (0.0416) (0.0757)

N 54 51 51 51 51

R2 0.069 0.191 0.252 0.319 0.561

adj. R2 0.051 0.140 0.187 0.208 0.423

Prob F 0.0294* 0.0076** 0.0080** 0.0010** 0.0148*

Standard errors in parentheses

* p < 0.05, ** p < 0.01, *** p < 0.001

(19)

Tabel 2 Regresi Universitas

(1) (2) (3) (4) (5)

G g g g g

PDRB awal -0.00610* -0.0104** -0.00994** -0.0117*** -0.0175**

(0.00272) (0.00314) (0.00298) (0.00322) (0.00537)

Universitas 0.00685* 0.00274 0.00678* 0.00639

(0.00339) (0.00312) (0.00315) (0.00378)

FDI -0.00109 -0.00504 -0.00630 -0.00770*

(0.00104) (0.00315) (0.00337) (0.00319)

FDIxUniv 0.00137 0.00149 0.00187

(0.000870) (0.000934) (0.00103)

Jawa 0.0117 0.0422

(0.0121) (0.0256)

UNIVxJawa -0.00915 -0.0143*

(0.00525) (0.00585)

FDIxJawa 0.00450*** -0.000160

(0.00126) (0.00250)

Manufaktur 0.000585

(0.000329)

Perda -0.00133

(0.00131)

Kredit 0.000708

(0.000365)

Infra 0.000104

(0.000121)

Penduduk 0.0188*

(0.00881)

_cons 0.141** 0.199*** 0.200*** 0.222*** 0.284***

(0.0418) (0.0442) (0.0434) (0.0478) (0.0733)

N 54 51 51 51 51

R2 0.069 0.210 0.250 0.322 0.582

adj. R2 0.051 0.160 0.185 0.212 0.450

Prob F 0.0294* 0.0128* 0.0179* 0.0132* 0.0052**

Standard errors in parentheses

* p < 0.05, ** p < 0.01, *** p < 0.001

(20)

Tabel 3. Regresi Pengeluaran Pemdidikan

(1) (2) (3) (4) (5)

g g g g g

PDRB awal -0.00610* -0.00880** -0.00965*** -0.00913** -0.0154**

(0.00272) (0.00280) (0.00258) (0.00339) (0.00567)

Pengeluaran 0.00226 -0.00147 -0.00172 -0.0000308

Pendidikan (0.00299) (0.00421) (0.00612) (0.00535)

FDI -0.000339 -0.0145* -0.0104 0.00339

(0.000954) (0.00675) (0.0117) (0.0105)

FDIxPEND 0.00140* 0.000953 -0.000578

(0.000693) (0.00129) (0.00119)

Jawa -0.0399 -0.0530

(0.0338) (0.0603)

PENDxJawa 0.00359 0.00494

(0.00341) (0.00473)

FDIxJawa 0.000772 -0.000719

(0.00444) (0.00411)

Manufaktur 0.000779*

(0.000348)

Perda -0.000145

(0.00210)

Kredit 0.000961**

(0.000338)

Infra 0.0000581

(0.000131)

Penduduk 0.0133*

(0.00625)

_cons 0.141** 0.161*** 0.212*** 0.207*** 0.256***

(0.0418) (0.0349) (0.0456) (0.0440) (0.0648)

N 54 53 53 53 53

R2 0.069 0.104 0.192 0.199 0.472

adj. R2 0.051 0.049 0.125 0.074 0.314

Prob F 0.0294* 0.0120* 0.0005*** 0.0011** 0.0000***

Standard errors in parentheses

* p < 0.05, ** p < 0.01, *** p < 0.001

Gambar

Gambar 1. Rata-Rata Realisasi FDI Menurut Lokasi 2000-2009  Sumber: BKPM, diolah
Gambar 2. Dinamis Modal Fisik dan Manusia  Sumber: Romer (1996)
Tabel 1. Rangkuman Hasil Konvergensi-β  Sumber: Hasil regresi olahan penulis
Tabel 1. Hasil Regresi Model Pertumbuhan FDI dan Modal Manusia  Sumber: Olahan Penulis
+4

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan untuk salep dengan basis larut air memiliki daya sebar 4,5 salep dengan tipe ini belum memenuhi parameter yang ada hal ini dikarenakan salep ekstrak daun

Nilai formzahl (F) diketahui berada pada 1,5 &lt; F &lt; 3,5, maka dapat diketahui tipe pasang yang terdapat di perairan Pulau Karimunjawa yaitu pasang campuran condong ke

Peubah yang diteliti terdiri atas: (1) Peubah bebas atau independen meliputi: Karakteristik individu petani (X 1 ) yang dicirikan oleh: umur, pendidikan formal, pendidikan

Perbedaan penelitian yang akan peneliti lakukan ini dari penelitian sebelumnya adalah pada penelitian yang pertama yaitu hubungan kontrol diri dan perilaku merokok pada

31 tahun 2004 tentang perimbangan pemerintah pusat dan daerah, menyebutkan dana alokasi umum merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan

Selain itu, di kelas XII semester genap pada Kompetensi Dasar (KD) 3.14 mengidentifikasi nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah buku pengayaan (non fiksi) dan

yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah. Lihat Syaifuddin Azwar, Metode Penelitian , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal.. Metode wawancara ini dilakukan kepada