1 A. Latar Belakang
Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju kearah kodifikasi hukum terutama akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan. Manusia harus meninggalkan dunia fana untuk memasuki alam baka. Dengan meninggalnya orang tersebut, maka kekayaannya beralih pada orang lain yang ditinggalkannya.
Dalam kehidupan dibutuhkan suatu aturan yang mengatur peralihan kekayaan seorang yang meninggal dunia yang disebut hukum waris.Hukum waris adalah peraturan-peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya.
1Peraturan ini umumnya mengatur mengenai hal-hal yang bersifat pribadi, contohnya seperti adanya anggota keluarga yang tidak termasuk sebagai ahli waris dan ahli waris itu sendiri.
Hukum waris yang berada di Indonesia bersifat majemuk, hal tersebut terjadi karena Indonesia belum mempunyai Undang-Undang Hukum Waris Nasional yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Istilah masyarakat majemuk mempunyai arti yang sama dengan istilah masyarakat plural atau
1
Hilman Hadikusuma, 1993, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 8
pluralistic. Hal itu diartikan sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai
suku bangsa atau masyarakat yang berbhinneka.
Hukum Waris Adat di Indonesia bersifat pluralistik disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda yang menjadi dasar sistem kekerabatan masyarakat. Sehubungan dengan belum adanya Undang-undang tersebut di Indonesia masih diberlakukan 3 (tiga) sistem hukum waris yakni hukum kewarisan KUH Perdata, Islam dan Adat.
Menurut Ter Haar Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.
2Jadi berbeda dengan hukum waris barat sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menekankan pada kematian seseorang, dan adanya kebendaan yang ditinggalkan serta adanya ahli waris.
Dalam hukum adat, penerusan harta pewaris kepada waris dapat dilakukan sebelum pewaris meninggal, dengan cara penunjukan, penyerahan kekuasaan, ataupun penyerahan pemilikan.
3Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk, dengan diikuti keanekaragaman suku, salah satunya adalah suku Sasak yang mendiami pulau Lombok.
Suku Sasak yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, anak perempuan tidak mewaris, tetapi hanya diberikan harta pembekalan, yang sifatntya hanya sebagai pemberian, tidak termasuk dalam harta warisan.
Pemberian harta ini dapat memicu sengketa, apabila harta yang diberikan
2
Hilman Hadikusma,1991, Hukum waris Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, hukum agam Hindu Islam, Citra Aditya, Bandung, hlm 6,
3
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat,Loc.cit.
tidaklah sepantasnya, misalnya tanah pusaka, seperti yang dialami olehLina, diberikan sebuah rumah sebagai harta pembekalan, tetapi rumah yang diberikan tidak disertai dengan tanah dimana rumah itu berdiri.
4Kebanyakan sengketa dari harta pemberian ini dikarenakan jumlah nominalyang diberikan sangatlah besar, sehingga menimbulkan kecemburuan dari saudara-saudaranya yang, seperti yang dialami oleh Sopiah, Lela, dan Lale Manik.
5Berbeda dengan sengketa keluarga almarhumLalu Sopyan, Almarhum Lalu Sopyan semasa hidupnya memberikan pesangon kepada anak perempuannya, yakni almarhumah Hajah Jumariah.
Ketika almarhumah Hajah Jumariah meninggal, saudara-saudara dari almarhumah Hajah Jumariah menuntut pengembalian tanah tersebut. Ahli waris dari Hajah Jumairah tidak mau mengembalikan tanah tersebut, sedangkan menurut saudara-saudara dari almarhumah tanah tersebut hanya berupa pesangon.
6Pesangon adalah tanah pusaka yang diberikan kepada anak perempuan
dengan jangka waktu seumur hidup anak perempuan tersebut. Dalam masyarakat suku Sasak, tanah dianggap sebagai harta pusaka, yang harus diberikan kepada anak laki-laki. Masalahnya jika anak perempuan diberikan tanah oleh ayahnya sebagai pesangon, apabila ketika ahli waris anak perempuan penerima pesangon tidak mengembalikan tanah pesangon.
4
Hasil wawancara dengan Baiq Lina, responden, selaku warga Desa Ganti, pada tanggal 5 April 2015, pukul 09.48 WITA
5
Hasil wawancara dengan Lale Manik, responden, selaku warga Desa Ganti, pada tanggal 5 April 2015, pada pukul 14.00 WITA,
6
Hasil wawancara dengan Eko Trisna, responden, selaku warga desa Ganti, pada tanggal 5
April 2015, pukul 12.03 WITA.
Dalam masyarakat suku Sasak, tanah dianggap sebagai harta pusaka, yang harus diberikan kepada anak lelaki. Masalahnya jika anak perempuan diberikan tanah olehayahnya sebagai pesangon, ahli warisnya tidak mau mengembalikan tanah pesangon. Hal ini dapat menimbulkan sengketa dalam keluarga karena tanah itu tidak boleh keluar dari keluarga, dan harus dikembalikan ketika pemegang pesangon sudah meninggal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah upaya penyelesaian sengketa terhadap pemberian harta pusaka ayah terhadap anak perempuannya?
2. Bagaimanakah dampak sistem kekerabatan patrilinial terhadap sistem waris di desa Ganti, apabila dalam suatu keluarga tidak memiliki ahli waris laki-laki?
C. Keaslian Penelitian
Setelah menelusuri kepustakaan, pengamatan peneliti mengetahui
bahwa dalam penelitian tentang “PELAKSANAAN PEMBERIAN HARTA
UNTUK ANAK PEREMPUAN BERDASARKAN HUKUM ADAT
SUKU SASAK DI DESA GANTI, PRAYA TIMUR, LOMBOK
TENGAH)”, Peneliti menemukan dua hasil penelitian tesis yang meneliti
tentang pewarisan adat mengenai anak perempuan/wanita berdasarkan sistem pewarisan Adat di Indonesia :
1. Dessy Yunita, pada tahun 2009, dengan judul “Kedudukan wanita menurut Hukum Waris Adat di Muara Enim provinsi Sumatera Selatan”.Rumusan masalahnya sebagai berikut :
7a. Bagaimanakah kedudukan wanita menurut Hukum Adat di kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan?
b. Pembagian ahli waris anak perempuan dan istri dalam sistem pewarisan adat Muara Enim?
2. L. P Febbi Pratiwi Arpin, pada tahun 2013, dengan judul, “Hak Anak Perempuan Yang Kawin Dan Mengikuti Suami Terhadap Harta Kekayaan Orang Tuanya Di Denpasar.” Rumusan masalahnya sebagai berikut :
8a. Bagaimanakah pelaksanaan pemberian harta kekayaan dari orang tua kepada anak perempuan yang kawin dan mengikuti suami di Kota Denpasar?
b. Bagaimanakah upaya penyelesaian apabila terjadi perselisihan dalam pemberian harta kekayaan dari orang tua kepada anak perempuan yangkawin dan mengikuti suami di Kota Denpasar?
7
Dessy Yunita, 2009, “Kedudukan wanita menurut Hukum Waris Adat di Muara Enim provinsi Sumatera Selatan”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
8