(Fauzan Ali, Puslit Limnologi-LIPI) fali_6262@yahoo.com
ndonesia memiliki
kekayaan lahan yang
potensial untuk
budidaya ikan, termasuk udang galah. Budidaya
udang galah
(Macrobrachium rosenbergii) dapat
dilakukan di kolam-kolam rakyat,
tambak-tambak bersalinitas air rendah dan sawah-sawah. Udang galah juga
berpotensi untuk restocking di perairan
sungai, waduk dan danau. Data yang
tercatat di Statistik Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010, Indonesia meimiliki luasan kolam sebanyak 541.100 Ha, tambak
1.224.076 Ha, dan mina-padi
1.476.967 Ha.
Sumber: FAO (2000)
Produksi udang galah tangkapan di alam drastis menurun dari tahun ke tahun (Tabel 1 dan 2). Kebutuhan permintaan pasar udang galah yang selama ini dipenuhi melalui hasil tangkapan di alam semakin sulit terpenuhi. Sementara itu, produksi udang galah dari hasil budidaya belum mencukupi.
Seandainya realisasi budidaya
udang galah menyerap 10% saja dari potensi luas kolam yang ada (54.110 Ha), hal ini akan berdampak pada produksi udang galah nasional sebesar 162.330 ton udang galah per bulan. Untuk produksi udang sejumlah ini diperlukan benih udang galah (juvenil) dari panti-panti pembenihan tidak kurang dari 1.352 juta ekor setiap bulan (dengan asumsi padat penebaran 15
ekor/m2 dan masa pemeliharaan 6
bulan).
Dengan kata lain, bila harga benih udang galah Rp 50,- per ekor dan udang galah konsumsi Rp 40.000,- per kg, dan dengan produksi udang 3 ton per Ha, akan terjadi putaran uang sebesar Rp 67,6 miliar per bulan untuk pembenihan dan Rp 1.082 miliar/bulan untuk udang konsumsi.
MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS BUDIDAYA UDANG GALAH MELALUI PERBAIKAN TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN MUTU BENIH
Tabel 1. Produksi udang galah (ribu ton/tahun)
Tabel 2. Hasil tangkapan udang galah Indonesia
Sumber: Statistik Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, RI (2008)
Kalau potensi 10% luas kolam yang ada itu terkelola dengan baik, tidak mustahil posisi Indonesia yang belum tercatat pada statistik dunia di masa lalu, akan tercatat sebagai 10 besar negara penyumbang produksi udang galah dunia dari sektor budidaya dengan produksi 0,325 juta ton/tahun. Sementara ini produk udang galah dunia
dari sektor budidaya dihasilkan
terutama oleh negara-negara seperti
Cina, Thailand, Equador, Mexico,
Dominika, Amerika, India dan Malaysia (FAO, 1999) seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Produksi sektor budidaya galah sejak teknologi budidaya udang ini diperkenalkan di kota Jepara pada tahun 1970-an, menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat: apakah udang
jenis ini memang cocok untuk
dikembangkan di Indonesia? Udang galah merupakan udang air tawar berukuran besar (mendapat sebutan
giant freshwater prawn), komoditas air
tawar bernilai ekonomis tinggi,
komoditas ekspor dan teknologi
budidayanya sudah dikuasai, sudah banyak ditulis dalam laporan-laporan
penelitian oleh berbagai instansi
penelitian di negeri ini. Namun, dalam kurun waktu 40 tahun, perkembangan bisnis udang galah di tanah air belum
menampakkan hasil yang signifikan bila dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara yang sama-sama memiliki kekayaan alam dan teknologi budidaya seperti Malaysia, Thailand, India dan Cina.
Pengalaman empiris penulis membina
petani udang galah, yang notabene
hewan yang mayoritas menempati dasar perairan ini, membuktikan bahwa tingkat
produksi udang galah di kolam
budidaya sangat dibatasi oleh tingkah laku udang yang bersifat kanibal dan keterbatasan pemanfaatan territorial atau ruang untuk hidup di dalam kolam. Peningkatan padat penebaran melebihi
10 ekor/m2 tidak dapat secara otomatis
meningkatkan produksi panen udang galah melebihi 2.000 kg/Ha, karena semakin besar ukuran udang galah yang dipelihara, jarak nyaman antar individu udang galah di dalam kolam akan meningkat pula. Udang galah yang lemah atau yang sedang berganti kulit (moulting) akan menjadi mangsa udang-udang yang sehat dan kuat.
Produk inovasi berupa „apartemen
udang galah‟ adalah salah satu solusi
untuk masalah ini. Udang galah yang telah ditakdirkan Sang Maha Pencipta hidup di dasar perairan dengan adanya kaki-kaki, berbeda dengan ikan yang memiliki sirip dan gelembung renang, bisa memanfaatkan kolom air kolam untuk hidupnya. Apartemen udang galah, berupa rangkaian bilah-bilah bambu yang dianyam sedemikian rupa sehingga menyerupai kerangka bilik-bilik sebuah rumah susun (tanpa lantai, tanpa dinding
dan tanpa atap), memberikan
kesempatan bagi udang galah untuk memanfaatkan kolom air kolam yang berada di atas punggungnya dengan cara bertengger pada setiap ruas bilah bambu. Dengan apartemen udang galah, ruang tempat hidup udang galah akan meningkat karena masing-masing
tingkat apartemen akan menjadi
yang dipanen per hektar dapat mencapai tiga kali lipat.
Pada kolam yang dilengkapi
apartemen udang galah, udang-udang yang dipelihara dapat menyesuaikan diri untuk menempati setiap kerangka
bilik-bilik bambu tersebut. Ketika
makanan diberikan, udang akan
mengejar pakan dan memegang pakan dengan mulut dan kaki-kaki jalannya, lalu kemudian segera mencari tempat bertengger yang nyaman di apartemen, sambil menyesuaikan jarak aman antara satu udang dengan yang lainnya. Biasanya, udang-udang yang berukuran lebih besar dan kuat akan menguasai teritorial bagian bawah dan dasar kolam, sedangkan udang-udang yang berukuran lebih kecil akan menempati tingkat apartemen yang lebih tinggi. Khusus untuk udang-udang yang akan berganti kulit (sebagai salah satu tanda bahwa udang bertumbuh), akan menjauh dari udang-udang yang lain ke arah tingkat apartemen yang paling tinggi, tempat proses pergantian kulit lama dengan kulit baru terjadi. Kulit lama akan ditinggalkan di sana, dan hal itu dapat pula menjadi patokan ukuran pertumbuhan udang galah di kolam.
Persoalan berikutnya dalam
budidaya udang galah adalah variasi ukuran dan pertumbuhan yang tidak
seragam selama pemeliharaan.
Keadaan seperti ini sangat umum terjadi dan mengakibatkan panen udang tidak dapat dilakukan sekaligus, bila pasar menginginkan ukuran udang konsumsi
pada ukuran tertentu (biasanya
berukuran 20-30 ekor per kg). Untuk itu perlu dilakukan panen bertahap atau panen sebagian. Oleh karenanya, panen
pertama akan menyisakan udang
berukuran masih kecil dan perlu tambahan waktu untuk dibesarkan sampai berukuran layak pasar. Tentu saja proses panen seperti ini akan merugikan petani karena selain dapat berakibat sebagian udang stres dan bahkan ada yang mati, penambahan masa pemeliharaan akan berdampak kepada penambahan biaya pakan.
Fenomena udang galah yang tidak tumbuh dengan seragam ini adalah
akibat dari keragaman sifat-sifat
genetik yang berasal dari induk-induk
udang galah yang dipakai di
pembenihan. Hal ini disebabkan karena masih minimnya penelitian tentang pemuliaan dan genetika udang galah di tanah air, sehingga induk-induk yang dikawinkan hanya terbatas dari induk-induk jantan maupun betina yang paling gampang diperoleh, seperti dari seleksi di kolam-kolam budidaya ketika panen tiba, atau dari hasil tangkapan di perairan alami yang jelas-jelas tidak bisa dipastikan tingkat kualitas dan
umurnya. Masalahnya adalah pada
kualitas induk yang baik untuk
menghasilkan benih-benih yang unggul untuk dibesarkan.
Ketersediaan induk udang galah yang baik masih merupakan masalah pada hampir semua pembenihan udang galah di Indonesia dalam menghasilkan benih udang galah yang berkualitas. Padahal induk yang berkualitas ini
merupakan kunci utama dalam
keberhasilan produksinya. Perairan
tawar Indonesia yang kaya akan sumberdaya udang galah merupakan potensi yang besar dalam keragaman genetikanya.
Udang galah yang sekarang
dibudidayakan di masyarakat belum ada yang distandarisasi. Perolehan calon induk biasanya diperoleh dari perairan sungai yang ada di sekitar
pembesaran sendiri di kolam tanpa melalui seleksi dan memperhitungkan faktor genetikanya. Dengan demikian, di samping jenis yang dipelihara sangat terbatas, keunggulan yang khusus pada induk-induk di banyak pembenihan belum dapat menjamin bahwa benih udang yang dihasilkan dapat tumbuh dengan baik, tahan penyakit dan dengan tingkat kelangsungan hidup
yang tinggi. Sejak tahun 2006, di Pusat
Penelitian Limnologi-LIPI, penelitian pemuliaan induk-induk udang galah ini
sudah berlangsung. Dimulai dari
penelitian seleksi induk-induk udang galah beberapa strain dari Sumatera,
Jawa, Kalimantan dan Sulawesi,
dilanjutkan dengan hibridisasi udang galah antar strain dengan harapan dapat menghasilkan benih yang memiliki kemampuan cepat tumbuh dan dengan ukuran seragam.
Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan untuk sementara bahwa, terdapat tiga kelompok populasi yang berbeda (kelompok udang galah Jawa, Kalimantan dan Sumatera, dan Sulawesi. Udang galah Sumatera cenderung memiliki keunggulan pada fekunditas . Udang galah Jawa dan Kalimantan memiliki keunggulan cepat menjadi
pasca larva (PL), sintasan tinggi,
fekunditas tinggi, berukuran seragam dan pertumbuhan yang baik dan udang galah Sulawesi memiliki sintasan yang tinggi.
Perkawinan silang antar strain telah menghasilkan tiga jenis hibrid yang memperlihatkan performa lebih baik dibandingkan kombinasi silangan lainnya yaitu JENERIK, KUMACI dan HARITA.
Berdasarkan kriteria keberhasilan yang dianut pada pembenihan udang galah yang meliputi lama stadia larva, sintasan dan produksi PL, kombinasi silangan yang memiliki performa terbaik adalah JENERIK (hasil persilangan udang galah dari S. Jeneberang, Sulawesi dan S.
Citarik, Jawa). Sebagai ilustrasi,
pemeliharaan larva pada suhu air yang
dipertahankan rata-rata 30 oC, dengan
manajemen kualitas air, dan dengan rejim pakan yang sama, kisaran waktu yang diperlukan untuk mencapai PL antara 22,8 sampai 35,4 hari. Strain JENERIK memerlukan waktu paling pendek untuk mencapai stadium PL, diikuti oleh strain HARITA dan KUMACI.
Waktu 22,8 hari yang dicapai oleh strain JENERIK ini adalah waktu yang jauh lebih pendek daripada temuan Uno and Soo (1969) bahwa PL baru terjadi pada hari ke 36 dengan kondisi yang hampir sama yaitu pada suhu air 28,0
oC. HARITA adalah udang galah hibrid
hasil persilangan udang galah dari S. Batanghari, Sumatera dengan udang galah S. Citarik, Jawa, sedangkan KUMACI adalah udang galah hibrid produk perkawinan silang antara udang galah S. Kumai, Kalimantan dengan udang galah S. Citarik, Jawa.
Daftar Pustaka:
Ali, F. 2004. Transfer teknologi
budidaya udang galah di
masyarakat petani ikan Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Entrepreneutial
Economic Development Strategy,
Pusat Inkubator Bisnis – ITB, h. 83-93.
Ali, F. 2005. Hubungan antara
penggunaan pelindung buatan
dengan kelangsungan hidup udang
galah (Macrobrachium Rosenbergii),
Food Association Organization. 2002.
Farming freshwater prawns. A Manual for the culture of the giant river prawn (Macrobrachium rosenbergii). FAO Fisheries Technical Paper. Rome. p. 1 - 11.
Smith, T. I. J. and P. A. Sandifer. 1975.
Increased production of tank reared Macrobrachium rosenbergii through of artificial substrates. In Annual Meeting World Mariculture Society. Lousiana State University. p. 55 - 66.
(Ahmad Farid, Balai Riset Perikanan Perairan Umum-DKP, Palembang)
farid_kdw22@yahoo.co.id
eran penting Sungai Musi
tercatat secara historis
sejak zaman kerajaan
Sriwijaya. Pada saat itu Sungai Musi
banyak digunakan sebagai alur
pelayaran kapal yang mengangkut hasil bumi menuju pusat perdagangan ke wilayah Sumatera Selatan maupun keluar Pulau Sumatera. Sungai Musi merupakan salah satu tipe sungai permanen di Sumatera yang memiliki tipe ekosistem yang kompleks dengan jenis pemanfaatan yang beragam mulai dari perikanan, pertanian, perkebunan,
transportasi, kawasan industri dan
perumahan. Sungai Musi memiliki
kontribusi cukup penting terhadap
pendapatan asli daerah (PAD). Sungai Musi tergolong sungai besar yang bermuara ke pantai timur tepatnya di
Kecamatan Sungsang Kabupaten
Banyuasin Sumatera Selatan.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi
membentang dari daerah hulu
2020'23.5" LS, 104055'12.6" BT.
Uno, Y. and K.C. Soo. 1969. Larvae
development of Macrobrachium
rosenbergii (de Man) reared in the laboratory. Tokyo Univ. Fish. Tokyo. New, M.B. 1995. Status of freshwater
prawn farming: a review.
Aquaculture Research, 26:1-54. New, M. B. 2002. Farming freshwater
prawns; A manual for the culture of
the giant river prawn (Macrobrachium
rosenbergii). Fao Fisheries Technical Paper 428. Food and Agriculture Organization of the United Nations . Rome. 212 p.
Sedangkan daerah hilir 2051'42.1" LS,
103046'30.9"BT. Wilayah DAS Musi
terletak ditiga provinsi, yaitu Provinsi
Bengkulu (6.006.519 ha), Jambi
(218.495 ha) dan Sumatera Selatan
(42.202 ha) (Susanto et al.,2005). Total
luas DAS Musi mencapai 6.267.216 ha atau 64% dari luas wilayah Provinsi Sumatera Selatan DAS atas 10 sub DAS. Aliran induk bersumber di Bukit Barisan sekitar lereng Bukit Kelam dan Bukit Daun pada ketinggian 875 m dpl (Anonim, 1977). Panjang aliran utama Sungai Musi dari sumber mata air di bagian hulu, yaitu di Bukit Kelam sampai ke muara di Selat Bangka adalah 637 km (Anonim,1977)
Berdasarkan topografi, DAS Musi
lima wilayah yaitu;
1. Wilayah Pegunungan, dengan
ketinggian ± 220 m
2. Dataran Tinggi, dengan
ketinggian ± 50-220 m
3. Dataran Rendah, dengan
ketinggian ± 10-50 m
4. Dataran Banjir, dengan
ketinggian ± 5-10 m
5. Wilayah Estuaria, dengan
ketinggian ± 0-5 m.
P
SEKILAS TENTANG SUNGAI
- 10
Morfologi DAS Musi dari hulu hingga hilir terbagi atas tiga tipe ekologi
(Utomo et al.,1992) yaitu:
1. Tipe perairan berarus deras,
dicirikan dengan kawasan berbatu dan berpasir. Pada kedua sisi sungai merupakan daerah pertanian
dan perkebunan. Daerah ini
stream), dicirikan dengan adanya
lebak kumpai, rawa banjiran
(floodplain), sungai utama, sungai
mati (oxbow) dan lebung (cekungan
di daerah rawa). Dengan panjang aliran ± 177 km
3. Tipe perairan yang dipengaruhi
pasang surut air laut, terdapat di
hilir sungai (lower stream), dengan
panjang aliran ± 146 km. Di daerah estuari yang berdekatan dengan laut kondisi perairan dipengaruhi
olehkadar garam.
Sifat sungai secara fisika, berkaitan erat dengan bentuk geomorfologi dan geokimia DAS, tipe sungai dan siklus hidrologi yang semuanya dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan pola iklim. Adanya vegetasi tutupan lahan, fluktuasi muka air, debit air dan pola aliran kedalaman air cenderung meningkat, sedangkan karateristik sungai secara kimia seperti karbon organik dan unsur hara berada sepanjang badan sungai. Karateristik tersebut akan menentukan
tingkat produktivitasnya (Sedell et
al.,1989; Thorp dan Delong, 1994).
Kedalaman sungai merupakan
tempat tangkapan air dari curah hujan, masukan dari anak sungai,k emiringan,
tingkat erosi tepian dan dasar
sungai,merupakan parameter fisika kunci yang menentukan produktivitas perairan sungai. Secara longitudinal dari hulu
hingga hilir. Kecepatan arus adalah parameter fisika air yang membedakan ekosistem sungai dengan ekosistem danau dan waduk. Kecepatan arus dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya bentuk dasar sungai dan kedalaman sungai.
Suhu merupakan besaran radiasi matahari yang diserap oleh partikel terlarut ataupun tersuspensi dalam suatu perairan. Pada bagian hulu, tengah, hilir sungai, fluktuasi suhu selama dua musim
masing–masing berada pada kisaran
1-12 0C, 0–8 0C dan 0,5 – 6 0C.
Perbedaan suhu secara longitudinal dari hulu hingga hilir relatif lebih tinggi dari hasil pengamatan pada Tahun 1976 yang dilakukan oleh Anonim (1977)
sebesar 1.0 0C dibagian hulu, tengah
dan hilir Sungai Musi.
Jumlah Total Padatan Tersusupensi (TSS) adalah jumlah partikel biotik maupun abiotik yang tersaring pada kertas saringan dengan ukuran lubang (mesh size) 45 µm. Partikel biotik
diantaranya fitoplankton ataupun
zooplankton, sedangkan partikel abiotik diantaranya lumpur. TSS di Sungai Musi secara longitudinal dipengaruhi oleh aktivitas manusia di DAS, seperti
pembukaan lahan untuk kegiatan
ekonomi yang dapat meningkatkan erosi tanah serta kegiatan penambangan kelas C, seperti penambangan pasir dan batu. Fluktuasi TSS pada musim hujan yang diindikasikan dengan curah hujan lebih dari 250 mm dan musim kemarau dengan curah hujan kurang dari 100 mm relatif cukup besar dibagian hulu dengan
kisaran 222-500 mg/L (Husnah,et al.,
2007). Kandungan TSS pada tahun 2006 relatif lebih tinggi dibandingkan 30 Tahun yang lalu 1976 kandungan TSS di Sungai Musi dimusim kemarau
72,5; 19,8–32 dan 35,5 mg/L.
Sedangkan pada musim hujan
kandungan TSS 24,5; 51.0 – 100.2;
- 11
hilangnya luas hutan sebanyak 50 % selama 30 tahun.
Daftar Pustaka:
Anonim. 2005.Master plan Sumatera
Selatan sebagai lumbung pangan.
BAPPEDA Sumsel dan Universitas Sriwijaya Palembang.
Anonim. Survey Ekologi Perikanan,
Fakultas Perikanan IPB. 1977. Survey
ecology perikanan daerah aliran sungai: Aspek-aspek penyelamatan perikanan di perairan umum.
Direktorat Jenderal Perikanan.
Departemen Pertanian RI. Bogor: 85 hal.
Husnah. E. Prianto, S.N. Aida, D. Wijaya, S. Kaban, Makri, H.Z. Dahlan dan
Kamal. 2007. Penentuan tingkat
degradasi dan variasi metode penentuan langkah-langkah degradasi lingkungan di perairan Sungai Musi.
Laporan Akhir Riset Balai Riset
Perikanan Perairan Umum. Badan
Riset Kelautan dan Perikanan.
Palembang: 16 hal.
(Eka Prihatinningtyas-Puslit Limnologi-LIPI) ekatyas@yahoo.com
ir merupakan unsur utama dalam kehidupan makhluk hidup di planet bumi ini.
Manusia masih mampu
bertahan hidup tanpa makanan dalam
beberapa minggu, namun tanpa air
manusia akan mati dalam beberapa hari saja. Air tidak hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan domestik rumah tangga tetapi dalam bidang ekonomi modern, air juga menjadi faktor yang
sangat penting dalam budidaya
perikanan, industri, pembangkit tenaga listrik dan transportasi. Air merupakan elemen yang paling melimpah di atas Bumi, yang meliputi 70% permukaannya
Nasution, Z., A.D. Utomo dan D.
Prasetiyo. 1993. Lelang lebak lebung
di Sumatera Selatan sebagai salah satu upaya pengelolaan sumberdaya perikanan perairan umum. Dalam: Prosiding TKI Perikanan Perairan Umum. Pengkajian Ppotensi dan Prospek Pengembangan Perairan Umum Sumatera Bagian Selatan. Puslitbang Perikanan Jakarta:122-135.
Sedell, J.R., J.E. Richey dan F.J. Swanson. 1989. The river continue concept: A basis for the expected ecosystem behavior of very large rivers
Proceeding Can. Spec. Publ. Fish.
Aquat Sci:106:49- 55.
Utomo, A.D., Z. Nasution dan S. Adjie. 1992. Kondisi ekologi dan potensi sumberdaya perikanan sungai dan
rawa. Dalam: Prosiding Temu Karya
Ilmiah Perikanan Perairan Umum,
Palembang 12-13 Februari 1992.
Puslitbang Perikanan. Balitbang
Pertanian: 1-15.
dan berjumlah kira-kira 1,4 ribu juta kilometer kubik.
Apabila dituang merata di seluruh permukaan bumi akan terbentuk lapisan dengan kedalaman rata-rata tiga kilometer. Namun hanya sebagian kecil saja dari jumlah ini yang benar-benar tanah yang sangat dalam.
Seiring dengan bertambahnya
penduduk, maka kebutuhan akan air juga semakin bertambah. Laju kelahiran yang tinggi, terutama di negara berkembang juga akan memberikan tekanan yang cukup besar dalam hal pemenuhan kebutuhan air. Dengan
A
- 12
segala keterbatasan tersebut, sangatlah
tidak bijaksana apabila kita
menggunakan air secara berlebihan. Air
tidak lagi menjadi “barang bebas” di
mana manusia dapat menggunakan sesuai keinginannya dan tidak ada rasa khawatir jumlahnya akan habis. Saat ini air menjadi barang ekonomis dan mungkin menjadi barang mahal. Hal ini terbukti, saat ini masyarakat rela bersusah payah dan harus mengeluarkan
biaya yang mahal untuk mendapatkan
air bersih. Masyarakat pedesaan di negara tropis terkadang harus berjalan berpuluh-puluh kilometer untuk mencari
sumber air pada saat musim kemarau.
Sementara masyarakat perkotaan belum semuanya mendapatkan pelayanan air bersih baik kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya.
Sumber air baku dan alternatif pengolahan
Pada dasarnya semua air dapat diolah menjadi air bersih sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 492
Tahun 2010. Adanya perbedaan
karakteristik dalam masing-masing air
baku, maka teknologi pengolahan air
bersih yang dipakai juga berbeda. Pemilihan teknologi yang tepat, murah dan mudah diadaptasi oleh masyarakat sangat membantu dalam pemenuhan kebutuhan air bersih.
Air baku dapat diklasifikasikan
menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Air tawar adalah air dengan kadar
garam rendah, biasanya dijumpai pada perairan darat seperti danau, sungai dan situ. Tahapan proses yang harus dilakukan ketika menjadikan air tawar sebagai air baku untuk air bersih dapat dilihat pada skema berikut ini. :
Gambar 1. Skema pengolahan air bersih dari air tawar
Screening merupakan tahap awal dari proses pengolahan air bersih. Tahapan ini bertujuan untuk menghindari masuknya sampah dan kotoran yang berukuran besar lainnya ke dalam instalasi pengolahan air bersih.
Proses koagulasi bertujuan untuk
menggumpalkan partikel-partikel koloid yang berperan sebagai kontaminan dalam air. Pada tahap ini biasanya ditambahkan koagulan seperti aluminium
sulfat [Al2(SO4)3] dan Poly Aluminium
Chloride (PAC) yang berfungsi untuk mempercepat tumbukan antar
partikel-partikel koloid, sehingga dihasilkan
patikel dengan ukuran yang lebih besar. Besarnya dosis koagulan ditentukan dari jar tes berdasarkan kekeruhan air baku. Misalnya untuk kekeruhan air baku 50 NTU, dosis koagulan yang digunakan sebesar 25 mg/L. Proses koagulasi yang efektif akan menyebabkan terbentuk-nya flok-flok yang baik pada tahap flokulasi. Kualitas flok dapat dilihat dari kecepatannya mengendap dalam bak sedimentasi. Partikel-partikel yang tidak mengendap dalam bak sedimentasi akan tersaring pada tahap filtrasi. Umumnya media filter yang digunakan adalah pasir silika. Selanjutnya air hasil filtrasi ditambahkan desinfektan yang berfungsi untuk membunuh bakteri patogen dalam air, sehingga air produksi bersifat steril dan terbebas dari bakteri penyebab
penyakit. Desinfektan yang lazim
digunakan adalah kaporit [Ca(OCl] dan gas khlor (Cl2).
2. Air gambut adalah air dengan
karakteristik asam (derajat
keasamannya berkisar antara 3 - 4),
memiliki kadar organik, kandungan besi dan mangan yang tinggi serta berwarna kuning atau coklat tua. Air dengan sifat seperti ini dijumpai pada lahan gambut. Di dunia, luas lahan gambut sekitar 17 ha, dan 10% berada di Indonesia. Lahan gambut banyak dijumpai di Sumatera dan Kalimantan.
- 13
pengolahan air bersih dari air tawar. Hanya saja ada penambahan dua tahap yaitu tahap netralisasi dan dekolorisasi.
Tahap netralisasi berfungsi untuk
menetralkan keasaman air baku. Bahan kimia yang biasa digunakan adalah
soda ash (Na2CO3) atau batu kapur
(CaCO3). Proses dekolorisasi berfungsi
untuk mengurangi kandungan zat organik penyebab warna dalam air gambut
(biasanya berupa asam humat
(C187H186O89N9S1) dan asam fulvat
(C135H182O95N5S2)). Ada beberapa
metode yang digunakan antara lain aerasi, membran ultrafiltrasi, metode
koagulan bertingkat dan adsorpsi
menggunakan karbon aktif (C).
Keseluruhan tahapan selengkapnya
dapat dilihat pada skema berikut ini:
Gambar 2. Skema pengolahan air bersih dari air gambut
3. Air payau, umumnya dijumpai di
daerah muara. Air payau merupakan campuran antara air tawar dengan air laut dan memiliki kisaran salinitas
antara 0,05 sampai 3‰. Untuk
mengolah air bersih dari air payau
digunakan metode reverse osmosis.
Prinsip kerja filter reverse osmosis
adalah berdasarkan pada peristiwa osmosis yang terjadi di alam.
Osmosis adalah peristiwa
bergeraknya air dari larutan yang mempunyai konsentrasi lebih rendah melalui membran semi permeabel ke larutan yang mempunyai konsentrasi lebih lebih tinggi sampai tercapai keseimbangan.
Membran semi permeabel adalah membran yang dapat melewatkan atom-atom atau melokul-molekul tertentu tetapi tidak dapat melewatkan atom-atom/molekul yang lain. Dalam kasus di
atas (dan pada kasus filter reverse
osmosis yang dapat dilewatkan adalah molekul air saja, sedangkan
garam-garamnya tidak. Dengan memberikan tekanan pada larutan berkonsentrasi tinggi lebih besar dari tekanan osmotik, maka air akan terdorong keluar melalui membran semi permeabel tersebut,
sedangkan garam-garamnya tetap
tertinggal di bagian larutan
berkonsentrasi tinggi. Hal inilah yang
kemudian diterapkan pada filter reverse
osmosis. Disebut sebagai reverse osmosis
atau osmosis terbalik karena mekanisme yang diterapkan adalah dengan cara membalikkan fungsi dari peristiwa osmosis.
Daftar Pustaka
Alearts, G. dan Santika, S.S. 1984.
“Metode Penelitian Air”. Usaha
Nasional, Surabaya.
Anonim. 1990. “Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 416/MENKES/PER/IX/1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air ”. Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta
Said, N.I. 2008. ”Teknologi pengolahan
air minum: Teknologi pengolahan air
gambut sederhana.” BPPT
http://www.a-spi.org/ehe15.htm (diakses tanggal 16 Maret 2010) http://www.cbc.canews/indepth
/background/water_treatment.html. (diakses tanggal 16 Maret 2010)
http”//www.Newton.dep.anl.gov/askasci
/chem00/chem00264.htm.p.15 (diakses tanggal 16 Maret 2010) http://norweco.com/html/lab/Disinfectio
n.htm (diakses tanggal 16 Maret 2010)
- 14
(Hasan Fauzi dan Syahroma Husni Nasution, Puslit Limnologi-LIPI)
fauzihasan61@yahoo.com
anau Towuti merupakan salah satu danau yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk mencapai Danau Towuti dari kota Makassar (ibu kota Sulawesi Selatan) harus melewati beberapa kabupaten dan kota madya serta kecamatan yang dapat ditempuh selama sehari semalam. Daerah terdekat dengan Danau Towuti adalah Kecamatan Timampu, dan daerah inilah yang sering dilalui oleh turis, baik lokal maupun turis asing. Danau Towuti memiliki luas 56.000 Ha dan kedalaman 203 m, di samping itu memiliki panorama yang indah dengan hutan perawan disekelilingnya. Jenis vegetasi riparian ditemukan 116 jenis yang terdapat di sekitar pinggiran danau
(Nasution et al, 2009). Airnya yang sangat
jernih (kekeruhan air berkisar 0-3 NTU)
(Nasution, 2008), penetrasi cahaya
matahari sampai kedalaman 22 m
(Haffner et al, 2001).
Pemandangan alam yang indah bukan saja di atas permukaan air, akan tetapi di bawah permukaan airpun tidak kalah indahnya, terdapat susunan bebatuan yang berukuran kecil sampai
besar (boulders), ada yang bermotif relief
alami dan bentuk-bentuk yang unik lainnya, juga diselingi oleh batang-batang kayu yang telah roboh dan lapuk dengan bentuk yang unik dan artistik, begitupun ukurannya dari yang kecil sampai yang besar, dari yang pendek sampai yang panjang. Beraneka tanaman airpun turut menyemarakkan suasana alami Danau Towuti dan ditemukan tujuh jenis tanaman
air (Nasution et al, 2009), serasa
menambah keharmonisan antara fisik danau, flora dan fauna yang menempati alam tersebut serta manusia yang
melihatnya. Sangatlah disayangkan
apabila suatu saat keharmonisan yang telah terbentuk ini diganggu oleh tangan-tangan manusia serakah dan tamak. Akankah Danau Towuti ini akan menjadi
korban ketidak bertanggungjawaban
manusia sebagaimana danau-danau di Jawa?.
Keanekaragaman hayati yang
terdapat di Danau Towuti seakan memberikan inspirasi untuk menjaga dan melestarikan alam yang diberikan oleh Allah SWT Sang Pencipta alam semesta ini kepada umat manusia. Kesejukan dan keharmonisan yang tercipta di Danau Towuti memberikan ketentraman pada biota yang hidup di dalamnya, baik ikan maupun udang. Beraneka jenis dan warna udang yang mendiami habitatnya masing-masing, terutama daerah bebatuan dan kayu serta dedaunan yang telah busuk (serasah).
“Si cantik” dekapoda berkaki sepuluh
“Si cantik” adalah udang (Caridina
sp.) yang merupakan udang hias dan
hidup di perairan Danau Towuti. “Si
cantik” termasuk kedalam kelas
Arthropoda, yaitu hewan yang berbuku, karena diseluruh tubuhnya dibungkus oleh
kulit yang berbuku-buku. Di samping itu “si
cantik” mempunyai lima pasang kaki jalan
(dekapoda), satu pasang diantaranya mempunyai capit yang berfungsi untuk mengambil makanan dan juga sebagai senjata pertahanan, sementara empat pasang tidak mempunyai capit tetapi berfungsi sebagai penggali sumber makanan. Di samping itu, udang ini juga mempunyai lima pasang kaki renang yang berfungsi untuk berenang dan untuk mengejar mangsa serta makanan. Ke-lima pasang kaki renang tersebut selain untuk berenang juga berfungsi sebagai substrat
penempel dan sekaligus tempat
menempelnya telur dalam proses
pengeraman sebelum menetas menjadi larva.
“Si cantik” berkaki sepuluh ini menjadi
penghuni danau-danau di Komplek Malili, yaitu Danau Matano, Towuti, Mahalona,
Masapi dan Wawontoa/Lantoa.
D
“SI CANTIK” DEKAPODA
- 15
Dikatakan “si cantik” karena memiliki
warna dan corak yang sangat indah, dan
bernilai ekonomis tinggi. “Si cantik” ini
berukuran kecil hanya berkisar 2 – 2,5 cm
dan sangat indah. Biasanya udang hias ini sangat menarik apabila dipelihara di
dalam akuarium dalam jumlah banyak. “Si
cantik” penghuni Danau Towuti hampir
semua merupakan jenis endemik (von Rintelen dan Cai, 2009). Beberapa jenis udang hias penghuni Danau Towuti dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa jenis udang hias yang terdapat di Danau Towuti
No Nama lokal/Nama dagang
Nama latin Habitat 1 Red orchid Caridina
glaubrechti
Kerikil dan batuan besar (boulders)
2 Black tiger C. holthuisi Banyak di bawah serasah dan
tanaman air
3 Lama‟ C. lanceolata Batu, kerikil, serasah, kayu terendam dan tanaman air
4 Udang coklat C. lingkonae Berbagai macam substrat 5 Yellow strip C. loehae Bebatuan dan kerikil 6 Udang
masapi C. masapi Serasah dan tanaman air 7 Pinokio C. profundicola Bebatuan dan serasah 8 Yellow check C. spinata Bebatuan
9 Udang garis tiga C. spongicola Spesifik sponge
10 Liris kecil C. striata Batu besar dan kerikil 11 Celebes
beauty
C.
woltereckae Batuan besar dan kerikil
13 - C. parvula Bebatuan
14 - C. tenuirostris Bebatuan dan kayu terendam 15 Udang coklat susu Caridina sp. Banyak di bawah serasah dan batuan
C. wolterechae
C. lingkonae
C. spinata
C. loehae
Gambar 1. “Si cantik” penghuni Danau Towuti
(Sumber gambar von Rintelen dan Chai (2009)
- 16 Potensi Ekonomi
Banyak kalangan pembudidaya ikan yang haus akan hewan baru untuk diperjual belikan dan dibudidayakan terlebih dahulu. Begitupun pada awalnya
“si cantik” ini dikomersialkan mendapat
penawaran yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kelas udang-udang
yang lainnya. Patokan harga “si cantik” ini
dari nelayan adalah Rp 700/ekor, di pengumpul Rp. 3000/ekor dan di pengecer berkisar antara Rp. 7000 - Rp. 10000/ekor yang disesuaikan dengan jenisnya. Di negeri sakura Jepang satu ekor udang yang super (paling bagus), mendapat tawaran sampai dua juta yen,
yaitu jenis-jenis tertentu seperti black bee
atau red bee (http://www.kaskus.us/
showthread.php).
Pada umumnya penangkapan “si
cantik” ini dilakukan pada hari-hari
tertentu. Misalnya, ada permintaan udang hias dari Jakarta melalui Makassar, maka nelayan siap mengambil udang sesuai
jumlah pesanan. Tidak melakukan
pengumpulan, karena akan mengeluarkan biaya untuk pakannya. Umumnya nelayan udang hias di Danau Towuti sudah mengerti makna konservasi, karena hanya
menangkap “si cantik” yang berukuran
besar, sedangkan yang berukuran kecil
apabila tertangkap langsung
dikembalikan ke dalam danau (karena ukuran kecil berhak untuk hidup dan bereproduksi untuk menghasilkan anakan yang baru).
Proses pengambilan dan pengumpulan udang dilakukan dengan menggunakan perahu motor ke lokasi habitat udang. Penangkapan dilakukan dengan cara menyelam pada kedalaman 0,5-2,0 m dimana udang-udang tersebut berkumpul di bawah serasah daun, batu ataupun
sendok untuk menyortir. Mengingat “si
cantik” ini adalah jenis endemik dan untuk memperolehnya masih mengandalkan penangkapan di alam (di Danau Towuti), maka perlu dilindungi dan harus ada
upaya penangkaran, sehingga
keberadaan “si cantik” tetap Indonesia: Lakes Matano and Towuti. In M. Munawar and R.E. Hecky (eds.). The Great Lakes of The World (GLOW): Food-web, health, and integrity. Netherlands. p:183-192.
Nasution, S.H. 2008. Ekobiologi dan
dinamika stok sebagai dasar
pengelolaan ikan endemik
Bonti-bonti (Paratherina striata) di Danau
Towuti, Sulawesi Selatan. Disertasi. 152 hal.
Nasution, S.H., D.I. Hartoto dan Sulastri. 2009. Sumber Daya Ikan Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Biologi. Fakultas
Biologi, Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto, 12
Desember 2009. Hal. 984-989. Nasution, S.H., D.I. Hartoto, Sulastri, S.
Aisyah, T. Tarigan, H. Fauzi dan Sugiarti. 2010. Laporan Akhir Tahun 2010 Program Insentif Penelitian dan Perekayasa LIPI Tahun 2010. 127 hal.
von Rintelen, K. dan Y. Cai. 2009. Radiation of endemic species flocks in ancient lakes: Systematic Revision of
the freshwater shrimp Caridina H.
Milne Edwards, 1837 (Crustacea: Decapoda: Atyidae) from the ancient lakes of Sulawesi, Indonesia, with the description of eight new species. Raffles Bull Zool., 57(2):343-452.
- 17
(M. Suhaemi Syawal, Puslit Limnologi-LIPI) syawalms@yahoo.com
ichloro Diphenyl Trichlorethane (DDT) adalah insektisida “tempo
dulu” yang pernah
disanjung “setinggi langit” karena
jasa-jasanya dalam penanggulangan
berbagai penyakit yang ditularkan vektor serangga. Tetapi kini penggunaan DDT di banyak negara di dunia terutama di Amerika Utara, Eropah Barat dan juga di Indonesia telah dilarang. Namun karena persistensi DDT
dalam lingkungan sangat lama,
permasalahan DDT masih akan berlang-sung hingga sekarang ini (Anonim, 1984). Adanya sisa (residu) insektisida ini di tanah dan perairan dari penggunaan masa lalu dan adanya bahan DDT sisa yang belum digunakan dan masih
tersimpan di gudang tempat
penyimpanan di seluruh dunia (termasuk di Indonesia) kini menghantui mahluk hidup di bumi. Bahan racun DDT sangat persisten (tahan lama, berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin sampai 100 tahun atau lebih), bertahan dalam
lingkungan hidup sambil meracuni
ekosistem tanpa dapat didegradasi secara fisik maupun biologis, sehingga kini dan di masa mendatang kita masih terus mewaspadai akibat-akibat buruk yang diduga dapat ditimbulkan oleh keracunan DDT.
Berdasarkan PP No. 74 Tahun 2001, bahan kimia yang tergolong dalam pestisida POPs (Persistent Organic Pollutans) termasuk di dalamnya 9 pestisida dengan residu tinggi yakni aldrin, dieldrin, endrin, klordan, toksafon, heptaklor, mireks, HCB dan DDT sudah dilarang dipergunakan. Oleh karena masyarakat umum telah merasa puas dengan penggunaan pestisida, maka sulit sekali untuk mengubah pola
pikirnya, sehingga
penyelewengan-penyelewengan dalam penggunaan
pestisida kerap terjadi.
Penyelewengan yang terjadi di masa lampau sampai sekarang baik secara sadar atau tidak sadar disebabkan karena ketidakpahaman masyarakat khususnya petani dan juga kecerobohan oleh orang-orang yang mengerti.
Sifat kimiawi dan fisik DDT
Senyawa yang terdiri atas
bentuk-bentuk isomer dari
1,1,1-trichloro-2,2-bis-(p-chlorophenyl) ethane yang secara
awam disebut juga Dichoro Diphenyl
Trichlorethane (DDT) diproduksi dengan
menyampurkan chloralhydrate
dengan chlorobenzene.
Gambar 1. Dichoro Diphenyl Trichlorethane (DDT)
DDT-teknis terdiri atas campuran tiga
bentuk isomer DDT (65-80% p,p‟-DDT,
15-21% o,p‟-DDT, dan 0-4% o,o‟-DDT, dan dalam jumlah yang kecil sebagai
kontaminan juga terkandung DDE
[1,1-dichloro-2,2- bis(p-chlorophenyl) ethylene] dan DDD [1,1-dichloro-2,2-bis(p-chlorophenyl) ethane]. DDT-teknis ini berupa tepung kristal putih tak berasa dan tak berbau. Daya larutnya sangat tinggi dalam lemak dan sebagian besar pelarut organik, tak larut dalam air, tahan terhadap asam keras dan tahan oksidasi terhasap asam permanganat.
DDT pertama kali disintesis oleh Zeidler pada tahun 1873 tapi sifat insektisidanya baru ditemukan oleh Dr.
Paul Mueller pada tahun 1939.
Penggunaan DDT menjadi sangat
populer selama Perang Dunia II,
terutama untuk penanggulangan
penyakit malaria, tifus dan berbagai penyakit lain yang ditularkan oleh
D
BAHAYA TOKSISITAS PESTISIDA
- 18
nyamuk, lalat dan kutu. Di India, pada tahun 1960 kematian oleh malaria mencapai 500.000 orang turun menjadi 1000 orang pada tahun 1970. WHO memperkirakan bahwa DDT selama Perang Dunia II telah menyelamatkan sekitar 25 juta jiwa terutama dari ancaman malaria dan tifus, sehingga Paul Mueller dianugerahi hadiah Nobel dalam ilmu kedokteran dan fisiologi
pada tahun 1948 (Feng et al, 2003).
DDT adalah insektisida paling ampuh yang pernah ditemukan dan digunakan manusia dalam membunuh serangga tetapi juga paling berbahaya bagi umat
manusia manusia sehingga dijuluki “The
Most Famous and Infamous Insecticide”.
Bahaya toksisitas DDT terhadap ekosistem
Pada tahun 1962 Rachel
Carson dalam bukunya yang terkenal, Silenty Spring menjuluki DDT sebagai obat yang membawa kematian bagi
kehidupan di bumi. Demikian
berbahayanya DDT bagi kehidupan di bumi sehingga atas rekomendasi EPA (Environmental Protection Agency) Amerika Serikat pada tahun 1972 DDT dilarang digunakan terhitung 1 Januari 1973.
Pengaruh buruk DDT terhadap lingkungan sudah mulai tampak sejak awal penggunaannya pada tahun 1940-an, dengan menurunnya populasi burung elang sampai hampir punah di Amerika Serikat. Dari pengamatan ternyata
elang terkontaminasi DDT dari
makanannya (terutama ikan sebagai mangsanya) yang tercemar DDT. DDT menyebabkan cangkang telur elang menjadi sangat rapuh sehingga rusak jika dieram. Dari segi bahayanya, oleh EPA DDT digolongkan dalam bahan
racun PBT (persistent, bioaccumulative,
and toxic) material (Noegrohati, 1992). Pestisida yang tidak dapat terurai akan terbawa aliran air dan masuk ke dalam
Gambar 2. Perkebunan Jeruk di Brastagi Sumatera Utara
sistem biota air (kehidupan air).
Konsentrasi pestisida yang tinggi dalam air dapat membunuh organisme air diantaranya ikan dan udang. Sementara dalam kadar rendah dapat meracuni organisme kecil seperti plankton. Bila plankton ini termakan oleh ikan maka ia akan terakumulasi dalam tubuh ikan. Tentu saja akan sangat berbahaya bila ikan tersebut termakan oleh burung-burung atau manusia. Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah turunnya populasi burung pelikan coklat dan burung kasa dari daerah Artika sampai
daerah Antartika. Setelah diteliti
ternyata burung-burung tersebut banyak yang tercemar oleh pestisida organiklor yang menjadi penyebab rusaknya dinding telur burung itu sehingga gagal ketika dierami. Bila dibiarkan terus tentu saja perkembangbiakan burung itu akan terhenti, dan akhirnya jenis burung itu
akan punah. (http://kimia.upi.edu/
utama/bahanajar/kuliah_web/2009/06 0914/Efekpenggunaanpestisida.html) Dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup adalah:
1. Sifat apolar DDT: tidak larut dalam
air tapi sangat larut dalam lemak. Makin larut suatu insektisida dalam lemak (semakin lipofilik) semakin tinggi sifat apolarnya. Hal ini
merupakan salah satu faktor
- 19
2. Sifat DDT yang sangat stabil dan
persisten. Ia sukar terurai sehingga
cenderung bertahan dalam
lingkungan hidup, masuk rantai
makanan (foodchain) melalui bahan
lemak jaringan mahluk hidup. Itu
sebabnya DDT bersifat
bioakumulatif dan biomagnifikatif. Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di dalam tanah; bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel tanah.
Dalam ilmu lingkungan DDT termasuk dalam urutan ke 3 dari polutan organik
yang persisten (Persistent Organic
Pollutants, POPs), yang memiliki sifat-sifat berikut:
tidak terdegradasi melalui fotolisis, biologis maupun secara kimia, berhalogen (biasanya klor),
daya larut dalam air sangat rendah, sangat larut dalam lemak,
semivolatile,
di udara dapat dipindahkan oleh angin melalui jarak jauh,
bioakumulatif,
biomagnifikatif (toksisitas meningkat sepanjang rantai makanan)
Di Amerika Serikat, DDT masih terdapat dalam tanah, air dan udara: kandungan DDT dalam tanah berkisar sekitar 0,18 sampai 5,86 ppm, sedangkan sampel udara menunjukkan kandungan DDT 0,00001 sampai 1,56
µg/m3 udara, dan di perairan (danau)
kandungan DDT dan DDE pada taraf 0,001 µg/L. Gejala keracunan akut pada manusia adalah paraestesia, tremor, sakit kepala, keletihan dan muntah. Efek keracunan kronis DDT adalah kerusakan sel-sel hati, ginjal, sistem saraf, system imunitas dan sistem reproduksi. Efek keracunan kronis pada unggas sangat jelas antara lain terjadinya penipisan cangkang telur dan demaskulinisasi.
Sejak tidak digunakan lagi (1973) kandungan DDT dalam tanaman semakin
menurun. Pada tahun 1981 rata-rata DDT dalam bahan makanan yang termakan oleh manusia adalah 32-6 mg/kg/hari, terbanyak dari umbi-umbian dan dedaunan. DDT ditemukan juga dalam daging, ikan dan unggas (Nugraha. 2007).
Gambar 3. Penyemprotan bahan aktif cair pestisida di perkebunan
Walaupun di negara-negara maju (khususnya di Amerika Utara dan Eropa Barat) penggunaan DDT telah dilarang, di negara-negara berkembang terutama India, RRC dan negara-negara Afrika dan Amerika Selatan, DDT masih digunakan. Banyak negara telah mela-rang penggunaan DDT kecuali dalam keadaan darurat terutama jika muncul wabah penyakit seperti malaria, demam berdarah dsb. Departeman Pertanian RI telah melarang penggunaan DDT di bidang pertanian sedangkan larangan penggunaan DDT di bidang kesehatan dilakukan pada tahun 1995. Komisi Pestisida RI juga sudah tidak memberi perijinan bagi pengunaan pestisida
golongan hidrokarbon berklor
(chlorinated hydrocarbons) atau organoklorin (golongan insektisida di mana DDT termasuk) (KLH, 2004).
Permasalahan sekarang
Walaupun menurut undang-undang telah dilarang, namun disinyalir DDT masih
digunakan secara gelap karena
keefektifannya dalam membunuh hama serangga. Demikian pula, banyaknya DDT yang masih tersimpan yang perlu
dibinasakan tanpa membahayakan
- 20
pada umumnya merupakan
permasalahan bagi kita. Sebenarnya, bukan saja DDT yang memiliki daya
Gambar 4. Berbagai macam pupuk petisida yang dijual saat ini
racun serta persistensi yang demikian lamanya dapat bertahan di lingkungan hidup. Racun-racun POPs lainnya yang juga perlu diwaspadai karena mungkin saja terdapat di tanah, udara maupun
perairan di sekitar kita seperti aldrin,
chlordane, dieldrin, endrin, heptachlor, hexachlorobenzene, mirex, toxaphene, PCB (polychlorinated
biphenyls), dioxins dan furans (
KLH-UNIDO, 2003).
Untuk mengeliminasi bahan racun
biasanya berbagai cara dapat
digunakan seperti secara termal, biologis
atau kimia-fisik. Untuk Indonesia
dipertimbangkan dapat mengadopsi cara stabilisasi/fiksasi karena dengan cara termal seperti insinerasi memerlukan
biaya sangat tinggi. Prinsip
stabilisasi/fiksasi adalah membuat racun
tidak aktif/ imobilisasi dengan
enkapsulasi mikro dan makro sehingga DDT menjadi berkurang daya larutnya. Namun permasalahan tetap masih ada karena DDT yang telah di-imobilisasi ini
masih harus “dibuang” sebagai landfill di
tempat yang “aman”. Namun dengan
cara ini potensi racun DDT masih tetap bertahan untuk waktu yang lama.
Daftar Pustaka:
Anonim. 1984. Pestisida Untuk Pertanian
dan Kehutanan. Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan.
Direktorat Jenderal Pertanian
Tanaman pangan. Jakarta. 1984
Feng, K; Yu, B.Y.; Wang, X.L.; Ge, D.M.; Wang, X.Z.; Wong, M.H.; Cao, Z.H.
2003. Distribution of Organochlorine
Pesticides (DDT and HCH) Between Plant and Soil System. Environmental Geochemistry and Health 26, pages
253–258
http://kimia.upi.edu/utama/bahanajar /kuliah_web/2009/060914/Efek penggunaanpestisida.html)
KLH-UNIDO, 2003. The Second Interim
Report. Enabling Activities to
Facilities Early Action on The Implementation of the Stockholm Convention on POPs in Indonesia Kementerian Lingkungan Hidup, 2004.
Naskah Akademik untuk Ratifikasi Konvensi Stockhlom
Nugraha. 2007. Evaluasi Penggunaan
Insektisida Organoklorin di Persawahan di Pantai Utara Jawa
Noegrohati S, Sardjoko, Untung K, Hammers WE. 1992. Impact of DDT Spraying On The Residue Levels In Soil, Chicken, Fishpond Water, Carp And Human Milk Samples From Malaria Infested Villages in Jawa
Tengah. Toxicol Environ. Chem.
34:237-251
Sumatra, M. 1984. Residu insektisida klor-organik dalam air susu ibu. Tesis
Fakultas Pascasarjana Jakarta:
Universitas Indonesia
Soemirat, Juli. 2005. Toksikologi
Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Toto Himawan. 1999. Resistensi
serangga hama terhadap insektisida dan upaya penanggulangannya. Perhimpunan Entomologi Indonesia cabang Malang. 1999.
Ware, G.W. 1983. Pesticide, Theory and
- 21
F
ajar Setiawan (Puslit Limnologi-LIPI) bersama tiga peneliti dari Puslit Geoteknologi-LIPI telah menghadiri The3rd ASIAHORCs Joint Symposium, pada
tanggal 24-27 Oktober 2011 di Beijing,
China. Asian Heads of Research Councils,
disingkat ASIAHORCs adalah sebuah jejaring yang dibentuk oleh lembaga penelitian di kawasan asia. ASIAHORCs
menyediakan platform bagi para kepala
lembaga penelitian dan lembaga
promosi untuk bertemu secara berkala
untuk mendiskusikan cara-cara
mempromosikan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuan jangka panjang berupa
memajukan penelitian ilmiah demi
kepentingan bersama serta mendorong generasi muda ilmuwan di kawasan Asia. Keanggotaan ASIAHORCs terdiri dari
dewan penelitian dan lembaga
pendanaan dari sepuluh negara yaitu Cina, Jepang, Korea, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam.
Sejak tahun 2007, ASIAHORCs telah menyelenggarakan empat pertemuan dan dua simposium bersama. Simposium bersam ASIAHORCs yang pertama diselenggarakan oleh JSPS pada bulan Juli 2009 di Nagoya, Jepang. Tema pada simposium bersama ini adalah
“Asian Biodiversity: Characteristics, Conservation and Sustainable Use”.
Simposium bersama ASIAHORCs yang ke-2 diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia pada bulan November dengan
tema: “Natural Disaster Management:
Lessons Learnt and Shared Best Practices”.
Simposium bersama ASIAHORCs yang
ke-3 di selenggarakan oleh National
Natural Science Foundation of China (NSFC) pada 24-27 Oktober 2011 di
Beijing, China dengan tema “Global
Change in Asia: A Perspective of Land Use
Change”. Simposium ini menyediakan
platform bagi para ahli dari Cina danAsia serta para peneliti untuk
membicarakan isu yang berkaitan
dengan perubahan global seperti
perubahan iklim, siklus karbon,
penggunaan lahandan perubahan
tutupan lahan, urbanisasi, penggundulan
hutan, reboisasi, REDD (Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries),
danekosistem di Asia.
Delegasi dari Indonesia adalah : 1).
Dr. Heru Santoso yang
mempresentasikan makalah dengan
judul: “Framing Spatial Planning Problems
in Indonesia”. 2) Dr. Adrin Tohari dengan
judul: “Impact of Climate Change on
Lanslide Susceptibility in Bogor District, West Java”. 3) Dr. Racmat Fajar Lubis
dengan judul: “Urbanization and
Subsurface Environment Changes in Indonesia Big Cities”. 4) Fajar Setiawan
dengan judul: “Study of Urbanization and
Settlement Growth Linked with Clean Water Services in Jabodetabek”. Delegasi
lainnya membicarakan tentang
perubahan simpanan karbon, iklim, kondisi hidrologi DAS, ekosistem, hutan, biosfir, teknologi hijau, tanah-pertanian sampai dampak perubahan terhadap
turisme. Remote sensing, GIS and
pemodelan merupakan pendekatan
yang mengemuka untuk mengkaji
perubahan global di kawasan Asia. Salah satu pembicara kunci Prof. Joon Kim dari Korea, menekankan karakteristik lingkungan di asia berbeda dengan di negara barat yang notabene
menjadi acuan ilmu pengetahuan,
sehingga diharapkan peneliti di negara-negara Asia bisa saling berkomunikasi untuk mengembangkan sendiri metode,
model maupun pendekatan serta
pemahaman terhadap lingkungan
berdasarkan ilmu pengetahuan, ala Asia
tentunya.
- 22
M
eti Yulianti (Puslit Limnologi-LIPI)telah mengikuti 21st IHP Training Course
in 2011, Introduction to River Basin Environment Assessment under Climate
Change pada tanggal 28 November – 9
December 2011, di Kyoto- Japan. Evaluasi numerik berdasarkan model akurat yang dapat mengekspresikan reaksi alami merupakan suatu hal yang penting. Untuk mensimulasikan lingkungan daerah tangkapan air terkait dengan perubahan iklim masa lalu, sekarang dan masa depan, kita memerlukan suatu model yang tak terbantahkan dan
terpadu yang menggabungkan
beberapa proses eko-hidrologi/eko-hidrolik dan hidrokimia menjadi sesuatu
yang bersifat hidrologis/
hidrometereologis. Kita harus segera mempertimbangkan dampak total dari perubahan iklim terhadap lingkungan untuk melakukan pengelolaan daerah tangkapan air secara tepat. Dampak total perubahan iklim ini cukup sulit untuk dipahami karena sistem aktual dari lingkungan daerah tangkapan air terlalu rumit untuk dibangun dalam suatu model yang akurat yang mencakup reaksi atau proses hidrologi, lingkungan dan ekologi.
Bagaimanapun juga kita bisa
mensimulasikan komponen individu suatu model sebagai sistem numerik. Simulasi numerik menggunakan model yang sesuai untuk hidrologi, kondisi lingkungan dan ekologi di bawah kondisi perubahan iklim merupakan suatu pendekatan yang kuat, berguna dan bermanfaat untuk memahami ditribusi spasial temporal dari sumber daya air, penilaian lingkungan
dan biomassa. Atas dasar latar
belakang itulah pada kegiatan IHP Training Course ke 21 ini mengambil
tema “Introduction to River Basin
Environment Assessment under Climate Change” .
Kursus ini difokuskan pada tiga tujuan utama:
1. untuk memperoleh pengetahuan
terbaru pada penilaian hidrologi dan lingkungan di bawah pengaruh
perubahan iklim pada skala daerah tangkapan air di wilayah Asia-Pasifik,
2. latihan memanfaatkan simulasi
penilaian lingkungan daerah
tangkapan air dan
3. untuk membahas kemungkinan
menerapkan penilaian lingkungan daerah tangkapan air ke beberapa
pengelolaan hidrologi dan
lingkungan.
Materi yang disampaikan terdiri dari kuliah mengenai hidrologi dan
lingkungan seperti Basin-scaled
Hydrological Processes, A simple model for evaporation from bare or water body, Basin scale runoff, Basin-scaled groundwater processes, Case study of basin wide environmental quality assessment based on the distributed runoff model, dan Habitat structure assessment for riverbed management under climate change. Selain itu diberikan juga praktek
mengenai Runoff processes: Integrated
hydrological model for river basin environment and ecosystem assessment, Numerical exercise of groundwater flow with moving boundaries in two dimensions
dan Measurement of hyphoreic habitat conditions of gravel bar for aquatic animals.
Pada hari ke-5 kursus dilakukan kunjungan ke Museum Danau Biwa dan Bendungan Amagase. Kunjungan ini
memberikan gambaran singkat
mengenai bagaimana Jepang
menerapkan konsep “Comprehensive