Wilfridus B. Elu, M.Si., Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono
engertian, Tingkatan, dan Dimensi Budaya Pembelajaran
Secara umum, budaya pembelajaran organisasi merujuk pada
pandangan hidup kolektif dalam organisasi atau
collective mental
programming
yang berkembang dalam suatu organisasi pembelajar
(learning organization)
atau suatu komunitas pembelajar. Menurut Ryan
(Chawla & Renesch, 1995: 290), komunitas-komunitas pembelajar
merupakan tempat dimana relasi-relasi selalu dibina dengan baik;
keterbukaan dan keragaman
(diversity)
dihargai; rasa ingin tahu menjadi
supremasi; eksperimentasi menjadi kebiasaan; dan terdapat ketekunan
dalam menemukan jawaban atas permasalahan-permasalahan. Dalam
organisasi semacam ini, orang-orang senantiasa berkomunikasi secara jujur
dan terbuka; saling menghormati dan menghargai; memberikan penilaian
tetapi juga mencari umpan balik; tertantang untuk selalu mengenakan cara
pandang baru; mengajak pada pendekatan sistem yang menyeluruh; dan
bebas menampakkan diri sendiri apa adanya, tanpa topeng.
Menurut Marquardt & Reynolds (1994:31), budaya pembelajaran
organisasi adalah budaya yang menghargai pembelajaran, mendorong dan
memberi kompensasi atas pengambilan resiko, dan budaya dimana semua
bertanggung jawab atas pembelajaran sendiri maupun pembelajaran dari
pihak-pihak lain. Lebih jauh, Lundberg (1996:500) mendeskripsikan budaya
organisasi yang menghargai pembelajaran sebagai berikut.
aspects of internal managing. Its manifest components, that is, its
stories, norms, rituals, and so forth, would reflect and support
continuous surfacing and examining. A culture that valued learning
would have learns how to learn, that is the organization and its
members would have learned that surfacing and examining leads to
learning.”
Budaya organisasi itu sendiri menurut Schein (1985; 1992:12)
diartikan sebagai:
“… a pattern of shared basic assumptions that the group learned as
it solved its problems of external adaptation and internal integration,
that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to
be taught to new members as the correct way to perceive, think, and
feel in relation to those problems”.
Rumusan yang sama dikemukakan oleh Denison (1990:2), yaitu
“…
the underlying values, beliefs, and principles that serve as foundation for an
organization’s management system as well as the set of management
practices and behaviors that both exemplify and reinforce those basic
principles.”
Dengan kata lain, budaya organisasi merujuk pada pandangan
hidup (
the way of life)
dalam suatu organisasi. (Hatch, 1997:204). Budaya
organisasi dibentuk dan dipertahankan secara sengaja sebagai pegangan
karena terbukti atau diyakini dapat memelihara identitas organisasi dan
keberhasilan organisasi dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Hofstede (2001:391) menekankan budaya organisasi sebagai “
the
collective programming of the mind”
yang membedakan
organisasi-organisasi. Sebagai
collective level of mental programming,
budaya
organisasi dibedakan dari
individual level of mental programming
maupun
universal level of mental programming
(Hofstede, 2001:2-3).
Penekanan atas peran budaya organisasi sebagai wahana
mempersatukan (mengkoordinasikan) orang-orang dalam organisasi melalui
kesamaan paradigma dan praktek organisasional dikemukakan juga oleh
Caren Siehl & Joanne Martin (Hatch, 1997) sebagai berikut:
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa
budaya pembelajaran organisasi berkaitan dengan pandangan hidup dalam
organisasi berupa asumsi-asumsi dasar atau keyakinan-keyakinan, nilai-nilai
atau sikap-sikap, dan simbol-simbol atau artefak-artefak —mencakup juga
sistem-sistem dan praktek-praktek manajerial— yang menghargai
pembelajaran dan perubahan. Asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, dan
artefak-artefak ini sangat diperlukan untuk menjamin integrasi organisasi kedalam
dan kapabilitas organisasi dalam berinteraksi dengan lingkungan eksternal.
Perspektif budaya organisasi dan perspektif iklim organisasi
(
organizational environment
atau
organizational climate)
sebenarnya
menunjuk pada substansi yang sama. Akan tetapi, terdapat perbedaan
metodologi (dan epistemologi). Perspektif iklim organisasi memfokuskan diri
pada upaya memahami ciri-ciri
dari keadaan atau latar (
settings)
organisasi
yang spesifik dengan memperhatikan dimensi-dimensi dan prinsip-prinsip
universal. Sedangkan perspektif budaya mencoba menjangkau substansi
yang sama melalui penelusuran terhadap pemahaman-pemahaman
anggota organisasi terhadap keyakinan dasar organisasi, nilai-nilai, dan
artefak-artefaknya.
Konsep iklim organisasi populer pada dekade 1960-an hingga
1970-an d1970-an digunak1970-an secara berg1970-anti1970-an deng1970-an budaya org1970-anisasi. Evolusi
perspektif iklim organisasi mengikuti berbagai pola, tetapi tetap berakar pada
studi-studi tentang iklim-iklim sosial (Lewin, 1951; Lewin
et al.,
1939) dan
observasi kualitatif atas
setting
alamiah dari organisasi (Barker, 1965; Likert,
1961). Kajian-kajian dalam studi organisasi tentang iklim organisasi memusat
pada pandangan Tagiuri & Litwin (1968) dan Litwin & Stringer (1968).
Dikutip oleh Denison (1990c), Tagiuri & Litwin mendefinisikan iklim
organisasi sebagai “kualitas lingkungan organisasi secara keseluruhan yang
relatif tahan lama yang (a) dialami oleh anggota-anggota organisasi, (b)
mempengaruhi perilaku mereka, dan (c) dapat dideskripsikan dalam bentuk
nilai-nilai mengenai kumpulan karakteristik (atau atribut-atribut) khusus dari
Akan tetapi, perbedaan disiplin utama yang dirujuk--iklim organisasi
merujuk pada psikologi sosial, sedangkan budaya organisasi pada
antropologi—menimbulkan perbedaan metode-metode kajian di antara
keduanya. Iklim organisasi juga lebih memperhatikan motivasi dan perilaku
individu, sedangkan budaya organisasi menaruh perhatian utama pada level
organisasi secara keseluruhan. Lagi pula, iklim organisasi bernuansa
evaluatif —iklim yang sehat vs iklim tidak sehat— dan sering tumpang tindih
dengan kepuasan, sedangkan budaya organisasi menerima perbedaan di
antara organisasi-organisasi tanpa berpretensi menunjukkan budaya yang
secara obyektif lebih baik. Lebih dari itu, iklim organisasi ada kalanya hanya
menyangkut aspek tertentu, misalnya iklim komunikasi, atau hanyalah satu
bagian dari budaya organisasi. (Hofstede, 2001:392).
Perspektif budaya organisasi memusatkan perhatian terhadap
nilai-nilai dasar, keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi yang hidup dalam
organisasi, pola-pola perilaku yang berasal dari
shared meanings
, dan
simbol-simbol yang mengekspresikan hubungan-hubungan antara
asumsi-asumsi, nilai-nilai dan perilaku dari anggota-anggota orgnisasi (Denison,
1990:27). Kajian teoretis untuk membangun budaya pembelajaran
komprehensif lebih cenderung pada perspektif budaya pembelajaran
organisasi. Hal ini dilakukan untuk memahami bagaimana anggota-anggota
organisasi mengenakan asumsi-asumsi, nilai-nilai, dan simbol-simbol yang
mendukung pembelajaran terhadap sistem sosial dimana mereka
bergabung.
Merujuk pembagian lapisan budaya dari Schein, budaya
pembelajaran organisasi dapat juga dipahami pada tiga tingkatan, yaitu (1)
lapisan paling dalam berupa asumsi-asumsi dasar (
beliefs
); (2) nilai-nilai,
sikap-sikap atau norma-norma; dan (3) artefak-artefak atau simbol-simbol
pada lapisan paling luar. (Lihat, Bagan 1).
Lapisan paling bawah mendasari dan menopang lapisan kedua dan
ketiga. Nilai-nilai organisasi biasanya konsisten dengan dan mencerminkan
organisasi konsisten dan merefleksikan nilai-nilai organisasi. Pengaruh
sebaliknya pun dapat terjadi, yaitu adanya pengaruh dari lapisan paling luar
terhadap nilai-nilai. Selanjutnya, nilai-nilai mempengaruhi
keyakinan-keyakinan. Akan tetapi, hal yang terakhir ini hanya terjadi jika nilai-nilai
benar-benar baru teruji. Keyakinan baru yang terbentuk kemudian diterima
sebagai “kebenaran” dan menjadi pembimbing perilaku tanpa keraguan.
Bagan 1: Tiga Tingkatan Budaya (Pembelajaran) Organisasi
Denison (1990:32-33) mengemukakan bahwa asumsi-asumsi dasar
adalah “
tacit beliefs”
dari anggota-anggota organisasi mengenai diri mereka
dan orang-orang lain, hubungan-hubungan mereka dengan orang-orang lain,
dan sifat dasar (
nature
) organisasi dimana mereka hidup. Asumsi merupakan
tiang penyokong yang tak disadari terhadap nilai-nilai, perspektif, dan artefak
dari organisasi. Asumsi merupakan aksioma implisit dan abstrak yang
mempengaruhi sistem budaya yang lebih eksplisit. Sedangkan nilai adalah
dasar penilaian yang digunakan anggota-anggota organisasi dalam menilai
situasi, tindakan, obyek atau orang-orang. Nilai mencerminkan
sasaran-sasaran riil, cita-cita, standar, “dosa-dosa” organisasi dan menunjukkan
preferensi organisasi di dalam memecahkan permasalahan.
Visible organizational structures and processes
Strategies, goals, philosophies (espoused justifications)
Unconscious, taken-for-granted beliefs, thoughts, feelings. Espoused Values
Artifacts
Artefak adalah lapisan budaya yang paling luar, aspek budaya
organisasi yang sifatnya
tangible.
Aspek ini dapat berbentuk verbal, perilaku,
atau artefak fisik (Denison, 1990:32-33, Hatch, 1997:216). Manifestasi verbal
termasuk cerita-cerita, bahasa, pahlawan, penjahat, metafor, dan
mitos-mitos.
Manifestasi perilaku meliputi upacara-upacara, pola-pola komunikasi,
tradisi atau kebiasaan-kebiasaan, dan ganjaran atau hukuman. Sedangkan
manifestai fisik mencakup logo perusahaan, bangunan, pakaian atau
penampilan orang, obyek material dan tata letak fisik. Artefak yang sama
dapat dimaknai secara berbeda-beda. Dengan begitu, budaya organisasi
memiliki dua sisi bertentangan sekaligus: kebersamaan dan keterpisahan
(keragaman) pemaknaan. Pada umumnya, pihak manajemen dalam
organisasi lebih mudah mengendalikan sisi fisik dan desain dari
artefak-artefak ketimbang sisi pemaknaan dari budaya organisasi.
Analisis untuk menemukan hubungan yang konsisten antara ketiga
lapisan budaya (pembelajaran) organisasi merupakan hal yang penting
dalam memahami hakikat budaya (pembelajaran) organisasi. Hal ini
memerlukan kehati-hatian. Artefak yang sama dapat dimaknai atau berasal
dari nilai serta keyakinan yang berbeda. Sebaliknya, keyakinan dan nilai
yang sama bisa diwujudkan melalui simbol yang berbeda. Tidak begitu
mudah bagi setiap orang untuk memahami nilai dan asumsi dasar dari suatu
organisasi hanya dari memahami artefak-artefaknya secara sepintas saja.
Suatu budaya yang konsisten antara ketiga lapisannya, secara
teoritis memiliki daya pengaruh yang lebih tinggi terhadap praktek-praktek
organisasi, tanpa mempersoalkan arahnya, positif (mendukung,
membangun, menciptakan), atau negatif (menghambat, merusak,
menghancurkan). Dalam terminologi Argyris, bapak pembelajaran
organisasi, dalam hal ini terdapat konsistensi antara
theories-in-use
dan
espoused theories.
Budaya pembelajaran dapat juga dipahami dari dimensi-dimensinya.
pada pendekatan Denison. Menurut Denison (1990:1), pengembangan
budaya organisasi pada umumnya menggunakan dua dimensi sebagai titik
rujukan.
Pertama,
fokus utama pengembangan budaya (berfokus terhadap
pengembangan dinamika internal organisasi atau terhadap dinamika
lingkungan eksternal organisasi).
Kedua,
pandangan mengenai perubahan
(menekankan perubahan dan fleksibilitas, atau stabilitas dan keteraturan).
Dengan demikian, terdapat empat dimensi budaya organisasi, yaitu
keterlibatan (
involvement)
, konsistensi (
consistency),
kemampuan
beradaptasi (
adaptability),
dan misi (
mission
). (Lihat, Bagan 2).
Adaptability Mission
Involvement Consistency
Bagan 2: Dimensi-dimensi Budaya (Pembelajaran) Organisasi
Menurut Denison (1990), siklus penyesuaian dengan perubahan
lingkungan dikembangkan melalui konsensus-konsensus tentang misi dan
strategi, sasaran, sarana pencapaian tujuan, pengukuran, dan tindakan
korektif yang diterima bersama. Sedangkan proses integrasi internal
ditempuh dengan (1) menyamakan bahasa dan kategorisasi; (2) menetapkan
batasan dan kriteria kelompok atau keanggotaan; (3) distribusi kekuasaan
dan status untuk mengelola perasaan agresi; (4) mengembangkan
norma-norma tentang intimasi, persahabatan dan cinta dalam rangka mengelola
perasaan-perasaan afeksi dan cinta; (5) menetapkan dan mengalokasikan
ExternalFocus
Internal Focus
Change and flexibility
rewards and punishments
; dan (6) memberikan penjelasan atas hal-hal
tak-terjelaskan dan melampaui pengendalian organisasi melalui ideologi
organisasi, agar memudahkan pemaknaan anggota dalam memperoleh
rasa aman dan kepastian.
Dimensi-dimensi di atas menunjukkan bahwa budaya organisasi
berkepentingan dengan upaya menjaga eksistensi dan keberhasilan
organisasi dengan menyeimbangkan tuntutan akan penyesuaian yang cocok
dengan lingkungan eksternal yang sekaligus didukung oleh dan dalam
rangka memelihara integrasi internal organisasi. Prinsip keseimbangan juga
dianut dalam mengelola kebutuhan akan perubahan di satu sisi, dan
keteraturan atau prediktabilitas di sisi lain. Organisasi yang gagal cenderung
terlampau menekankan salah satu dan mengabaikan yang lainnya. Misalnya
saja, organisasi terlalu mempertahankan aturan-aturan sehingga mengalami
status quo dan otoritarianisme, dan gagal melakukan perubahan.
Sebaliknya, organisasi yang terlalu menekankan perubahan dan kebebasan
(demokrasi) tanpa memberi perhatian semestinya atas tatanan-tatanan —
minimal bagi integrasi internal-- dapat menjerumukan diri dalam situasi
anarkis atau anomali. Kegagalan juga dapat terjadi ketika organisasi terlalu
berfokus pada keadaan internal, sehingga lalai atau tidak memadai dalam
mempertahankan eksistensinya pada orbitnya. Kecenderungan lainnya,
perusahaan terlalu berfokus pada kepentingan eksternal tanpa dukungan
koherensi atau integrasi internal. Dalam situasi terakhir ini, perusahaan tidak
cukup memiliki energi kolektif dan terpadu yang dibutuhkan dalam
menyambut perubahan-perubahan dan melayaninya secara unggul. Jadi,
model ini memberikan wawasan tentang pentingnya pengembangan budaya
(pembelajaran) organisasi yang terpadu, selaras, seimbang, dan memadai.
Mengacu tingkatan budaya organisasi dari Schein dan dimensi
budaya organisasi dari Denison, maka dapat dikemukakan bahwa budaya
pembelajaran organisasi, secara teoritis, paling efektif dalam mendukung
efektivitas dan kinerja organisasi, jika keempat dimensinya dikembangkan
mulai dari asumsi dasar organisasi hingga artefak. Dengan kata lain,
pengembangan budaya pembelajaran dilakukan dengan memberikan
perhatian terhadap keseimbangan dan keselarasan kepentingan fokus
internal versus fokus eksternal, dan keseimbangan antara kepentingan
stabilitas versus fleksibilitas, yang selaras juga di antara ketiga level budaya
pembelajaran organisasi.
Model Budaya Pembelajaran Komperehensif
Model komperhensif dari budaya pembelajaran organisasi yang
diajukan di sini mengaitkan tingkatan pembelajaran, budaya organisasi,
perilaku organisasi mengenai perubahan, dan dimensi-dimensi budaya
pembelajaran organisasi. Setiap dimensi budaya pembelajaran
dikembangkan hingga mencapai tataran
treble loop
learning,
menjangkau
asumsi-asumsi dasar atau
beliefs
organisasi dalam suatu keselarasan di
antara tiga lapisan budaya organisasi, serta mengandaikan pengembangan
perilaku memadai dari organisasi. Keseluruhan budaya pembelajaran
merupakan suatu bauran
(mixture)
yang memadai bagi setiap organisasi,
meskipun dapat ditemukan adanya suatu kisaran yang dihuni secara umum
oleh himpunan (
cluster
) organisasi dalam lingkungan, habitat, atau tingkat
kemajuan yang relatif sama.
Keterkaitan antara tingkatan pembelajaran dengan budaya
organisasi dan perilaku organisasi terutama bersumber pada model dari
Borzsony dan Hunter (1996). Klasifikasi dimensi-dimensi budaya
pembelajaran terutama mengacu pada Denison (1990). Model komprehensif
digambarkan pada Bagan 3.
Borzsoni dan Hunter menunjukan adanya hubungan antara budaya,
perilaku organisasi, dan tingkatan pembelajaran.
Single-loop learning
berkaitan dengan lapisan symbol atau artefak organisasi dan perilaku
“
allowed to learn/ change.”
Pembelajaran pada tataran
double loop-learning
berkenaan dengan sikap (
attitudes
) atau nilai-nilai (
values
) dari budaya
Sedangkan
triple-loop learning
berkenaan dengan lapisan terdalam dari
budaya organisasi berupa keyakinan-keyakinan, dan perilaku “
willing to
learn/ change.”
Secara teoritis,
learning organization
akan semakin
meningkat kapabilitas kolektifnya, jika budaya pembelajaran dikembangkan
hingga pada level yang terdalam, yaitu menyentuh asumsi-asumsi dasar
atau
beliefs
dari organisasi.
Bagan 3: Model Budaya Pembelajaran Komperhensif
Jadi, budaya pembelajaran organisasi dapat ditelusur pada empat
dimensi, yaitu (1) penekanan akan keterlibatan karyawan individual dalam
pembelajaran organisasi dan adanya fleksibilitas (
involvement)
; (2) perhatian
akan konsistensi dalam organisasi dan penekanan akan stabilitas
(
consistency)
; (3) penekanan akan pentingnya lingkungan eksternal sebagai
fokus pembelajaran dan penekanan akan perubahan dan fleksibilitas
(
adaptability
); dan (4) penekanan akan keberhasilan organisasi (
mission
) dan
stabilitas atau keteraturan sebagai titik rujukan pembelajaran organisasi.
Culture: Symbols Attitudes Beliefs
Learning: Triple-loop learning Double-loop learning
Single-loop learning
Adaptability Mission
Involvement consistency
Behavior: Allowed to learn/change
Able to learn/change Willing to learn/change
External
Change and flexibility Internal
Secara teoretis, setiap dimensi mestinya dikembangkan sampai level
treble
loop learning
.
Berikut ini uraian lebih rinci dari masing-masing dimensi budaya
pembelajaran organisasi. Pengembangan ini dilakukan berdasarkan
penelusuran atas berbagai pandangan mengenai budaya pembelajaran yang
tersedia pada berbagai kepustakaan.
1. Dimensi Keterlibatan (
Involvement
)
Gagasan pokok dari hipotesis keterlibatan adalah budaya organisasi
yang efektif menekankan prinsip-prinsip keterlibatan (
involvement
),
partisipasi, dan keterpaduan dari kepentingan-kepentingan individu dengan
kepentingan-kepentingan organisasi (Denison, 1990:5-8; Denison & Mishra,
1995:213-214). Dengan begitu akan tercipta rasa kepemilikan dan tanggung
jawab, sehingga komitmen terhadap organisasi akan meningkat. Untuk itu,
dibutuhkan lebih sedikit sistem pengendalian (eksplisit) yang ketat, atau
terjadi peningkatan kapasitas bertindak secara otonom.
Budaya organisasi dengan penekanan akan keterlibatan yang tinggi
memandang setiap karyawan sebagai manajer yang bertanggung jawab atas
aset-aset perusahaan. Lagi pula, “
self-management”
ini berarti bahwa setiap
pribadi bertanggung jawab untuk mengatur diri sendiri. Pada tatanan sistem,
perusahaan menerapkan pelibatan karyawan dalam kepemilikan dan
keberhasilan perusahaan, misalnya menerapkan
Employee Share
Ownership Program
(ESOP) dan/ atau “
profit sharing
.”
Penekanan keterlibatan mengandaikan keberhasilan pembelajaran
organisasi sebagai resultante dari keterlibatan, partisipasi, dan keterpaduan
kepentingan dari individu-individu dengan kepentingan organisasi dalam
melakukan atau mendukung pembelajaran diri sendiri dan pembelajaran dari
pihak-pihak lain. Dengan demikian, karyawan akan memiliki rasa memiliki
dan komitmen terhadap pembelajaran organisasi. Dari segi organisasi, hal ini
management”
dan juga mengaitkan pengupahan, pengakuan, dan promosi
dengan pembelajaran.
Asumsi-asumsi dasar dari budaya pembelajaran ini berupa
keyakinan mengenai posisi khas masing-masing individu dan kolaborasi
dalam proses pembelajaran organisasi. Yaitu, adanya suatu keyakinan dasar
yang hidup dalam organisasi bahwa “setiap orang memiliki bakat-bakat yang
unik dan berbeda-beda yang dapat disumbangkan bagi organisasi.” (Fearon,
1996:3). Diyakini bahwa pembelajaran adalah suatu proses alamiah, dan
kebanyakan orang, sebagai individu, sangat terampil secara alamiah.
Kapasitas untuk pembelajaran substantif diyakini telah ada dalam diri
kebanyakan orang. Manusia pada dasarnya adalah
good leaners
secara
alamiah, dan kecenderungan serta kapasitas pembelajaran ini dibawa-serta
dalam pekerjaan sehari-hari (Wise, 1996:144; Montgomery & Scalia,
1996:445). Bahkan, anggota-anggota organisasi meyakini arti penting dari
tanggung jawab individu terhadap pembelajaran. Suatu keyakinan bahwa
tanggung jawab atas pembelajaran harus dapat diterima oleh setiap
anggota, jika organisasi benar-benar berhasrat menciptakan suatu budaya
pembelajaran. (Hoffman & Withers, 1995:468-469; Marquardt & Reynolds,
1994). Asumsi ini sejalan dengan asumsi tentang kapasitas mengelola
diri-sendiri (Wood,1995) dan kompetensi (Handy,1995).
Sikap-sikap atau norma-norma dan nilai-nilai yang menonjol di sini
adalah adanya proses internal yang lebih demokratis. Yaitu, inklusi dan
partisipasi dipandang sebagai hal yang penting, meskipun membawa
konsekuensi berupa inkonsistensi, perselisihan atau konflik (Denison,
1990:110).
Learning Organization
(LO) yang efektif dipahami sebagai
komunitas pembelajaran yang demokratis.
Nilai-nilai yang dianut berkaitan dengan penghargaan atau respek
terhadap individu dan nilai-nilai kemanusiaan yang transendental: cinta
kasih, keingintahuan (
wonder
), belas kasihan (
compassion)
, dan kerendahan
Keempat nilai transendental di atas memungkinkan berkembang
luasnya nilai-nilai lain berupa kebebasan kreativitas (Pollard, 1996:70; Byrd,
1995:478-479);
trust
dan perlawanan atas ketakutan, bahkan sebaliknya
mendorong keterbukaan, kesediaan untuk menerima ambiguitas dan
perspektif yang berbeda (Vogt, 1995:302-303; Hoffman & Withers,
1995:469). Juga ada nilai egaliter dan sikap positif terhadap resiko atau
kesalahan, dimana kesalahan pada tingkat tertentu dibutuhkan bagi
kemajuan (Leonard-Barton, 1995; Marquardt & Reynaolds, 1994). Dalam
rumusan yang mirip, Handy (1995) mengemukakan penghargaan atas rasa
percaya (
trust
), keingintahuan (
curiosity),
dan juga
forgiveness-celebration.
Semuanya ini berangkat dari
kesadaran akan pentingnya penghargaan atas
upaya-upaya kreatif dari setiap individu dalam memajukan dinamika internal
organisasi dan kesediaan untuk memaafkan kesalahan-kesalahan dalam uji
coba yang dilaksanakan demi kemajuan individu dan organisasi.
Manifestasi perilaku dari dimensi ini, di antaranya berupa
non-judgmental conversations
(Vogt, 1995: 302-303); kebebasan mengemukakan
pandangan dan mencoba gagasan-gagasan yang tidak konvensional (Wise,
1996:44);
sharing
atau berbagi bahan bakar mengenai pembelajaran yang
efektif, informasi, perasaan-perasaan, kelemahan-kelemahan,
kesalahan-kesalahan dan kreativitas, serta tidak ada hukuman untuk kesalahan-kesalahan dalam
pembelajaran (Montgomery & Scalia, 1996:445); pengampunan atas hal-hal
yang telah terjadi (
forgive the past
), merasakan kesempurnaan dari setiap
kejadian, terbuka dan menyingkirkan tuduh-menuduh, serta kebebasan
bertindak (Pattakos, 1996:174). Selain itu, tersedia sumber daya (waktu dan
dana) bagi pembelajaran yang diprakarsai oleh individu dengan sistem
pengupahan atau pengakuan dan sistem pengembangan karier
(Leonard-Barton, 1995).
2. Dimensi
Consistency
Pandangan konsistensi menekankan budaya yang kuat dari
didasarkan pada nilai-nilai yang diinternalisasi, dari pada sistem-sistem
pengendalian eksternal yang mendasarkan diri pada pedoman-pedoman
(
rules)
dan aturan-aturan (
regulations
). Dengan kata lain, budaya yang kuat
menekankan sistem keyakinan, nilai-nilai, dan simbol yang dipahami secara
luas oleh anggota-anggota organisasi, atau rumusan kolektif (
collective
definition)
mengenai perilaku, sistem, dan makna (
meanings
) secara terpadu
yang menuntut kepatuhan individual (
individual conformity)
ketimbang
partisipasi sukarela (Denison & Mishra, 1995:214). Intinya, perspektif ini
menekankan konformitas atau
agreement
dan prediktabilitas.
Asumsi dasar dari budaya yang kuat adalah bahwa sistem
pengendalian implisit, yang didasarkan pada nilai-nilai yang diinternalisasi,
merupakan sarana yang efektif untuk mencapai integrasi atau konsistensi
normatif. Hal ini memungkinkan organisasi melakukan tindakan-tindakan
terkoordinasi yang dilandasi oleh kesamaan pemahaman di antara anggota
organisasi. Dengan demikian, organisasi dapat bereaksi terhadap
lingkungan secara cepat dan memadai, serta mampu melindungi sistem nilai
yang dianut (Denison, 1990:11; Denison & Mishra, 1995:215). Intinya,
dimensi ini menekankan kemampuan organisasi untuk memperoleh
konsensus dan menghasilkan tindakan-tindakan terkoordinasi.
Nilai yang lazim adalah penghargaan akan konsistensi, harmoni, dan
konsensus. Tingginya derajat integrasi normatif,
shared meanings,
dan
kerangka acuan yang sama akan meningkatkan kapasitas organisasi untuk
kegiatan-kegiatan terkoordinasi dan mendukung proses keputusan yang
lebih cepat (Denison, 1990:10). Meskipun begitu, penekanan akan
konsistensi secara berlebihan bisa menjadi faktor penghambat bagi
perubahan dan adaptasi organisasi (Denison & Mishra, 1995:215).
Hoffman dan Withers (1995:474) mengatakan, budaya yang
konsisten merupakan kebutuhan bagi pembelajaran dan penciptaan
learning
organization,
seperti berikut:
continuous, uncontrolled learning is a necessity for future success.
As leaders continue to focus on maintaining the strength of the
culture and making sure that it is consistent, the culture will allow
associates throughout the organization to learn at the rate of speed
necessary to move forward.”
Dimensi ini memiliki keyakinan dasar bahwa organisasi adalah suatu
komunitas pembelajaran. Nilai-nilai yang dianut meliputi keterpaduan,
keterkaitan, dan pengurangan hambatan-hambatan bagi pengembangan
pengetahuan (DeChant, 1996:113-114).
Montgomery dan Scalia (1996: 445) mengemukakan mengenai
adanya persaingan terkendali (
controlled competition),
dan penekanan akan
semangat kolaborasi. Para manajer berperan sebagai fasilitator yang
menyediakan sumber daya dan dukungan bagi pembelajaran melalui
penciptaan desain dan pemberian motivasi bagi karyawan agar mencapai
sasaran yang telah ditetapkan, meskipun mereka bukanlah “ahli” bagi
pembelajaran karyawan (Byrd, 1995:482-483).
Nilai
trust
pada dimensi ini didasarkan pada respek satu sama lain
dan keyakinan akan kompetensi pihak-pihak lain. Namun,
trust
ini juga
dilandasi oleh hasrat untuk melakukan hal yang benar. Berkembang juga
suatu keyakinan bahwa organisasi akan melindungi dan menghargai
mereka yang mematuhi kepentingan organisasi. Lagi pula, manajemen
selalu mengkomunikasikan dan bertindak cepat atas tindakan-tindakan
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri (Montgomery dan Scalia,
1996:459).
Pada tataran artefak, terdapat sejumlah ciri yang konsisten dengan
asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai pembelajaran yang menekankan
konsistensi. Hoffman dan Withers (1995:470-471) mengemukakan, kunci
bagi konsistensi adalah adanya
sharing
dari setiap pribadi mengenai
tanggung jawab terhadap kesehatan budaya perusahaan. Jika ada
trust
dan
semangat
teamwork
, maka
sharing
mengenai kesalahan-kesalahan dapat
pihak lain dalam organisasi
.
Rasa takut membuat kesalahan juga akan
berkurang. Semua kondisi ini dibutuhkan bagi pembelajaran dan perubahan.
Organisasi mungkin tidak hanya memiliki satu budaya pembelajaran
yang sama untuk keseluruhan organisasi. Organisasi mungkin memiliki
beberapa sub-budaya yang berbeda, misalnya pada tingkat divisi,
departemen, wilayah, tugas, bahkan pada level individu. Akan tetapi, di sini
terdapat konsistensi yang tinggi di antara subbudaya. Konsistensi juga terjadi
di antara sub-budaya dengan budaya pembelajaraan organisasi yang
“memayungi” secara keseluruhan. (Lundberg, 1996:495).
Sebagaimana dikemukakan di atas, jika para manajer terus-menerus
memusatkan perhatian pada upaya mempertahankan kuatnya budaya dan
menjamin konsistensi budaya pembelajaran, niscaya budaya pembelajaran
organisasi akan membuat seluruh lapisan organisasi belajar pada tingkat
kecepatan yang dibutuhkan bagi kemampuan berkelanjutan (Hoffman &
Withers, 1995:474). Satu elemen penting untuk itu adalah meluasnya
tanggung jawab atas pembelajaran diri sendiri maupun pihak lain
sebagaimana dikemukakan oleh Marquardt dan Reynolds (1994).
3. Dimensi
Adaptability
Konsepsi ini menekankan sistem-sistem nilai dan keyakinan yang
mendukung kapasitas organisasi dalam menerima, menginterpretasikan,
menterjemahkan signal-signal dari lingkungan ke dalam
perubahan-perubahan kognitif, perilaku dan struktur internal sehingga meningkatkan
kesempatan perusahaan untuk bertahan hidup, bertumbuh dan berkembang.
(Denison:11; Denison & Mishra:215). Jadi, ada tiga aspek di sini.
Pertama
,
kemampuan untuk memahami (
perceive
) dan menanggapi lingkungan
eksternal.
Kedua
, kemampuan untuk menanggapi para pelanggan internal.
Ketiga
, kapasitas untuk merestrukturisasi dan melakukan reinstitusionalisasi
sejumlah perangkat perilaku dan proses yang memungkinkan adaptasi
Pandangan yang sama dikemukakan oleh Schein (19996: 67)
sebagai berikut:
“…The organizations that have survived and make important
transitions over many decades seems to have always had a cultural
core that was fundamentally functional--a commitment to learning
and change; a commitment to people and all of the stakeholders in
the orgainization, including customers, employees, suppliers, and
stockholders; and a commitment to building a healthy, flexible
organization in the first place. If such a cultural core does not exist
from the beginning, the organization may not survive in the long run,
especially as environmental turbulance increases.”
Dimensi ini memiliki asumsi dasar bahwa sistem-sistem terbuka
merupakan kebutuhan bagi pengembangan pengetahuan dan perubahan
organisasi (Byrd, 1995:478, 484-485). Juga diyakini bahwa orang-orang
menempatkan diri sebagai bagian dari aliran pemakai/ pemasok dan saling
mendukung dalam penciptaan nilai tambah bagi masyarakat dan lingkungan.
Ada keyakinan bahwa semua unsur dengan sadar maju bersama-sama
dalam memajukan masyarakat (Wood, 1995:415). Secara implisit, asumsi ini
mengandaikan asumsi lainnya, yaitu pengakuan akan ketidakmampuan
untuk mengetahui dan mengerjakan sendiri berbagai hal (Byrd,
1995:479-480).
Perubahan cara berpikir dan bertindak kolektif menjadi penting
dalam kaitan dengan upaya organisasi secara terpadu untuk bertahan hidup,
bertumbuh dan berkembang sejalan dengan dinamika dan gelombang
perubahan dunia bisnis.
Wise (1996:45) mengemukakan, premis utamanya adalah
penerapan pendekatan-pendekatan yang benar-benar baru dan berbeda
dalam mengelola kapital intelektual sebagai basis penciptaan nilai. Yaitu,
bagaimana organisasi-organisasi menciptakan kondisi pembelajaran melalui
pengelolaan orang-orang yang dapat menghasilkan nilai eksepsional bagi
para pemangku kepentingan
(stakeholders)
, seperti
pelanggan, pemegang
saham, mitra-mitra bisnis, karyawan dan manajemen, masyarakat dan
Nilai-nilai yang mendukung pembelajaran adapatif adalah
keterbukaan, kesediaan saling mendengarkan (dengan pelanggan eksternal
dan internal), informasi yang tersebar luas, kemampuan mengikuti
perkembangan-perkembangan mutakhir (Byrd, 1995:485). Nilai-nilai lain
berupa semangat
customer-driven
, menghargai perubahan sebagai
kesempatan untuk bertumbuh, serta sikap menerima hal-hal tak diharapkan
sebagai kesempatan untuk belajar (Marquardt & Reynolds, 1994).
Keyakinan akan ketidakmampuan mengerjakan sendiri berbagai hal
mendorong berkembangnya semangat kemitraan (
partnership
), dan etika
bisnis yang menyertainya: integritas yang mutlak, rasa percaya (
trust)
, dan
keterbukaan (Byrd, 1995:480-481).
Artefak-artefak dari dimensi ini meliputi keterjalinan berbagai unsur
lingkungan eksternal dan unsur-unsur dalam organisasi, serta simbol-simbol
kemitraan yang saling menguntungkan. Termasuk di dalamnya adalah
ketersediaan sarana informasi yang mudah diakses mengenai pelanggan,
pemasok, pesaing, unit-unit terkait dalam organisasi. Juga ada
kesepakatan-kesepakatan kerja sama dan saling penyesuaian dengan unsur-unsur di
dalam maupun di luar organisasi.
4. Dimensi
Mission
Pandangan ini menekankan pentingnya misi dan
sense of mission
,
atau suatu pemahaman yang sama dari anggota organisasi mengenai fungsi
dan tujuan organisasi (Denison, 1990:13). Manfaat dari misi adalah (1)
memberikan
purpose and meaning
, serta sekumpulan alasan-alasan
non-ekonomis mengenai pentingnya kegiatan-kegiatan organisasi (Denison,
1990:13; Denison & Mishra,1995:216) sehingga perilaku organisasi
memperoleh basis intrinsik atau basis spiritual (Denison, 1990:13); (2)
memberikan kepastian dan pengendalian (
clarity and direction),
atau
menentukan jenis-jenis tindakan yang cocok bagi organisasi dan
anggota-anggotanya (Denison, 1990:13; Denison & Mishra: 1995:216). Mengutip
mission
ini, antara lain membutuhkan penerapan
future perfect thinking
,
sehingga anggota organisasi berupaya memperbaiki keadaan masa kini
menyongsong masa depan yang diimpikan (Denison, 1990:14).
Dari dimensi ini, budaya pembelajaran berkembang melalui
penekanan akan
sense of mission and direction
. Tugas organisasi adalah
menetapkan misi dan visi yang mendorong pembelajaran (Handy, 1992).
Selanjutnya organisasi menciptakan iklim psikologis yang aman bagi
pembelajaran dengan menyediakan kesempatan untuk latihan, memberikan
dukungan dan dorongan untuk melakukan pembelajaran, memberikan
penghargaan atas usaha pada arah yang tepat, dan menetapkan
norma-norma yang melegitimasi kesalahan dan eksperimentasi (Schein, 1993).
Byrd (1995 :480-482) mengemukakan dua prinsip penting. Pertama,
pembelajaran berkaitan dengan keberhasilan perusahaan. Kedua,
keberhasilan perusahaan adalah milik bersama (1995:385-386).
Asumsi dasar dari prinsip pertama adalah bahwa pembelajaran
sangat penting (faktor kritis) bagi keberhasilan perusahaan sebagai suatu
entitas. Nilai-nilai atau sikap yang mendasarinya adalah bahwa
pembelajaran mestinya didorong oleh kebutuhan bisnis dan misi perusahaan
dan terkait dengan kepentingan perusahaan dalam mempertahankan posisi
terdepan dalam berbagai aspek, seperti penguasaan teknologi,
proses-proses bisnis, dan cara-cara pengelolaan terbaru.
Tataran artefak budaya pembelajaran ini, antara lain, ditandai oleh
penataan pelatihan formal dan situasi yang memungkinkan
on the job
learning
, serta penyediaan informasi bisnis untuk mendukung keberhasilan
perusahaan. Pelatihan-pelatihan formal sering difokuskan pada aspek-aspek
kritis bagi keberhasilan bisnis sesuai dengan perkembangan mutakhir.
Anggota-anggota organisasi biasanya menunjukkan antusiasme untuk
berpartisipasi dalam program-program tersebut.
Prinsip kedua menunjukkan asumsi dasar bahwa keberhasilan
perusahaan terutama ditentukan oleh kemampuan perusahaan dalam
secara produktif. Dua nilai yang relevan adalah (1) pandangan bahwa setiap
karyawan dituntut bertanggung jawab atas keberhasilan perusahaan, dan (2)
setiap karyawan yang berkontribusi terhadap keberhasilan perusahaan harus
memperoleh penghargaan yang memadai.
Tataran artefak dari dimensi kedua, antara lain menunjukkan adanya
praktek-praktek pembagian keuntungan (selain bonus dan komisi)
, stock
option awards
, atau bentuk-bentuk penghargaan lainnya bagi karyawan yang
berkontribusi secara signifikan bagi keberhasilan perusahaan.
Pandangan serupa dikemukakan oleh Montgomery dan Scalia
(1996:495). Menurut mereka, lingkungan pembelajaran akan efektif jika
hubungan-hubungan didasarkan pada sikap saling menghargai, keyakinan
akan kompetensi dan keinginan pihak-pihak lain untuk melakukan hal-hal
benar, serta kepercayaan akan organisasi dalam melindungi dan
menghargai orang atau kelompok yang memperjuangkan kepentingan
organisasi. Sebaliknya, manajemen cepat mengambil tindakan tegas dan
terbuka dalam mengkomunikasikan tindakan-tindakan yang tidak dapat
ditolerir, yaitu tindakan menguntungkan diri-sendiri. Agar tidak merusak iklim
pembelajaran atau keseluruhan aktivitas pembelajaran, manajemen dapat
mengambil tindakan pemisahan secara langsung ketika terdapat
kegiatan-kegiatan yang destruktif dan subversif.
Jadi, pembelajaran organisasi dari dimensi ini lebih menekankan
kepentingan pencapaian misi, visi, dan sasaran-sasaran organisasi (fokus
eskternal), dan juga menekankan keterarahan (
direction
) serta stabilitas
organisasi.
Tantangan-Tantangan
Pengembangan budaya pembelajaran yang komprehensif memiliki
relevansi dengan upaya memajukan pengelolaan organisasi-organisasi
bisnis dalam milenium baru. Dari segi paradigma manajemen dan organisasi,
pengembangan ini dimaksudkan sebagai kesempatan untuk membebaskan
orang-orang dan mempertaruhkan masa depan organisasi-organisasi sendiri, yang
berakar pada era klasik, khususnya pada Taylorisme, dan diperhebat pada
era modern. Pengembangan budaya pembelajaran diajukan di sini, dalam
banyak hal mencerminkan kecenderungan pos-modernisme untuk
melakukan dekonstruksi terhadap keyakinan, sikap, sistem organisasi yang
berkaitan dengan birokrasi yang dibangun untuk kepentingan efisiensi pada
era kapitalisme industrial.
Konteks organisasi pada abad 21 ditandai oleh tiga perubahan
fundamental yang menuntut pergeseran paradigma manajemen, yaitu
(1) kesadaran yang makin tinggi akan penghargaan atas kemanusiaan (hak
azasi manusia), kemerdekaan, dan demokrasi sebagai warna dominan
milenium ketiga; (2) berkembangnya masyarakat pengetahuan
(knowledge
society),
dan (3) meluasnya ekonomi jasa. Kenyataan-kenyataan ini, baik
aktual maupun sebagai visi yang ingin diwujudkan menuntut pergeseran
paradigma menuju paradigma organisasi dan manajemen yang lebih
menghargai harkat dan martabat manusia serta pelibatan totalitas kapabilitas
insani —baik individual tetapi terutama kolektif— dalam segala proses
penciptaan nilai tambah ekonomis.
Kapabilitas insani meliputi kecerdasan intelektual, emosional,
spiritual dan adversitas. Pengelolaannya secara memadai semakin diyakini
sebagai kunci keberhasilan dari sistem-sistem yang hidup pada berbagai
tingkatan: individu, organisasi, masyarakat dan bangsa, bahkan pada tataran
sistem dunia
(world system)
secara keseluruhan
.
Pengembangan budaya pembelajaran organisasi yang komprehensif
memiliki banyak tantangan. Dalam tulisan ini dikemukakan dua tantangan
penting. Yakni, pertama, pengintegrasian budaya pembelajaran dalam
keseluruhan sistem, struktur, dan proses organisasi. Kedua, peran
kepemimpinan.
Pengembangan budaya pembelajaran pada akhirnya dinilai
kemanfaatannya berdasarkan kinerja atau efektivitas organisasi. Dengan
demikian, budaya pembelajaran yang komprehensif perlu ditempatkan dalam
kerangka besar transformasi organisasi dalam mempertahankan
eksistensinya, berupa penciptaan nilai tambah yang unggul bagi berbagai
kelompok pemangku kepentingan.
Dalam pandangan kalangan fungsionalis, diperlukan suatu
pentautan yang memadai atas budaya pembelajaran organisasi dengan misi,
visi, dan hasil-hasil yang ingin dicapai oleh organisasi. Kinerja organisasi
ditentukan oleh variabel budaya pembelajaran organisasi, selain variabel
struktur organisasi. Untuk menghasilkan kinerja yang unggul, manajemen
perusahaan perlu mengembangkan kedua aspek ini secara paralel, simultan,
dan saling mendukung.
Model pentautan fungsional dapat mempertimbangkan model yang
dikembangkan oleh
Performance Engineering Group
yang bermarkas di
Santa Barbara, California. (Lihat Bagan 4).
Upaya pengintegrasian budaya pembelajaran yang lebih holistik,
diarahkan pada penempatan budaya pembelajaran sebagai pusat dan
penggerak aspek lain dari organisasi. Ini sejalan dengan paham kulturalis
dan humanistik dalam memandang organisasi. Aspek lain dari organisasi
adalah perwujudan konsisten dari budaya pembelajaran organisasi. Aspek
lain dari organisasi dijiwai oleh keyakinan-keyakinan, asumsi-asumsi dasar
dan nilai-nilai organisasi. Sebaliknya, budaya pembelajaran organisasi
dipengaruhi oleh aspek-aspek lainnya. Organisasi pembelajar, dalam paham
ini, adalah suatu organisasi yang dikonstruksi berdasarkan budaya
pembelajarannya.
Suatu model pengintegrasian semacam itu dikemukakan oleh Cloke
& Goldsmith (2002). (Lihat, Bagan 5).
Mengacu pada model 7S dari Tom
Peters (1990), mereka mengemukakan pentingnya pengakuan dan
pengembangan nilai-nilai yang melandasi masing-masing unsur dari keenam
dipengaruhi oleh unsur-unsur lain dari organisasi. Nilai-nilai tersebut
mencerminkan budaya pembelajaran.
Bagan 4: Model Pentautan Budaya Organisasi Sumber: Performance Engineering
Group, California. http:/www.thepegroup.com /align.html
2. Peranan Kepemimpinan
Senge (1990) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan
kunci, presedens, atau supremasi organisasi pembelajar (LO). Disiplin
lainnya, termasuk budaya pembelajaran, merupakan tindakan
kepemimpinan. Hal ini menunjukkan tiga implikasi penting, yaitu (1)
kepemimpinan merupakan faktor sentral dalam pengembangan budaya
pembelajaran; (2) diperlukan pengembangan kepemimpinan menyeluruh
dalam organisasi untuk mendukung pengembangan budaya pembelajaran;
dan (3) pentingnya penghayatan kepemimpinan sebagai jalur cultural dan
pengabdian kepada tujuan-tujuan besar dan teleologis dari organisasi.
Practices
Goals
Behaviors
Tasks
Strategy
Values
Mision/Visio
Pemimpin memiliki tiga peran dalam LO, yaitu sebagai desainer,
guru, dan pelayan
(steward)
(Senge, 1990). Sebagai desainer, pemimpin
mengembangkan misi, visi, nilai-nilai dari organisasi dan
mengintegrasikannya dengan proses, sistem dan struktur-struktur
organisasional. Sebagai guru, pemimpin memupuk pembelajaran organisasi
dan individu. Sedangkan sebagai pelayan, ia melayani organisasi dan
misinya, melayani orang-orang agar bertumbuh dalam pembelajaran, serta
menjadi model, contoh, teladan dalam pembelajaran menuju pencapaian
kinerja yang benar-benar unggul.
Bagan 5: Integrasi Budaya Pembelajaran Dengan Model 7S
Tantangan utama bagi kepemimpinan sebagai
stewardship
dalam
pengembangan budaya pembelajaran berkaitan dengan (1) pergeseran gaya
kepemimpinan dari pengendalian dan pengarahan ke pemberdayaan dan
Shared Values(Teamwork) Structure
(Participation)
Staff (Acknow-ledgement) Styles
(Honesty)
Skills (Delegation) Strategy
(Dialogue)
pemberian dukungan; (2) dukungan terhadap pembelajaran melalui
penyelenggaraan tugas menantang orang-orang agar terus bertumbuh
dalam pembelajaran dengan
generative coaching
; dan (3) pemahaman akan
kekuasaan sebagai jalur pengabdian dan keteladanan. Pergeseran dari
pendekatan pengendalian dan pengarahan ke pemberdayaan dan
pemberian dukungan lebih cenderung meningkatkan keberhasilan
pengembangan lingkungan pembelajaran dan berhubungan terbalik dengan
resistensi terhadap perubahan (Burdett, 1994).
Menurut Cloke dan Goldsmith (2002:18), kualitas kepemimpinan
yang dibutuhkan memiliki ciri-ciri kepemimpinan visioner dan berprinsip.
Selain itu, kepemimpinan perlu menampakkan ciri-ciri kepemimpinan yang
senantiasa memberikan pemberdayaan (
empowering leadership
),
memfasilitasi, dan kolaboratif.
Penutup
Model budaya pembelajaran organisasi yang komprehensif memiliki
relevansi dengan realitas lingkungan bisnis pada abad 21 dan milenium
ketiga. Model budaya pembelajaran komprehensif menunjukkan bahwa
pengembangan budaya pembelajaran perlu dilakukan secara memadai dan
saling mendukung di antara dimensi-dimensinya. Ia juga menyarankan
pentautan budaya pembelajaran dengan (tingkatan) budaya organisasi,
tingkatan pembelajaran, dan perilaku organisasi dan orang-orang dalam
organisasi.
Budaya pembelajaran organisasi yang seimbang, selaras, dan
memadai memberikan kerangka dasar untuk membedakan
organisasi-organisasi yang secara aktual maupun potensial memiliki kinerja lebih baik.
Akan tetapi, kerangka ini juga menyediakan ruang bagi
perbedaan-perbedaan dan keunikan berkenaan dengan sifat bauran
(mixture)
dari
dimensi-dimensi budaya pembelajaran serta ketiga aspek lainnya berikut
kondisi-kondisi idiosikratik dari setiap organisasi sebagai entitas yang hidup
Budaya pembelajaran organisasi semakin maju jika keempat dimensi
dikembangkan dengan lebih baik dalam suatu keseimbangan. Konsistensi
juga perlu terjadi antara tiga lapisan budaya pembelajaran pada
masing-masing dimensi, yaitu antara lapisan keyakinan, nilai-nilai, dan artefak.
Pengembangan budaya pembelajaran organisasi yang komprehensif
tidak dapat dipisahkan dari kepentingan pemeliharaan eksistensi dan
keunggulan organisasi yang diperjuangkan melalui tranformasi atau
penciptaan nilai tambah yang kompetitif dan berkelanjutan bagi para
pemangku kepentingan. Hal ini menimbulkan tantangan untuk
mengintegrasikan budaya pembelajaran dalam keseluruhan sistem,
prosedur, proses-proses atau strategi organisasi. Bahkan, budaya
pembelajaran organisasi semakin ditempatkan sebagai pusat dan penggerak
organisasi.
Tantangan utama bagi pengembangan budaya pembelajaran yang
komprehensif adalah ketersediaan kualitas kepemimpinan yang memiliki
kapabilitas melakukan pemberdayaan (bukan mengendalikan), menantang
pembelajaran terus-menerus dari seluruh lapisan organisasi (bukan
menciptakan ketergantungan), serta mampu menjadi model dan teladan
Daftar Pustaka
Alvesson, Mats. 2002. Understanding Organizational Culture. London: SAGE Pub.
Argyris, Chris & Schon, Donald A. 1996. Organizational Learning II: Theory, Method,
and Practice. Massachusetts: Addison Wesley Pub.
Barney, Jay B. 1997. Gaining Competitive and Sustaining Competitive Advantage.
Massachusetts: Addison Wesley Pub.
Bolman, Lee G. & Deal, Terrence E. 1997. Reframing Organizations: Artistry, Choice, and Leadership. Second Edition. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.
Borzsony, Philippa & Hunter, Keith. 1996. “Becoming a Learning Organization through Partenership” dalam The Learning Organization, Vol.3, No. 1, 1996, hlm. 22-30.
Burdett, John O. 1994. “To Coach, or Not to Coach: That is the Question”, dalam
Christopher Mabey & Paul Iles (eds.), Managing Learning, hlm. 133-145. London: The Open University Press.
Byrd, Marry. 1995. “Creating a Learning Organization by Accident” dalam Sarita
Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 477-487. Oregon: Productivity Press.
Cavaleri, Steven & Fearon, David eds. 1996. Managing in Organizations that Learn. Massachusetts: Blackweel Publishers.
Chawla, Sarita & Renesch, John eds. 1995. Learning Organizations: Developing
Cultures for Tomorrow’s Workplace. Oregon: Productivity Press.
Cloke, Kenneth & Goldsmith, Joan. 2002. The End of Management and the Rise of
Organizational Democracy. San Fransisco: Jossey-Bass.
Crawford, Richard. 1991. In the Era of Human Capital. London: Harper Collins Pub.
DeChant, Kathleen. 1996. “The Playing Fields of Learning” dalam Steven Cavaleri &
David Fearon (eds.),. Managing in Organizations that Learn, hlm. 97-118.
Massachusetts: Blackweel Publishers.
Denison, Daniel. 1990a. Corporate Culture and Organizational Effectiveness. New
York: John Wiley & Sons.
Denison, Daniel. 1990b. “Organizational Culture: Can it be a Key Lever for Driving
Denison, Daniel. 1990c. “What is the Difference Between Organizational Culture and Organizational Climate? A Native’s Point of View on Decade of Paradigm Wars”. http://www.denisonculture.com.
Denison, Daniel & Mishra, Aniel K. 1995. “Organizational Culture andOrganizational Effectiveness”, dalam Organization Sceince, Vol. 6, No. 2, March-April.
Fearon, David .1996. Interview with Kermit Campbell” dalam Steven Cavaleri & David
Fearon (eds.),. Managing in Organizations that Learn, hlm. 3-11.
Massachusetts: Blackweel Publishers.
Handy, Charles. 1995. “Managing Dream” dalam Sarita Chawla & John Renesch
(eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s
Workplace, hlm. 45-55. Oregon: Productivity Press.
Hatch, Mary Jo. 1997. Organization Theory. New York: Oxford University Press.
Hoffman, Frank & Withers, Bill. 1995. “Shared Values: Nutrients for Learning” dalam Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing
Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 463-475. Oregon: Productivity
Press.
Hofstede, Geert. 2001. Culture’s Consequences. Second Edition. London: Sage Pub.
Jones, Gareth R. 2001. Organizational Theory: Text and Cases. Massachusetts:
Addison-Wesley Pub.
Juechter, W. Mathew, et al. 1998. “Five Conditions for High Performance Cultures” dalam Training and Development, May 1998, pp. 63-67.
Kanter, Rosabeth Moss. 1994. “Dilemmas of Teamwork” dalam Christopher Mabey &
Paul Iles (eds.), Managing Learning, hlm. 173-180. London: The Open
University Press.
Kanter, Rosabeth Moss. 1996. “Beyond the Cowboy and the Corporation”, dalam Ken
Starkey (ed.), How Organizations Learn, hlm. 43-59. New York: International Thomson Business.
Kofman, Fred & Senge, Peter M. 1995. “Communities of Commitment: The Heart of
Learning Organization” dalam Sarita Chawla & John Renesch (eds.),
Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 15-34. Oregon: Productivity Press.
Kotter, John P. & Heskett, James L.. 1992. Corporate Culture and Performance. New York: The Free Press.
Leonard-Barton, Dorothy. 1994. “The Factory as a Learning Laboratory” dalam
Christopher Mabey & Paul Iles (eds.), Managing Learning, hlm. 43-54.
London: Routledge & The Open University.
Leonard-Barton, Dorothy. 1995. Wellsprings of Knowledge: Building and Sustaining
Lewis, Richard D. 2000. When Cultures Collide. London: Nicholas Brealey Pub.
Lundberg, Craig C. 1996. “Managing in a Culture that Values Learning”, dalam Steven Cavaleri & David Fearon (eds.), Managing in Organizations that Learn, hlm. 491-508. Massachusetts: Blackweel Publishers.
Marquardt, Michael & Reynolds, Angus. 1994. The Global Learning Organization.
NewYork: Richard D. Irwin.
Montgomery, John M. & Scalia, Frank. 1996. Integrating Learning and Organizations”, dalam Steven Cavaleri & David Fearon (eds.), Managing in Organizations that Learn, hlm. 435-465. Massachusetts: Blackweel Publishers.
Peters, Tom. 1990. “Get Innovate or Get Dead, Part I”, dalam California Management Review, Vol. 33, No. 1 (Fall), hlm. 9-26.
Peters, Tom. 1991. “Get Innovate or Get Dead, Part II”, dalam California Management Review, Vol. 33, No. 2 (Winter), hlm. 9-23.
Performance Engineering Group. 2002. “The Importance of Alignment”.
http://www.thepegroup.com/align.html.
Pollard, William C. 1996. The Soul of the Firm. Michigan: Zonder van Publishing
House & Harper Business.
Reed, Frederick & Seivert, Sharon. 1996. “The Implications of Autonomy for
Learningin Organizations”, dalam Steven Cavaleri & David Fearon (eds.),
Managing in Organizations that Learn, hlm. 377-402. Massachusetts:
Blackweel Publishers.
Ryan, Stephanie. 1995. “Learning Communities: An Alternative to the “Expert Model”,
dlam Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations:
Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 279-291.Oregon:
Productivity Press.
Schein, Edgar H. 1985. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco:
Jossey-Bass.
Schein, Edgar H. 1992. Organizatinal Culture and Leadership. Second Editon. San
Fransisco: Jossey-Bass.
Senge, Peter M. 1990. The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning
Organization. London: Century.
Vogt, Eric Edwards. 1995. “Learning Out of Context”, dalam Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 293-303.Oregon: Productivity Press.
Walker, Barbara. 1994. “Valuing Differences: The Concept and the Model”, dalam
Wise, Richard E. 1996. “Creating the Conditions for Learning”, dalam Sarita Chawla &
John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for
Tomorrow’s Workplace, hlm. 142-160.Oregon: Productivity Press.
Wood, John H. 1995. “Restructuring Education: Designing Tomorrow’s Workplace”,
dalam Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations:
Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 403-415. Oregon: