• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga (Perangin-angin, 2006).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga (Perangin-angin, 2006)."

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pola Asuh

Agar pola hidup anak bisa sesuai dengan standar kesehatan, di samping harus mengatur pola makan yang benar, juga tak kalah pentingnya mengatur pola asuh yang benar pula. Pola asuh yang benar bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang penuh kasih sayang pada anak, memberinya waktu yang cukup untuk menikmati kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga (Perangin-angin, 2006).

Pola asuh adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan anak berusia di bawah lima tahun. Masa anak usia 1-5 tahun (balita) adalah masa dimana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang memadai. Pada masa ini juga, anak-anak masih sangat tergantung pada perawatan dan pengasuhan ibunya. Oleh karena itu, pengasuhan kesehatan dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangat penting untuk perkembangan anak (Sarah, 2008).

Pola asuh anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan ketrampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau di

(2)

masyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dan si ibu atau pengasuh anak (Sunarti, 1989).

2.1.1 Konsep Pola Asuh

Konsep Pola Asuh sebagai faktor penentu status gizi anak masih baru bagi banyak orang diluar bidang gizi. Pola asuh adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan dalarn memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial dan anak yang sedang tumbuh dan anggota keluarga lainnya (Engle, et al, 1997).

Secara sederhana pengasuhan dapat diartikan sebagai implementasi serangkaian keputusan yang dilakukan orang tua atau seorang dewasa kepada anak, sehingga memungkinkan anak menjadi bertanggungjawab, menjadi anggota masyarakat yang baik, memiliki karakter-karakter yang baik. Seperti: apa yang dilakukan orang tua ketika anak sakit, ketika tidak mau makan, ketika sedih, ketika menangis, ketika bertindak agresif atau ketika anak berbohong, itulah pengasuhan.

Menurut Ramakrishnan (1995) dan Engle (1998) asuhan yang diberikan dalam bentuk waktu, perhatian, dan dukungan sangat dibutuhkan oleh anak yang sedang berkembang untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosialnya. Melalui asuhan yang baik, pemberian makanan yang baik dan perawatan kesehatan anak juga menjadi optimal.

Kerangka konseptual yang dikemukakan oleh UNICEF dan dikembangkan lebih lanjut oleh Engle et al (1997) menekankan bahwa tiga kmponen makanan kesehatan-asuhan merupakan faktor-faktor yang berperan dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal. Engle et al (1997)

(3)

mengemukakan bahwa pola asuh dimanifestasikan dalam 6 hal, yaitu (1) perhatian/dukungan untuk wanita seperti pemberian waktu istirahat yang tepat atau peningkatan asupan makanan selama hamil, (2) pemberian ASI dan makanan pendamping pada anak, (3) rangsangan psikososial terhadap anak dan dukungan untuk perkembangan mereka, (4) persiapan dan penyimpanan makanan, (5) praktek kebersihan/hygiene dan sanitasi lingkungan, dan (6) perawatan keluarga dalam keadaan sakit meliputi praktek kesehatan di rumah dan pola pencarian pelayanan kesehatan. Pemberian ASI dan makanan pendamping pada anak serta persiapan dan penyimpanan makanan tercakup dalam praktek pemberian makan.

Pengasuhan anak meliputi pula hal-hal seperti cara memandikan, disiplin buang air, disiplin makan, adat istiadat penyapihan, cara menggendong bayi, dan mengajar sopan santun. Pola pengasuhan merupakan cara orang tua mendidik dan membesarkan anak dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah faktor budaya, agama, kebiasaan, dan kepercayaan, serta kepribadian orang tua (orang tua sendiri atau orang yang mengasuh anak). Selain dan faktor tersebut pola pengasuhan sangat dipengaruhi oleh kepribadian orang tua, terutama pengetahuan, sikap dan tindakan. Pada umumnya bila orang tua semasa kecil dididik secara keras dan berdisiplin tinggi, maka ia pun akan mendidik anaknya juga dengan cara demikian.

Dalam berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepribadian orung tua sangat nenentukan pola interaksi ibu dan anak. Pengaruh struktur watak ibu yang mengasuh anak balita mempunyai efek yang sangat besar dalam hubungan ibu dan anak.

Pola pengasuhan yang baik terhadap anak balita adalah: a. Diberikan dalam satu rumah

(4)

b. Dengan satu orang tua yang berperan sebagai ibu.

c. Dalam satu keluarga yang utuh yang terdiri dan ayah dan ibu.

d. Adanya keseimbangan pendidikan anak dalam suasana damai, dilandasi kasih sayang dan penerimaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Hafrida (2004) di Kelurahan Belawan Bahani Kecamatan Medan Belawan, menunjukkan bahwa ada kecendrungan dengan semakin baiknya pola asuh anak, maka proporsi gizi baik pada anak juga akan semakin besar.

Tetapi sebaliknya di negara Timur seperti di Indonesia, keluarga besar masih lazim dianut dan peran ibu seringkali dipegang oleh beberapa orang lainnya seperti nenek, keluarga dekat lain dan bukan pembantu. Tetapi ternyata anak yang dididik dalam keluarga besar tersebut dapat tumbuh dengan kepribadian yang baik. Jadi yang lebih penting nilainya adalah suasana damai dan kasih sayang dalam keluarga (Nadesul, 1995). Masalah gizi bukan lagi hal yang dianggap sederhana. Bahkan hal ini telah masuk menjadi salah satu indikator kesehatan masyarakat. Dari 24 indikator yang menjadi dasar penetapan IPKM yang terbagi menjadi tiga kategori bobot, yaitu kategori mutlak dengan bobot lima sebanyak sebelas indikator, kategori penting dengan bobot empat sebanyak lima indikator, dan kategori perlu dengan bobot tiga sebanyak delapan indikator. Untuk kategori mutlak tiga di antaranya adalah indikator gizi yaitu prevalensi balita gizi kurang dan gizi buruk, prevalensi balita pendek, dan prevalensi balita kurus. Hal tersebut membuktikan bahwa masalah gizi bukanlah masalah yang sepele.

Ada dua jenis masalah yang muncul akibat malnutrisi yaitu masalah gizi lebih dan gizi kurang. Gizi lebih dalam dua dekade terakhir meningkat akibat perubahan

(5)

pola hidup masyarakat terutama di daerah urban. Bahkan masalah gizi lebih ini telah menjadi polemik sendiri di negara maju. Gizi lebih dapat dinilai dari berat badan. Dari data yang dihimpun WHO tahun 2008 menyebutkan bahwa sekitar 1.5 miliar penduduk dewasa mengalami kelebihan berat badan, 200 juta pria dewasa mengalami obesitas, dan lebih dari 300 juta wanita mengalami obesitas. Sebuah studi pada tahun 2008 oleh Centers for Disease Control di Atlanta yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan hampir satu dari lima anak usia 6-11 tahun dan 18,1 persen anak usia 12-19 tahun yang menderita obesitas. Di Indonesia sendiri pada tahun 2003 terdapat 2.24 % balita yang mengalami gizi lebih, sedangkan data untuk penduduk di atas 15 tahun terdapat 10.3 % mengalami gizi lebih.

Data di atas menunjukan betapa besarnya jumlah penderita gizi lebih di Indonesia. Penyebab yang paling nyata adalah perubahan ekonomi. Perubahan ini terjadi akibat pasar globalisasi dan modrenisasi di semua aspek. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penduduk yang berat badan lebih ataupun obesitas lebih banyak terjadi di daerah perkotaan. Peningkatan ekonomi ini menyebabkan perubahan pola hidup, mulai dari pola makan dan aktivitas fisik. Makanan yang awalnya lebih banyak persentase karbohidrat kini telah berubah menjadi lebih banyak persentase lemak, seperti fast food. Jenis makanan yang seperti ini akan meningkatkan persentase lemak tubuh yang akhirnya akan berimplikasi kepada kelebihan berat badan.

Selain faktor ekonomi, faktor cahaya lampu secara tidak langsung juga mempengaruhi gizi lebih dan obesitas. Penelitian terbaru dari reuroscience di Ohio State University menemukan bahwa semakin banyak cahaya pada saat kita makan,

(6)

maka resiko untuk mengalami kelebihan berat badan semakin tinggi. Penelitian ini menggunakan tikus sebagai hewan coba. Tikus-tikus tersebut diperlakukan dalam tiga kondisi. Kondisi pertama tikus diberi terpaan cahaya selama 24 jam terus-menerus, kondisi kedua tikus diberi terpaan cahaya dengan siklus standar terang selama 16 jam dan gelap selama 8 jam, sedangkan kondisi ketiga tikus diberi terpaan cahaya terang selama 16 jam dan cahaya redup selama 8 jam. Para peneliti mengukur berapa banyak makanan yang dipakai tikus setiap hari. Selain itu mereka juga mengukur berapa banyak mereka bergerak di sekitar kandang mereka setiap hari melalui sistem persimpangan sinar inframerah.

Kemudian massa tubuh tikus dihitung setiap minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus dengan cahaya redup saat malam massa tubuhnya meningkat lebih tinggi dari tikus yang hidup dalam siklus standar terang dan gelap. Berat badan tikus terus meningkat sejak minggu pertama penelitian. Pada akhir penelitian tikus yang hidup dengan cahaya redup malam hari berat badannya lebih kurang 12 gram sedangkan tikus yang hidup dengan siklus standar terang dan gelap berat badannya 8 gram. Tikus yang mendapat terpaan cahaya terus-menerus juga memiliki berat badan lebih besar dari tikus yang hidup dengan siklus standar terang dan gelap.

Faktor lain yang mempengaruhi gizi lebih dan obesitas adalah kebiasaan ketika makan. Salah satu kebiasaan yang buruk ketika makan adalah makan di depan komputer atau televisi, karena hal ini akan mengakibatkan jumlah makanan yang masuk ke mulut akan lebih banyak.

(7)

Selain asupan makanan, hal lain yang dapat menyebabkan gizi lebih dan obesitas adalah faktor aktivitas. Kurangnya aktivitas dapat menyebabkan gizi lebih dan obesitas. Salah satu yang menyebabkan berkurangnya aktivitas seseorang adalah tuntutan pekerjaan. Tuntutan pekerjaan pada saat ini menyebabkan kebanyakan penduduk lebih banyak menghabiskan waktunya duduk di kursi dari pada bergerak. Ditambah lagi kesadaran berolahraga yang masih kurang di kalangan masyarakat Indonesia.

Hal ini dapat meningkatkan resiko berat badan berlebih. Dari analisis lebih lanjut didapatkan seorang remaja yang menghabiskan waktu lebih dari 3 jam per hari dengan menonton televisi memiliki resiko obesitas 12.3 kali lebih besar dari pada remaja yang menonton televisi yang kurang dari 3 jam per hari.

Walaupun kita mengetahui bahwa berat badan berlebih tidak akan terjadi apabila seseorang tidak memiliki faktor genetik untuk gizi lebih atau obesitas. Apabila kedua orang tua gizi lebih atau obesitas maka kemungkinan anak menderita berat badan berlebih sekitar 80%, sedangkan apabila salah satu dari orang tua mengalami gizi lebih atau obesitas maka kemungkinan itu menjadi setengahnya atau 40 %. Faktor-faktor sosiokultural juga berperan penting dalam gizi lebih dan obesitas, seperti masih banyaknya masyarakat yang berpendapat bahwa gemuk adalah lambang kemakmuran.

Pendapat seperti ini dapat memicu peningkatan jumlah konsumsi kalori pada masyarakat tersebut. Anggapan “gemuk makmur” ini berimplikasi pada orang tua yang akan senang ketika anaknya memiliki berat badan lebih. Padahal apabila pada

(8)

waktu masih anak-anak berat badannya sudah berlebih akan meningkatkan faktor resiko menjadi berat badan berlebih pada waktu dewasa.

Prevalensi ini akan terus meningkat, mengingat setiap anak yang memiliki faktor predisposisi genetik akan tinggal bersama dengan orang tua yang telah terbiasa dengan pola hidup sedentary.

Peneliti memprediksi 8 dari 10 pria dan 7 dari 10 wanita akan mengalami obesitas pada tahun 2020. Penelitian yang dilakukan ini mengambil sampel di satu negara maju yakni Inggris. Negara maju dan negara berkembang cenderung memiliki gaya hidup seragam saat ini. Sehingga dapat diperkirakan trend obesitasnya antara negara maju dan negara berkembang akan sama.

Konsekuensi gizi lebih dan obesitas adalah meningkatnya resiko kematian. Seseorang yang memiliki kelebihan berat badan sebesar 40% dari normal, diperkirakan meninggal 8 tahun lebih cepat dari pada populasi rata-rata. Peningkatan mortalitas ini terjadi karena insiden diabetes melitus tipe dua, penyakit jantung koroner, penyakit kandung kemih, osteoarthritis atau radang sendi, stroke, dan kanker.

Sedangkan pada anak-anak dapat menimbulkan gangguan seperti dislipidemia, stenosis hepatis, gangguan saluran pencernaan, dan sleep apnea.

Pada orang yang menderita gizi lebih prevalensi munculnya kanker 30% lebih tinggi dibanding orang yang memiliki berat badan ideal. Jenis kanker yang sering muncul adalah kanker ginjal, kanker rahim, kanker payudara, kanker esophagus, kanker pancreas, dan kanker kolon.

(9)

Berat badan lebih dan obesitas adalah penyakit mahal. Bahkan untuk negara maju peningkatan jumlah penyakit akibat gizi lebih dan obesitas dalam beberapa dekade terakhir telah menguras anggaran kesehatan. Di Australia telah menghabiskan dana 464 juta dolar Australia , 12 milyar franc di Perancis, 1 milyar golden di Belanda, dan 45,8 juta dolar Amerika di Amerika Serikat.

Dana yang dikeluarkan itu merupakan direct cost, artinya dana yang berhubungan langsung dengan gizi lebih dan obesitas yang sebagian besar merupakan akibat penyakit jantung koroner dan hipertensi. Sedangkan kerugian akibat berkurangnya produktifitas akibat kematian dini dan morbiditas pasti lebih besar lagi. Di Indonesia belum diketahui besar kerugian akibat penyakit yang berhubungan dengan gizi lebih dan obesitas.

Hal ini disebabkan masih kurangnya studi tentang biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi masalah tersebut. Tetapi melihat yang terjadi di negara lain dapat diperkirakan biaya yang akan dikeluarkan negara berkembang pasti lebih besar lagi. Hal tersebut disebabkan Indonesia masih mengimpor alat-alat kedokteran dan obat-obatan demi kepentingan rumah sakit dan tenaga kesehatan lainnya.

Untuk mengatasi masalah gizi lebih dan obesitas ini tak cukup dengan hanya mengandalkan tenaga kesehatan. Hal ini disebabkan gizi lebih dan obesitas sangat kompleks sehingga membutuhkan kerjasama semua lapisan masyarakat. Strategi yang harus dilakukan agar hasilnya lebih optimal adalah tindakan preventif dan promotif. Jika dioptimalkan pada tindakan kuratif dan rehabilitatif maka dana yang disediakan tidak akan cukup (WHO, 2000). Ironinya, di lapangan dana yang dikucurkan untuk usaha promotif dan preventif hanya 10 % sedangkan dana untuk kuratif dan preventif

(10)

sekitar 60 – 85 %. Hal ini menyebabkan usaha promotif dan preventif kurang maksimal.

Usaha promotif dan preventif yang paling penting adalah dengan menyadarkan masyarakat itu sendiri. Usaha ini dapat dilakukan dengan berbagai cara dan dari berbagai aspek. Di lihat dari segi pendidikan, kementrian pendidikan nasional dapat memasukan materi gizi ke dalam kurikulum pendidikan. Memang sebelumnya telah ada materi gizi, namun hal itu hanya sepintas lalu dan hanya membahas satu aspek yaitu gizi kurang. Diharapkan dari kurikulum yang lebih komprehensif masyarakat mulai disadarkan sejak di bangku sekolahan. Dari pendidikan dasar ini paradigma “gemuk makmur” sedikit demi sedikit akan terkikis.

Di sektor lain usaha yang dapat dilakukan oleh kementrian perdagangan yaitu mewajibkan semua produk makanan untuk mencantumkan label kadar kalori dari produk makanan tersebut baik yang ada dalam kemasan maupun jenis masakan cepat saji. Pencantuman ini akan membantu masyarakat untuk menghitung intake kalori. Label ini juga membantu komunikasi antar produsen dan konsumen mengenai hal-hal tentang pangan yang dibutuhkan konsumen. Bagi produsen sendiri label tersebut dapat digunakan sebagai sarana promosi.

Usaha dari tenaga medis dapat dilakukan dengan meningkatkan penyuluhan-penyuluhan tentang gizi lebih dan obesitas terutama di sekitar perkotaan. Dalam penyuluhan ini dijelaskan tentang bahaya laten dari gizi lebih dan obesitas. Promosi tentang diet yang seimbang serta olahraga yang cukup juga perlu ditekankan. Sebagai komunitas terkecil, keluarga dapat menghabiskan waktu liburan dengan beraktivitas

(11)

bersama. Hal ini bertujuan untuk mengajarkan kepada anaknya agar tidak menganut

sedentary life, selain untuk mengeratkan hubungan antar anggota keluarga tersebut.

Dari uraian di atas jelas sekali masalah gizi dan kesehatan di masyarakat di masa yang akan datang menjadi semakin kompleks dan menjadi tantangan pembangunan masyarakat. Kompleksitas masalah gizi dan kesehatan ini menuntut perhatian dari semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat. Jika dibiarkan saja bukan tidak mungkin prediksi tahun 2020 akan terwujud atau bahkan lebih tinggi.

Hasil penelitian Ariga (2006), mengungkapkan bahwa status gizi anak berdasarkan indeks BB/U, yaitu gizi baik sebesar 59,86%, gizi kurang sebesar 25,85% dan gizi buruk 13,60% serta gizi lebih 0,68%. Gambaran pola asuh meliputi perhatian/dukungan untuk wanita sebesar 86,39% kategori baik, praktik pemberian makan sebesar 59,18% kategori baik, rangsangan psikososial dan praktik hygiene dan sanitasi lingkungan sebesar 78,23% kategori baik dan perawatan keluarga sedang sakit sebesar 61,23% kategori baik. Pola asuh, yaitu praktek pemberian makan berhubungan dengan status gizi di Kabupaten Bener Meriah.

Hasil penelitian Sandjaja (2001), menemukan sebagian anak dalam keluarga tertentu dengan sosial ekonomi rendah mempunyai daya adaptasi yang tinggi sehingga mampu tumbuh dan kembang terhadap tekanan ekonomi, sosial dan lingkungan. Faktor-faktor positif deviance yang berperan nyata dalam status gizi anak antara lain adalah faktor ibu, pola asuh anak, keadaan kesehatan anak, dan konsumsi makanan anak.

Pola asuh adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakn waktu, perhatian, dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan

(12)

sebaik-baiknya secara fisik, mental dn sosial. Pengasuhan merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan daan perkembangan anak usia berusia di bawah lima tahun. Masa anak usia 1-5 tahun (balita) adalah masa dimana anak masih sangat membutuhkan suplai makanan dan gizi dalam jumlah yang memadai. Pada masa ini juga anak-anak masih sangat tergantung pada perawatan dan pengasuhan ibunya.

Makanan anak balita tergantung dan apa yang diberikan oleh ibunya atau orang lain yang mengasuhnya. Maka dalam rangka meningkatkan status gizi anak balita pengetahuan gizi dan kesehatan merupakan salah satu faktor penting dan harus dimiliki oleh ibu sebagai orang yang mempunyai peranan besar dalam menentukan konsumsi makanan anaknya.

Agar pola hidup anak bisa sesuai dengan standar kesehatan, disamping harus mengatur pola makan yang benar, juga tidak kalah pentingnya adalah mengatur pola asuh yang benar pula. Sering tidak disadari oleh para orang tua (ibu), mengatur pola asuli sama pentingnya dengan mengatur pola makan. Dan kenyataan mi sering terjadi tumpang tindih dimana pola makan tidak teratur ditambah pola asuh yang tidak benar. Disinilah peran seorang ibu memang sangat dibutuhkan sekali. Dan apalagi keadaan ini terjadi bersamaan maka banyak menyebabkan gangguan kesehatan pada anak dan membawa penyakit yang serius pada anak balita sebagai golongan rawan gizi.

Jadi disini orang tua (ibu) jangan melupakan adanya pola asuh yang benar ini seimbang dengan pola makan. Pola asuh yang benar bisa ditempuh dengan aberikan perhatian yang penuh serta kasih sayang pada anak, memberinya waktu cukup untuk menikmati kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga (Noerkhan, 1993).

(13)

Menurut Soekirman (2000), Pola asuh adalah praktek di rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan pangan, pertumbuhan dan perkembangan anak. Pola asuh yang baik akan mempengaruhi keadaan kesehatan dan keadaan gizi pada anak, dimana pola pengasuhan ini mencakup bagaimana cara ibu memberikan makan, bagaimana ibu merawat, memelihara kesehatan dan hygiene anak dan ibu serta bagaimana ibu memberikan kasih sayang pada anaknya.

2.1.2 Pola Asuh Makan

Pola asuh makan adalah cara seseorang, kelompok orang dan keluarga dalam memilih jenis dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang atau lebih dan mempunyai khas untuk satu kelompok tertentu. Pola pemberian makan adalah pemberian makan harus disesuaikan dengan usia anak balita. Makanan harus mengandung energi dan semua zat gizi yang dibutuhkan pada tingkat umurnya (Triton, 2006). Sedangkan menurut Wijaya (2007) pola asuh makan merupakan praktek pengasuhan yg diterapkan oleh ibu kepada anaknya yang berkaitan dengan cara dan sanitasi makan. Jumlah dan kualitas makanan yang dibutuhkan untuk konsumsi anak penting sekali dipikirkan, direncanakan dan dilaksanakan oleh ibu atau pengasuhnya.

Pola asuh makan merupakan praktek-praktek pengasuhan yang diterapkan oleh ibu/pengasuh kepada anak yang berkaitan dengan pemberian makanan. Pemberian makanan kepada anak diperlukan untuk memperoleh kebutuhan zat gizi yang cukup untuk kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan sesudah sakit, aktivitas, pertumbuhan dan perkembangan. Secara fisiologik, makan merupakan suatu bentuk

(14)

pemenuhan atau pemuasan rasa lapar. Untuk seorang anak, makan dapat dijadikan media untuk mendidik anak supaya dapat menerima, menyukai dan memilih makanan yang baik (Santoso & Ranti, 2004).

Di Indonesia pola asuh makan terhadap anak sangat dipengaruhi oleh budaya, unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan dalam masyarakat yang diajarkan secara turun temurun kepada seluruh anggota keluarganya, padahal kadang-kadang unsur budaya tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi (Suharjo, 2003).

Aspek budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat dan kebiasaan masyarakat. Sampai saat ini aspek budaya sangat mempengaruhi perilaku kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia ( Suhardjo, 2003).

Ada 2 tujuan pengaturan makanan untuk bayi dan anak balita :

1. Memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan hidup, yaitu untuk pemeliharaan dan atau pemuithan serta peningkatan kesehatan, pertumbuhan, perkembaiiguu fisik dan psikomotor, serta melakukan aktifitas fisik.

2. Untuk mendidik kebiasaan makan yang baik.

Makanan untuk bayi dan anak balita yang baik harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi sesuai dengan umur.

2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan yang tersedia setempat, kebiasaan makan, dan selera terhadap makan.

(15)

3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan keadaan pada bayi/anak.

4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan.

Menurut Persatuan Ahli Gizi Indonesia/Persagi (1992) yang dikutip oleh Kristiadi, E. (2007), berdasarkan karakteristiknya balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak usia lebih dari 1-3 tahun yang dikenal dengan batita dan anak usia lebih dari 3-5 tahun yang dikenal dengan usia prasekolah. Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, yaitu anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya.

Penyajian makanan untuk balita diperlukan kreatifitas ibu agar makanan terlihat menarik sehingga dapat menimbulkan selera makan anak balita. Penyajian makanan yang akan diberikan kepada anak balita harus memperhatikan porsi atau takaran konsumsi makan serta frekuensi makan yang dianjurkan dalam sehari. Waktu pemberian makan untuk balita sebaiknya disesuaikan dengan waktu pada umunmnya. Pemberian makanan dibagi menjadi tiga waktu makan yaitu pagi hari pada pukul 07.00-08.00, siang hari pada pukul 12.00-13.00, dan malam hari pada pukul 18.00-19.00, dan pemberian makanan selingan yaitu diantara dua waktu makan yaitu pukul 10.00-11.00 dan pukul 16.00-17.00, seperti yang tercantum dalam tabel 2.1.

(16)

Tabel 2.1. Pola Pemberian Makanan Balita

Umur Bentuk Makanan Frekuensi

0-6 bulan ASI Eksklusif Sesering mungkin

minimal 8 kali/hari 6-9 bulan Makanan Lumat/lembek 2x sehari, 2 sendok makan setiap kali makan

9-12 bulan Makanan lembek 3x sehari, plus 2x makanan selingan 1-3 tahun Makanan Keluarga 3x sehari, plus 2x

makanan selingan 1 - 1 1/2 piring nasi/pengganti

2-3 potong sedang lauk hewani 1-2 potong sedang lauk nabati 1/2 mangkuk sayur

2-3 potong buah-buahan 1 gelas susu

4-6 tahun 1-3 piring nasi/pengganti 3x sehari, plus 2x makanan selingan 2-3 potong lauk hewani

1-2 potong lauk nabati 1 - 1 1/2 mangkuk sayur 2-3 potong buah-buahan

1-2 gelas susu

Sumber : Depkes RI, 2006

Selain takaran dan frekuensi makanan untuk balita ada juga anjuran pemberian makanan untuk anak balita berdasarkan Depkes RI (2006), yaitu :

1. umur 1-6 bulan, anjuran pemberian makanan yaitu :

a) Beri ASI setiap kali bayi menginginkan sedikitnya 8 kali sehari yaitu pagi, siang maupun malam.

b) Jangan berikan makanan atau minuman lain selain ASI c) Susui bayi dengan payudara kanan dan kiri secara bergantian.

(17)

2. Umur 6-12 bulan, anjuran pemberian makanan yaitu : a) Teruskan pemberian ASI sampai umur 2 tahun.

b) Umur 6-9 bulan, kenalkan makanan pendamping ASI dalam bentuk lumat dimulai dari bubur susu sampai nasi tim lumat, 2 kali sehari. Setiap kali makan diberikan sesuai umur:

- 6 bulan: 6 sendok makan - 7 bulan: 7 sendok makan - 8 bulan: 8 sendok makan

c) Beri ASI terlebih dahulu kemudian makanan pendimping ASI.

d) Umur 9-12 bulan, beri makanan pendamping ASI, dimulai dari bubur nasi sampai nasi tim, 3 kali sehari. Setiap kali makan diberikan sesuai umur:

- 9 bulan: 9 sendok makan - 10 bulan: 10 sendok makan - 11 bulan: 11 sendok makan

e) Pada makanan pendamping ASI, tambahan telur atau ayam atau ikan atau

tempe atau tahu atau daging sapi atau wortel atau bayam atau kacang hijau atau santan atau minyak.

f) Bila menggunakan makanan pendamping ASI dari pabrik, baca cara memakainya, batas umur dan tanggal kadaluwarsa.

g) Beri makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, seperti: bubur kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dan sebagainya.

h) Beri buah-buahan atau sari buah seperti air jeruk manis, air tomat saring, dan sebagainya.

(18)

i) Mulai mengajari bayi minum dan makan menggunakan gelas dan sendok. 3. Umur 1-2 tahun, anjuran pemberian makanan yaitu:

a) Beri ASI setiap kali balita menginginkan. b) Beri nasi lembek 3 kali sehari.

c) Tambahan telur atau ayam atau ikan atau tempe atau tahu atau daging sapi atau wortel atau bayam atau kacang hijau atau santan atau minyak pada nasi lembek

d) Beri makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, seperti: bubur kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dan sebagainya.

e) Beri buah-buahan atau sari buah. f) Bantu anak untuk makan sendiri.

4. Umur 2-3 tahun, anjuran pemberian makanan yaitu:

a) Beri makanan yang biasa dimakan oleh keluarga 3 kali sehari yang terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur dan buah.

b) Beri makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan, seperti: bubur kacang hijau, pisang, biskuit, nagasari, dan sebagainya.

c) Jangan berikan makanan yang manis dan lengket diantara waktu makan. 5. Umur 3-5 tahun, anjuran pemberian makanannya yaitu sama dengan anak umur 2-3 tahun.

Memberi makan pada anak harus dengan kesabaran dan ketekunan, sebaiknya menggunakan cara-cara tertentu seperti dengan membujuk anak. Jangan memaksa anak, bila dipaksa akan menimbulkan esmosi pada anak sehingga anak menjadi kehilangan nafsu makan (Pudjiadi, 2005).

(19)

Sikap ibu/pengasuh yang hangat, ramah, menciptakan suasana yang nyaman, tenang, mengungkapkan kasih sayang dengan senyuman dan pelukan, dapat menimbulkan nafsu makan anak (Hurlock, 1991).

Pola asuh makan sangat menentukan status gizi anak. Ibu yang dapat membimbing anak tentang cara makan yang sehat dan bergizi akan meningkatkan gizi anak (Anwar, 2004). Sebaiknya pola asuh makan yang tidak memadai dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi pada anak (UNICEF, 1999, Kurniawan et. Al, 2001).

2.1.3. Pola Asuh Kesehatan

Perawatan Kesehatan atau Asuh Kesehatan berdasarkan aspek pola asuh menurut Engle et.al (1997), meliputi praktek kebersihan dan sanitasi lingkungan dan perawatan anak balita dalam keadaan sakit seperti pencari pelayanan kesehatan.

a. Praktik Kebersihan/hygiene dan Sanitasi Lingkungan

Widaninggar (2003) menyatakan kondisi lingkungan anak harus benar-benar diperhatikan agar tidak merusak kesehatan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan rumah dan lingkungan adalah bangunan rumah, kebutuhan wang (bermain anak), pergantian udara, sinar matahari, penerangan, air bersih, pembuangan sampah/air kotor (limbah), kamar mandi dan kakus (jamban/WC) dan halaman rumah. Kebersihan, baik kebersihan perorangan maupun kebersihan lingkungan memegang peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Kebersihan perorangan yang kurang, akan memudahkan terjadinya penyakit-penyakit kulit dan saluran pencernaan seperti diare, cacingan, dll. Sedangkan kebersihan lingkungan erat hubungannya dengan penyakit saluran pernafasan, saluran pencernaan, serta penyakit akibat

(20)

nyamuk. Oleh karena itu penting membuat lingkungun menjadi layak untuk tumbuh kembang anak, sehingga meningkatkan rasa aman bagi ibu/pengusuh anak dalam menyediakan kesempatan bagi anaknya untuk mengeksplorasi lingkungan.

Sulistijani (2001) mengatakan bahwa lingkungan yang sehat perlu diupayakan dan dibiasakan, tetapi tidak dilakukan sekaligus, harus perlahan-lahan dun tenis menerus. Lingkungan sehat terkait dengan keadaan bersih, rapi dan teratur. Oleh karena itu, anak perlu dilatih untuk mengembangican sifat-sifat sehat seperti berikut: - Mandi 2 kali sehari

- Cuci tangan sebelum dan sesudah makan - Makan teratur, 3 kali sehari

- Menyikat gigi sebelum tidur

- Membuang sampah pada tempatnya - Buang air kecil pada tempatnya.

b. Perawatan Balita dalam Keadaan Sakit

Anak balita adalah kelompok usia yang rentan terserang penyakit, terkait dengan interaksi dengan sarana dan prasarana di rumah tangga dan sekelilingnya. Jenis sakit yang dialami, frekuensi sakit, lama sakit, penanganan anak balita sakit dan status gizi anak balita (Budi, 2006).

Kesehatan anak harus mendapat perhatian dari para orang tua yaitu dengan cara segera membawa anaknya yang sakit ketempat pelayanan kesehatan yang terdekat (Soetningsih, 1995). Masa bayi dan balita sangat rentan terhadap penyakit seperti flu, diare atau penyakit infeksi lainnya. Jika anak sering menderita sakit dapat

(21)

menghambat atau mengganggu proses tumbuh kembang anak. Ada beberapa penyebab seorang anak mudah terserang penyakit adalah:

1. Apabila kecukupan gizi terganggu karena anak sulit makan dan nafsu makan menurun. Akibatnya daya tahan tubuh menurun sehingga anak menjadi rentan terhadap penyakit.

2. Lingkungan yang kurang mendukung sehingga perlu diciptakan lingkungan dan perilaku yang sehat.

3. Jika orang tua lalai dalam memperhatikan proses tumbuh kembang anak oleh karena itu perlu memantau dan menstimulasikan tumbuh kembang bayi dan anak secara teratur sesuai dengan tahapan usianya dan segera memeriksakan kedokter jika anak sakit.

Status kesehatan merupakan salah satu aspek pola asuh yang dapat mempengaruhi status gizi anak kearah membaik. Status kesehatan adalah hal-hal yang dilakukan untuk menjaga status gizi anak, menjauhkan dan menghindarkan penyakit serta yang dapat menyebabkan turunnya keadaan kesehatan anak. Status kesehatan ini meliputi hal pengobatan penyakit pada anak apabila anak menderita sakit dan tindakan pencegahan terhadap penyakit sehingga anak tidak sampai terkena suatu penyakit. Status kesehatan anak dapat ditempuh dengan cara memperhatikan keadaan gizi, kelengkapan imunisasinya, kebersihan diri anak dan lingkungan dimana anak berada, serta upaya ibu dalam hal mencari pengobatan terhadap anak apabila anak sakit. Jika anak sakit hendaknya ibu membawanya ketempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik, puskesmas dan lain-lain (Zeitlin al. 1990).

(22)

Menurut Budi (2006), perilaku ibu dalam menghadapi anak balita yang sakit dan pemantauan kesehatan terprogram adalah pola pengasuhan kesehatan yang sangat mempengaruhi status gizi anak balita. Anak balita yang mendapatkan imunisasi akan lebih rendah mengalami risiko penyakit. Anak balita yang dipantau status gizinya di Posyandu melalui kegiatan penimbangan akan lebih dini mendapatkan informasi akan adanya gangguan status gizi. Sakit yang lama, berulang akan mengurangi nafsu makan yang berakibat pada rendahnya asupan gizi.

Pemantuan pertumbuhan anak dapat dilakukan dengan aktif mendatangi kegiatan pemeliharaan gizi, misalkan posyandu. Sebagian aktif mengikuti pemeliharaan gizi maka orang tua dapat melihat pertumbuhan anak melalui penimbangan bayi, pemberian vitamin A pada bulan Februari dan Agustus serta pemberian makanan tambahan (Shochib, 1998).

2.2. Karakteristik Keluarga 2.2.1. Pengetahuan Gizi Ibu

Menurut Notoatmodjo (1997), pengetahuan adalah merupakan hasil dan “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan berasal dan kata tahu yang berarti mengerti sesudah melihat, menyaksikan, mengalami. Pengetahuan itu sendiri berarti berkenan dengan hal (mata pelajaran). Pengetahuan itu dapat diperoleh dan pengalaman langsung maupun pengalaman dan orang lain yang sampai

(23)

kepadanya. Selain itu dapat juga melalui media komunikasi seperti radio, televisi, poster, majalah, dan surat kabar.

Suatu hal yang menyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan :

1) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.

2) Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi.

3) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi kesejahteraan gizi.

Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum di setiap negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi Lain sebab yang penting dan gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi ataupun kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Kebutuhan pangan teristimewa anak-anak dan wanita selama hamil dan menyusui sering tidak dimengerti sop, bubur encer atau kuah daging kadang-kadang dianggap sebagai suatu susunan makanan yang baik untuk anak-anak kecil pada masa disapih. Berhubung mereka kecil dan laju pertumbuhannya cepat, anak-anak kecil perlu makanan yang mudah dicerna dan mutu gizinya sangat baik serta disajikan kepada mereka beberapa kali setiap hari, dan sudah tentu, tidak kurang dari tiga kali sehari (Suhardjo, 1986).

(24)

Perilaku seseorang dalam memilih makanan sangatlah subjektif. Hal ini dapat dimengerti karena pemilihan dipengaruhi oleh latar belakang hidup seseorang khususnya seorang ibu. Pada umumnya ada tiga pengaruh seseorang dalam memilih makanan, yaitu 1) lingkungan keluarga, tempat seseorang hidup dan dibesarkan; 2) lingkungan kepada dirinya maupun keluarganya; dan 3) dorongan yang berasal dalam diri atau disebut faktor internal.

Lingkungan keluarga mengajarkan untuk menyukai makanan tertentu sesuai dengan ragam pangan keluarga. Sejak kecil anak dikenalkan berbagai aroma, rasa, rupa, dan bentuk secara terus-menerus sebatas konsep pangan yang dinnliki keluarga. Ibu sebagai pemegang konsep pangan keluarga memiliki peran yang penting dalam mengajarkan arti pangan kepada anaknya.

Kemampuan ini didukung oleh seberapa banyak pengetahuan seorang ibu tentang kualitas, kuantitas, variasi, ataupun ragam pangan yang diselaraskan dengan pangan. Misalnya konsep pangan yang berkaitan dengan kebutuhan fisik, apakah makan asal kenyang atau makan untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Selain itu konsep pangan yang berhubungan dengan aspek psikologis, yaitu kesukaan terhadap beberapa jenis makanan tertentu. Bisa juga konsep pangan yang hubungan dengan pengertian tabu.

Seorang ibu yang memiliki pandangan tradisional tentu akan tetap mempertahankan konsep pangan seperti yang diajarkan oleh kedua orang tuanya yang bersifat turun-temurun. Kondisi ini semakin berakar kuat ketika fungsi keluarga sebagai penopang pemenuhan kebutuhan makan masih dominan (Marwanti, 2000)

(25)

Tingkat pengetahuan akan berpengaruh terhadap tindakan dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman, dan kejelasan konsep mengenai objek tertentu. Pengetahuan serta kesukaan ibu terhadap jenis-jenis makanan tertentu sangat berpengaruh terhadap hidangan-hidangan yang disajikan kepada anak balita yang sudah mulai disapih.

Pengetahuan gizi ibu sangat diperlukan dalam upaya pemilihan makanan yang akan dikonsumsi, dengan tujuan agar makanan tersebut memberikan gizi yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh tubuh. Kurangnya pengetahuan tentang gizi merupakan faktor yang sangat penting dalam menimbulkan keadaan gizi salah terutama pada golongan yang masih rawan seperti balita.

Hal yang sangat berpengaruh pada kurangnya pemahaman ibu tentang gizi adalah karena tiadanya informasi yang memadai. Sekalipun kurangnya daya beli merupakan hal yang utama, tetapi masalah kebutuhan gizi akan bisa diatasi kalau si ibu mempunyai pemahaman dan tahu bagaimana seharusnya memanfaatkan segala sumber yang dimiliki.

2.2.2 Peran Ibu dalam Keluarga

Sering dikatakan bahwa ibu adalah jantung dan keluarga. Jantung dalam tubuh merupakan alat yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Apalagi jantung berhenti berdenyut maka orang tua tidak bisa melangsungkan hidupnya. Dan perumpamaan ini bisa disimpulkan bahwa kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral, sangat penting untuk melaksanakan kehidupan. Pentingnya seorang ibu terutama terlihat sejak kelahiran anaknya, dia harus memberikan susu agar anak itu bisa melangsungkan hidupnya (Gunarsa, 1993).

(26)

Tugas pokok wanita sebagai ibu adalah pemelihara rumah tangga, pengatur, berusaha dengan sepenuh hati agar keluarga sebagai sendi masyarakat akan berdiri tegak, megali, aman, tentram, dan sejahtera hidup berdampingan dengan dan di dalam masyarakat ramai. Sebagai ibu, ia juga menciptakan suasana persahabatan, kekeluargaan dengan keluarga-keluarga lain dalam lingkungan dimana ia hidup. Keluar, ia berusaha agar hubungannya dengan keluarga lain dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis. Kedalam ia berusaha agar keluarganya sendiri dapat merupakan kesatuan/unit yang kompak dan keluarga yang terhormat. Dengan berbagai cara dan ikhtiar ia berusaha, bekerja dengan memberikan apa saja yang dipunya, dengan sepenuh hati secara ikhlas dan rela menjaga kehormatan keluarga bersama suami dan anak-anaknya.

Menurut Zeiltlin et al (1990), pola asuh anak (Care) berkaitan dengan :

1. Karakteristik Keluarga (Caregiver) yang terdiri dari pendidikan, status gizi, pendapatan keluarga.

2. Karakteristik Anak yang terdiri dan umur, jenis kelamin, urutan dalam keluarga, berat badan lahir, jumlah saudara.

3. Status Kesehatan dan Gizi Anak.

2.2.3. Tingkat Pendidikan Ibu

Latar belakang pendidik seseorang merupakan salah satu unsur penting yang penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Masalah gizi sering timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai (Achadi, 2007).

(27)

Analisis data Susenas 2003, memberikan hasil bahwa pada masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah menunjukkan prevalensi gizi kurang yang cukup tinggi, dan sebaliknya pada masyarakat yang tingkat pendidikannya cukup tinggi prevalensi gizi kurangnya rendah. Ada dua sisi kemungkinan hubungan tingkat pendidikan orang tua dengan keadaan gizi anak balita. Pertama, tingkat pendidikan kepala keluarga secara langsung. Kedua, pendidikan ibu modal utama dalam menunjang perekonomian rumah tangga, juga berperan dalam pola penyusunan makanan rumah tangga maupun dalam pola pengasuhan anak(Survei Sosial, 2003).

Penelitian Sitepu (2006) dengan menggunakan desain cross sectional menunjukkan bahwa pendidikan ibu berhubungan dengan status gizi anak balita.(p=0,011).(Sitepu, 2006).

2.2.4. Pekerjaan Ibu

Dalam hal mengasuh anak, ibu adalah orang yang paling banyak terlihat sehingga pengaruhnya sangat besar bagi perkembangan anak. Meningkatnya kesempatan kerja wanita dapat mengurangi waktu untuk tugas-tugas pemeliharaan anak, kurang pemberian ASI (Soekirman, 2000).

Penelitian Sitepu (2006) dengan menggunakan desain cross sectional menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemberian kolostrum terhadap status gizi anak balita.(p=0,000).(Hermansyah, 2002).

2.3. Status Gizi

Status gizi adalah tingkat keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologik akibat dan tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh (Supariasa, 2001), sedangkan menurut

(28)

Soekirman (2000), status gizi adalah keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dan ukuran-ukuran gizi tertentu.

Seorang anak sehat, pada status gizi baik akan tunibuh dan berkembang dengan baik, berat dan tinggi badannya akan selalu bertambah.

2.3.1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Status Gizi

Menurut Apriadji (1986), ada dua faktor yang berperan dalam menentukan status gizi seseorang, yaitu:

1. Faktor Gizi Eksternal

Faktor Gizi Ekstemal adalah faktor-faktor yang berpengaruh diluar dan seseorang, yaitu daya beli keluarga, latar belakang sosial budaya, tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi, jumlah anggota keluarga dan kebersihan lingkungan.

2. Faktor Gizi Internal

Faktor Gizi Internal adalah faktor-faktor yang menjadi dasar pemenuhan tingkat kebutuhan gizi seseorang, yaitu nilai cerna makanan, status kesehatan, status fisiologis, kegiatan, umur, jenis kelamin dan ukuran tubuh.

Secara langsung status gizi dipengaruhi oleh asupan gizi dan penyakit infeksi kedua penyebab tersebut saling berpengaruh, dimana penyebab langsung timbul karena adanya penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan keluarga, pola pengasuhan anak serta sanitasi air bersih, dan pelayanan kesehatan dasar.

(29)

2.3.2. Penilaian Status Gizi

Untuk mengetahui pertumbuhan anak, secara praktis dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan anak secara teratur. Ada beberapa cara menilai status gizi, yaitu dengan pengukuran antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik yang disebut dengan penilaian status gizi secara langsung. Secara umum antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Antropometri merupakan pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dan berbagai tingkat umur dan tingkat gizi yang dapat dilakukan terhadap Berat Badan (BB), Tinggi Badan (TB) dan lingkaran bagianbagian tubuh serta tebal lemak dibawah kulit (Supariasa, 2001).

Jenis pengukuran yang paling sering dilakukan adalah antropometri, karena mudah prosedurnya sederhana dan dapat dilakukan berulang serta cukup peka untuk mengetahui adanya perubahan pertumbuhan tertentu pada anak balita. Cara pengukuran dengan antropometri dilakukan dengan mengukur beberapa parameter, antara lain umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak dibawah kulit. Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi adalah Berat Badan menurut Umur (BB/U),

Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB).

Pilihan indeks antropometri tergantung pada tujuan penilaian status gizi. Indeks BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah namun tidak spesifik karena berat badan selaizi dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan. Indeks TB/U menggambarkan status gizi

(30)

masa lalu karena dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Sedangkan indeks BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini, dapat dikategorikan sebagai kurus atau wasted, merupakan pengukuran antropometri yang terbaik.

Untuk menilai status gizi seseorang atau masyarakat digunakan Daftar Baku Antropometri. Saat ini dikenal 2 baku antropometri untuk menilai status gizi, yaitu Baku Harvard dan Baku WHO 2005 (Kepmenkes RI, 2010).

2.4. Landasan Teori

Status gizi adalah keadaan tubuh yang seimbang antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Ketersediaan gizi pada tingkat seluler dibutuhkan untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan menjalankan fungsi tubuh. Status gizi kurang pada dasarnya disebabkan oleh interaksi antara asupan gizi yang tidak seimbang dan penyakit infeksi.

Menurut UNICEF (United Nations Children’s Fund) (1998), gizi kurang disebabkan oleh berbagai faktor baik langsung (makanan tidak seimbang dan penyakit infeksi) maupun tidak langsung meliputi pola asuh (pola asuh makan dan pola asuh kesehatan). Pola asuh makan dapat berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam memberikan makan (Soekirman, 2000). Pola asuh kesehatan dan pola asuh diri sebagai sikap dan tindakan ibu terhadap kondisi lingkungan anak, meliputi: kebersihan dan sanitasi lingkungan, perawatan balita dalam keadaan sehat maupun sakit (Engle et al, 1997).

(31)

Sebagai bagian dari bentuk perilaku, pola asuh juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Lawrence Green yang dikutip Notoatmodjo (2003), sebuah perilaku kesehatan timbul karena dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:

1. Faktor Predisposisi (predisposing factors), faktor ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya cirri-ciri individu yang digolongkan kedalam ciri-ciri:

a. Demografi (umur, jenis kelamin, status perkawinan, jumlah anggota

keluarga)

b. Struktur Sosial (tingkat pendidikan, jumlah pendapatan pekerjaan, ras,

kesukuan, agama, tempat tinggal)

c. Sikap, keyakinan, persepsi, pandangan individu terhadap pelayanan

kesehatan.

2. Faktor pemungkin (enabling factor) adalah faktor antesenden terhadap perilaku yang memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Termasuk di dalam faktor pemungkin adalah keterampilan dan sumber daya pribadi atau komuniti, seperti tersedianya pelayanan kesehatan, keterjangkauan, kebijakan, peraturan perundangan

3. Faktor penguat (reinforcing factor), adalah konsekuensi dari perilaku yang ditentukan apakah pelaku menerima umpan balik yang positif atau negatif dan mendapatkan dukungan social setelah perilaku dilakukan.

Jika disajikan dalam bentuk skema, maka keterkaitan antara status gizi, pola asuh dan perilaku dapat dilihat dalam gambar 2.1

(32)

Dampak Penyebab langsung Penyebab tidak langsung

Gambar 2.1. Keterkaitan antara Pola Asuh dan Status Gizi dengan Perilaku (Disesuaikan dari bagan UNICEF, 1998, Green. (dalam Notoatmodjo, 2003). Faktor Predisposi (pengetahuan,sikap,keyak inan,kepercayan, nilai-nilai, tradisi. Faktor Penguat (Dukungan kesehatan, Tokoh Masyarakat dan keluarga) Faktor Pemungkin (Fasilitas dan Sarana kesehtan) Status Gizi

Asupan Gizi penyakit infeksi

Persediaan pangan

Pola asuh anak

Sanitasi dan air bersih, Pel. Kes. Dasar

(33)

2.5. Kerangka Konsep

Adapun yang menjadi kerangka konsep penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Keterangan:

Kerangka konsep peneliti menggambarkan bahwasanya yang akan diteliti mencakup variabel karakteristik keluarga (pengetahuan ibu, pendidikan ibu, pendapatan, pekerjaan ibu ) sebagai variabel yang mempengaruhi pola asuh anak balita yang menentukan baik atau tidak nya status gizi anak balita.

Karakteristik Keluarga: 1.Pengetahuan ibu 2.Pendidikan Ibu 3.Pendapatan 4.Pekerjaan Ibu

Status Gizi Balita

Pola Asuh:

1. Pola Asuh Makan 2. Pola Asuh Perawatan

Gambar

Gambar 2.1.   Keterkaitan antara Pola Asuh dan Status  Gizi  dengan  Perilaku     (Disesuaikan dari bagan UNICEF, 1998, Green
Gambar 2.2  Kerangka Konsep  Keterangan:

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun metoda penyambung poros dengan menggunakan kopling ini banyak digunakan, namun satu hal yang tidak bisa dihindari adalah adanya ketidak sebarisan

Hubungannya dapat dilihat dari pembelajaran Numbered Heads Together yang merupakan bagian dari model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus,

Dari percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa ayunan konis yaitu sebuah benda bermassa m Dari percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa ayunan konis yaitu sebuah benda bermassa

24.1 Dokumen yang harus disampaikan oleh peserta secara elektronik (softcopy) adalah yang ditetapkan oleh pokja dalam dokumen pengadaan yaitu dokumen penawaran terdiri dari

Untuk membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya,peneliti ingin menguji secara lebih menyeluruh dan mendalam mengenai mekanisme good corporate

SILABUS PEMBELAJARAN disusun berdasarkan Standar Isi, yang di dalamnya berisikan Identitas Mata Pelajaran, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD),

Hasil dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa motivasi karir, motivasi ekonomi, motivasi kualitas, persepsi, dan lama pendidikan secara signifikan berpengaruh terhadap

Apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara sikap dengan intensi untuk mengimplementasikan perubahan kurikulum KTSP pada guru-guru SD di Gugus Nusa