• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekologi Dan Etnobotani Pohon Penghasil Damar Pada Suku Anak Dalam Di Taman Nasional Bukit Duabelas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekologi Dan Etnobotani Pohon Penghasil Damar Pada Suku Anak Dalam Di Taman Nasional Bukit Duabelas"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

EKOLOGI DAN ETNOBOTANI POHON PENGHASIL

DAMAR PADA SUKU ANAK DALAM DI TAMAN

NASIONAL BUKIT DUABELAS

RANA RIO ANDHIKA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ekologi dan etnobotani pohon penghasil damar pada Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

(4)

RINGKASAN

RANA RIO ANDHIKA. Ekologi dan Etnobotani Pohon Penghasil Damar pada Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas. Dibimbing oleh MUHADIONO dan IWAN HILWAN.

Damar dalam penelitian ini dihasilkan pohon famili Dipterocarpaceae dan Burseraceae. Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) bermukim di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) memanfaatkan damar untuk bahan bakar obor, obat, ritual dan perekat. TNBD merupakan areal pelestarian hutan terkait erat kearifan lokal masyarakat SAD. Informasi ekologi dan etnobotani pohon penghasil damar masih terbatas, selanjutnya penelitian bertujuan menginventarisasi pohon penghasil damar, mengungkap kearifan lokal SAD memanfaatkan pohon penghasil damar, mengkaji komposisi vegetasi di zona pemanfaatan TNBD, karakter edafik habitat pohon penghasil damar serta strategi konservasi tumbuhan agar berkelanjutan.

Penelitian dilaksanakan bulan April-Juni 2014 di zona pemanfaatan TNBD wilayah Sarolangun. Analisis vegetasi menggunakan metode nested sampling. Data etnobotani penghasil damar diperoleh melalui wawancara, observasi partisipasi aktif dan dokumentasi menggunakan teknik snowball sampling.Identifikasi sifat tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB Dramaga Kab. Bogor. Identifikasi tumbuhan penghasil damar menggunakan Buku Pedoman Identifikasi Dipterocarpaceae Sumatera dan sebagian sampel tumbuhan dikirim ke Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Analisis data dengan Indeks Nilai Penting dan Indeks of Cultural Significance. Karakteristik tanah mencirikan keberadaan pohon penghasil damar ditentukan dengan analisis komponen utama (AKU). Kemiripan karakteristik tanah antar habitat pohon tersebut ditentukan dengan analisis Hirarki Gabungan Klaster (HGK) menggunakan software XLSTAT 2014.

(5)

me/100g), kandungan Na (0,1-0,13 me/100g) dan KB (5-6 %). Kemiripan karakteristik tanah habitat H. dryobalanoides, Sa. dacryodifolia dan P. malaanonan pada unsur N total (0,15-0,21 %), Rasio C/N (9-10%), K (0,1-0,17 me/100g) dan C-org (1,51-1,91 %).

Pemanfaatan penghasil damar oleh masyarakat SAD terbagi atas tujuh kategori yaitu sebagai sumber bahan bangunan, bahan pengobatan, pangan sekunder, bahan baku peralatan, bahan kerajinan, sarang lebah madu, dan penghasil damar. Masyarakat SAD menggunakan damar untuk sumber bahan bakar, pengobatan, perekat dan ritual adat. Jenis S. cf. singkawang berkategori ICS tertinggi (152), karena kulit batang sangat dibutuhkan masyarakat SAD untuk bahan baku obor. Selanjutnya pelestarian tumbuhan penghasil damar melalui dua kebijakan yaitu kebijakan adat pemanfaatan tumbuhan dan pengelolaan lanskap hutan. Strategi konservasi C. pilosum dengan cara mempertahankan habitat dan intensitas pemanfaatan, karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat SAD dan ketersediaan jenis cukup di zona pemanfaatan. Strategi konservasi H. dryobalanoides, dengan cara mempertahankan habitat dan meningkatkan intensitas pemanfaatan, karena ketersediaan jenis cukup dan intensitas pemanfaatan menurun. Strategi konservasi H. mengarawan dan Da. rugosa dengan cara budidaya dan tetap mempertahankan intensitas pemanfaatan, karena ketersediaan jenis dan intensitas penggunaan rendah. Strategi konservasi jenis D. baudii, D. hasseltii, Sa. dacryodifolia, S. laevigata, S. bracteolata, S. leprosula, S. multiflora, S. retinodes, S. cf.singkawang dan P. malaanonan dengan cara budidaya dan menurunkan intensitas pemanfaatan, karena ketersediaan jenis rendah dan intensitas pemanfaatan tinggi.

(6)

SUMMARY

utilizing dammar torches for fuel, medicine, rituals and adhesives. Bukit Duabelas National Park was a forest conservation area closely related to local wisdom of Anak Dalam Tribe. According to ecological Information and ethnobotany dammar producing trees are still limited. The research aims was to inventory the dammar producing plants, exposing local wisdom Anak Dalam Tribe, reviewing the composition of the vegetation in the utilization zone Bukit Duabelas National Park, characteristic of dammar habitat soil producing trees and plants conservation strategy is needed.

The research was conducted from April to June 2014 in the utilization zone Bukit duabelas National Park, Sarolangun. Vegetation analysis was carried out using nested sampling method. Ethnobotany trees data of dammars collected through interviews, observation and documentation passive participation using snowball sampling technique. Soil analysis was carried out in the Laboratory of the Department of Soil Science and Land Resources Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University, Bogor. Identification of dammar trees was carried out using Dipterocarpaceae identification Handbook Sumatera, and parts of plant samples were sent to Herbarium of Bogoriense, Indonesian Institute of Sciences, Cibinong. Data analysis was performed using importance value index (IVI) and index of cultural significance (ICS). Soil characteristics were characterize by the presence of dammar producing trees, which was determined by principal component analysis (PCA). Similarities between soil habitats characteristics of the trees were determined by the analysis hierarchy cluster (AHC) using XLSTAT 2014 software.

(7)

(0.1-0.13 me/100 g) and base saturation (5-6%). Resemblance of soil characteristics of H. dryobalanoides, Sa. dacryodifolia and P. malaanonan were the total nitrogen elements (0.15-0.21%), ratio of C/N (9-10%), calium (0.1-0.17 me/ 100 g) and carbon organic (1.51-1.91%).

The utilization of producing resin producer by Anak Dalam community is divided into seven categories, namely as a source of building materials, medicine, food secondary raw materials equipment, craft materials, honeycomb, and producer of resin. Anak Dalam community uses resin as a source of fuel, medicine, adhesive and traditional rituals. The species of S. cf.singkawang was in highest category of ICS (152), because the bark was used by Anak Dalam Tribe community for raw materials of torch. Furthermore, the preservation of the trees dammar was through two policies, which is customs policy of plant utilization and management of forest landscapes. The conservation strategy of C. pilosum was needed to maintain habitat and intensity of the use, because it was needed by the community and sufficient availability of dammar was needed by Anak Dalam tribe in the utilization zone. The conservation strategy of H. dryobalanoides, is necessary through maintain habitat and increase the intensity of utilization, because the availability of sufficient dammar and intensity of use were decreases. The species conservation strategy of H. mengarawan and Dacryodes rugosa were needed cultivating and retaining the intensity of use, due to the availability of those species and intensity of use was low. The species conservation strategy of D. baudii, D. hasseltii, Sa. dacryodifolia, S. laevigata, S. bracteolata, S. leprosula, S. multiflora, S. retinodes, S. cf.singkawang and P. malaanonan was needed to reduce the intensity of cultivation and utilization due to low availability and high intensity of use.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

EKOLOGI DAN ETNOBOTANI POHON PENGHASIL

DAMAR PADA SUKU ANAK DALAM DI TAMAN

NASIONAL BUKIT DUABELAS

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April – Juni 2014 ini ialah pohon penghasil damar, dengan judul ekologi dan etnobotani pohon penghasil damar pada masyarakat Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Muhadiono, M.Sc selaku Ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Iwan Hilwan, MS selaku anggota pembimbing, Dr. Ir. Sulistijorini M.Si selaku Penguji luar komisi dan Dr. Ir. Miftahudin, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan yang telah memberi saran untuk perbaikan karya ilmiah ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bepa Betaring sebagai Temenggung dan selaku kepala adat Masyarakat SAD, pihak Balai Taman Nasional Bukit Duabelas Sarolangun, Jambi yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

3 METODE 11

Waktu dan Lokasi Penelitian 11

Alat dan Bahan 11

Teknik Pengumpulan Data 11

Analisis Data 13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16 Komposisi Floristik Zona Pemanfaatan 16

Karakteristik Tanah 20

Pengetahuan Masyarakat Suku Anak Dalam 25

Pemanfaatan Pohon Penghasil Damar 26

Pemanfaatan Damar 31

Pelestarian Pohon Penghasil Damar 35

Strategi Konservasi Pohon Penghasil Damar 37

5 SIMPULAN DAN SARAN 39

DAFTAR PUSTAKA 40

LAMPIRAN 45

RIWAYAT HIDUP 74

DAFTAR TABEL

1 Daftar klasifikasi damar di Benua Asia 9

2 Kriteria nilai SDR strata pohon penghasil damar 14

3 Kriteria ICS jenis pohon penghasil damar 14

4 Analisis strategi konservasi tumbuhan 15

5 Komposisi jenis penghasil damar tingkat pohon di zona pemanfaatan

TNBD Tahun 2014 17

6 Komposisi jenis penghasil damar tingkat tiang di zona pemanfaatan

TNBD Tahun 2014 18

7 Komposisi jenis penghasil damar tingkat sapihan di zona pemanfaatan

TNBD Tahun 2014 19

8 Komposisi jensi penghasil damar tingkat semai di zona pemanfaatan

TNBD Tahun 2014 20

9 Nilai kontribusi karakteristik tanah habitat pohon penghasil damar di

(14)

10 Inventarisasi pohon penghasil damar yang berguna bagi masyarakat SAD di TNBD wilayah Kabupaten Sarolangun Tahun 2014 27 11 Strategi konservasi pohon penghasil damar di zona pemanfaatan TNBD

Tahun 2014 38

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka alur penelitian ekologi dan etnobotani pohon penghasil damar pada masyarakat SAD di zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014 3 2 Peta zonasi Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) 6 3 Peta lokasi pengambilan sampel pohon penghasil damar 11 4 Petak contoh pengumpulan data vegetasi zona pemanfaatan TNBD 12 5 Histogram kerapatan jenis penghasil damar pada empat tingkat

pertumbuhan di zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014 20 6 Biplot AKU karakteristik tanah terhadap pohon penghasil damar di

zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014 21

7 Dendrogram kluster tanah habitat pohon penghasil damar di zona

pemanfaatan TNBD Tahun 2014 24

8 Pengelompokan jenis berdasarkan bagian pohon yang berguna bagi masyarakat SAD di TNBD wilayah Kabupaten Sarolangun Tahun 2014 28 9 Nilai kepentingan budaya SAD terhadap pohon penghasil damar di

TNBD wilayah Kabupaten Sarolangun Tahun 2014 29 10 Pengelompokan jenis berdasarkan kegunaan bagian non damar 30 11 Pengelompokan jenis damar berdasarkan kegunaan 33

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kunci identifikasi tekstur tanah 46

2 Dokumentasi penelitian di zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014 47 3 Penilaian kualitas, intensitas dan eksklusivitas tumbuhan berguna 51 4 Perhitungan INP floristik tingkat pohon di zona pemanfaatan TNBD

Tahun 2014 53

5 Perhitungan INP floristik tingkat tiang di zona pemanfaatan TNBD

Tahun 2014 57

6 Perhitungan INP floristik tingkat sapihan di zona pemanfaatan TNBD

Tahun 2014 60

7 Perhitungan INP floristik tingkat semai di zona pemanfaatan TNBD

Tahun 2014 63

8 Kandungan tanah habitat pohon penghasil damar di zona pemanfaatan

TNBD Tahun 2014 66

9 Daftar kategori nilai kandungan unsur tanah 67

10 Nilai kontribusi variabel unsur tanah habitat pohon penghasil damar di

zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014 68

11 Perhitungan ICS pohon penghasil damar pada masyarakat SAD di

TNBD wilayah Sarolangun Tahun 2014 69

12 Titik koordinat habitat pohon penghasil damar dan lokasi plot sampling

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropis terluas di dunia setelah Brazil dan Zaire (Setyowati 2003). Provinsi Jambi memiliki kawasan konservasi hutan seluas 676.120 ha atau kira-kira 3,4% total luas hutan Indonesia tersisa saat ini. Hutan merupakan sumberdaya alam bermanfaat ekologi dan ekonomi bagi masyarakat. Sumber daya hutan dikelola dan dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Manfaat tersebut tidak berlangsung lama apabila hutan terus dieksploitasi berupa kayu dan dikonversi tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekosistem. Konversi lahan hutan menjadi perkebunan, pemukiman penduduk dan penambangan batu bara mengganggu keseimbangan ekosistem hutan (Ita 2013).

Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) merupakan salah satu kawasan konservasi hutan tropis basah berada di Provinsi Jambi terletak di Kabupaten Sarolangun, Tebo dan Batanghari. Kawasan konservasi tersebut merupakan rumah Suku Anak Dalam (SAD) dengan luas areal 8,9% total luas kawasan hutan Jambi tersisa saat ini. TNBD memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi, antara lain hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang menunjang kehidupan masyarakat lokal SAD sebagai sumber bahan obat, kerajinan tangan, pendapatan dan bahan rumah tangga (BKSDA 2009). Pengelolaan HHBK masih terabaikan dan kurang perhatian masyarakat umum, karena kurang penelitian dan informasi tentang nilai ekonomi dan manfaat HHBK tersebut. Supriyadi (2012), SAD masih sulit menjual damar karena harga jual rendah dan tidak sesuai beban mencari damar di hutan terdegradasi.

Damar merupakan jenis HHBK dimanfaatkan masyarakat SAD bermukim di kawasan TNBD dan sekitarnya. Menurut Langenheim (2003), Damar dihasilkan pohon famili Dipterocarpaceae dan Burseraceae. Andhika et al. (2015) mengemukakan, bahwa masyarakat SAD memanfaatkan 22 jenis getah tumbuhan dalam memenuhi kebutuhan hidup di hutan. Tiga jenis diantaranya termasuk kategori damar Conggol (Hopea dryobalanoides), Meranti batu (Parashorea aptera) dan Meranti bungo (Shorea cf. singkawang). Menurut Sager (2008), masyarakat SAD memungut damar di hutan untuk bahan bakar obor penerangan.

Hutan TNBD bukan sekedar memiliki biodiversitas tinggi tetapi juga berkaitan erat dengan kearifan lokal masyarakat SAD yang berkembang dari nenek moyang terdahulu. Kearifan lokal menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman dan wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia di komunitas ekologis. TNBD penting sebagai areal pelestarian ekosistem jasa lingkungan bagi kelangsungan makhluk hidup sekitar hutan tersebut, maka perlu dilakukan identifikasi dan penggalian pengetahuan berbagai potensi untuk kemaslahatan bersama secara berkelanjutan. Lokasi ini dipilih karena tempat potensial melakukan penelitian ekologi dan etnobotani.

(16)

2

mencari fakta empiris tentang kehandalan masyarakat lokal mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan (Colfer et al, 2000; Colfer 2005). Stimulus konservasi tumbuhan berkaitan dengan nilai manfaat ekonomi, nilai ekologi, sosial budaya, maupun nilai religi atau kepercayaan masyarakat lokal (Zuhud 2009). Sasmita (2009), mengungkapkan kearifan lokal SAD berpedoman hukum adat yang diakui dan diberlakukan bersama.

Seiring modernisasi dikhawatirkan mempengaruhi perubahan sosio-budaya SAD mengancam punah kearifan lokal SAD untuk generasi berikut memanfaatkan dan melestarikan hutan di TNBD. Keterbatasan informasi kearifan lokal SAD berkaitan konservasi tradisional tumbuhan penghasil damar dan komposisi jenis tersebut belum memunculkan apresiasi pengembangan potensi serta tindakan konservasi. Berdasarkan latar belakang tersebut dilakukan kajian ilmiah ekologi dan etnobotani pohon penghasil damar masyarakat SAD Sarolangun di TNBD, Provinsi Jambi.

Perumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Keterbatasan dokumentasi ekologi dan etnobotani tumbuhan penghasil damar bermanfaat bagi SAD di TNBD. Bagaimana ekologi dan etnobotani jenis tumbuhan penghasil damar?

2. Keterbatasan dokumentasi kearifan lokal SAD dalam konservasi jenis tumbuhan penghasil damar. Bagaimana konservasi tiap jenis tumbuhan penghasil damar berdasarkan kearifan lokal SAD ?

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan:

1. Menginventarisasi pohon penghasil damar yang dimanfaatkan SAD. 2. Mengkaji komposisi floristik penghasil damar.

3. Mengkaji karakter tanah habitat pohon penghasil damar.

4. Mengungkap kearifan lokal SAD berkaitan konservasi tradisional pohn penghasil damar.

5. Mengkaji strategi konservasi pohon penghasil damar secara berkelanjutan.

Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan bermanfaat sebagai:

1. Dokumentasi ilmiah ekologi dan etnobotani pohon penghasil damar SAD Sarolangun di TNBD, Jambi,

2. Sumber informasi dan acuan pertimbangan bagi pemerintah merumuskan kebijakan strategi konservasi pohon penghasil damar.

(17)

3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian dibatasi pada ekologi dan etnobotani penghasil damar masyarakat SAD di zona pemanfaatan TNBD wilayah Kabupaten Sarolangun. Kerangka alur penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka alur penelitian ekologi dan etnobotani pohon penghasil damar pada masyarakat SAD di zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014

Potensi HHBK

Pohon penghasil damar

Analisis vegetasi dan Karakter tanah Snowball sampling

Komposisi jenis Konservasi lokal SAD

Strategi konservasi

Pelestarian jenis Keanekaragaman hayati TNBD

(18)

4

2

TINJAUAN PUSTAKA

Gambaran Umum Suku Anak Dalam

Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) disebut juga Orang dalam, Orang rimba dan Sanak, merupakan suku asli hidup nomaden di kawasan hutan di Provinsi Jambi. Secara garis besar, komunitas SAD dibagi tiga kelompok besar, yaitu masyarakat SAD Bukit Duabelas, jalan lintas dan selatan Bukit Tigapuluh. Hutan adalah tempat berburu, meramu, ritual penyembuhan penyakit, upacara kelahiran, upacara perkawinan dan kematian (Sager 2008).

Pada dasarnya, masyarakat SAD menganggap tabu menambah harta benda yang tidak termasuk kebutuhan pokok atau memiliki barang yang menyulitkan untuk berpindah-pindah. (Weintre 2003). Setyowati (2003) juga menyebutkan busana laki-laki memakai cawot (cawat) sedangkan wanita memakai kain panjang (kemben). Laki-laki memakai celana disebut cawat, terbuat dari kulit kayu terap (Artocarpus elasticus) untuk menutupi kemaluan. Sedangkan pakaian perempuan pemakaiannya ada dua tahapan. Pertama, khusus bagi perempuan belum menikah, kulit kayu menutupi dada sampai lutut atau betis, kedua, bagi perempuan sudah menikah, kulit kayu menutupi bawah dada atau pusar sampai lutut. Semenjak mengenal kain, laki-laki masyarakat SAD memakai cawat dari kain dan perempuan memakai kain panjang. Pakaian tradisional memudahkan bergerak cepat di hutan untuk mengejar binatang buruan atau untuk menghindari dari hal-hal yang berbahaya.

Masyarakat SAD memiliki kepercayaan kepada banyak Dewa yang memberi kekuatan, petunjuk, kesehatan, musibah, penyakit dan makanan, seperti Dewo Silumon (pohon bambu), dewa gajah (dewa gejoh), dewa harimau (dewo mato merego), dewa beruang, dewa burung gading dll. Meraka percaya bahwa bukan manusia saja memiliki jiwa, tetapi juga hewan, tumbuhan, batu, air, bahkan pelangi. Masyarakat SAD mematuhi pantangan dan larangan dewa yang diwariskan nenek moyang.

(19)

5 Pemukiman di hutan dengan sudung (rumah SAD) sebagai tempat berteduh dari hujan, sebagian menggunakan atap serdang dan rumbia, dinding terbuka dan beralas kayu. Tradisi nomaden terbagi dua yaitu tradisi belangun dan bemalom. Istilah belangun merupakan adat masyarakat SAD berupa perpindahan tempat tinggal, disebabkan ada kematian anggota kelompok masyarakat SAD. Bertujuan agar orang ditinggalkan tidak berlarut kesedihan dan pergi dari kesialan. Bemalom (merantau) adalah kegiatan perpindahan masyarakat SAD meramu dan berburu untuk persediaan bahan makanan sebelum masa panen ladang.

Dalam kehidupan berkelompok, SAD memiliki sistem lembaga adat yang sering disebut penghulu adat bertugas untuk mengurus dan memimpin kelompok SAD dengan menetapkan serta menyetujui hukum adat melalui sidang adat. Berdasarkan tugas dan wewenang, struktur penghulu adat SAD terdiri: Tuo Tengganai merupakan sebutan untuk pensiunan temenggung yang cukup tinggi pengetahuan mengenai aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat SAD. Tuo tengganai juga bertugas menasehati temenggung jika terdapat khilaf temenggung melaksanakan kebijakan adat. Temenggung dan Wakil Temenggung, temenggung bertugas memimpin dan bertanggung jawab terhadap seluruh anggota kelompok. Jika temenggung berhalangan hadir, maka digantikan oleh wakil temenggung. Depati bertugas kepanjangan tangan dari temenggung karena jika masalah masih bisa diselesaikan depati, maka depati yang menyelesaikan masalah tersebut. Menti bertugas mengumpulkan orang pada suatu acara dan menyampaikan informasi berupa pengumuman, berita, panggilan dan pesan kepada kelompok masyarakat SAD. Mangku bertugas menimbang keputusan dalam sidang adat (pemangku adat) dan menetapkan keputusan adil dalam sengketa serta menyelesaikan masalah terkait hukum. Debalang batin, tugas debalang adalah mengawal tumenggung dan menjaga keamanan kelompok masyarakat SAD serta eksekutor terhukum mati.

(20)

6

Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) merupakan salah satu kawasan hutan hujan tropis dataran rendah di Provinsi Jambi. Secara umum, memiliki topografi yang bervariasi mulai dari datar, bergelombang, dan perbukitan dengan ketinggian 50-438 m dpl. Karakteristik habitat pada zona pemanfaatan meliputi curah hujan berkisaran 3294-3669 mm/tahun tergolong tinggi, kelembaban udara (88-99%), suhu udara harian (28-31°C), suhu tanah harian (26-29°C). Jenis tanah mendominasi kawasan TNBD adalah Podzolik dan Latosol (Departemen Kehutanan 2009).Ada 12 bukit utama yang terdapat di TNBD yaitu Bukit Kuaran, Bukit Sungai Punai/Punai Banyak, Bukit Berumbung, Bukit Lubuk Semah, Bukit Sungai Keruh Mati, Bukit Panggang, Bukit Enau, Bukit Terenggang, Bukit Pal, Bukit Suban, Bukit Tiga Beradik dan Bukit Bitempo.

Gambar 2 Peta zonasi Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) (Sumber: BKSDA 2009)

(21)

7 rotan (Calamus spp.), bambu (Gigantochloa spp.), kemenyan (Sytrax benzoin), balam (Palaquium spp.), bua bunto (Ochanostachys amentacea), jamur dan pandan (Pandanus spp.).

Konsep Ekologi Tumbuhan

Ekologi tumbuhan adalah bagian ilmu yang mencoba mempelajari hubungan timbal balik antara tumbuhan dengan lingkungan habitat. Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh Reither dan Haeckel pada tahun 1869. Ekologi tumbuhan sekarang lebih menekankan pada studi aspek-aspek kegunaan alam (Setiadi dan Tjondronegoro 1989). Ekologi tumbuhan mempelajari hubungan timbal balik lingkungan abiotik dan biotik dengan tumbuhan yang terjadi di alam dengan tidak melakukan percobaan untuk melahirkan solusi terhadap permasalahan alam yang terjadi (Irwan 2012). Lingkungan biotik meliputi asosisasi, distribusi, kompetisi, parasit, dekomposer, detrivus, manusia, hewan, simbiosis dengan mahkluk hidup lainya, struktur dan komposisi vegetasi, sedangkan lingkungan abiotik meliputi topografi (ketinggian, latitude dan kelerengan lokasi), iklim (curah hujan, angin, kelembaban udara dan suhu udara), air, api, intensitas cahaya, radiasi, atmosfir dan tanah.

Berdasarkan atas komposisi jenis organisme yang dikaji, ekologi digolongkan dua kelompok sebagai berikut (Setiadi dan Tjondronegoro 1989): 1 Autekologi, yaitu ekologi yang mempelajari suatu spesies tumbuhan secara

individu yang berinteraksi dengan lingkungan biotik dan abiotik, contohnya ekologi manusia, ekologi serangga, dan ekologi tumbuhan.

2 Sinekologi, yaitu ekologi yang mempelajari kelompok tumbuhan yang bergabung dalam satu kesatuan dan saling berinteraksi dalam area tertentu, contohnya ekologi hutan, ekologi laut dan ekologi pesisir.

Konsep Etnobotani

Sejarah penelitian etnobotani diprakarsai oleh catatan C. Columbus dengan menemukan tembakau dan pemanfaatannya di Kuba pada tahun 1492 (Cummins 1992). Richard spruce, seorang ahli eksplorasi tumbuhan dan etnobotani Inggris, pada tahun 1851 mengungkapkan pemanfaatan Banisteriopsis caapi sebagai penghasil zat halusinogen oleh suku Indian, Amazone (Schultes 1983). Data etnobotani adalah data tentang pengetahuan botani masyarakat dan organisasinya bukan data botani taksonomi (Walujo 2004).

Etnobotani secara sederhana didefinisikan sebagai sebagai kajian interaksi manusia dengan keanekaragaman jenis tumbuhan (Cotton 1996; Martin 1995). Faham ini memadukan dalam satu ranah etnologi dan botani yang harus mampu saling mengisi dan menguatkan (Walujo 2009). Pengertian etnobotani harus mampu menungkapkan keterkaitan hubungan budaya masyarakat, terutama tentang persepsi dan konsepsi masyarakat dalam memahami sumberdaya nabati di sekitar tempat bermukim.

(22)

8

hayati, dan lingkungan dapat bersifat menguntungkan tetapi juga merugikan. Aspek interdisipliner meliputi etnofarmakologi, etnomedisional, etnogynaekologi, etnopediatrik, etnoortopedik, etnooptalmologi, etnoagrikultur, etnotoksikologi, etnomusikologi, etnoekologi, etnofitokimia, etnolinguistik, etnokosmetika dan lain-lain. Sedangkan Rifai (1998), berpendapat etnobotani sebagai cabang ilmu yang mempelajari hubungan budaya manusia dengan alam nabati sekitarnya, dalam hal ini lebih diutamakan persepsi dan konsepsi budaya kelompok masyarakat yang dipelajari dalam sistem pengetahuan anggotanya terhadap tumbuhan dalam lingkungan hidupnya.

Konsep Damar

Damar merupakan jenis resin yang dihasilkan tumbuhan dari anggota famili Dipterocarpaceae dan Burseraceae. Damar merupakan salah satu hasil hutan dari getah pohon yang membeku akibat perlukaan organ dan kontaminasi udara (Langenheim 2003). Hill (2006) menggolongkan resin menjadi tiga kelompok yaitu hard resin, gum resin dan oleoresin. Damar termasuk kelompok Hard resin yang sedikit mengandung minyak essensial, berwujud padatan, mudah rapuh, tanpa bau dan rasa. Menurut Gianno (1986), damar adalah material solid atau semi solid terdiri komponen kompleks bersifat tidak larut air dan kloral hidrat yang larut menggunakan pelarut organik (alkohol dan terpentin).

Produksi cairan damar di sel parenkim yang terdapat di korteks, empulur batang, parenkim floem dan parenkim xilem akar. Sel parenkim mengelilingi saluran damar yang dilindungi sel-sel epitelium. Di dalam saluran, cairan damar mendapat tekanan fisiologis dan mekanis, sehingga apabila saluran damar terpotong dan dilukai, maka sekresi cairan damar tersebut keluar, selanjutnya membeku jika terkontaminasi udara (Sutrian 2011). Damar berperan bagi tumbuhan untuk melindungi dan menutupi bagian yang terluka dari serangan hama pengerek kayu dan penyakit, sehingga terhambat memasuki lubang luka tumbuhan (Newman et al. 1999).

Damar telah diperdagangkan di antara pulau-pulau Asia Tenggara sejak sekitar tahun 3000 SM. Ekspor pertama ke Eropa dan Amerika dimulai sekitar tahun 1830-an. Saat ini, Indonesia adalah negara penghasil damar mata kucing (Shorea javanica) terbesar di dunia yang ditanam dan diproduksi di Krui, Lampung. Daerah ini memproduksi sekitar 10.000 ton damar mata kucing setiap tahun, yang mencakup lebih dari 80 % produksi damar nasional. Semula damar digunakan untuk bahan bakar obor, pewarna batik tulis dan dupa serta melapisi bagian sambungan kapal agar tahan air. Sejak abad ke 18 M, damar digunakan dalam industri cat, tinta, pernis dan bahan tambahan pembuatan soda (Beer 2005). Secara komersil damar sebagai sumber bahan baku cat, pernis, industri linoleum, farmasi kosmetik dan makanan (Wardah 2005). Damar dimanfaatkan untuk bahan baku, antara lain cat, tinta, pernis, dan bahan tambahan pangan (Edriana et al. 2004; Lakerveld 2007). Damar mengandung senyawa bioaktif teridentifikasi sebagai vulgarol B; 3,4-secodamar-4(28)-en- 3-oic acid; dan (7R,10S) -2,6,10-trimetil-7-epoksi-2,11-dodecadiene (Mulyono et al. 2012).

(23)

9 Tabel 1 Daftar klasifikasi damar di Benua Asia

No. Damar Jenis penghasil Asal tumbuhan Kegunaan

1 Damar

-Shorea hypochra - Malaysia dan Indonesia

- Asia Tenggara - Bahan penerangan, dempul, cat, pernis

- Asia Tenggara - Dempul, pelarut parfum dan penguat

- Asia Tenggara - Pernis, penguat dan pelarut aroma parfum

- Asia Tenggara - Pernis,bahan dasar penguat dan pelarut

(24)

10

Tabel 1 Daftar klasifikasi damar di Benua Asia (lanjutan) No. Damar Jenis penghasil Asal tumbuhan Kegunaan

-S. javanica - Sumatera

Sumber: Hill 2006; Langenheim 2003; Gianno 1986; Mulyono 2010 ;Sumadiwangsa dan Gusmailina 2006.

(25)

11

3

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan bulan April-Juni 2014. Lokasi penelitian di zona pemanfaatan TNBD wilayah Sarolangun, Jambi. Penentuan lokasi penelitian dengan metode purposive sampling (disesuaikan dengan tujuan penelitian dan sampel yang mewakili populasi). Lokasi pengambilan sampel disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Peta lokasi pengambilan sampel pohon penghasil damar

Alat dan Bahan

Perlengkapan teknis maupun non teknis penelitian adalah kamera, perekam suara, panduan wawancara semi terstruktur, kertas label, kertas koran, tali ukur, tali tambang, kardus, karung, peta, GPS, soil tester, sasak, plastik, skop tanah, alkohol 70%, tali rafia, simpul, buku identifikasi pohon, laptop, etiket gantung dan alat tulis.

Teknik Pengumpulan Data

Kajian Ekologi

Pengumpulan data vegetasi. Data vegetasi diperoleh menggunakan kombinasi metode jalur dan garis berpetak (nested sampling) di lokasi zona pemanfaatan TNBD (Soerianegara dan Indrawan 2002). Total plot berjumlah 35 plot (1,4 ha). Jalur plot dengan arah rintis mendaki dan menurun perbukitan. Data tersebut meliputi keanekaragaman jenis tumbuhan, diameter batang jenis, jumlah individu dan luas bidang dasar setiap jenis. Ilustrasi plot ditunjukkan pada Gambar 4.

Zona pemanfaatan

(26)

12

Gambar 4 Petak contoh pengumpulan data vegetasi zona pemanfaatan TNBD. Petak ukur (20 m x 20 m) untuk tingkat pohon (diameter > 20 cm), petak ukur (10 m x 10 m) untuk tingkat tiang (diameter 7 – 20 cm), petak ukur (5 m x 5 m) untuk tingkat sapihan (tinggi ≥ 150 cm, diameter 2-7 cm) dan petak ukur (2 m x 2 m) untuk tingkat semai ( tinggi < 150 cm, diameter < 2 cm).

Identifikasi sifat tanah. Pengambilan sampel tanah dilakukan untuk menentukan tekstur dan sifat kimia tanah. Kandungan unsur hara diidentifikasi termasuk kategori unsur makro essensial (Rasio C/N, C-org, P, N-total, Ca, Mg, K dan Na). Lokasi pengambilan sampel tersebut di habitat lima jenis pohon penghasil damar dengan INP tertinggi dan lima jenis ICS tertinggi. Menurut Rugayah et al. (2004) bahwa pengambilan sampel tanah berjarak 1 m dari jenis pohon dengan kedalaman 20 cm secara acak di empat titik dengan masing-masing sebanyak 1 kg, kemudian dicampur dan diaduk sampai merata, selanjutnya sampel diambil sebanyak 0,5 kg sehingga mewakili sampel tanah lokasi tersebut. Data pH tanah diukur menggunakan soil tester di habitat pohon penghasil damar. Analisis kandungan sampel tanah di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB Dramaga Kabupaten Bogor. Tekstur tanah ditentukan menggunakan diagram segitiga dan Tabel identifikasi tekstur tanah berdasarkan persentase pasir, debu dan liat (Lampiran 1).

Kajian Etnobotani

Pengumpulan data etnobotani. Data diperoleh melalui wawancara, observasi partisipasi dan dokumentasi (Martin 1995) untuk mengetahui informasi inventarisasi jenis pohon penghasil damar dan kearifan lokal SAD dalam aktivitas pemanfaatan serta pelestarian pohon tersebut. Wawancara secara mendalam dan bebas bertanya kepada informan menggunakan panduan terkait jenis tumbuhan penghasil damar (Cunningham 2001). Pemilihan informan menggunakan teknik snowball sampling, menentukan informan berikutnya berdasarkan rekomendasi temenggung (informan kunci) (Sugiyono 2011).

Observasi partisipasi adalah pengamatan langsung kegiatan SAD memanfaatkan damar dan melestarikan pohon penghasil damar (Purwanto 2003). Pengambilan dokumentasi berupa foto (Lampiran 2), rekaman wawancara dan sampel tumbuhan terlebih dahulu meminta izin kepada informan.

(27)

13 Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong. Sampel dikoleksi dari lapangan disemprot spritus menggunakan sprayer sampai merata. Kemudian sampel dibungkus dengan kertas koran, selanjutnya dimasukkan ke dalam kantong plastik berukuran 60 cm x 40 cm dan disiram spritus sampai merata. Sampel disusun dan ditekan dengan sasak. Selanjutnya pengeringan sampel dengan oven pada suhu 40-50°C selama 24 jam (jenis tumbuhan). Pengeringan segera dilakukan, jika terlambat mengakibatkan sampel rontok dan rusak. Pencatatan data lapangan dilengkapi dokumentasi foto habitus dan organ penciri jenis.

Analisis Data

Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi untuk menentukan indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan di zona pemanfaatan. INP merupakan jumlah persentase parameter kuantitatif relatif (kerapatan, frekuensi dan dominansi) (Setiadi dan Tjondronegoro 1989). Secara matematis, INP (fase pohon dan tiang) = KR + FR +DR, INP (fase sapihan dan semai) = KR + FR. Nilai KR, FR dan DR dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Cox 1972).

Kerapatan jenis (Kᵢ) (ind/ha) Kerapatan relatif jenis (KR) ᵢ umla in ivi u suatu enisLuas seluru peta onto 100

Frekuensi jenis (Fᵢ) Frekuensi relatif jenis (FR) ᵢ umla peta itemu an suatu enis umla seluru peta onto 100

Dominasi jenis (Dᵢ) (m²/ha) Dominasi relatif jenis (DR)

ᵢ i ang asar suatu enisLuas peta onto 100

Summed dominance ratio (SDR) adalah nilai perbandingan persentase INP terhadap jumlah parameter kuantitatif penyusun INP. Nilai SDR menunjukkan persentase dominansi dan tingkat ketersediaan jenis di ekosistem. Secara matematis, untuk fase pohon dan tiang dirumuskan sebagai berikut (Cox 1972).

Untuk fase sapihan dan semai dirumuskan:

Dalam menentukan kategori nilai SDR jenis pohon penghasil damar berdasarkan Tabel 2.

(28)

14

Tabel 2 Kriteria nilai SDR strata pohon penghasil damar

No. SDR (%) Kategori

1 ≥ 5 Tinggi

2 3,5 – 4,9 Sedang

3 ≤ 3,49 Rendah

Sumber: Heriyanto (2004)

Analisis Karakteristik Tanah

Analisis Komponen Utama (AKU) dan Hirarki Gabungan Klaster (HGK) menggunakan software XLSTAT 2014. AKU untuk menentukan karakteristik tanah yang mencirikan keberadaan jenis pohon penghasil damar. Analisis HGK untuk mengetahui kemiripan karakteristik tanah antar habitat tumbuhan penghasil damar. Menentukan kategori status konservasi setiap tumbuhan penghasil damar versi IUCN 2015 pada website www.redlist.iucn.org.

Analisis Kepentingan Budaya

Analisis untuk menentukan nilai kepentingan budaya masyarakat SAD terhadap tumbuhan penghasil damar menggunakan Indeks of Cultural Significance (ICS) (Cunningham 2001). Rumus ICS sebagai berikut (Turner 1988):

S ∑ q i e nᵢ n

i 1

Keterangan: ICS = Indeks kepentingan budaya; q = Nilai kualitas; i = Nilai intensitas; e = Nilai eksklusivitas; nᵢ = Menunjukkan urutan pemanfaatan tumbuhan yang kesekiannya.

Dimana, ICS menunjukkan persamaan jumlah nilai kepentingan suatu jenis tumbuhan dari penggunaan ke-satu (i) hingga terakhir (n). Nilai kualitas ditentukan dengan memberikan skor atau nilai kegunaan suatu jenis, nilai intensitas menunjukkan intensitas penggunaan dari jenis tumbuhan dan nilai eksklusivitas menunjukkan nilai kesukaan tingkat kebutuhan tumbuhan tergantung budaya SAD (Lampiran 3). Menentukan kategori ICS jenis pohon penghasil damar menggunakan Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3 Kriteria ICS jenis pohon penghasil damar

No. ICS Kategori

1 ≥ 50 Tinggi

2 25 – 49,5 Sedang

3 1 – 24,5 Rendah

Sumber: modifikasi dari Turner (1988)

Analisis Strategi Konservasi

(29)

15 Tabel 4 Analisis strategi konservasi tumbuhan

No. Kategori pembanding Tindakan konservasi

SDR ICS

1 Tinggi/sedang Rendah mempertahankan habitat dan

meningkatkan intensitas pemanfaatan 2 Tinggi/sedang Tinggi/sedang mempertahankan habitat dan intensitas

pemanfaatan jenis

3 Rendah Tinggi/sedang membudidayakan dan menurunkan intensitas pemanfaatan

4 Rendah Rendah membudidayakan dan mempertahankan intensitas pemanfaatan

Sumber: modifikasi dari Batoro (2012)

(30)

16

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Floristik Zona Pemanfaatan

Komposisi floristik merupakan daftar jenis tumbuhan pada suatu komunitas. Daftar floristik berguna sebagai parameter vegetasi untuk mengetahui jenis dalam suatu komunitas (Fachrul 2007). Data komposisi jenis diperlukan untuk strategi dan usaha konservasi jenis tumbuhan dalam suatu komunitas (Kainde 2011).

Persentase INP merupakan perjumlahan tiga parameter kuantitatif untuk menyatakan ketersediaan, penyebaran dan penguasaan jenis di suatu ekosistem (Cox 1972). Pada vegetasi tingkat pohon terdapat 107 jenis dengan kerapatan jenis total 314 pohon/ha. Pohon yang dominan di zona pemanfaatan adalah medang labu (Litsea tomentosa), selanjutnya pohon yang kodominan adalah terap (Artocarpus elasticus), selanjutnya diikuti balam merah (Palaquium gutta) dengan urutan nilai INP 13,31%, 11,73% dan 10,76%. Berdasarkan perhitungan INP tingkat pohon, famili dipterocarpaceae cukup tersedia di zona pemanfaatan TNBD. Ashton (1998) menyatakan, habitat alami famili Dipterocarpaceae adalah hutan yang telah mencapai klimaks dalam proses suksesi. Oleh karena itu keberadaan jenis dari famili tersebut merupakan indikator kestabilan hutan. Kerapatan ketiga jenis tersebut adalah 14 individu/ha (data selengkapnya pada Lampiran 4).

Nilai kerapatan individu adalah perbandingan jumlah pohon terhadap luas suatu area. Kerapatan menunjukkan ketersediaan jenis pada satu hektar (ha) luas area tertentu. Nilai frekuensi adalah perbandingan jumlah plot yang terdapat suatu jenis terhadap jumlah keseluruhan plot. Frekuensi menggambarkan penyebaran dan kehadiran suatu jenis di area tertentu. Nilai dominasi diperoleh dari perbandingan luas bidang dasar batang terhadap luas keseluruhan plot. Dominasi menggambarkan tingkat penguasaan tumbuhan pada satu hektar (ha) luasan area tertentu (Cox 1972). Berdasarkan wawancara dan observasi partisipasi diperoleh 14 jenis pohon penghasil damar yang dimanfaatkan Suku Anak Dalam (SAD) di zona pemanfaatan yaitu Canarium pilosum, Dacryodes rugosa, Dipterocarpus baudii, D. hasseltii, Hopea dryobalanoides, H. mengarawan, Parashorea malaanonan, Santiria dacryodifolia, Sa. laevigata, Shorea cf. singkawang, S.bracteolata, S. leprosula, S. multiflora dan S. retinodes. Data komposisi jenis pohon penghasil damar disajikan pada Tabel 5.

Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan jenis pohon penghasil damar yang cukup tersedia di zona pemanfaatan adalah H. dryobalanoides (INP=10,37%) dan C. pilosum (INP=10,25%). Hal ini disebabkan keberhasilan regenerasi jenis tersebut didukung faktor lingkungan dan masyarakat SAD tidak memanfaatkan bagian batang jenis tersebut, sehingga terhindar dari penebangan. Pohon bernilai INP>10% berpeluang lebih besar mempertahankan daya adaptasi, kompetisi dan reproduksi serta kelestarian di suatu kawasan tertentu (Mawazin dan Subiakto 2013; Alimuddin 2010). Menurut Sundarapandian dan Swamy (2000), penguasaan jenis pohon pada ekosistem tertentu menunjukkan kemampuan jenis tersebut beradaptasi dan toleransi terhadap kondisi lingkungan.

(31)

17 masyarakat SAD. Kulit batang digunakan untuk bahan baku blebayon (obor penerangan) dan batang digunakan untuk lantai rumah. Blebayon bersifat habis pakai (non permanen) dan berbahan bakar damar. Satu blebayon hanya bertahan untuk satu malam. Kemungkinan intensitas penggunaan blebayon dan mendirikan rumah mendukung penebangan jenis tersebut pada tingkat pertumbuhan sapihan, sehingga menyebabkan INP pohon tersebut rendah pada zona pemanfaatan. Heriyanto (2004), semakin kecil nilai INP maka ketersediaan jenis semakin rendah di suatu kawasan. kerapatan jenis 20 individu/ha, dan jenis yang kodominan adalah Asam-asam (Garcinia atroviridis) (INP=13,52%) dengan kerapatan jenis 12 individu/ha, selanjutnya diikutibua bunto (Ochanostachys amentacae) dan medang (Litsea sp. 1) nilai INP berurutan 12,02% dan 11,02% dengan kerapatan kedua jenis adalah 8 dan 10 individu/ha (data selengkapnya pada Lampiran 5). Fajri dan Ngatiman (2012) menyatakan jenis bernilai INP tertinggi mengindikasikan bahwa jenis tersebut mendominasi suatu area. Hal ini didukung pernyataan Heriyanto (2004) bahwa pada tingkat pohon dan tiang, dikatakan jenis berperan menopang kestabilan ekosistem, jika nilai INP>15%.

Palaquium gutta berperan menopang kestabilan ekosistem zona pemanfaatan, karena memiliki kerapatan tinggi, penyebaran luas dan ukuran pohon besar sehingga kanopi berpotensi sebagai naungan pertumbuhan biji pohon lain. Berdasarkan penelitian Kurniawan et al. (2008) menjelaskan bahwa Palaquium spp. (nyatoh) merupakan jenis yang paling mendominasi di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Provinsi Sulawesi Utara. Data komposisi jenis penghasil damar tingkat tiang disajikan Tabel 6.

(32)

18

tingkat pertumbuhan sapihan dan semai yang dilindungi adat SAD. Menurut kepercayaan SAD pohon tersebut berperan sebagai tempat bersarang lebah dan persemayaman dewa.

Ketersediaan jenis S. leprosula dan Shorea cf. singkawang tergolong rendah disebabkan tingginya intensitas penggunaan batang dua jenis tersebut pada tingkat pertumbuhan sapihan untuk lantai rumah dan balai pernikahan serta kulit batang S.cf. singkawang untuk tabung blebayon. Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan nilai INP seluruh jenis penghasil damar tingkat tiang dibawah 15%. Hal ini mengindikasikan jenis tersebut berperan kecil untuk menopang ekosistem di zona pemanfaatan (Heriyanto 2004).

Pada vegetasi tingkat sapihan terdapat 63 jenis dengan kerapatan total jenis 3200 individu/ha. Jenis yang dominan adalah berisil (Pometia pinnata) (INP=15,59%) dengan kerapatan jenis 18 individu/ha, dan jenis kodominan adalah beyung (C. pilosum) (INP=13,30%) dengan kerapatan jenis 16 individu/ha dan selanjutnya dikuti jenis conggol (H. dryobalanoides) (INP=8,28%) dengan kerapatan jenis 8 individu/ha. Sebagian data komposisi jenis penghasil damar tingkat sapihan disajikan Tabel 7 (data selengkapnya pada Lampiran 6).

(33)

19 pertumbuhan sapihan, apabila nilai INP >10%. Kedua jenis tersebut perlu tindakan konservasi dengan menjaga dan mempertahankan kelestarian habitat. Tabel 7 Komposisi jenis penghasil damar tingkat sapihan di zona pemanfaatan

Pada vegetasi tingkat semai ditemukan 64 jenis dengan kerapatan jenis total 37.400 individu/ha. Jenis yang dominan adalah balam merah (Palaquium gutta) (INP=15,79%) dengan kerapatan 31 individu/ha, kabau (Archidendron bubalinum) (INP=11,6%) dengan kerapatan 27 individu/ha, dan terap (Artocarpus elasticus) (INP=7,34%) dengan kerapatan 14 individu/ha (data selengkapnya pada Lampiran 7). Jenis Palaquium gutta dan Archidendron bubalinum berpeluang menopang kestabilan ekosistem di zona pemanfaatan. Hal ini sesuai pernyataan Heriyanto (2004) bahwa pada tingkat pertumbuhan semai, dikatakan jenis berpeluang menopang kestabilan ekosistem apabila nilai INP >10%. Perbedaan komposisi jenis tingkat semai disebabkan penaungan pohon berkanopi, pemecahan dormansi biji dan kompetisi dengan kecambah jenis lain, sehingga jenis yang toleran terhadap faktor tersebut mampu berkecambah. Penelitian Mawazin dan Subiakto (2013) menyatakan perkecambahan jenis Palaquium gutta banyak ditemukan di lokasi yang pencahayaan rendah dan kondisi lahan belum terbuka (ditebang). Data komposisi jenis penghasil damar tingkat semai disajikan Tabel 8.

(34)

20

Semai merupakan cadangan utama untuk kelestarian vegetasi dimasa mendatang (Alimuddin 2010). Proses regenerasi pohon berjalan dengan baik, jika kondisi kerapatan jenis tingkat semai > sapihan > tiang > pohon (Indriyanto 2012). Data kerapatan total jenis penghasil damar disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Histogram kerapatan jenis penghasil damar pada empat tingkat pertumbuhan di zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014

Gambar 5 menunjukkan proses regenerasi pohon penghasil damar di zona pemanfaatan berjalan baik. Hal ini didukung oleh kemampuan jenis beradaptasi dengan karakteristik faktor lingkungan (tanah, iklim, topografi dan biotik) dan mampu berkompetisi dengan jenis lain di hutan TNBD.

Karakteristik Tanah

(35)

21 (Hardjowigeno 2003). Data kandungan unsur hara dan sifat tanah selengkapnya pada Lampiran 8 dan kategori nilai kandungan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 9. Analisis komponen utama (AKU) dilakukan untuk menentukan keterkaitan karakteristik tanah (sifat kimia dan tekstur tanah) yang mencirikan keberadaan jenis pohon penghasil damar di zona pemanfaatan TNBD. Berdasarkan hasil AKU, disajikan pada Gambar 6.

Interpretasi biplot pada Gambar 6 (Mattjik dan Sumertajaya 2011) adalah 1) posisi titik objek (spesies) searah dan berdekatan dengan suatu vektor variabel menjelaskan bahwa keberadaan objek kuat dicirikan ketersediaan variabel tersebut. Semakin dekat titik spesies dengan garis yang ditunjukkan suatu vektor variabel unsur tanah maka semakin tinggi variabel tersebut menentukan keberadaan spesies pohon penghasil damar. 2) Kedekatan posisi dua atau lebih objek terhadap satu variabel diinterpretasikan memiliki kesamaan variabel yang mencirikan.

Gambar 6 Biplot AKU karakteristik tanah terhadap pohon penghasil damar di zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014. KU (Komponen utama), D1 (S. retinodes), D2 (Da. rugosa), D3 (H. dryobalanoides), D4 (C. pilosum), D5

Kapasitas tukar kation (KTK) adalah banyaknya kation (dalam miliequivalen) yang dijerap oleh tanah (dalam 100 g). Rasio C/N adalah perbandingan kandungan karbon (C) terhadap kandungan nitrogen (N) di suatu zat. Kejenuhan basa (KB) adalah perbandingan antara kation basa dengan jumlah kation yang dapat dipertukarkan pada koloid tanah (Hardjowigeno 2003). Berdasarkan hasil interpretasi biplot (Gambar 6) menunjukkan semakin dekat posisi titik dengan garis vektor variabel, maka semakin tinggi nilai kontribusiunsur hara yang dipilih dari tiga faktor utama (F1, F2 dan F3) (Lampiran 10). Nilai tertinggi dalam kelompok variabel menyatakan ketersediaan variabel unsur tanah tersebut

(36)

22

mencirikan keberadaan jenis. Data disajikan selengkapnya pada Tabel 9 sebagai berikut.

Tabel 9 Nilai kontribusi karakteristik tanah habitat pohon penghasil damar di zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014.

Pohon Damar C-org N Catatan: * nilai tertinggi dan berkaitan erat.

Berdasarkan Tabel 9 keberadaan Shorea cf. singkawang dicirikan kuat oleh ketersediaan unsur hara nitrogen (N=0,40 %) dan karbon organik (C-org=4,94%) tergolong tinggi. Sesuai penelitian Yuwati et al. (2010), menambahkan unsur nitrogen dan kalium pada semai jenis S. balangeran mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter batang dan jumlah daun. Njurumana et al. (2008) menjelaskan kandungan C-org tinggi merupakan indikator banyaknya bahan organik tersedia dalam tanah. C-org berperan menyusun karbohidrat dan bahan fotosintesis (Munawar 2011).

Nitrogen merupakan salah satu unsur hara utama yang sangat penting bagi pertumbuhan vegetatif tanaman seperti pertumbuhan batang dan daun, sebab merupakan penyusun dari semua protein dan asam nukleat serta penyusun protoplasma secara keseluruhan. Tanaman menyerap nitrogen dalam bentuk nitrat (NO-3), namun bentuk lain yang diserap adalah amonium (NH+4). Nitrogen berasal dari pengikatan nitrogen bebas oleh mikroba tanah dan air hujan dalam tanah bersifat mobil (Munawar 2011).

Berdasarkan Tabel 9, keberadaan S. bracteolata dicirikan kuat oleh KTK dan rasio C/N. Hal ini mengindikasikan jenis tersebut tumbuh pada tanah memiliki kandungan KTK tinggi (21 me/100g) dan rasio C/N rendah (15,13%). Rasio C/N merupakan petunjuk untuk menjelaskan mengenai laju proses dekomposisi dan mineralisasi unsur hara terikat senyawa kimia kompleks tubuh organisme (Bassirirad 2005). Semakin rendah rasio C/N dalam tanah, semakin cepat laju dekomposisi dan berlaku sebaliknya. Dengan demikian, laju dekomposisi bahan organik di tanah habitat jenis tersebut tergolong cepat (Tisdale et al. 1993).

(37)

23 tropis memiliki keanekaragaman jenis sangat tinggi menyimpan C-org dalam biomassa tumbuhan, sehingga siklus C-org kedalam tanah tergolong cepat.

Berdasarkan Tabel 9 keberadaaan S. retinodes dicirikan kuat oleh derajat kemasaman tanah (6,5) dan rasio C/N tergolong rendah (18,70%). Menurut Havlin et al. (2005) dalam Munawar (2011), kisaran pH tanah 6,0-6,5 mengindikasikan banyaknya ketersediaan P di tanah. Hardjowigeno (2003), menjelaskan pada tanah tersebut terjadi exchange acidity (pertukaran keasaman tanah) berasal dari hidroksi Al atau gugus fungsional bahan organik. Hal ini mengindikasikan jenis S. retinodes tumbuh pada tanah dengan laju dekomposisi bahan organik cepat dan ketersediaan fosfor tinggi. Penelitian Yuwati et al. (2010), menjelaskan pemberian unsur fosfor pada perlakuan semai S. balangeran mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter batang dan jumlah daun. Surtinah (2013) menjelaskan jika rasio C/N tergolong rendah maka kandungan unsur hara tersedia tinggi di tanah karena didukung laju dekomposisi tergolong cepat. Isroi (2008) menambahkan apabila rasio C/N tergolong tinggi, mikroba dekomposer akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.

Berdasarkan Tabel 9, kadar persentase pasir mencirikan kuat keberadaan P. malaanonan (Pasir=29,69%), Da. rugosa (Pasir=63,34%), dan Sa. dacryodifolia (Pasir=32,69%). Menurut jenis tanah mendominasi kawasan TNBD adalah tanah podzolik merah kuning (latosol), umumnya miskin hara dan mudah tererosi pada kondisi terbuka (BKSDA 2009). Penelitian Fajri dan Ngatiman (2012) menyatakan jenis P. malaanonan lebih dominan tumbuh di sepanjang pinggiran sungai berpasir tinggi. Menurut Havlin et al. dalam Munawar (2011), tanah bertekstur berpasir tinggi berpotensi kehilangan Kalium (K) lebih besar akibat pencucian dibanding tanah bertekstur liat tinggi memiliki kapasitas fiksasi K tinggi. Kadar kalium tanah habitat empat jenis tersebut berkisar 0,1-0,2 ppm termasuk kategori rendah. Kalium (K) berperan membantu pembentukan protein dan karbohidrat, pembesaran diameter batang tanaman, meningkatkan resistensi terhadap penyakit dan kualitas buah.

Natrium berperan dalam osmosis (pergerakan air) dan keseimbangan ion pada tumbuhan. Salah satu efek negatif Natrium (Na) adalah mengurangi ketersediaan K (Hanum 2008). Menurut Supriadi (2009), kandungan Na tinggi menganggu fisiologis tumbuhan dan menghancurkan agregat tanah. Fosfor berperan dalam pembelahan sel, perkembangan jaringan meristem, merangsang pertumbuhan akar, mempercepat pembungaan, pemasakan buah dan penyusun lemak dan protein (Munawar 2011).

(38)

24

Sanchez (1992) memperkirakan bahwa tanah tropika mempunyai rata-rata kandungan S senilai lebih kurang 100 ppm.

Gambar 6 terlihat posisi dua atau lebih titik jenis pohon penghasil damar berdekatan memiliki kesamaan variabel sifat tanah yang mencirikan keberadaan jenis pohon tersebut. Keberadaan jenis Da. rugosa, Sa. dacryodifolia dan P. malaanonan memiliki kesamaan yang dicirikan variabel pasir. Jenis C. pilosum dan S. cf. singkawang memiliki kesamaan yang dicirikan variabel C-org. Jenis S. retinodes dan S. bracteolata memiliki kesamaan yang dicirikan variabel rasio C/N. C. pilosum dan S. bracteolata memiliki kesamaan yang dicirikan variabel KTK.

Berdasarkan hasil analisis hirarki gabungan kluster, secara keseluruhan pengelompokan habitat pohon penghasil damar berdasarkan kemiripan karakteristik tanah habitat, disajikan pada Gambar 7 koefisien kemiripan semakin mendekati nilai 1, maka semakin mirip karakteristik tanah habitat dua atau lebih jenis. Pada Gambar 7 terlihat koefisien kemiripan D2 dan D6 adalah 0,95. Karakteristik tanah jenis Da. rugosa dan S. leprosula memiliki kemiripan pada unsur N-total (0,16-0,18%) dan P (8,0-8,6 ppm). Koefisien kemiripan D10-D1-D5 adalah 0,97, maka karakteristik tanah habitat jenis S. cf. singkawang, S. retinodes dan H. mengarawan memiliki kemiripan unsur Ca (0,4-0,5 me/100g), kandungan Na (0,1-0,13 me/100g) dan KB (5-6 %). Koefisien kemiripan D3-D7-D9 adalah 0,98, maka karakteristik tanah habitat jenis H. dryobalanoides, Sa. dacryodifolia dan P. malaanonan memiliki kemiripan pada unsur N total (0,15-0,21 %), Rasio C/N (9-10%), K (0,1-0,17 me/100g) dan C-org (1,51-1,91 %).

(39)

25 bracteolata tumbuh pada tanah bertekstur lempung liat berpasir (Pasir: 45-80%, Debu: 30%, dan Liat:20-37,5%). Jenis S. leprosula tumbuh pada tanah bertekstur pasir berlempung (pasir:70-90%, debu:10-30% dan liat:15%). Menurut Hardjowigeno (2003), tekstur tanah adalah rasio relatif persentase fraksi pasir, debu dan liat yang menyusun massa tanah. Tekstur tanah lempung liat berpasir memiliki porositas buruk dan sulit untuk menahan air. Jenis tekstur tanah lempung berliat mengandung KB rendah dan tingginya adsorbsi (penjerapan) koloid tanah serta minimnya pencucian sehingga kation basa bernilai tinggi, sedangkan kation masam (Al dan H) bernilai rendah, sehingga tanah yang bertekstur tersebut berkategori kesuburan baik.

Pengetahuan Masyarakat Suku Anak Dalam

Pelestarian hutan bergantung kekuatan hukum adat masyarakat SAD. Hukum adat berlaku pada orang pendatang dan orang desa disekitar hutan. Masyarakat SAD berpandangan hutan merupakan tempat mekar bunga seribu bunga, artinya semua pohon di hutan menghasilkan bunga maka pohon dilindungi hukum adat. Bunga sebagai sumber makanan lebah sialang untuk menghasilkan madu. Madu dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan obat-obatan. Sistem pemanfaatan tumbuhan hutan tetap mematuhi hukum adat. Adapun ketentuan tersebut, antara lain:

1. Dilarang mengambil hasil hutan di hutan larangan adat. Sanksi pelanggaran kutukan dari dewa berupa penyakit dan musibah lainnya.

2. Dilarang menakik dan menebang jenis pohon sialang (sarang lebah madu) seperti Kedundung (Sa. dacryodifolia), Keruing (D. hasseltii) dan Kawon (D. baudii). Sanksi pelanggaran menakik dikenakan denda 60 helai kain dan pelanggaran menebang didenda 500 helai kain atau hukuman mati.

3. Dilarang menakik dan menebang sentubung budak (Drypetes polyneura) sebagai tempat mengubur ari-ari (plasenta) anak dan tenggeris budak (Koompassia excelsa), kulit batangnya untuk pengeras ubun-ubun anak serta bahan ritual pemberian nama anak. Sanksi menakik didenda 60 helai kain dan menebang didenda 500 helai kain.

4. Dilarang mengambil hasil hutan dengan menebang, kecuali untuk bahan bangunan rumah, balai nikah, tempat sajian ritual, lesung, bilik padi (gudang) dan kebutuhan lainnya. Sanksi kutukan dari dewa.

5. Dilarang mengambil keseluruhan bagian tumbuhan dengan tujuan menjaga regenerasi jenis tersebut. Sanksi kutukan dari dewa.

6. Dilarang mengambil hasil tumbuhan di hutan yang sudah ditandai kepemilikan orang lain, kecuali seizin pemilik. Satu orang berhak memiliki satu pohon. Apabila pemilik pohon meninggal, maka kepemilikan diwariskan kepada istri, anak dan cucu. Sanksi denda ganti rugi ditetapkan pemilik. 7. Dilarang mengambil buah tumbuhan yang belum tua. Sanksi kutukan dari

dewa.

8. Dilarang mengambil hasil tumbuhan di ladang milik orang lain kecuali seizin pemiliknya. Sanksi denda ganti rugi ditetapkan pemilik.

(40)

26

Masyarakat SAD memiliki pengetahuan mengenali, memahami dan menguasai sumberdaya alam di sekitarnya. SAD mengenali keanekaragaman pohon penghasil damar dengan membedakan ciri-ciri morfologi (bentuk dan warna organ serta damarnya), mekanik (kekerasan, keawetan dan kelenturan organ tumbuhan) dan sensorial (aroma damar, kekasaran dan kehalusan permukaan organ tumbuhan). Pengenalan dan pengetahuan terhadap tumbuhan di hutan merupakan syarat wajib untuk menjadi kandidat temenggung. Jenis pohon penghasil damar tumbuh sendiri dan dijaga kelestarian. Pemberian nama jenis damar disesuaikan nama lokal tumbuhan penghasil damar.

Sumber pengetahuan SAD memanfaatkan tumbuhan berasal dari orang tua, dukun dan pengalaman sendiri. Pengetahuan diwariskan turun temurun yang disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya. Awalnya pengetahuan berasal dari pengalaman sendiri dalam keadaan mendesak, misalkan jika tersengat serangga, mereka langsung menggunakan getah tumbuhan di sekitarnya untuk mengobati kulit terkena sengatan dengan tujuan meredakan rasa sakit yang diderita. Getah tumbuhan tersebut mampu meredakan rasa sakit maka diingat dan ditetapkan getah tumbuhan tersebut sebagai bahan pengobatan. Pada kasus lain, pengetahuan masyarakat Dayak berasal dari penuturan orang tua, tukar pikiran antar anggota masyarakat dan pengalaman sendiri (Purwanto et al. 2003). Pengetahuan lokal lahir dari pengalaman yang tetap dipertahankan secara turun temurun (Pattinama 2009).

Kesepakatan hukum adat mewajibkan setiap orang tua mewariskan pengetahuan lokal kepada anak cucu. Selanjutnya orang tua berperan penting dalam mewariskan pengetahuan sehingga anak cucu tetap memanfaatkan damar dimasa depan. Proses mewariskan pengetahuan menggunakan dua cara yaitu menyampaikan dan mengajak bekerja. Cara pewarisan dominan dilakukan adalah mengajak anak bekerja langsung memungut, mengolah dan menggunakan damar serta melestarikan tumbuhan penghasil damar secara berkesinambungan. Orang tua berhak memaksa anak remaja untuk ikut bekerja, jika tidak melaksanakan perintah maka anak dipukul dan tidak diperbolehkan makan. Nilai moral hukum tersebut ialah proses mendidik dan melatih bekerja agar anak memiliki pengetahuan dan keterampilan serta rajin bekerja.

Pemanfaatan Pohon Penghasil Damar

Masyarakat SAD memanfaatkan 14 jenis pohon penghasil damar dari anggota famili Dipterocarpaceae meliputi H. dryobalanoides, H. mengarawan, D. baudii, D. hasseltii, S. bracteolata, S. retinodes, S. cf.singkawang, S. leprosula,S. multiflora dan P. malaanonan (10 jenis). Anggota famili Burseraceae meliputi C. pilosum, Sa. laevigata, Sa. dacryodifolia, dan Da. rugosa (empat jenis). Satu jenis damar dihasilkan serangga kelulut (Trigona spp.). Tabel 10 menunjukkan jenis H. mengarawan, H. dryobalanoides, C. pilosum dan Da. rugosa dimanfaatkan hasil damarnya saja. Pemanfaatan tumbuhan penghasil damar

termasuk kelompok nilai kegunaan konsumsif, artinya hasil tumbuhan

(41)

27 Tabel 10 Inventarisasi pohon penghasil damar yang berguna bagi masyarakat

SAD di TNBD wilayah Kabupaten Sarolangun Tahun 2014 No. Nama ilmiah Nama lokal Bagian

berguna

Kegunaan

1 D. baudii Korth. Kawon Damar -bahan bakar blebayon, obat luka, bahan perekat Batang -sarang lebah madu 2 D.hasseltii Blume Keruing Damar -luka, bahan perekat,

bahan bakar Batang -sarang lebah madu 3 H.mengarawan Miq. Pengerowon Damar -bahan bakar, obat luka 4 H. dryobalanoides Daun -obat sebelum persalinan Kulit

Batang -sarang lebah madu Biji -rempah pelemak gulai 8 S.bracteolata Dyer Ramboy Damar -bahan bakar, obat luka Akar -bahan gagang parang Batang -lantai balai dan rumah 9 P.malaanonan Merr. Sapot Damar -bahan bakar, obat luka

Batang -lantai balai dan rumah Kulit

batang

-dinding rumah

10 S.retinodes Slooten Klungkung Damar -bahan bakar Kulit 13 S.multiflora (Burck)

Sym.

Kepalo tupoi Akar Batang

(42)

28

Tabel 10 Inventarisasi pohon penghasil damar yang berguna bagi masyarakat SAD di TNBD wilayah Kabupaten Sarolangun Tahun 2014 (lanjutan)

No. Nama ilmiah Nama lokal Bagian berguna

Kegunaan

tiang

Damar -sajian ritual, obat luka, bahan bakar

Batang -lantai rumah dan balai Kulit

Penelitian Setyowati (2003) menyatakan damar sebagai sumber penghasilan bagi masyarakat SAD, namun kini damar tidak lagi dijual, karena harga jual sangat rendah dan sulit mendapatkan damar dalam jumlah banyak, sehingga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Bagian pohon penghasil damar yang digunakan adalah damar, daun, biji, buah, batang, kulit batang dan akar. Jenis pohon yang bagian batang digunakan masyarakat SAD yaitu D.baudii, D. hasseltii, Sa. dacryodifolia, S. bracteolata, S. retinodes, S. cf. singkawang, S. leprosula, S. multiflora dan P. malaanonan. Batang digunakan untuk lantai kontruksi, tiang sajian ritual dan sarang lebah. Data disajikan selengkapnya pada Gambar 8.

Gambar 8 Pengelompokan jenis berdasarkan bagian pohon yang berguna bagi masyarakat SAD di TNBD wilayah Kabupaten Sarolangun Tahun 2014

(43)

29

Gambar 9 Nilai kepentingan budaya SAD terhadap pohon penghasil damar di TNBD wilayah Kabupaten Sarolangun Tahun 2014

Berdasarkan Gambar 9, jenis D. baudii, D. hasseltii, Sa. laevigata, S. dacryodifolia, S. bracteolata, S. retinodes, S. cf. singkawang, S. leprosula, S. multiflora, C. pilosum, dan P. malaanonan berkategori ICS tinggi. Hal ini disebabkan 11 jenis tersebut memiliki tiga atau lebih kegunaan dengan intensitas penggunaan dan tingkat kesukaan bernilai tinggi, sehingga diindikasikan jenis tersebut sangat dibutuhkan masyarakat SAD. Jenis S. cf. singkawang bernilai ICS tertinggi, karena masyarakat SAD sangat membutuhkan bagian kulit batang untuk bahan baku obor yang bersifat tidak bisa digantikan jenis lain dan habis pakai.

Jenis Da. rugosa dan H. mengarawan berkategori sedang. Hal ini disebabkan bagian damar jenis tersebut memiliki dua kegunaan dengan intensitas penggunaan dan kesukaan bernilai sedang, sehingga diindikasikan cukup berguna dan disukai masyarakat SAD. Sementara itu jenis H. dryobalanoides berkategori ICS rendah. Hal ini disebabkan bagian damar jenis tersebut memiliki dua kegunaan, namun intensitas penggunaan bernilai rendah, sehingga diindikasikan hasil damar H. dryobalanoides jarang dimanfaatkan oleh masyarakat SAD, karena mereka susah memanen damar tersebut di hutan TNBD. Berbeda dengan damar C. pilosum yang memiliki kelebihan kegunaan dari damar lainnya, selain untuk obat luka dan bahan bakar obor, damar tersebut berguna untuk bahan ritual adat, obat sakit perut dan gigi. Kegunaan sebagai bahan ritual bersifat tidak bisa digantikan dan habis pakai. Turner (1988), menjelaskan semakin tinggi tingkat kebutuhan, kesukaan dan intensitas penggunaan tumbuhan maka semakin tinggi nilai ICS.

(44)

30

Gambar 10 Pengelompokan jenis berdasarkan kegunaan bagian non damar.

Sumber Bahan Bangunan

Masyarakat SAD memanfaatkan S. bracteolata, P. malaanonan, S. cf. singkawang, S.leprosula, S. retinodes dan S. multiflora sebagai sumber bahan kontruksi sudung (rumah), Bilik padi (gudang padi) dan balai nikah. Bagian kontruksi menggunakan batang jenis tersebut adalah glogo (lantai) dan tiang. Ritual adat SAD juga menggunakan batang S. cf. singkawang untuk tiang penopang sajian ritual. Cara pembuatan dengan menebang tumbuhan sesuai kebutuhan selanjutnya dipotong seperlunya. Jenis S. retinodes, P. malaanonan, S. cf.singkawang dan S. multiflora digunakan kulit batang untuk atap, dinding rumah dan bilik padi. Kulit batang dikelupas sesuai kebutuhan tanpa ditebang.

Jumari (2012) melaporkan masyarakat Samin memanfaatkan batang meranti (Shorea spp.) untuk membuat perahu kecil. Hendra (2009) melaporkan, Dipterocarpaceae digunakan masyarakat Dayak Benuaq untuk kayu bahan bangunan seperti jengan (S. laevis), kahoi (S. balangeran), kapur atau ngoiq (Dryobalanops spp.), kawang (S.seminis), tempudou (Dipterocarpus. sp.), lempukng (Shorea spp.), mengkorau (S. leprosula), mentewohok (S. johoriensis), tebukng (Cotylelobium melanoxylon), dan resak (Vatica sp.).

Sumber Bahan Pengobatan

Masyarakat SAD menggunakan akar pohon kedundung tunjuk (Sa. laevigata) untuk mengobati penyakit kambuh akibat salah makan. Cara pemanfaatan, akar yang muncul ke permukaan tanah dipotong secukupnya lalu dibersihkan dan direbus, selanjutnya rebusan akar diminum. Dukun menggunakan daun dan kulit batang sebagai penangkal untuk melindungi induk (ibu) dari gangguan roh jahat selama persalinan. Cara pemanfaatan, mencelupkan daun dan kulit batang ke dalam air mendidih selanjutnya air tersebut setelah dingin diminum oleh induk yang siap bersalin.

Sumber Bahan Peralatan

Gambar

Gambar 1  Kerangka alur penelitian ekologi dan etnobotani pohon penghasil damar  pada masyarakat SAD di zona pemanfaatan TNBD Tahun 2014
Gambar  2    Peta  zonasi  Taman  Nasional  Bukit  Duabelas  (TNBD)  (Sumber:  BKSDA 2009)
Tabel 1 Daftar klasifikasi damar di Benua Asia (lanjutan)  No.   Damar  Jenis penghasil  Asal tumbuhan  Kegunaan
Gambar  4      Petak  contoh  pengumpulan  data  vegetasi  zona  pemanfaatan  TNBD.  Petak ukur  (20 m x 20 m) untuk tingkat pohon (diameter &gt; 20 cm), petak  ukur (10 m x 10 m) untuk tingkat tiang (diameter 7  – 20 cm), petak ukur   (5 m x 5 m) untuk ti
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana nilai-nilai kearifan lokal Suku Anak Dalam (Orang

SAD memanfaatkan tumbuhan sebagai pangan dan obat, bahkan ada beberapa tumbuhan yang menjadi sumber mata pencaharian, seperti Jelutung ( Dyera costulata ) merupakan tumbuhan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola mata pencaharian hidup, hukum adat yang berlaku dalam mata pencaharian hidup, kearifan lokal yang terdapat dalam

Hutan sangat berarti karena merupakan tempat hidup, mencari makan dan tempat adat istiadat didukung oleh pendapat Annafiandini (2016) yang mengatakan bahwa interaksi yang berada pada

Taman Nasional Bukit Duabelas difungsikan sebagai cagar budaya serta ruang hidup bagi komunitas Suku Anak Dalam (SAD) yang telah tinggal di kawasan tersebut (Mulyani

Pentingnya mengetahui nilai dari kearifan lokal suatu daerah dalam hal ini bagaimana aktivitas perladangan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat Suku Anak Dalam

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa ditemukan 6 spesies tumbuhan obat dari famili piperaceae dan zingiberaceae yang digunakan oleh anak suku dalam

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa ditemukan 6 spesies tumbuhan obat dari famili piperaceae dan zingiberaceae yang digunakan oleh anak suku dalam