Oseana, Volume XIII, Nomor 3 : 125 - 132, 1988 ISSN 0216- 1877
PENGARUH TEKANAN PANAS TERHADAP FAUNA EKHINODERMATA
oleh Aznam Aziz 1)
ABSTRACT
EFFECT OF THERMAL STRESS ON THE ECHINODERMS FAUNA.
The mass mortality of some echinoderms and other reef flat animals, often caused by high water temperature (up to 40°C). This condition is mostly associated with fine weather during the day time and low tides. Unprotected echinoids may also be killed due to prolonged exposure to radiation of sunlight. Holothuroids, asteroids, and ophiuroids less affected by this thermal stress. Crinoids which inhabit deeper areas of moat and outer reef were not affected. Effect of temperature on fertilization and early cleavage of some tropical echinoderms as well as on adult individuals are discussed. Temperature and salinity are synergistically affected marine organisms in general.
PENDAHULUAN
Kematian massal seringkali dialami oleh biota laut yang hidup di daerah tropik dan subtropik. Dua kondisi suhu yang eks- trim, yaitu suhu di atas ambang batas mak- simal di waktu musim panas dan suhu di bawah ambang batas minimal di waktu mu-sim dingin seringkali berakibat buruk bagi biota yang hidup di daerah subtropik. Se- dangkan bagi biota yang hidup di daerah tropik keadaan suhu ekstrim di atas am-bang batas maksimal seringkali merugikan. Beberapa contoh kematian alami binatang karang akibat suhu yang tinggi telah
di-laporkan dari banyak tempat, seperti di laut Jawa, Karang Penghalang Besar (Australia), dan di Galapagos (SUHARSONO & KIS- WARA1984).
Kematian massal bulu-babi akibat suhu yang tinggi telah dilaporkan oleh banyak pakar (TOKIOKA 1966; GLYNN 1968; dan TSUCHIYA et al. 1987). Selain itu kematian akibat suhu tinggi terhadap berbagai fauna ekhinodermata juga telah banyak dilapor-kan dari berbagai hasil percobaan di labo- ratorium (GLYNN 1968; SINGLETARY 1971; LAWRENCE 1973, 1975; CASTER- LIN & REYNOLDS 1980).
Suhu dingin di bawah ambang batas minimal juga bisa mengakibatkan kematian massal pada biota laut yang hidup di daerah subtropik. TOKIOKA (1963), telah melapor- kan kematian massal bulu babi jenis Echino-
metra mathaei di perairan sekitar Seto, Je-
pang sebagai akibat menurunnya suhu di ba-wah ambang batas minimal.
Di daerah tropik suhu oseanik (per-airan lepas pantai) berkisar antara 27°C sam- pai 30°C. Sedangkan di daerah pasang-surut seperti di daerah rataan terumbu pada waktu tertentu suhu bisa mencapai 36°C – 40°C. Banyak biota laut yang pada saat surut pur- nama terperangkap di daerah rataan terumbu ini, dan bagi biota yang tidak mempunyai daya adaptasi khusus terhadap panas biasa- nya akan mengalami kematian setelah bebe- rapa waktu tertentu.
Kondisi suhu yang tinggi juga bisa ter- jadi secara buatan, misalnya pada pembuang- an limbah panas dari suatu generator pem- bangkit tenaga listrik. Perairan sekitar be- berapa puluh meter dari pusat generator ini akan terkena pengaruh limbah panas. Peng- aruh limbah panas terhadap biota laut akibat adanya aktivitas generator listrik ini telah ba-nyak dilaporkan oleh beberapa pakar seperti (BARNETT 1971; VADAS et al. 1978; dan KERAMBUN 1983).
Pembicaraan selanjutnya dalam tulisan ini terutama akan ditekankan kepada peng-aruh tekanan panas terhadap fauna ekhino- dermata.
KONDISI TEKANAN PANAS
Tekanan panas secara buatan bisa ter- jadi setiap saat, yaitu pada saat pembuangan limbah panas yang berasal dari air pendingin generator listrik. Dalam hal ini suhu air laut di sekitar kanal pembuangan bisa mencapai 35°C – 40°C.
Sedangkan di alam tekanan panas ini tidaklah terjadi pada setiap saat, tetapi ter- jadi pada waktu-waktu tertentu saja. Biasa- nya seringkali terjadi di daerah rataan te-rumbu (reef flat area). GLYNN (1968) telah melaporkan adanya interaksi berbagai faktor abiotik yang dapat menunjang kemungkinan timbulnya tekanan panas, yang dapat me- matikan biota laut yang menempati terumbu karang tersebut. Faktor-faktor tersebut ada- lah sebagai berikut :
— Dalam keadaan surut purnama di mana kedalaman kurang dari 50 cm.
— Udara cerah tidak berawan. — Kecepatan angin rendah. — Suhu udara relatif tinggi.
— Kelembaban udara relatif rendah.
— Tidak ada arus yang datang ke lokasi ter- sebut (terisolasi).
— Suhu air laut bebas di sekitarnya berte- patan dengan suhu puncak yang tinggi. Selanjutnya GLYNN (1968) melaporkan beberapa lokasi di daerah rataan terumbu yang sering mengalami tekanan panas biasa- nya terjadi di daerah rataan terumbu bagian dalam (inner reef flat). Tepatnya daerah di belakang tubir karang yang terisolasi secara periodik dari pengaruh laut lepas, yaitu be-ting pecahan karang (emergent coral rubble), genangan air laut di antaranya (isolated pool), dan rataan terumbu dengan dasar ter- diri dari campuran lamun dan pecahan ka-rang (Gambar 1.).
PENGARUH TEKANAN PANAS TERHADAP HEWAN DEWASA
1. Crinoidea atau lili-laut
Sampai saat ini belum ada laporan tentang kematian massal alami lili-laut yang diakibatkan oleh suhu tinggi. Hal ini mung- kin karena kelompok lili-laut selalu
menem-Gambar 1. Profil irisan tegak di daerah terumbu karang memperlihatkan zonasi dari tubir ke pantai. Tanda panah menunjukkan lokasi terjadinya tekanan panas (modifikasi dari GLYNN 1968). Keterangan : A – lerang terumbu
B – t u b i r
C – " m o a t "
D – beting karang mati dan pecahan karang E – habitat lamun dan pecahan karang F – rataan pasir
G – pantai
pati perairan agak dalam seperti di luar tubir karang atau di dasar perairan lepas pantai di mana suhu maksimal jarang melebihi 30°C. 2. Holothuroidea atau kelompok teripang
Hewan ini kadang-kadang terperang- kap di daerah rataan tenimbu di mana suhu maksimal dapat mencapai 40°C. Tetapi te- ripang mempunyai adaptasi khusus terhadap sengatan panas ini yaitu membenamkan diri ke dalam pasir. Selain itu kandungan air yang terdapat dalam tubuhnya turut mem- bantu untuk menetralisasi pengaruh panas dari luar. Teripang dari marga Thyone dapat bertahan selama 3 jam pada suhu 37°C di
saat surut purnama (HYMAN dalam BO- OLOOTIAN 1966). Teripang jenis Holothu-
ria atra tetap bertahan pada suhu antara
31,1°C sampai 39,4°C pada saat surut pur- nama (BONHAM & HELD 1963). Teripang jenis Holothuria difficilis menjadi tidak aktif pada suhu 36°C, dan pada suhu sekitar 40°C hanya tentakelnya saja yang masih bergerak. Tetapi bila teripang ini dikembalikan ke su- hu normal (28°C) ia akan aktif kembali se- perti biasa setelah 10 menit. Bila ditempat- kan pada suhu 43°C – 45°C, teripang ini tidak akan dapat menetralisasi keadaan dan akan mengalami kematian setelah beberapa waktu (BAKUS 1968; 1973).
3. Ophiuroidea atau kelompok bintang- mengular
Hewan ini juga seringkali tertangkap di daerah rataan terumbu pada saat surut purnama, tetapi hewan ini mempunyai ke- mampuan untuk menghindar dari kondisi buruk ini. Bintang-mengular dengan gesit- nya segera menyelusup ke dalam sela-sela karang batu sehingga terhindar dari suhu yang tinggi. SINGLETARY (1971) me- laporkan bahwa dari percobaan di labora- torium diketahui bahwa kematian tiga jenis bintang-mengular (Amphioplus corniotodes,
Ophionephtys limicola, dan Micropholis gracillima) dapat terjadi pada suhu antara
37,5°C sampai 40,5°C. Kondisi kritis di mana aktivitas metabolisme akan menurun secara tajam akan terjadi pada suhu antara 33°C sampai 35°C. Pada suhu antara 35°C sampai 37°C ketiga hewan ini menjadi ti- dak aktif, dan akan mengalami kematian pada suhu di atas 37°C. Suhu mematikan (lethal temperature) juga tergantung kepada jenisnya (Tabel 1.).
GLYNN (1968) selanjutnya melapor- kan kematian alami bintang-mengular jenis
Ophioderma appressum dan Ophiocoma echinata pada suhu 37,7°C dan untuk jenis Ophiocoma rissei dan Ophiactis savignyi
pada suhu sekitar 40,2°C di Puerto Rico.
Tabel. 1. Suhu mematikan di atas ambang batas maksimal, terhadap berbagai jenis bintang-mengular di Teluk Biscayne, Florida berdasarkan pengamatan di Laboratorium (SINGLETARY 1971).
J e n i s Batas suhu mematikan (°C)
Habitat asal
AMPHIURIDAE
Amphioplus abditus 39,5 – 40,0 Lumpur
Amphioplus corniotodes 38,5 – 39,0 Lumpur
Ophionepthys limicola 40,0 – 40,5 Lumpur
Micropholis gracillima 38,5 – 39,0 Lumpur
Ophiostigma isacanthum 39,3 – 39,8 Halimeda
OPHIOTHRICHIDAE
Ophiothrix oestedii 37,5 – 38,0 Halimeda
Ophiothrix angulata 37,5 – 38,0 Helimeda
OPHIOCOMIDAE
Ophiopsila riisei 39,3 – 40,0 Halimeda
Ophiocoma echinata 39,3 – 39,8 Halimeda
OPHIONEREIDAE
4. Asteroidea atau kelompok bintang laut CASTERLIN & REYNOLDS (1980). melaporkan bahwa bintang laut jenis Asteri-
as forbesii yang hidup di daerah empat mu-
sim dapat hidup normal pada suhu antara 15°C sampai 35°C di mana suhu optimal berkisar antara 20°C sampai 25°C. Hewan ini akan mati setelah ditempatkan terus-me- nerus selama tiga hari pada suhu 35°C. Bin-tang laut biru atau Linckia laevigata akan mengalami masa kritis pada suhu 31°C sam-pai 36°C. Selanjutnya dilaporkan bahwa hewan ini akan mengalami kematian bila dibiarkan berada pada suhu 36°C selama 12 jam sampai 30 jam. Dalam hal ini daya tahan individu ikut mempengaruhi proses kematian (STRONG 1975). Selanjutnya YAMAGUCHI (1974) melaporkan bahwa bintang laut mahkota atau Acanthaster
planci akan memperlihatkan peningkatan
kecepatan penyerapan oksigen bila suhu dinaikkan dari 25°C sampai 31°C. Tetapi bila suhu terus dinaikkan lagi dari 31°C sampai 33°C aktivitas metabolisme akan menurun dengan tajam. Selanjutnya bila hewan ini dibiarkan selama dua hari berada pada suhu 33°C hewan ini terlihat menghen- tikan aktivitas makannya dan tubuhnya membengkak serta duri-duri punggung mulai rontok. Selanjutnya dilaporkan bahwa he-wan ini akan mengalami kematian dalam waktu satu minggu bila tetap dibiarkan berada pada suhu 33 °C sampai 34°C.
5. Echinoidea atau kelompok bulu-babi Bulu-babi mempunyai kebiasaan hidup mengelompok atau beragregasi, dan hewan ini seringkali terperangkap di daerah rataan terumbu pada saat surut purnama. Jenis-jenis bulu-babi yang menempati rataan terumbu adalah dari marga Diadema, Echinothrix,
Echinometra, Tripneustes dan Mespilia.
Ber-beda dengan kelompok teripang dan bintang- mengular, jenis-jenis bulu-babi tidak menge- nal cara adaptasi khusus untuk menghindari sengatan matahari. Kelompok inilah yang paling banyak dilaporkan mengalami kematian massal akibat suhu ekstrim di atas am- bang batas maksimal (GLYNN, 1968; TO- KIOKA, 1966; TSUCHIYA et al. 1987). Jenis Echinometra mathaei akan mengalami kematian pada suhu 35°C dalam waktu 12 jam (LAWRENCE 1973). Sedangkan di alam hewan ini dilaporkan mengalami kematian massal pada suhu 36°C sampai 40°C (TSU-CHIYA et al. 1987). Selanjutnya ORR (da-lam BOOLOOTIAN 1966), melaporkan bahwa bulu-babi jenis Arbacia punctulata yang hidup di daerah subtropik dapat ber- tahan selama 90 menit pada suhu 37°C. Da- ri hasil penelitian di laboratorium dan di alam diketahui bahwa, bulu-babi yang me-ngalami kematian akibat tekanan panas akan mengalami kekurangan berat badan berkisar antara 15% sampai 30% (GLYNN 1968). Laporan mengenai kematian bulu- babi akibat suhu tinggi dapat dilihat pada Tabel 2.
PENGARUH SUHU PADA MASA PERTUMBUHAN
Penelitian yang menyangkut pengaruh suhu terhadap pertumbuhan pada fauna ekhi- nodermata sangat jarang dilakukan, terutama yang menyangkut pengaruh suhu di atas am- bang batas maksimal. RUPP (1973), telah melakukan serangkaian percobaan terhadap 3 jenis bintang laut (Acanthaster planci,
Culcita novaeguineae, dan Linckia laevigata),
dan terhadap 2 jenis bulu-babi (Diadema sa-
vignyi dan Echinometra mathaei). Kelima
fauna tersebut diuji pada suhu 31°C, 34°C, dan 36°C, dan dibandingkan dengan suhu kontrol (28°C).
Tabel 2. Kematian bulu-babi akibat tekanan panas dari berbagai tempat di daerah tropik.
J e n i s Lokasi Suhu Sumber
Anthocideris sp. Seto, Jepang – 1
Mespilia sp. Seto, Jepang – 1
Diadema antillarum Puerto Rico 35°C – 40°C 2
Echinoemtra lucunter Puerto Rico 35°C – 40°C 2
Lytechinus variegatus Puerto Rico 35°C – 40°C 2
Tripaneustes esculentus Puerto Rico 35°C – 40°C 2
Tripneustes ventricosus Puerto Rico 35°C – 40°C 2
Echinometra mathaei Elat, Israel 35°C 3
Echinothrix calamaris Elat, Israel 35° C 3
Diadema setosum Elat, Israel 35°C 3
Tripneustae gratilla Elat, Israel 35°C 3
Lythechinus variegatus Tampa, Florida 34°C 4
Echinometra mathaei Okonawa, Jepang 36°C – 40°C 5
Keterangan : 1 = TOKIOKA (1966) 2 = GLYNN (1968) 3 = LAWRENCE (1973) 4 = LAWRENCE (1975) 5 = TSUCHIYA et al. (1987)
Hasil pengamatan RUPP adalah sebagai berikut:
1. Pengaruh pada proses fertilisasi
Proses fertilisasi tidak dihambat pada su- hu 31°C, di mana tingkat keberhasilan fertilisasi berkisar antara 91% sampai 99% Bila suhu dinaikkan sampai 34°C tingkat keberhasilan fertilisasi tidak begitu dipe- ngaruhi, kecuali untuk bintang laut jenis
Acanthaster planci di mana tingkat
ke-berhasilan fertilisasinya menurun sampai dengan 70%. Selanjutnya bila suhu per- cobaan terus dinaikkan sampai dengan 36°C, terlihat bahwa jenis-jenis bintang laut akan menurun tingkat keberhasilan fertilisasinya, yaitu berkisar antara 20% sampai 70%. Sedangkan untuk kedua
je-nis bulu-babi (D. savignyi dm E. mathaei) suhu tinggi ini tampaknya tidak berpe- ngaruh, di mana tingkat keberhasilan fertilisasinya tetap tinggi yaitu berkisar antara 95% sampai 98%.
2. Pengaruh pada proses pertumbuhan awal. Proses pembelahan pada stadium pertum-buhan awal tidak dipengaruhi bila hewan- hewan ini ditempatkan pada suhu 31°C, di mana proses pembelahan tetap berlang- sung normal seperti pada suhu 28°C. Apabila suhu dinaikkan sampai dengan 34°C, maka tingkat keberhasilan proses pembelahan akan menurun berkisar an-tara 27% sampai 51%, kecuali untuk bulu- babi jenis Echinometra mathaei di mana
tingkat keberhasilan proses pembelahan awal tetap tinggi, yaitu sekitar 92%. Se- lanjutnya bila suhu dinaikkan lagi sampai 36°C, maka tingkat keberhasilan pembe-lahan ini akan turun sampai dengan o% untuk ketiga jenis bintang laut tersebut
(Acanthaster planci, Culcita novaeguineae
dan Linckia laevigata), dan hewan ini akan mati setelah 2 jam – 3 jam kemudi- an. Sedangkan untuk bulu-babi jenis D.
savignyi dan E. mathaei pada suhu
36°C tingkat keberhasilan pembelahan- nya akan menurun sampai dengan 1% – 5%. Dari percobaan-percobaan di atas terlihat bahwa bulu-babi jenis Echinome-
tra mathaei relatif lebih tahan terhadap
suhu tinggi di bandingkan dari keempat jenis ekhonodermata lainnya.
Bila dibandingkan dengan hewan dewasa, tampaknya stadium fertilasi dan pembelahan awal ini menunjukkan daya tahan yang lebih tinggi terhadap pengaruh suhu di atas ambang maksimal. Hal ini dapat dipandang sebagai suatu adaptasi khusus untuk menghadapi kon- disi buruk akibat sengatan panas.
INTERAKSI ANTARA SUHU DAN SALINITAS
Suhu dan salinitas adalah dua faktor penting yang mempengaruhi kehidupan bio- ta laut. Kedua faktor ini mempunyai kore- lasi yang nyata. Yaitu suhu dapat memo- difikasi pengaruh salinitas terhadap biota, dalam hal ini mempengaruhi batas toleransi biota laut terhadap salinitas, dan salinitaspun mempunyai kombinasi efek yang sama ter-hadap suhu (KINNE 1964). Selanjutnya KINNE (1964) memandang faktor suhu dan salinitas ini sebagai faktor abiotik utama yang sangat penting bagi biota laut. Secara umum dapat dikatakan suhu mema- tikan (lethal temperature) maksimal
men-jadi lebih rendah pada salinitas yang diturun- kan. Sebaliknya ambang batas minimal salinitas menjadi lebih tinggi dengan naiknya suhu. Dalam ikhtisarnya KINNE (1964), telah melaporkan efek kombinasi antara suhu dan salinitas ini terhadap berbagai jenis krustasea.
Sejauh ini belum berhasil didapatkan suatu kepustakaan yang menunjukkan pene- litian pengaruh kombinasi antara suhu dan salinitas khususnya terhadap kelompok ekhi- nodermata.
DAFTAR PUSTAKA
BAKUS, G.J. 1968. Defensive mechanisms and ecology of some tropical holothu- rians. Mar. Biol. 2 (1) : 23 – 32.
BAKUS, G.J. 1973. The Biology and ecology of Tropical Holothurians. In : MOORE, H.B. (Ed.) Biology and Geology of Coral
Reefs. II Biology 1. Academic Press,
New York : 325 – 367.
BARNETT, P.R.O. 1971. Some changes in intertidal sand communities due to thermal pollution. Proc. Roy. Soc.
Lond. B 177 : 353–364.
BONHAM, K. and E. E. HELD 1963. Eco-logical observations on the sea cucum-bers Holothuria atra and H. leucospi-
lota at Rongelap Atoll, Marshall
Is-lands. Pacif. Sci. 17 : 305 – 314. BOOLOOTIAN, R.A. (Ed) 1966. Physio-
logy of Echinodermata. Interscience
Publishers, New York : 797 pp.
CASTERLIN, M.E. and W.W. REYNOLDS 1980. Behevioral response of the starfish
Astarias forbesii to a thermal gradient. Hydrobiologia 71 : 265 – 266.
GLYNN, P.W. 1968. Mass mortalities of echinoids and other reef flat organisms coincident with midday, low water esposures in Puerto Rico. Mar. Biol. 1 (3) : 266 – 243.
INNEE, O. 1964. The effects of temperature and salinity on marine and brackish water animals. II. Salinity and tem-perature combinations. Oceanogr. Mar.
Biol. Ann. Rev. 2 : 281 – 339.
LAWRENCE, J.M. 1973. Temperature tole-rances of tropical shallow water echi- noids (echinodermata) at Elat (Red Sea).
Israel Jour. Zool. 22 : 143 – 150.
LAWRENCE, J.M. 1975. The effect of temperatures-salinity combination on the functional well-being of adult Lytechi-
nus veriegatus (Lamarck) (Echinodermata,
Echinoidea). J. exp. mar. Biol. Ecol. 18 : 271 – 275.
RUPP, J.H. 1973. Effects of Temperature on Fertilization and Early Cleavage of some Tropical Echinoderms, with Em-phasis on Echinometra mathaei. Mar. Biol. 23 : 183 – 189.
SINGLETARY, R.L. 1971. Thermal to-lerance of ten shallow-water Ophiu- roids in Biscayne Bay. Florida. Bull.
Mar. Sci. 21 (4): 938–943.
KERAMBUN, P. 1983. Consequences de la pollution thermique surles organismes marins. Oceanis 9 (8) : 627 – 651. STRONG, R.D. 1975. Distribution, Mor-
phometry, and Thermal Stress Studies on Two Forms of Linckia (Asteroidea) on Guam. Micronesica 11 (2) : 167 – 1983.
SUHARSONO dan W. KISWARA 1984. Kematian alami karang di laut Jawa.
Oseana 9 (1) : 31 – 40.
TOKIOKA, T. 1963. Supposed effects of the cold weather of the winter 1962 – 63 upon the intertidal fauna in the vicinity of Seto. Publ. Seto Mar. Biol. Lab. 9 (2): 415 – 424.
TOKIOKA, T. 1966. Recovery of the
Echionometra population in the
inter-tidal zone in the vicinity of seto, with a preliminary note on the mass mortality of some sea urchin in the Summer season.
Publ. Seto Mar. Biol. Lab. 14 (1) : 7 – 16.
TSUCfflYA, M.; K. YANAGIYA; and M. NISHIHIRA 1987. Mass mortality of the sea urchin Echinometra mathaei (Blain- ville) caused by high water temperature on the reef flats in Okinawa, Japan. Gala-
x e a 6 : 3 7 5 – 3 8 5 .
VADAS, R.L.; M. KESER; and B. LARSON 1978. Effects of reduced temperatures on previously stressed populations of an intertidal alga. In : THORP, J.H. and J.W. GIBBONS (eds). Energy and
Envi-ronmental Stress in Aquatic Systems. Nat. Techn. Inform. Service, Spring-
field : 434–451.
YAMAGUCHI, M. 1974. Effect of elevated temperature on the metabolic activity of the Coral Reef Asteroid Acanthas-