• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1. Gambaran Sistem Penyuara dan Kotak yang Digunakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "3.1. Gambaran Sistem Penyuara dan Kotak yang Digunakan"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

17

Pada bab ini penulis menjelaskan perancangan sistem penyuara dengan cacat minimal. Perancangan sistem penyuara dengan cacat minimal yang dilakukan meliputi untai L-pad, Zobel, dan crossover.

Bahasan dimulai dengan penjelasan karakteristik penyuara yang akan dipakai dan kondisi saat terpasang pada kotak penyuara. Pengukuran penyuara yang terpasang pada kotak dilakukan penulis untuk memperoleh tanggapan frekuensi dan impedansi penyuara. Pengukuran dilakukan menggunakan CLIO. Hasil pengukuran menjadi acuan untuk meminimalkan cacat amplitudo dan fase pada sistem penyuara.

Perancangan yang dilakukan penulis diawali dengan untai L-pad. Adanya perbedaan kepekaan antara woofer dan tweeter perlu diatasi. Untuk mengatasinya dilakukan perancangan untai L-pad agar dapat menurunkan tingkat kepekaan dan nilai impedansinya dapat ditentukan oleh penulis.

Perancangan untai Zobel diperlukan karena impedansi penyuara yang tidak bersifat murni resistif dapat menyebabkan berubahnya penurunan magnitudo dari tapis yang digunakan. Dengan untai Zobel dapat menghilangkan sifat induktif kumparan suara pada frekunsi tinggi yang mengakibatkan impedansi naik menjadi resistif.

Crossover merupakan kombinasi tapis lolos atas untuk tweeter dan tapis lolos bawah untuk woofer. Perancangan crossover dimulai dengan membandingkan hasil pengukuran tanggapan frekuensi dengan simulasi menggunakan “Passive Crossover Designer 7 by Jeff Bagby” yang dilakukan untuk mengetahui selisih fase yang terjadi antara woofer dan tweeter pada daerah frekuensi crossover. Perancangan crossover yang diperlukan harus meminimalkan selisih fase antara tweeter dan woofer pada daerah frekuensi crossover dan membagi isyarat audio yang sesuai dengan tanggapan frekuensi kerja yang cocok

(2)

dengan masing-masing penyuara. Blok diagram perancangan ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Blok diagram perancangan sistem penyuara

Pada setiap tahap perancangan dilakukan juga simulasi menggunakan “Passive Crossover Designer by Jeff Bagby” untuk pembanding agar diperoleh hasil yang tepat. Pada bagian penutup penulis menjelaskan untai hasil keseluruhan perancangan dan simulasi yang dilakukan.

3.1. Gambaran Sistem Penyuara dan Kotak yang Digunakan

Sistem penyuara yang akan dirancang penulis buat memiliki konfigurasi 2 jalur. Konfigurasi 2 jalur menggunakan 2 jenis penyuara yaitu tweeter dan woofer. Tweeter digunakan untuk menjangkau tanggapan frekuensi mulai sekitar 1.5 kHz sampai sekitar 20 kHz sedangkan woofer dari 40 Hz sampai sekitar 3 kHz. Penulis menggunakan penyuara tweeter Morel Supremo dan woofer Dynaudio 17wlq. Perancangan penulis bertujuan untuk meminimalkan cacat amplitudo dan fase yang dapat terjadi jika kedua penyuara di atas terpasang pada kotak dengan panel depan yang rata.

Pada perancangan yang dilakukan penulis menggunakan kotak penyuara dengan panel depan rata seperti terlihat pada Gambar 3.2.

Input

Tweeter Tapis lolos atas

Tapis lolos

bawah Zobel

L-pad

(3)

Gambar 3.2. Skema kotak penyuara yang digunakan

Gambar 3.3. Kotak penyuara yang digunakan

Seperti ditunjukkan pada Gambar 3.2 dan Gambar 3.3 panel depan kotak penyuara rata antara tweeter dan woofer dengan selisih jarak antar tepi

(4)

penyuara 25 mm. Pemasangan penyuara pada panel depan rata mengakibatkan ada selisih jarak kumparan suara tweeter dan woofer terhadap pedengar seperti ditunjukkan pada Gambar 3.4. Adanya selisih jarak menyebabkan selisih fase antara kedua penyuara ketika berbunyi bersamaan pada frekuensi crossover. Pada perancangan ini penulis meminimalkan selisih fase yang terjadi dengan perancangan crossover pada bab 3.5.

Gambar 3.4. Skema selisih jarak kumparan suara antar penyuara terhadap pendengar 3.2. Pengukuran Parameter Penyuara pada Kotak

Untuk merancang sistem penyuara diperlukan pengukuran parameter penyuara yang telah terpasang pada kotaknya terlebih dahulu. Pengukuran yang dilakukan dibagi menjadi 2 yaitu pengukuran elektrik dan akustik menggunakan CLIO. Pengukuran dilakukan untuk memperoleh parameter penyuara yang menjadi dasar perancangan yang dilakukan penulis.

Pengukuran elektrik dilakukan dengan kondisi penyuara tidak terpasang pada kotaknya. Pengukuran yang dilakukan meliputi impedansi dan T/S parameter dari penyuara. Hasil pengukuran impedansi woofer ditunjukkan padaGambar 3.5. Didapatkan nilai impedansi woofer mendekati 4 Ω dengan adanya resonan pada 70 Hz dan kenaikan impedansi pada frekuensi tinggi hingga 18 Ω pada frekuensi 20 kHz.

(5)

Gambar 3.5. Impedansi woofer Dynaudio 17wlq

Pada Gambar 3.6 ditunjukkan impedansi tweeter dengan nilai impedansi sekitar 6 Ω. Pada impedansi tweeter terdapat resonan di frekuensi 1.2 kHz dan kenaikan impedansi hingga 11 Ω pada frekuensi 20 kHz.

(6)

Adanya sifat induktansi kumparan suara woofer pada frekuensi tinggi menyebabkan naiknya impedansi hingga 18 Ω pada frekuensi 20 kHz. Untuk itu perlu dilakukan pengukuran T/S parameter woofer yang kedepannya akan digunakan untuk perancangan untai Zobel. Didapatkan nilai dan nilai yang ditunjukkan pada Gambar 3.7.

Gambar 3.7. T/S parameter woofer Dynaudio 17wlq

Pengukuran akustik dilakukan untuk memperoleh tanggapan frekuensi dari penyuara yang terdiri dari tanggapan magnitudo dan fase. Pada pengukuran tanggapan frekuensi penyuara yang ideal, dilakukan pada ruang tanpa gema. Pengukuran pada ruang tanpa gema bertujuan agar data yang diperoleh merupakan data dari penyuara itu saja tanpa adanya gangguan suara dari luar dan pantulan suara akibat dinding ruang.

Karena tidak tersedianya ruang tanpa gema, pengukuran dilakukan dengan membatasi waktu microphone dalam menerima data dan saat kondisi ruang tenang. Dengan jarak microphone 1 m dari penyuara dan jarak penyuara terhadap dinding maupun lantai >1 m bertujuan agar pantulan suara tidak diterima oleh microphone pada pengukuran yang dilakukan. Dengan metode pengukuran ini dapat diperoleh tanggapan frekuensi dari frekuensi sekitar 300 Hz sampai dengan 20 kHz.

(7)

Pada Gambar 3.8 ditunjukkan skema konfigurasi pengukuran yang dilakukan. Adanya jarak >1 m antara penyuara dengan dinding maupun lantai, terdapat selisih waktu antara suara asli dari penyuara yang diterima microphone dan suara pantulan suara pertama kali pada dinding maupun lantai yang diterima microphone. Kondisi pengukuran yang dilakukan penulis ditunjukkan pada Gambar 3.9.

(8)

Gambar 3.9. Kondisi pengukuran akustik

Hasil pengukuran tanggapan frekuensi penyuara yang didapatkan dengan kondisi minimum phase. Pada bab 2.1 sudah dijelaskan dengan mengurangkan excess phase terhadap fase total dapat diperoleh minimum phase penyuara. Hasil tersebut dapat diperoleh dengan membuang pantulan suara yang masuk melalui pengukuran impulse response dengan CLIO[6]. Hasil pengukuran akustik yang dilakukan didapatkan tanggapan magnitudo dan fase woofer ditunjukkan Gambar 3.10 dan 3.12. Sedangkan tweeter ditunjukkan pada Gambar 3.11 dan 3.13.

(9)

Hasil pengukuran tanggapan magnitudo woofer pada Gambar 3.10 menunjukan woofer memiliki tanggapan magnitudo rata sekitar 86.5 dB.

Gambar 3.11. Tanggapan fase woofer.

Hasil pengukuran tanggapan fase woofer pada Gambar 3.11 menunjukan fase woofer pada frekuensi crossover dari frekuensi 1 kHz sekitar -20° menuju nilai negatif sampai frekuensi 4 kHz sekitar -100°.

(10)

Hasil pengukuran tanggapan magnitudo tweeter pada Gambar 3.12 menunjukan tweeter memiliki tanggapan magnitudo rata sekitar 91 dB.

Gambar 3.13. Tanggapan fase tweeter.

Hasil pengukuran tanggapan fase woofer pada Gambar 3.13 menunjukan fase tweeter pada frekuensi crossover dari frekuensi 1 kHz sekitar 108° menuju nilai negatif sampai frekuensi 4 kHz sekitar 40°.

Dari hasil pengukuran didapatkan adanya selisih kepekaan antara tweeter dan woofer yang dapat mengakibatkan cacat amplitudo. Pada tanggapan fase tweeter dan woofer terdapat selisih fase pada frekuensi crossover yang dapat mengakibatkan cacat fase. Untuk meminimalkan cacat yang ada penulis melakukan perancangan untai L-pad, Zobel, crossover dengan tepat.

3.3. Perancangan L-pad

Dari hasil pengukuran tanggapan magnitudo woofer dan tweeter pada terdapat perbedaan tingkat kekerasan suara antara keduanya. Seperti pada Gambar 3.10 dan 3.12 yang ditumpang tindihkan pada Gambar 3.14 dengan memperkirakan tangapaan magnitudo rata woofer sekitar 86.5 dB ditunjukkan garis biru dan tweeter 91 dB ditunjukkan garis merah maka tweeter memiliki tingkat kekerasan suara 4.5dB lebih keras dibanding woofer.

(11)

Gambar 3.14. Simulasi perbedaan tanggapan magnitudo woofer dan tweeter

L-pad merupakan rangkaian pembagi tegangan yang bertujuan untuk mengurangi tingkat kekerasan suatu penyuara[5], skema untai L-pad ditunjukkan pada Gambar 3.15. Penulis memberikan untai L-pad untuk menurunkan tingkat kekerasan suara tweeter agar setara terhadap woofer dengan target nilai impedansi 4 Ω dari nilai impedansi tweeter 6 Ω.

Gambar 3.15. Skema untai L-pad

Perancangan L-pad dimulai dengan mengetahui penurunan tingkat kekerasan suara pada tweeter yang diperlukan yaitu 4.5dB dan hubungannya dengan bati tegangan yaitu :

(12)

di mana ;

Sehingga diperoleh nilai bati tegangan sebesar 0.596.Hubungan bati tegangan pada untai L-pad dapat diperoleh dengan :

Dan target impedansi 4 Ω yang merupakan nilai impedansi total untai L-pad dan penyuara maka :

Dengan diketahuinya nilai total impedansi, nilai bati tegangan, dan impedansi tweeter diperoleh nilai sebesar 3.956 Ω dan nilai sebesar 1.616 Ω.

Karena ketersediaan nilai resistor dipasaran terbatas maka dipilih resistor dengan nilai mendekati perancangan yaitu sebesar 1.5 Ω dan sebesar 3.9 Ω. Setelah diperoleh nilai resistor, dilakukan simulasi untai L-pad pada tweeter.

(13)

Gambar 3.16. Simulasi tanggapan magnitudo tweeter dengan untai L-pad. Pada Gambar 3.16 ditunjukkan hasil simulasi untai L-pad pada tweeter agar tweeter dan woofer memiliki tingkat kekerasan suara yang setara. Garis biru menunjukan tanggapan magnitudo woofer dan merah menunjukan magnitudo tanggapan frekuensi tweeter. Didapatkan hasil yang setara.

Gambar 3.17. Simulasi impedansi tweeter dengan untai L-pad

Dengan untai L-pad dapat dilakukan penyelarasan nilai impedansi, pada kasus ini ditargetkan menjadi 4 Ω untuk tweeter agar sama dengan impedansi woofer. Pada Gambar 3.17 ditunjukkan hasil simulasi untai L-pad pada impedansi, garis biru menunjukan impedansi awal tweeter di mana nilai

(14)

impedansi sekitar 6 Ω dengan adanya kenaikan impedansi menjadi 15 Ω pada frekuensi resonan dan sifat induktansi kumparan suara mengakibatkan naiknya impedansi pada frekuensi tinggi hingga 9 Ω pada 20 kHz. Garis hijau menunjukan impedansi dengan untai L-pad. Dari hasil simulasi didapatkan impedansi tweeter yang bersifat mendekati resistif yaitu sekitar 4ohm tanpa adanya kenaikan yang berarti sehingga tidak diperlukan untai Zobel pada tweeter[5].

3.4. Perancangan Zobel

Perancangan Zobel diperlukan karena impedansi penyuara yang tidak bersifat murni resistif dapat menyebabkan penurunan magnitudo pada tapis yang digunakan berubah. Pada frekuensi tinggi impedansi kumparan suara bersifat induktif yang berdampak naiknya impedansi penyuara pada frekuensi tinggi. Hal tersebut perlu diatasi dengan untai zobel. Untai Zobel yang terhubung dengan untai persamaan kumparan suara penyuara ditunjukkan Gambar 2.5.

Diasumsikan kumparan suara sebagai lossless inductor dengan impedansi pada frekunesi tinggi dan open. Pada frekuensi tinggi ketika kumparan suara bersifat induktasi diasumsikan open sedangkan dan aktif. Didapatkan untai pencocokan (Zobel) yang diperlukan untuk menghilangkan sifat induktansi kumparan suara ditunjukkan pada Gambar 3.18.

(15)

Ditargetkan total impedansi dari untai Zobel dengan woofer pada frekuensi tinggi ketika kumparan suara mulai bersifat induktansi agar mendekati nilai , maka persamaan nilai R dan C pada Zobel :

Pada persamaan (3.3) dan (3.4) merupakan nilai impedansi DC dari woofer dengan nilai 3.4 Ω dan merupakan nilai induktansi kumparan suara woofer dengan nilai 0.2 mH yang didapatkan dari T/S parameter woofer. Didapatkan nilai 3.4 Ω dan 17 uF

Dengan tersedianya nilai komponen di pasaran yang sesuai, dipilih dan yang sesuai hasil perancangan. Pada Gambar 3.19 ditunjukkan hasil simulasi untai Zobel pada woofer didapatkan impedansi yang mendekati resistif pada frekuensi tinggi sekitar 4 Ω. Garis biru menunjukan impedansi awal woofer dan garis hijau menunjukan impedansi woofer dengan untai Zobel.

(16)

3.5. Perancangan Crossover

Untuk merancang crossover yang dapat meminimalkan cacat amplitudo dan fase, perancangan harus dimulai dengan mengetahui selisih fase yang terdapat antara woofer dan tweeter terhadap pendengar.

3.5.1. Selisih Fase Minimal antara Woofer dan Tweeter

Pada perancangan yang dilakukan penulis, terdapat selisih fase minimal antara woofer dan tweeter di daerah frekuensi crossover. Dengan tanggapan fase yang ditunjukkan pada Gambar 3.11 dan 3.13 dapat diketahui pada frekuensi 2.5 kHz fase woofer sekitar -45° dan fase tweeter sekitar 35° sehingga terdapat selisih fase sekitar 80°. Peletakan penyuara pada kotak dengan panel depan yang rata mengakibatkan adanya tambahan selisih fase antara woofer dan tweeter. Hal ini akan dijelaskan pada sub bab 3.5.2.

3.5.2. Selisih Fase Akibat Letak Woofer dan Tweeter pada Panel Depan Kotak Penyuara yang Rata.

Pada kotak penyuara dengan panel depan yang rata terdapat selisih jarak antara kumparan suara woofer dan tweeter terhadap pendengar. Seperti ditunjukkan pada Gambar 3.4 di mana garis merah “a” menunjukkan jarak kumparan suara tweeter terhadap pendengar dan garis biru “b” menunjukkan selisih jarak yang terdapat pada woofer.

Untuk mengetahui dampak selisih jarak terhadap selisih fase, dilakukan pembandingan dengan membandingkan pengukuran tanggapan frekuensi ketika kedua penyuara dibunyikan bersamaan dan simulasi yang dilakukan dengan menjumlahkan tanggapan frekuensi woofer dan tweeter. Pengukuran yang dilakukan merupakan penjumlahan magnitudo woofer dan tweeter dengan adanya selisih jarak pada woofer. Sedangkan simulasi yang dilakukan merupakan penjumlahan magnitudo tanpa adanya selisih jarak. Pengukuran dilakukan tanpa adanya untai L-pad maupun Zobel.

(17)

Pengukuran pertama dilakukan dengan polaritas woofer dan tweeter yang sama hasilnya ditunjukkan pada Gambar 3.20 dan 3.21. Dari hasil pengukuran tanggapan magnitudo pada Gambar 3.20 diketahui terjadi phase cancellation dengan nilai terendah pada frekuensi 3.6 kHz, dan pada Gambar 3.21 diketahui nilai terendah tanggapan fase pada frekuensi 3.2 kHz dan tertinggi pada frekuensi 4.2 kHz.

Gambar 3.20. Tanggapan magnitudo woofer + tweeter

(18)

Pengukuran kedua dilakukan dengan membalik polaritas tweeter dibanding woofer sehingga fase tweeter tergeser 180° dan hasilnya ditunjukkan pada Gambar 3.22 dan Gambar 3.23. Tidak terjadi phase cancellation ketika polaritas tweeter dibalik.

Gambar 3.22. Tanggapan magnitudo woofer + tweeter polaritas dibalik

Gambar 3.23. Tanggapan fase woofer + tweeter polaritas dibalik

Dari hasil pengukuran pertama diketahui selisih fase yang terjadi antara woofer dan tweeter antara 90°-270° yang ditandai dengan

(19)

adanya phase cancellation. Dengan membalik polaritas tweeter pada pengukuran kedua terjadi pergeseran fase pada tweeter 180° sehingga selisih fase yang terjadi antara woofer dan tweeter antara 270°-90°. Pengukuran pertama dijadikan sebagai acuan dalam pembandingan, adanya phase cancellation menjadi lebih mudah untuk diamati.

Perancangan dilanjutkan dengan melakukan simulasi yang dilakukan dengan memasukan tanggapan frekuensi hasil pengukuran penyuara meliputi tanggapan magnitudo dan fase dari woofer dan tweeter yang ditunjukkan pada Gambar 3.10, 3.11, 3.12, dan 3.13.

Gambar 3.24. Simulasi tanggapan magnitudo woofer +tweeter tanpa selisih jarak.

Hasil simulasi ditunjukkan pada Gambar 3.24 garis hitam menunjukan tanggapan magnitudo woofer dan tweeter ketika dibunyikan bersamaan dengan kondisi jarak kumparan suara sama terhadap pendengar. Dapat diketahui nilai terendah phase cancellation pada frekuensi 4.1 kHz sedangkan pada pengukuran 3.6 kHz.

(20)

Gambar 3.25. Simulasi tanggapan fase woofer+tweeter tanpa selisih jarak.

Sedangkan hasil simulasi pada Gambar 3.25 garis hitam menunjukan tanggapan fase woofer dan tweeter ketika dibunyikan bersamaan dengan kondisi jarak kumparan suara sama terhadap pendengar. Dapat diketahi nilai terendah fase pada frekuensi 3.4 kHz sedangkan pada pengukuran 3.2 kHz dan nilai tertinggi fase pada frekuensi 4.9 kHz sedangkan pada pengukuran 4.2 kHz. Dari pembandingan ini dapat diketahui adanya selisih jarak pada woofer.

Untuk mengetahui dampak selisih jarak terhadap fase woofer , dilakukan pembandingan simulasi dengan hasil pengukuran. Pada simulasi dimasukan jarak peletakan antara woofer dan tweeter pada kotak yang digunakan. Jarak ini terdiri dari sumbu (x,y,z). Jarak tersebut dimasukan pada bagian yang ditunjukkan Gambar 3.26 dengan satuan meter pada simulasi.

(21)

Gambar 3.26. Input koordinat jarak antar penyuara pada kotak

Gambar 3.27. Gambaran input sumbu x,y,z pada simulasi

Nilai sumbu x,y,z ditunjukkan pada Gambar 3.27. Titik tengah tweeter sebagai sumbu x = 0, y = 0,dan z = 0 karena pengukuran dilakukan dengan microphone tegak lurus dan sejajar posisi tweeter. Nilai sumbu x woofer = 0 karena posisinya sejajar dengan sumbu x tweeter. Nilai sumbu y woofer diperoleh -142.5mm karena titik tengah tweeter dan woofer berjarak 142.5mm. Karena tidak diketahui posisi kumparan suara pada penyuara, maka nilai sumbu z woofer diperoleh dengan melakukan input nilai z secara bertahap dari 0

(22)

menuju nilai negatif dengan skala 1mm. Input nilai z dilakukan penulis dengan membandingkan tanggapan frekuensi pada simulasi sampai mendekati hasil pengukuran yang ditunjukkan Gambar 3.20 dan 3.21.

Gambar 3.28. Simulasi tanggapan magnitudo dengan penyesuaian posisi penyuara

Gambar 3.39. Simulasi tanggapan fase dengan penyesuaian posisi penyuara

Pada Gambar 3.28 dan 3.29 ditunjukkan hasil simulasi dengan nilai sumbu x,y,z woofer yang didapat (0,-0.14,-0.009). Didapatkan tanggapan magnitudo dan fase yang mendekati sama dengan hasil pengukuran.

(23)

Gambar 3.30. Fase woofer dan tweeter setelah diaplikasikan selisih jarak pada simulasi

Gambar 3.30 menunjukan tanggapan fase tweeter pada garis merah dan woofer pada garis biru. Didapatkan fase woofer pada frekuensi 2.5 kHz -80°. Adanya selisih jarak menyebabkan fase woofer tergeser -35°.

Pada perancangan ini ditargetkan nilai titik potong frekuensi crossover antara 2 kHz – 3 kHz. Fase tweeter pada frekuensi tersebut memiliki rentang 30° s/d 60° dengan titik tengah 45° dan pada woofer memiliki rentang -60° s/d -100° dengan titik tengah -80°.

(24)

Selisih fase antara tweeter dan woofer ditunjukkan pada Gambar 3.31 di mana terdapat selisih 235° pada daerah frekuensi crossover. Untuk meminimalkan selisih fase yang terjadi dapat dilakukan dengan membalik polaritas dari tweeter sehingga mengalami pergeseran 180°.

Gambar 3.32. Gambaran selisih fase antara woofer dan tweeter dengan polaritas terbalik.

Selisih fase woofer dan tweeter dengan polaritas terbalik ditunjukkan pada Gambar 3.32. Pembalikan polaritas tweeter tidak dimungkinkan pada perancangan crossover ini, karena selisih fase antara tweeter dan woofer 55°. Sedangkan pergeseran fase untuk tiap orde tapis lolos atas 45° pada frekuensi cutoff dan tapis lolos bawah -45° pada frekuensi cutoff sehingga selisih fase minimal 90°.

Dengan membagi selisih fase dengan pergesseran fase tapis pada frekuensi cutoff orde satu, dapat diketahui orde yang diperlukan untuk masing-masing tapis yaitu:

235°/45°=5.22

Untuk meminimalkan selisih fase antara woofer dan tweeter, maka nilai total orde untai tapis yang digunakan pada perancangan crossover ini 5. Pada tweeter digunakan tapis dengan orde lebih tinggi untuk menghindari rusaknya tweeter karena diberi isyarat terlalu besar pada frekuensi resonannya. Didapatkan tapis lolos atas orde 3 untuk tweeter dan tapis lolos bawah orde 2

(25)

untuk woofer. Pada perancangan crossover untai L-pad diberikan pada tweeter dan untai Zobel diberikan pada woofer.

Tapis lolos bawah orde 2 Butterworth pada woofer

Gambar 3.33. Skema untai tapis lolos bawah orde 2

Dengan diasumsikan nilai impedansi woofer tetap, maka untai pada Gambar 3.33 memiliki fungsi pindah bati tegangan :

di mana :

maka diperoleh :

Karena untai tapis yang digunakan Butterworth maka nilai faktor kualitas 0.7 dan nilai frekuensi cutoff tapis 2.5 kHz . Diperoleh nilai L = 0.364 mH dan nilai C = 11.145 uF. Nilai komponen yang dipilih disesuaikan dengan ketersedian nilai komponen dipasaran didapatkan nilai yang

(26)

Tapis lolos atas orde 3 Butterworth pada tweeter

Gambar 3.34. Skema untai tapis lolos atas orde 3

Dengan diasumsikan nilai impedansi tweeter tetap, maka untai pada Gambar 3.34 memiliki fungsi pindah bati tegangan yaitu :

di mana :

Dengan penggunaan tapis Butterworth maka diperoleh :

Nilai diperoleh 10.61 uF nilai 31.83 uF dan nilai L 0.19 mH. Pemilihan nilai komponen disesuaikan dengan ketersedian nilai komponen dipasaran, digunakan = 10 uF, = 33 uF dan L = 0.2 mH.

Setelah diketahui penggunaan orde tapis dan nilai komponen yang sesuai, dilakukan simulasi untuk untai crossover. Pada Gambar 3.35 ditunjukkan hasil simulasi tanggapan magnitudo dari woofer pada garis biru tebal, tweeter pada garis merah tebal dan total pada garis hitam. Hasil simulasi tanggapan fase woofer pada garis biru tipis, tweeter pada garis merah tipis. Dari hasil simulasi diketahui pada hasil perancangan yang dilakukan penulis woofer dan tweeter memiliki fase yang mendekati sama pada daerah frekuensi crossover.

(27)

Gambar 3.35. Simulasi tanggapan frekuensi sistem penyuara

Tanggapan magnitudo sistem penyuara yang mendekati rata pada daerah frekuensi crossover belum tentu memiliki tanggapan fase yang mendekati sama antara tweeter dan woofer. Cara mudah yang dapat dilakukan untuk mengetahuinya dengan membalik polaritas tweeter fasa tweeter tergeser 180°.

Gambar 3.36 menunjukan simulasi saat polaritas tweeter dibalik dan terjadi phase cancellation pada daerah frekuensi crossover yang ditunjukkan garis hitam. Adanya penurunan tanggapan magnitudo >30 db ketika polaritas tweeter dibalik menunjukan ada selisih fase antara tweeter dan woofer antara 135°-225° pada daerah frekuensi crossover. Jika selisih fase yang terjadi pada daerah frekuensi crossover antara 45°-135°, ketika polaritas tweeter dibalik tidak terjadi phase cancellation yang berarti atau hanya ada sedikit perubahan.

Gambar

Gambar 3.1. Blok diagram perancangan sistem penyuara
Gambar 3.2. Skema kotak penyuara yang digunakan
Gambar 3.4. Skema selisih jarak kumparan suara antar penyuara terhadap pendengar
Gambar 3.5. Impedansi woofer Dynaudio 17wlq
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh pengembangan karir, pelatihan dan kepuasan kerja terhadap kinerja pegawai di Kantor Kecamatan Kabupaten

Apakah Interaksi sosial memediasi pengaruh Budaya Organisasi terhadap.

Cara pengukuran status gizi balita yang paling sering di masyarakat adalah antropometri gizi yaitu ukuran berbagai dimensi tubuh manusia yang berkaitan dengan asupan gizi atau

Sistem Informasi Data Usaha Mikro Kecil Menengah Dinas Perindustian Perdagangan Dan Koperasi Kabupaten Purbalingga , Purbalinga, Jurusan Teknik Informatika STMIK AMIKOM

Data yang diperoleh pada penelitian ini terdiri dari data kualitatif yaitu hasil observasi aktivitas siswa pada saat pembelajaran dan angket respon siswa terhadap penerapan

[r]

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ika Yuli Wijianti (2007) dengan judul pengaruh modal kerja dan perputaran modal kerja terhadap Return On Equity (ROE) pada

Berdasarkan analisis jalur menunjukkan bahwa semua variabel diterima dansecara statistik menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan, budaya organisasi dan motivasi kerja