• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 KESELAMATAN KAPAL PENANGKAP IKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 KESELAMATAN KAPAL PENANGKAP IKAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Kapal penangkap ikan dikaitkan dengan bidang pekerjaannya yang sangat dinamis dan berisiko tinggi mengharuskan kapal memiliki stabilitas yang cukup. Kapal yang didesain dan diolah gerak dengan baik akan memberikan jaminan keselamatan operasional meskipun berada dalam kondisi cuaca yang kurang baik.

Hasil penelitian diberbagai negara, penyebab kecelakaan pada kapal penangkap ikan yang terjadi di negara maju sekalipun adalah faktor manusia (human error). Faktor manusia tersebut berhubungan dengan kurangnya kesadaran, keahlian dan keterampilan awak kapal dalam memahami aspek keselamatan pelayaran dan penangkapan ikan. Berkaitan dengan hal ini perlu pertimbangan bagi awak kapal yang terlibat dalam operasional penangkapan ikan sebelum ikut berlayar, seperti awak kapal harus berkecukupan dalam pendidikan dan pelatihan keahlian (Certificate of Competency) dan keterampilan (Certificate

of Proficiency) serta memiliki kompetensi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Selain itu juga harus memahami kondisi yang disepakati dalam perjanjian kerja, prosedur dan sistem kerja di kapal penangkap ikan (Suwardjo, 2010).

Dari aspek kapal penangkap ikan, pengelolaan kapal harus dilaksanakan dengan baik guna menjamin kesuksesan kegiatan penangkapan ikan. Secara keseluruhan, keselamatan kapal akan linier dengan kompetensi awak kapal, manajemen berorientasi keselamatan dan kelaikan kapal.

Dari sisi regulasi, telah banyak kebijakan-kebijakan internasional dan nasional yang terkait dengan masalah keselamatan dilaut, namun implementasi dilapangan belum berjalan dengan baik. Oleh karena itu, pengkajian terhadap kebijakan nasional perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tanggung jawab pemerintah dan sejauh mana kebijakan nasional menampung tuntutan konvensi internasional serta memenuhi standarisasi internasional terhadap peningkatan keselamatan nelayan dan kapal-kapal ikan di Indonesia. Demikian juga dengan kebijakan internasional, secara teknis dapat menjadi salah satu masukan atau bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan nasional terkait keselamatan nelayan dan kapal ikan.

Tujuan pada bab ini adalah (1) mengidentifikasi regulasi terkait keselamatan kapal ikan baik secara nasional dan internasional; (2) mengkaji dan menganalisis aspek keselamatan operasional pada kapal pole and line.

Metodologi

Metode penelitian ini adalah metode survei lapangan pada kapal-kapal pole

and line yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung, Sulawesi

Utara. Pengumpulan data dimulai dengan melihat langsung aspek teknis kapal seperti kelaiklautan kapal, perlengkapan peralatan keselamatan, peralatan navigasi dan peralatan radio komunikasi diatas kapal serta sertifikasi keahlian dan kecakapan awak kapal sebagai penunjang kegiatan berlayar. Selanjutnya dilakukan identifikasi data pendukung berupa aturan-aturan secara internasional dan nasional yang terkait dengan keselamatan kapal ikan.

Analisis kebijakan dilakukan secara deskriptif dengan pendekatan kualitatif yaitu dengan membandingkan peraturan yang ada dengan peraturan internasional

(2)

dan nasional berkenaan dengan pengaturan keselamatan kapal ikan. Analisis dimulai dari mengidentifikasi peraturan-peraturan terkait keselamatan kapal ikan baik nasional maupun internasional. Selain itu juga dilakukan telaah content analisis untuk melihat seperti apa implementasi, dampak dan kendala dari peraturan yang ada.

Hasil dan Pembahasan

Elemen penting dalam usaha penangkapan ikan salah satunya adalah kapal. Armada kapal penangkap pole and line yang berlokasi di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung cukup bervariasi. disampaikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Jumlah kapal pole and lineyang beraktifitas di PPS Bitung.

Tonage ≤ 10 GT 11 - 30 GT 31 - 60 GT 61 - 100 GT

Jumlah 1 8 8 21

Sumber : Statistik PPS Bitung, 2012

Tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah kapal pole and line tergolong berukuran besarsehingga menuntut saranapenangkapan ikan seperti kapal dalam keadaan laik laut. Kondisi kapal yang kurang baik akan mempengaruhi usaha penangkapan ikan. Terkait hal tersebut, maka diharapkan aspek keselamatan kapal penangkap ikan guna menjamin keberhasilan kegiatan penangkapan perlu menjadi perhatian. Salah satu bentuk perhatian dan kesadaran stakeholder didalam menjamin keselamatan kapal ikan adalah kapal harus laik laut dari segi desain, tata ruang diatas kapal, perlengkapan peralatan keselamatan dan radio komunikasi serta peralatan navigasi. Disisi lain, bentuk perhatian dari pemerintah yaitu pengaturan kebijakan terkait keselamatan kapal ikan.

Sebanyak 38 unit kapal pole and line dilakukan pengamatan berkenaan dengan aspek keselamatannya. Kapal pole and line yang diukur untuk mengetahui kesesuaian desain dan kualitas stabilitas adalah berukuran 25GT. Hal lain yang harus diperhatikan adalah sumberdaya manusia awak kapal. Unsur awak kappal juga merupakan unsur penting guna memaksimalkan sarana kapal penangkap dan alat penangkap ikan yang digunakan. Oleh karena itu, awak kapal yang terampil dan bersertifikat sangat penting dalam keberhasilan usaha perikanan tangkap yang pada akhirnya dapat membantu mewujudkan keberhasilan kegiatan penangkapan dan keselamatan dalam pelayaran.

Selama beberapa kurun waktu, terjadi kecelakaan kapal ikan perairan Bitung, Sulawesi Utara. Kecelakaan kapal disebabkan karena beberapa hal yaitu faktor teknis seperti kondisi kapal yang tidak laik laut dan kondisi cuaca yang kurang baik. Faktor non teknis seperti kesalahan manusia (human error) juga sebagai penyebab kecelakaan kapal diantaranya kurangnya kesadaran awak kapal dalam hal keselamatan dan kurangnya kemampuan atau keahlian daripada awak kapal dalam melayarkan kapal atau melakukan kegiatan penangkapan ikan.

Berikut data kecelakaan kapal penangkap ikan dan faktor penyebab yang terjadi diperairan Bitung, Sulawesi Utara disampaikan pada Tabel 10.

(3)

Tabel 10 Data kecelakaan kapal yang terdata dalam kurun waktu 2007-2013.

Sumber : Rekapitulasi laporan tahunan PPS Bitung, 2012.

Banyaknya jumlah kecelakaan kapal penangkap ikan akibat kerusakan mesin, tenggelam dan tubrukan karena kesalahan manusia (human error). Rusaknya mesin kapaldan tubrukan kapal karena kurangnya perawatan dari awak kapal dan juga kelalaian dari awak kapal. Hal ini menandakan bahwa kemampuan atau keahlian awak kapal penangkap ikan dalam mendukung kegiatan penangkapan ikan masih kurang. Hal lain, kecelakaan kapal seperti tenggelam ini disebabkan karena faktor alam yang memang tidak bisa dikontrol.

Menurut data, kecelakaan kapal yang terjadi ini dialami oleh kapal motor. Selain itu, faktor kesalahan manusia perlu mendapatkan perhatian dan perlu mengacu kepada kebijakan terkait keselamatan kapal dan awak kapal penangkap ikan. Dengan demikian diharapkan kecelakaan kapal yang disebabkan oleh faktor teknis kapal dan kesalahan manusia dapat diminimalkan serta dapat dihasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan mempunyai keahlian serta kemampuan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan.

Peraturan Internasional telah dikeluarkan oleh masing-masing lembaga internasional terkait keselamatan kapal ikan seperti FAO yang mengatur tentang perikanan secara umum, ILO mengatur tentang tenaga kerja dalam industri perikanan dan IMO mengatur tentang keselamatan jiwa dilaut, desain dan kualitas stabilitas kapal dan peralatan serta perlengkapan diatas kapal.

FAO dalam konvensinya Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) 1995, terdapat ketentuan yang menjelaskan bahwa suatu negara harus memastikan fasilitas penangkapan dan peralatan yang digunakan dalam suatu kegiatan penangkapan dengan mempertimbangkan kondisi kehidupan dan kerja yang aman, adil dan sehat bagi nelayan sesuai dengan standar internasional yang disetujui yang berhubungan dengan keselamatan nelayan. Selanjutnya setiap negara harus memastikan kesehatan dan standar keselamatan bagi semua orang yang bekerja dalam kegiatan penangkapan sesuai dengan persyaratan dan setiap negara harus memastikan pemenuhan persyaratan keselamatan nelayan dan kapal ikan sesuai dengan aturan yang disetujui untuk diberlakukan.

Negara perlu menjamin hanya kapal penangkap ikan yang berijin dioperasikan di perairannya. Kapal-kapal tersebut melakukan kegiatan penangkapan ikan secara bertanggung jawab yang didukung dengan berbagai

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ka pa l ( un it)

(4)

aturan dan penegakan hukum oleh negara. Ukuran kapal penangkap ikan perlu sesuai dengan daya dukung guna menghindari tangkap lebih. Dampak kegiatan penangkapan perlu diketahui dan dikaji sebelum mengenalkan alat tangkap baru. Metode penangkapan perlu selektif dan dirancang untuk meminimalkan limbah dan memberikan tingkat kesempatan lolosnya ikan lebih besar. Alat tangkap perlu meminimalkan hasil tangkap yang tidak diinginkan atau yang dilindungi.

Konvensi ILO yang berkaitan dengan keselamatan kapal penangkap ikan dan nelayan adalah Fishermen’s Competency Certificates Convention, 1966 (No

125), Accommodation of Crews (Fishermen)Convention, 1966 (No 126) dan Vocational Training (Fishermen) Recommendation, 1966 (No 126).

Fishermen’s Competency Certificates Convention Nomor 125 tahun 1966,

adalah konvensi yang menetapkan standar kemampuan nelayan, yaitu dengan mengeluarkan sertifikat kemampuan bagi bagi nelayan yang memegang jabatan sebagai nakhkoda, mualim atau masinis pada suatu kapal nelayan yang berukuran lebih dari 25 GT. Konvensi ini juga menentukan usia minimum untuk sesuatu sertifikat dan pokok materi yang akan diujikan untuk calon/kandidat yang akan dikeluarkan sertifikat kemampuan.

Accommodation of Crews (fishermen) Convention Nomor 126 tahun 1966,

mengatur tentang perlunya perencanaan dalam pembuatan kapal ikan terhadap fasilitas ABK (nelayan). Perencanaan tersebut mencakup konstruksi kapal dan penempatan ruangan, pembuangan/pengaliran air, ventilasi, pencahayaan dalam

ruangan, ukuran ruang tidur, ruang mesin, fasilitas kesehatan, kamar sakit di kapal, peti/lemari obat-obatan dan ruang dapur. Konvensi ini tidak berlaku bagi

kapal-kapal ikan dengan ukuran kurang dari 75 GT, untuk ukuran panjang sebagai pengganti ukuran GT sebagai parameter dalam konvensi ini, yaitu tidak berlaku bagi kapal yang kurang dari 80 kaki (24,4 meter).

The Vocational Training (fishermen) Recommendation Nomor 126 tahun

1966, merupakan konvensi yang berisi rekomendasi pelatihan kejuruan untuk meningkatkan kemampuan/keahlian nelayan selama bekerja pada kapal-kapal perikanan. Rekomendasi pelatihan ini berlaku untuk semua nelayan yang bekerja di kapal-kapal perikanan. Rekomendasi ini secara jelas mengindikasikan perlunya pelatihan terhadap keselamatan di laut dan keselamatan pada saat mengoperasikan/menggunakan alat tangkap. Pelatihan yang dimaksudkan diantaranya adalah stabilitas kapal, kebakaran, keselamatan diri, water-tight

integrity (tingkat kekedapan air), keselamatan dalam ruang mesin, penggunaan

sekoci penolong, penggunaan rakit penolong, PPPK (P3K), perawatan medis dan berbagai hal yang berhubungan dengan keselamatan. Lembaga yang berwenang perlu menetapkan standar pelatihan dan kurikulum rencana bahan ajar untuk nelayan dari berbagai program pelatihan, serta harus didasarkan pada suatu analisis sistematis yang diperlukan dalam pekerjaan menangkapan ikan.

Selain FAO dan ILO, lembaga internasional lain seperti IMO telah mengembangkan dan menetapkan aturan-aturan tentang keselamatan maritim termasuk didalamnya keselamatan kapal penangkap ikan dan nelayan. Peraturan internasional tersebut antara lain adalah :

1) Torremolinos The Safety of Fishing Vessels Convention, 1977. Protocol

Torremolinos 1993

Peraturan ini mengatur secara internasional mengenai keselamatan kapal perikanan yang berukuran panjang 24 meter atau lebih. Konvensi ini berisi

(5)

peraturan mengenai standar konstruksi kapal dan peralatan yang berhubungan dengan keselamatan kapal ikan, diantaranya : ketentuan mengenai konstruksi,

watertight integrity dan peralatan kapal, stabilitas dan kelaiklautan,

permesinan dan instalasi listrik, ruang permesinan, perlindungan dari kebakaran, pendeteksian kebakaran, pemadaman api dan kebakaran, perlindungan ABK, peralatan pertolongan dan pengaturan, prosedur dalam keadaan darurat dan komunikasi radio. Kemudian dilakukan beberapa perubahan secara teknis dalam suatu konferensi yang disebut Protocol Torremolinos 1993. Protokol membatasi ketentuan wajib dari konvensi ini untuk diberlakukan bagi kapal dengan ukuran 45 meter dan lebih, sedangkan bagi kapal berukuran antara 25 meter sampai 45 meter aplikasi persyaratan keselamatan diserahkan kepada keputusan regional.

2) International Convention on Standards of Training, Certification dan

Watchkeeping for Fisheries (STCW-F), 1995.

Konvensi ini mengatur standar persyaratan pengetahuan dan keterampilan minimum sertifikasi awak kapal penangkap ikan berukuran panjang 24 meter atau lebih, serta prinsip-prinsip dinas jaga laut. Standar persyaratan minimum untuk sertifikasi awak kapal penangkap ikan seperti :

1. Persyaratan minimum untuk sertifikasi sebagai nakhoda, perwira yang melaksanakan tugas jaga navigasi kapal penangkap ikan ukuran panjang 24 meter atau lebih yang beroperasi di perairan terbatas dan tak terbatas; 2. Persyaratan minimum untuk sertifikasi Kepala Kamar Mesin dan perwira

mesin pada kapal penangkap ikan yang digerakkan oleh mesin penggerak utama dengan daya dorong 750 KW atau lebih; 3. Persyaratan minimum yang disyaratkan untuk sertifikasi GMDSS bagi

petugas radio di kapal penangkap ikan;

4. Pelatihan keselamatan tingkat dasar bagi seluruh awak kapal penangkap ikan (Basic Safety Training for all fishing vessels personnel);

5. Prinsip dasar yang harus diamati dalam jaga navigasi pada kapal penangkap ikan.

Dalam konvensi STCW-F 1995 juga dimuat resolusi konvensi, terdiri dari: Resolusi 1. Pelatihan bagi operator radio untuk (GMDSS).

Resolusi 2. Pelatihan radar simulator.

Resolusi 3. Petunjuk dan rekomendasi untuk awak kapal penangkap ikan. Resolusi 4. Pelatihan anak buah kapal (ABK) kapal penangkap ikan. Resolusi 5. Pelatihan teknik penyelamatan diri bagi awak kapalikan. Resolusi 6. Pelatihan dan sertifikasi bagi awak kapal ikanberukuran besar. Resolusi 7. Persyaratan dan peraturan perwira jaga bagian mesin.

Resolusi 8. Promosi peran serta wanita dalam industri penangkapan ikan. Resolusi 9. Hubungan antar manusia.

3) Code of Safety for Fishermen and Fishing Vessels, 1975 dan Voluntary

Guidelines for The Design, Construction, and Equipment of Small Fishing Vessels, 1980

Kedua pedoman/petunjuk ini merupakan bagian dari peraturan yang mengatur mengenai keselamatan kapal ikan untuk kapal berukuran panjang 12 meter sampai dengan kurang dari 24 meter dan sifatnya tidak mengikat (sukarela). Negara-negara tidak membutuhkan ratifikasi untuk mengaplikasikannya dalam kerangka kebijakan nasional.

(6)

4) Convention on The International Regulation for Preventing Collision at Sea

(COLLREG), 1972

Peraturan ini mengatur secara internasional mengenai kecelakaan tubrukan kapal. Ketentuan-ketentuan dalam aturan ini menjelaskan tentang aturan mengemudi dan berlayar serta penggunaan lampu penerangan dan sosok benda yang isyaratkan untuk keamanan berlayar. Ketentuan tersebut berlaku bagi semua kapal yang melakukan pelayaran termasuk kapal penangkap ikan. Konvensi ini diadopsi pada tanggal 20 Oktober 1972.

Berdasarkan uraian peraturan internasional tersebut diatas, beberapa peraturan bersifat wajib (mandatory) dan mengikat artinya Indonesia sebagai negara yang tergabung dalam organisasi maritim internasional harus mengimplementasikan ke dalam kebijakan nasional. Peraturan internasional yang bersifat mandatory yaitu Torremolinos Safety Fishing Vessel 1977, Protocol 1993 dan STCW-F tahun 1995. Peraturan lainnya bersifat sukarela (voluntir) dan tidak mengikat. Karena sifat sukarela tersebut, perlu komitmen dan kesadaran stakeholder untuk menjamin prinsip, tujuan dan tindakan praktis dalam implementasinya. Oleh karena itu, suatu negara harus memberikan perhatian yang lebih terhadap keselamatan kapal dan awak kapal penangkap ikan. Salah satu bentuk perhatian pemerintah adalah dengan meratifikasi peraturan internasional dan implementasi kedalam peraturan nasional.

Keselamatan kapal penangkap ikan termasuk dalam keselamatan pelayaran secara umum, dimana keselamatan pelayaran adalah wewenang dan tanggung jawab Kementerian Perhubungan. Sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan juga bertanggung jawab atas pengelolaan dan pembangunan perikanan tangkap Indonesia serta mengatasi permasalahan masyarakat nelayan. Berikut beberapa peraturan-peraturan nasional kedua Kementerian terkait keselamatan kapal penangkap ikan antara lain :

1) Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2000 tentang Kepelautan.

Peraturan ini tentang pengawakan kapal penangkap ikan yang menyebutkan jenis sertifikat keahlian pelaut kapal perikanan terdiri dari sertifikat keahlian pelaut nautika kapal penangkap ikan dan sertifikat keahlian pelaut teknik permesinan kapal penangkap ikan. Pengawakan kapal penangkap ikan harus disesuaikan dengan daerah pelayaran, ukuran kapal dan daya penggerak kapal.

2) Peraturan Menteri Perhubungan KM. 9 tahun 2005 tentang Pendidikan dan Pelatihan ujian serta sertifikasi bagi pelaut kapal perikanan.

Pendidikan dan pelatihan bagi pelaut kapal penangkap ikan sangat penting dalam peningkatan kapasitas sumberdaya manusia awak kapal dan calon awak kapal. Pendidikan dan pelatihan pelaut kapal penangkap ikan dilaksanakan oleh unit-unit pendidikan danatau pelatihan perikanan atau badan hukum pendidikan berdasarkan sistem standar mutu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai sistem standar mutu pendidikan dan pelatihan, ujian dan sertifikasi pelaut kapal penangkap ikan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri yang bertanggung jawab dibidang perikanan.

Sertifikasi keahlian pelaut kapal penangkap ikan yaitu terdiri dari sertifikat keahlian (Certificate of competency) pelaut kapal penangkap ikan dan

(7)

sertifikat keterampilan (Certificate of proviciency) pelaut kapal penangkap ikan. Jenis dan tingkat sertifikat keahlian pelaut kapal penangkap ikan telah dijelaskan pada peraturan pemerintah nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan. Jenis Sertifikat Keterampilan Pelaut Kapal Penangkap Ikan, terdiri dari :

a. Sertifikat Keselamatan Dasar Awak Kapal Penangkap Ikan (Basic Safety

Training for all Fishing Vessel Personnel/BST–F Certificate);

b. Sertifikat Lanjutan Penanggulangan Kebakaran (Advanced Fire Fighting

Certificate);

c. Sertifikat Pertolongan Medis Darurat (Medical Emergency First Aid

Certificate);

d. Sertifikat Perawatan Medis di atas Kapal (Medical Care on Board

Certificate);

e. Sertifikat Simulasi Radar (Radar Simulator Certificate); f. Sertifikat Simulasi ARPA (ARPA Simulator Certificate);

g. Sertifikat Operator Radio Umum untuk GMDSS (General Radio

Operator Certificate for the GMDSS);

h. Sertifikat Operator Radio Terbatas untuk GMDSS (Restricted Radio

Operator Certificate for the GMDSS);

i. Sertifikat Kecakapan Pesawat Luput Maut dan Sekoci Penyelamat (Proficiency in Survival Craft and Rescue Boats Certificate);

j. Sertifikat Perwira Keamanan Kapal (Ship Security Officer Certificate). Sertifikat-sertifikat pelaut kapal penangkap ikan diterbitkan oleh Ditjen Perla, Kementerian Perhubungan.

3) Keputusan Menteri Perhubungan No. 46 tahun 1996 Tentang Sertifikasi Kelaiklautan Kapal Penangkap Ikan.

Peraturan ini membahas mengenai kapal penangkap ikan, akan tetapi peraturan tersebut lebih terfokus membahas tata laksana atau prosedur penerbitan sertifikat kelaiklautan kapal penangkap ikan tanpa menyebutkan atau melampirkan standar keselamatan yang harus dipenuhi oleh suatu kapal penangkap ikan agar dapat dikatakan laiklaut sehingga dalam proses penerbitan Sertifikat Kelaiklautan Kapal Penangkap Ikan tersebut pihak

Marine Inspector yang merupakan petugas pemeriksa persyaratan kelaikan

kapal penangkap ikan tidak dapat menerapkan secara tegas standar keselamatan yang harus dipenuhi oleh kapal penangkap ikan.

4) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 07 tahun 2010 tentang Surat Laik Operasi Kapal Perikanan.

Surat laik operasi kapal perikanan atau SLO adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa kapal perikanan telah memenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis untuk melakukan kegiatan perikanan. SLO diterbitkan oleh Satker Pengawas Perikanan di pelabuhan pangkalan. Persyaratan untuk mendapatkan SLO adalah persyaratan kelayakan teknis kapal meliputi : (a) kesesuaian fisik kapal perikanan dengan yang tertera dalam SIPI, terdiri dari bahan kapal, merek dan nomor mesin utama, tanda selar, dan nama panggilan/call sign; (b) kesesuaian jenis dan ukuran alat penangkapan ikan dengan yang tertera pada SIPI; dan (c) keberadaan dan keaktifan alat pemantauan kapal perikanan yang dipersyaratkan. Kapal yang diberikan izin untuk berlayar adalah kapal yang telah memenuhi persyaratan

(8)

administrasi dan kelayakan teknis kapal yang dikeluarkan oleh syahbandar perikanan setelah memenuhi surat laik operasi (SLO).

5) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 3 tahun 2013 tentang kesyahbandaran di pelabuhan perikanan.

Peraturan ini menyebutkan bahwa tugas dan wewenang Syahbandar yang terkait dengan keselamatan kapal perikanan seperti memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal perikanan, menerbitkan surat persetujuan berlayar (SPB), memeriksa teknis dan nautis kapal perikanan dan memeriksa alat penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan dan memeriksa pemenuhan persyaratan pengawakan kapal perikanan.

6) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 21 tahun 2004 tentang syarat desain dan peralatan kapal penangkap ikan.

Secara umum ketentuan peraturan ini mengenai persyaratan minimum yang harus dipenuhi oleh kapal penangkap ikan berkenaan dengan tata ruang dan peralatan untuk penanganan dan penyimpanan serta pembekuan hasil perikanan.

Kapal pole and line yang menjadi objek penelitian yang berbasis di Bitung, bila dilihat dari aspek teknis seperti kelaiklautan kapal seperti tata ruang dan desain, peralatan keselamatan, radio komunikasi dan navigasi diatas kapal secara umum belum memenuhi standar minimum yang dipersyaratkan didalam peraturan internasional.

Peraturan internasional secara jelas mengatur keselamatan kapal ikan dan awak kapalnya. Peraturan nasional yang sejalan dengan peraturan internasional diharapkan dapat diimplementasikan dilapangan. Peraturan nasional seperti Kepmen KP nomor 21 tahun 2004 tentang syarat desain dan peralatan kapal penangkap ikan, beberapa ketentuan belum sesuai dengan dengan kondisi exsisting kapal pole and line yang berbasis di Bitung. Sebagai contoh dalam ketentuan peraturan tersebut, seperti peralatan dan perkakas seperti meja pemotong, wadah, ban berjalan, mesin pembuangan isi perut tidak ditemukan diatas kapal pole and line.

Hubungannya dengan konstruksi dalam pembangunan kapal penangkap ikan, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah penempatan ruangan. Kapal-kapal pole and line yang diteliti diketahui memiliki tata ruang yang kurang memperhatikan standar minimum yang ditentukan. Beberapa kapal tidak menyediakan tempat akomodasi untuk istirahat ABK dan minimnya pencahayaan, ventilasi, fasilitas kesehatan, lemari obat-obatan serta ruang dapur.

Kepmen Perhubungan nomor 46 tahun 1996 hanya membahas tata laksana atau prosedur penerbitan sertifikat kelaiklautan kapal penangkap ikan tanpa menyebutkan atau melampirkan standar keselamatan yang harus dipenuhi oleh suatu kapal penangkap ikan agar dapat dikatakan laiklaut. Kelemahan dari peraturan tersebut adalah pihak petugas pemeriksa persyaratan kelaikan kapal penangkap ikan tidak dapat menerapkan secara tegas standar keselamatan yang harus dipenuhi oleh kapal penangkap ikan. Berbeda dengan peraturan internasional Torremolinos Safety Fishing Vessel 1977, protocol 1993 secara jelas mengatur mengenai standar konstruksi kapal dan peralatan yang berhubungan dengan keselamatan kapal ikan.

(9)

Standar kapal penangkap ikan pada prinsipnya didasarkan pada aspek keselamatan yang mencakup konstruksi, stabilitas, perlengkapan navigasi, perlengkapan keselamatan, peralatan komunikasi, mesin dan pompa-pompa termasuk pompa darurat dan pompa got, pintu-pintu kedap air. Peralatan keselamatan kapal penangkap ikan berukuran kecil seharusnya dilengkapi sebagaimana pada Tabel 11.

Tabel 11 Daftar peralatan keselamatan kapal kecil bermesin.

Daftar alat keselamatan perahu Basic 1 2 3

Pelampung penolong/Life buoy Jaket penolong/Life Jacket Lampu cerlang/Flashlight

Bucket with rope

Tali ikat ke kapal/Rope connected to the vessel Dayung/Paddle

Kompas/Compass

Peta laut/Sea chart/Navigation chart FM radio

Pemadam Kebakaran/Fire extinguisher

Global Positioning System (GPS)

Radio VHF/VHF Radio

Mobile phone

Untuk perahu bermesin (tambahan) Layar dan tiang layer/Sail and a mast Suku cadang mesin/Spare part of the engine Bahan bakar cadangan/Extra fuel of the engine

√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Sumber: Danielson (2004).

Peraturan lainnya seperti Permen KP nomor 3 Tahun 2013 tentang Kesyahbandaran di Pelabuhan Perikanan hanya sebatas pemeriksaan kelengkapan dokumen kapal, menerbitkan surat persetujuan berlayar (SPB), pemeriksaan teknis dan nautis kapal dan memeriksa alat penangkapan ikan, serta alat bantu penangkapan ikan tanpa menyebutkan standar minimum kelengkapan peralatan yang harus dipenuhi oleh kapal penangkap ikan. Akan tetapi disisi lain, jumlah Surat Persetujuan Berlayar yang diterbitkan oleh Syahbandar di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung terhitung sejak bulan Juli tahun 2006 sampai dengan bulan Desember tahun 2011 berjumlah 44.312. Peningkatan jumlah Surat Persetujuan Berlayar (SIB) adalah salah satu indikator meningkatnya ketaatan kapal perikanan terhadap perundang-undangan yang berlaku. Kemudahan pelayanan dengan sistem pelayanan 1 x 24 jam yang telah diterapkan memiliki nilai tambah dan ikut memberi andil bagi peningkatan penerbitan SIB tersebut.

Eksistensi Syahbandar di pelabuhan perikanan Samudera Bitung saat ini mulai dirasakan oleh nelayan dan pengusaha perikanan. Memperhatikan besarnya peningkatan jumlah penerbitan SIB dan animo masyarakat nelayan atau pengusaha kapal perikanan untuk masuk dan melakukan aktifitas di pelabuhan perikanan maka dapatlah disimpulkan bahwa peran kesyahbandaran perikanan kedepan akan menjadi semakin penting terutama dalam menjamin keselamatan operasi kapal penangkap ikan dan kelestarian sumberdaya perikanan khususnya ikan sebagai hasil tangkapan.

(10)

Kualitas sumberdaya nelayan sebagai sumberdaya manusia perikanan yang masih rendah akan menambah jumlah kecelakaan kapal. Bila dilihat, sebagian besar keahlian dan kemampuan awak kapal didapat secara turun temurun lewat kebiasaan melaut dan tidak didapat melalui pendidikan dan pelatihan keterampilan pelaut. Dari hasil wawancara sebanyak 10 orang awak kapal dan 1 org nakhoda, kebanyakan kapal pole and line yang berbasis di Bitung diawaki oleh awak kapal yang minim dengan keahlian dan keterampilan. Ini dibuktikan dengan sertifikat keahlian dan keterampilan yang dimiliki. Sementara jelas dalam STCW-F, 1995 mengatur persyaratan minimum untuk sertifikat pengawakan kapal penangkap ikan. Berikut data mengenai sertifikat keahlian yang dimiliki awak kapal Pole and line disampaikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Sertifikat keahlian yang dimiliki awak kapal pole and line

SertifikatKeahlian Nakhoda Mualim KKM

1. ANKAPIN I 2. ANKAPIN II 3. ANKAPIN III 4. ATKAPIN I 5. ATKAPIN II 6. ATKAPIN III 7. SKK 60 Mil 8. ANT V 9. ATT IV - 3 22 - - - 9 4 - - - 3 - - - 1 - - - - - - 1 18 18 - 1 Sumber : data statistis PPS Bitung, 2012.

Tabel diatas menunjukkan standar kualifikasi sertifikat keahlian dan keterampilan awak kapal. Setiap orang yang bekerja diatas kapal ikan harus memiliki keahlian dan keterampilan sesuai dengan jabatannya diatas kapal. Salah satu peraturan internasional yaitu SCTW-F 1995 menyebutkan bahwa kewajiban seluruh awak kapal penangkap ikan harus memiliki keterampilan dasar keselamatan BST (basic safety training). Ini sangat berbeda dengan kondisi awak kapal yang bekerja diatas kapal pole and line di Bitung. Awak kapal selain nakhoda dan KKM tidak memiliki sertifikat BST. Selain itu, sebagian besar kapal

pole and line di Bitung memiliki ukuran panjang kapal lebih dari 24 meter.

Seharusnya standar kualifikasi sertifikasi keahlian dan keterampilan mengacu kepada peraturan SCTW-F 1995.Namun, walaupun pengawakan tidak sesuai standar, kapal-kapal pole and line tetap melakukan kegiatan operasi penangkapan ikan. Ini menunjukkan belum adanya ketaatan dalam pemenuhan standar kualifikasi keahlian dan kecakapan bagi awak kapal ikan dan kurangnya pengawasan oleh petugas teknis syahbandar perikanan.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 46 Tahun 1996 tentang Sertifikasi Kelaiklautan Kapal Penangkap Ikan, sampai saat ini masih dijadikan dasar hukum untuk penerbitan sertifikat kelaiklautan dan pengawakan kapal penangkap ikan. Kapal penangkap ikan yang dinyatakan memenuhi persyaratan kelaiklautan diberikan sertifikat, berupa Surat Tanda Kebangsaan Kapal dan Sertifikat Kelaiklautan dan Pengawakan Kapal Penangkap Ikan.

(11)

Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM 46 tahun 1996, Sertifikat Kelaiklautan dan Pengawakan Kapal Penangkap Ikan diberikan apabila telah memenuhi ketentuan ketentuan:

1) Konstruksi dan tata susunan kapal; 2) Stabilitas dan garis muat kapal; 3) Perlengkapan kapal;

4) Permesinan dan listrik kapal;

5) Perangkat telekomunikasi radio dan elektronika kapal;

6) Sistem dan perlengkapan pencegahan dan pemadam kebakaran; 7) Sistem dan perlengkapan pencegahan pencemaran dari kapal; 8) Jumlah dan susunan awak kapal.

Pada sertifikat tersebut pernyataan bahwa hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kapal telah memenuhi ketentuan tentang keselamatan konstruksi, permesinan, perlengkapan navigasi, alat-alat penolong, alat-alat pemadam kebakaran, perlengkapan radio, peralatan pencegahan pencemaran dari kapal, dan pencegahan pelanggaran di laut, serta kelengkapan-kelengkapan lainnya yang terkait dengan aturan kelaiklautan dan pengawakan kapal penangkap ikan.

Peralatan keselamatan yang ada pada kapal pole and line di Bitung disampaikan pada tabel13 dibawah ini.

Tabel 13Peralatan keselamatan pada kapal pole and line.

Sumber : data statistik PPS Bitung, 2012.

Kapal pole and line yang berbasis di PPS Bitung dari jumlah sampling sebanyak 38 kapal dengan bobot kapal antara 10–94 GT, sebanyak 38 unit kapal (100%) telah melengkapi rompi penolong/life jacket, 18 kapal (47,4%) melengkapi kapalnya dengan peralatan keselamatan berupa rakit penolong/liferaft. Sementara sekoci penolong tidak dimiliki oleh semua kapal yang diteliti. Kekurangan peralatan pada kapal-kapal pole and line, diantaranya jumlah rompi penolong/life jacket tidak sesuai dengan jumlah awak kapal dan dalam keadaan tidak layak pakai. Dari jumlah awak kapal sebanyak 20 hingga 30 orang setiap kapalnya, hanya 50 % baju penolong /life jacket yang tersedia dari jumlah awak kapal.Jumlah pelampung penolong/life bouy juga kurang setiap kapalnya dan

Peralatan keselamatan dan navigasi Jumlah kapal Persentase (%)

1. Rompi penolong /life jacket 2. Rakit penolong/liferaft 3. Sekoci penolong 4. Sextan 5. Teropong 6. Kompas magnet 7. Peta Laut 8. GPS 9. GMDSS 10. Radar 11. Gyro Kompas 12. SSB 13. VMS 38 18 - - 34 38 34 38 - 4 26 33 24 100 47,4 0 0 89,5 100 89,5 100 0 10,5 68 86,8 63,2

(12)

tidak dilengkapi alat pemadam kebakaran serta tidak ada perlengkapan kotak P3K. Beberapa kapal pole and line juga sudah melengkapi kapalnya dengan peralatan navigasi seperti GPS dan kompas magnet yaitu sebanyak 38 kapal (100%). Peralatan navigasi lainnya yang dipenuhi diantaranya seperti Peta laut sebanyak 34 kapal (89,5%), Radar sebanyak 4 kapal (10,5%) dan Gyro kompas sebanyak 26 kapal (68%). Disamping itu juga peralatan radio dan komunikasi seperti SSB sebanyak 33 kapal (86,8%) dan peralatan GMDSS, dari 38 kapal semuanya belum melengkapinya.

Analisis terhadap regulasi atau peraturan terkait keselamatan kapal penangkap ikan dilakukan untuk melihat peraturan perundangan yang ada. Hal ini dilakukan untuk melihat mandat, implementasi dan kendala masing-masing peraturan. Analisis ini menghasilkan dampak positif dan negatif dari penerapan peraturan serta beberapa solusi untuk perumusan perbaikan dalam manajemen keselamatan kapal penangkap ikan. Berikut analisis peraturan terkait keselamatan kapal penangkap ikan disampaikan pada Tabel 14 dibawah ini.

(13)

Tabel 14 Regulasi internasional dan nasional tentang keselamatan kapal penangkap ikan.

Uraian Peraturan internasional Peraturan nasional Dampak posistif Dampak negatif

Standar kapal penangkap ikan

Torremolinos Safety of Fishing Vessels Convention 1977, Torremolinos Protocol 1993 (belum

ratifikasi)

Kepmen KP no.21 tahun 2004 tentang syarat desain dan perlengkapan kapal penangkap ikan

Pembangunan kapal penangkap ikan sesuai standar konstruksi kapal dan peralatan keselamatan.

Pembangunan kapal penangkap ikan tidak berdasarkan standar minimum dan hanya berupa juknis.

Standar sertifikasi,

kualifikasi awak

kapal penangkap

ikan

1. STCW-F 1995(belum ratifikasi) 2. Vocational Training (Fishermen)

Recommendation 1966 (No 126).

Permenhub KM. 9 thn 2005 tentang pendidikan dan pelatihan ujian serta sertifikasi bagi pelaut kapal penangkap ikan.

Setiap awak kapal memiliki keahlian dan keterampilan sebagai pelaut kapal perikanan.

Sertifikat keahlian awak kapal penangkap ikan belum diakui diluar negeri. Pengawakan kapal penangkap ikan 1. STCW-F 1995. 2. Fishermen’s Competency Certificates Convention, 1966 (No 125). PP Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Kepelautan.

Pengawakan kapal penangkap ikan sesuai sertifikat keahlian

Lemahnya posisi tawar pelaut kapal penangkap ikan diluar negeri.

Kelaiklautan kapal penangkap ikan

1. Code of Safety for Fishermen and Fishing Vessels, 2005. 2. Voluntary Guidelines for The

Design, Construction, and Equipment of Small Fishing Vessels, 1980.

3. Accommodation of Crews (Fishermen) Convention, 1966 (No 126). (Pedoman diatas

bersifat sukarela) 1. Kepmenhub No. 46 thn 1996 tentang sertifikasi kelaiklautan kapal penangkap ikan. 2. Permen KP No. 07 thn 2010 tentang surat laik operasi kapal perikanan.

Kelaiklautan kapal penangkap ikan sesuai dengan standar minimum.

Pedoman atau kode internasional bersifat sukarela (voluntir), sehingga tidak wajib diterapkan disuatu negara.

Tata laksana lalu lintas laut

Convention on The International Regulation for Preventing Collision at Sea (COLLREG), 1972 (telah

ratifikasi)

Keppres No. 50 thn 1979

tentang ratifikasi COLLREG 1972.

Terciptanya penerapan keselamatan kapal dilaut.

Perlu pengawasan pelaksanaan peraturan dilapangan sehingga membutuhkan banyak marine inspector.

(14)

Tabel diatas menjelaskan bahwa keselamatan kapal penangkap ikan dan awak kapal telah diatur melalui sejumlah peraturan-peraturan baik secara nasional dan internasional. Namun demikian, masih ada permasalahan dalam penerapan peraturan dilapangan. Peraturan nasional yang belum mengacu peraturan internasional yang relevan mencakup pengaturan standar kapal penangkap ikan, ketenaga kerjaan dan pengawakan.

Kebijakan pengaturan keselamatan kapal penangkap ikan pada dasarnya adalah kebijakan kelaikan kapal dan pengawakan kapal penangkap ikan. Kapal penangkap ikan harus memenuhi kelaiklautan dan laik operasi penangkapan. Laiklaut meliputi laik kapal dan laik pengawakan kapal sementara laik operasi penangkapan meliputi laik alat tangkap, daerah penangkapan dan penanganan hasil tangkap. Kebijakan internasional tentang keselamatan jiwa dan kapal penangkap ikan lebih diutamakan penerapannya kepada awak kapal dan kapal-kapal penangkap ikan berukuran panjang kapal-kapal 24 meter atau lebih.

Standar keselamatan kapal penangkap ikan telah diatur dalam peraturan internasional Torremolinos SFV 1993, Code of Safety for Fishermen and Fishing

Vessels 2005 dan Voluntary Guidelines for The Design, Construction, and Equipment of Small Fishing Vessels 1980. Peraturan tersebut dapat dijadikan

acuan dalam perumusan kebijakan secara nasional. Peraturan nasional yang ada terkait standar keselamatan kapal penangkap ikan adalah Kepmenhub nomor 46 tahun 1996 tentang sertifikasi kelaiklautan kapal penangkap ikan dan Permen KP nomor 07 tahun 2010 tentang surat laik operasi kapal perikanan. Peraturan tersebut hanya terfokus mengatur tata laksana atau prosedur penerbitan sertifikat kelaiklautan kapal penangkap ikan tanpa menyebutkan atau melampirkan standar keselamatan yang harus dipenuhi oleh suatu kapal penangkap ikan agar dapat dikatakan laiklaut.

Peraturan internasional terkait dengan sertifikasi dan pengawakan kapal penangkap ikan adalah International Convention on Standards of Training,

Certification dan Watchkeeping for Fisheries (STCW-F) 1995, Vocational Training (Fishermen) Recommendation 1966 (No 126) dan Fishermen’s Competency Certificates Convention, 1966 (No 125). Peraturan internasional yang

dikeluarkan baik berupa konvensi internasional maupun berupa pedoman/kode/rekomendasi dapat dijadikan masukan dan bahan pertimbangan dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia nelayan sehingga kapal diawaki oleh nelayan yang mempunyai keahlian dan kemampuan sebagai pelaut perikanan yang profesional. Namun demikian beberapa peraturan internasional tersebut telah dijadikan bagian dari peraturan nasional dalam meningkatkan keselamatan nelayan. Salah satu peraturan nasionalnya adalah Permen Perhubungan KM. 9 Tahun 2005 tentang Pendidikan dan Pelatihan, ujian, serta sertifikasi bagi pelaut kapal penangkap ikan dan PP nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan. Selain itu, mengingat karakteristik pekerjaan pada kapal penangkap ikan berbeda dengan kapal lainnya maka perlu pengaturan pengawakan, persyaratan kerja pada kapal penangkap ikan, pendidikan dan pelatihan serta ujian dan sertifikasi diatur tersendiri.

Kebijakan nasional yang dikeluarkan oleh kementerian perhubungan dan kementerian kelautan dan perikanan melalui Undang-undang, Kepmen, Permen dan Peraturan pemerintah secara umum belum sepenuhnya selaras dengan kebijakan internasional yang ada. Namun demikian mulai berupaya memperbaiki

(15)

sistem keselamatan awak kapal dan kapal penangkap ikan. Beberapa konvensi telah diratifikasi salah satunya adalah COLLREG 1972 dan telah dituangkan dalam peraturan nasional Keppres nomor 50 tahun 1979.

Melihat kondisi peraturan nasional yang ada, perlu dilakukan penataan yang berhubungan dengan manajemen keselamatan kapal dan awak kapal penangkap ikan, sehingga dalam pelaksanaannya saling sinergis. Beberapa alternatif pengaturan kebijakan antara lain :

1. Perlu mengembangkan pengaturan standar nasional kapal penangkap ikan berukuran kecil mengingat armada kapal didominasi kapal kecil.

2. Perlu pengaturan pada tingkat direktorat jenderal dan penerbitan sertifikat pengukuhan (endorsement).

3. Komitmen stakeholder untuk menjamin prinsip, tujuan dan tindakan praktis dalam implementasi kebijakan.

Kesimpulan dan Saran

Keselamatan kapal dan awak kapal penangkap ikan telah mendapatkan perhatian baik secara nasional maupun internasional melalui berbagai regulasi yang ada. Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan, terdapat 5 (lima) peraturan nasional dan 7 (tujuh) peraturan/pedoman/kode internasional yang terkait keselamatan kapal dan awak kapal penangkap ikan. Peraturan nasional yang ada, beberapa kebijakan belum secara penuh mengatur tentang keselamatan kapal ikan dan pengawasan implementasi kebijakan masih kurang.

Kapal pole and line di PPS Bitung secara umum belum memenuhi aspek operasional kapal. Ini ditunjukkan dengan peralatan keselamatan yang kurang memadai dan sumberdaya manusia yaitu awak kapal yang minim dengan sertifikat kecakapan sebagai seorang yang bekerja diatas kapal ikan.

Melihat kondisi peraturan nasional yang ada, perlu dilakukan penataan yang berhubungan dengan manajemen keselamatan kapal dan awak kapal penangkap ikan. Perlu pengaturan kebijakan diantaranya melakukan pembenahan dari segi isi peraturan dan dalam penerapannya serta pengawasan dilapangan. Bila perlu meratifikasi peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga internasional dalam peraturan nasional.

Gambar

Tabel 10 Data kecelakaan kapal yang terdata dalam kurun waktu 2007-2013.
Tabel 13Peralatan keselamatan pada kapal pole and line.
Tabel 14 Regulasi internasional dan nasional tentang keselamatan kapal penangkap ikan

Referensi

Dokumen terkait

Stigma diri pasien Skizofrenia berada pada tingkat stigma diri tinggi yaitu perilaku meng- asingkan diri, menarik diri dari lingkungan sosial, dukungan terhadap

tumbuhan bunga yang berwarna kuning jarang digunakannya sebagai ulam, yang berwarna ungu merupakan sayuran salad yang sangat #amily# dimakan mentah bersama nasi atau dicacah

Segera kembali mendekati kapal jika telah dilempar jauh dari kapal ke laut Dalam usaha penangkapan ikan cakalang dengan menggunakan huhate (Pole and Line) biasanya

Metode Penelitian Dengan mempelajari corak khas dari kebudayaan Etnis Jawa, Etnis Batak, dan Etnis Minang yang dalam penelitian ini dibatasi pemahaman akan habitat, lingkungan

semua golongan agama, dalam rangka pemerataan pelayanan dan untuk mendukung akselerasi pembangunan Kota Jakarta yang mengarah kepada pusat pelayanan jasa (Service

Peningkatan kemampuan mengurus diri dengan menggunakan multimedia pada penelitian ini mendapatkan hasil yang sama dengan penelitian relevan yang dilakukan oleh

Analisa yang dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan  persentase dari variabel independen (tingkat kecemasan keluarga) dan variabel dependen (kemampuan

Untuk mengetahui hubungan antara keadaan sosial ekonomi ibu dengan kecemasan yang dialami ibu menjelang persalinan dilakukan Uji Chi Square yang disajikan pada