• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODOLOGI PENELITIAN"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian

Metode penentuan stasiun pengambilan sampel dilakukan dengan cara Purposive Random Sampling yaitu penentuan stasiun dengan menggunakan faktor ekologi sebagai pertimbangan utama. Penelitian ini dilaksanakan di sungai Asahan beserta anak sungai Asahan yang terletak di provinsi Sumatera Utara. Survey pendahuluan (orientase) dilaksanakan pada 30 Juli 2012. Pengambilan sampel dilakukan pada 12 – 15 November 2012. Identifikasi jenis makanan dilakukan pada bulan Januari 2012, di LIDA, MIPA, USU.

Lokasi penelitian dibagi menjadi 5 stasiun, yaitu:

Stasiun 1 : Stasiun ini terletak di bawah air terjun sungai Ponot, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02033’17,3” LU – 099018’23,8” BT. Banyak terdapat bebatuan, aliran air kecil serta air jernih dengan vegetasi pohon-pohon besar dan semak di tepi sungai.

Gambar 3.1. Sungai Ponot

Stasiun 2 : Stasiun ini terletak di aliran air sungai Baturangin, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada

(2)

02033’06,6” LU – 099018’53,7” BT. Daerah ini merupakan bekas kawasan pertambangan batu dengan banyaknya batuan dan vegetasi semak di tepi sungai, dangkal, aliran air deras serta air jernih.

Gambar 3.2. Sungai Baturangin

Stasiun 3 : Stasiun ini terletak di sungai Tangga, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02033’34,3” LU – 0990

18’36,7” BT. Daerah ini merupakan pertemuan aliran sungai Ponot dan sungai Baturangin dengan banyaknya batuan dan aliran air deras serta air jernih. Pada daerah ini terdapat Power house PLTA Inalum. Vegetasi didominasi pohon-pohon besar, dan semak di tepi sungai.

Gambar 3.3. Sungai Tangga

Stasiun 4 : Stasiun ini terletak di sungai Parhitean, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02033’53,0” LU

(3)

– 0990

20’05,9” BT. Daerah ini merupakan sungai utama dengan banyaknya batuan dan aliran air sangat deras, batuan di tepi sungai serta bersedimen lumpur, vegetasi pohon besar dan herba. Daerah ini dekat dengan kawasan pemukiman penduduk.

Gambar 3.4. Sungai Parhitean

Stasiun 5 : Stasiun ini terletak di aliran air sungai Hula-Huli, Kecamatan Aek Songsongan Kabupaten Toba Samosir, yang secara geografis terletak pada 02033’58,0” LU – 099022’1,3” BT. Daerah ini merupakan aliran air sungai Parhitean dengan banyaknya batuan di tepi dan aliran air deras serta air jernih. Pada daerah ini terdapat perkebunan sawit sebelah kanan dan sebelah kiri terdapat hutan.

(4)

3.2. Prosedur Kerja

3.2.1. Pengambilan sampel ikan

Pengambilan sampel ikan dilakukan pada lima stasiun pengambilan sampel dengan menggunakan alat electrofishing dengan kekuatan 24 Volt dan arus 18 Ampere. Electrofishing dioperasikan selama 30 menit pada pinggiran sungai. Metoda ini dapat mencapai 50 meter selama 30 menit.

Electrofhising bertujuan untuk mengumpulkan nekton dalam jumlah tertentu yang efektif digunakan di perairan mengalir, walaupun pada kasus tertentu dapat juga digunakan di perairan yang tenang. Beberapa jenis elektrofhising cukup kecil dan ringan untuk digunakan seperti membawa tas punggung, namun ada juga jenis tertentu yang berat sehingga harus dibawa oleh 2-3 orang, dengan menggunakan generator sebagai sumber listrik (Lagler, 1972). Selain itu penangkapan ikan juga dilakukan dengan menggunakan jala tebar berjari-jari 200 cm dengan mata jala 1,5 cm. Penangkapan ikan dengan menggunakan jala dilakukan dengan melihat keadaan lingkungan yang sesuai dan menduga keberdaan ikan.

3.2.2. Penanganan dan Pengukuran Ikan

Ikan yang tertangkap diukur panjang total dan beratnya. Panjang total diukur dengan menggunakan penggaris yang dimulai dari bagian ujung kepala sampai bagian paling ujung dari sirip ekor, sedangkan berat ikan ditimbang dengan menggunakan timbangan dengan ketelitian 1 gram.

Sampel yang sudah ditandai selanjutnya di diawetkan dengan cara direndam secara bertahap pada larutan alkohol 5% (10 menit), 10% (10 menit), 20% (10 menit), 40% (10 menit) dan penyimpanan akhir dalam larutan alkohol 75%.

3.2.3. Analisis Kebiasaan Makanan (Food Habit)

Ikan dibedah dengan menggunakan gunting bedah mulai dari anus menuju bagian atas perut secara horizontal sampai bagian belakang sirip perut dan menuju ke dasar perut. Saluran pencernaan dipisahkan dari organ lainnya dan dimasukkan

(5)

ke dalam botol sampel untuk diawetkan dengan formalin 4%. Sampel ini dibawa ke laboratorium untuk dianalisis di Laboratorium Biologi.

Identifikasi jenis-jenis makanan dilakukan di LIDA Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara. Saluran pencernaan ikan yang telah diawetkan, dipisahkan terlebih dahulu antara usus dan lambungnya. Usus ikan yang telah dipisahkan, diukur panjangnya dengan menggunakan penggaris. Untuk mengetahui jenis-jenis makanan yang dimakan oleh ikan batak, dilakukan hal sebagai berikut: melakukan pembedahan lambung untuk mengambil isinya dan meletakkannya pada cawan petri. Selanjutnya mengelompokkan berdasarkan jenisnya dan melakukan pengukuran volume masing-masing kelompok tersebut. Pengukuran volume dilakukan menggunakan gelas ukur, dengan cara mengisi gelas ukur dengan aquades sampai 1 ml, memasukkan jenis makanan yang telah dikelompokkan ke dalam gelas ukur dan mencatat penambahan volume yang dihasilkan. Pengukuran volume ini dilakukan pada setiap kelompok jenis makanan, untuk kemudian mengakumulasi volume total semua kelompok makanan dan menghitung persentase masing-masing kelompok jenis makanan. Untuk memperjelas tampilan, organisme tersebut diamati dibawah mikroskop (Efendie, 1979) Identifikasi jenis – jenis makanan dilakukan dengan menggunakan buku identifikasi Edmonson (1963), Sachlan (1982) dan Borror (1996)

3.2.4. Pengukuran Faktor Fisika Kimia Perairan

Menurut Barus (2004) faktor fisika dan kimia perairan dapat diukur dengan cara :

A. Temperatur air (0C) diukur dengan termometer merkuri, yakni dengan cara mencelupkan termometer kedalam sampel air 10 menit lalu dibaca skala temperaturnya.

B. Derajat Keasaman diukur dengan pH meter dengan mencelupkan elektroda pH meter ke dalam sampel air kemudian dibaca angka yang tertera.

C. Penetrasi cahaya diukur dengan menggunakan keping secchi, dengan cara menenggelamkan keping secchi kedalam air hingga batas kenampakan

(6)

keeping secchi. Kemudian diukur kedalam penetrasi cahaya dengan cara menghitung jumlah bulatan pada tali yang masing-masing berjarak 20 cm. D. Intensitas cahaya matahari diukur dengan menggunakan Lux meter. E. Pengukuran arus air dengan menggunakan bola pingpong dengan

menghanyutkan bola pingpong pada jarak tertentu (10 m) di permukaan air, dengan menggunakan stopwatch dihitung waktu yang ditempuh oleh bola pingpong pada jarak yang sudah ditentukan tersebut.

F. DO diukur dengan menggunakan metode winkler dengan prosedur sebagai berikut: botol winkler diisi dengan air sampel yang hendak diukur nilai oksigen terlarutnya hingga penuh, ke dalam botol winkler kemudian ditambahkan 1 ml mangan sulfat diikuti dengan 1 ml larutan KOH-KI. Botol winkler ditutup dan dibolak balik secara perlahan-lahan, sampai terbentuk endapan berwarna putih, kemudian diberi larutan 1 ml asam sulfat pekat lalu botol winkler kembali dibolak balik secara perlahan-lahan sehingga didapatkan larutan warna coklat. Selanjutnya mengambil larutan dari botol winkler tersebut dengan 100 ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer, selanjutnya dititrasi dengan menggunakan larutan 0,0125 N natrium thiosulfat sampai warna larutan berwarna kuning pucat, lalu ditambahkan sebanyak 3 tetes amilum sehingga larutan berwarna biru. Kemudian dilakukan titrasi dengan larutan 0,0125 N natrium thiosulfat hingga warna biru hilang secara sempurna atau berwarna bening, volume natrium thiosulfat yang terpakai merupakan nilai DO akhir dimana setiap 1 ml larutan titrasi yang digunakan setara dengan 1 ml O2 dalam 1 liter air sampel.

G. Pengukuran BOD5 dilakukan dengan mengambil sampel air yang akan diukur nilai BOD5 dimasukkan kedalam botol winkler dan disimpan selama 5 hari pada temperatur konstan 20 0C kemudian setelah 5 hari dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: botol winkler diisi dengan air sampel yang hendak diukur nilai oksigen terlarutnya hingga penuh, ke dalam botol winkler kemudian ditambahkan 1 ml mangan sulfat diikuti dengan 1 ml larutan KOH-KI. Botol winkler ditutup dan dibolak balik

(7)

secara perlahan-lahan, sampai terbentuk endapan berwarna putih, kemudian diberi larutan 1 ml asam sulfat pekat lalu botol winkler kembali dibolak balik secara perlahan-lahan sehingga didapatkan larutan warna coklat. Selanjutnya mengambil larutan dari botol winkler tersebut dengan 100 ml dan dimasukkan kedalam erlenmeyer, selanjutnya dititrasi dengan menggunakan larutan 0,0125 N natrium thiosulfat sampai warna larutan berwarna kuning pucat, lalu ditambahkan sebanyak 3 tetes amilum sehingga larutan berwarna biru. Kemudian dilakukan titrasi dengan larutan 0,0125 N natrium thiosulfat hingga warna biru hilang secara sempurna atau berwarna bening, volume natrium thiosulfat yang terpakai yang merupakan nilai DO akhir dimana setiap 1 ml larutan titrasi yang digunakan setara dengan 1 ml O2 dalam 1 liter air sampel. Selisih nilai DO yang diperoleh antara saat awal dan akhir adalah merupakan nilai BOD5 dari sampel air tersebut.

H. Kandungan Nitrat. Sampel air diambil sebanyak 5 ml, kemudian ditetesi dengan 1 ml NaCl selanjutnya ditambahkan 5 ml H

2SO4 dan 4 tetes asam Brucine Sulfat Sulfanik. Larutan ini dipanaskan selama 25 menit pada suhu 95 0C kemudian didinginkan selanjutnya kandungan nitrat dapat diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 410 nm. I. Kandungan Fosfat. Sampel air diambil sebanyak 5 ml, kemudian ditetesi

dengan reagen Amstrong sebanyak 2 ml selanjutnya ditambahkan 1 ml asam askorbat. Larutan didiamkan selama 20 menit kemudian konsentrasi Posfat dapat diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 880 nm.

(8)

Tabel. 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik, Kimia, dan Biologi Perairan

No Parameter Alat Satuan Keterangan

1 Fisik

Temperatur Termometer Air raksa

0

C In-situ

Kecerahan Keping secchi Cm In-situ

Arus air Intensitas Cahaya Bola Luxmeter m/s Candella In-situ In-situ 2 Kimia pH pH meter - In-situ DO DO meter mg/l In-situ

BOD5 Botol Winkler mg/l Ek-situ

Nitrat Spektrofotometer mg/l Ek-situ

Fosfat Spektrofotometer mg/l Ek-situ

3 Biologi

Ikan Mistar ketelitian

1 mm In-situ Timbangan Digital ketelitian 1 gr In-situ 3.3. Analisis Data

3.3.1. Analisis Hubungan Panjang-Berat

Analisis panjang dan berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan di alam. Untuk mencari hubungan antara panjang total ikan dengan beratnya digunakan persamaan eksponensial sebagai berikut (Effendie, 1997):

W = a Lb atau Log W = Log a + b (Log L) Keterangan :

W = berat total ikan (g) L = panjang total ikan (mm) a dan b= konstanta hasil regres

(9)

Hubungan panjang dan berat dapat dilihat dari nilai konstanta b, yaitu bila b=3, hubungan yang terbentuk adalah isometrik (pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan berat). Bila b ≠ 3 maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik, yaitu bila b > 3 maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik positif (pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang). Bila b <3, hubungan yang terbentuk adalah allometrik negatif (pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat) (Effendie, 1997).

3.3.2. Faktor Kondisi

Faktor kondisi (K) dihitung berdasarkan pada panjang dan berat ikan contoh. Apabila pertumbuhan ikan isometrik (b=3), maka faktor kondisi menggunakan rumus (Effendie, 1997) :

Keterangan : K = Faktor kondisi

W = Berat rata-rata ikan dalam satu kelas (gram) L = Panjang rata-rata ikan dalam satu kelas (mm)

Ikan yang mempunyai pertumbuhan bersifat allometrik apabila b ≠3, maka persamaan yang digunakan adalah :

Keterangan :

K = Faktor kondisi

W = Berat rata-rata ikan dalam satu kelas (gram) L = Panjang rata-rata ikan dalam satu kelas (mm) a dan b = Konstanta dari regresi

(10)

3.3.3. Kebiasaan Makanan

Analisis kebiasaan makanan menggunakan metode Indeks Bagian Terbesar atau Index Of Preponderance (IP) yang merupakan gabungan dari metode frekuensi kejadian dan metode volumetrik. Persentase frekuensi kejadian suatu jenis makanan dihitung berdasarkan jumlah kejadian ditemukannya suatu jenis organisme makanan pada lambung ikan. Rumus Index Of Preponderance (IP) oleh Natarajan dan Jhingran dalam Effendie, 1979) adalah:

Keterangan :

IP = Index Of Preponderance (Indeks Bagian Terbesar) Vi = Persentase volume satu macam makanan (%),

Oi = Persentase frekuensi kejadian satu macam makanan (%), ∑Vi Oi = Jumlah Vi x Oi dari semua macam makanan

Berdasarkan nilai IP, Nikolsky (1963) membedakan makanan ikan ada tiga golongan, yaitu :

a. Makanan utama, jika nilai IP > 40%,

b. Makanan pelengkap, jika nilai IP 4 – 40 %, dan c. Makanan tambahan, jika nilai IP < 4 %.

3.3.4. Analisis korelasi (r) antara faktor fisika dan kimia lingkungan dengan jenis makanan

Analisis korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui keberartian hubungan antara jenis makanan yang dimakan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) yang terdapat di Sungai Asahan dengan sifat fisika-kimia airnya. Analisis dilakukan dengan menggunakan program SPSS ver. 16.00 (Santoso, 2008).

(11)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hubungan Panjang-Berat

Pola pertumbuhan ikan dapat diketahui melalui hubungan panjang total (mm) dan berat total (g), selanjutnya berdasarkan hubungan panjang-berat ikan tersebut diperoleh nilai b. Nilai b adalah indikator pertumbuhan yang menggambarkan kecenderungan pertambahan panjang dan bobot ikan. Nilai yang diperoleh dari perhitungan panjang dan berat adalah informasi mengenai dugaan berat dari panjang ikan atau sebaliknya, keterangan tentang ikan mengenai pertumbuhan, kemontokan serta perubahan dari lingkungan (Effendie 1997).

Hubungan panjang-berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) berdasarkan stasiun pengambilan sampel terlihat pada Tabel 4.1. Besaran nilai b setiap stasiun bervariasi dengan kisaran b = 2,9922-3,2213 dengan R2 = 0,826 -0,959. Berdasarkan nilai b yang diperoleh pada 5 stasiun penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) adalah pertumbuhan allometrik yang berarti pertumbuhan panjang ikan tidak seimbang dengan beratnya.

Tabel 4.1. Hubungan panjang dan berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) berdasarkan stasiun penelitian.

Stasiun n a b R2 Tipe

pertumbuha n Sungai Ponot 18 7.10-6 3,0876 0,959 Allometrik (+) Sungai Batu Rangin 21 2. 10-6 3,3070 0,826 Allometrik (+) Sungai Tangga 16 3. 10-6 3,2213 0,886 Allometrik (+) Sungai Parhitean 14 1. 10-5 2,9722 0,953 Allometrik (-) Sungai Hula-Huli 13 5. 10-6 3,1600 0,947 Allometrik (+)

(12)

-Gambar 4.1. Hubungan Panjang -Berat Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus) pada Stasiun 1

Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 1 yaitu sungai Ponot dapat dilihat pada Gambar 4.1. Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dengan jumlah n = 18 ditunjukkan melalui persamaan Log W = -5,154 + 3,0876 Log L, dengan nilai b = 3,0876 dan R2 = 0,959. Dari persamaan hubungan panjang berat nilai b > 3 yang berarti pertumbuhan ikan adalah allometrik positif yang artinya pertambahan panjang total ikan tidak secepat dengan pertambahan berat badan ikan. Berdasarkan persamaan koefisisen determinasi (R2) diatas diketahui bahwa panjang ikan batak (sebagai variabel X) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan batak (variabel Y) sebesar 0.959, yang berarti nilai panjang total tubuh ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dapat menjelaskan nilai berat tubuh sebesar 95,9%. Sedangkan sisanya 4,1% adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat ikan batak yang berada di luar persamaan (model). Faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor fisika kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, arus air, pH, DO, BOD5, NO3 danPO4.

W = 7.10-6L3,0876 R² = 0.959 n = 18 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0 50.0 55.0 0 50 100 150 200 B erat (g) Panjang (mm)

(13)

Gambar 4.2.. Hubungan Panjang-Berat Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus) pada Stasiun 2

Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 2 yaitu sungai Batu Rangin dapat dilihat pada Gambar 4.2. Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dengan n = 21 ditunjukkan melalui persamaan Log W = -5,555 + 3,3070 Log L dengan nilai b = 3,3070 dan R2 = 0,826. Dari persamaan hubungan panjang berat nilai b > 3 yang artinya pertumbuhan ikan adalah allometrik positif yang artinya pertambahan panjang total ikan tidak secepat dengan pertambahan berat badan ikan. Berdasarkan persamaan koefisisen determinasi (R2) diatas diketahui bahwa panjang ikan batak (sebagai variabel X) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan batak (variabel Y) sebesar 0,826, yang berarti nilai panjang total tubuh ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dapat menjelaskan nilai berat tubuh sebesar 82,6%. Sedangkan sisanya 17,4% adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat ikan batak yang berada di luar persamaan (model). Faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor fisika kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, arus air, pH, DO, BOD5, NO3 danPO4.

W = 2.10-6L3,3070 R² = 0.826 n = 21 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 0 20 40 60 80 100 120 140 Berat (g) Panjang (mm)

(14)

Gambar 4.3. Hubungan Panjang-Berat Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus) pada Stasiun 3

Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 3 yaitu sungai Tangga dapat dilihat pada Gambar 4.3.. Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dengan n = 16 ditunjukkan melalui persamaan Log W = -5,4527 + 3,2213 Log L dengan nilai b = 3,2213 dan R2 = 0,886. Dari persamaan hubungan panjang berat nilai b > 3 yang artinya pertumbuhan ikan adalah allometrik positif yang artinya pertambahan panjang total ikan tidak secepat dengan pertambahan berat badan ikan. Berdasarkan persamaan koefisisen determinasi (R2) diatas diketahui bahwa panjang ikan batak (sebagai variabel X) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan batak (variabel Y) sebesar 0.886, yang berarti nilai panjang total tubuh ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dapat menjelaskan nilai berat tubuh sebesar 86,6%. Sedangkan sisanya 13,4% adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat ikan batak yang berada di luar persamaan (model). Faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor fisika kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, arus air, pH, DO, BOD5, NO3 danPO4.

W = 3.10-6L3,2213 R² = 0.886 n = 16 -20 0 20 40 60 80 100 0 50 100 150 200 250 Berat (g) Panjang (mm)

(15)

Gambar 4.4. Hubungan Panjang Berat Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus) pada Stasiun 4

Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 4 yaitu sungai Parhitan dapat dilihat pada Gambar 4.4. Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dengan n = 14 ditunjukkan melalui persamaan Log W = -4,9241 + 2,9722 Log L dengan nilai b = 2,9722 dan R2 = 0,953. Dari persamaan hubungan panjang berat nilai b < 3 yang artinya pertumbuhan ikan adalah allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang total ikan lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan berat badan ikan. Berdasarkan persamaan koefisisen determinasi (R2) diatas diketahui bahwa panjang ikan batak (sebagai variabel X) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan batak (variabel Y) sebesar 0.953, yang berarti nilai panjang total tubuh ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dapat menjelaskan nilai berat tubuh sebesar 95,3%. Sedangkan sisanya 4,7% adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat ikan batak yang berada di luar persamaan (model). Faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor fisika kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, arus air, pH, DO, BOD5, NO3 danPO4.

W = 10-5L2,9722 R² = 0.953 n = 14 0 5 10 15 20 25 30 0 20 40 60 80 100 120 140 160 Berat (g) Panjang (mm)

(16)

Gambar 4.5. Hubungan Panjang Berat Ikan Batak (Neolissochilus sumatranus)

pada Stasiun 5

Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada stasiun 5 yaitu sungai Hula-Huli dapat dilihat pada Gambar 4.5. Hubungan panjang berat ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dengan n = 13 ditunjukkan melalui persamaan Log W = -5,2699 + 3,1600 Log L dengan nilai b = 3,1600 dan R2 = 0,947. Dari persamaan hubungan panjang berat nilai b > 3 yang artinya pertumbuhan ikan adalah allometrik positif yang artinya pertambahan panjang total ikan tidak secepat dengan pertambahan berat badan ikan. Berdasarkan persamaan koefisisen determinasi (R2) diatas diketahui bahwa panjang ikan batak (sebagai variabel X) yang merupakan faktor utama yang mempengaruhi berat ikan batak (variabel Y) sebesar 0.947, yang berarti nilai panjang total tubuh ikan batak (Neolissochilus sumatranus) dapat menjelaskan nilai berat tubuh sebesar 94,7%. Sedangkan sisanya 5,3% adalah faktor-faktor lain yang mempengaruhi berat ikan batak yang berada di luar persamaan (model). Faktor-faktor lain yang dimaksud adalah faktor fisika kimia perairan, yaitu temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, arus air, pH, DO, BOD5, NO3 danPO4.

W = 5.10-6L3,1600 R² = 0.947 n = 13 -5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 Berat (g) Panjang (mm)

(17)

4.2. Faktor Kondisi

Berdasarkan hasil analisis data terhadap faktor kondisi ikan batak pada setiap stasiun penelitian maka didapatkan nilai faktor kondisi (FK) yang disajikan pada tabel 4.2 berikut.

Tabel 4.2. Faktor Kondisi ikan batak (Neolissochilus sumatranus)

No Stasiun Lrataan Wrataan FK

1 Ponot 127,44 26,30 1,2708

2 Baturangin 102,66 21,76 2,0110

3 Tangga 91,06 14,67 1,9434

4 Parhitean 77,35 6,62 1,3568

5 Hula-Huli 91,46 14,16 1,8520

Keterangan : L = Panjang Ikan; W = Berat Ikan; FK = Faktor Kondisi

Faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan secara kualitas, dimana perhitungannya didasarkan pada panjang dan berat ikan (Effendie, 1997). Nilai FK dipengaruhi oleh keadaan makanan, umur, jenis kelamin, dan kematangan gonad (Weatherly, 1972). Menurut Lagler (1972), kemontokan ikan dinyatakan dalam bentuk angka. Menurut Effendie (1979), harga K berkisar antara 2 – 4, apabila badan ikan agak pipih. Ikan-ikan yang badannya kurang pipih harga harga K berkisar antara 1 – 3. Variasi harga K itu bergantung kepada makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad.

Dari hasil analisa Faktor Kondisi didapatkan nilai FK berkisar anatara 1,2708 – 2,0110. Perbedaan faktor kondisi ikan pada setiap stasiun diinterpretasikan sebagai indikasi dari berbagai sifat-sifat biologi dari ikan seperti kegemukan dan kesesuaian dari lingkungannya (Manik, 2005) Nilai FK yang didapat, menggambarkan bahwa kondisi ikan batak (Neolissochilus sumatranus) termasuk dalam kategori kurang pipih hal ini sesuai dengan hubungan panjang-berat ikann dengan pola pertumbuhan allometrik.

(18)

Kebiasaan makanan di analisis menggunakan indeks bagian terbesar (index of preponderance - IP) Besar IP setiap jenis makanan disajikan pada tabel berikut.

Tabel 4.3. IP ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada 5 stasiun penelitian

Jenis Makanan Index of Propenderance (%) No. Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Kelas : Bacillariaceae 1 Cocconeis 0,42 2 Amphora 5,75 2,79 2,60 3 Cymbella 42,56 8,01 1,52 8,13 4 Denticula 0,82 5 Epithemia 0,14 0,13 5,10 0,51 6 Rhopalodia 0,94 7 Diatoma 0,43 9,85 0,37 7,60 7,63 8 Fragilaria 0,54 5,52 10,72 9 Opephora 0,71 4,06 1,13 10 Synedra 0,13 0,34 11 Tabellaria 0,15 0,90 0,30 1,29 12 Gomphonema 1,25 0,51 13 Amphipleura 0,05 14 Amphipora 0,27 15 Caloneis 6,46 0,48 1,01 10,47 16 Frustulia 5,88 1,46 17 Gyrosigma 3,01 0,31 18 Mastogloia 0,14 19 Navicula 17,70 56,90 41,08 15,63 53,39 20 Pinnularia 0,05 1,59 2,47 21 Stauroneis 0,84 1,10 22 Bacillaria 0,10 0,41 23 Nitzschia 6,30 9,48 47,09 24 Surirella 16,37 13,50 14,90 1,55 4,62 Kelas : Chlorophyta 25 Cladophora 0,45 4,52 26 Microthamnion 0,30 3,76 27 Hormidium 1,01 28 Ulothrix 0,68 29 Closterium 0,20 30 Dactylococcus 0,22 31 Excentrosphaera 0,14 32 Cosmarium 4,17 2.21 33 Zygnema 0,05 0,21 Kelas : Cryptophyceae 34 Bangia 3,81 Kelas : Cyanopyceae 35 Gomphosphaeria 2,76 0,27 36 Spirulina 1,84 Kelas : Proteobacteria 37 Thiothrix 3,32 0,51 Insecta 38 Kaki serangga 1,25 0,36 Total 100 100 100 100 100

(19)

Tabel 4.3. menunjukkan bahwa secara keseluruhan yang menjadi makanan utama ikan batak (Neolissochilus sumatranus) di sungai asahan adalah dari kelas Bacillariaceae. Menurut Sachlan (1982) fitoplankton dari kelas Bacillariacea memiliki dinding sel yang sangat keras dan tidak dapat membusuk atau larut dalam air karena terdiri dari 100% silikat. Hal tersebut memungkinkan kelompok fitoplankton ini lebih dapat bertahan hidup dibandingkan kelompok lain. Bacillariaceae cenderung lebih aktif dalam memanfaatkan nutrien bila dibandingkan dengan jenis fitoplankton lain sehingga Bacillariaceae lebih banyak ditemukan.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada stasiun 1 terdapat 18 jenis organisme yang menjadi makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus). Berdasarkan nilai IP (index of preponderance) maka organisme dari genus Cymbella memiliki nilai IP yang lebih besar dibandingkan organisme makanan lainnya. Dengan nilai IP yang lebih dari 40% yaitu sebesar 42,56% hal ini dapat mengindikasikan bahwa Cymbella digolongkan sebagai makanan utama ikan batak (Neolissochilus sumatranus). Organisme makanan lainnya yang ditemukan dalam jumlah banyak adalah dari genus Navicula, Surirella, Calones, Nitzchia dan Cosmarium yang memiliki nilai IP berkisar antara 4,17 – 17,70 %. Berdasarkan nilai IP nya maka organisme ini dapat digolongkan sebagai makanan pelengkap karena nilai IP antara 4 – 40 %. Organisme makanan lainnya tersebar dalam jumlah yang relatif seragam dengan IP dibawah 4 % maka organisme ini dapat digolongkan sebagai makanan tambahan.

Gambar 4.6. Spektrum jenis organisme makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) di stasiun 1. 1 2 3 4 5 6 1. Cymbella (42,56%) 2. Navicula (17,70%) 3. Surirella (16,37%) 4. Calones (6,46%) 5. Nitzschia (6,30%) 6. Cosmarium (4,17%)

(20)

Hasil penelitian pada stasiun 2 menunjukkan bahwa ada 16 jenis organisme air yang menjadi makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus). Berdasarkan perhitungan terhadap nilai IP (index of preponderance) maka organisme dari genus Navicula memiliki nilai IP yang lebih besar dibandingkan organisme makanan lainnya. Nilai IP Navicula sebesar 56,90% atau lebih besar dari 40% hal ini dpat mengindikasikan bahwa Navicula sebagai makanan utama ikan batak (Neolissochilus sumatranus). Organisme makanan lainnya yang ditemukan dalam jumlah banyak adalah dari genus Amphora, Cymbella, Frustulia dan Surirella yang memiliki nilai IP berkisar antara 5,75 % - 13,50 %. Berdasarkan nilai IP nya maka organisme ini dapat digolongkan sebagai makanan pelengkap karena nilai IP antara 4 – 40 %. Organisme makanan lainnya tersebar dalam jumlah yang relatif seragam dengan IP dibawah 4 % maka organisme ini dapat digolongkan sebagai makanan tambahan.

Gambar 4.7. Spektrum jenis organisme makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) di stasiun 2

Hasil penelitian pada stasiun 3 menunjukkan bahwa terdapat 19 jenis organisme yang menjadi makaanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) di sungai Tangga. Berdasarkan perhitungan terhadap nilai IP (index of preponderance) maka organisme dari genus Navicula terdapat dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan organisme makanan lainnya dengan nilai IP sebesar 41,08%. Hal ini dpat mengindikasikan bahwa Navicula sebagai makanan utama ikan batak (Neolissochilus sumatranus). Organisme makanan lainnya yang ditemukan dalam jumlah banyak adalah dari genus Cymbella, Fragilaria, Opephora, Nitzchia dan Surirella yang memiliki nilai IP berkisar antara 4,06 % -

1 2 3 4 5 1. Navicula (56,90%) 2. Surirella (13,50%) 3. Fragilaria (9,85%) 4. Frustulia (5,88%) 5. Amphora (5,75%)

(21)

14,90 %. Berdasarkan nilai IP nya maka organisme ini dapat digolongkan sebagai makanan pelengkap karena nilai IP antara 4 – 40 %. Organisme makanan lainnya tersebar dalam jumlah yang relatif seragam dengan IP dibawah 4 % maka organisme ini dapat digolongkan sebagai makanan tambahan.

Gambar 4.8. Spektrum jenis organisme makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) di stasiun 3

Berdasarkan hasil penelitian pada stasiun 4 diketahui bahwa terdapat 17 jenis organisme yang menjadi makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus). Berdasarkan nilai IP (index of preponderance) maka organisme dari genus Nitzschia memiliki nilai IP yang lebih besar dibandingkan organisme makanan lainnya. Dengan nilai IP yang lebih dari 40% yaitu sebesar 47,09% hal ini dapat mengindikasikan bahwa Cymbella digolongkan sebagai makanan utama ikan batak (Neolissochilus sumatranus). Organisme makanan lainnya yang ditemukan dalam jumlah banyak adalah dari genus Navicula,Calones, Diatoma dan Epithemia yang memiliki nilai IP berkisar antara 5,10 – 15,63 %. Berdasarkan nilai IP nya maka organisme ini dapat digolongkan sebagai makanan pelengkap karena nilai IP antara 4–40%. Organisme makanan lainnya tersebar dalam jumlah yang relatif seragam dengan IP dibawah 4 % maka organisme ini dapat digolongkan sebagai makanan tambahan.

1 2 3 4 5 6 1. Navicula (41,08%) 2. Surirella (14,90%) 3. Nitzschia (9,48%) 4. Cymbella (8,01%) 5. Fragilaria (5,52%) 6. Opephora (4,06%)

(22)

Gambar 4.9. spektrum jenis organisme makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) di stasiun 4.

Berdasarkan hasil penelitian pada stasiun 5 diketahui bahwa ada 16 jenis organisme yang menjadi jenis makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus). Berdasarkan nilai IP organisme dari genus Navicula memiliki IP yang lebih besar dibandingkan organisme makanan lainnya yaitu 53,39%. Hal ini dpat mengindikasikan bahwa Navicula sebagai makanan utama ikan batak (Neolissochilus sumatranus). Organisme makanan lainnya yang ditemukan dalam jumlah banyak adalah dari genus Cymbella, Diatoma, Fragilaria,Surirella dan Cladophora yang memiliki nilai IP berkisar antara 4,52 % - 10,72 %. Berdasarkan nilai IP nya maka organisme ini dapat digolongkan sebagai makanan pelengkap karena nilai IP antara 4 – 40 %. Organisme makanan lainnya tersebar dalam jumlah yang relatif seragam dengan IP dibawah 4 % maka organisme ini dapat digolongkan sebagai makanan tambahan.

Gambar 4.10. Spektrum jenis organisme makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) di stasiun 5. 1 2 3 4 5 1. Nitzschia (47,09%) 2. Navicula (15,63%) 3. Calones (10,47%) 4. Diatoma (7,60%) 5. Epithemia (5,10%) 1 2 3 4 5 6 1. Navicula (53,39%) 2. Fragilaria (10,72%) 3. Cymbella (8,13%) 4. Diatoma (7,63%) 5. Surirella (4,62%) 6. Cladophora (4,52%)

(23)

4.4. Faktor Fisika dan Kimia Perairan

Sifat fisik dan kimia air pada prinsipnya mencerninkan kualitas perairan dan kualitas lingkungan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan hasil pengukuran faktor fisika dan kimia air pada setiap stasiun penelitian disajikan pada tabel berikut.

Tabel 4.4. Nilai Faktor Fisika dan Kimia Perairan Pada Setiap Stasiun Penelitian Parameter Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun

4 Stasiun 5 Temperatur (0C) 23 22 24 26 26 Kecerahan (cm) 80 65 70 76 75 Kecepatan Arus (m/s) 0.5 0.8 0.6 0.5 0.9 Intensitas Cahaya (Candela) 1490 1055 1114 1778 1157 Ph 6.2 6.3 6.3 6.5 6.6 DO (mg/l) 8.2 8 7.6 7.1 7.6 BOD5 (mg/l) 4.6 4.1 3.2 3.1 3.9 NO3- (mg/l) 0,1 0,2 0,2 0,1 0,1 PO4- (mg/l) 0,12 0,25 0,19 0,21 0,11 Keterangan :

Stasiun 1 : Sungai Ponot Stasiun 2 : Sungai Baturangin Stasiun 3 : Sungai Tangga Stasiun 4 : Sungai Parhitean Stasiun 5 : Sungai Hula-Huli

4.4.1. Temperatur

Berdasarkan hasil pengukuran pada setiap stasiun penelitian diperoleh temperatur berkisar 220C – 260C, dengan temperatur terendah pada stasiun 2 yaitu sungai Baurangin dan temperature tertinggi di stasiun 4 dan 5 yaitu sungai

(24)

Parhitean dan Hula-Huli. Rendahnya suhu pada stasiun 2 dipengaruhi banyaknya pepohonan di sekitar lokasi sehingga kanopi menutupi sinar matahari ke badan sungai, selain itu di lokasi juga banyak tebing dan jauh dari aktivitas masyarakat. Pengukuran temperatur pada pagi hari ( jam 09.00 wib) juga mempengaruhi nilai temperatur. Tingginya temperatur pada stasiun 4 dan 5 yaitu 260C dipengaruhi oleh keadaan lokasi yang tidak banyak pepohonan sehingga tidak ada kanopi yang menutupi sinar matahari ke badan sungai. Stasiun 4 berada disekitar pemukiman penduduk dan stasiun 5 berada di sekitar lahan pertanian sehingga kedua stasiun ini berhungan dengan aktivitas manusia.

Suhu suatu perairan sangat mempengaruhi keberadaan ikan. Suhu air yang tidak cocok, misalnya terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menyebabkan ikan tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Suhu air yang cocok untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah berkisar 150C – 300C dan perbedaan suhu antara siang dan malam kurang dari 50C (Cahyono, 2010). Dilihat dari kisaran nilai temperatur pada 5 stasiun penelitian, maka semua stasiun masih tergolong perairan yang sesuai untuk kehidupan ikan.

4.4.2. Kecerahan

Dari hasil penelitian pada kelima stasiun didapakan nilai kecerahan berkisar antara 65 – 80 cm. Rendahnya nilai kecerahan (kurang dari 1 meter) diakibatkan karena kelima lokasi penelitian merupakan sungai yang dangkal dengan kedalaman 1-2 meter. Kedalaman yang rendah mengakibatkan terjadinya pengadukan air sehingga menjadi keruh. Kecerahan terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu sungai Baturangin dan tertinggi di stasiun 1 yaitu sungai Ponot sebesar 80 cm. Pada stasiun 2 kondisi stasiun dikelilingi oleh pohon-pohon dan semak belukar yang memungkinkan terjadinya penutupan badan air serta pelapukan akibat jatuhnya dedaunan pohon dan semak pada badan air. Waktu pengukuran yang dilakukan pada saat hujan juga mempengaruhi nilai kecerahan karena air menjadi lebih keruh dari biasanya. Pada stasiun 1 nilai kecerahan tinggi hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sungai yang sedikit pepohonan dan pengukuran dilakukan pada saat kondisis cuaca cerah.

(25)

Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan dapat diketahui sampai dimana kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh dan paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih baik untuk kehidupan ikan. Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad renik atau plankton (Kordi, 2004).

4.4.3. Kecepatan Arus

Hasil penggukuran terhadap kecepatan arus didapatkan berkisar antara 0,5 – 0,9 m/s, terendah pada stasiun 1 sungai Ponot dan stasiun 4 sungai Parhitean dengan kecepatan 0,5 m/s dan tertinggi pada stasiun 5 sungai Hula-Huli dengan kecepatan 0,9 m/s. Rendahnya kecepatan arus pada stasiun 1 dan stasiun 4 disebabkan karena kondisi sungai yang berbatu sehingga gerakan air melambat karena benturan batu. Pada stasiun 5 kecepatan arus tinggi karena kondisi sungai yang terjal tidak berbatu sehingga gerakan air lurus.

Menurut Barus (2004), sangat sulit untuk membuat suatu batasan mengenai kecepatan arus karena di suatu ekosistem air sangat berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air serta kondisi substrat yang ada. Pada musim penghujan misalnya akan meningkatkan debit air dan sekaligus mempengaruhi kecepatan arus. Adanya berbagai substrat pada dasar perairan akan menyebabkan kecepatan arus bervariasi. Pada daerah aliran tertentu akan terdapat suatu kondisi dengan gerakan air yang sangat lambat, umumnya terdapat di belakang batu-batuan di dasar perairan. Arus sangat dipengaruhi oleh sifat air itu sendiri, gravitasi bumi, keadaan dasar perairan, dan gerakan rotasi bumi. Arus air yang ada dalam suatu perairan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dari parameter kualitas air itu sendiri.

4.4.4. Intensitas Cahaya

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai intensitas cahaya berkisar antara 1055 – 1490 Candela. Intensitas cahaya terendah terdapat pada stasiun 2 yaitu sungai Baturangin dan tertinggi pada stasiun 1 yaitu sungai Ponot. Rendahnya intensitas cahaya pada stasiun 2 dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

(26)

disekitar sungai. Pada pinggiran sungai banyak pepohonan sehingga mengurangi nilai intensitas cahaya pada badan sungai. Hal ini sesuai menurut Barus (2004), vegetasi yang ada disepanjang aliran sungai dapat mempengaruhi intensitas cahaya, karena tumbuh-tumbuhan tersebut mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari. Pada sungai Ponot nilai intensitas cahaya tinggi hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sungai yang tidak banyak vegetasinya dan pengambilan sampel dilakukan pada siang hari sehingga sinar matahari tidak terhalang oleh awan.

Cahaya merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupan ikan. Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator, membantu dalam penglihatan, proses metabolisme dan pematangan gonad. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan (Rifai et al., 1983).

4.4.5. pH

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai pH berkisar antara 6,2 – 6,6. Nilai pH terendah didapatkan di stasiun 1 yaitu sungai Ponot dan tertinggi pada stasiun 5 yaitu sungai Hula-Huli. Secara keseluruhan nilai pH yang didapatkan masih dalam ambang batas normal untuk mendukung kehidupan ikan. Hal ini sesuai dengan PP No. 82 tahun 2001, yang menetapkan kisaran pH normal untuk kehidupan organisme perairan adalah 6 – 9. Menurut Barus (2004), organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah.

4.4.6. DO (Dissolved Oxygen)

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai oksigen terlarut pada setiap stasiun penelitian diperoleh nilai DO berkisar antara 7,1 – 8,2 mg/l. Nilai oksigen terlarut terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu sungai Parhitean dan tertinggi di stasiun 1 yaitu sungai Ponot. Secara keseluruhan nilai DO pada lima stasiun penelitian masih mendukung kehidupan ikan sesuai dengan baku mutu air

(27)

golongan III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 yang menetapkan nilai DO adalah 3 angka batas minimum.

Oksigen terlarut bergantung pada suhu, kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya yang bergantung pada kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air, jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah industri. Tingkat oksigen terlarut yang rendah, mengakibatkan organisme aerob akan mati dan organisme anaerob akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan hydrogen sulfida. Zat-zat yang menyebabkan air berbau busuk (Sastrawijaya, 1991)

4.4.7. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)

Nilai BOD5 yang didapatkan berdasarkan penelitian pada setiap stasiun berkisar antara 3,1 – 4,6 mg/l. Nilai BOD5 terendah didapatkan di stasiun 4 yaitu sungai Parhitean dan tertinggi di stasiun 1 yaitu sungai Ponot. Adanya perbedaan nilai BOD5 pada setiap stasiun penelitian disebabkan oleh perbedaan jumlah bahan organiK yang berbeda-beda pada masing-masing stasiun tersebut yang berhubungan dengan defisit oksigen karena oksigen tersebut dipkai mikroorganisme dalam proses penguraian bahan organik. Tingginya nilai BOD5 pada stasiun 1 diakibatkan oleh banyaknya pencemaran organik pada lokasi tersebut, dimana lokasi tersebut berada disekitar pemukiman penduduk dan objek wisata air terjun ponot.

Menurut Brower et al., (1990), apabila konsumsi oksigen selama 5 hari berkisar 5 mg/l, maka perairan tersebut tergolong baik. Sebaliknya apabila konsumsi oksigen antara 10 – 20 mg/l maka menunjukkan bahwa tingkat pecemaran oleh bahan organik tinggi. Sehingga dapat disimpulkan secara keseluruhan nilai BOD5 pada setiap stasiun penelitian masih dapat mendukung kehidupan organisme air dan belum masuk kategori tercemar.

4.4.8. NO3- (Nitrat)

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar nitrat pada kelima stasiun berkisar antara 0,1 – 0,2 mg/l. Secara umum nilai nitrat pada kelima stasiun

(28)

penelitian masih mendukung kehidupan ikan sesuai dengan baku mutu air golongan III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 yang menetapkan nilai nitrat sebesar 20 mg/l. Menurut Barus (2004), nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk alga dan fitoplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.

4.4.9. PO4- (Posfat)

Berdasarkan hasil pengukuran pada setiap stasiun didapatkan nilai posfat berkisar antara 0,11 – 0,25 mg/l. Nilai posfat terendah didapatkan di stasiun 5 yaitu sungai Hula-Huli dan tertinggi di stasiun 2 yaitu sungai Baturangin. Secara umum nilai posfat yang terdapat pada kelima stasiun penelitian masih dapat mendukung kehidupan ikan di sungai tersebut, hal ini sesuai dengan standard baku mutu air golongan III berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 yang menetapkan nilai posfat berada pada batas 1 mg/l.

Menurut Alaerts & Sri (1987), untuk mencapai pertumbuhan plankton yang optimal diperlukan konsentrasi posfat pada kisaran 0,27 – 5,51 mg/l dan akan menjadi faktor pembatas apabila kurang dari 0,02 mg/l. Kadar posfat pada air alam yang sangat rendah (<0,01 mg) mengakibatkan pertumbuhan tanaman dan ganggang akan terhalang keadaan inilah yang dinamakan oligotrop, sedangkan bila kadar posfat dan nutrient lainnya tinggi, maka pertumbuhan tanaman dan ganggang tidak terbatas lagi. Keadaan inilah yang dinamakan eutotrop sehingga tanaman tersebut akan dapat menghabiskan oksigen dalam sungai atau kolam pada malam hari.

4.5. Analisis Korelasi

Berdasarkan hasil pengukuran faktor fisika dan kimia perairan yang dilakukan pada setiap stasiun penelitian dan selanjutnya dikorelasikan dengan jenis makanan, maka didapatkan nilai indeks korelasi (r) seperti disajikan pada Tabel 4.5 berikut ini.

(29)

Tabel 4.5. Nilai Korelasi antara Faktor fisika dan kimia perairan dengan jenis makanan.

Jenis

makanan Faktor Fisika dan kimia perairan

Suhu Kece- Raha n Arus Intensitas Cahaya pH DO BOD5 NO3 PO4 Makanan Utama Cymbella -0,283 0,697 -0,440 0,234 -0,552 0,633 0,686 -0,420 -0,660 Navicula -0,219 -0,749 0,919 -0,915 0,203 0,215 0,095 0,566 0,172 Nitzschia 0,534 0,315 -0,636 0,856 0,290 -0,778 -0,651 -0,363 0,293 Makanan Pelengkap Epithemia 0,612 0,295 -0,436 0,831 0,476 -0,803 -0,586 -0,461 0,269 Diatoma 0,162 -0,426 0,588 -0,063 0,579 -0,290 -0,086 -0,014 0,436 Fragilaria 0,519 0,048 0,627 -0,477 0,586 -0,169 -0,124 -0,115 -0,584 Opephora -0,028 -0,430 0,104 -0,581 -0,120 -0,107 -0,470 0,654 0,087 Caloneis 0,299 0,618 -0,808 0,986 -0,008 -0,385 -0,194 -0,583 0,040 Frustulia -0,726 -0,895 0,398 -0,591 -0,351 0,374 0,161 0,789 0,748 Surirella -0,866 -0,223 -0,158 -0,470 -0,919 0,828 0,513 0,551 0,024 Cosmarium -0,351 0,676 -0,523 0,358 -0,599 0,626 0,705 -0,434 -0,513 Keterangan :

Nilai positif = korelasi searah

Nilai negatif = korelasi berlawanan arah

Dari tabel 4.5. dapat dilihat bahwa hasil uji analisis korelasi pearson antara faktor fisika dan kimia perairan dengan jenis makanan memiliki tingkat korelasi dan arah korelasi yang berbeda-beda. Nilai positif menunjukkan hubungan yang searah antara nilai faktor fisika dan kimia perairan dengan jenis makanan yang artinya semakin besar nilai faktor fisika dan kimia perairan maka nilai jenis makanan juga semakin besar. Nilai negatif menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik antara faktor fisika dan kimia perairan dengan jenis makanan. Semakin besar nilai faktor fisika dan kimia perairan maka nilai jenis makanan semakin kecil. Apabila nilai mendekati nol menandakan bahwa kedua variabel tersebut tidak saling berhubungan.

(30)

Menurut Sugiyono (2005) besarnya koefisien korelasi berkisar antara +1 s/d -1. Koefisien korelasi menunjukkan kekuatan hubungan linier dan arah hubungan dua variabel acak. Untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel dibuat kriteria seperti tertera pada Tabel 4.6 berikut :

Tabel 4.6. Interval Korelasi dan Tingkat Hubungan antar Faktor

No Interval Koefisien Tingkat Hubungan

1 0,00 - 0,199 Sangat rendah 2 0,20 – 0,399 Rendah 3 0,40 – 0,599 Sedang 4 0,60 – 0,799 Kuat 5 0,80 – 1,000 Sangat kuat

Setiap jenis makanan memiliki nilai yang berbeda-beda terhadap setiap faktor fisika kimia. Dari hasil analisis korelasi pada tabel 4.5 menunjukkan bahwa Cymbella yang merupakan makanan utama ikan batak (Neolissochilus sumatranus) berkorelasi positif terhadap kecerahan, intensitas cahaya, DO dan BOD5. Berdasarkan nilai korelasi yang diperoleh diketahui bahwa kecerahan, DO dan BOD5 memiliki korelasi yang kuat terhadap Cymbella. Intensitas cahaya berkorelasi rendah terhadap Cymbella. Faktor fisika kimia yang berkorelasi negatif atau berlawanan dengan Cymbella adalah temperatur, arus, pH, NO3 dan PO4. Berdasarkan nilai korelasinya maka Cymbella berkorelasi kuat terhadap PO4, berkorelasi sedang terhadap arus, pH dan NO3 serta berkorelasi rendah terhadap temperatur.

Navicula merupakan jenis makanan utama ikan batak (Neolissochilus sumatranus) di perairan sungai asahan. Berdasarkan analisis korelasi diketahui bahwa Navicula berkorelasi positif terhadap arus, pH, DO, BOD5, NO3 dan PO4. Berdasarkan nilai korelasinya Navicula berkorelasi sangat kuat terhadap arus, berkorelasi sedang terhadap NO3, berkorelasi rendah terhadap pH dan DO dan berkorelasi sangat rendah terhadap BOD5 dan PO4. Hasil analisis menunjukkan

(31)

bahwa temperatur, kecerahan dan intensitas cahaya berkorelasi negatif terhadap Navicula. Nilai korelasi menunjukkan bahwa Navicula berkorelasi sangat kuat terhadap intensitas cahaya, berkorelasi kuat terhadap kecerahan dan berkorelasi rendah terhadap temperatur.

Jenis organisme air lainnya yang menjadi makanan utama ikan batak (Neolissochilus sumatranus) di perairan sungai asahan adalah Nitzschia. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa Nitzschia berkorelasi searah dengan temperatur, kecerahan, intensitas cahaya, pH dan PO4. Berdasarkan nilai korelasi dapat diketahui bahwa Nitzschia berkorelasi sangat kuat terhadap intensitas cahaya, berkorelasi sedang terhadap temperatur, berkorelasi rendah terhadap kecerahan dan berkorelasi sangat rendah terhadap pH dan PO4. Faktor fisika dan kimia perairan yang berkorelasi berlawanan terhadap Nitzschia adalah arus, DO, BOD5 dan NO3. Berdasarkan nilai korelasi diketahui bahwa Nitzschia berkorelasi kuat terhadap arus, DO dan BOD5, serta berkorelasi rendah terhadap NO3.

Berdasarkan hasil analisis kebiasaan makanan didapatkan 8 jenis organisme air yang menjadi makanan pelengkap ikan batak (Neolissochilus sumatranus). Setiap jenis organisme memilki arah korelasi dan hubungan korelasi yang berbeda-beda terhadap faktor fisika dan kimia perairan. Berdasarkan hasil analisis korelasi pada tabel 4.5 diketahui bahwa Epithemia memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap intensitas cahaya dengan arah korelasi searah dan DO dengan arah korelasi berlawanan. Diatoma tidak memiliki korelasi sangat kuat maupun yang kuat terhadap faktor fisika kimia perairan, Diatoma memiliki korelasi sedang terhadap arus dan pH.

Organisme berikutnya yang menjadi makanan pelengkap ikan batak adalah Fragilaria yang memiliki korelasi kuat terhadap arus dengan arah korelasi yang positif. Opephora memilki korelasi yang kuat terhadap NO3. Caloneis berkorelasi sangat kuat terhadap intensitas cahaya dengan arah korelasi postif dan juga terhadap arus dengan arah korelasi negatif. Selain itu Caloneis juga berkorelasi kuat terhadap kecerahan. Frustularia merupakan jenis organisme yang paling banyak memeiliki korelasi sangat kuat terhadap faktor fisika dan kimia perairan yaitu suhu dan kecerahan dengan arah korelasi berlawanan serta NO3 dan PO4

(32)

dengan arah korelasi positif atau searah. Makanan pelengkap ikan batak lainnya adalah Surirella, organisme ini memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap temperatur dan pH dengan arah korelasi berlawanan dan terhadap DO dengan arah korelasi searah. Jenis organisme berikutnya adalah Cosmarium, dari hasil nalisis korelasi organisme ini berkorelasi kuat terhadap BOD5 dengan arah korelasi positif atau searah.

Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa setiap jenis makanan utama maupun makanan pelengkap memiliki arah korelasi yang berbeda pada setiap faktor fisika dan kimia perairan serta tingkat hubungan yang berbeda juga.

(33)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa;

1. Tipe pertumbuhan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) bersifat allometrik. Pada stasiun 1,2,3 dan 5 tipe allometrik positif dan pada stasiun 4 tipe allometrik negatif. Faktor kondisi ikan batak tergolong tidak pipih. 2. Hasil analisis terhadap kebiasaan makanan didapatkan 38 jenis organisme

yang menjadi makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) di perairan sungai Asahan. Makanan utama ikan batak adalah : Cymbella, Navicula dan Nitzschia.

3. Kualitas air di setiap stasiun memenuhi baku mutu untuk air kelas III, menurut peraturan pemerintah No 82 tahun 2001 sehingga masih mendukung kehidupan ikan batak (Neolissochilus sumatranus).

4. Cymbella berkorelasi positif terhadap kecerahan, intensitas cahaya, DO dan BOD5 dan berkorelasi negatif dengan temperatur, arus, pH, NO3 dan PO4. Navicula berkorelasi positif terhadap arus, pH, DO, BOD5, NO3 dan PO4. dan berkorelasi negatif dengan temperatur, kecerahan dan intensitas cahaya. Nitzschia berkorelasi positif terhadap intensitas cahaya, temperatur, kecerahan, pH dan PO4 dan berkorelasi negatif terhadap arus, DO, BOD5 dan NO3.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian selanjutnya terhadap kebiasaan makanan ikan batak (Neolissochilus sumatranus) pada lokasi yang berbeda di sungai asahan sehingga dapat memberikan informasi yang lebih lengkap tentang kebiasaan makanan ikan batak di sungai asahan.

Gambar

Gambar 3.1. Sungai Ponot
Gambar 3.3. Sungai Tangga
Gambar 3.5. Sungai Hula-huli
Gambar 4.1. Hubungan Panjang -Berat Ikan Batak (Neolissochilus  sumatranus)                 pada Stasiun 1
+4

Referensi

Dokumen terkait

Projects, proje ile aynõ solution içinde yer alan bile ş en kütüphanelerini eklemek için kullanõlõr.. Eklenecek assembly nesnesini seçin ve Select dü ğ

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan adaptasi yang dikembangkan PDAM dan pemangku kepentingan, IUWASH juga merekomendasikan untuk mempertimbangkan aksi-aksi adaptasi

Staw (1980) mengemukakan bahwa konsekuensi negatif dari perputaran karyawan adalah meningkatnya biaya seleksi dan rekruitmen untuk mendapatkan karyawan baru, biaya

a). Pahat dapat dikunci secara permanen dalam turet pada urutan yang sesuai dari penggunaan. Setiap stasiun dilengkapi dengan penghenti hantaran atau pelompat

a) Fungsi informatif, yaitu organisasi dipandang sebagai suatu sistem proses informasi. Bermakna seluruh anggota dalam suatu organisasi berharap dapat memperoleh informasi yang

Konsep dari sistem informasi merupakan konsep yang sangat kuat (karena dapat menangkap isi informasi dari laporan keuangan dengan demikian menentukan nilainya

(3) bukti memilikiilmu pengetahuan dinilai dari keterampilannya, bukan dari sert ifikatnya, (4) biasanya tidak terlalu terikat dengan ketentuan yang ketat, (5) isi, staf