• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISIONAL RITUAL: REPRESENTASI MAKNA OFUDA BAGI ORANG JEPANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISIONAL RITUAL: REPRESENTASI MAKNA OFUDA BAGI ORANG JEPANG"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISIONAL RITUAL: REPRESENTASI MAKNA OFUDA BAGI ORANG JEPANG

Dewi Ariantini Yudhasari

Staf Pengajar Jurusan Bahasa Jepang STBA LIA Jakarta dewiayp@yahoo.co.jp

Abstrak

Setiap masyarakat memiliki tradisi yang ingin terus dipertahankan sebagai sesuatu yang bernilai. Menengok pada orang Jepang terdapat salah satu praktik budaya yang menarik, yaitu mengembalikan dan mengambil ofuda. Ofuda merupakan perwujudan kami yang dipercayai.

Ofuda merupakan implementai gerak dan tingkah laku orang Jepang dalam berkehidupan.

Budaya ini dikonstruksikan dalam bentuk identitas orang Jepang sebagi sebuah tradisi ritual. Representasi makna dari praktik budaya ritual ini adalah permohonan individu atau kelompok untuk mendapatkan keselamatan, kesehatan, kelancaran usaha, terlepas dari keburukan, kecelakaan, dan kegagalan.

Kata Kunci: Ofuda, kami, representasi, identitas

Abstract

Preserving tradition is preserving values in it. In Japanese society, Ofuda is one of the forms of tradition which is unique in terms of preservation. Ofuda is the realization of Kami. Ofuda is the implementation of Japanese way of life which is constructed in ritual tradition as the group identity. Meaning representation reveals from this ritual is individual or group wishes to get a good life, not a bad one.

Key words: Ofuda, kami, representation, identity

PENDAHULUAN

Menelusuri dan mengkaji nilai-nilai budaya suatu daerah atau masyarakat mengingatkan kita pada adanya bentuk praktik budaya yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Eksplorasi terhadap adanya praktik budaya tersebut membuat kita sadar akan adanya nilai atau norma yang menjadi tradisi dalam sebuah masyarakat. Ketika tradisi diagungkan, nilai tersebut akan menjadi normatif dalam bentuk budaya yang dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Nilai-nilai budaya yang berusaha dipertahankan oleh masyarakat akhirnya akan menjadi sebuah tradisi sekaligus merupakan identitas budaya bagi masyarakat tersebut. Apabila produk budaya

(2)

ini berusaha untuk dipertahankan secara terus menerus dari waktu ke waktu, dengan sendirinya nilai budaya itu akan menjadi proyek dalam membentuk identitas budaya lokal. Dalam pandangan Gidden (dalam Baker, 2000:175). Proyek yang dimaksudkan adalah bahwa identitas merupakan sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu yang membentuk apa yang kita pikirkan tentang diri kita dari masa lalu ke masa kini.

Selanjutnya, nilai yang terdapat dalam budaya lokal itu disebut sebagai suatu bentuk kearifan lokal. Kearifan lokal menurut I Ketut Gobyah (dalam tulisan Sartini ―Menggali Kearifan Lokal‖, 112) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Dengan kata lain, kearifan lokal merupakan produk budaya yang dapat menjadi pegangan hidup bagi masyarakatnya.

Dalam rangka menggali unsur kearifan lokal pada masyarakat Jepang, saya teringat pada perayaan tahun baru di Jepang. Setiap tahun, perayaan tahun baru di Jepang diperingati oleh seluruh masyarakat Jepang dengan suka cita. Pada 31 Desember atau omisoka hampir sebagian besar keluarga di Jepang berkumpul untuk makan toshikoshi soba dan merayakan pergantian tahun. Keesokan harinya pada 1 Januari, mereka berkumpul untuk makan bersama, merayakan tahun baru, dan pergi ke kuil untuk berdoa agar tahun baru tersebut dapat dijalani dengan penuh harapan yang dikenal dengan istilah hatsumode.

Ada satu kegiatan yang menarik perhatian saya justru sebelum dan sesudah orang Jepang merayakan tahun baru tersebut. Sebelum tahun baru tiba, orang Jepang terlihat pergi ke kuil-kuil untuk mengembalikan ofuda. Ofuda menurut kamus Jepang-Indonesia Daigakushorin (1980) adalah kartu, papan, atau plakat memuat permohonan kepada kami.

(3)

Kami, menurut Nakamaki Hirochika dalam bukunya yang berjudul Kaisha no Kami, Hotoke, (2009:9), didefinisikan sebagai pelindung manusia di dunia, sedangkan hotoke adalah pelindung nenek moyang yang telah meninggal dunia. Lalu, kami dalam pandangan antropologi agama ditulis dengan menggunakan huruf katakana dalam penulisannya. Hal ini mengandung makna bahwa wujud kami dapat dilihat secara utuh dan menyeluruh dengan tujuan bukan untuk membicarakan arti kami dalam pandangan ajaran agama tertentu, melainkan ditujukan untuk memberi pemahaman bahwa kami dalam pandangan orang Jepang terdiri atas berbagai macam wujud dan bentuk serta memiliki jumlah yang banyak. Dengan demikian, kita dapat membedakan makna kami dan hotoke.

Dalam pemikiran antropologi agama, agama yang di anut di dunia ini dikategorisasikan ke dalam dua pemikiran, yaitu isshinkyou dan tashinkyou. Isshinkyou adalah pemikiran pada adanya Satu Tuhan (Yang Maha Esa), sedangkan tashinkyou adalah pemikiran yang mempercayai lebih dari Satu Tuhan (kami). Orang Jepang menganut kepercayaan rakyat yang dilandasi oleh pemikiran bahwa kami ada di mana-mana dalam berbagai macam wujudnya (tashinkyou).

(4)

Berdasarkan data statistik yang dikelaurkan setiap tahun oleh pemerintah Jepang di bawah Agency of Cultural Affairs, ministry of Education, Cultural, Sports, Sience and Tecnology (2009) tercatat bahwa kepercayaan yang dianut oleh orang Jepang melebihi dua kali lipat dari pada jumlah penduduk Jepang.

Dewasa ini penduduk Jepang tercatat 128.000.000 orang1). Sementara pada

tahun 2009 jumlah penduduk Jepang yang menganut kepercayaan keseluruhan berjumlah 207.183.223 orang yang terdiri atas penganut agama Budha sebanyak 87.506.504 orang (42.4%) dan orang yang menganut kepercayaan kepada kami tercatat sebanyak 128.427.100 orang (52.3%). Selain itu, penganut agama Kristen di Jepang berjumlah 2.369.484 orang (1.1%) dan penganut agama lainnya termasuk agama Islam berjumlah 4.880.135 (4.3%). Dengan demikian, dapat terlihat dari statistik data bahwa penganut aliran kepercayaan kepada kami memiliki penganut terbanyak. Dari data ini diperoleh simpulan bahwa orang Jepang percaya kepada adanya kami dan kami dalam berbagai macam bentuk. Artinya, mereka dapat pula memercayai dan menganut aliran tidak percaya pada satu kami saja.

Perwujudan adanya kepercayaan kepada kami ini salah satunya diwujudkan dalam bentuk ofuda. Ofuda merupakan salah satu unsur penting dalam kamidana. Kamidana adalah altar tempat bersembahyang dan tempat. persembahan orang Jepang kepada kami. Kamidana merupakan tempat untuk meletakkan ofuda. Ofuda merepresentasikan kami dalam kamidana. Hampir di setiap rumah orang Jepang terdapat kamidana. Selain di rumah, kamidana juga diletakkan di perusahan dan di tempat usaha.

Dalam tradisi ritual orang Jepang, mereka mengenal tradisi mengambil dan mengembalikan ofuda setiap tahunnya. Ofuda terdiri atas ofuda perorangan atau individu yang diletakkan di rumah masing-masing dan ofuda untuk organisasi atau perusahaan. Adapun waktu pengembalian dan pengambilan

(5)

ofuda ke kuil tempat ofuda tersebut diambil dan dilakukan pada waktu sebelum tibanya tahun baru, sedangkan ofuda untuk perusahaan dilakukan pada Januari setelah datangnya tahun baru sampai sebelum musim semi tiba. Fungsi ofuda secara keseluruhan adalah sebagai sesuatu yang dipercayai melindungi diri atau individu serta perusahaan. Di samping itu, terdapat nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Jepang dalam memercayai adanya kekuatan di luar dirinya serta memohon perlindungan diri dan keluarganya dari segala sesuatu yang buruk. Selain memohon perlindungan, tentunya masih banyak lagi nilai-nilai yang direpresentasikan dalam tradisi ritual ini. Di samping itu, kita dapat melihat bahwa tradisi ini masih terus dilakukan oleh orang Jepang hingga sekarang ini. Hal ini menarik perhatian saya untuk mengekplorasi tradisi ritual ini lebih lanjut untuk menggali nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki dan dipertahankan orang Jepang melalui tradisi ritual mengembalikan dan mengambil ofuda.

PERTANYAAN PENELITIAN

Berbicara tentang keberatan ofuda bagi orang Jepang membuat saya ingin lebih mengeksplorasi bagaimana makna dan fungsi ofuda bagi orang Jepang dewasa ini. Apakah setiap rumah orang Jepang dimungkinkan untuk memiliki lebih dari satu ofuda? Nilai kearifan lokal apa saja yang hendak direpresentasikan dengan adanya tradisi ritual mengambil dan mengembalikan ofuda ini bagi orang Jepang?

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam tradisi orang Jepang dalam mengambil ofuda dan mengembalikan ofuda ke kuil setiap tahunnya. Selanjutnya, penelitian ini

(6)

berusaha untuk menemukan representasi maknai ofuda bagi orang Jepang sebagai sebuah tradisi ritual yang sarat akan nilai-nilai kearifan lokalnya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan cultural studies seperti representasi berdasaarkan pandangan Hall (1997) melalui analisa tekstual. Adapun yang menjadi data dalam penelitian ini adalah data visual berupa foto yang diambil melalui internet dan foto milik informan. Data dianalisis dengan menggunakan teori dan model analisis.

Langkah-langka dalam penelitian, membahas isu kearifan lokal pada kegiatan pengambilan dan pengembalian ofuda yang dilakukan orang Jepang setiap tahunnya melalui data visual berupa foto. Kemudian, makna foto akan dijelaskan dengan menggunakan pendekatan konstruksi wacana dari Foucault. Cara ini diharapkan dapat membantu mengungkapkan representasi makna ofuda bagi orang Jepang.

KONSEP DALAM PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan sejumlah pendekatan dari ranah cultural studies dan menggunakan beberapa konsep yang sering digunakan untuk menganalisis budaya seperti representasi, identitas, dan wacana.

Berbicara tentang cultural studies mengingatkan kita pada Tony Benet (1998; dalam Barker 2002:7) bahwa studi ini merupakan studi lintas disiplin yang berkembang pada akhir tahun 1950-an. Adapun orang yang bertindak sebagai pelopor dalam pengembangan ilmu ini antara lain Raymond Williams, Richard Hoggart, Edward Thompson, dan Stuart Hall.

Cultural Studies kemudian lebih berbicara tentang relasi antara budaya dan kekuasaan yang muncul dalam pembahasan seperti ras, etnisitas, kelas,

(7)

gender, dan kolonialisme. Namun, kemudian pembahasan dalam cultural studies sampai pada pemaknaan teks yang lebih luas. Teks tidak lagi hanya dipandang sebagai kalimat-kalimat, tetapi menurut John Storey (2003:3–4) teks memiliki fungsi untuk memproduksi makna.

Dalam memproduksi makna teks bukan hanya berupa tulisan, tetapi semua benda, tanda, artefak, musik, foto dan sebagainya merupakan teks. Berkaitan dengan pencarian makna ini, dalam ranah cultural studies kita mengenal pembahasan tentang representasi. Representasi menurut Stuart Hall (1997:17) adalah bagaimana produksi makna yang terdapat dalam konsep dan pemikiran kita dapat dituangkan dan disampaikan melalui bahasa. Bahasa dalam kaitannya dengan konsep representasi adalah bahasa tulis dan bahasa lisan, termasuk juga tanda, simbol (pada objek prasasti, majalah, program TV, musik, lukisan, foto, iklan, dan lain-lain) yang merepresentasikan pemikiran kita terhadap sesuatu atau orang lain dengan cara menggali makna tekstualnya.

Representasi merupakan cara masuk untuk melihat dunia pada

umumnya dan bagaimana dunia tersebut dikonstruksikan serta

direpresentasikan oleh kita dan untuk kita. Selanjutnya, ketika berbicara tentang representasi, kita juga tidak lepas berbicara dan membicarakan identitas. Identitas menurut Gidden (1991; dalam Barker, 2000:175) adalah cara berpikir tentang kita. Hal ini merupakan konsep yang berupaya untuk melanggengkan narasi tentang diri. Dalam hal ini individu berusaha mengonstruksikan suatu narasi identitas dengan mempertanyakan siapa diri kita dan bagaimana orang lain melihat diri yang dapat berubah dari satu situasi ke situasi yang lain berdasarkan ruang dan waktu.

Untuk membahas data visual dalam penelitian ini, saya menggunakan analisis berdasarkan pendekatan konstruksionis Michael Foucault (dalam Giles and Middleton, 1999:65) yang mengatakan bahwa pengetahuan dapat

(8)

diproduksi melalui sebuah sistem representasi. Selanjutnya, ia mengemukakan bahwa untuk memahami diri dalam relasinya dengan dunia sosial atau dunia di luar selalu mempunyai sifat yang tidak tetap dan terus berubah. Konsep ini disebut dengan diskursus atau wacana. Wacana terus berubah dari waktu ke waktu dan wacana sengaja diproduksi. Cara memproduksi wacana pun akan berbeda dari satu masa ke masa lainnya serta mempunyai sejarah yang berbeda pula. Selain itu, kita tidak boleh lupa bahwa dibalik wacana yang diciptakan terdapat kekuasaan yang beroperasi atas wacana tersebut.

KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI RITUAL

Masyarakat Jepang adalah masyarakat yang menganut kepercayaan rakyat yang mengajarkan berbagai nilai dan norma yang diperuntukkan sebagai landasan dalam bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu tradisi yang hingga sekarang masih terus berlangsung adalah tradisi mengambil dan mengembalikan ofuda. Tradisi ini entah kapan dimuali tepatnya tidak ada yang mengetahui. Hal yang dapat menjadi tanda tersebut adalah setelah dibangunnya sebuah kuil sehingga dapat dipastikan bahwa tradisi ritual itu ada. Tradisi ritual ini kemudian akan menjadi identitas dan budaya pada masyarakat tersebut.

Nilai kearifan lokal ini menurut Moedarjito (dalam Sartini 2004:111) memiliki ciri-ciri budaya yang telah mentradisi dalam suatu wilayah atau daerah: a) mampu bertahan terhadap budaya luar; b) memiliki kemampuan mengakomodasi budaya luar; c) mempunyai kemampuan mengitegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli; d) mempunyai kemampuan mengendalikan; e) mampu memberikan arah pada perkembangan budaya.

Dalam konteks tersebut kegiatan mengembalikan dan mengambil ofuda bagi orang Jepang dapat memperlihatkan adanya unsur ciri-ciri budaya lokal dalam pelaksanaan kegiatan itu. Mulai dari tata cara pemgembalian dan

(9)

bagaimana cara pengembalian ofuda telah dikosntruksikan sedemikian rupa sehingga kegiatan ini mengakar pada masyarakat Jepang. Hal ini dibuktikan bahwa ofuda harus dikembalikan ke kuil yang sama tempat ofuda itu diambil. Kuil tempat mengambil dan mengembalikan ofuda satu dan lainnya berada di tempat dan wilayah yang berbeda. Kuil-kuil ini mempunyai aturan dan tata caranya masing-masing di setiap daerah atau wilayah. Namun, hal tersebut sebenarnya menjelaskan bahwa masyarakatnya mempunyai keinginan dan kemampuan mengendalikan dan menjadikan kegiatan tersebut sebagai bagian dari budaya lokal yang ingin terus menerus dipertahankan. Dalam kenyataannya tradisi pengembalian dan pengambilan ofuda dapat bertahan terhadap berbagai unsur budaya luar yang masuk ke Jepang dalam perjalanan waktu dan di tengah globalisasi yang semakin meniadakan batas antarbangsa dan negara, antarruang dan waktu, antara yang makro dan mikro, dan sebagainya. Tradisi ritual ini dapat memberikan arah pada perkembangan budaya setempat, khususnya pada pengembangan nilai keyakinan serta kepercayaan orang Jepang pada kami.

Dalam kegiatan mengebalikan dan mengambil ofuda memuat nilai-nilai kearifan lokal antara lain bahwa mereka memercayai adanya berbagai kami dengan fungsinya masing-masing. Kami dipercayai sebagai pelindung manusia di dunia terhadap segala yang buruk. Kepercayaan ini membuat orang Jepang pergi ke kuil-kuil untuk mengambil ofuda sebagai implementasi keyakinan terhadap kami. Kegiatan yang terus menerus dilakukan secara ajeg oleh orang Jepang dari dulu hingga sekarang menunjukkan bahwa nilai kearifan yang dimunculkan melalui kegiatan mengambil dan mengembalikan ofuda sebagai tradisi ritual terus ingin dipertahankan oleh orang Jepang dan masyarakat Jepang itu sendiri.

(10)

Jika menengok pendapat Gidden (dalam Barker, 2000) bahwa identitas itu sengaja dibangun dan dikonstruksikan, inilah salah satu cara orang Jepang menyampaikan siapa mereka dan bagaimana mereka sebagai cerminan identitas individu maupun kelompoknya dalam mempertahankan tradisi mengambil dan mengembalikan ofuda. Menurut saya, dalam pelaksanaan tradisi ini termuat nilai-nilai kearifan lokal, antara lain percaya adanya kami dan patuh terhadap tata cara serta aturan dalam tradisi yang mengimpelementasikan sikap disiplin dalam bentuk tindakan mengambil dan mengembalikan ofuda setiap tahunnya. Selain itu, sebagai sebuah gagasan dalam praktik memproduksi sebuah ideologi, tradisi ritual ini memberi pengaruh pada pemikiran orang Jepang bahwa mereka tidak ingin tertimpa hal-hal yang buruk, seperti kemalangan, kegagalan usaha, dan kesialan jika tidak mengembalikan dan mengambil ofuda pada waktu yang telah ditentukan. Dengan kata lain, orang Jepang mematuhi dan menaati tradisi ritual ini sebagai bentuk pelestarian nilai kearifan lokal yang dimilikinya.

(11)

BENTUK, JENIS, DAN FUNGSI OFUDA

Bahan yang biasa digunakan sebagai ofuda adalah kertas atau papan yang bertuliskan nama kami, nama kuil tempat mengambil ofuda, bertuliskan fungsi ofuda sebagai pelindung manusia, serta permohonan manusia kepada kami. Berdasarkan hasil pengamatan saya, ofuda dikelompokkan menjadi dua jenis berdasarkan peruntukannya. Pertama, ofuda untuk individu atau perorangan. Kedua, ofuda untuk organisasi dan perusahaan. Pada ofuda yang diperuntukkan individu tertulis nama individu yang bersangkutan, nama kuil tempat pengambilan ofuda, dan permohonan pada kami. Sementara itu, pada ofuda untuk perusahaan tertulis nama kami, nama perusahaan, dan permohonan yang diinginkan. Pada dasarnya, baik ofuda untuk individu maupun kelompok sama-sama memiliki fungsi sebagai implementasi keberadaan kami dan sebagai simbol permohonan kepada kami.

Gambar 4 di bawah menunjukkan jenis ofuda untuk individu atau perorangan yang bertuliskan Kanai Anzen (Permohonan Keselamatan bagi Anggota Keluarga). Gambar 5 menunjukkan gambar ofuda yang dapat digunakan untuk perorangan maupun organisaasi (perusahaan) dan bertuliskan Sainanjo (Permohonan Terlepas dari Bahaya Kecelakaan dan Bencana Alam) yang biasa diletakkan di altar persembahan kepada kami (kamidana), Kaiun (Permohonan untuk Mendapatkan Nasib Baik) diletakkan pada kamidana atau di Shinshitsu, Tounanjo (Permohonan Terlepas dari Kemalangan, Kecurian, Kejahatan) diletakkan di Genkan, Hinan (Permohonan Terbebas dari Kebakaran) diletakkan di dapur, ofuda (Permohonan untuk Membersihkan Diri dari Segala Bentuk yang Buruk) diletakkan di toilet.

(12)

Ofuda diambil di kuil yang berbeda-beda pada saat tertentu. Dalam masyarakat Jepang terdapat ofuda matsuri, yaitu masa pengembalian dan mengambilan ofuda. Ofuda untuk rumah tangga atau individu biasanya diambil sebelum tahun baru sekaligus menyongsong tahun baru dengan harapan baru dan sesuatu yang lebih dari tahun lalu dengan memohon kepada kami agar dilindungi dari hal-hal yang buruk. Ofuda untuk perusahaan diambil pada Januari dan sebelum datangnya musim bunga.

Orang Jepang memiliki tata cara ritual dalam mengganti ofuda pada kamidana. Ofuda pada kamidana tidak boleh dibiarkan kosong. Dengan kata lain, keberadaan kami tidak boleh kosong. Oleh karena itu, orang Jepang mengambil ofuda baru ke kuil, lalu membawanya ke rumah untuk disembahyangkan, dan mengganti ofuda yang lama dengan ofuda yang baru di depan kamidana. Setelah itu, ofuda yang lama dibawa unatuk diserahkan kembali ke kuil tempat ofuda itu diambil.

Selanjutnya, ofuda yang dikembalikan ke kuil akan dibakar oleh pendeta di kuil setelah tahun baru atau sebelum 15 Januari setiap tahunnya. Tradisi ritual membakar ofuda ini disebut dondon. Dengan dibakarnya ofuda ini menandakan segala sesuatunya dikembalikan ke alam.

(13)

KAMIDANA SEBAGAI TEMPAT MELETAKKAN OFUDA

Keberadaan ofuda tidak lepas dari keberadaan kamidana sebagai tempat untuk meletakkan ofuda. Kamidana menurut Kamus Kojien (Jiwanami-Shoten, 2009) adalah “ie no naka de, daijinggu nado no shinfu wo matsuru tana” (Lemari Tempat Menyembah Tuhan). Altar persembahan ini terbuat dari kayu jati. Adapun contoh kamidana dan ofuda sebagai berikut.

Orang Jepang memiliki aturan dan tata cara dalam meletakkan ofuda pada kamidana. Kamidana yang ada pada gambar 3 memuat tiga ofuda. Pertama, ofuda amaterasu omikami yang ditelakkan pada bagian tengah

(14)

kamidana. Ofuda ini menunjukkan posisi kami yang utama di antara kedua kami lainnya. Namun, dalam kenyataannya orang Jepang belum tentu meletakkan ofuda amaterasu omikami pada posisi tengah tersebut. Sebagai gantinya, mereka meletakkan ofuda yang lain yang dianut dan dipercayai oleh mereka sebagai kami yang utama dalam aliran agama Shinto. Selain ofuda amaterasu omikami, orang Jepang juga dapat meletakkan kami yang lain. Kami yang diutamakan berada di posisi tengah pada kamidana dan berasal dari kuil yang diutamakan. Selain itu, wujud kami yang dipercayai sebagai kami yang utama dapat berupa berbagai jenis.

Kedua, ofuda ujigami jinja adalah ofuda yang diambil dari kuil yang berada di lingkungan tempat tinggal. Ofuda ini diletakkan di sebelah kanan. Kami yang tertulis dalam ofuda ini berfungsi sebagai pengawas tempat tinggal atau lingkungan setempat.

Ketiga, ofuda yang bertuliskan nama kami dipercayai sebagai sebuah keyakinan dalam aliran agama. Ofuda ini diletakkan di sebelah kiri. Ofuda ini diambil dari kuil yang dipercayai. Ofuda ini berfungsi sebagai kami yang melindungi tujuan kepercayaan mereka. Dapat disimpulkan bahwa di dalam sebuah kamidana biasanya terdapat tiga kami yang dipercayai sebagai kami yang utama, kami yang melindungi wilayah tempat tinggalnya, dan kami yang dipercayai sebagai sebuah aliran kepercayaan dalam agama Shinto.

Dalam kenyataanya bentuk kamidana ada bermacam-macam, seperti gambar 3, yaitu kamidana yang menyediakan tiga tempat untuk meletakkan tiga ofuda tersebut secara berurutan. Akan tetapi, ada juga ofuda yang hanya terdiri dari satu tempat untuk meletakkan ofuda tersebut. Ofuda diletakkan menyesuaikan dengan bentuk kamidana-nya. Untuk kamidana yang bentuknya hanya terdiri dari satu tempat, susunan peletakkannya adalah ofuda amaterasu omikami atau ofuda, yang diutamakan diletakkan menghadap ke depan (tampak

(15)

depan), sedangkan ofuda yang bertuliskan kami yang mewakili kami setempat dan kami yang mewakili aliran kepercayaan di letakkan menghadap ke belakang (tampak belakang atau memunggungi) ofuda amaterasu omikami dan diletakkan secara berurutan.

REPRESENTASI MAKNA OFUDA BAGI ORANG JEPANG

Dalam penelitian ini, saya menggunakan informasi sebagai penelitian. Informasi tersebut memberikan data berupa foto kamidana yang ada di tempat kediamannya. Melalui foto ini saya akan melakukan menunjukkan model analisis untuk mengungkapkan representasi makan ofuda bagi orang Jepang.

Pada gambar empat menunjukkan jenis ofuda yang ada di kamidana untuk perusahaan. Ofuda yang berada di tengah menunjukkan kami yang utama dan pertama, tertulis Fushimi Inari Jinja ditujukan sebagai kami yang melindungi kelancaran usaha. Ofuda ini diambil dari kuil Fushimi Jinja, di Kyoto. Kedua, sebelah kanan adalah ofuda Ikoma Jinja di Nara. Ofuda ini adalah ofuda yang diambil dari tempat tinggal (lingkungan setempat) yang berfungsi sebagai pelindung wilayah atau tempat mereka tinggal. Ketiga. ofuda

(16)

yang diperoleh oleh Oogami Jinja yang terletak di Miwa, Nara, yang di letakkan sebelah kiri yang merupakan kami yang berasal dari kuil yang dipercayai sebagai tujuan aliran kepercayaannya. Selain itu, melalui altar persembahan ini dapat kita lihat bahwa terdapat aturan atau tata cara untuk meletakkan semua benda yang ada di atas altar tersebut, termasuk di dalamnya elemen yang menjadi komponen peralatan yang tertata dan tidak sembarangan.

Dari data visual ini kita dapat mengatakan bahwa kamidana merupakan konstruksi budaya dari sebuah tradisi ritual orang Jepang. Sementara itu, Ofuda merupakan elemen penting dalam kamidana dan merupakan sesuatu yang dianggap ―sakral‖ bagi keberlangsungan hidup orang Jepang. Ofuda merupakan representasi dari apa yang mereka percayai sebagai kami. Ofuda merupakan perwujudan kami itu sendiri. Ofuda adalah bentuk tekstual dari adanya kepercayaan yang dimunculkan dalam simbol kertas bertuliskan kami yang mereka percayai dan memiliki kekuatan besar untuk melindungi dari segala yang buruk, kemalangan, kecelakaan, kegagalan, dan sebagainya. Namun, ofuda yang terbuat dari bahan kertas di sini bukan sebagaimana makna kertas dalam makna denotasinya, melainkan kertas yang diyakini dan dipercayai sebagai simbol keberadaan kami.

Selanjutnya, praktik budaya tradisi ritual ini berlangsung terus menerus dari dulu hingga sekarang yang membentuk identitas sebuah masyarakat. Dalam praktik tradisi ritual ini, orang Jepang menunjukkan identitas dirinya sebagai masyarakat yang mematuhi ritual upacara keagamaan dan membangun identitas sosial dalam masyarakat untuk mendapatkan legitimasi dirinya tentang siapa mereka dan bagaimana mereka serta bagaimana seharusnya orang memandang mereka.

Jika kita analisis dari sudut pandang antiesensialisme, praktik ini semakin melegitimasi adanya ruang yang memang sengaja dikonstruksi agar

(17)

praktik budaya tersebut tetap berlangsung. Hal ini ditandai adanya aturan kapan harus mengembalikan ofuda ke kuil asal ofuda tersebut dan kapan harus mengambil yang baru. Menurut Foucault konstruksi wacana ini dibangun pada kondisi sosial dan kultural. Foucault merumuskan bahwa kekuasaan tersebar di semua level, kelas, dan dalam semua formasi sosial yang mengandung arti bahwa kekuasaan memproduksi relasi sosial dan identitas. Menurut Foucault relasi ini merupakan telaah objek materi dalam praktik budaya. (dalam Barker, 2000:21). Jadi, sudah jelas bahwa orang Jepang dalam melakukana tradisi ini ada dalam arena praktik budaya yang mendisiplinkan mereka untuk melakukan ritual itu terus-menerus. Sementara itu, kamidana seperti sebuah teater kecil dan masing-masing individu mendisiplinkan dirinya mengikuti aturan yang telah ditetapkan dari sebuah kekuasaan yang dibungkus oleh adanya keyakinan dan kepercayaan terhadap kami.

Kemudian, Foucault (2005:85) juga melihat bahwa praktik budaya berkaitan dengan keberlangsungan kekuasaan. Hal ini berkaitan juga dengan keberlangsungan ekonomi negara. Melalui kegiatan ini setidaknya para penguasa ingin mempertahankan hal ini agar dapat terus memproduksi kekuasaan dan melanggengkan praktik budaya yang berpengaruh pada ekonomi setempat.

Di sisi lain, sebagai sebuah tradisi yang terus berlangsung, betapa orang Jepang mematuhi dan menjalankan tradisi itu dengan penuh hikmat dan suka cita. Nilai kearifan lokal yang bisa ditarik dari pelaksanaan tradisi ini antara lain, kedisplinan, kepatuhan, serta meyakini dan memercayai adanya kekuatan kami dalam ofuda. Sementara itu, representasi makna ofuda yang ingin dimunculkan dalam tradisi ritual ini adalah suatu keyakinan dan kepercayaan terhadap kami yang dapat melindungi umat manusia di dunia dari segala marabahaya, kegagalan, kecelakaan, termasuk di dalamnya memohon

(18)

keselamatan, kesehatan, kebahagiaan, kelancaran dalam berusaha yang direpresentasikan melalui tradisi mengganti dan mengembalikan ofuda yang dilakukan orang Jepang setiap tahunnya.

PENUTUP

Selama manusia Jepang ada dan selama kepercayaan itu masih ada dalam hati setiap orang Jepang, tradisi ritual mengambil ofuda dan mengembalikan ofuda ke kuil akan terus berlangsung. Ofuda merupakan elemen penting dalam kamidana yang dipercayai dan diyakini sebagai representasi dari kami tempat manusia berlindung, memohon keselamatan, kelancaran dalam usaha, dijauhkan dari marabahaya, kegagalan, dan hal-hal yang buruk lainnya. Tradisi ritual mengembalikan dan mengambil ofuda ini juga merupakan representasi gerak dan tingkah laku orang Jepang dalam berkehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Backer, Chris. Cultural Studies: Teori dan Prakatik. Bantul: Kreasi Wacana. Hall, Stuart. 1997. Representation: Cultural Representation and Signfying

Practices. Britain: The Open University.

Nakamaki, Hirochika, 2006. Kaisha no Kami, Hotoke, Tokyo: Kodansha. Sartini, 2004. ―Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafat‖.

http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/view File/45/41

Data Statistik, http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2012/01/120130

(19)

DATA INFORMAN

Kamidana Keluarga Matsuda Hiroshi, Ikoma, Nara, Japan data diambil 3 Maret 2011.

Referensi

Dokumen terkait

Strategi Penanaman Nilai-nilai Moral yang Diterapkan pada Pembelajaran Akidah Akhlak Strategi merupakan seperangkat cara yang diusahakan oleh seseorang guru atau peserta didik

Esimerkiksi moni kappale, jossa sosiaalityöntekijä näennäisesti toivoi aikuissosiaalityön käyttöön sosiaaliohjaajaa, käsittelikin lopulta sitä, miten

Sebagian besar responden dengan postur tubuh tidak simetris memiliki kebiasaan menggunakan tas punggung yang berat hanya pada satu sisi dan sebagian lainnya

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan pada KLINIK NAUFAL HUSADA maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa sistem pengolahan data di klinik ini masih bersifat manual yaitu masih

sesungguhnya. Melatih diri untuk berinteraksi di lingkungan sekolah, baik dengan guru, maupun murid-muridnya. Mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi di dalam

Bila visual effect diaplikasikan secara tepat dalam sebuah karya film maupun animasi, maka visual effect tersebut dapat memberikan dampak yang cukup besar bagi penontonnya

Dari hasil penelitian yang di lakukan pada proyek pembangunan ruang kuliah 12 ruang ekonomi dan bisnis islam Institut Agama Islam Negeri Jember, di dapat kesimpulan

Berdasarkan keterangan setelah melakukan penelitian, rata-rata responden menyatakan bahwa factor yang melatar belakangi larangan nikah tersebut adalah, pertama, dikhawatirkan