• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp. Isolat Lokal terhadap Diamond Back Moth Plutella xylostella ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Efikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp. Isolat Lokal terhadap Diamond Back Moth Plutella xylostella ABSTRACT"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

Efikasi Nematoda Entomopatogen Heterorhabditis sp. Isolat Lokal terhadap Diamond Back Moth Plutella xylostella

Bambang Tri Rahardjo1, Hagus Tarno1 dan Liza Afifah2 1

Dosen Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jln. Veteran, Malang 65145, Indonesia

2

Mahasiswa Program Studi ilmu tanaman, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan , Universitas Brawijaya Jln. Veteran, Malang 65145, Indonesia

ABSTRACT

Diamond back moth or commonly known as Plutella xylostella is one of the important pests on Brassicaceae crop. This pest is a cosmopolitan pest where can be found in almost every area of cabbage cultivation. The control for this pest commonly applied chemical insecticides. One of alternative way to control P. xylostella was used entomopathogenic nematodes Heterorhabditis sp. This study was to determined the virulence of entomopathogenic nematodes against P. xylostella in the laboratory. The experiment was conducted at Nematology Laboratory, Faculty of Agriculture, Brawijaya University from August to November 2013. The results showed that the entomopathogenic nematode population density affect the mortality percentage of P.

xylostella. The higher population density of entomopathogenic nematode, the higher

mortality of P. xylostella larvae. LT50 values with concentrations 400 JI/ml of entomopathogenic nematodes was reached 37.96 hours after application.

Keywords: Heterorhabditis sp., Virulence, Plutella xylostella ABSTRAK

Diamond back moth atau biasa yang dikenal dengan Plutella xylostella merupakan salah

satu hama penting pada tanaman Brassicaceae. Hama ini bersifat kosmopolitan yang dapat ditemukan hampir di setiap daerah pertanaman kubis. Pengendalian hama ini umumnya menggunakan insektisida kimiawi. Salah satu alternatif pengendalian P.

xylostella adalah dengan pemanfaatan nematoda entomopatogen Heterorhabditis sp.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui virulensi nematoda entomopatogen terhadap hama Plutella xylostella di Laboratorium. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Entomolgi, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya pada bulan Agustus - November 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kepadatan populasi nematoda entomopatogen berpengaruh terhadap persentase mortalitas P. xylostella. Semakin tinggi kepadatan populasi nematoda maka semakin tinggi pula mortalitas larva P.

xylostella. Nilai LT50 dengan konsentrasi nematoda entomopatogen 400 JI/ml tercapai

setelah 37,96 jam setelah aplikasi.

(2)

2 PENDAHULUAN

Diamond back moth atau yang biasa disebut Plutella xylostella Linnaeus (Lepidoptera: Plutellidae) adalah salah satu hama penting pada tanaman Brassicaceae (Kalshoven, 1981) terutama kubis, sawi, kembang kol, pakchoi, dan caisin di Indonesia (Herlinda, Thalib, dan Saleh, 2004). Hama ini bersifat kosmopolitan yang dapat ditemukan hampir di setiap daerah pertanaman kubis. Di Indonesia hama ini ditemukan di Pulau Jawa, Sumatra, Bali, Sulawesi dan daerah lainnya (Simanjutak, 2007). Serangan hama ini menyebabkan kerugian ekonomi yang besar dengan biaya lebih dari 1 miliar dolar US setiap tahunnya (Talekar dan Shelton, 1993). Untuk mengendalikan hama tersebut, pada umumnya petani menggunakan insektisida kimia.

Penggunaan insektisida kimia yang tidak bijaksana akan menimbulkan dampak negatif baik secara ekonomi, kesehatan maupun ekologi. Selain itu, insektisida berspektrum luas dapat membunuh parasitoid dan predator. Keadaan tersebut dapat menimbulkan masalah yang serius, salah satunya yaitu terjadinya resistensi dan matinya parasitoid Diadegma semiclausum yang merupakan komponen utama dalam PHT kubis (Mulyaningsih, 2010). P. xylostella dilaporkan telah resisten terhadap insektisida dari golongan organofosfat dan piretroid sintetik (Shelton, Robertson, Tang, Perez, Eigenbrode, Preisler, Wilsey dan Cooley, 1993). Untuk mengatasi resistensi ini perlu alternatif pengendalian yang lain, yaitu dengan pemanfaatan musuh alami seperti nematoda entomopatogen.

Nematoda entomopatogen adalah parasit obligat pada serangga dan biasanya menginfeksi dan membunuh berbagai spesies serangga, karena sifatnya ini maka nematoda entomopatogen memiliki prospek sebagai agen pengendali hayati dari serangga hama pada berbagai

tanaman (Ehlers, 2009). Nematoda entomopatogen fase juvenil infektif akan masuk ke dalam tubuh inang kemudian melepaskan bakteri Xenorhabdus untuk

nematoda entomopatogen genus

Steinernema atau Photorhabdus untuk

nematoda entomopatogen genus

Heterorhabditis dan membunuh inang dalam waktu 36-48 jam (Adams dan Nguyen, 2002). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian tentang pengendalian P. xylostella dengan memanfaatkan nematoda entomopatogen diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui virulensi nematoda entomopatogen terhadap hama Plutella

xylostella di Laboratorium.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya pada bulan Agustus 2013-November 2013. Perbanyakan Plutella xylostella

Perbanyakan Plutella xylostella

dilakukan dengan mengumpulkan larva, telur dan imago P. xylostella dari lahan tanaman yang terserang hama ini. Selanjutnya dimasukkan ke dalam sangkar perbanyakan yang didalamnya terdapat 2 polibag tanaman kubis. Tanaman disiram apabila kondisi tanahnya kering. Larva-larva tersebut terus dipelihara hingga jumlah yang dibutuhkan untuk pengujian tercukupi. Selain itu, larva juga dipelihara di dalam stoples plastik yang tutupnya telah dilubangi dan ditutup dengan kain kasa. Larva dipelihara dengan pakan daun kubis muda yang diganti setiap 2 hari sekali. Larva dipisahkan sesuai stadia instar, pada stadia imago di dalam stoples digantungkan kapas yang telah dicelupkan cairan madu 10% yang berfungsi sebagai pakan pada stadia imago. Stoples dibersihkan setiap tiga hari sekali dengan cara dicuci menggunakan larutan antiseptik kemudian dikeringkan.

(3)

3 Isolasi dan Perbanyakan Nematoda Entomopatogen

Nematoda entomopatogen diisolasi dari lahan tanaman kubis di daerah Bumiaji Malang. Tanah diambil dari sekitar perakaran tanaman (rhizosfer). Setiap lahan ditetapkan 5 lokasi yang berukuran 2-4 m2 yang ditetapkan secara diagonal. Setiap lokasi ditetapkan 3 tempat secara acak dengan luas permukaan 100 cm2. Contoh tanah diambil menggunakan sekop. Sebelum digunakan, sekop disterilkan dengan alkohol 70%. Kemudian contoh tanah disimpan dalam kantung plastik berlapis 2 yang berlubang-lubang untuk ventilasi. Contoh tanah lebih kurang 150 gram dimasukkan ke dalam stoples kaca. Selanjutnya diinfestasikan 10 larva T.

molitor yang dibungkus kain kasa dan

diinkubasikan selama lebih kurang 8 hari. Setiap 2 hari sekali dilakukan pembongkaran tanah untuk memindahkan larva yang mati.

Larva yang mati kemudian dikeluarkan dan dibilas dengan alkohol dan aquades steril. Pemerangkapan nematoda entomopatogen kemudian dilanjutkan dengan menggunakan metode ekstraksi White trap. Larva yang mati diletakkan di cawan petri kecil yang telah dilapisi kertas saring lembab. Cawan petri kecil tersebut kemudian diletakkan ke dalam cawan petri besar dan dituangi aquades steril hingga setengah dari cawan petri kecil. Cawan petri besar ditutup dengan penutup cawan petri. Diharapkan setelah 1-2 minggu nematoda bermigrasi ke dalam aquades.

Nematoda entomopatogen

diperbanyak secara in vivo menggunakan larva T. molitor. Sebanyak 10 ekor larva dimasukkan ke dalam cawan petri yang didalamnya telah dilapisi kertas saring lembab. Selanjutnya 2 ml suspensi nematoda entomopatogen diteteskan pada tubuh larva. Cawan petri kemudian ditutup dan dibungkus menggunakan

plastik wrapping untuk menghindari kontaminasi dari jamur dan serangga parasitoid. Cawan petri diinkubasikan selama lebih kurang 3 hari. Larva yang terinfeksi selanjutnya dicuci menggunakan alkohol dan aquades steril dan dilakukan proses white trap.

Uji Virulensi Nematoda Entomopatogen pada Larva Plutella xylostella

Uji virulensi dilakukan dengan metode kertas saring yang diletakkan pada cawan petri yang mempunyai diameter 9 cm. Sebelum digunakan cawan petri dan kertas saring disterilkan menggunakan

autoclave dengan tekanan 120 atm. Kertas

saring yang sudah steril dimasukkan ke dalam cawan petri. Dua puluh lima larva

P. xylostella instar 3 dimasukkan ke

dalam cawan petri diameter 9 cm kemudian isolat nematoda entomopatogen asal lahan kubis dengan konsentrasi 100 JI/ml, 200 JI/ml, 400 JI/ml dan 800 JI/ml akuades diinokulasikan ke dalam cawan tersebut. Pada perlakuan kontrol, larva diaplikasi dengan air steril. Larva diberi pakan kubis segar dan dipelihara pada suhu ruang. Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok dengan empat perlakuan yaitu konsentrasi juvenil infektif dan menggunakan lima kelompok berdasarkan waktu aplikasi, sehingga didapatkan satuan percobaan. Parameter yang diamati adalah jumlah P. xylostella yang mati, waktu dan perubahan tampilan pada P. xylostella. Pengamatan dilakukan setiap 24 jam. Persentase mortalitas dihitung dengan rumus sebagai berikut (Sucipto, 2008):

Apabila terdapat kematian pada kontrol (tidak lebih dari 20%) maka dilakukan

(4)

4 perhitungan menggunakan rumus Abbots (1952) sebagai berikut :

Keterangan :

Pt = persentase banyaknya serangga yang mati setelah dikoreksi

Po = persentase banyaknya serangga yang mati pada perlakuan

Pc = persentase banyaknya serangga yang mati pada kontrol

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji virulensi nematoda entomopatogen terhadap larva P. xylostella menunjukkan bahwa tingkat

kepadatan populasi nematoda

entomopatogen berpengaruh terhadap persentase mortalitas P. xylostella.

Semakin tinggi kepadatan populasi nematoda semakin tinggi pula mortalitas larva P. xylostella (Tabel 1). Hal ini diduga karena semakin banyak nematoda yang diaplikasikan maka semakin besar potensi untuk menginfeksi inang. Uhan (2008) mengemukakan bahwa semakin tinggi kepadatan populasi nematoda entomopatogen maka semakin besar peluang bagi nematoda untuk menemukan

inang dan melakukan penetrasi ke dalam tubuh inang.

Pada pengamatan 24 JSA (Jam Setelah Aplikasi) perlakuan 400 dan 800 JI/ml berpengaruh nyata apabila dibandingkan dengan perlakuan 100 dan 200 JI/ml terhadap mortalitas P. xylostella. Kematian belum mencapai

50% pada semua perlakuan hal ini diduga karena nematoda entomopatogen memerlukan waktu untuk menginvasi serangga inang. Uhan (2008) menyatakan

bahwa nematoda entomopatogen

memerlukan waktu untuk kontak sampai terjadinya infeksi pada serangga inang. Setelah nematoda entomopatogen masuk ke dalam tubuh serangga inang, sistem pencernaan nematoda entomopatogen yang semula tertutup mulai aktif membuka dan mengeluarkan bakteri simbion ke dalam hemolimfa.

Pada pengamatan 48 JSA terjadi peningkatan mortalitas P. xylostella pada semua perlakuan. Pada perlakuan 100, 200 JI/ml tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas P. xylostella, namun berpengaruh nyata apabila dibandingkan dengan perlakuan 800 JI/ml. Pada kepadatan nematoda entomopatogen 400 JI/ml dan 800 JI/ml tingkat mortalitas P.

xylostella mencapai 53,23% dan 63,33%.

Peningkatan mortalitas diduga karena bakteri yang ada di dalam tubuh nematoda Tabel 1. Rata-rata persentase mortalitas kumulatif larva Plutella xylostella

Konsentrasi Mortalitas larva P. xylostella (%)

24 JSA 48 JSA 72 JSA 96 JSA

100 JI/ml 5,60 a 34,05 a 63,64 a 74,04 a

200 JI/ml 16,87 b 46,61 ab 73,81 ab 84,10 ab

400 JI/ml 26,59 c 53,23 bc 73,24 ab 85,91 ab

800 JI/ml 32,80 c 63,33 c 87,66 b 89,96 b

Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang berbeda tidak nyata pada uji Duncan taraf 5%

(5)

5 telah dilepaskan dan berkembang biak di dalam tubuh larva. Hal ini menyebabkan meningkatnya mortalitas P. xylostella. Poinar dan Grewal (2012) menyatakan bahwa ketika juvenil infektif masuk ke dalam rongga tubuh inang yang sesuai maka bakteri akan dikeluarkan dan berkembang biak dengan cepat di dalam tubuh inang sehingga inang akan mati dalam dua hari. Nematoda akan berkembang dan bereproduksi di dalam tubuh bangkai inang, makan bakteri simbiotik dan mendegradasi jaringan tubuh inang.

Pada pengamatan 72 dan 96 JSA

semua perlakuan nematoda

entomopatogen menunjukkan peningkatan mortalitas P. xylostella. Namun semua perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap mortalitas P. xylostella.

Mekanisme patogenesitas nematoda entomopatogen diawali dengan terjadinya penetrasi nematoda ke dalam tubuh P.

xylostella melalui lubang-lubang alami

seperti spirakel, mulut dan anus. Pernyataan ini didukung oleh Nugrohorini (2007) yang menyatakan bahwa larva P.

xylostella instar III mempunyai spirakel

yang berukuran lebih lebar sehingga menyebabkan nematoda entomopatogen lebih mudah untuk melakukan penetrasi, karena spirakel merupakan jalan masuknya nematoda ke dalam tubuh P.

xylostella. Farman (2012) menambahkan

bahwa juvenil infektif heterorhabditis masuk melalui lubang alami dan dinding tubuh. Nematoda genus ini memiliki gigi dorsal di daerah anterior yang membantu mereka untuk masuk ke hemocoel serangga inang dengan cara menyobek kutikula membran intersegmental. Setelah di hemocoel serangga juvenil infektif melepaskan sel-sel bakteri simbiotik dari ususnya. Juvenil infektif memperbanyak diri didalam hemolimfa serangga. Hemolimfa serangga menyediakan media yang kaya untuk sel bakteri, bakteri akan

berkembang biak dan melepaskan toxin dan exoenzyme dan membunuh inang dalam waktu dua hari. Bakteri ini juga memproduksi antibiotik dan zat berbahaya lainnya yang melindungi cadaver serangga dari mikroba lain.

Nematoda mulai berkembang, memakan bakteri dan masuk ke tahap juvenil infektif empat dan mencapai dewasa dalam waktu 2-3 hari. Nematoda berkembang terus selama dua sampai tiga generasi hingga sumber makanan habis, pertumbuhan nematoda dewasa ditekan sehingga juvenil infektif akan menumpuk. Juvenil infektif akan keluar dari cadaver serangga inang, mereka dapat bertahan hidup selama beberapa bulan tanpa makan. Larva P. xylostella yang terinfeksi nematoda entomopatogen

menunjukkan gejala perubahan

pergerakan dan warna kutikula. Larva yang semula bergerak aktif lama-kelamaan gerakan larva menjadi lambat dan cenderung diam. Warna kutikula larva yang semula hijau muda berubah menjadi kemerahan dan tubuhnya menjadi lembek (Gambar 1). Apabila tubuh larva ditekan maka akan mudah hancur.

Terjadinya kematian P. xylostella diduga karena P. xylostella tidak mampu mempertahankan diri melawan serangan nematoda, sehingga nematoda mampu berkembang biak di dalam tubuh P.

xylostella yang akhirnya menyebabkan

kematian. Hal ini didukung oleh Nugrohorini (2007) yang menyatakan bahwa serangga mempunyai reaksi pertahanan diri berupa senyawa anti bakteri.

Hazir, Kaya, Stock, Keskin (2003) menyatakan untuk melawan sel-sel bakteri, serangga dapat menggunakan aprotein anti bakteri atau fagositosis diikuti oleh pembentukan nodul untuk menonaktifkan nematoda, hemosit serangga membentuk kapsul (enkapsulasi) diikuti dengan melanisasi.

(6)

6 Gambar 1. Larva Plutella xylostella (a:

larva yang sehat dan b: larva yang terinfeksi nematoda entomopatogen)

Lethal Time (LT50)

LT50 adalah waktu yang dibutuhkan

agar kematian populasi larva yang diujikan mencapai 50% dari seluruh populasi yang diujikan. Berdasarkan hasil analisis probit, untuk dapat mematikan 50% serangga uji pada kepadatan 400 JI/ml dibutuhkan waktu 37,960 jam. Gambar 2 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara pertambahan waktu dengan kematian larva P. xylostella. Bertambahnya waktu dengan

konsentrasi 400 JI/ml dapat meningkatkan kematian pada larva P. xylostella.

Gambar 2. Grafik lethal time larva Plutella xylostella akibat infeksi nematoda entomopatogen dengan kepadatan 400 JI/ml

(7)

7 KESIMPULAN

Uji virulensi nematoda

entomopatogen terhadap larva P. xylostella menunjukkan bahwa tingkat

kepadatan populasi nematoda

entomopatogen berpengaruh terhadap persentase mortalitas P. xylostella.

Semakin tinggi kepadatan populasi nematoda semakin tinggi pula mortalitas larva P. xylostella. Nilai LT50 dengan

konsentrasi nematoda entomopatogen 400 JI/ml tercapai setelah 37,96 jam setelah aplikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, B.J., Nguyen, K.B., 2002. Taxonomy and systematics. Pp. 1-33. In: Entomopathogenic Nematology (Gaugler, R., ed.). CABI Publishing, Wallingford, UK.

Ehlers, R.U. 2009. The evaluation of multiplication capacity in Galleria of entomopathogenic nematode isolates from Vietnam. Tap chi sinh hoc 31 (2): 1-7.

Farman, A. 2012. Cold tolerance mechanisms of entomopathogenic nematodes. Thesis. University of Otago. New Zealand.

Hazir, S., Kaya, H.K., Stock, S.P., Keskin, N. 2003. Entomopathogenic nematodes (Steinernematidae and Heterorhabditidae) for biological control of soil pests. Jurnal Biologi 27: 181-202.

Herlinda, S., Thalib, R. dan Saleh, R.M.

2004. Perkembangan dan

preferensi Plutella xylosella L. (Lepidoptera: Plutellidae) pada lima jenis tumbuhan inang. Jurnal hayati 11(4): 130-134.

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pest of Crop in Indonesia. Ichtiar Baru, Van Hoeve. Jakarta.

Mulyaningsih, L. 2010. Aplikasi agensia hayati atau insektisida dalam pengendalian hama Plutella xylostella Linn dan Crocidolomia binotalis Zell untuk peningkatan

produksi kubis (Brassica oleracea L.). Media soerjo 7 (2).

Nugrohorini. 2007. Uji toksisitas nematoda Steinernema sp. (isolat Tulungangung) pada hama tanaman sawi (Brassica juncea) di laboratorium. Jurnal Pertanian Mapeta 10 (1): 1-6 .

Poinar, G.O., Grewal, P.S. 2012. History of entomopathogenic nematology. Journal Nematology 44 (2): 153-161.

Shelton, A.M., Robertson, J.L. Tang, J.D., Perez, C., Eigenbrode, S.D., Preisler, H.K., Wilsey, W.T., Cooley, R.J. 1993. Resistence of diamondback moth (Lepidoptera: Plutellidae) to Bacillus thuringiensis subspecies in the

field. Journal economic entomology 86 (3): 697-705. Simanjutak, D.R. 2007. Aplikasi

insektisida Bacillus thuringiensis

dan λ-sihalotrin untuk

mengendalikan berbagai hama pada pertanaman kubis dan pengaruhnya terhadap arthropoda bukan sasaran. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sucipto. 2008. Persistensi nematoda entomopatogen Heterorhabditis (All Strain) isolat lokal Madura terhadap pengendalian rayap tanah

Macrotermes sp. (Isoptera:

Termitidae) di lapang. Jurnal Embryo 5 (2): 193-208.

Talekar, N.S., Shelton, A.M. 1993.

Biology, ecology, and

(8)

8 moth. Annual reviews 38: 275-301.

Uhan, T.S. 2008. Kemangkusan

nematoda entomopathogen

Steinernema carpocapsae terhadap

hama penggerek umbi atau daun (Phthorimae operculella Zell) kentang. Jurnal Hortikultura 18 (1): 46-54.

Gambar

Gambar  2.  Grafik  lethal  time  larva  Plutella  xylostella  akibat  infeksi  nematoda  entomopatogen dengan kepadatan 400 JI/ml

Referensi

Dokumen terkait

Polysindo Eka Perkasa secara umum telah menggunakan ciri-ciri display yang baik seperti menggunakan kalimat yang pendek, menggambarkan kejadian yang sebenarnya dan menyampaikan

Algoritma FLC diimplementasikan pada AR.Drone 2.0 Elite Edition dengan menggunakan software LabVIEW dan diuji dengan beberapa macam trajectory antara lain garis

Berdasarkan dari proses analisis sistem pemindah tenaga pada motor yamaha vixion menggunakan sistem kopling manual, yang mana putaran dari poros engkol diteruskan ke primary drive

Notation of partial differentiation (107) Particle and phase velocities (109) The wave equation (110) Transverse waves on a string (111) The string as a forced oscillator

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan anggrek pada medium dengan penambahan paclobutrazol pada semua konsentrasi perlakuan (1, 3, dan 5 mg/l) mengalami

Dari hasil Pengujian daya antimokrabanya menggunakan Bakteri uji Streptococcus mutans sebagai bakteri penyebab Karies gigi memperlihatkan Formula Gargarisma yang

Dalam pengajuan masalah situasi bebas sebanyak 72 soal menggunakan strategi rekonstruksi, hal ini menunjukkan bahwa soal yang diajukan oleh siswa dipengaruhi oleh

Di sini saya sebut beberapa saja: sekurang-kurangnya seekor untuk “ nga’ötö nuwu ” (paman dari ibu mempelai perempuan), sekurang-kurangnya seekor sampai tiga ekor untuk