• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN ILMIAH ALIH KODE CAMP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN ILMIAH ALIH KODE CAMP"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

(2)

terjadinya, kemampuan memahami dan mengungkapkan, bahkan dari segi hubungan ungkapan dengan maknanya.

(3)

merupakan suatu peristiwa sosial dalam suatu masyarakat yang terjadi karena adanya interaksi dalam berkomunikasi.

Lebih lanjut, tidak hanya faktor-faktor linguistik yang mampu memicu munculnya pilihan bahasa dalam berkomunikasi. Akan tetapi, hal tersebut dapat dikarenakan pula oleh beberapa faktor lain diluarnya. Penentuan pilihan Bahasa erat terkait dengan situasi sosial dalam suatu masyarakat. Faktor tingkat pendidikan, perbedaan usia, status sosial, dan juga karakter yang dimiliki seorang individu mampu mempengaruhi seorang individu tersebut untuk menentukan pilihan bahasa mereka ketika berkomunikasi dengan individu lain.

Demikian pula situasi yang melatarbelakangi suatu pembicaraan juga dapat mempengaruhi bagaimana sebuah bahasa akan dipilih untuk dipergunakan. Pemilihan bahasa merupakan gejala dalam aspek kedwibahasaan yangdikarenakan di dalam repertoire-nya terdapat lebih dari satu bahasa. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pilihan

bahasa pasti bergantung pada beberapa faktor, seperti faktor partisipan, topik, suasana, ranah, dan lain sebagainya. Dalam interaksi sosial sehari-hari dengan penutur lainnya, tentu biasanya secara terusmenerus yang tanpa disadari kita telah menggunakan variasi bahasa. Dari variasi bahasa itulah nantinya muncul seorang individu yang memilih bahasa dalam komunikasinya. Misalkan guru saat berkomunikasi dengan siswanya. Dalam hal ini, ia memilih satu dari minimal dua bahasa yang dikuasainya, misalnya dipilih bahasa Indonesia ketika guru menegur atau memberikan nasihat kepada siswanya.

(4)

Fenomena Bahasa yang dimaksud meliputi gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi (alih kode), dan gejala pencampuran pemakaian bahasa karena berubahnya situasi (campur kode). Beberapa fenomena tersebut dapat berasal dari dalam diri guru itu sendiri (internal) ataupun dari luar dirinya (eksternal). Manusia berinteraksi dengan sesamanya, dimana dalam komunikasi yang terjadi dari interaksi tersebut, penutur dapat menggunakan lebih dari satu Bahasa yang dikuasainya. Akibatnya, terjadi adanya peristiwa kontak antarbahasa dari interaksi tersebut. Fenomena kontak antarbahasa yang dimaksud diantaranya adalah alih kode dan campur kode dalam suatu tindak komunikasi. Alih kode merupakan suatu gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi tutur. Terjadinya peristiwa peralihan bahasa tersebut ditentukan oleh hubungan antara penutur dengan mitra tutur, kehadiran pihak ke-3, dan pengambilan keuntungan.

Selanjutnya, fenomena peralihan bahasa yang dimaksud bisa tampak pada tindak komunikasi santar santri kelas 1 tsanawi. Sebagai contoh ketika dua orang santri berasal dari suku yang sama misalnya Sunda, mereka melakukan percakapan menggunakan Bahasa Sunda, akan tetapi ketika datang temannya yang orang NTT, mereka beralih kode menjadi Bahasa Indonesia.

Dalam suatu tindak komunikasi, bentuk alih kode dapat terjadi pada penggunaan bahasa formal maupun bahasa informal. Hal tersebut didasarkan pada bentuk bahasa yang digunakan dalam tindak komunikasi yang terjadi. Sementara itu, dari segi hubungan antarbahasa, bentuk alih kode dapat terjadi pada seorang penutur yang mengalihkan bahasa yang tengah digunakannya dari Bahasa Sunda ke Bahasa Indonesia atau sebaliknya.

1.2 Rumusan Masalah

(5)

membatasi masalah dan merumuskan pertanyaan penelitian.” Penelitian ini membahas tentang Alih Kode dan Campur Kode Antara Bahasa Sunda, Bahasa NTT, dan Bahasa Indonesia di kelas 1 tsanawi putri pondok pesantren Al-Hasan, dengan rumusan masalanya adalah “Bagaimanakah proses campur kode anatar Bahasa Sunda, Bahasa NTT, dan Indonesia di kelas 1 tsanawi putri pondok pesantren Al-Hasan?”

1.3 Tujuan Penelitian

“Tujuan penelitian pada dasarnya adalah rumusan apa yang ingin dicapai dari penelitian tersebut” (Sudjana dan Ibrahim, 2009:171). Adapun tujuan penelitian ini adalah “Mendeskripsikan proses alih kode dan campur kode anatar Bahasa Sunda, Bahasa NTT, dan Bahasa Indonesia di kelas 1 tsanawi putri pondok pesantren Al-Hasan”.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari analisis proses alih kode dan campur kode anatar Bahasa Sunda, Bahasa NTT, dan Bahasa Indonesia di kelas 1 tsanawi putri pondok pesantren Al-Hasan ini diantaranya:

a. Manfaat Teoritis

1) Diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan dalam bidang Bahasa. b. Manfaat Praktis

1) Bagi penulis

Menjadi jawaban dari masalah yang dirumuskan. Selain itu, dengan selesainya penelitian ini diharapkan dapat menjai motivasi bagi peneliti untuk semakin aktif menyumbangkan hasil karya ilmiah bagi dunia pendidikan Bahasa.

(6)

Bagi pembaca diharapkan dapat lebih memahami sistematika Bahasa dengan baik, salah satunya penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain itu, diharapkan pembaca semakin jeli dalam memilih kata-kata ketika melakukan pembicaraan, agar terhindar dari kesalahan berbahasa mencampurkan satu kode Bahasa dengan kode Bahasa lainnya.

1.5 Kerangka Penelitian

Bahasa merupakan sistem lambng bunyi yang bersifat arbiter (Manasuka) ,yang digunakan oleh anggota suatu masyarkat untuk bekerjasama, berinteraksi ,dan juga untuk mendefinisikan diri. Hal tersebut sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007). Austin (1968), membagi dimensi tindak tutur kedalam tiga hal ,yaitu tindak tutur lokusi (penyampaian pesan ), tindak tutur ilokusi (menyebkan afeksi dari tuturan), tindak tutur perlokusi (tindak lanjut dari tindak tutur lokusi dan tindak tutur ilokusi : perwujudan tindakan).

Sudjana dan Ibrahim (2009 : 170) menytakan “Perumusan masalah diawali dengan identifikasi atau analisis masalah , menetapkan ruang lingkup masalah yang diteliti, membatasi masalah dan merumuskan pertanyaan penelitian.”

Sudjana dan Ibrahim ( 2009:171) menyatakan bahwa “Tujuan penelitian pada dasarnya adalah rumusan apa yang ingin dicapai dari penelitian tersebut.”

Alih kode adalah penggunaan bahasa lain atau variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain ataupun dikarenakan adanya partisipan yang lain. Hal tersebut sesuai dengan Kmus Besar Bahasa Indonesia.

(7)

Kridalaksana (1984 : 102) mengartikan kode sebagai: “(1) Lambang atau sistem ungkapan yang dipakai dalam menggambarkan makna tertentu, dan bahasa manusia adalah sejenis kode; (2) sistem bahasa dalam suatu masyarakat; (3) variasi tertentu dalam bahasa”.

Wardhaugh ,1988 (dalam buku Rahardi, 2001 : 22) menyatakan bahwa, kode adalah semacam sistem yang dipakai dua orang atau lebih untuk berkomunikasi.

Jendra (2001) menerangkan bahwa alih kode adalah situasi di mana seorang pembicara dengan sengaja mengganti kode bahasa yang sedang ia gunakan karena suatu alasan.

Pietro ,1977 (dalam buku Jendr 2001 : 74) menyatakan bahwa code switching is the use of more than one language by communicants in the execution of a speech act .

Suwito (1985 : 69) menyebutkan ,“Pemakaian dua bahasa atau lebih dalam alih kode ditandai oleh: 1) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, dan 2) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan kodenya .

Gal dalam Wardhaught (1992: 103) mengatakan bahwa :

“code switching is a conversational strategy used to establish, cross or destroy group

boundaries; to create, evoke or change interpersonal relations with their rights and

obligations.” Hal ini menunjukkan bahwa di dalam peristiwa alih kode terdapat

penyebab hubungan interpersonal dimana seorang individu mengalihkan Bahasa dalam komunikasinya yang didasarkan atas suatu kebenaran ataupun suatu keharusan

(8)

Nababan (1984) menyatakan bahwa konsep alih kode mencakup juga kejadian dimana kita beralih dari satu ragam fungsiolek (ragam santai misalnya) ke ragam lain (ragam resmi atau formal misalnya), atau dari satu dialek ke dialek yang lainnya, dan lain sebagainya. Hymes (dalam Chaer dan Agustina: 2004) menyatakan bahwa : peristiwa alih kode itu terjadi antarbahasa. Namun, Hymes menyatakan bahwa alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, melainkan dapat terjadi pula antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat di dalam satu bahasa.

Hymes (dalam Rahardi: 2001) juga menyebutkan apa yang disebut sebagai alih kode intern (internal code switching), yakni alih kode yang terjadi antarbahasa daerah dalam satu

(9)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Bilingualisme

Secara sederhana, kedwibahasaan atau yang dikenal dengan istilah bilingualisme dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan individu dalam menguasai dua bahasa dalam komunikasinya. Berdasarkan KBBI (2007), kedwibahasaan dapat didefinisikan sebagai suatu perihal mengenai pemakaian atau penguasaan dua bahasa (seperti penggunaan bahasa daerah di samping bahasa nasional); bilingualisme.

Kedwibahasaan dipandang sebagai wujud dalam suatu peristiwa kontak bahasa. Suwito (1982) menjelaskan bahwa istilah kedwibahasaan merupakan istilah yang pengertiannya bersifat nisbi atau relatif. Hal tersebut dikarenakan pengertian dari kedwibahasaan berubah-ubah dari masa ke masa. Perubahan yang dimaksud dipengaruhi dengan adanya sudut pandang atau dasar pengertian dari bahasa itu sendiri yang berbeda-beda. Lebih lanjut, kenisbian yang dimaksud terjadi karena batas seseorang untuk dapat disebut dwibahasawan itu bersifat arbitrer atau hampir tidak dapat ditentukan secara pasti.

(10)

... Weinreich ... kedwibahasaan adalah the pratice of alternately using two languages

(kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian) (Garis bawah dari

penulis).

... Blommfield ... kedwibahasaan adalah native like control of two languages (penguasaan

yang sama baiknya terhadap dua bahasa) (Garis bawah dari penulis)

(sic!). ...

... Mackey (dalam Rusyana ... kedwibahasaan adalah the alternative use of two of more

languages by the same individual (kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh

seseorang) (Garis bawah dari penulis).

Meskipun terdapat adanya pendapat yang tidak disetujui, yaitu pendapat dari Bloomfield karena syarat dari ”native like control of two languages” yang berarti setiap bahasa dapat digunakan dalam setiap keadaan dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti yang digunakan oleh para penuturnya. Akan tetapi, anggapan ini tidaklah mungkin atau sulit untuk diukur. Oleh karena itu, pendapat dari Bloomfield ini pun dianggap sebagai salah satu jenis kedwibahasaan. Sedangkan Mackey (dalam Aslinda dan Syafyahya: 2007), mengatakan bahwa dalam membicarakan kedwibahasaan tercakup beberapa pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran/alih kode, percampuran/campur kode, interferensi, dan integrasi. Dari pendapat tersebut, penulis menggaris bawahi bahwa dalam dunia kedwibahasaan seseorang ataupun kedwibahasaan pada guru, pastilah dijumpai beberapa pengertian yang setidaknya mengenai pertukaran bahasa atau alih kode dan percampuran bahasa atau campur kode yang secara mendasar akan diberikan definisi serta tipologi dari kedua masalah tersebut pada bagian selanjutnya.

(11)

melakukan komunikasi sehari-hari secara bergantian dengan baik. Sedangkan seseorang yang terlibat dalam kegiatan atau praktik menggunakan dua bahasa secara bergantian itulah yang disebut dengan bilingualnya atau yang kita kenal dengan istilah dwibahasawan.

Macnamara (dalam Rahardi: 2001) mengusulkan bahwa batasan bilingualisme sebagai pemilikan penguasaan (mastery) atas paling sedikit Bahasa pertama dan bahasa kedua, kendatipun tingkat penguasaan bahasa yang kedua tersebut hanyalah pada sebatas tingkatan yang paling rendah. Namun, batasan yang demikian itu nampaknya cukup realistis karena di dalam kenyataannya tingkat penguasaan bahasa pertama dengan bahasa kedua tidak pernah akan sama. Pada kondisi tingkat penguasaan bahasa kedua yang paling rendah pun, menurut pandangan Macnamara, masih dapat dikatakan sebagai seorang yang bilingual. Haugen (dalam Rahardi: 2001) agaknya juga sejalan dengan dengan batasan yang dikemukakan oleh Macnamara tersebut. Pernyataannya adalah bahwa bilingualisme dapat diartikan sebagai sekedar mengenal bahasa kedua (bdk. Sumarsono: 1993). Meninjau akan hal tersebut, terdapat berbagai jenis kedwibahasaan menurut Kamaruddin (dalam Santosa: 2005). Jenis kedwibahasaan yang dimaksud diantaranya kedwibahasaan apabila ditinjau dari ketersebarannya, kedwibahasaan itu dibagi menjadi kedwibahasaan perorangan (individual bilingualism) yang mengacu kepada kemampuan individu dalam menggunakan dua bahasa dan kedwibahasaan masyarakat (societal bilingualism), yaitu kemampuan sekumpulan individu dalam suatu kelompok masyarakat dalam menggunakan dua Bahasa dalam melakukan komunikasinya.

(12)

menganggap bahwa individu adalah dwibahasawan apabila individu itu mampu untuk melahirkan tuturan dalam dua bahasa secara memuaskan.

2.2 Alih Kode

2.2.1 Pengertian Alih Kode

Berdasarkan KBBI (2007), alih kode adalah penggunaan bahasa lain atau variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain ataupun dikarenakan adanya partisipan yang lain. Appel (dalam Chaer dan Agustina: 40-2004) mengemukakan bahwa alih kode merupakan suatu gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Gejala peralihan bahasa yang dimaksud tentulah melibatkan lebih dari dua bahasa yang digunakan dalam tindak komunikasi.

Kridalaksana (1984) mengartikan kode sebagai: “(1) Lambang atau sistem ungkapan yang dipakai dalam menggambarkan makna tertentu, dan bahasa manusia adalah sejenis kode; (2) sistem bahasa dalam suatu masyarakat; (3) variasi tertentu dalam bahasa” (hlm. 102). Secara lebih sederhana, Wardhaugh (1988) menyatakan bahwa, kode adalah semacam sistem yang dipakai dua orang atau lebih untuk berkomunikasi (Rahardi, 2001: 22).

Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa dalam masyarakat bilingual atau multilingual. Artinya dalam masyarakat bilingual atau multilingual mungkin sekali seorang penutur menggunakan berbagai kode dalam tindak tuturnya sesuai dengan situasi dan berbagai aspek yang melingkupinya.

(13)

is the use of more than one language by communicants in the execution of a speech act

(Jendra, 2001: 74).

Salah satu ciri alih kode adalah adanya aspek ketergantungan bahasa di dalam masyarakat multilingual. Artinya di dalam masyarakat multilingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak tanpa sedikitpun memanfaatkan bahasa lain. Ciri yang lain diungkapkan oleh Suwito (1985) bahwa,“Pemakaian dua bahasa atau lebih dalam alih kode ditandai oleh: 1) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, dan 2) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan kodenya “(hlm. 69). Hal ini berarti, alih kode dapat dikatakan memiliki fungsi sosial. Berdasarkan sifatnya, alih kode dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu, alih kode intern dan alih kode ekstern. Alih kode intern adalah alih kode yang terjadi antarbahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa nasional, misalnya bahasa Jawa dan bahasa Madura. Alih kode ekstern merupakan alih kode yang terjadi antara bahasa asli dengan bahasa asing, misalnya bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Hal ini sesuai dengan pendapat Soewito yang membedakan alih kode menjadi dua macam, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern.

Gal dalam Wardhaught (1992: 103) mengatakan bahwa “code switching is a conversational strategy used to establish, cross or destroy group boundaries; to create,

evoke or change interpersonal relations with their rights and obligations.” Hal ini

(14)

Dari pernyataan tersebut jelas bahwa dalam kedwibahasaan dan anekabahasa, kita akan menemukan peristiwa alih kode. Alwasilah (1986) menyatakan bahwa, dalam sosiolinguistik, perpindahan dari satu dialek ke dialek yang lainnya lazim disebut dengan dialect switching atau code shifting (alih kode). Nababan (1984) menyatakan bahwa

konsep alih kode mencakup juga kejadian dimana kita beralih dari satu ragam fungsiolek (ragam santai misalnya) ke ragam lain (ragam resmi atau formal misalnya), atau dari satu dialek ke dialek yang lainnya, dan lain sebagainya. Dari pernyataan tersebut menandakan bahwa fenomena alih kode ini muncul dari seorang individu yang menguasai minimal dua bahasa (bahasa ibu dan bahasa yang dipelajari) dalam komunikasinya.

Hymes (dalam Chaer dan Agustina: 2004) menyatakan lain tentang alih kode seperti halnya dikemu kakan oleh Appel yang menyatakan bahwa peristiwa alih kode itu terjadi antarbahasa. Namun, Hymes menyatakan bahwa alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, melainkan dapat terjadi pula antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat di dalam satu bahasa. Secara lengkapnya, Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 108), mengatakan ”code switching has become a common term for alternate us of two or more language, varieties of language, or even speech styles”.

(15)

kesadaran dari si pemakai Bahasa tersebut. Dengan demikian, alih kode itu sendiri merupakan suatu gejala peralihan pemakaian bahasa yang terjadi karena berubahnya situasi. Alih kode terjadi antarbahasa, dapat pula terjadi antarragam dalam satu bahasa.

Chaer dan Agustina (2004) mengemukakan contoh dari peristiwa alih kode. Sebagai contoh dari peristiwa alih kode, simaklah ilustrasi berikut yang menunjukkan peristiwa alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia (diangkat dari Widjajakusumah: 1981). Pada contoh (7) menunjukkan peristiwa alih kode yang berlatar belakang kompleks perumahan guru di Bandung. Para pembicara adalah ibu-ibu rumah tangga, yaitu Ibu S dan Ibu H yang merupakan orang Sunda, dan Ibu N yang tidak bisa berbahasa Sunda. Topik pembicaraan yang melatarbelakangi peristiwa alih kode adalah air ledeng yang tidak keluar. Hadirnya pihak ketiga, yaitu Ibu N yang tidak bisa berbahasa Sunda dalam peristiwa tutur menyebabkan Ibu H mengalihkan bahasa dalam komunikasinya dari bahasa Sunda ke bahasa

Indonesia. Contoh tindak komunikasi yang terjadi adalah sebagai berikut.

Ibu S : “Bu H, kumaha cai tadi wengi? Di abdi mah tabuh sapuluh nembe ngocor, kitu ge alit.”

Ibu H : “Sami atuh. Kumaha Ibu N yeuh, ‘kan biasanya baik’...”

Ibu S : “Bu H, bagaimana air ledeng tadi malam? Di rumah saya sih pukul sepuluh baru keluar, itu pun kecil.”

Ibu H : “Samalah. Bagaimana Bu N ni, kan biasanya baik...”

(16)

untuk beralih kode adalah ke dalam Bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia itulah yang dipahami oleh mereka bertiga.

Lebih lanjut, sebagai upaya memberikan penjelasan dari peristiwa alih kode, berikut disajikan pula contoh lain untuk mempermudah pemahaman. Sebagai contoh, berikut penyajian ilustrasi peristiwa alih kode yang terjadi antara kepala sekolah (Kepsek) yang tidak bisa berbahasa Prancis, guru bahasa Prancis, dan siswa. Pengalihan bahasa dari bahasa Prancis ke bahasa Indonesia tampak pada tindak komunikasi guru bahasa Prancis yang disebabkan oleh hadirnya pihak ketiga, yaitu kepala sekolah, dalam peristiwa tutur. Hadirnya kepala sekolah bertepatan dengan diskusi guru-siswa seputar materi pelajaran bahasa Prancis

dengan tema “Les Sports” (Olahraga). Contoh tindak komunikasi yang dimaksud tampak pada contoh adalah sebagai berikut.

(8) Guru : “Ah bon, la semaine dernière, on a déjà appris les sports. Est-ce que quelqu’un peut citer un des types de sports?”

Siswa : “Moi, Madame. Le tennis.” Guru : “Très bien.”

(hadir kepala sekolah dalam peristiwa tutur)

Kepsek : “Permisi Bu, maaf mengganggu pelajaran sebentar karena mau memanggil siswa, Tino.”

Guru : “Tino, dipanggil Bapak kepala sekolah.”

Guru : “Ah baiklah, minggu yang lalu, kita sudah mempelajari tentang olahraga. Apa ada seseorang yang bisa menyebutkan salah satu dari tipe-tipe olahraga?”

(17)

Kepsek : “Permisi Bu, maaf mengganggu pelajaran sebentar karena mau memanggil siswa, Tino.”

Guru : “Tino, dipanggil Bapak kepala sekolah.”

Suwito (dalam Aslinda dan Syafyahya: 2007) membedakan alih kode atas dua macam, yaitu alih kode internal dan alih kode eksternal. Alih kode internal terjadi antarbahasa itu sendiri, misalnya komunikasi bahasa Jawa yang beralih ke bahasa Indonesia, atau sebaliknya.

Sementara itu, pada alih kode eksternal terjadi antarbahasa itu sendiri dan bahasa asing, misalnya komunikasi bahasa Jawa yang beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya, maupun komunikasi bahasa Indonesia yang beralih ke bahasa Prancis atau sebaliknya.

Sementara itu, Hymes (dalam Rahardi: 2001) juga menyebutkan apa yang disebut sebagai alih kode intern (internal code switching), yakni alih kode yang terjadi antarbahasa daerah dalam satu bahasa nasional, antardialek dalam satu bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu dialek. Adapun yang dimaksud dengan alih kode ekstern (external code switching) yaitu apabila yang terjadi adalah antara bahasa asli dengan Bahasa asing. Dari contoh yang diberikan oleh penulis tersebut di atas tergolong sebagai contoh pertuturan alih kode eksternal karena terjadinya dengan melibatkan bahasa asing, yaitu bahasa Prancis.

(18)

Poedjosoedarmo (1976) juga menyebut istilah alih kode sementara (temporary code switching), yakni pergantian kode bahasa yang digunakan oleh seorang penutur yang

berlangsung sebentar atau sementara saja. Di samping itu, dia juga menyebutkan alih kode yang sifatnya permanen (permanent code switching). Dikatakan demikian karena peralihan bahasa yang terjadi berlangsung secara permanen, kendatipun sebenarnya hal ini tidak mudah untuk dilakukan. Alih kode permanen biasanya berkaitan pula dengan peralihan sikap relasi atau hubungan antara penutur dan mitra tutur di dalam suatu masyarakat. Tidak mudah

bagi seorang penutur untuk mengganti kode bicaranya terhadap mitra tuturnya secara permanen (Poedjosoedarmo: 1976).

Selanjutnya, berbicara tentang arah alih kode, Poedjosoedarmo (1976) mengemukakan bahwa kode dapat beralih dari satu varian ke varian yang lain. Peralihan dapat menuju dari yang paling formil ke yang paling informil, dari yang paling menghormat ke yang paling tak menghormat, dari yang amat lengkap ke arah yang paling ringkas, dari dialek yang kurang dikuasai ke dialeknya sendiri, dan sebaliknya.

Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Pada ilustrasi di atas kita lihat, sebelum kuliah dimulai situasinya adalah tidak formal, tetapi begitu kuliah dimulai yang berarti situasi mnejadi formal, maka terjadilah peralihan kode. Tadinya digunakan bahasa indonesia ragam santai lalu berubah menjadi digunakan bahasa indonesia ragam formal . kemudian dengan berakhirnya perkuliahan, yang berarti berakhirya juga situasi formal dan kembali ke situasi tidak formal maka terjadi pula peralihan kode dari bahasa indonesia ragam formal ke bahasa indonesia ragam santai. Simaklah contoh berikut yang diangkat dari soewito (1983) berupa percakapan antara seoarang sekretaris (S) dengan majikannya (M).

(19)

M: O, ya, sudah. Inilah!

S: Terima kasih

M: Surat ini berisi permintaan borongan untuk memperbaiki kantor sebelah. Saya sudah kenal dia. Orangnya baik, banyak relasi, dan tidak ngono (... Sekarang jika usahanya ingin maju harus berani bertindak demikian..)

S: Panci ngaten, Pak (Memang begitu, Pak)

M: Panci ngaten priye? (memang begitu bagaimana)

S: Tegispun mbok modalipun kados menapa, menawi (maksudnya, betapa pun besarnya modal kalau...)

M: Menawa ora akeh hubungane lan olehe mbathi kakehan, usahane ora bakal dadi. Ngono karepmu? (kalau tidak banyak hubungan, dan terlalau banyak mengambil untung usahanya tidak akan jadi. Begitu maksudmu?)

S: Lha inggih ngaten! (Memang begitu bukan?)

M: O, ya, apa surat untuk jakarta kemarin sudah jadi dikirim?

S: Sudah, Pak. Bersamaan dengan surat Pak Ridwan dengan kilat khusus.

(20)

bisa muncul pertanyaan, mengapa dalam situasi tidak resmi, para partisispan itu (sekretaris dan majikannya) tidak menggunakan bahasa indonesia ragam santai, melainkan menggunakan bahasa jawa? Kiranya kedua partisipan dalam percakapan diatas memiliki latar belakang bahasa ibu yang sama yaitu bahasa jawa. Andaikan kedua partisipan itu memiliki latar belakang bahasa ibu yang berbeda, ada kemungkinan akan digunakan bahasa indonesia ragam tak formal. Bagaiamana pun untuk situasi tak resmi lebih mudah menggunakan bahasa pertama daripada bahasa kedua, kalau situasi mengizinkan, dan di dalam pertuturan di atas situasi memang mengizinkan dengan tiadanya orang ketiga yang tidak mengerti bahasa jawa. Andaikata dalam peristiwa tutur antara sekretaris dan majikan itu turut hadir partisipan lain yang tidak mengerti bahasa jawa, maka tentu peralihan kode itu tidak dialihkan ke bahasa jawa.

(21)

Andaikata keduanya tidak berbahasa pertama bahasa jawa tentu alih kode akan dilakukan ke dalam bahasa indonesia nonformal, bukan bahasa jawa. Alih kode tidak akan terjadi meskipun topik pembicaraan berganti, misalnya dari topik pengiriman surat menjadi topik penagihan utang atau pembayaran gaji pegawai sebab situasinya tetap formal, yang dalam masyarakat tutur indonesia harus menggunakan ragam resmi. Yang mungkin berubah adalah penggunaan registernya. Kalau perubahan register dianggap juga sebagai alih kode (sebab berubah ragam atau dialek juga dianggap peristiwa alih kode), maka persoalannya menjadi lain. Untuk kegiatan tertentu memang diperlukan register tertentu.

(22)

1) Kehadiran orang ketiga

2) Perpindaha topik dari yang nonteknis ke yang teknis

3) Beralihnya suasana bicara

4) Ingin dianggap “terpelajar”

5) Ingin mejauhkan jarak

6) Menghindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa sunda

7) Mengutip pembicaraan orang lain

8) Terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa indonesia

9) Mitra berbicarnya lebih mudah

10) Berada di tempat umum

11) Menunjukkan bahasa pertamanya bukan bahasa sunda

12) Beralih media/sara bicara

Sedangkan penyebab alih kode dari bahasa indonesia ke bahasa subda adalah karena:

1. Perginya orang ketiga

2. Topiknya beralih dari hal teknis ke hal nonteknis

3. Suasana beralih dari resmi ke tidak resmi, dan situasi kesundaan ke keindonesiaan

4. Merasa ganjil untuk tidak berbahasa sunda dengan orang sekampung

(23)

6. Ingin beradab-adab dengan menggunakan bahasa sunda halus dan berakrab-akrab dengan bahasa sunda kasar

7. Mengutip dari peristiwa biacar yang lain

8. Terpengaruh oleh lawan bicara yang lebih muda

9. Perginya generasi muda, mitra bicara lain yang lebih muda

10. Merasa di rumah sendiri, bukan ditempat umum

11. Ingin menunjukkan bahasa pertamanya adalah bahasa sunda

12. Beralih biacar biasa tanpa alat-alat seperti telepon

Tampaknya penyebab alih kode dari bahasa indonesia ke bahasa sunda merupakan kebalikan dari penyebab alih kode dari bahasa sunda ke bahasa indonesia.

(24)

sapaan yang digunakan menjadi tidak jelas, biasanya hanya “berkono-konoan” saja. Misalnya, lha kono priye? (lha di situ (kamu bagaimana?). Selanjutnya setelah perkenalan mereka menjadi intim, mereka akan beralih kode lagi dengan menggunakan ragam ngoko. Kini sang putra menyapa dengan kata sapaan dik, sedangkan sang putri dengan kata sapaan mas. Kelak bila keduanya jadi bersuami istri, maka terjadi lagi alih kode dengan menggunakan ragam ngoko halus. Kata sapaan yang mereka gunakan pun berubah menjadi bu dan pak.

Soewito membedakan adanya dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode ekterm. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, seperti dari bahasa indonesia ke bahasa jawa, atau sebaliknya, seperti percakapan antara sekretaris dan majikannya dalam ilustrasi di atas.

Sedangkan alih kode ekstern terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.

2.3 Campur Kode

Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan. Malah Hill dan Hillm (1980:122) dalam penelitian mereka mengenai masyarakat bilingual bahasa Spanyol dan Nahuali di kelompok Indian Meksiko, mengatakan bahwa tidak ada harapan untuk dapat membedakan antara alih kode dan campur kode.

(25)

ragam pendapat mengenai beda keduanya. Namun, yang jelas, kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu seperti yang sudah dibicarakan diatas. Sedangkan didalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Seorang penutur misanya yang dalam berbahasa indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya, akan muncul satu ragam bahasa indonesia yang kejawa-jawaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa jawa) atau bahasa indonesia yang kesunda-sundaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa sunda).

Secara sederhana, campur kode diartikan sebagai suatu gejala pencampuran pemakaian bahasa karena berubahnya situasi tutur. Dalam KBBI (2007), campur kode adalah: penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain untuk memperluas gaya bahasa ataupun ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan lain sebagainya; daninterferensi.

(26)

Seorang yang dwibahasawan misalnya, dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan bahasa asing, maka penutur yang dwibahasawan tersebut dapat dikatakan telah melakukan pencampuran kode. Sebagai akibatnya, muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kebarat-baratan. Lain halnya kalau seorang menyelipkan bahasa daerahnya, bahasa Jawa misalnya, ke dalam komunikasi bahasa Indonesianya. Akibatnya, akan muncul pula satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan. Peristiwa campur kode dapat terjadi pada serpihan bahasa pertama pada bahasa kedua, misalnya bahasa Indonesia yang diselingi oleh kata-kata daribahasa Inggris, bahasa Prancis, ataupun bahasa Cina. Penggunaannya pun ditentukan oleh penutur dan mitra tuturnya di tempat tertentu dan dilakukan dengan kesadaran. Sebagai contoh peristiwa campur kode, perhatikan percakapan berikut ini yang dilakukan oleh para penutur dwibahasawan Indonesia-China Putunghoa di Jakarta.

Contoh campur kode ini diangkat dari laporan Haryono (dalam Chaer dan Agustina: 2004) sebagai berikut.

Pada contoh berikut, terjadi peristiwa campur kode yang tampak pada tuturan antarpenutur, yaitu Informan III (Inf III) dan Pemasang Iklan (PI). Tindak komunikasi terjadi pada hari Senin, tanggal 18 November 1988 pada11.00 WIB di bagian iklan kantor surat kabar “Harian Indonesia”. Topik pembicaraan tampak pada saat pemasang iklan (PI) memilih halaman untuk

memasang iklan. Contoh tindak komunikasi berdasarkan ilustrasi yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Inf III : “Ni mau pasang di halaman berapa?” PI : “Di baban aja deh.”

Inf III : “Mei you a! Kalau mau di halaman lain. Baiel di baban penuh lho! Nggak ada lagi.”

(27)

Inf III : “Hao, ni guosu ta ba. Jintian degoang goa hen duo. Kalau mau ni buru-buru datang lagi!”

Inf III : “Kamu mau pasang di halaman berapa?” PI : “Di halaman delapan sajalah.”

Inf III : “Kalau mau di halaman lain. Hari Selasa di halamandelapan penuh lho! Tidak ada lagi.”

PI : “Kalau demikian, saya beritahukan direktur dulu. Dia maunya di halaman delapan.” Inf III : “Baik, kamu beritahu dia. Iklan hari ini sangat banyak. Kalau mau kamu harus segera datang lagi!”

Menurut Haryono, kedua partisipan itu sudah saling akrab. Hal tersebut Nampak dari penggunaan pronomina persona kedua tunggal ni “kamu”. Kata ganti yang sama yang menyatakan hormat adalah xiansheng. Sehingga, hal tersebut menunjukkan bahwa peristiwa yang terjadi pun adalah peristiwa kesantaian atau informal.

Dari tuturan informan III di awal dalam contoh percakapan tersebut di atas, terdapat sisipan kata bahasa Cina Putunghoa, yaitu kata “ni” yang menyelingi tuturan bahasa Indonesianya.Sedangkan dari segi tuturan pemasang iklan, terdapat sisipan kata “baban” yang menyelingi tuturan Bahasa Indonesianya tersebut. Jadi, fenomena tersebut merupakan fenomena campur kode antara informan III dan pemasang iklan yang dilakukan secara sadar.

Chaer dan Agustina (2004) mengemukakan contoh lain dari campur kode. Sebagai contoh lain dari campur kode, simaklah ilustrasi campur kode yang melibatkan hubungan antara bahasa Hindi dan bahasa Inggris sebagai berikut (Fasold diangkat dari Velma: 1976): Vinod : “Mai to kuhungaa ki yah one of the best novels of the year.

Mira : “That’s right. It is decidedly one of the best novel of the year.”

(28)

Mira : “Benar. Diputuskan novel itu memang novel terbaik tahun ini.” BAB IIII

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertetu. Dengan metoe penelitian, peneliti akan mendpatkan data yang dibutuhkan, sehingga akan mempermudah pelaksanaan penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arikunto (2002:136)”Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitian”.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Menurut Sugiyono (2012:9) metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, di mana peneliti adalah instrument kunci. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara.

3.2 Desain Penelitian

(29)

3.3 Fokus Kajian

Sugiyono (2014:209) “Dalam penelitian kualitatif, penentuan focus dalam penelitian lebih didasarkan pada tingkat kebaruan informasi yang akan doperoleh dari situasi social (lapangan). Penyajian focus kajian dimaksudkan agar memperjelas bentuk kerja penelitian yang ditempuh. Pada aspek ini, dideskripsikan focus kajian beserta indicator yang dapat menguarikan dan memberikan focus kajian tersbut.

(30)

percakapan situasi.

Prosedur penelitian dilakukan dengan cara sebagai berikut. a. Tahap persiapan

 Menentukan kelas yang akan diteliti

 Menyiapkan buku penunjang penelitian

b. Tahap pelaksanaan

 Mendengarkan percakapan santri 1 tsanawi ketika belajar

 Pengumpulan data

 Menganalisis alih kode dan campur kode

c. Tahap pelaporan

 Penyususnan laporan penelitian karya ilmiah

3.5 Teknik dan Instrumen Penelitian

(31)

Sugiyono (2014:137) menyebutkan dalam penelitian kualitatif pengumpulan data dilakukan dengan interview (wawancara), observasi (pengamatan), dokumentasi, dan gabungan ketiganya (triangulasi). Berdasarkan teori tersebut, maka teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut.

a. Wawancara (interview)

Dalam penelitian ini, penulis melakukan wawancara tidak terstruktur, supaya dalam pelaksanaannya lebih bebas disbanding dengan wawancara terstruktur.

b. Observasi

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara observasi. Observasi dilakukan karena objek yang diteliti berkaitan dengan perilaku manusia, proses kerja manusia yang bersanguktan dengan alam.

c. Dokumentasi

Sugiyono (2014:240) menyatakan:

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan (life histories), cerita, biografi, peraturan kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film dan lain-lain. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.

(32)

BAB 1V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Peneliti mengikuti proses belajar santri kelas 1 tsanawi. Pelaksanaannya diikuti oleh peneliti hingga akhir. Peneliti melakukan wawancara terhadap salah satu santri yang berasal dari kecamatan Cikijing, Majalengka.

Pelaksanaan belajar bersama dikoordinasi oleh pengurus asrama Yayasan Pondok Pesantren Al-Hasan. Penyelenggaraan belajar bersama ini dilaksanakan oleh seluruh santri pondok pesantren Al-Hasan, di mulai dari tingkatan kelas 1 ibtida sampai kelas khas. Tujuan dari pelaksanaan belajar bersama ini adalah untuk membiasakan santri berdisiplin dalam melakukan pembelajaran, dan untuk muroja’ah pelajaran yang diterima oleh mereka pada saat pembelajaran di sekolah maupun pembelajaran di pesantren.

Pelaksanaan belajar bersama ini dilakukan setelah jam belajar formal, yakni dari jam 21.00-21.30. pelaksanaan belajar ini dilaksanakan di gedung aula utama pesantren. Belajar ini dilaksanakan setiap hari dengan membagi tiap kelas menjadi beberapa kelompok dibimbing oleh pembimbing yang akan mengawasi serta membimbing mereka ketika pembelajaran.

Setelah berkumpul bersama kelompoknya masing-masing, terlebih dahulu mereke membahas tentang pekerjaan rumah yang diberikan oleh sekolah maupun pesantren. Mereka mengerjakannya bersama, dan ketika ada yang kurang dimengerti, mereka melakukan diskusi kepada temannya, ataupun bertanya kepada pembimbingnya.

(33)

Diskusi pembelajaran menjadi ajang alih kode dan campur kode. Karena ketika empat orang dari suku sunda melakukan diskusi mereka menggnakan Bahasa Sunda, lalu ketika santri dari NTT ikut berbicara, mereka langsung beralih dari Bahasa Sunda ke Bahasa Indonesia.

Pada dasarnya ketiga santri tersebut terbiasa menggunakan Bahasa daerah mereka sebagai Bahasa sehari-hari, jadi ketika mereka mengubah kode menjadi Bahasa Indonesia dalam percakapan, Bahasa daerahnya masing-masing masih terbawa, sehingga timbulah campur kode.

Seperti percakapan berikut.

Nurul : Lia lia besok aya PR naon? Lia : Kela asana mah matematika Nurul : Anu minatan atau wajib? Lia : Nu wajib asana mah

Nurul : Matematika teh nu matriks sanes? Lia : Ihhh lain anu deret anu deret etatah

Nur : Eh memangnya noka ada PR ya? Kenapa au lupa? Yang mana si, yang geometri bukan?

Nurul : Iya yang geometri

Lia : Ntos di kerjaken acan nu eta tah Nurul : Uhh sia acan abimah

Lia : Uhhh abi geh acan yang PR matematika karah Nurul : Nur kamu udah belum

Lia : PR matematika yang wajib yaang wajib yang fungsi deret yang kaya gitu Nurul : Kamu udah ngerjain belum

Nur : Belum kasasafa PR yang mana? Lia : Besok bagian jam berapa

Nur : Jam ke-3

(34)

Lia : Oh ibu Deti

Nur : Noka ke skoll jam berapa? Lia : Apa itu bicara apa?

Nur : Besok ke sekolah jam berapa?

Lia : Kamu sendiri mau berangkat jam berapa? Nur : Jam 7

Nurul : Oh jam 7

Lia : Besok berangkatnya bareng aja yuk Nurul : Tapi kalau jam 7 takut kesiangan

Lia : jadi berangkatnya jam 7 kurang seperapat aja ya yah Nur : Iyah, barengan aja, terus

4.2 Pembahasan

4.2.1 Alih Kode Dari Bahasa Sunda ke Bahasa Indonesia

Percakapan antara dua santri yang berdiskusi menanyakan PR dan temannya yang dari NTT datang ikut berdiskusi.

Nurul : Lia lia besok aya PR naon? Lia : Kela asana mah matematika Nurul : Anu minatan atau wajib? Lia : Nu wajib asana mah

Nurul : Matematika teh nu matriks sanes? Lia : Ihhh lain anu deret anu deret etatah

Nur : Eh memangnya noka ada PR ya? Kenapa au lupa? Yang mana si, yang geometri bukan?

Nurul : Iya yang geometri

(35)

bersama Nurul menggunakan Bahasa Sunda, akan tetapi mereka beralih menggunakan Bahasa Indonesia ketia Nur datang mengikuti pembicaraan.

4.2.2 Campur Kode Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda

Cuplikan tuturan berikut ini menunjukan aktivitas campur kode Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia.

Lia : Nurul besok teh yang PR matematika dikerjakeunna di buku latihan apa catetan? Nurul :Di buku latihan atuh, kan bapak juga nyuruhna gitu

Percakapan di atas menunjukan adanya campur kode antara Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia. Kata teh, dikeurjakeuunna, atuh, dan nyuruhna merupakn kode Bahasa Sunda, Lia dan Nurul melakukan campur kode karena mereka tahu bahwa lawan tuturnya sama-sama paham akan apa yang disampaikannya.

4.2.3 Campur Kode Bahasa Indonesia dan Bahasa NTT

Cuplikan percakapan di bawah menunjukan aktivitas campur kode Bahasa Indonesia dan Bahasa NTT.

Nurul : Kamu udah ngerjain belum Nur : Belum kasasafa PR yang mana? Lia : Besok bagian jam berapa

Nur : Jam ke-3

Nurul : Gurunya sama siapa? Nur : Sama ibu Deti

Lia : Oh ibu Deti

(36)
(37)

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan

Setelah peneliti melakukan penelitian terhadap aktivitas alih kode dan campur kode yang terjadi pada santri kelas 1 tsanawi dapat disimpulkan bahwa alih kode dan campur kode terjadi karena adanya penguasaan dua Bahasa atau lebih. Penggunaan Bahasa daerah sebagai Bahasa komunikasi sehari-hari juga menyebabkan alih kode dan campur kode terjadi.

Alih kode terjadi karena adanya situasi yang mengharuskan penutur mengalihkan kode Bahasa yang digunakannya ke dalam Bahasa yang akan dimengerti oleh penutur lain. Sedangkan campur kode terjadi karena kebiasaan-kebiasaan penggunaan Bahasa daerah atau Bahasa pertama sehingga ketika menggunakan Bahasa lain, Bahasa pertama terbawa.

5.2 Saran

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolingusitik: perkenalan awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Gambar

Table 1Focus Kajian

Referensi

Dokumen terkait

penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : “ Perbedaan Persepsi Pemilihan Karier Mahasiswa Akuntansi Yang Memilih Karier Sebagai Akuntan

Setelah dilakukan perbaikan jaringan dengan menggunakan dua skenario, yaitu physical tunning dan expand bandwidth didapat parameter yang ditinjau seperti RSRP, SINR, mean

aktivitas antioksidan produk olahan jambu biji merah berupa selai yang dibuat dengan variasi suhu dan waktu pemanasan yang berbeda menggunakan metode penangkap

Alamat tempat tinggal : Dusun II Sidorejo, Kwncodadi, Bekri Lampung Tengah Menerangkan dengan sesungguhnya bahwa saya : SITI NURJANAH, S.Pd.. Disamping jabatan

Kontras lainnya adalah bahwa penganut teori struktural fungsional melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh nilai-nilai, norma-norma, dan moralitas

Arti tanda negatif pada konstanta adalah apabila tidak ada variabel country of origin, kualitas produk dan kelompok acuan maka tidak akan terjadi niat beli

atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga skripsi yang berjudul Studi Karakteristik Demografi Angkatan Kerja di Desa Jeruksawit dan Desa Wonorejo Kecamatan Gondangrejo

berkualitas, konsep kualitas pembelajaran mengandung lima rujukan, yaitu:. Kesesuaian meliputi indikator sebagai berikut: sepadan dengan karakteristik peserta didik, serasi