Sastra dan Jender
Isu jender dapat dikatakan bermula dari identifikasi perempuan atas stereotip buruk dan
marjinalisasi posisi mereka di dalam dunia yang “dikuasai” laki-laki. Perempuan menganggap
bahwa hal tersebut tidaklah muncul begitu saja kecuali karena diciptakan. Stereotip
perempuan sebagai lemah, penurut, penggoda, pelengkap laki-laki, penuntut, cerewet, dan
emosional merupakan realitas yang terbangun dari teks-teks yang diciptakan oleh laki-laki
dalam waktu yang sangat lama. Pun juga dilandasi akan berkembangnya pemikiran bahwa
para perempuan juga butuh menceritakan dunia mereka, sesuatu yang tidak mungkin bakal
sempurna diceritakan oleh laki-laki. Sebagaimana tidak bisa dipungkiri, penceritaan tentang
suatu dunia akan jauh berbeda apabila dilakukan oleh orang yang tidak pernah mengalaminya.
Selama ini, dunia perempuan belum lengkap dan sempurna diceritakan oleh sebab hegemoni
produksi teks telah lama dipegang kaum laki-laki.
Jikalau ide bahwa setiap manusia sama benar-benar diterima, maka perempuan
tidaklah layak dan tepat untuk ditempatkan sebagai inferior, sub-ordinat, atau lebih rendah
dibanding laki-laki sebagaimana telah terbentuk suatu stereotip yang demikian. Perempuan
harus merubah keadaan tersebut. Simone de Beauvoir (dalam Selden, 1991: 136-137)
menekankan perlunya keterlibatan perempuan di dalam menuntut persamaan tersebut karena
selama ini perempuan telah dibuat lebih rendah oleh teks-teks yang diciptakan oleh para lelaki
dan lalu diterimanya suatu kebenaran bahwa perempuan memang rendah menurut kodratnya.
Simone de Beauvoir mempertanyakan hal-hal yang paling esensial di dalam gerakan tuntutan
wanita di dalam buku The Second Sex yaitu: (1) mengapa perempuan menjadi the second
sex, (2) mengapa perempuan tetap berada di bawah dan terkekang sementara laki-laki
memperoleh ruang yang tidak terbatas, (3) mengapa perempuan tetap tidak menengarai
bahwa posisi sebagai the second sex, the other, atau liyan adalah cara menjadi manusia yang
Menilik kepada apa yang diungkapkan oleh Foucalt bahwa kebenaran, dunia benda,
dan praktik-praktik sosial dibentuk secara diskursif (dalam Barker, 2005: 105 – 106) maka
dominasi laki-laki di dalam teks yang telah berlangsung lama secara komulatif telah
membentuk suatu kebenaran bahwa perempuan memang secara kodrati lemah dan laki-laki
sebagai pencipta teks membangun citraan akan diri mereka sebagai superior. Hal yang telah
berlangsung begitu lama ini menciptakan realitasbahwa laki-laki adalah kuat, pelindung
sedangkan perempuan adalah lemah.
Sebelum lebih jauh menelusur runtut pemikiran masuknya jender dalam ranah sastra,
alangkah lebih baik apabila istilah jender secara definitif dipaparkan. Jender adalah ”suatu
[konstruksi] interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin dalam memberikan makna
dan peran masing-masing” (Suyitno, 2003: 592). Jender mengacu kepada atribut, perilaku,
kebiasaan, dan ekpektasi yang eksis di dalam masyarakat. Pernyataan senada disampaikan
oleh Fakih (1996: 7) bahwa konsep jender adalah suatu atribut yang melekat pada laki-laki
maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sedangkan definisi lain
diberikan oleh Jantine Oldersma dan Katthy Davis (dalam Abdullah, 1997: 284) bahwa istilah
jender mempunyai arti sebagai:
… central for understanding sexual dichotomies, behavioral differences between the sexes,
sexual identity, sexual divisions in social activities and the symbolic representation of
masculinity and femininity.
Lebih lanjut Ann Oakley (dalam Abdullah, 1997: 284) memaparkan bahwa hubungan
yang berdasarkan jender merupakan: (1) hubungan antara manusia yang berjenis kelamin
berbeda dan itu merupakan hubungan yang hirarkis, yang bisa menimbulkan masalah sosial,
(2) jender merupakan suatu konsep yang cenderung deskriptif daripada ekplanatoris tentang
tingkah laku, kedudukan sosial, dan pengalaman antara laki-laki dan perempuan, dan (3)
jender memformulasikan bahwa hubungan asimetris antara laki-laki dan perempuan sebagai
Kesadaran yang muncul pada kaum perempuan akan konstruksi jender sebagaimana
telah dipaparkan di atas, yang dianggap sebagai bentuk opresi terhadap perempuan,
mengerucut lalu menggugahkan suatu gerakan yang pertama kali dapat dirunut ketika para
perempuan Amerika mempermasalahkan teks kemerdekaan Amerika yang berbunyi ”all men
are created equal”. Mereka, para perempuan Amerika, mempermasalahkan tentang
pengabaian perempuan di dalam teks kemerdekaan dus kepentingan perempuan. Oleh sebab
itulah pada tahun 1848 di Seneca Falls diadakan konvensi yang memunculkan proklamasi teks
kemerdekaan versi lain yang berbunyi: ”all men and women are created equal” (Djajanegara,
2000: 1).
Kesadaran akan adanya konstruk pembedaan antara laki-laki dan perempuan seperti
yang dialami oleh para perempuan di Amerika itulah yang juga dialami oleh para perempuan di
negara-negara lain, membuat munculnya suatu gerakan yang kemudian dikenal dengan
gerakan feminisme. Feminis menekankan pada perbedaan makna antara seks (jenis kelamin)
dengan jender. Menurut mereka, seks adalah sesuatu yang bersifat biologis namun jender
adalah sebuah konsep psikologis yang diperoleh secara kultural sebagai identitas seksual
(Millet dalam Selden dkk., 1997: 131). Jender adalah sebuah identitas yang diciptakan oleh
laki-laki sebagai bentuk hubungan asimetris sebagaimana ucapan De Beauvoir: ”One is not
born, but rather becomes, a woman; … it is civilization as a whole that produces this creature
… only the intervention of someone else can establish an individual as an Other” (dalam
Selden dkk., 1997: 127) yang harus diubah. Gerakan feminisme sendiri dapat diartikan
sebagai gerakan yang meyakini bahwa sistem jender adalah penyebab fundamental akan
adanya opresi terhadap perempuan dan juga percaya bahwa karena sistem jender adalah
bentuk konstruksi maka dapatlah dibongkar dan ditata ulang.
Mirip namun tidak sebagaimana pandangan Lao Tzu mengenai oposisi biner di dalam
konstruk realitas dan dunia sebagai komplesi dan makanya tidak untuk digugat ”stop thinking,
menyatakan bahwa oposisi biner dapatlah mengalami pergeseran dan pengguncangan karena
sebenarnya oposisi-oposisi metafisis dan makna bersifat tidak pasti dengan demikian terbuka
celah di dalamnya untuk mengalami perpindahan, pergantian, dan penambahan (dalam
Barker, 2005: 98 – 104). Realitas yang dibangun atau dikonstruksi lewat oposisi biner-lah yang
dirujuk oleh Hélène Cixous untuk diguncangkan dan digeser lewat penerlibatan perempuan di
dalam teks. Ia menunjuk bahwa laki-laki telah membagi-bagi realitas dengan konsep yang
berpasangan dan istilah dalam pasangan yang berlawanan, yang salah satunya selalu
diposisikan lebih dibandingkan dengan yang lain (dalam Tong, 2009: 292). Dikotomi oposisi
biner yang ada seperti misalnya:
aktif / pasif
tinggi / rendah
kuat / lemah
positif / negatif
self / other
selalu mengasosiasikan laki-laki dalam posisi yang menguntungkan; yang lebih tinggi
dibandingkan dengan posisi perempuan (Cixous dan Clement, 1986: 65). Oleh karenanyalah
Cixous (dalam Tong, 2009: 292 – 294) menantang perempuan untuk menulis diri keluar dari
dunia perempuan yang dikonstruksi laki-laki lewat teks dus mendorong perempuan untuk
memindahkan posisi dirinya dari ”figuran” dan atau ”inferior” ke tingkatan yang lebih baik ke
dalam teks secara kontinyu. Hal senada juga disampaikan jauh sebelumnya oleh Virginia
Woolf di dalam tulisannya A Room of One’s Ownbahwa tulisan perempuan harus
mengeksplorasi pengalaman perempuan berdasarkan bahasa mereka sendiri yang berbeda
dengan bahasa para laki-laki (dalam Selden dkk., 1997: 125).
Julia Kristeva tidak sepaham dengan Cixous. Ia mengatakan bahwa pengguncangan
terhadap oposisi biner sendiri bakal bermasalah oleh sebab oposisi biner yang sudah ada juga
bagi perempuan adalah sebenarnya sama absurdnya dengan pengertian ”menjadi laki-laki”
bagi laki-laki di dalam konteks keniscayaan oposisi biner tersebut (dalam Tong, 2009: 299 –
302) karena dengan demikian bakal meniadakan ke-ada-an perempuan sendiri. Justru
perempuan yang bebas adalah ketika ia berhasil tidak terperangkap di dalam kekakuan
dikotomi hirarkis tatanan maskulin-feminin (alias oposisi biner) dan bergerak lincah di antara
oposisi biner tersebut. Alih-alih antifeminis, Kristeva mengatakan bahwa dalam diri perempuan
ada tarik ulur feminin-maskulin sebagaimana sebenarnya laki-laki pun juga mengalami tarik
ulur maskulin-feminin (dalam Tong, 2009: 300 – 301).
Lebih jauh, Elizabeth Grosz menyatakan bahwa usaha memindahkan perempuan ke
posisi laki-laki adalah salah karena dengan demikian standar yang dipakai untuk dituju adalah
standar atau konstruk yang disodorkan laki-laki. Atau dengan kalimat Grosz (dalam Tong,
2009: 303 – 305) bahwa usaha penyetaraan yang mengacu pada ”pencapaian, nilai, dan
standar laki-laki sebagai norma yang harus menjadi tujuan bagi perempuan” adalah salah
karena dengan demikian bakal mendorongperempuan untuk menjadi laki-laki dan mungkin
bakal timbul paradoks aneh: mengapa tidak mendorong laki-laki menjadi perempuan?. Sebuah
solusi diberikan oleh Joan Scott bahwa sebenarnya debat kesetaraan-perbedaan bakal
mengajak pada daerah gelap karena debat tersebut sudah dimulai dari biner yang keliru yang
bakal memunculkan krisis identitas. Justru ia mengatakan bahwa perbedaan dan kesetaraan
bisa muncul bersama-sama (koeksis) dan perbedaan tidaklah berarti menafikan perlakuan
setara serta perlakuan setara juga bukan berarti kesamaan. Karena menurutnya adalah sah
untuk mendapat kesempatan yang setara dan bukannya kemudian menginginkan kesamaan
(Scott, 1990: 137 – 138).
Lepas dari itu, pertanyaan lalu muncul berkaitan dengan tautan antara sastra dan
jender yaitu: bagaimanakah mengaitkan sastra dengan jender? Inti dari isu jender sebenarnya
media diskursif dan reflektif memberikan petunjuk tentang kaitannya dengan isu jender. Kritik
sastra yang membawa isu jender di dalam analisisnya dapat menyorot hal-hal sebagai berikut:
1. Kajian manifestasi ketidakadilan jender di dalam suatu karya sastra; baik marjinalisasi,
subordinasi, stereotip, kekerasan, kondisi sosial ekonomi, dan pembagian beban kerja
domestik (adaptasi dari Fakih, 1996: 12) sebagaimana dilakukan oleh Sugihastuti dan
Suharto (2005) terhadap novel Sitti Nurbaya.
2. Usaha penulis perempuan (maupun laki-laki) di dalam menyuarakan feminisme di
dalam suatu karya sastra sebagaimana dilakukan oleh Suyitno (2003)
terhadap Saman karya Ayu Utami atau diskursus feminis yang muncul pada suatu
karya sastra seperti misalnya mengenai: tubuh wanita dan reproduksi (sebagaimana
provokasi Cixous, 1981), pengalaman yang hanya bisa dipersepsi dan dialami oleh
perempuan (Culler menggunakan istilah reading as a woman, 1983: 43 – 63), bahasa
perempuan yang lebih berani (diinspirasi dari studi Lakoff, 1975), representasi
perempuan (dapat dirujuk dalam Evans (1997) dan sangat bagus sekali dibahas
khusus mengenai kelebihan dan kekurangan proposisi ini di dalam bab “Gender,
Ideology and Point of View” oleh Simpson (1993)).
3. Gynocriticism yaitu kajian kekhasan gaya tulis atau detil-detil pengalaman tokoh
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik terjemahan Tim Kunci Cultural Studies
Center. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.
Cixous, Hélène. 1981. “The Laugh of the Medusa” dalam Elaine Marks dan Isabelle de
Courtivron, ed.New French Feminisms. New York: Schocken Books.
Cixous, Hélène dan Catherine Clement. 1986. “Sorties” dalam The Newly Born
Woman terjemahan Betsy Wing. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Culler, Jonathan. 1983. On Deconstruction: Theory and Cristicism after Structuralism. London:
Routledge & Kegan Paul.
Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Evans, M. 1997. Introducing Contemporary Feminist Thought. Cambridge: Polity Press.
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Jender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lakoff, Robin. 1975. Language and Woman’s Place. New York: Harper & Row.
Scott, Joan. 1990. “Deconstructing Equality vs Difference” dalam M. Hirsch dan E. Fox Keller
(ed.)Conflicts in Feminism. New York: Routledge.
Selden, Raman. 1991. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory Indonesian Edition.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Selden, Raman; Peter Widdowson; dan Peter Brooker. 1997. A Reader’s Guide to
Contemporary Literary Theory fourth edition. Hertfordshire: Prentice Hall / Harvester
Wheatsheaf.
Simpson, Paul. 1993. Language, Ideology and Point of View. New York: Routledge.
Sugihastuti dan Suharto. 2005. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta:
Suyitno. 2003. Tokoh-tokoh Perspektif Feminisme Ayu Utami dalam “Saman” dalam Jurnal
Bahasa dan Seni ”Spektrum”. Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret. Vol. 5, No.
10, Mei 2003, hlm. 592 – 620.
Tong, Rosemarie P. 2009. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus
Utama Pemikiran Feminis terjemahan Aquarini P. Prabasmoro. Yogyakarta: Jalasutra.
Tzu, Lao. 20 Juli 1995. Tao Te Ching a translation by S. Mitchell. Diakses 1 April 2011 pukul
10:30 WIB di alamat laman:
http://academic.brooklyn.cuny.edu/core9/phalsall/texts/taote-v3.html
Written on 2 April 2011 by Dipa Nugraha
Available also at:
http://dipanugraha.blog.com/2011/04/02/sastra-dan-jender/
Sastra dan Jender by Dipa Nugraha is licensed under a Creative Commons