• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pengangkutan Udara Ko subjek hukum ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pertanggungjawaban Pengangkutan Udara Ko subjek hukum ekonomi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Pertanggungjawaban Pengangkutan Udara Komersial dalam

Perspektif Hukum Penerbangan di Indonesia

Oleh: Husni Mubarak

1

I.

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Di era modern ini, penerbangan merupakan moda massal yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia khususnya di Republik Indonesia karena Negara ini merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang membutuhkan model transportasi seperti pesawat terbang (selain kapal laut) untuk menghubungkan penumpang dari pulau yang satu ke pulau yang lainnya.

Pengangkutan udara memainkan peranan peranan penting dalam perkembangan perekonomian suatu Negara karena pesawat terbang merupakan alat transportasi yang efisien, dinamis, dan cepat. Pesawat terbang juga merupakan moda transportasi yang secara keamanan dan kenyamanan sangat berkualitas dalam hal pelayanan kepada penumpang jika aturan dan standar operasional prosedur dari hukum penerbangan benar-benar dilakukan sesuai prosedur yang berlaku.

Kategori aspek penyelenggaran pengangkutan udara juga terbagi: ada pengangkutan udara niaga dan bukan niaga.. Penerbangan niaga merupakan bentuk transportasi udara yang

1

(2)

mengenakan biaya bagi penggunanya. Jenis penerbangan ini dibedakan lagi menjadi dua bentuk, yaitu penerbangan niaga berjadwal dan penerbangan niaga tidak berjadwal.2

Arus informasi, perhubungan, dan pengangkutan udara mengalami kemajuan pesat dengan munculnya berbagai perusahaan maskapai penerbangan baik di Indonesia maupun di dunia internasional dan juga baik perusahaan yang melabelkan diri menjadi maskapai “Low Cost

Carrier” ataupun “High Cost Carrier”3

. Di Indonesia sejak era reformasi bermunculan maskapai-maskapai baru yang dikelola oleh swasta.

Timbulnya maskapai penerbangan yang sangat banyak di Indonesia berawal dari diratifikasinya World Trade Organization/ General Aviation Training & Testing Service

(WTO/GATTs) oleh Indonesia, dimana dengan diratifikasinya World Trade

Organization/General Aviation Training & Testing Service (WTO/GATTs) tersebut tidak dibenarkan lagi pemerintah Indonesia melakukan monopoli dibidang perusahaan jasa penerbangan.4

Kebijakan penyelenggaraan penerbangan mempunyai ciri khas masing-masing di setiap Negara berdasarkan ideologi yang dianut. Di negeri-negeri sosialis seperti Rusia dan Republik Rakyat China, jasa angkutan udara dilakukan sepenuhnya oleh Negara melalui otoritas yang mengaturnya: Civil Aviation Authority of China, Civil Aviation Administration

– Russia, Civil Aviation Authority of Singapore.5 Berbeda dengan Negara-negara liberal yang penyelenggaraan angkutan udara cenderung bebas dimana pihak swasta juga dapat melakukan usaha jasa penerbangan. Sedangkan di Indonesia setelah era reformasi menurut

2

Berry Tampubolon, Tinjauan Yuridis Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Penumpang Dalam Hal Terjadi Keterlambatan Penerbangan (Flighht Delayed) Pesawat dalam Pengangkutan Udara Niaga, Skripsi, FH Unpad,

2013

3

Maskapai penerbangan mengkategorikan sebagai angkutan pernerbangan kelas menengah kebawah dan kelas menengah keatas. Maskapai penerbangan low cost carrier: Air Asia, Lion Air, Sriwijaya Air dsb. Sedangkan maskapai penerbangan high cost carrier: Garuda Indonesia, Batik Air dll.

4

Saefullah Wiradipraja dalam Febri Dermawan, Perlindungan Hukum dan Tanggung Jawab Terhadap Penumpang Sipil Pada Kecelakaan Pesawat Udara dalam Lingkup Hukum Internasional,

file:///C:/Users/seven/Downloads/ipi110780.pdf diakses pada tanggal 9 April 2014.

5

(3)

Prof. K Martono: kebijakan angkutan udara cenderung liberal. Perusahaan penerbangan tumbuh dengan pesar, jumlah perusahaan milik pemerintah dan swasta meningkat menjadi 103 dalam tahun 2004.6

2. Permasalahan Hukum

Setelah reformasi di Indonesia bermunculan banyak sekali maskapai penerbangan baru selain maskapai yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia sejak era orde lama. Masing-masing maskapai penerbangan berlomba-lomba untuk melayani penumpang dengan harga yang murah. Maskapai seringkali menawarkan tiket promo. Dengan adanya perang tarif antar maskapai seringkali melupakan perlindungan terhadap penumpang itu sendiri. Seringnya

pesawat mengalami keterlambatan jadwal, klaim bagasi hilang ataupun yang terparah: musibah kecelakaan.

Dampak negatif dari penyelenggaraan usaha pengangkutan udara yang tidak mentaati peraturan hukum udara yang berlaku, maka akan terjadi kelalaian dari pihak maskapai penerbangan itu sendiri yang mengakibatkan kerugian kepada penumpang. Ketika terjadi kerugian yang dialami oleh penumpang, maka maskapai penerbangan bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Di Indonesia, 15 tahun terakhir sering terjadi kasus kecelakaan: tahun 2002 pesawat Garuda Indonesia mengalami mendarat darurat di sungai Bengawan Solo. Tahun 2004 terjadi kecelakaan pesawat di Bandara Adi Sumarmo, Surakarta. Tahun 2007 pesawat Adam Air jatuh di Selat Makassar dan pesawat Garuda Indonesia tergelincir di bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Di tahun 2012 pesawat demo Sukhoi menabrak Gunung Salak dan masih banyak lainnya.

3. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep Tanggung Jawab dalam Hukum Udara/Penerbangan? 2. Bagaimana bentuk asuransi kecelakaan pesawat terbang?

6

(4)

II.

Pembahasan

1. Pengertian Hukum Udara dan Angkutan Udara Niaga

Belum ada kesepakatan diantara para ahli hukum Internasional dalam memandang pengertian hukum udara atau yang di dalam bahasa Inggris disebut sebagai Air Law. K. Martono dan Agus Pramono mengatakan bahwa:

Para ahli Hukum Internasional kadang-kadang menggunakan istilah hukum udara (air law) atau hukum penerbangan (aviation law), atau hukum navigasi udara (air navigation law) atau hukum pengangkutan udara (air transportation law) atau hukum aeronatika penerbangan (aeronautical law) atau hukum udara aeoronautika (air-aeronautical law) saling bergantian tanpa dibedakan satu terhadap yang lain. Istilah-istilah “aviation law” atau “navigation law” atau “air

transportation law” atau “aerial law” atau “aeronautical law” atau “air-aeronautical law” pengertiannya lebih sempit dibandingkan dengan pengertian “air law”.7

Hukum udara merupakan bidang keilmuan yang luas karena tidak hanya berbicara terkait hukum penerbangan belaka, tetapi juga berbicara dengan kedaulatan udara serta berkaitan dengan aspek hukum konstitusi, administrasi, perdata, dagang atau bisnis, korporasi, manajemen, dan juga tentu hukum Internasional.

Sedangkan angkutan udara niaga terdiri atas angkutan udara dalam negeri dan juga angkutan udara dalam negeri serta angkutan udara berjadwal dan tidak berjadwal. Ketika mengkaji terkait maskapai penerbangan, maka hal ini berhubungan dengan angkutan

niaga berjadwal. Angkutan udara niaga berjadwal dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional atau badan usaha angkutan udara luar negeri. Namun, di dalam negeri Indonesia, kegiatan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional.8

7

K. Martono dan Agus Pramono., Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional. Jakarta: Rajawali Press. 2013. hlm. 3.

8

(5)

Dalam Hukum Internasional, pengertian angkutan udara (airlines) terdapat dalam pasal 96 huruf (a) Konvensi Chicago 1944: setiap angkutan udara yang dilakukan oleh pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos yang terbuka untuk umum.9

2. Konsep Tanggung Jawab Pengangkutan Udara Komersial

Penyelenggaraan penerbangan membutuhkan keselamatan dan keamanan untuk para penumpang. Penerbangan merupakan perihal menjaga keselamatan. Prosedur dari angkutan udara memang lebih rumit daripada angkutan transportasi lainnya karena guna mengupayakan keselematan penumpang. Regulasi yang mengatur Hukum Udara dari perspektif Hukum Internasional: Konvensi Chicago 1944, Konvensi Warsawa 1929,

Montreal Agreement of 1966, Konvensi Montreal 1999 dan lain sebagainya. Di dalam regulasi nasional sendiri terdapat Undang-undang 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengesahan Space Treaty 1967, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keselamatan Penerbangan, dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara.

Menurut Prof. K.Martono konsep tanggung jawab hukum yang meliputi tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault liability), tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability), tanggung jawab tanpa bersalah (liability without fault), semuanya merupakan ajaran hukum (doctrine).10

Didalam hukum penerbangan terdapat tiga prinsip dalam pertanggungjawaban pengangkut:

1. Presumption of Liability: Pengangkut dianggap bertanggungjawab oleh penumpang atau cargo. Pihak yang dirugikan tidak perlu membuktikan haknya atas ganti rugi.

9

Pasal 96 (a) Konvensi Chicago 1944

10

(6)

2. Prinsip Limititation of Liability: Tanggung jawab pengangkut dibatasi sampai jumlah tertentu. Prinsip ini mendorong pengangkut untuk menyelesaiakan masalah dengan jalan damai.

3. Strict Liability: Pengangkut bukan lagi dianggap bertanggungjawab, tetapi dalam hal ini pengangkut dianggap selalu bertanggungjawab tanpa ada kemungkinan membebaskan diri kecuali korban juga turut bersalah.

Tanggung jawab hukum perusahaan penerbangan yang diatur dalam konvensi warsawa 1929 telah menerapkan konsep tanggung jawab praduga bersalah. Menurut konsep tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability) perusahaan penerbangan dianggap bersalah (presume), sehingga perusahaan otomatis membayar ganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang.11 Dikarenakan dalam konvensi

warsawa tahun 1929 tidak dikenal konsep tanggung jawab atas dasar kesalahan dimana penumpang dapat membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan. Sedangkan dalam system tanggung jawab ini, perusahaan penerbangan wajib membuktikkan bahwa perusahaan tidak melakukan kesalahan. Dikenal sebagai sistem pembuktian terbalik yang digunakan pula dalam tindak pidana korupsi dan pencucian uang di Indonesia.

Tanggungjawab perusahaan penerbangan terbatas sejumlah ganti rugi yang tercantum dalam konvensi warsawa tetapi masih terbuka untuk mendapatkan ganti kerugian yang lebih besar. Dalam pasal 21 Konvensi Warsawa: perusahaan penerbangan tidak berhak menggunakan batas ganti rugi apabila kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan yang disengaja oleh perusahaan penerbangan atau agen perusahaan penerbangan dalam hal bertindak untuk dan atas nama perusahaan penerbangan.

Berdasarkan pasal 17 Konvensi Warsawa 1929, bentuk-bentuk kerugian yang dapat ditimbulkan oleh suatu kecelakaan pesawat udara dan yang dapat diberikan santunan adalah :

1. Kerugian yang diderita dalam hal penumpang meninggal dunia

11

(7)

2. Kerugian yang diderita dalam hal penumpang mengalami luka-luka

3. Kerugian yang diderita dalam hal penumpang mengalami penderitaan badani lainnya. Bila peristiwa tersebut terjadi selama berada dalam pesawat udara atau pada waktu melakukan embarkasi dan disembarkasi

4. Kerugian yang diderita akibat musnahnya harta benda penumpang pesawat udara. Dari bagian-bagian yang tersebut diatas maka kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan akibat suatu kecelakaan pesawat udara, dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu:

a. Kerugian material, berupa musnahnya harta benda penumpang yang biasanya mencapai puluhan atau ratusan juta rupiah, dan juga kerugian karena musnahnya pesawat terbang itu sendiri.

b. Kerugian immaterial, berupa kerugian yang timbul karena penumpang

meninggal dunia.

Selain instrumen Hukum Internasional, di dalam Hukum Nasional juga diatur dalam Undang-undang Penerbangan Republik Indonesia. Tanggung jawab pengangkut dalam hukum nasional terkait hal-hal pengangkutan seperti tiket penumpang pesawat udara,

boarding passs, tanda pengenel bagasi, dan lain sebagainya. Selain itu pengangkut juga mempunyai kewajiban untuk mengganti kerugian kepada korban baik penumpang, cargo, ganti rugi bagasi tercatat, ganti rugi terhadap pihak ketiga, dan kewajiban mengasuransikan tanggung jawab mereka terhadap penumpang.12

Beberapa praktik penggantian kerugian yang pernah terjadi di Indonesia baik oleh penumpang maupun pihak ketiga: ganti kerugian Rp. 1.500.000 dalam perkara kecelakaan pesawat Dakota P.N Garuda di gunung burangrang tahun 1960, ganti rugi dalam kecelakaan pesawat udara milik PT Bouraq Indonesia Airlines di Karawang, Jawa Barat, dan masih banyak lagi.

12

(8)

3. Bentuk Asuransi Kecelakaan Pesawat Terbang

Menurut E. Suherman: mengenai tanggung jawab kecelakaan harus kita bedakan apakah kecelakaan terjadi pada suatu penerbangan internasional atau dalam negeri. Karena hal ini mempunyai akibat bagi pihak yang dirugikan. Perbedaan dapat dilihat dari tiket dan surat muatan. Tanggungjawab penerbangan internasional diatur dalam: Konvensi Warsawa (1929), Protokol Den Haag (1955), Perjanjian Guadalajara (1961), dan Protokol Guatemala (1971).13

Jika terjadi di Indonesia, berdasarkan UU Republik I Indonesia No. 33 Tahun 1964 telah dikeluarkan sistem jaminan social terhadap penumpang pesawat udara yang mengalami kecelakaan yang biasa disebut asuransi jasa raharja.14 Setiap penumpang pesawat udara

diwajibkan membayar iuran perusahaan penerbangan yang mengalami kecelakaan untuk menutup kerugian yang diderita karena kematian dan cacat tetap akibat kecelakaan pesawat udara.

Tidak ada penjualan tiket pesawat udara tanpa adanya pembayaran iuran wajib dana kecelakaan pesawat udara, dengan demikian setiap penumpang pesawat udara yang sudah memiliki tiket, otomatis sudah termasuk membayar asuransi wajib dana kecelakaan pesawat udara.15

13

E. Suherman, Op.Cit, hlm. 40

14

K. Martono dan Agus Pramono, Op.Cit, hlm. 209

15

(9)

III.

Penutup

1. Kesimpulan

Bahwa dunia pengangkutan udara atau penerbangan dan dunia regulasi penerbangan adalah sesuatu yang rumit dimana terdapat berbagai macam peraturan baik dari sisi Hukum Internasional maupun Hukum Nasional. Dalam kajian makalah ini terfokus terhadap permasalahan pertanggungjawaban pengangkutan udara dari sisi aspek tanggung jawab pengangkut/perusahaan maskapai penerbangan.

Regulasi yang digunakan adalah: Konvensi Warsawa (1929), Protokol Den Haag (1955), Perjanjian Guadalajara (1961), dan Protokol Guatemala (1971), Undang-undang 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengesahan

Space Treaty 1967, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keselamatan Penerbangan, dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara.

Konsep pertanggungjawaban dalam hukum udara dikenal: dianggap bertanggungjawab (presumption of liability), pembatasan pertanggungjawaban (limitation liability), dan

pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Objek pertanggungjawaban dalam pesawat terbang adalah: kerusakan atau kehilangan barang, muatan cargo, kecelakaan pesawat, dan lain-lain. Subjek yang mendapatkan ganti kerugian: awak pesawat utama, awak pesawat cadangan, observer, dan juga penumpang.

2. Saran

(10)

IV.

Bibliografi

Buku

1. Martono, K dan Pramono, Agus., Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional. Jakarta: Rajawali Press. 2013.

2. Martono, K dan Sudiro, Ahmad., Hukum Angkutan Udara: Berdasarkan UU RI Nomor 1 Tahun 2009, Jakarta: Rajawali Press, 2010.

3. Pramono, Agus, Dasar-dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011

4. Suherman, E, Hukum Udara Indonesia dan Internasional. Bandung: Alumni, 1979.

Makalah/Skripsi

1. Dermawan, Febri (tanpa tahun). Perlindungan Hukum dan Tanggung Jawab Terhadap

Penumpang Sipil Pada Kecelakaan Pesawat Udara dalam Lingkup Hukum Internasional.

file:///C:/Users/seven/Downloads/ipi110780.pdf diakses pada tanggal 9 April 2014.

2. Tampubolon, Berry (2013)., Tinjauan Yuridis Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Penumpang Dalam Hal Terjadi Keterlambatan Penerbangan (Flighht

Delayed) Pesawat dalam Pengangkutan Udara Niaga. Skripsi. Bandung: Fakultas Hukum Unpad., http://fh.unpad.ac.id/repo/2013/07/tinjauan-yuridis-

tanggung-jawab-pengangkut-terhadap-penumpang-dalam-hal-terjadi- keterlambatan-penerbangan-flight-delayed-pesawat-dalam-pengangkutan-udara-niaga/, diakses pada tanggal 9 April 2014.

Regulasi

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu penulis bermaksud membuat alat yang dapat dipergunakan keperluan tersebut, yaitu : Alaram Otomobil yang bekerja dengan menggunakan saklar. Sedangkan komponen

[r]

Variabel yang menjadi fokus penelitian adalah tangga kebakaran, pintu kebakaran dan akses jalan keluar beserta perlengkapannya.Berdasarkan hasil penelitian, tingkat keandalan

Morphometric analysis consists of 5 parameters geomorphic indices: drainage basin asymmetry (AF), hypsometric curve and integral (Hc and Hi), stream length gradient (SL)

Ikan ini memiliki tanduk di bagian atas kepala, tubuh lebar tertutup apendiks penutup kulit, moncong sangat cekung jantan dewasa dengan bulu-bulu pendek pada pangkal

Keterampilan berpikir kritis siswa setelah diberikan model pembelajaran inkuiri terbimbing mengalami peningkatan, dikarenakan siswa dilatih untuk menganalisis argumen

Pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan menggunakan penilaian autentik pada kompetensi keterampilan akan membuahkan hasil yang baik apabila

For this purpose Vygotsky’s (1978, 1981) Socio-cultural theory and his concepts of semiotic mediation, appropriation, internalization, Zone of Proximal Development (ZPD)