• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Instrumen Spiritualitas pad D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengembangan Instrumen Spiritualitas pad D "

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN INSTRUMEN SPIRITUALITAS PADA PEMBELAJARAN SAINS BERBASIS IMTAK BAGI MAHASISWA CALON GURU

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) sebagai penjabaran dari salah satu tujuan negara yang tercantum pada pembukaan UUD 45, mencerdaskan kehidupan bangsa, mengamanatkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk:

Mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan mejadi warga Negara yang demokratis serta bertanggunga jawab.

Kompetensi lulusan suatu jenjang pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional tersebut mencakup komponen pengetahuan, ketrampilan, kecakapan, kemandirian, kreativitas, kesehatan, akhlak, ketaqwaan, dan kewarganegaraan. Semua komponen pada tujuan pendidikan nasional sudah selayaknya tercermin pada kurikulum dan sistem pembelajaran pada semua jenjang pendidikan. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, tugas lembaga pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik secara optimal menjadi kemampuan untuk hidup di masyarakat dan ikut mensejahterakan masyarakat. Lulusan suatu jenjang pendidikan harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan serta berprilaku yang baik. Untuk itu peserta didik harus mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki sesuai dengan standar yang ditetapkan.

(2)

kewajiban guru agama semata, tetapi juga menjadi kewajiban pendidik lainnya, termasuk dalam pembelajaran sains.

Ketiga aspek (kognitif, psikhomotor dan afektif) memiliki bobot penilaian yang proposional. Proses penilaiannya dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Dalam hal ini, Aspek Kognitif mencakup : pemahaman konsep yang berfungsi untuk menunjang pelaksanaan praktik. Aspek Psikomotor mencakup keterampilan sains yang dilaksanakan melalui praktikum. Aspek Afektif yang terkait dengan mata pelajaran biasanya dititik beratkan pada sikap ilmiah yang mencakup: ketelitian, ketekunan, dan kemampuan memecahkan masalah secara logis dan sistematis. Di samping itu, aspek afektif juga secara umum mencakup: perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai, (Djameri Mardapi 2004:3; S. Nasution 1989:152).

Beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang memiliki fakultas/jurusan tarbiyah (kependidikan), memiliki fungsi yang sama dengan LPTK lainnya, yaitu menghasilkan para sarjana calon guru. Dalam hal ini, PTAI tersebut memiliki tantangan untuk dapat mengintegrasikan pembelajaran sains dengan landasan dan spiritualisasi nilai dalam proses pembelajarannya. PTAI tidak hanya dituntut untuk mampu menghasilkan para guru yang memiliki kompetensi memadai, namun juga sekaligus memiliki kemampuan penanaman sikap dan nilai yang terintegrasi dalam pembelajaran tersebut. Apatah lagi, standar kompetensi guru sebagaimana dicanangkan pada Peraturan Mendiknas No. 16 tahun 2007, secara tegas mencantumkan kompetensi kepribadian, dimana guru dituntut untuk mampu menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dewasa, arif, bertanggung jawab, memiliki etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi dan menjunjung tinggi etika profesinya. Karenanya, keseluruhan karakter kepribadian tersebut sudah semestinya juga menjadi sasaran dalam pembelajaran sains bagi mahasiswa calon guru tersebut.

(3)

Namun demikian, model pembelajaran yang tepat dalam mengintegrasikan sains dengan nilai-nilai Islam tersebut belum banyak memperoleh perhatian dalam penelitian pendidikan. Dalam penerapan pembelajaran sains yang berbasis imtak, tentunya diperlukan juga seperangkat instrumen asesmen yang sesuai dengan model pembelajaran itu sendiri. Dalam praktek pembelajaran yang selama ini berlangsung, asesmen konvensional dalam bentuk tes tertulis (paper & pencil test) lebih banyak digunakan ketimbang asesmen otentik. Sementara itu, asesmen tes konvensional sendiri memiliki kelemahan dalam mengevaluasi nilai dan sikap yang juga terkandung dalam pembelajaran sains itu sendiri. Di sisi lain, asesmen otentik sendiri belum banyak dikembangkan dalam pembelajaran sains. Morgan (2004) melaporkan bahwa lebih dari 70 % guru tidak menggunakan asesmen otentik dalam pembelajaran, meskipun jenis asesmen ini telah direkomendasikan sebagai bentuk penilaian yang sesuai dengan hakekat sains yang mengutamakan keterampilan proses dan produk sains. Asesmen ini setidaknya telah direkomendasikan oleh berbagai kalangan ahli pendidikan (NSTA, 1998; Rustaman, 2006; dan Zainul, 2001). Hal ini disebabkan kesulitan guru dalam menyusun dan menerapkan asesmen otentik, sebagaimana dilaporkan oleh Wulan (2007). Kesulitan ini semakin meningkat terutama bagi guru madrasah, yang relatif kurang mengenal asesmen otentik. Dalam kerangka itulah, penelitian ini menemukan signifikansinya. Untuk tujuan itu, peneliti mengajukan rencana penelitian untuk mengembangkan instumen asesmen otentik yang sesuai bagi penerapan model pembelajaran berbasis Imtak bagi mahasiswa calon guru madrasah.

B. Indentifikasi dan Rumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan peta teoritis di atas dapat dirumuskan suatu pertanyaan, yaitu Asesmen Otentik yang Bagaimana yang relevan untuk diterapkan pada Model Pembelajaran Sains Berbasis Imtak bagi Mahasiswa Calon Guru Madrasah ?

2. Rumusan Masalah

(4)

a. Bagaimanakah keadaan awal pembelajaran sains pada pembelajaran sains calon guru madrasah sebelum asesmen otentik dan model pembelajaran berbasis imtak diterapkan ?

b. Desain model implementasi pengembangan model bagaimana yang relevan pada pembelajaran berbasis imtak bagi mahasiswa calon guru madrasah?

c. Desain model asesmen otentik yang bagaimana yang relevan pada pembelajaran berbasis imtak bagi mahasiswa calon guru madrasah ?

d. Bagaimanakah tingkat keterapan asesmen otentik pada model pembelajaran sains berbasis imtak yang dihasilkan dilihat dari aspek: peningkatan prestasi mahasiswa; dukungan terhadap pelaksanaan pembelajaran; substansi isi (materi pelajaran); fleksibilitas desain model; keselarasan dengan media dan potensi dukungan stakeholders?

e. Bagaimanakah efektifitas dan dampak pengembangan asesmen otentik pada model pembelajaran sains berbasis imtak terhadap hasil belajar mahasiswa dan terhadap dosen dalam menyusun rencana pembelajaran dan evaluasi hasil belajar sains?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menghasilkan pengembangan asesmen otentik relevan untuk untuk diterapkan pada model pembelajaran sains berbasis imtak bagi mahasiswa calon guru madrasah.

b. Tujuan Khusus Penelitian

1) Untuk mengetahui keadaan awal pembelajaran sains sebelum desain asesmen dan model pembelajaran diimplementasikan.

2) Untuk menemukan desain model implementasi pengembangan asesmen otentik yang relevan untuk diterapkan pada model pembelajaran sains berbasis imtak.

3) Untuk mengetahui tingkat keterapan pengembangan asesmen otentik pada model pembelajaran sains berbasis imtak terhadap mahasiswa dilihat dari aspek: peningkatan prestasi mahasiswa; dukungan terhadap pelaksanaan pembelajaran; substansi isi (materi pelajaran); fleksibilitas desain model; dan potensi dukungan stakeholders?

(5)

dukungan terhadap dosen dalam menyususn rencana pembelajaran dan evaluasi hasil belajar sains.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Umum Penelitian

Dengan dihasilkannya pengembangan asesmen otentik yang relevan untuk diterapkan pada model pembelajaran berbasis imtak bagi mahasiswa calon guru madrasah, dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan mutu pembelajaran sains di LPTK PTAI.

b. Manfaat Khusus Penelitian

1) Untuk memberi masukan kepada dosen-dosen sains khususnya dalam menerapkan model pembelajaran berbasis imtak.

2) Desain implementasi pengembangan asesmen otentik dan model pembelajaran sains berbasis imtak dapat dimanfaatkan meningkatkan pembelajaran sains.

3) Desain asesmen otentik yang dihasilkankan dapat digunakan sebagai bahan acuan dosen untuk mengevaluasi keberhasilan pembelajaran sains berbasis imtak.

(6)

BAB II

LANDASAN TEORITIK

Asesmen Otentik adalah suatu istilah/terminologi yang diciptakan untuk menjelaskan berbagai metode penilaian alternatif yang memungkinkan siswa dapat mendemonstrasikan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas-tugas dan menyelesaikan masalah, sekaligus, mengekspresikan pengetahuan dan keterampilannya dengan cara mensimulasikan situasi yang dapat ditemui di dalam dunia nyata di luar lingkungan kampus (Hymes, 1991).

Dalam hal ini adalah simulasi yang dapat mengekspresikan prestasi (performance) siswa yang ditemui di dalam praktek dunia nyata. Karenanya, dapat dimengerti bahwa Asesmen Otentik dapat diidentikkan dengan asesmen kinerja (Performance Assesments), sebagaimana dikemukakan oleh Zainul (2001), bahwa asesmen otentik dimaksudkan juga sebagai Proses Penilaian Kinerja prilaku Siswa secara multi dimensional pada situasi nyata (life-like performance behavior). Meskipun asesmen otentik ini direkomendasikan sebagai bentuk penilaian yang sesuai dengan hakekat sains yang mengutamakan keterampilan proses dan produk sains (NSTA, 1998; Rustaman, 2006; dan Stiggins, 1994), namun pada kenyataannya Morgan (2004) menemukan bahwa lebih dari 70 % guru tidak menggunakan jenis asesmen ini dalam pembelajaran. Di antara penyebabnya adalah sebagaimana dilaporkan oleh Wulan (2003) yang mengungkap tentang kesulitan guru dalam menyusun dan menggunakan asesmen otentik.

2.Model Pembelajaran

Makna model pembelajaran sebagaimana Joyce and Weill (2000) menjelaskan adalah: a plant or pattern that we can use to design face to face teaching in classrom or tutorial settings and to sgaps instructional material including books, film, tapes, and komputer. Each model guide us as we design instruction to help students achieve various objectives.

(7)

Pengembangan model pembelajaran dimaksud untuk menentukan konseptual yang berisi tentang prosedur pengembangan rancangan kegiatan pembelajaran pendidikan Agama Islam yang dapat meningkatkan kompetensi keagamaan siswa kampus dasar. Desain model yang dikembangkan meliputi desain perencanaan, implementasi dan evaluasi. Setiap desain berisi tentang tahapan-tahapan yang dapat dijadikan rujukan oleh guru dalam mengembangkan aktivitas pembelajaran.

3. Sains dan Pembelajaran Sains Berbasis Imtak

Pada dasarnya sains yang berbasis imtak berbeda dengan sains sebagaimana dikenal pada umumnya. Namun demikian, perlu diberikan penegasan bahwa sains berbasis imtak, dalam hal ini sains berbasis Islam sebagaimana diungkap oleh Sardar (1998), adalah sains yang juga memiliki fungsi dan tanggung jawab untuk mengembangkan kesadaran ketuhanan; mengharmoniskan tujuan dan cara dalam mencari ilmu pengetahuan; memperhatikan relevansi sosial dalam pencarian maupun penerapan ilmu pengetahuan; serta menolak netralitas ilmu pengetahuan obyektif. Dalam hal ini terlihat, sains berbasis imtak, sebagaimana juga dapat dipahami ajuan langkah Zaghlul Najjar (1995:146) tentang garis-garis besar upaya penulisan ulang dan pengajaran sains dalam perspektif Islam, mencakup aspek ontologis, epistemologi dan aksiologi sains itu sendiri.

Model Pembelajaran Berbasis Imtak

a. Model pembelajaran Nilai-Nilai Islami berdasarkan adapatasi terhadap teori David R. Kratwohl, dapat dimodifikasi menjadi sebagai berikut:

(1) Tahap memulai terbukanya menerima rangsangan, yang meliputi tingkatan :

1.1 Penyadaran; 1.2 Hasrat untuk menerima pengaruh; dan 1.3 Memberikan perhatian secara memilih diantara pengaruh yang masuk.

(2) Tahap memulai memberikan tanggapan terhadap rangsangan afektif, yang meliputi tingkatan : 2.1 Mulai memberikan perhatian p[ada nilai yang dirangsangkan; 2.2 Berhasrat untuk secara aktif memberikan perhatian; 2.3 Menikmati dengan penuh kebahagiaan memberikan perhatian terhadap nilai afektif.

(8)

Memilih berdasarkan nilai pada tingkatan ini anak didik sudah mulai menggunakan nilainya sebagai acuan dalam memilih obyek; dan 3.3 Percaya akan kebenaran semua nilai. Pada tingkatan ini anak didik sudah mulai dengan penuh keyakinan menerima kebenaran suatu nilai.

(4) Pengorganisasian berbagai nilai yang telah diterimanya, yang meliputi tingkatan :4.1 Menetapkan kedudukan atau hubungan suatu nilai dengan nilai lainnya; 4.2 Menempatkan prioritas diantara nilai-nilai yang telah diterima.

(5) Penyaturagaan nilai-nilai dalam satu system nilai yang konsisten, yang meliputi tingkatan : 5.1 Generalisasi nilai sebagai landasan acuan dalam melihat dan memandang masalah-masalah yang dihadapi; dan 5.2 Mengembangkan suatu filsafat hidup yang konsisten. Pada saat ini semua nilai yang ditanamkan dalam dirinya telah menjadi bagian terpadu dari system kepribadian anak didik. (Soedijarto, 1993).

b. Model Pembelajaran Nilai-Nilai Islami Berdasarkan “Values Clarification”

Prinsip-prinsip model pembelajaran internalisasi nilai berdasarkan model Values Clarification mempunyai tiga langkah utama dan tiap langkah terdiri pula atas dua bagian sehingga seluruhnya menjadi tujuh langkah adalah sebagai berikut :

I. Memilih (1) secara bebas, (2) dari beberapa alternative, (3) dengan memepertimbangan setiap konsekuensi tiap alternative.

II. Menghargai (4) menjunjung tinggi, merasa bahagia dengan pilihan itu, (5) menyatakan dan mempertahankannya di depan umum.

III. Berbuat (6) melaksanakan dan menerapkannya dalam perbuatan (7) melakukannya berulang-ulang sebagai pola kelakuan.

(1) Memilih itu harus dilakukan secara bebas. Nilai yang dipaksakan tidak akan mengintegrasikannya dalam sistem nilainya.

(2) Memilih harus dari sejumlah alternative sehingga ia dapat memilihnya secara bebas. (3) Memilih hanya setelah mempertimbangkan konsekuensinya. Memilih adalah proses

berfikir yang memerlukan waktu dan tak dapat dilakukan impulsive dan tergesa-gesa. (4) Menghargai suatu nilai, menujunjung tinggi suatu nilai suatu tanda bahwa suatu nilai

(9)

(5) Menegaskan berarti berani mengemukakannya di depan orang lain bila nilai itu telah kita internalisasikan kita tidak malu menyaksikannya di depan umum.

(6) Melaksanakannya. Nilai harus nyata dalam perbuatan. Kelakuan kita harus mencerminkan nilai-nilai yang kita junjung tinggi.

(7) Mengulangi. Bila nilai itu telah sebagian dari kepribadian kita, maka kita harus mewujudkan nilai itu secara konsisten dalam kelakuan kita. (S. Nasution, 1989).

Dimensi Religiusitas: menurut Glock & Stark (dalam Ancok,1985; Turmudhi, 1991; Safaria, 1999).

1. Dimensi ideologis (religious belief), yaitu dimensi yang menunjukkan tingkat keyakinan seseorang terhadap kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran fundamental atau dogma

2. Dimensi ritualistik (religious practice), yaitu dimensi yang menunjukkan tingkat kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang dianjurkan di dalam agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan kepatuhan seseorang dalam melaksanakan ibadah, sembahyan, puasa, dll

3. Dimensi eksperiensial (religious feeling atau experiental dimension), yaitu yang menunjukkan seberapa jauh tingkat seseorang dalam merasakan dan mengalami perassaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman religiusnya. Misalnya seberapa besar seseorang merasakan kedekatan dengan orang lain, keyakinan akan doanya terkabul atau keyakinannya bahwa Tuhan akan memberikan pertolongan

4. Dimensi intelektual (religious knowledge), yaitu yang menunjukkan tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang termuat dalam kitab suci atau pedoman pokok agamanya. Misalnya, apakah individu memahami bagaiman cara melakukan sholat, bagaimana cara mensucikan diri dari kotoran, berpuasa yang benar, dll.

(10)

dengan senang hati mendermakan uangnya untuk kegiatan sosial dan keagamaan. Bisa menahan diri dari mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh agama seperti menolak untuk mencuri, berbohonh atau memkai narkoba.

Pengembangan Instrumen Asesmen Otentik

Pada dasarnya instrumen dibagi dua, yaitu instrumen yang berbentuk tes dan instrumen yang non tes1. Tes merupakan prosedur sistematis untuk melakukan pengamatan

terhadap perilaku seseorang dan mendiskripsikan perilaku tersebut dengan bantuan skala angka atau suatu sistem penggolongan2. Indikator perilaku yang diungkapkan oleh

instrumen tes bersifat kinerja maksimal (Maximum performance) karena suatu tes dirancang untuk mengungkapkan kemampuan individu secara maksimal. Yang termasuk dalam kelompok tes adalah tes prestasi belajar, tes inteligensi, tes bakat, atau tes kemampuan akademik.

Sementara itu, indikator perilaku yang diungkapkan oleh instrumen yang berbentuk non tes bersifat Instrumen penilaian kinerja (performance assesment) mencakup konten/konteks yang dinilai berpatok pada pedoman/penuntun pemberian skor yang memuat karakteristik kualitas Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikatakan bahwa hakikat instrumen adalah alat ukur yang dimiliki kualitas validitas dan reliabilitas yang baik dan digunakan untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini Instrumen spriritualitas diperoleh melalui prosedur pengembangan skala Thurstone. Penggunaan skala Likert didasarkan pada pendapat Djaali bahwa skala Likert dapat dipergunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi seseorang atau kelompok tentang suatu gejala atau fenomena pendidikan.3 Sedangkan Seltiz menyatakan penggunaan skala

Likert lebih mudah dikonstruksi dari pada skala Thurstone selain itu skala Likert memberikan koefisien korelasi lebih tinggi dari pada skala Thurstone.4

1. Prosedur Pengembangan Instrumen Spritualitas

1 Ibid., h. 127.

2 Lee J. Cronbrach, 1984. Essentials of Psychologocal Testing (New York: Harper and Row Publishers, h. 26.

3 Djaali dan Pudjiono Muljono, op cit, h. 40.

(11)

Bagan Alir Penyusunan Konstruk Instrumen Pengukuruan Spiritualitas dan Kisi-kisi

 Identifikasi aspek Spiritualitas

 Evaluasi dan penilaian oleh pakar

 Revisi

 Uji coba

 Evaluasi

 Revisi

2. Ujicoba Instrumen

Menurut Djaali untuk mengetahui apakah suatu instrumen dianggap valid secara konseptual maka instrumen tersebut diujicobakan pada sekelompok responden yang

Kajian Teori Tentang Konsep Variabel dan menyusun konstruk dari variabel Tersebut

Pengembangan Dimensi dan Indikator

Membuat Kisi-kisi Instrumen Penilaian Spritualitas

Validasi Teoritik dan Validasi empirik

Uji Coba Instrumen

Butir-butir Instrumen Penilaian Spiritualitas Hasil Uji Coba dan Kisi-kisi

(12)

akan dianalisa untuk menguji validitas internal. Analisa data hasil uji coba dimaksudkan untuk menguji validitas butir instrumen secara empiris, validitas yang akan diuji adalah validitas antara skor butir dengan skor total.5

3. Kalibrasi

a. Validitas Instrumen

Dalam penelitian ujicoba untuk content validity pada instrumen pada skor butir kontinum yaitu pada variabel penilaian praktikum IPA digunakan rumus korelasi product moment (r).Hal ini sesuai dengan pendapat Ferguson, jika skor butir kontinum maka untuk menghitung skor butir dengan skor total instrumen digunakan rumus koefisien korelasi product moment (r).6 Menurut Kaplan koefisien korelasi Pearson product moment adalah

perbandingan yang digunakan untuk membedakan tingkat variasi pada variabel tersebut dan juga mengestimasi variasi pada variabel yang lainnya. Koefisien korelasinya dinyatakan dengan nilai dari –1,0 dan 1,0.7 dan Sudjana juga menyatakan bahwa rumus

product moment Korelasi lebih senang digunakan karena; (1) perhitungannya sederhana sementara besaran-besaran yang diperlukan bisa langsung diperoleh dari besaran-besaran yang ada pada saat menentukan regresi Y atas X, (2) lebih terlihat dalam bentuk data asli, kekeliruan yang terjadi pada hasil akhir untuk r sangat kecil, (3) tanda r positif atau negatif bisa langsung diperoleh, dan (4) mudah dibuat program perhitungan dengan mneggunakan bantuan komputer.8

Kaplan juga menyatakan bahwa Validity didefinisikan sebagai pencocokan skor test atau ukuran dengan kualitas ukuran yang dapat dipercaya.9 Sedangkan

Kerlinger secara epistemologi menyatakan definisi validity dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut, apa yang diukur dan bagaimana mengukurnya?10

Menurut Ghiselli ada tiga tipe validity, yaitu: (1) criterion-related Validity, (2) content Validity, dan (3) construct Validity.11

5 Djaali, Pudji Muljono dan Ramly, op.cit., pp. 116.

6 George A. Ferguson and Yoshio Takane, Statistical Analysis in Psychology and Education (New York: McGraw-Hill Book Company, 1989), p. 125.

7 Robert M. Kaplan, Basic Statistics For The Beavioral Sciences (Boston: Allyn and Bacon, Inc., 1987) pp. 224.

8 Sudjana, Teknik Analisis Regresi dan Korelasi (Bandung: Tarsito, 1992), pp. 47-48. 9 Kaplan, op.cit., p. 254.

(13)

Construct validity mempermasalahkan seberapa jauh item-item tes mampu mengukur apa yang harus diukur sesuai dengan definisi konseptual yang telah ditetapkan.12

Menyusun sebuah construct validity harus dimulai dari definisi teori untuk konstruk, den-gan memberikan beberapa teori tentang prilaku, dan teori khusus denden-gan cara: (1) tujuan konstruk, (2) bagaimana hubungan antara konstruk, dan (3) bagaimana hubungan dari pri-laku khusus yang tampak.13 Kerlinger menyatakan bahwa criterion related validity adalah

membandingkan tes atau skor dengan satu atau beberapa variabel eksternal atau kriteria14

sedangkan Ghiselli menyatakan bahwa The Criterion related validity digambarkan secara kuantitatif yang ditampilkan berupa tingkat hubungan antara skor predictor dan skor crite-rion. Tingkat hubungan ini dihitung dengan menggunakan rumus koefisien korelasi Pear-son seperti point biserial, biserial, phi atau tetrachoric. Koefisien yang digunakan untuk mengindikasikan tingkat hubungan antara skor predictor dan criterion biasanya disebut dengan koefisien validitas.15

b. Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas berasal dari kata reliability berarti sejauh mana suatu pengukuran dapat dipercaya. Suatu hasil pengukuran hanya dapat dipercaya apabila dalam beberapakali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama, diperoleh hasil pengukuran yang relatif sama.16 Agar instrumen dalam penelitian ini dapat dipercaya maka

harus mempunyai reliabilitas yang memadai.

Ghiselli menyatakan bahwa, The reliability of measurement (or the lack it) is the extent of unsystematic in the quantitative description of some characteristic of an individ-ual when the same individindivid-ual is measured a number of times”17 Definisi ini memberikan

asumsi dengan mengukur berulang-ulang prilaku seseorang dengan cara membedakan skor seseorang, seperti membedakan skor masing-masing individu menunjukkan variasi yang tidak sistematis. Sedangkan Kerlinger menyatakan bahwareliabilitas adalah ketepatan atau

12 Djaali, Pudji Muljono dan Ramly, op.cit., p. 73. 13 Ghiselli, Campbell and Zedeck, op.cit., p. 282. 14 Kerlinger, op.cit., p. 459.

(14)

ketelitian dalam mengukur instrumen18 dan Marlene menyatakan bahwa reliabilitas

men-gacu pada suatu tingkatan dimana hasil-hasil pengukuran bebas dari kesalahan-kesalahan yang tidak dapat diramalkan

Reliabilitas instrumen untuk mengukur variabel perhatian orang tua digunakan ru-mus Alpha Cronbach untuk mengestimasi konsistensi internal dari instrumen yang itemnya bukan skor 0 atau 1 (benar atau salah).19 Koefisien reliabilitas variabel tersebut dihitung

setelah butir pernyataan yang tidak valid dibuang.

c. Validasi oleh Pakar/Tenaga Ahli

Instrumen dimaksudkan untuk mengukur tingkat spiritualitas / religiusitas yang diukur melalui aspek: (a) ideologis, (b) konsekuensial, (c) eksperiensial, (d) intelektual, dan (e) ritualistik. Validasi tenaga ahli dilakukan melalui prosedur Thurstone.

Kriteria penilaian berdasarkan atas:

a. Kesesuaian antara pernyataan dengan variabel b. Kesesuaian antara pernyataan dengan indikator

c. Kesesuaian antara pernyataan dengan indikator dan variabel

d. Penulisan pernyataan menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang benar e. Pernyataan tidak ambigu/bermakna ganda

(15)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan “Research and Development”. Menurut Borg dan Gall (1979:626), “ Educational research and development (R&D) is process used to develop and validate educational products.” Dalam kaitan ini Borg dan Gall menjelaskan bahwa, yang dimaksud produk dalam konteks penelitian dan pengembangan pendidikan tidak hanya terbatas pada bahan-bahan material saja seperti buku teks, film pendidikan dan sejenisnya, akan tetapi juga berhubungan dengan prosedur dan proses seperti misalnya metode mengajar atau metode pengorganisasian pembelajaran.

Proses pelaksanaan “Research and Development” membentuk suatu siklus yang diawali dengan melakukan suatu studi pendahuluan untuk menemukan suatu produk pendidikan, kemudian produk tersebut dikembangkan dalam suatu situasi tertentu, diuji, direvisi, dan dikaji kembali, sampai pada akhirnya ditemukan produk akhir yang dianggap sempurna yang selanjutnya produk tersebut diuji validasinya. Apabila sudah teruji, diharapkan dapat diterapkan untuk memperbaiki proses pendidikan dalam upaya menghasilkan lulusan (output) yang lebih baik.

Secara rinci prosedur penelitian dan pengembangan (Research and Development) menurut Borg dan Gall membagi kedalam 10 tahapan pokok, yaitu:

1. Riset dan pengumpulan informasi yang meliputi penelaahan literature dan observasi lapangan;

2. Perencanaan, meliputi pendefinisian produk yang akan dikembangkan, perumusan tujuan dan menentukan urutan pelajaran;

3. Pengembangan produk awal termasuk mempersiapkan bahan-bahan pembelajaran, buku pegangan dan alat penilaian;

(16)

5. Revisi produk awal setelah ditemukan berbagai kelemahan dan kekurangan, selanjutnya produk awal tersebut dikembangkan menjadi menjadi produk yang lebih baik;

6. Uji lapangan produk yang sudah direvisi dalam skala yang lebih luas. Pada tahap ini, data secara kuantitatif dari subyek penelitian (siswa) baik sebelum maupun sesudah proses pengembangan dikumpulkan, hasilnya divalidasi dan dibandingkan dengan kelompok lain;

7. Revisi produk yang telah diuji lapangan pada tahap 6;

8. Uji lapangan produk yang sudah direvisi dalam skala yang lebih luas lagi. Pada tahap ini dilakukan wawancara, observasi dan penyebaran angket untuk mengumpulkan data, yang selanjutnya data tersebut dianalisis;

9. Revisi akhir produk (final product revision). Revisi ini dilakukan berdasarkan hasil iji lapangan pada langkah 8;

10. Desiminasi dan distribusi, yaitu langkah melaporkan produk yang telah dihasilkan pada pertemuan ilmiah serta dipublikasikan melalui jurnal.

B. Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang ditempuh melalui penelitian ini mengacu pada model penelitian dan pengembangan seperti yang dikemukakan oleh Borg dan Gall. Atas dasar pertimbangan kondisi dan situasi lapangan serta rekomendasi pihak terkait (jurusan Tadris IPA STAIN Cirebon, jumlah mahasiswa sebanyak 300 mahasiswa), yang tidak mungkin membawa siswa pada situasi laboris seperti yang dilakukan Borg dan Gall, maka proses penelitian dan pengembangan model melalui uji coba terbatas dan uji coba yang lebih luas, dilakukan di kelas reguler. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya terjadi penyederhanaan walaupun prosedur penelitian yang ditempuh tetap mengacu pada model penelitian dan pengembangan seperti yang disarankan Borg dan Gall. Langkah-langkah dan prosedur penelitian yang digunakan adalah:

1. Melakukan Pra-survai

(17)

Studi mengenai kinerja guru dan siswa merupakan fokus penelitian pertama yang dianggap penting untuk diteliti, sebab guru dan siswa merupakan subyek dalam proses pembelajaran. Di samping guru dan siswa, studi pendahuluan juga dilakukan dengan menganalisis kondisi kampus yang bukan saja tentang fasilitas termasuk media pembelajaran yang tersedia serta pemanfaatannya oleh guru, akan tetapi juga tentang iklim sosial dan iklim psikologis warga kampus seperti pimpinan perguruan tinggi, guru, staf administrasi kampus dan siswa.

2. Menyusun Rencana Awal Model

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan hasil pra-survai, langkah selanjutnya adalah menyusun rancangan atau desain awal pembelajaran. Proses pelaksanaan dalam rancangan dan pengembangan model awal ini dilakukan dengan kolaborasi bersama dosen mata kuliah khususnya.

3. Mengadakan Uji Coba

Uji coba yang dilakukan dalam dua tahap, yaitu uji coba terbatas dan yang lebih luas. Uji coba terbatas difokuskan kepada evaluasi proses pada satu mata kuliah yang melibatkan dosen dan mahasiswa semester 5/6, sedangkan uji coba yang lebih luas difokuskan kepada evaluasi proses, juga difokuskan kepada evaluasi hasil yang melibatkan dosen dan mahasiswa semester 5/6 pada beberapa mata kuliah yang berbeda. Desain uji coba dalam skala yang lebih luas digunakan desain tes awal-tes akhir atau kelompok (Nana Sudjana, Ibrahim, 1989:35). Desain uji coba lebih luas digambarkan sebagai berikut:

Tes awal Variabel bebas (Perlakuan)

Tes akhir

T1 X T2

Langkah-langkah yang ditempuh dalam proses uji coba yang lebih luas sesuai dengan desain di atas adalah sebagai berikut:

a. Menentukan sekelompok subyek penelitian; b. Mengadakan tes awal (T1);

(18)

d. Mengadakan tes akhir (T2), setelah proses belajar mengajar dengan model pembelajaran;

e. Mencari rata-rata baik tes awal (T1) maupun tes akhir (T2), membandingkan keduanya;

Dengan metoda statistika dicari selisih perbedaan antara kedua rata-rata tersebut, untuk menentukan ada dan tidaknya pengaruh yang signifikan dari penggunaan model pembelajaran. Selain analisis nilai rata-rata, dalam pelaksanaan uji coba ini juga dilakukan analisis proses untuk penyempurnaan model yang dikembangkan.

4. Melakukan Pengujian Model

Pengujian (validasi) model dilakukan untuk melakukan efektifitas model pembelajaran yang akan dikembangkan dengan model pembelajaran yang selama ini digunakan dalam proses pembelajaran sains. Desain eksperimen yang digunakan adalah desain statis dua kelompok (Nana Sudjana, Ibrahim, 1989:37). Bagan disain tersebut adalah sebagai berikut:

Berdasarkan disain di atas, maka langkah-langkah dalam uji validasi adalah sebagai berikut:

1. Menentukan kelompok eksperimen (KE) dan kelompok kontrol (KK), yaitu 3 kelompok kampus yang dijadikan subyek pada uji coba yang lebih luas;

2. Melakukan perlakuan (X) yaitu untuk KE, dan pada KK diberikan pelajaran dengan model pembelajaran yang selama ini digunakan ;

3. Mengadakan tes akhir (Y) baik untuk KE maupun untuk KK;

4. Membandingkan gain, (selisih antara hasil tes awal dan tes akhir) antara KE dan KK;

5. Menguji signifikansi secara statistik perbedaan tersebut.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi dan Subyek Penelitian Pra-survai

Penelitian dilakukan di kampus STAIN Cirebon, Prodi Tadris IPA-Biologi 1. Lokasi dan Subyek Penelitian untuk Uji Coba Terbatas

(19)

2. Lokasi dan Subyek Penelitian Kegiatan Uji Coba yang Lebih Luas

Penelitian dilakukan di kampus STAIN Cirebon Prodi Tadris IPA-Biologi 3. Lokasi dan Subyek Penelitian untuk Uji Validasi Model Pembelajaran

Penelitian dilakukan di kampus: STAIN Cirebon pada pembelajaran di Prodi Tadris IPA-Biologi Jurusan Tarbiyah.

D.Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah (1) pengamatan (observasi), (2) wawancara dan kuesioner, (3) analisis dokumen dan (4) tes). 1.Pengamatan (observasi)

Pengamatan (observasi) dilakukan pada setiap tahapan penelitian, baik pada tahap pra-survai, tahap pengembangan maupun pada tahap uji coba yang lebih luas. Pada tahap pra-survai observasi dilakukan untuk mengumpulkan data tentang pola pembelajaran yang selama ini dilakukan oleh dosen dan mahasiswa di dalam kelas, serta fasilitas termasuk media pembelajaran sains yang tersedia dan penggunaannya dalam proses pembelajaran.

Pada tahap uji coba baik terbatas maupun yang lebih luas, observasi dilakukan untuk mengumpulkan data tentang pola pembelajaran dosen sains serta cara belajar mahasiswa.

2.Wawancara dan Kuesioner

Wawancara dan kuesioner digunakan pada tahap pra-survai, tahap pengembangan model dan tahap uji coba. Pada tahap pra-survai wawncara dan kuesioner digunakan untuk memperoleh informasi dari guru dan siswa. Pada tahap pengembangan uji coba model untuk mendapatkan informasi dalam rangka penyempurnaan model yang sedang dikembangkan digunakan wawancara. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak berstruktur atau wawancara yang menghendaki jawaban terbuka. Hal ini dimaksudkan agar sumber data dapat mengemukakan pandangannya sesuai dengan pendapatnya secara bebas.

(20)

memungkinkan responden untuk menjawab sesuai dengan pendapatnya. Bentuk kuesioner semacam ini dianggap efektif untuk menjaring data sesuai dengan pertanyaan penelitian. 3.Analisis Dokumen

Analisis dokumen digunakan untuk mengumpulkan berbagai informasi khususnya untuk melengkapi data dalam rangka studi pendahuluan, yaitu untuk menjawab pertanyaan penelitian yang berhubungan dengan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran sains yang selama ini berlangsung.

4.Tes

Tes dalam penelitian ini adalah alat ukur yang diberikan kepada individu untuk mendapatkan jawaban yang diharapkan secara tertulis. Tes digunakan untuk mengukur ada atau tidak adanya pengaruh penggunaan model pembelajaran terhadap penguasaan materi pembelajaran serta untuk menguji efektifitas penggunaan model yang telah dipilih dibandingkan dengan model pembelajaran yang selama ini digunakan oleh dosen dalam pembelajaran sains. Tes dalam penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan uji coba model yang lebih luas serta uji validasi model.

Tes yang digunakan bukan dalam penelitian ini bukan tes baku atau tes standar. Akan tetapi tes yang disusun oleh dosen bersama peneliti. Hal ini didasarkan kepada pertimbangan bahwa tes prestasi belajar yang disusun sendiri dapat mengungkapkan keberhasilan model pembelajaran. Nana Sudjana, Ibrahim (1989:101) mengemukakan bahwa, dalam penelitian pendidikan, penyusunan tes prestasi belajar buatan peneliti sebagai alat pengumpul data jauh lebih baik daripada tes baku atau sekedar mengumpulkan data sekunder dari dokumen hasil belajar yang telah ada, sebab instrumen yang dihasilkan dapat dipandang sebagai hasil penelitian itu sendiri.

E. Penyusunan Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian disusun sesuai dengan alat pengumpul data seperti yang telah dikemukakan di atas. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penyusunan instrumen penelitian ini adalah:

(21)

2. Membuat kerangka pertanyaan setiap alat pengumpul data yang telah ditentukan berserta kemungkinan jawabannya. Alat pengumpul data seperti tes, kerangka pertanyaan ditentukan bersama dosen pengampu mata kuliah. Hal ini didasarkan kepada pertimbangan bahwa terdisfungsikan hanya untuk kepentingan pra dan pasca-tes yang digunakan untuk memperoleh keandalan model yang dikembangkan;

3. Menguji coba instrumen setelah sebelumnya meminta pendapat dan pertimbangan ahli tentang instrumen yang telah disusun. Pertimbangan para ahli dimaksudkan untuk menguji validitas isi dan validitas konstruk. Sedangkan uji coba dilaksanakan untuk menguji keterbacaan instrumen;

4. Merevisi instrumen setelah mempertimbangkan hasil konsultasi dengan ahli dan memasukan hasil uji coba keterbacaan. Beberapa revisi yang disarankan oleh ahli diantaranya tentang bentuk pertanyaan yang diajukan yang sebaiknya tidak menimbulkan kesan seperti menguji, serta bentuk option yang tidak terbatas kepada option tertutup akan tetapi harus memberi kemungkinan jawaban yang bersifat terbuka. Sedangkan hasil uji coba keterbacaan adalah adanya saran tentang penjelasan istilah yang dianggap sulit khusunya untuk siswa seperti istilah” media pembelajaran;

5. Memperbanyak instrumen sebanyak subyek penelitian. F.Analisis Data

Pendekatan “Research and Development” yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh asesmen model pembelajaran dalam pembelajaran sains berbasis imtak yang sesuai dengan kondisi lapangan yang ada, yang dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran sains di LPTK PTAI. Sesuai dengan penelitian ini maka ada dua jenis data yaitu data kualitatif dan data kuantitatif.

(22)

Sudjana dan Ibrahim (1989:126) bahwa data kualitatif bisa disusun dan langsung ditafsirkan untuk menyusun kesimpulan penelitian melalui kategorisasi data kualitatif berdasarkan masalah dan tujuan penelitian. Dijelaskan pula bahwa peneliti tidak perlu melakukan pengolahan data melalui perhitungan matematis sebab data telah memiliki makna apa adanya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka data kualitatif yang diperoleh dalam setiap tahapan penelitian setelah dilakukan katagorisasi secara langsung ditafsirkan oleh peneliti untuk selanjutnya diambil kesimpulan.

Data kuantitatif dilakukan dalam proses uji coba dan uji validasi. Dalam proses uji coba, analisis data kuantitatif digunakan untuk melihat pengaruh penggunaan model terhadap penguasaan materi pembelajaran sains, dengan mencari selisih (gains) antara hasil pra dan pasca-tes. Sedangkan, pengujian validasi digunakan untuk melihat efektifitas model pembelajaran sebagai hasil pengembangan dibandingkan dengan model pembelajaran yang selam ini digunakan oleh guru. Proses analisis data dilakukan menggunakan bantuan komputer dengan program SPSS versi 15.0.

G. Agenda Rencana Penelitian

No. KEGIATAN RENCANA

1  Persiapan teknis:

 Seminar proposal

 Perbaikan proposal

 Penetapan lokasi dan ijin penelitian

Bulan 1

2. Penilaian dan uji coba instrumen Bulan ke 1 dan 2

3. Penelitian pra-survai Bulan ke 2 dan 3

4. Analisis Pendahuluan Bulan ke 2 dan 3

5. Penyusunan draf awal model dan review Bulan ke 3 dan 4 6. Uji coba terbatas dan penyempurnaan Bulan ke 4, 5 dan 6 7. Uji coba lebih luas dan penyempurnaan

hingga ditemukan model final

Bulan ke 6, 7 dan 8

8. Pengujian validasi Bulan ke 8, 9 dan 10

9. Penyusunan laporan Bulan ke 11 dan 12

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

(23)

Pada bagian pertama dari penelitian ini, peneliti terlebih dahulu melakukan penelusuran literature untuk menyusun sebuah model pembelajaran yang sesuai bagi pem-belajaran sains berbasis iman dan takwa. Pembentukan model pempem-belajaran ini merupakan suatu rangkaian kegiatan hingga terbentuknya sebuah model yang dianggap solid. Proses pembentukan model pembelajaran sains berbasis iman dan takwa ini diawali dengan meru-muskan ide-ide atau konsep-konsep model hipotetis kurikulum yang memadukan sains dan imtak yang dianggap cocok untuk diterapkan di perkuliahan. Dari gagasan atau konsepsi tersebut selanjutnya dikembangkan rancangan atau desain tertulis, model implementasi dan evaluasi atas hasil yang diharapkan oleh guru sains.

1. Gagasan/Konsepsi Sains Berbasis Imtak Hakikat Sains

Untuk membahas hakikat sains, diperlukan sebuah kajian kritis yang tentunya akan membawa konsekuensi pada cara pandang manusia dalam menanggapi dan menghayati sains. Cara pandang yang sempit tentang sains akan mempengaruhi warna yang diberikan kepada para siswa dalam proses pendidikan dan pembelajaran sains. Terlepas dari materi apa yang diajarkan, model pendidikan dan pembelajaran sains akan sangat dipengaruhi oleh persepsi para pendidik tentang sains itu sendiri.

Untuk membahas hakikat sains, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, sehingga para memungkinkan para pendidik untuk memahami pengertian sains secara lebih luas.20

1. Sains sebagai kumpulan pengetahuan

Sebagai kumpulan pengetahuan, sains mengacu pada berbagai konsepsi sains yang sangat luas. Sains dipertimbangkan sebagai akumulasi berbagai pengetahuan yang telah ditemukan sejak zaman dahulu sampai pengetahuan yang terkini dan terbaru. Pengetahuan tersebut berupa fakta, konsep, teori dan generalisasi yang menjelaskan tentang alam semesta.

2. Sains sebagai suatu proses penelusuran (investigasi)

(24)

kegiatan laboratorium beserta perangkatnya. Sains dipandang sebagai suatu displin ilmu yang ketat dari kegiatan pengamatan, inferensi, hipotesis dan percobaan tentang alam semesta.

3. Sains sebagai kumpulan nilai

Sebagai kumpulan nilai, sains berhubungan erat dengan penekanan sains sebagai proses. Bagaimanapun juga, pandangan ini menekankan pada aspek nilai ilmiah yang melekat dalam sains, termasuk di dalamnya nilai kejujuran, rasa ingin tahu (curiousity), dan keterbukaan akan berbagai fenomena yang baru sekalipun 4. Sains sebagai cara untuk mengenal dunia

Proses sains dipengaruhi oleh cara manusia memahami kehidupan dan dunia di sekitarnya. Dalam konteks ini, Sains dipahami sebagai salah satu cara manusia mengerti dan memberi makna pada dunia di sekitar mereka. Diyakini, bahwa sains merupakan hal sangat penting dan karenanya dipandang sebagai suuatu cara untuk memahami alams emesta. Namun demikian, disadari pula bahwa sians memiliki keterbatasan sebagai suatu keumpulan pengetahuan dan strategi untuk memahami dunia secara komprehensif.

5. Sains sebagai Institusi Sosial

Sains seharusnya dipandang dalam pengertian sebagai kumpulan para profesional dan ilmuwan, dimana para melalui sains para ilmuwan dilatih dan diberi penghargaan akan karya yang dihasilkannya, didanai, dan diatur dalam masyarakat, dikaitkan dengan unsur pemerintah, bahkan dipengaruhi dalam politik. Kenyataannya, saat ini banyak para ilmuwan mengembangkan sains berkaitan dengan kepentingan negara ataupun tendensi tertentu.

6. Sains sebagai Hasil Konstruksi Manusia

Pandangan ini menunjuk pada pengertian bahwa sains sebenarnya merupakan penemuan dari suatu kebenaran ilmiah mengenai hakikat alam semesta yang tidak lain merupakan akumulasi kebenaran yang diperoleh. Hal pokok dalam pandangan ini adalah sains merupakan kontruksi pemikiran manusia, yang karenanya apa yang dihasilkan bisa jadi memiliki sifat bias dan sementara.

(25)

Manusia menyadari bahwa apa yang dipakai dan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sangat dipengaruhi oleh sains. Hal ini tidak semata-mata dalam wujud produk teknologi sebagai hasil dari metode ilmiah dalam sains, tetapi juga berupa bagaimana cara manusia berpikir mengenai situasi sehari-hari yang sangat kuat dipengaruhi oleh pendekatan ilmiah.

Kritik terhadap Sains Modern dan Urgensi Sains Islam

Memang benar bahwa Barat telah memperoleh kemajuan yang sangat besar baik di bidang sains maupun teknologi, menurut terminologi mereka, sejak mereka memisahkan aspek metafisik dari pemikiran dan kehidupan mereka. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan sains dan teknologi tersebut diikuti pula oleh berbagai dampak negatif yang semakin besar manakala kehilangan ikatan aspek metafisiknya. Dalam pandangan Ziauddin Sardar, sebagian besar sains modern yang ada sekarang ini menyebar karena dominasi Barat di bidang ini, dan tumbuh dengan akar budaya, illusi, etos atau sistem nilai Barat, maka mudahlah dipahami bahwa sains modern atau sains Barat tidak mungkin bersifat universal, netral dan bebas nilai. Dalam kerangka ini, sains seringkali dikembangkan untuk mengejar keuntungan dan jumlah produksi, untuk pengembangan militer dan perlengkapan-perlengkapan perang, serta untuk dominasi suatu ras manusia terhadap ras lainnya, sebagaiman juga untuk mendominasi dan mengeksploitasi alam semesta. Sejauh mana sains modern bersifat universal, tidak netral, dan bebas nilai, para ilmuwan muslim sendiri masih memiliki keragaman pendapat.

(26)

dan personalitas peradaban Barat.21 Karenanya, Sardar memandang perlu untuk

merekontruksi sains dan membentuk apa yang disebut dengan sains Islam.

Pro dan Kontra Seputar Sains Islam dan Islamisasi Sains

Dalam majalah Nature (vol. 282/22, 1979), Ziauddin Sardar melaporkan hasil perjalanannya ke delapan negara muslim (Tunisia, Mesir, Turki, Syiria, Arab Saudi, Pakistan, dan Malaysia) yang dipilihnya sebagai negara kunci yang mewakili pendapat dan sikap ilmuwan-ilmuwan muslim di dunia Islam terhadap sains modern dan teknologi modern. Sardar mengklasifikasikan pendapat tersebut menjadi empat pandangan dan sikap yang membentuk suatu spektrum luas sikap ilmuwan muslim terhadap sains modern.22

Pandangan yang pertama, menganggap sains itu bersifat universal, netral dan bebas nilai, karenanya hanya ada satu sains. Pandangan ini sebenarnya merupakan pandangan yang dominan di kalangan ilmuwan Barat dan juga para ilmuwan Tunisia yang diwakili oleh Ali El-Hilli. Bahkan El-Hilli mengungkap, “Kita tidak dapat mengkompromikan rasionalitas dasar dari sains dengan urusan-urusan keagamaan. Jika kita kompromikan obyektivitas dan netralitas sains dengan nilai-nilai dan etika Islam, maka kita akan menghancurkan landasan terdasar dari sains itu sendiri. Pandangan ini juga dianut oleh sebagian ilmuwan di Mesir, Syiria dan Turki

Pandangan kedua, banyak dianut di Iran dan di Arab Saudi, seperti diungkap oleh Abdulah Umar Nassef, “Sains sekarang adalah sains Barat yang tumbuh dengan akar-akar budaya, etos, ilusi dan nilai-nilai Barat. Karenanya, harus direkontruksi dengan sains Islami. Dalam Islam, Sains harus tunduk di bawah tujuan-tujuan masyarakat. Tujuan umat Islam adalah mempererat persaudaraan, mengurangi konsumsi dan meningkatkan kesadaran spiritual”. Jelas bahwa pendapat ini menghendaki Islamisasi Sains bukan saja pada tujuan Sains tetapi juga landasan filosofisnya.. Karenanya, Waqar S. Hussaini mengungkapkan bahwa “sains Islami tidak dapat dipisahkan secara ontologis maupun etimologis dari konsep Islam tentang Tuhan. Sains Islam adalah sains untuk ummat dan

(27)

bekerja di dalam parameter-parameter konsep Islam tentang maslahat dan memajukan serta menjaga “Dhoruriyyat al Khomsah”.

Diantara kedua kutub pendapat di atas terdapat dua pendapat lain. Pendapat Ketiga, misalnya seperti diungkap dari Ali Kattani, “Sains Islam tidak berbeda secara radikal terhadap sains Barat. Hanya saja prioritas riset dan penekanannya berbeda sehingga baik kuantitas maupun kualitas isinya juga berbeda. Begitu pula tujuan-tujuan pemakaiannya.”

Pandangan Keempat, merupakan pandangan ilmuwan Pakistan dan Malaysia yang menganggap isi sains bersifat bersifat universal, tetapi penerapannya harus untuk tujuan-tujuan Islami.

Di samping itu, terdapat pula pandangan lain yang pada prinsipnya lebih menitikberatkan pada sains natural (sains alam), seperti diungkap oleh Maurice Bucaille23.

Ia beranggapan bahwa sains modern sekarang ini sudah Islami justru karena unversalitasnya. Buktinya, banyak penemuan-penemuan sains modern sudah diisyaratkan oleh Al Qur’an.

Dengan demikian, jelaslah bahwa terdapat spektrum sudut pandang yang cukup luas dimulai dari universalisme sains yang konservatif, pandangan Islamisasi moderat yang tidak menganggap perlu Islamisasi filsafat sains, universalisme liberal yang mengizinkan Islamisasi tujuan penerapan sains, dan akhirnya baik tujuan maupun landasan filsafatnya perlu diislamisasikan, serta paham Bucaillisme yang lebih menitikberatkan pembuktian sains dengan Al Qur’an.

Paradigma Sains Islam

Sains Islam, menurut Sardar, sebagaimana dibuktikan oleh sejarahnya, jelas-jelas berusaha untuk menjunjung dan mengembangkan nilai-nilai dari pandangan dunia dan peradaban Islam, tidak seperti sains Barat yang berusaha untuk mengesampingkan semua masalah yang menyangkut nilai-nilai. Ciri yang unik dari sains Islam berasal dari penekanannya pada kesatuan agama dan sains, pengetahuan dan nilai-nilai, fisika dan

(28)

metafisika. Sedangkan menurut Osman Bakar, kesadaran religius terhadap tauhid merupakan sumber semangat ilmiah dalam seluruh wilayah pengetahuan.

Dalam pandangan Islam, cakupan sains tidaklah terbatas pada aspek material yang bertebaran di jagat raya, sebagaimana pandangan Barat selama ini. Islam memberikan ruang lingkup yang lebih luas terhadap sains yang meliputi tiga aspek. Pertama, aspek metafisik yang dibawa oleh wahyu. Aspek ini menjawab pertanyaan-pertanyaan abadi yang selalu muncul dalam jiwa manusia, yaitu dari mana, ke mana, dan bagaimana. Dengan memahami jawaban pertanyaan-pertanyaan ini menjadikan manusia tahu akan dirinya, tahu perjalanan dan misinya, dan tahu pula akan Tuhannya. Menurut Islam, ilmu inilah yang menempati tempat tertinggi. Kedua, aspek humaniora, dan studi-studi yang berkaitan dengannya, meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, dan disiplin ilmu lain yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Ketiga, aspek material, yang mencakup ilmu matematika dan ilmu alam, ilmu falak, kedokteran, teknik, dan lain-lain. Tegasnya segala ilmu yang dibangun di atas observasi dan eksperimen. Ketiga aspek ini, menurut Islam tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena disinilah letak kekuatan dan kesatuan ilmu dalam Islam seperti diisyaratkan Al Qur’an dalam surat Fusshilat ayat 53 berikut :

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Rabbmu tidak cukup bagi kamu bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.”

(29)

Ibadah Khilafah

Zhulm

Dhiya' Haram Tauhid

'Ilm

'Adl

Istishlah Halal

Sebuah definisi mengenai sains Islam kini bisa diformulasikan dalam terma kerangka nilai-nilai Qur'ani. Paradigma-paradigma sains Islam adalah konsep-konsep Tauhid, khilafah, ibadah. D idalam paradigma-paradigma ini, sains islam bekerja melalui perantaraan 'ilm untuk memajukan keadilan sosial ('adl) dan kepentingan umum (istishlah). Oleh karena itu, sains Islam bertanggung jawab untuk mengembangkan kesadaran ketuhanan; mengharmoniskan tujuan dan cara dalam mencari ilmu pengetahuan; memperhatikan relevansi sosial dalam pencarian maupun penerapan ilmu pengetahuan; serta menolak netralitas ilmu pengetahuan obyektif. Berbeda dengan sains Barat yang berupaya memperkembangkan nilai-nilai kebudayaan Barat dan peradaban Barat, sains Islam mengembangkan nilai-nilai pandangan dunia Islam.

(30)

untuk mengantisipasi dampak negatif teknologi, secara otomatis akan membentuk sebagian dari sains Islam.25

Hakikat Pendidikan Sains

Sains dari aspek dan epistemologi, didefinisikan sebagai “Suatu deretan konsep serta skema konseptual yang berhubungan satu sama lain, dan yang tumbuh sebagai hasil eksperimentasi dan observasi, serta berguna untuk diamati dan dieksprementasikan lebih lanjut”. Sebagai disiplin ilmu, sains diidentikkan dengan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) yang terediri atas physical sciences dan life sciences. Termasuk physical sciences adalah ilmu-ilmu astronomi, kimia, geologi, mineralogi, meteorologi, dan fisika. Sedangkan life sciences meliputi biologi, zoologi, dan fisiologi. Hal ini sejalan dengan pendefinisian yang diberikan dalam Encyclopaedia of Knowledge, 1993, dimana Sains / IPA didefinisikan sebagai pengembangan dan sistematisasi dari ilmu pengetahuan positif yang berkaitan dengan alam semesta. Perkembangan IPA ditunjukkan tidak hanya oleh kumpulan fakta saja, melainkan juga oleh timbulnya metode ilmiah (scientific method) dan sikap ilmiah (scientific attitude).26

Sementara itu, A.N. Whitehead menyatakan bahwa sains dibentuk karena pertemuan dua orde pengalaman, yaitu orde observasi yang didiasarkan pada hasil observasi terhadap gejala/fakta alam, dan orde konsepsional yang didasarkan pada konsep manusia mengenai alam semesta.27

Dengan demikian, Sains berupaya membangkitkan minat manusia agar mau meningkatkan kecerdasan dan pemahaman tentang alam seisinya yang penuh dengan rahasia yang tidak habis-habisnya, yang pada akhirnya akan memperdekat rentang jarak antara sains dengan teknologi sebagai terapannya.

Pendidikan Sains tentunya berbeda dengan sains itu sendiri, tetapi memiliki hubungan yang sangat erat. Bila Sains ditujukan untuk mengembangkan Sains itu sendiri, tetapi pendidikan sains ditujukan agar manusia mengerti dan mengembangkan atau mengembangkan aplikasi dari sains. Lain halnya dengan para saintis (ilmuwan), para

25 Sardar, op.cit, hal. 130

26 Abu Su’ud, 1993. Peranan Program MKDU dalam Upaya Memadukan Konsep-konsep IPA dan

IPS di Perguruan Tinggi. Mimbar Pendidikan. No. 4/XII. IKIP Bandung. Bandung. hal. 18-19

(31)

Pen-Psikologi

Sains

Pendidikan Sains

Pedagogi

Dll

praktisi dalam pendidikan sains dituntut harus memperhatikan aspek-aspek psikologis, sosial dan kultural.28

Meskipun pendidikan sains seringkali disamakan dengan pengajaran sains, namun pendidikan sains dapat dibedakan lebih jauh dari pengajaran sains. Dalam pengajaran sains, para siswa terutama dilatih untuk memahami hubungan antar (dan peran masing-masing) peubah dalam gejala dan peristiwa alam, serta kondisi yang perlu bagi terjadi atau tidak terjadinya gejala itu melalui mekanisme tertentu. Sementara itu, pendidikan sains lebih ditujukan memberikan kearifan, menanamkan rasa tanggung jawab dan mendewasakan pertimbangan serta sikap moral etis. Dengan demikian, pendidikan sains lebih menitik beratkan pada pada aspek afektif, dan pengajaran sains lebih terfokus pada segi-segi kognitif dan psikomotorik.29

Dalam kaitannya dengan disiplin ilmu, sains (dan matematika) dapat dinyatakan memiliki daerah bersama (irisan) dengan ilmu-ilmu lain dimana, sains itu sendiri merupakan disiplin pokok yang berkaitan erat dengannya. Pendidikan sains tidak dapat terlepas dari psikologi, pedagogi, epistemologi, sosiologi, antropologi, bahasa dan lain-lain.30 Hubungan erat antar disiplin ilmu sebagaimana dimaksud tersebut, dapat dilukiskan

seperti pada diagram berikut :

Gambar 1. Hubungan antara Pendidikan Sains dengan Disiplin ilmu lain

28 Y. Marpaung,. Pendekatan Sosio Kultural dalam Pembelajaran Matematika dan Sains. dalam Sumaji,

Pendidikan Sains Yang Humanitis , 1998. hal.248-249

29 Liek Wilardjo, Secercah Pandangan tentang Pengajaran Sains , dalam Sumaji, Pendidikan Yang

(32)

Keterkaitan erat antara Sains dengan didiplin ilmu lainnya dalam Pendidikan Sains, berimplikasi pada pengembangannya sebagai disiplin ilmu yang relatif masih berkembang ini. Dimensi Pendidikan Sains, dengan sendirinya, sekurang-kurangnya mengandung unsur atau nilai sosial budaya, etika moral dan agama.31

Perkembangan Konsepsi Pendidikan Sains

Sebagai disiplin ilmu tersendiri Pendidikan sains relatif masih berusia muda. Sebagai gambaran, berikut ini diberikan gambaran perkembangan sains di negara lain, Amerika Serikat. Sampai tahun 1950, pengajaran sains di Amerika Serikat sangat menekankan pada segi-segi praktis, vokasional, dan aspek-aspek humanitarian dari sains. Sebagai illustrasi, pengajaran Biologi pada masa tersebut tidak terlalu teoretis, memberikan penekanan pada aspek-aspek praktis, ekologis, ekonomis, dan hubungannya dengan kesejaheteraan ummat manusia. Sehingga topik-topik yang berkembang adalah disekitar masalah-lingkungan hidup, pencegahan penyakit, higiene, dan pertanian. Begitu pula, pengajaran fisika dipenuhi dengan persoalan-persoalan praktis dan illustrasi penerapan fisika dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga biasa dijumpai dalam pelajaran fisika masa itu, pokok bahasan tentang listrik berisi pembahasan cara kerja telepon, seterika listrik, rangkaian listrik dalam rumah, sekering dan cara kerja berbagai peralatan rumah tangga. Demikian pula, dalam pokok bahasan fluida dibahas sistem aliran air di dalam kota, rem hidrolik, dan hal lain sejenisnya.

(33)

sebagai buku standar di Amerika Serikat dan dipakai juga di banyak negara di dunia termasuk di Indonesia tersebut, memfokuskan pada struktur konsep-konsep fisika, dan menyampaikannya sebagai suatu ilmu, sehingga aspek terapan hampir tidak ada.32

Sementara itu, bersamaan dengan bekerjanya PSSC, begitu juga halnya dengan kelompok ilmuwan bidang studi lain. Dalam bidang Biologi juga terdapat upaya serupa dengan dibentuknya Biological Science Curriculum Study (BSSC) dari American Institute of Biological Science. Dalam bidang Kimia juga terdapat The Chemical Education Material Study dari Harvey Mudd College and University of California, sedangkan dalam Matematika terdapat School Mathematics Study Group dari Yale University.33

Pada tahun 1980-an terjadi perubahan strategi pendidikan sains yang ditandai dengan dipromosikannya konsep Scientific Literacy yang menyangkut pandangan terintegrasi sains dengan teknologi, masyarakat, nilai dan etika. Pembaruan ini terus berlanjut dengan pencanangan “toward scientifically literate society” dengan menggunakan pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat / STM (Science-Technology-Society / STS). Pendekatan ini dipilih sebagai pendekatan dipandang yang cocok untuk mengajarkan sains yang terarah pada pengembangan masyarakat yang scientifically literate.34

Beberapa Prinsip Dasar Pendidikan Sains Islam

Sebagaimana bidang keilmuan lainnya, pengembangan Pendidikan Sains juga dapat dilakukan dengan memperhatikan perspektif Islam tentang Pendidikan dan Sains. Sebagai acuan dasar bagi pengembangan Pendidikan Sains dalam perspektif Islam tersebut, Nasim Butt mengajukan 3 prinsip dasar sebagai berikut :35

1. Iman dan Nilai dalam Pendidikan Sains

32 T. Sarkim, Humaniora dalam Pendidikan Sains, dalam Sumaji dkk, Pendidikan Sains Yang Humanitis, hal. 135-137. Sebagai bahan perbandingan lihat juga, Anna Poedjiadi, Pembaharuan Pandangan dalam Pendidikan Sains, Mimbar Pendidikan No. 4/XIII/1994

33 Uraian lebih lengkap dapat dilihat pada Sukarno dkk, Dasar-dasar Pendidikan Sains, Bhratara Karya Aksara. Jakarta. 1981. hal. 91-124

(34)

Iman dan nilai tidak dapat diabaikan begitu saja, dan sudah semestinya diberi kedudukan sentral dalam sistem pendidikan. Dalam pendidikan sains, terdapat berbagai pokok pembahasan yang sarat nilai. Antara lain, topik-topik yang berkai-tan dengan penerapan analisa lingkungan, rekayasa genetika, seksualitas, tenaga nuklir, dan perosalan-persoalan yang berkaitan dengan permulaan dan akhir dari ke-hidupan. Disamping itu, juga terdapat topik-topik kontroversial lain yang membu-tuhkan pembahasan dari perspektif nilai dan moral agama, seperti teori evolusi, kontroversi pemanfaatan teknologi, dan hukum-hukum kekekalan energi dan ma-teri. Karenanya, reformasi pendidikan sains juga mensyaratkan upaya menginte-grasikannya dengan nilai moral dan keimanan.

Satu hal terpenting yang dilakukan Kuhn adalah membawa konsep nilai ke dalam tubuh sains. Pasca aliran Kuhn, sudah tidak relevan lagi untuk berpendapat bahwa pendidikan sains benar-benar bebas nilai dan obyektif. Sekalipun obyektifi-tas adalah tujuan utama sains modern, tak urung keseluruhan faktor subyektif akan selalu mempengaruhi persepsi, teori, seleksi dan proses pengolahan data. Seba-liknya, iman dan nilai bukanlah merupakan persoalan pilihan pribadi yang seder-hana, akan tetapi memiliki satu realitas di luar individu dalam mengikat masyarakat dengan sekat moral yang akan memperkuat landasan etikanya. Sementara itu, se-buah sistem pendidikan sekuler tidak memiliki sikap yang holistik pada kehidupan dan hanya memberi sedikit perhatian pada upaya peningkatan nilai-nilai positif Ke-tuhanan dan Kesucian. Pemahaman akan pentingnya iman dan nilai inilah yang mendorong para ilmuwan dan cendekiawan muslim untuk memasukkan semangat nilai-nilai Islam sebagai pandangan dunia dan peradaban Islam ke dalam sains. 2. Memanusiawikan Sains Dalam Kelas

Dimensi manusia harus menjadi bagian yag terpadu dengan pengajaran sains, karena proses penemuan sains adalah satu hal yang menyeluruh. Dalam rangka me-manusiawikan sains dalam ruang kelas, sains harus diajarkan pada siswa dengan cara yang yang sesuai dengan konteks masyarakat dan budaya.

3. Menyatukan Agama dan Sains di Sekolah

(35)

menekankan bahwa tidak ada relevansi santara sains dengan agama. Tanpa adanya pegajaran yang terpadu dan terencana, siswa dengan sendirinya akan menerapkan bentukan pemikiran sekuler yang berlaku selama ini, dan menerima adanya perten-tangan antara sains dan agama, baik disadari ataupun tidak.

Sehubungan dengan upaya untuk menjabarkan upaya praktis dalam pendidikan sains Islam, Zaghlul Al-Najjar, mengajukan beberapa langkah berupa Garis-garis Besar Upaya Penulisan Ulang dan Pengajaran Sains dalam Perspektif Islam yang antara lain dapat digambarkan sebagai berikut :36

1. Menekankan pentingnya Sains dan Penyelidikan ilmiah dalam Islam

2. Menunjukkan bahwa Alam semesta yang sedemikian rumit dan luasnya, tidak mungkin terjadi dengan dengan sendirinya, melainkan dengan campur tangan Sang Pencipta (Al-Khaliq)

3. Menegaskan bahwa alam semesta dibangun diatas basis yang sama, baik dari unit terkecil sampai dengan yang terbesar, yang kesemuanya saling berubah dan berhubungan.

4. Menegaskan bahwa alam semesta tidaklah abadi; yang dengan demikian, dalam perspektif Islam tidak dikenal adanya konsep kekalan energi dan materi.

5. Menunjukkan bahwa sains, dalam pengertian terbatas, merupakan upaya manu-sia untuk mengeksplorasi alam semesta ciptaan Allah SWT, hukum-hukum keteraturan yang mengaturnya.

6. Memberikan penegasan bahwa eksperimentasi sains adalah sebagian dari metode untuk memperoleh pengetahuan, di antaranya metode lainnya, tanpa terlepas dari wahyu ilahi.

7. Menekankan fakta bahwa eksperimentasi sains akan dapat membawa pada pem-buktian eksistensi yang ghaib

(36)

kehidu-pan. Yang kita ketahui sampai saat ini diantaranya, detail komposisi kimiawi dari sel hidup, akan tetapi kita tidak dapat membuatnya.

9. Menunjukkan bahwa ayat-ayat Al Qur'an mengandung isyarat-isyarat ilmiah ten-tang sains. Tidak kurang dari 750 ayat berfungsi sebaai isyarat sains dan keala-man, meskipun Al Qur'an bukanlah buku teks sains.

10. Memberikan penekanan bahwa otak manusia, naluri dan berbagai bagian tubuh lainnya yang dapat menjadi penghantar kepada sains, merupakan anugerah ilahi yang selayaknya didayagunakan secara semestinya.

11. Menunjukkan kontribusi para ilmuwan muslim dalam berbagai bidang sains, yang seringkali dikaburkan dan dihilangkan dari sejarah perkembangan sains. Dalam kaitan operasionalisasi dari upaya-upaya islamisasi dalam pendidikan sains, sebagaimana ditunjukkan pada Garis-garis besar diatas, maka Al Najjar lebih lanjut merekomendasikan, antara lain : Revisi terhadap buku-buku teks sains, terutama untuk sekolah dasar, menengah dan program sarjana; Restrukturisasi kurikulum dan silabus yang dipergunakan dalam pendidikan dan pengajaran sains.

2. Draft Model Pembelajaran Sains Berbasis Imtak

Berdasarkan telaah terhadap berbagai gagasan dan konsep di atas, penulis mencoba merumuskan sebuah model pembelajaran sains berbasis imtak, yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut:

Lang-kah Bentuk Kegiatan Kegiatan Dosen Kegiatan Mahasiswa 1 Pendahuluan

Klarifikasi tujuan pembela-jaran

(37)

perkuliahan ataupun

praktikum gali sumber belajar,untuk bahan diskusi 3 Kegiatan di luar perkuliahan

Model pembelajaran yang terdiri dari empat sintaks pembelajaran tersebut dapat disinergikan dengan berbagai strategi dan teknik pembelajaran sains, tentu saja dengan den-gan penyesuaian tertentu tanpa merubah sintaks pembelajaran tersebut secara umum.

3. Draf Awal Instrumen Asesmen Spiritualitas Mahasiswa

Untuk mengembangkan instrument spiritualitas, peneliti menggunakan memodifikasi konsep religiusitas sebagaimana dikembangkan oleh Glock & Stark (dalam Ancok,1985; Turmudhi, 1991; Safaria, 1999). Dalam hal ini, dengan demikian spiritualitas dapat diartikan terdiri dari 5 dimensi, yaitu

1. Dimensi ideologis (religious belief), yaitu dimensi yang menunjukkan tingkat keyakinan seseorang terhadap kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran fundamental atau dogma

2. Dimensi ritualistik (religious practice), yaitu dimensi yang menunjukkan tingkat kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual yang dianjurkan di dalam agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan kepatuhan seseorang dalam melaksanakan ibadah, sembahyan, puasa, dll

(38)

4. Dimensi intelektual (religious knowledge), yaitu yang menunjukkan tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama yang termuat dalam kitab suci atau pedoman pokok agamanya. Misalnya, apakah individu memahami bagaiman cara melakukan sholat, bagaimana cara mensucikan diri dari kotoran, berpuasa yang benar, dll.

5. Dimensi konsekuensial (religious effect), yaitu yang menunjukkan tingkatan seseorang dalam berprilaku yang dimotivasi oleh ajaran agamanya atau seberapa jauh seseorang mampu menerapkan ajaran agamanya dalam prilaku hidupnya sehari-hari. Misalnya jika ajaran agamanya mengajarkan untuk beramal, maka dengan senang hati mendermakan uangnya untuk kegiatan sosial dan keagamaan. Bisa menahan diri dari mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh agama seperti menolak untuk mencuri, berbohong atau memakai narkoba.

Berdasarkan dimensi-dimensi tersebut, peneliti mengembangkan indikator-indikator se-bagai berikut:

NO Dimensi Indikator

1 Ideologis a. Keyakinan pada tuhan

b. Keyakinan pada kebenaran agama c. Keyakinan pada ajaran agama Nya d. Keyakinan pada anugerahNya e. Keyakinan pada Keadilan NYa f. Keyakinan pada pertolonganNya

2 Eksperiensial a. Pengaruh

Tuhan dalam kehidupan

b. Kedekatan

pada Tuhan

c. Kehidupan

spiritual

d.

Keber-samaan Tuhan dalam kehidupan 3 Konsekuensial a. Pengamalan ajaran agama

(39)

4 Intelektual a. Pemahaman akan hakekat Tuhan b. Pemahaman akan ajaran agama c. Pemahaman akan spiritualitas

5 Ritualistik a.

b.

Berdasarkan indikator-indikator tersebut, penulis mengembangkan butir- butir pernyataan yang akan digunakan sebagai instrument spiritualitas. Butir-butir tersebut adalah sebagai berikut:

NO Pernyataan

A Ideologis

1 Saya bosan dengan ajaran agama 2 Saya jenuh dengan ajaran-ajaran Islam 3 Keadilan tuhan tidak perlu saya pertanyakan 4 Saya yakin bahwa karunia Allah SWT amat luas

5 Ketika menghadapi masalah, saya yakin bahwa Tuhan akan membantu saya 6 Saya tidak memahami hakekat tuhan

7 Saya tidak dapat hidup secara bermakna tanpa petunjuk dari Tuhan 8 Dalam kehidupan, saya tidak butuh petunjuk tuhan

9 Saya tidak meyakini bahwa Tuhan ada dalam kehidupan saya 10 Saya meyakini tuhan ada dalam kehidupan saya

11 Ketika dalam kesusahan, saya meyakini bahwa Allah SWT akan memberikan jalan terbaiknya

12 Saya menggantungkan harapan-harapan saya kepada kasih sayang Allah SWT 13 Saya merasa bahwa kasih sayang Allah menyertai seluruh makhluk Nya 14 Saya meyakini sepenuhnya kebenaran islam

15 Kebenaran agama menurut saya sangat relative

16 Agama saya adalah agama yang kebenarannya mutlak

B Eksperiensial

17 Secara umum kehidupan spiritual saya cukup bermakna 18 Saya merasa kehidupan spiritual saya biasa-biasa saja 19 Saya merasa spiritualitas saya kering dan gersang 20 Secara umum, saya merasa dekat dengan Allah SWT

21 Saya tidak tahu apakah saya merasa dekat dengan Allah SWT

22 Saya merasa kehidupan spiritual saya memberikan kekuatan dan dukungan dalam kehidupan saya sehari-hari

23 Spiritualitas tidak berarti bagi kehidupan saya

Gambar

Gambar 1.  Hubungan antara Pendidikan Sains dengan Disiplin ilmu lain

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model Problem Based Learning yang didukung agen pedagogi (PBL-AP) terhadap Higher Order Thinking Skills

melakukan pembenaran bahwa pada saat pasien datang kelas perawatan yang diikuti sedang penuh sehingga pasien BPJS tetap diterima di rumah sakit tersebut dengan kelas yang lebih

Kecamatan Kuranji mempunyai potensi yang lebih besar untuk dikembangkan sebagai wilayah pusat pertumbuhan atau pusat pelayanan dalam pengembangan kawasan agropolitan di

Hasil penelitian terdahulu memberikan bukti bahwa Karakteristik pekerjaan dan karakteristik individu berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja, seperti yang

Analisis data yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah untuk membuat penafsiran data yang diperoleh dari hasil penelitian. Analisis data tersebut digunakan

number of human resource (waste keeper), materials and tools, and natural factor. According to the interview with the Mayor, the first supporting factor is “the

Site Manager dan Project Manager ini tanggung jawab nya sangatlah mirip, menurut pengalaman pribadi pernah ada posisi project manager dan juga site manager, jelas

Predictors: (Constant), X1 x Z, Komisaris Independen, Ukuran Perusahaan.. Dependent Variable: ROA. 7) Hubungan komisaris independen dan likuiditas terhadap ROA