• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENYELESAIAN SENGKETA WARIS ADAT PADA MASYARAKAT SUKU BATAK TOBA PERKOTAAN DI KECAMATAN MEDAN BARU A. Gambaran Umum Kecamaan Medan Baru 1. Letak Geografis dan Luas Wilayah - Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PENYELESAIAN SENGKETA WARIS ADAT PADA MASYARAKAT SUKU BATAK TOBA PERKOTAAN DI KECAMATAN MEDAN BARU A. Gambaran Umum Kecamaan Medan Baru 1. Letak Geografis dan Luas Wilayah - Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomo"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENYELESAIAN SENGKETA WARIS ADAT PADA MASYARAKAT SUKU BATAK TOBA PERKOTAAN DI KECAMATAN MEDAN BARU

A. Gambaran Umum Kecamaan Medan Baru

1. Letak Geografis dan Luas Wilayah

Secara geografis Kecamatan Medan Baru berada di Wilayah Barat Daya Kota Medan, merupakan dataran secara sedang sekitar 5-10 M diatas permukaan laut dan berbatasan dengan Kecamatan :

- Sebelah Utara : Kecamatan Medan Petisah - Sebelah Selatan : Kecamatan Medan Selayang - Sebelah Timur : Kecamatan Medan Polonia - Sebelah Barat : Kecamatan Medan Sunggal.

Kecamatan Medan Baru terdiri dari 6 kelurahan dan 64 lingkungan berada pada kawasan perumahan inti kota, merupakan salah satu kecamatan yang memiliki wilayah terpadat di kota Medan jika dibandingkan jumlah luas wilayah berbanding dengan jumlah penduduk yang ada di Kecamatan Medan Baru. Berikut ini tabel data Kelurahan, luas wilayah dan jumlah lingkungan :

Tabel 1.

Nama Kelurahan, Luas dan Jumlah Lingkungan di Kecamatan Medan Baru

No KELURAHAN LUAS

(KM2)

JUMLAH LINGKUNGAN

1. Titi Rantai 1, 06 10

2. Padang Bulan 1, 68 12

3. Merdeka 0, 98 13

4. Babura 0, 79 13

5. Petisah Hulu 0, 62 12

6. Darat 0, 28 4

Jumlah 5, 41 64

(2)

2. Kependudukan

Data penduduk merupakan salah satu data pokok dalam perencanaan pembangunan karena penduduk merupakan objek dan subjek dalam pembangunan. Berikut adalah data jumlah penduduk di Kecamatan Medan Baru didasarkan pada jenis kelamin.

Tabel 2.

Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan di Kecamatan Medan Baru

No Kelurahan Jumlah Penduduk TOTAL

Lk Pr

1. Titi Rantai 4521 4691 9212

2. Padang Bulan 2935 2922 5857

3. Merdeka 4592 4667 9259

4. Babura 4958 5235 10193

5. Petisah Hulu 3605 3680 7285

6. Darat 2012 2352 4364

Jumlah 22522 23547 46069

Sumber Data : Profil Kecamatan Medan Baru

3. Agama

Mayoritas jumlah penduduk Kecamatan Medan Baru adalah beragama Kristen berjumlah 22.080 orang (47,6%), Protestan 11.609 orang (25%), Khatolik 10.471 orang (22,6%), Islam 20.114 orang (43%), Hindu 1.667 orang (3,6%), dan Budha sebanyak 2.486 (5,3%).

(3)

Tabel 3.

Jumlah Penduduk menurut Golongan Agama di Kecamatan Medan Baru

No Kelurahan Jumlah

Penduduk

A g a m a

Islam Kristen Hindu Budha

Protestan Khatolik

1. Titi Rantai 9561 2556 2689 2057 -

-2. Padang Bulan 5839 2187 2708 2042 - 59

3. Merdeka 9376 3476 3875 2109 - 68

4. Babura 10703 4325 2067 2240 20 661

5. Petisah Hulu 7338 2587 2536 2025 857 1098

6. Darat 3252 1983 870 794 790 650

JUMLAH 46069 20114 11609 10471 1667 2486

Sumber Data : Profil Kecamatan Medan Baru

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa penduduk di kecamatan Medan Baru mayoritas adalah Kristen, yaitu Kristen Protestan dan Khatolik yang berjumlah 22.080 penduduk lebih banyak dibandingkan penduduk yang memeluk agama lainnya.

4. Etnis (Suku)

Penduduk Kecamatan Medan Baru cukup heterogen, terbukti dengan banyaknya suku/etnis yang hidup dan tinggal di wilayah ini. Adapun suku yang terbesar adalah suku Batak Toba dengan jumlah 10.703 jiwa dan suku Karo 9.815 jiwa dengan jumlah terkecil adalah suku Minang dengan jumlah 1.355 jiwa.

(4)

Tabel 4.

Jumlah Penduduk berdasarkan Etnis/Suku di Kecamatan Medan Baru

N

o Kelurahan

ETNIS/SUKU Batak

Toba Melayu Karo Simalungun Jawa Dairi Nias Mng Aceh dll

1. Titi Rantai 1035 120 1815 507 1895 1287 187 170 210 35

2. Pd. Bulan 2018 125 1887 303 1290 634 360 93 180 53

3. Merdeka 2512 281 1502 223 2175 1185 765 363 1137 28

4. Babura 2006 975 2745 135 1650 720 125 457 664 681

5. Petisah

Hulu 2012 340 1105 242 1100 15 10 210 112 2955

6. Darat 1120 48 763 212 310 85 25 62 21 667

JUMLAH 10703 1889 9815 1722 8420 3936 1472 1355 2334 4423

Sumber Data : Profil Kecamatan Medan Baru

Bahwa jumlah penduduk Batak Toba di atas tidak seluruhnya dijadikan sampel sasaran, namun hanya orang-orang yang tergabung dalam lintas jemaat Gereja HKBP yang dijadikan sampel.

2. KM Pandiangan 67 L SMA Wiraswasta 22 5 1

3. IP br Nainggolan 48 P SMEA Ibu RT 13 3 2

4. D br Simatupang 70 P Sarjana Muda

9. YA Sirait 62 L SMEA Wiraswasta 43 0 3

10. N br Siahaan 49 P Sarjana S2 Notaris 23 2 5

11. IS Simanjuntak 65 L SMA Tidakbekerja 27 1 3

12. C br Sihite 50 P SMA Wiraswasta 12 1 2

13. JH Bakkara 52 L SMEA Wiraswasta 20 1 1

14. KR br Sihombing 55 L SMP Ibu RT 24 2 2

15. S br Manullang 53 P SMP Pedagang 12 3 2

16. KL Sihotang 72 L D3 Pensiunan

PNS 32 2 3

17. L br Tampubolon 55 P SMA Ibu RT 18 4 1

18. T br Sihaloho 58 P SMA Ibu RT 21 2 2

19. RS Silalahi 60 L D3 Wiraswasta 19 2 1

(5)

Bidan

21. RL br Ritonga 46 P Sarjana Dokter 26 2 1

22. HB Sitanggang 64 L Sarjana Hakim 15 2 2

23. C br Limbong 56 P D1 Karyawan 23 3 2

24. BL Sijabat 58 L SMEA Dagang 38 2 3

Tabel 5 Lanjutan

25. M br Pasaribu 42 P SMA Ibu RT 20 0 1

26. SC br Hutauruk 59 P SMA Ibu RT 12 2 2

27. MN Turnip 70 L Sarjana

Muda

Pensiunan

BUMN 37 1 2

28. LS br Sidabalok 50 P Sarjana Ibu RT 27 1 4

29. B Sidabutar 67 L SPG PensiunanGuru 31 2 2

30. IV br Siallagan 55 P SMA Ibu RT 19 2 3

Keterangan :

1. Responden no. 1-no. 5 merupakan anggota Jemaat Gereja HKBP, Jl. Damai No. 6, Kel. Titi Rantai. 2. Responden no. 6- no. 10 merupakan anggota Jemaat Gereja HKBP, Jl. Jamin Ginting No. 24, Kel.

Padang Bulan

3. Responden no. 11- no. 15 merupakan anggota Jemaat Gereja HKBP, Jl. Sei Asahan, No. 63, Kel. Merdeka.

4. Responden no. 16- no. 20 merupakan anggota Jemaat Gereja HKBP, Jl. Sei Mencirim No. 174, Kel. Babura.

5. Responden no. 21- no. 25 merupakan anggota Jemaat Gereja HKBP, Jl. Pabrik Tenun No. 27, Kel. Petisah Hulu.

6. Responden no. 26- no. 30 merupakan anggota Jemaat Gereja HKBP, Jl. Syailendra, Kel. Darat.

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa responden terdiri dari laki-laki berjumlah 13 orang, perempuan berjumlah 17 orang, dimana 6 orang dengan latar belakang pendidikan sarjana, 6 orang sarjana muda/sederajat, 15 orang dengan pendidikan SMA/sederajat, dan 3 orang dengan latar belakang pendidikan SMP.

B. Sistem Kekerabatan Masyarakat Suku Batak Toba

(6)

keturunan bapak tersebut dikenal kelompok-kelompok kekerabatan yang disebut

marga. Marga51merupakan suatu bentuk kelompok yang turun temurun mulai dari satu kakek yang terikat dengan pertalian darah. Menurut Vergouwen bahwa, “marga adalah kelompok orang-orang yang merupakan keturunan dari seseorang kakek bersama, dan garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapak atau bersifat

patrilineal.52

Semua anggota dari satu marga memakai nama identitas yang dibubuhkan sesudah nama kecil. Marga pada mayarakat Batak Toba sangat penting karena nama panggilan seseorang adalah marganya, bukan namanya.53Dari uraian di atas dapatlah dipahami bahwa yang meneruskan garis keturunan dalam masyarakat Batak Toba adalah anak laki-laki saja, sebab anak perempuan akan beralih kepada keluarga suaminya bila ia kawin.

Garis keturunan dalam masyarakat Batak Toba ditarik berdasarkan dan atau marga yang mengakibatkan timbulnya hubungan kekeluargaan yang hidup dalam masyarakat. Oleh sebab itu yang dimaksud dengan sistem kekeluargaan adalah rangkaian kesatuan dari hubungan kekerabatan yang saling terkait satu dengan yang lain serta tersusun secara fungsional.

Seluruh hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Toba baik berdasarkan pertalian darah maupun karena hubungan perkawinan terkait dengan

51Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta, 2005), hal 715, menyebutkan marga adalah

kelompok kekerabatan yangunilinear(mengikuti satu garis arah)

52Vergouwen,Op.cit,hal 9

(7)

filsafah“Dalihan Na Tolu”(tiga tungku sejarangan) yang mengandung makna yaitu “somba mar hula-hula”, “elek marboru”, ”manat mar dongan tubu”, artinya ketiga pola inilah yang menjadi dasar atau pedoman dalam kehidupan sosial maupun kegiatan lainnya di masyarakat Batak.54 Dilihat dari posisi dalihan na tolu terdapat perbedaan struktural dan perbedaan prinsip, akan tetapi melalui peran dalihan na tolu

seluruh aspek kegiatan tetap mengacu kepada hasil yang terbaik. Dalihan na tolu

mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai suatu sistem kekerabatan, pergaulan, dan kesopanan, sosial hukum (adat) dan akhirnya diakui menjadi falsafah hidup masyarakat Batak.

Dalam berhubungan dengan orang lain, orang Batak Toba menempatkan dirinya dalam susunan dalihan na tolu tersebut, sehingga selalu dapat mencari kemungkinan adanya hubungan kekerabatan di antara sesamanya (martutur/martarombo).

Somba mar hula-hula berarti bersikap hormat kepada hulahula yaitu marga dari pihak istri maupun marga ibu. Hulahula harus dihormati karena dianggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi.55 Elek marboruberarti bersikap mengasihi atau menyayangi boru/putri dari semarga (yang termasuk kelompok boru adalah pihak keluarga hela, termasuk orang tuanya dan keturunannya, setelah anak perempuan kawin maka ia akan ikut dengan marga suaminya.56 Mangat mar dongan

54JP. Sitanggang,Batak Namarserak, Maradat Adat Naniadathon,(Jakarta: Jala Permata

Aksara, 2009), hal 118

(8)

tububerarti bersikap hati-hati terhadap kerabat semarga, teman semarga adalah teman untuk menjalankan maupun menerima adat.57

Dalihan na tolumerupakan suatu kerangka yang sangat baik, bagaimana orang Batak Toba berinteraksi dengan lingkungannya, kaya dengan sistem nilai yang baik dan dapat bertahan sepanjang zaman, karena nilai yang terkandung didalamnya bersifat universal dengan nilai-nilai religius yang sangat mendalam.58

Dalihan na tolu yang terdiri dari tiga unsur kelompok yang satu dengan yang lainnya memegang peranan sangat penting dalam setiap kegiatan pada masyarakat Batak Toba seperti dalam pelaksanaan pesta perkawinan, perceraian, pembagian harta warisan, dan lain-lain,59karena kelompokdalihan na toluyang akan selalu dilibatkan dan dimintai pendapat dalam peristiwa-peristiwa tersebut di atas.

C. Sistem Pewarisan Masyarakat Batak Toba

Sistem pewarisan sangat dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan setempat, di tanah Batak terdapat struktur kemasyarakatan yang berdasarkan hubungan darah yang ditarik melalui garis keturunan laki-laki, sehingga yang berhak meneruskan garis keturunan hanyalah anak/keturunan lelaki. Sehingga kedudukan anak laki-laki lebih menonjol pengaruhnya dibanding dengan kedudukan anak perempuan di dalam pewarisan.60

57Ibid,hal 122

58Wawancara dengan B. Hutagaol, Ketua Adat Kecamatan Medan Baru, hari Jumat, 9 Mei

2014, pukul 11.30 WIB

59Ibid

(9)

Adapun sistem pewarisan dalam hukum adat Batak Toba yaitu :61 1. Sistem pewarisan individual

Di tanah Batak pada umumnya berlaku sistem pewarisan individual ini, yaitu harta warisan terbagi-bagi kepemilikannya kepada masing-masing ahli waris. Salah satu kelebihan sistem pewarisan ini adalah dengan adanya pembagian terhadap harta warisan kepada masing-masing ahli waris maka mereka bebas untuk menentukan kehendaknya terhadap bagian warisan itu.

2. Sistem pewarisan mayorat laki-laki

Selain pewarisan individual ada juga sebagian masyarakat yang meng-gunakan sistem pewarisan mayorat laki-laki, yaitu sistem pewarisan yang menentukan bahwa harta warisan seluruhnya dikuasai dan dipelihara oleh anak laki-laki sulung.

3. Sistem pewarisan minorat laki-laki

Selain anak sulung, anak bungsu laki-laki juga dapat diberi kepercayaan untuk menguasai dan memelihara harta warisan peninggalan orang tuanya, misalnya ia yang paling lama tinggal di rumah warisan orang tuanya, dengan demikian ia merupakan orang yang menjaga dan dan memelihara rumah warisan tersebut.

Sistem pewarisan pada masyarakat Batak berdasarkan pada masyarakat yang

unilateral-patrilineal62sehingga pada masyarakat Batak Toba laki-laki mempunyai kedudukan paling penting dalam meneruskan silsilah dan keturunan keluarga, karena laki-lakilah yang dapat menurunkan marga bagi keturunannya.63

1. Harta dalam Perkawinan Adat Batak Toba

Pada masyarakat Batak Toba dikenal adanya pemberian harta kekayaan orangtua kepada anaknya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Harta kekayaan yang diberikan orangtua dapat berasal dari harta bawaan yang dibawa orangtua laki-laki atau perempuan sebelum melangsungkan perkawinan maupun harta

61Ibid,hal 15-16

62Djaren Saragih, Op.cit, hal 16 artinya bahwa setiap anak yang lahir laki-laki maupun

perempuan dengan sendirinya mengikuti clan ayah, dan yang dapat meneruskan marga dan silsilah seorang ayah adalah anak laki-laki.

(10)

yang diperoleh selama menikah. Harta kekayaan tersebut dapat berupa sawah dan ladang (hauma), kebun (porlak), rumah (bagas), emas, uang (hepeng) dan binatang peliharaan(pinahan).64

Dilihat dari sumbernya, maka harta kekayaan ini bersumber dari:65 a. Harta kekayaan yang dibawa oleh masing-masing pihak.

Harta kekayaan yang dibawa oleh masing-masing pihak ini terdiri dari:

1) Harta yang diperoleh pihak laki-laki dari orangtuanya sendiri sebagai modal

panjaean. Pada saat laki-laki berpisah rumah dengan orangtuanya maka biasanya orangtua itu memberi modal pertama, agar mereka dapat berdiri sendiri. Karena pada permulaan rumah tangga baru itu biasanya belum mempunyai peralatan-peralatan rumah tangga. Walaupun ada orangtua yang tidak sampai hati memberikan sedikit sebagai modal manjae bagi anaknya sendiri.

2) Harta kekayaan yang dibawa oleh si wanita yang merupakan pemberian dari ayahnya yang disebut pauseang. Biasanya si wanita yang mau kawin membawa barang dari keluarganya, berupa barang-barang keperluan rumah tangga, barang-barang perhiasan emas, dan kadang-kadang sawah.

Selain pemberian moral pauseang, terdapat pula beberapa jenis pemberian orangtua lain kepada anak perempuan, yaitu sebagai berikut :66

a) Indahan arian adalah pemberian sebidang sawah oleh seorang ayah kepada anak perempuan yang sudah melangsungkan perkawinan yang dilakukan apabila telah lahir anak dari perkawinan tersebut. Indahan arian dasarnya adalah pemberian seorang kakek kepada cucunya yang telah lahir melalui ibunya.

b) Batu ni assimun, yaitu berupa hewan piaraan dan emas yang diberikan oleh seorang ayah kepada anak perempuannya yang sudah mempunyai anak. Jadi seolah-olah hadiah bagi cucunya.

c) Dondon Tua adalah pemberian berupa sawah oleh seorang ayah kepada perempuannya untuk kemudian dapat diberikan kepada cucunya apabila telah dia meninggal dunia.

(11)

d) Punsutali adalah pemberian seorang ayah kepada cucunya yang paling besar dari anak perempuannya. Pemberian ini merupakan pemberian terakhir dan baru dapat diterima oleh anak perempuan tersebut apabila ayahnya meninggal dunia.

b. Harta yang diperoleh bersama selama perkawinan.

Harta ini mereka dapat pada umumnya setelah mereka manjae. Harta kekayaan ini terdiri dari:67

1). Harta yang didapatkan atas hasil jerih payah suami istri berdua. Pengadaan harta ini dengan sendirinya tergantung dari keuletan dan kerajinan mereka berdua selama perkawinan. Seandainya mereka bekerja dengan rajin dan ulet, maka harta ini akan terkumpul lebih banyak.

2). Harta yang diperoleh dari keluarga masing-masing, selama perkawinan berjalan. Ada kemungkinan ayah si laki-laki itu pada waktu manjae baru memberikan sebagian. Kemudian setelah beberapa lama mereka manjae ayah si laki-laki itu memberikan sebagian lagi. Di samping itu ada kemungkinan seorang laki-laki menerima bagian warisan yang menjadi haknya, baik dari keluarganya, maupun dari ayahnya sendiri.

Demikianlah harta yang diterima oleh kedua suami istri itu, sejak mereka

manjae, dan sepanjang perjalanan perkawinan mereka. Semua harta ini akan dipergunakan sebagai modal keluarga untuk kelangsungan hidup mereka beserta keturunannya.

2. Subyek dan Obyek Hukum dalam Hukum Waris Adat Batak Toba

Yang merupakan subyek hukum dalam hukum waris adat Batak Toba adalah:68

a. Pewaris

Orang atau subyek yang berkedudukan sebagai pemilik harta kekayaan yang meneruskan/mewariskan harta peninggalannya ketika ia masih hidup atau 67Hasil wawancara dengan B.Butar-Butar, Ketua Adat Suku Batak Toba di Kecamatan Medan

Baru, hari Jumat, tanggal 17 Mei 2014, pukul 14.00 WIB

(12)

ketika ia sudah meninggal dunia. Pada suku Batak yang bersistem kekerabatan Patrilineal maka biasanya yang disebut pewaris adalah pihak laki-laki.

b. Ahli Waris

Ahli waris utama yang berlaku di tanah Batak adalah anak laki-laki, meskipun harta benda yang telah dibawakan kepada anak-anak perempuan tidak boleh diabaikan. Menurut asas hukum waris adat Batak Toba, bahwa yang berhak atas warisan seorang ayah hanyalah anak laki-laki, hal ini dapat diperlunak dengan pembekalan tanah pertanian atau ternak si ayah kepada anak perempuannya yang tidak kawin atau yang akan kawin, serta pemberian kepada keturunan sulung dari anak perempuannya seperti yang telah dijelaskan di atas. Biasanya yang menjadi ahli waris dari harta peninggalan orang tuanya adalah anak kandung, atau dapat juga anak angkat sah yang telah diakui secara adat.

Sedangkan yang merupakan obyek dalam hukum waris adat Batak adalah harta warisan, yaitu semua harta warisan yang dimiliki oleh si pewaris yang diteruskan semasa hidupnya atau yang ditinggalkan oleh pewaris yang sudah meninggal dunia; dapat diteruskan dalam keadaan tidak terbagi-bagi maupun dalam keadaan terbagi-bagi. Jenis-jenis harta warisan tersebut antara lain harta bawaan, harta pencaharian, maupun hutang-hutang si pewaris.69

Adapun proses pembagian warisan dalam hukum adat Batak Toba yaitu :70 a. Pada waktu pewaris masih hidup

Seperti telah diuraikan bab di atas bahwa umumnya yang menjadi ahli waris adalah hanya anak laki-laki saja, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa anak perempuan tidak mendapat apapun dari harta kekayaan ayahnya. Sudah menjadi kebiasaan untuk memberikan hadiah/pauseang kepada anak perempuan yang sudah menikah atau akan menikah ketika pewaris (ayah) masih hidup.

b. Pada waktu pewaris telah meninggal dunia

Pada masyarakat kekerabatan patrilineal istri masuk kekerabatan suaminya dan tetap merupakan anggota keluarga pihak suami, apabila pewaris wafat

69Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali,

1983), hal 302

70 Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta:

(13)

meninggalkan istri dan anak-anak maka harta warisan terutama harta bersama suami istri yang di dapat sebagai harta pencaharian dapat dikuasai oleh janda dan dapat menikmatinya selama hidupnya untuk kepentingan dirinya dan kelanjutan hidup anak-anaknya.

D. Penyebab Timbulnya Sengketa Warisan

Secara harafiah hukum waris berarti hukum mengenai harta benda peninggalan orang mati.71 Keturunan dalam hukum waris adat Batak tradisional adalah anak laki-laki maka merekalah yang menjadi ahli waris. Anak perempuan bukan ahli waris dari yang meninggal, mereka tidak bertanggung jawab atas hutangnya, walaupun mereka perempuan dapat meminta sesuatu barang dari peninggalan ayahnya secara baik-baik kepada ahli waris laki-laki, dan mereka harus menyetujui permintaan itu.72

Dari kedudukan anak perempuan dalam hukum perkawinaan Adat Batak Toba, maka anak perempuan tidak berhak mewaris harta kekayaan ayahnya bila ia sudah kawin dan tinggal di rumah tangganya.

Kedudukan anak perempuan dalam hukum waris adat Batak Toba menyebabkan rasa ketidakadilan bagi anak perempuan karena dalam hukum adat Batak Toba tidak menjadikan anak perempuan menjadi ahli waris sehingga menimbulkan kesadaran mengenai hak yang melahirkan gugatan untuk merubah

71Vergouwen membedakan hukum waris secara jelas menjadi 3 bagian pokok, yaitu: hak

menggantikan menurut keturunan langsung dalam alur laki-laki; pertumbuhan atau percabangan hak ke alur laki-laki yang sejajar;pembagian untuk anak perempuan (diturunkan dari leluhur yang sama tetapi dalam alur yang berlain-lainan)

72Hasil wawancara dengan T. B Situmorang, Ketua Adat Kecamatan Medan Baru, tanggal 17

(14)

posisi karena merasa dilahirkan dari perut yang ibu yang sama yang tanpa disadari telah menjadi gerakan yang kolektif .73

Menurut B. Hutagaol “timbulnya sengketa dalam harta warisan di Kecamatan Medan Baru pertama, disebabkan karena adanya ketidakadilan dalam pembagian harta warisan antara anak laki-laki dan anak perempuan, maka seharusnya pembagian harta warisan adalah adil dan sama rata antara masing-masing anak berdasarkan haknya di samping itu perkembangan zaman yang menuntut persamaan kedudukan dalam hak dan kewajiban antara anak laki-laki dan anak perempuan. Alasan yang

kedua, anak perempuan menuntut haknya sebagai anak, yang sering terjadi ketika orang tua sakit dan pada usia yang sudah tua maka yang mengurus orang tua dalam keadaan tersebut kebanyakan anak perempuan. Anak perempuan lebih banyak meluangkan waktunya dalam mengurus orang tua, bahkan dalam membiayai kehidupan orangtuanya, karena itulah anak perempuan menuntut haknya yang sama dengan anak laki-laki.”74

Keberanian anak perempuan dalam memperjuangkan haknya yang sama dengan anak laki-laki didukung pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 ayat (1) bahwa “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”75Hal tersebut diatas menjadi salah satu faktor yang mendorong keberanian anak perempuan dalam menuntut keadilan untuk haknya dalam pewarisan.

Banyak sengketa yang terjadi di dalam masyarakat Batak Toba, adapun jenis-jenis sengketa tersebut adalah :76

1. Sengketa di bidang hubungan kekeluargaan

a. Sengketa di bidang warisan (biasanya terjadi setelah Pewaris wafat)

73J.C. Vergouwen,Op.cit, hal 386

74Wawancara dengan B. Hutagaol, Ketua Adat Kecamatan Medan Baru, hari Jumat, 9 Mei

2014, pukul 11.30 WIB

(15)

b. Sengketa di bidang perkawinan dan perceraian c. Sengketa atau perselisihan suami istri

2. Sengketa di bidang hubungan kemasyarakatan a. Sengketa tanah

b. Sengketa adat (karena masalah adat tidak sesuai dengan pelaksanaannya dalam suatu acara adat tertentu, sehingga ada pihak yang merasa dirugikan)

c. Sengketa pasangan muda mudi kawin lari d. Sengketa karena pelanggaran asusila

Namun sesuai dengan judul penelitian maka yang akan lebih banyak dibahas di bab selanjutnya adalah sengketa di bidang warisan.

E. Para Pihak yang Ada dalam Sengketa Warisan

Dalam proses penyelesaian sengketa warisan Batak Toba, maka para pihak yanga dalam sengketa warisan adalah pihak perempuan,77 pihak lawan sengketa,78 dan hakim (hakim adat dan hakim negara).

Pihak perempuan yang bersengketa dapat dikategorikan yaitu:79

1. Pihak perempuan berhadapan dengan institusi hukum adat, tetapi karena putusan adat dirasa tidak mendatangkan keadilan, maka ia mengadakan tuntutan ke pengadilan. Artinya, mula-mula perempuan menggunakan hukum adat, namun kemudian menyatakan menolak meneruskan diri kepada hukum adat dan sepenuhnya menundukkan diri kepada hukum negara.

2. Pihak perempuan di pengadilan negara menyatakan tunduk pada sebagian hukum adat, yang menyatakan bahwa peresapan tidak berhak terhadap harta pusaka. Namun berargumentasi bahwa yang diperebutkannya adalah harta perkawinan, bukan harta pusaka. Dengan demikian perempuan menundukkan diri sebagian pada hukum adat dan sebagian pada hukum negara.

77Sulistyowati Irianto,Op.cit, hal 212, yang dimaksud pihak perempuan adalah mereka yang

berkedudukan sebagai anak perempuan atau janda beserta keluarganya. Namun bisa saja pihak perempuan di sini adalah suaminya atau anaknya yang laki-laki, di mana si istri telah meninggal, maka yang meneruskan perkara adalah suaminya.

78Ibid,Pihak lawan sengketa tidak selalu berarti laki-laki saja, meskipun kebanyakan adalah

demikian. Dapat juga pihak laki-laki di sini adalah termasuk istrinya.

(16)

3. Pihak perempuan menundukkan diri sepenuhnya kepada hukum negara, yaitu ketika ia memang harus siap melayani gugatan terhadap dirinya di pengadilan negara.

4. Pihak perempuan tidak (mampu) membawa sengketa ke pengadilan, tetapi ia tunduk sebagian kepada hukum negara secara terbatas, yaitu ketika misalnya ia mengurus surat-surat sertifikat harta perkawinan, atau pergi kepada hakim untuk minta legalisasi bahwa dia adalah ahli waris suaminya.

5. Pihak perempuan tidak (mampu) membawa sengketa ke pengadilan negara, tetapi ia juga tidak mau menyelesaikan sengketa secara adat, yaitu ketika lawan sengketa menawarkan besarnya pembagian harta waris yang dirasakan tidak adil.

Pihak lawan sengketa yang pada umumnya adalah laki-laki menginginkan menggunakan hukum adat, yang berisi pembatasan-pembatasan terhadap perempuan untuk mendapatkan akses kepada harta waris. Argumentasi untuk menggunakan hukum adat dapat terjadi di pengadilan negara, maupun di luar pengadilan (penyelesaian adat).80 Artinya pada umumnya pihak laki-laki menginginkan untuk sepenuhnya tunduk pada hukum adat. Pola-polanya adalah sebagai berikut:81

1. Pihak laki-laki menyatakan menundukkan diri kepada hukum negara ketika ia (mereka) menggugat perempuan ke pengadilan negara, atau melayani gugatan perempuan di pengadilan negara.

2. Di pengadilan negara pihak laki-laki ada yang menolak menundukkan diri kepada hukum negara, yaitu ketika menolak diberlakukannya vonis pengadilan yang menghasilkan yurisprudensi, yang justru memberi hak mewaris kepada perempuan. Dalam hal ini pihak laki-laki mendasarkan argumentasinya pada substansi adat. Artinya pihak laki-laki, meskipun "berada" di pengadilan negara, tunduk sebagian, saja pada hukum negara, dan tunduk sebagian pada hukum adat.

3. Di pengadilan negara pihak laki-laki ada juga yang menundukkan diri kepada hukum negara, yaitu ketika mengacu pada vonis pengadilan yang tidak memberi hak mewaris kepada perempuan. Vonis ini dijatuhkan berdasarkan aman kepada hukum adat. Artinya pihak laki-laki sebesarnya tunduk pada hukum adat yang "dikemas" oleh hukum negara.

80Ibid

(17)

Hakim adalah pihak yang menyelesaikan suatu perkara dengan keputusannya maka hakim dalam penyelesaian perkara sengketa sesuai institusinya dibedakan atas yaitu :82

1. Hakim adat

Putusan hakim adat bervariasi, yaitu (a) memutuskan perkara berdasarkan ketentuan adat lama yang tidak memberi waris (terutama harta pusaka) kepada perempuan, (b) memperlunak ketentuan tersebut dengan memberi hak kelola (bukan hak milik) kepada anak perempuan.

2. Hakim Negara:

Hakim-hakim negara di tiga tingkat Peradilan Negara (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) memutuskan perkara secara bervariasi pula. Variasi dari putusan hakim negara adalah:

1. Memberi kemenangan kepada perempuan dengan cara (a) mengabaikan hukum adat, (b) mengadopsi perkembangan hukum adat yang “baru” yang lebih emansipatip terhadap perempuan, artinya membuat rumusan putusan yang baru, atau (c) mengacu pada yurisprudensi sebelumnya yang memberi hak mewaris kepada perempuan.

2. Hakim menjatuhkan putusan yang mengakibatkan kekalahan bagi perempuan melalui diacunya ketentuan adat lama yang tidak memberi hak waris kepada perempuan.

3. Menjatuhkan putusan dengan cara memberi win-win solution kepada para pihak, artinya perempuan dimenangkan sebagian atau tuntutannya dipenuhi sebagian dengan cara mengadopsi perkembangan hukum adat yang "baru".

F. Penyelesaian Sengketa Harta Warisan

1. Penyelesaian di Luar Pengadilan

a.Marhata(Musyawarah Keluarga)

Marhata pada masyarakat Batak Toba sebagai suatu institusi adat bisa diselenggarakan kapan saja, ketika ada peristiwa penting dalam kehidupan seorang Batak yang menyangkut keluarga termasuk bila terdapat perselisihan atau sengketa.

(18)

Dalam pelaksanaan pembagian warisan, sering terjadi perselisihan atau sengketa. Biasanya terjadi karena ada pihak keluarga yang merasa tidak puas atas bagiannya terhadap harta warisan yang dibagi, atau bahkan karena ia tidak mendapat bagian. Perselisihan tersebut dapat menyebabkan konflik di antara anggota keluarga tersebut, dan umumnya konflik yang terjadi adalah karena anak perempuan tidak mendapat bagian warisan. Biasanya sengketa tersebut diselesaikan terlebih dahulu dengan cara marhata (musyawarah antar anggota keluarga), yang dipimpin oleh orang yang dituakan dalam keluarga, misalnya paman (tulang), anak laki-laki sulung yang dituakan, atau saudara/kerabat dari pihak ayah.

Aturan dan prosedur dalam marhata adalah sangat formal, karena dilakukan dengan tutur bahasa yang halus, dan ada prosedur mengenai siapa saja yang mempunyai hak untuk berbicara, hak untuk berbicara terlebih dahulu, dan menjadi jura bicara. Orang-orang yang tergabung dalam satuan upacara marhata, adalah orang-orang yang berada dalam satuanDalihan Na Tolu, yaitu yang mempunyai hak bicara pertama ada pada boru (kelompok pemberi anak perempuan), kedua dongan tubu(teman selahir, kelompok kerabat baik dari hula-hula maupun boru, tetapi yang asal-usulnya masih dapat ditelusuri secara jelas dihitung dari garis laki-laki), ketiga

hula-hula (kelompok penerima perempuan); dan keempat (bila ada) dongan sa huta

(19)

mempunyai kedudukan yang istimewa, karena ia yang berhak memutuskan, sekaligus menutupmarhata.83

Dari kasus waris yang sedikit yang diselesaikan dengan cara marhata

(musyawarah), kasus yang ada di Kecamatan Medan Baru adalah :

Kasus I

D boru Simatupang salah satu responden yang menyatakan bahwa setelah suaminya P. Pardede meninggal, maka beliau menetapkan bahwa rumah yang ditinggalkan suaminya boleh dijual setelah beliau meninggal dunia, tetapi harta yang lainnya dibagi secara rata diantara semua anak-anaknya, termasuk harta leluhur suaminya yaitu sebuah rumah yang berada di jalan Sei Putih, Medan Baru.

Keputusannya ini dirembukkan secara marhata diantara seluruh anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan yang juga disaksikan saudara-saudara terdekatnya. Beliau merasa pembagian yang sama rata itu berdasarkan perekonomian anak-anaknya. Karena anaknya yang perempuan, walaupun telah bersuami namun kehidupan ekonominya masih kurang sedangkan anak laki-lakinya cukup mapan bahkan masing-masing telah memiliki rumah sendiri dari hasil pencahariannya. Dan akhirnya keputusan D boru Simatupang disetujui kedua anak laki-lakinya yaitu mereka mau membagi harta warisan dengan sama rata bahkan mereka membuat surat pernyataan persetujuan mereka.

Kasus II

83Hasil wawancara dengan B. Butar-Butar, Ketua Adat Batak Toba di Kecamatan Medan

(20)

R boru Manurung adalah anak perempuan satu-satunya dari almarhum P. Manurung, almarhum memiliki tujuh saudara laki-laki. Pada saat P. Manurung meninggal salah satu dari saudara laki-laki almarhum menuntut harta warisan bagian mereka sebagai saudara laki-laki. Akhirnya setelah upacara adat kematian masalah tersebut diselesaikan secara marhata dengan disaksikan seluruh saudara laki-laki almarhum dan saudara terdekat lainnya begitu juga ada ayah dan ibu almarhum. Hasil keputusan dari marhata itu enam dari saudara laki-laki almarhum menyetujui keputusan darimarhata dan menyatakan bahwa R boru Manurung lebih berhak atas seluruh dari harta almarhum ayahnya karena harta itu adalah harta pencaharian ayahnya yang secara otomatis adalah haknya dan seharusnya mereka mempunyai kewajiban melindungi R boru Manurung bukan malah sebaliknya. Akhirnya keputusanya R Manurung berhak atas harta alamarhum sepenuhnya dan salah satu dari saudaranya yang tidak setuju tersebut harus dapat menerima keputusan itu.

Kasus III

(21)

saudara-saudaranya baik itu saudara suaminya maupun saudara-saudaranya dalammarhata. Tetapi JR Sihite (anak laki-laki dari saudara laki-laki almarhum) merasa keberatan, karena harta leluhur yang dimiliki P Sihite semunya dibagi kepada ketiga anak perempuannya, apalagi selama ini kebun tersebut dikelolah oleh JR Sihite. Maka akhirnya hasil dari putusan marhata tanpa melanggar amanah dari almarhum dan kerelaan hati C Sihite dan kedua saudara perempuannya dengan menghargai usaha JR Sihite selama ini dalam mengelolah kebun tersebut. Maka hasil dari penyelesaian masalah ini semua sepakat bahwa kebun leluhur tidak dapat diperjual belikan dan tetap dikelolah terus dan hasilnya dibagi dua antara JR Sihite dan C boru sihite bersama kedua saudara perempuannya.

Dari contoh kasus di atas bahwamarhataatau musyawarah merupakan institusi alternatif yang paling dekat bagi seorang Batak dalam membicarakan berbagai hal yang menyangkut masalah keluarga khususnya sengketa waris.

b. Lembaga Adat

Lembaga adat dalihan na tolu sebagai suatu lembaga musyawarah mufakat adat Batak yang mengikutsertakan para penatua/ketua adat yang benar-benar memahami, menguasai, dan menghayati adat istiadat Batak Toba.

Jika dalam prosesmarhata (musyawarah keluarga) dilakukan dengan kerabat keluarga, dan apabila tidak ada kesepakatan penyelesaian maka perkara dapat dibawa ke lembaga adat guna diselesaikan oleh para ketua adat.

(22)

terjadi khususnya dalam perkara perdata waris dimana dalam beberapa kasus yang terjadi. Hukum adat yang dijalankan oleh lembaga adat merupakan perwujudan nilai-nilai hidup yang berkembang di dalam masyarakat, oleh karena itu hukum adat -baik secara yuridis normatif, filosofis, maupun secara sosiologis sebagai sentral seharusnya diletakkan sebagai pondasi dasar struktur hirarki Tata Hukum Indonesia di mana dalam hukum adat itulah segala macam aturan hukum positip Indonesia mendasarkan diri dan mengambil sumber substansinya disamping itu pula berguna terciptanya sebuah Hukum Indonesia yang lebih baik, yakni Hukum Indonesia yang sesuai dengan rasa keadilan dan berdasarkan nilai-nilai masyarakat Indonesia sendiri.

Dari kasus waris yang sedikit yang di bawa ke lembaga adat, kasus yang ada di Kecamatan Medan Baru adalah :

Kasus I

(23)

merupakan warisan ompung mereka kepada ayahnya dibiarkan dikuasai oleh anak laki-laki dariamangtuanya(saudara laki-laki bapak mereka).

Namun setelah ibunya meninggal, anak laki-laki dari amangtuanya juga meminta haknya/bagiannya pada rumah yang ada di Kecamatan Medan Baru dan tanah yang ada di Deli Serdang yang akan dijual oleh mereka, dengan alasan mereka tidak memiliki saudara laki-laki dan haknya ada juga, dan dia mengetahui bahwa riwayat tanah yang dibeli di Deli Serdang yaitu ada sebelum pernikahan Bapak M. Siahaan dengan K Boru Simatupang. Masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan cara marhata (musyawarah), karena N boru Siahaan dan kakaknya tidak menyetujui hasil putusan marhata. Pada akhirnya penyelesaiannya dibawa ke lembaga adat, hasilnya kedua anak perempuan tersebut berhak atas rumah yang ada di Kecamatan Medan Baru begitu juga dengan tanah yang ada di Deli Serdang, sedangkan sawah yang ada di Dolok Sanggul diberikan kepada anak laki-laki amangtuanya selain merupakan warisan leluhur di samping itu jika ditaksir harganya sudah lebih besar nilai nominalnya daripada tanah yang ada di Deli Serdang dan rumah di Medan Baru.

Kasus II

(24)

Masalah ini akhirnya diselesaikan melalui lembaga adat, pada saat dikumpulkan punguan marga, malahan salah satu saudara laki-lakinya tidak mendukung keingginan saudara laki-lakinya yang merasa keberatan. Saudara laki-lakinya tersebut justru mendukung putusan ibunya bahwasannya seluruh harta dibagi sama rata dengan saudara perempuannya. Namun kedua saudara perempuannya menyatakan tidak mempermasalahkan jika yang dipermasalahkan harta warisan dari kakeknya yang terletak di daerah asal menerima dengan hukum adat Batak Toba yang melandasinya maka punguan marga memutuskan bahwasanya harta warisan yang dituntut salah satu saudara laki-lakinya yang memang merupakan harta leluhur ayahnya diwariskan kepada kedua saudara laki-lakinya sesuai dengan hukum waris adat Batak Toba.

Kasus III

(25)

itu punya hak atas harta ayahnya, apalagi adanya surat wasiat itu telah memperkuat suatu putusan, maka hasilnya M. boru Pasaribu juga berhak atas harta yang ditinggalkan kakeknya W. Pasaribu.

Dalam kasus tersebut di atas keberadaan lembaga adat sebagai suatu institusi adat yang diakui dapat ditempuh bila diperlukan, dimana ini untuk mengantisipasi terjadinya suatu sengketa waris dalam keluarga.

2. Penyelesaian di Pengadilan

Jika sengketa pembagian warisan tidak dapat diselesaikan secara

marhata/musyawarah keluarga maupun oleh lembaga adat, maka para pihak kemudian dapat mengajukan gugatan sengketa pembagian warisan ke pengadilan. Yang paling sering membawa sengketa ke pengadilan biasanya adalah janda maupun anak perempuan masyarakat Batak Toba. Perlawanan yang dilakukan bukan merupakan konfrontasi langsung, karena mereka memahami lemahnya kedudukan mereka, namun konfrontasi akan menjadi terbuka ketika keadaan sudah menjadi genting.

(26)

daripada janda.84

Dalam penyelesaian sengketa lewat proses di dalam pengadilan ini biasanya jarang ditemukan perdamaian antara para pihak. Putusan yang ada biasanya berupa putusan kalah atau menang. Bila di Pengadilan tingkat pertama salah satu pihak ternyata kalah, maka terbuka kemungkinan untuk mengajukan banding bagi pihak yang kalah tersebut apabila ternyata ia tidak menerima putusan tersebut. Begitu seterusnya hingga pada pengadilan tingkat akhir yaitu di Mahkamah Agung.85

Akibatnya proses tersebut benar-benar menghabiskan waktu, menguras tenaga dan biaya serta melelahkan para pihak. Bahkan penyelesaian sengketa tersebut dapat terjadi hingga bertahun-tahun lamanya, sementara di lain sisi hubungan para pihak yang bersengketa terus memburuk, merenggang bahkan dapat bermusuhan. Dan dalam banyak kasus, biasanya sengketa tersebut menjadi semakin rumit dan akhirnya para pihak menjadi saling bermusuhan, dan permusuhan tersebut berlanjut terus bahkan hingga beberapa garis keturunan selanjutnya.86

Pada umumnya masyarakat menghindari cara penyelesaian sengketa melalui Pengadilan ini, selain rasa malu, mereka menjadikan lembaga pengadilan sebagai upaya terakhir bila dirasakan seluruh cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang mereka tempuh mengalami jalan buntu, karena selain caranya yang rumit, juga memakan waktu yang lama.

84Sulistyowati Irianto,Op.cit, hal 300

85Hasil wawancara dengan Serliwaty, Hakim Pengadilan Negeri Medan, pada tanggal 5 Juni

2014, pukul 08.30 WIB

(27)

Menurut Keebet von Benda-Beckham “They are less familiar with the way courts work The ideal of an impartial judge is familiar, although they also know that many judges are not all neutral. They complain that judges tend to be partial to the highest bidder. In general, it is fair to say that going to court is a gambling game for villagers”.87Pergi tidaknya seseorang ke pengadilan akan tergantung pada perhitungan untung rugi atau berupa kepentingan-kepentingan yang disebut Friedman sebagai sub-legal culture, dengan demikian tidaklah relevan lagi untuk mengatakan bahwa pada masyarakat yang hubungan-hubungan diantara sesama anggotanya bersifat multiplex (many stranded relationship), orang cenderung pergi ke peradilan rakyat, sementara itu masyarakat yang sifat hubungannya simplex(single stranded relationship), orang cenderung berurusan dengan peradilan Negara.88

Para pihak yang bersengketa biasanya pada akhirnya akan menjadi bermusuhan karena putusan pengadilan tidak lagi ke arah perundingan atau perdamaian dan sering pula putusan pengadilan tersebut dirasakan memberatkan bagi salah satu pihak yaitu bagi pihak yang kalah atau dirugikan, sehingga sangat tertutup adanya kemungkinan untuk berdamai kembali setelahnya. Pengadilan merupakan upaya terakhir yang ditempuh oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Namun untuk dapat memahami mengapa orang memilih lembaga hukum negara dalam menyelesaikan sengketanya, dapat dilihat beberapa perbedaan karakteristik dari peradilan negara dan lembaga adat berdasarkan sumber pengaturan, ruang lingkup operasi, potensi sumberdaya yang digunakan untuk penyelenggaraanya, dan tujuan akhirnya. Peradilan negara didasari oleh seperangkat aturan yang seragam, berlaku untuk semua orang dalam ruang lingkup yang luas,

87Keebet von Benda-Beckmann, Evidence and legal Reasoning in Minangkabau, dalam K,

Benda Beckmann dan F.Strijbosch, Antropology of law in the Netherlands, (Dordrecht:Forist Publication, 1986), hal 141

88Sulistyowati Irianto, Perempuan dalam Berbagai Pilihan Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor

(28)

yaitu wilayah negara, dijalankan oleh aparat hukum dalam birokrasi negara.89 Cakupannya luas dan tujuan akhirnya adalah ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah (win-lose solution), karena substansi hukum lebih dipentingkan daripada prosedur. Sebaliknya berdasarkan sumber pengaturan, lembaga adat (musyawarah adat), dilandasi oleh law ways (cara berhukum) masyarakat lokal. Nilai-nilai adat, agama, dan kebiasaan-kebiasaan lain sarat terkandung dalam hukum adat.

Hakim tidak boleh mengadili hanya menurut perasaan keadilan diri pribadinya, melainkan ia tunduk kepada nilai-nilai yang berlaku secara obyektif di dalam masyarakat.90Hakim terikat kepada sistem hukum yang telah terbentuk dan yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan tiap-tiap putusannya hakim menyatakan dan memperkuat kehidupan norma hukum yang tidak tertulis. Pada saat penetapan itu suatu peraturan adat tingkah laku mendapat sifat hukum.91 Penetapan-penetapan (putusan) para petugas hukum secara formal mengandung peraturan hukum, akan tetapi kekuatan materiil dari peraturan-peraturan hukum itu tidak sama. Apabila penetapan (putusan) itu di dalam kenyataan sosial sehari-hari dipatuhi oleh masyarakat, maka kekuatan materiil penetapan itu nyata. Sebaliknya suatu penetapan yang tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari oleh rakyat meskipun secara formal mengandung peraturan hukum, kekuatan materiilnya adalah nihil.

89Ibid,hal 123

90R. Soepomo,Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 44

91Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajarah Tata Hukum Indonesia Bagian I, (Jakarta:

(29)

Contoh kasus yang diselesaikan melalui jalur pengadilan yaitu masalah waris keluarga penguasa TD Pardede yang berlarut-larut, meskipun telah ditempuh cara musyawarah keluarga dan lembaga adat namun tidak membuahkan hasil. Pihak-pihak yang merasa tidak puas membawa permasalahan ini ke tingkat pengadilan negara. Hasil penyelesaian di pengadilan adalah harta warisan yang ada di Medan dan Jakarta dibagi sama rata antara anak-anak perempuan dan anak-anak laki-laki (sedangkan harta yang di kampung dibiarkan atau tidak dibicarakan). Setelah putusan pengadilan keluar, maka agar putusan tersebut diakui oleh seluruh pihak dan keluarga, adat turut mensahkan putusan itu melalui punguan. Dalam kasus ini hukum negara yang dikeluarkan melalui pengadilan ternyata masih membutuhkan legitimasi institusi adat. Pentingnya legitimasi dari punguan (adat) bagi seorang Batak Toba adalah bila ada perkara yang tidak disahkan oleh punguan maka seseorang yang terlibat dalam perkara itu akan dikucilkan. Bagi orang Batak pengucilan itu sangatlah menyakitkan.92

Penyelesaian sengketa waris yang dilakukan pada masyarakat di Kecamatan Medan Baru dapat diketahui berdasarkan hasil jawaban responden sebagai berikut:

Tabel 6.

Penyelesaian Sengketa Warisan di Kecamatan Medan Baru

No. Jawaban Jumlah Persentase

1 Musyawarah kekeluargaan 27 90

2 Lembaga Adat 2 6,67

3 Pengadilan 1 3,33

Jumlah 30 100

Sumber Data : Diolah dari data Primer Tahun 2014

92Hasil wawancara dengan B. Butar-Butar, Ketua Adat Suku Batak Toba di Kecamatan

(30)

Dari tabel diatas terlihat bahwa responden di kecamatan Medan Baru yang memilih menyelesaikan sengketa waris lewat pengadilan yaitu 1 responden (3%), dengan alasan penyelesaian sengketa waris lebih baik dengan hukum negara karena mereka menganggap akan mendapatkan keadilan yang lebih pasti khususnya dalam hal memperjuangkan hak anak perempuan karena jika melalui lembaga adat mereka beranggapan penyelesaiannya pasti akan menggunakan hukum leluhur mereka yang sudah pasti dalam hal ini merugikan kedudukan anak perempuan.

Kenyataan yang terjadi pada saat ini anak perempuan lebih bertanggung jawab dan perhatian dalam mengurus orang tua mereka sampai akhir hayatnya, bahkan mereka tidak segan-segan mengeluarkan biaya yang cukup besar di kala orang tua mereka sakit ataupun sekedar untuk kebutuhan hidup orang tuanya. Namun di dalam pembagian warisan justru anak laki-laki yang diperhitungkan. Oleh karena itulah mereka menginginkan keadilan dan hukum negara dianggap dapat memberikan rasa adil tersebut.

(31)

orang mengetahuinya merupakan suatu hal yang bisa membuat malu, artinya menurut mereka pertengkaran atau perselisihan dalam keluarga jangan sampai orang luar mengetahuinya untuk itulah musyawarah kekeluargaan jalan yang terbaik menyelesaikan masalah waris tersebut, dan jika ada ketua adat yang menyelesaikannya sebagai orang penengah maka menurut mereka orang tersebut adalah pihak yang sangat terdekat seperti kakek/opung, maupun paman/tulang

sendiri.

Bahwa penyelesaian sengketa waris di kecamatan Medan Baru lebih dominan memilih musyawarah dan mufakat, dan jika secara musyawarah dan mufakat antar keluarga dirasa belum dapat menyelesaikan masalah, maka permasalahan akan diselesaikan oleh ketua adat melalui lembaga adat. Apabila tidak terselesaikan juga maka penyelesaian secara hukum negara melalui jalur pengadilan akan ditempuh karena dirasa memiliki kepastian hukum dan dianggap dapat melihat perubahan dan perkembangan zaman yang terjadi, artinya hukum harus sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat.

Beberapa putusan Mahkamah Agung telah menetapkan untuk seluruh Indonesia bahwa bagian dari ahli waris wanita dalam warisan adalah sama dengan bagian ahli waris laki-laki93, hal itulah yang menyebabkan pihak-pihak wanita lebih memilih hukum negara dalam menyelesaikan sengketa warisnya jika sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan secara lembaga adat.

Gambar

Tabel 4.
Tabel 5 Lanjutan

Referensi

Dokumen terkait

Interval waktu perawatan yang tepat pada komponen kritis Mesin Mitsubishi 1F-15000 menggunakan P-F Interval dari MTTF/MTBF masing-masing komponen sesuai dengan jenis

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, “Peng aruh Likuiditas, Leverage , Profitabilitas, dan Ukuran Perusahaan Terhadap

Untuk mengantisipasi masalah tersebut maka perlu diberikan suatu teknik salah satunya dengan menggunakan strategi pengelolaan diri dan reinforcement, karena dianggap

Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan mengkaji lebih lanjut tentang sifat-sifat pelabelan cordial dan e-cordial pada beberapa jenis graf sederhana,

Jika untuk setiap pasangan titik pada suatu graf terdapat lintasan yang menghubungkannya, maka graf tersebut disebut graf terhubung.. Graf terhubung yang setiap titiknya

menunjukkan bahwa model regresi dapat digunakan untuk memprediksi variabel Biaya Bahan Baku dan Biaya Tenaga Kerja Langsung terhadap Harga Pokok Produksi atau bisa

Teknik motion graphic dan efek visual adalah inti dari skripsi yang penulis ambil, yaitu “Analisis Dan Pembuatan Animasi Motion Graphic Serta Visual Effect Pada

235 Figure / Irudia 90 Impact percentage of each life cycle stage with respect to the global impact reduction of the refurbished building during its life cycle