1 Tugas Summary PIHI
Jurusan/NPM : Ilmu Hubungan Internasional / 1306408725
Decision-Making: Sebuah Konsep Vital dalam Hubungan Internasional
Dunia telah melalui pelbagai perubahan dalam perkembangannya. Pada saat Yunani dan Romawi Kuno, sistem negara yang dianut adalah city-state1. Kerajaan sempat menjadi sistem pemerintahan yang dianut sebagian besar negara dimana gereja dominan dalam
decision-making. Namun demikian, sejak ditandanganinya Perjanjian Westphalia pada tahun
1648 yang juga mengakhiri Perang 30 Tahun memisahkan agama dan pemerintahan (sekulerisasi). 2Dengan demikian, negara berubah menjadi penganut nation-state dan pemimpin negaralah yang memutuskan decision-making dan bukan lagi gereja. Decision-making penting dalam hubungan internasional karena berkaitan dengan penerapan foreign policy suatu negara. Maka, penulis akan menjelaskan tahap-tahap dalam mencapai decision-making, tipe-tipe
decision-making dan leadership, faktor-faktor yang mempengaruhi decision-making, serta
teori-teori yang mendukung pentingnya decision-making dalam hubungan internasional.
Dalam mencapai decision-making atau pengambilan keputusan, perlu ada beberapa pertimbangan. Dalam bukunya “Constraints, Compromises, and Decision Making”, Gary Goertz mengemukakan pentingnya constraint dalam mencapai decision making. Constraint dijelaskan sebagai act yang jarang ditemukan bersamaan secara teoritis dan empiris.3 Ini berarti constraint ditemukan secara terpisah aplikasinya dan teorinya dalam hubungan internasional. Dalam
decision-making, penting memakai tahap poliheurestic. Poliheurestic merupakan tahap dimana
decision-makers memiliki multiple goals dan bagaimana mereka melihat alternatif-alternatif
yang ada. 4Dalam tahap poliheurestic, seorang pemimpin memakai dua langkah, yaitu
elimination dan maximize.5 Elimination berarti melakukan seleksi dalam suatu permasalahan
1
Juaniata Elias dan Peter Sutch, Basics of International Relations, (New York: Routledge, 2007), hlm.6
2
Ibid.
3Gary Goertz, Co strai ts, Co pro ises, a d Decisio Maki g dala Jour al of Co flict Resolutio , Vol. 48,
No.1 (2004), hlm.14-36
4
Ibid.
5
2
dengan hanya fokus terhadap faktor-faktor yang relevan. Lalu, dengan mencapai elimination, tahap selanjutnya adalah maximize, yaitu memperbesar dengan lebih fokus dan lebih mendalami faktor-faktor yang telah dipilih sebelumnya. Contoh konkret yang dapat memperlihatkan
constraint adalah public opinion terhadap foreign policy.6Dalam pandangan realis, seorang
pemimpin memaksimalkan foreign policy-nya dibawah constrain of public opinion.7 Ini menunjukkan seberapa baik dan didukungnya foreign policy oleh publik. Akan tetapi, hal ini dapat dipandang sebagai cara yang digunakan oleh pemimpin untuk tetap mempertahankan kekuasaanya.8Poliheurestic theory sangat erat kaitannya dengan noncompensantory principle, yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa suatu key dimension yang telah memiliki kerugian tidak dapat dikompensasikan dengan perolehan dari dimension lainnya.9 Prinsip ini menghindari alternatif yang memiliki perbedaan nilai yang ekstrem.10 Dalam decision-making dibawah
constraint dapat membantu mencari fungsi kegunaan dengan multiple goals. Contohnya adalah
hubungan Syria dengan Israel yang memiliki tiga dimensi utama, yaitu honor/credibility,
containment Israeli influence, dan security.11Sebelumnya, terdapat 9 dimensi yang menjadi
pertimbangan dalam hubungan bilateral kedua negara tersebut, tetapi dengan poliheurestic
theory, dieliminasi menjadi tiga. Selain itu, dalam hubungan antarnegara, prinsip rules of war
dapat menjadi kajian yang menarik karena relevansinya. Constraint suatu pihak merupakan
goal pihak lain.12Ini dibuktikan dengan diadakannya survei terhadap kalangan elit
decision-makers yang diberi opsi untuk menjelaskan policy yang dianutnya dengan pilihahan: 1) better
safe than sorry dan 2) basic principles of just war theory. Disini, yang dimaksud dengan better
safe than sorry adalah pandangan realis terhadap suatu kebijakan yang tidak terlalu
memedulikan moralitas, sementara just war lebih menaruh beberapa pertimbangan moral dalam membuat kebijakan. Hasilnya adalah terdapat 73% responden termasuk dalam kategori
ambivalent, yaitu yang mempertimbangkan keduanya. Ini menarik karena ini memunculkan
suatu kenyataan bahwa dalam kenyataannya decision-maker memiliki pola pikir yang pragmatis. Adapun dalam decision making, terdapat prinsip mendasar yaitu “avoid major loss” yang berarti
3
menghindari kerugian besar dalam pembuatan kebijakan.13 Contohnya adalah foreign policy Amerika Serikat pada saat Krisis Misil Kuba pada bulan Oktober 1962, Presiden Kennedy memiliki dua tujuan, yaitu mengeluarkan misil-misil dari Kuba dan menghindari perang dengan Uni Soviet. Dikarenakan Kennedy saat itu sangat menghindari perang, maka dipakai cara-cara diplomasi seperti mengirimkan Robert Kennedy ke Kuba dalam merundingkan lebih lanjut permasalahan yang ada. Dengan demikian, Amerika Serikat pun dapat menghindari perang dan nuklir pun dikeluarkan dari Kuba. Dalam kenyataannya, tidak semua pemimpin dapat menerapkan semua kebijakan mereka. Mereka pun harus mempertimbangkan public opinion, seperti yang terjadi terhadap Eisenhower, Nixon dan Kissinger yang kerapkali ingin menggunakan senjata nuklir dalam penyelesaian suatu konflik tetapi dikekang oleh opini publik yang ada. Maka, dalam pertimbangan suatu kebijakan, pemimpin harus mengakui signifikansi dari public opinion.
Setelah menjelaskan mengenai tahap-tahap yang dapat ditempuh dalam decision-making, selanjutnya adalah penjabaran mengenai tipe-tipe decision-making dan tipe kepemimpinan yang mempengaruhi suatu kebijakan. Decision atau keputusan merupakan tahap final dalam suatu pengambilan kebijakan sehingga sangat penting untuk mempertimbangkan bentuk keputusan yang dipakai sesuai dengan situasi kondisi. Pertama adalah single decision, yaitu keputusan sepihak tanpa adanya interaksi dari pihak lainnya dan ini jarang terjadi.14 Contoh yang memperlihatkan decision ini adalah keputusan Amerika Serikat untuk tidak membantu pihak Perancis di Dien Bien Phu pada tahun 1954. Selanjutnya, adalah strategic-interactive decision, yaitu melibatkan dua negara atau lebih yang masing-masing decision saling mempengaruhi.15Keputusan Yasser Arafat selaku Presiden PLO untuk menyetujui bertemu dengan PM Israel yang berkaitan dengan Prisoner’s Dilemma merupakan contoh konkret dari tipe decision tersebut. Lalu, ada sequential decision, yaitu bentuk lebih realistis dari single
decision yang menjelaskan bahwa suatu keputusan berasal dari sejumlah events yang berkaitan.16
Contoh dari sequential decision adalah foreign policy Amerika Serikat di Iraq yang merupakan
sequent events : keputusan untuk menyerang Iraq atau tidak, menduduki Iraq, menambahkan
13
Ibid.
14
Alex Mintz, Understanding Foreign Policy and Decision Making, (Cambridge: Cambridge University Press, 2010) , hlm. 15
15
Ibid.
16
4
atau mengurangi jumlah armada militer, keputusan untuk withdraw atau menetap, dan mengakhiri operasi secara keseluruhan di Iraq. Ini lebih relevan dan dapat dijumpai sehari-hari dibandingkan dengan single decision. Dengan adanya se quential decision, ada pula sequence
of interactive decision,yaitu adanya interelasi events terhadap keputusan suatu kebijakan yang
melibatkan dua aktor internasional atau lebih.17 Contohnya ialah arms race of USA-Soviet dan
NATO-Warsaw Pact yang terjadi pada saat Perang Dingin. Tipe terakhir adalah group decision
making, yaitu keputusan yang dipengaruhi oleh dinamika grup-grup yang dapat berisikan
individu, agen birokrat, maupun koalisi.18 Tipe ini cukup rumit karena setiap komponen di dalam nya memiliki interest yang berbeda dan hubungan antarsesama tidak selalu horizontal. Contoh yang ada untuk tipe ini adalah di negara Israel yang memakai group decision making dalam mencapai suatu persetujuan dalam penerapan kebijakan. Berkaitan dengan itu, level of analysis dalam decision-making penting untuk diketahui. Level of analysis dalam decision making terdiri dari individual-level, group level, coalition decision making. Individual-level mengumpulkan berbagai aspirasi dan tujuan dari berbagai belah pihak kepada satu orang pemimpin.19 Dengan rezim yang otoriter, foreign policy didominasi oleh top leader yang berkuasa, seperti yang terjadi di RRT saat Mao Zedong berkuasa yang bertanggung jawab dalam memutuskan kebijakan-kebijakan strategis dalam menghadapi permasalahan internasional.20 Selanjutnya adalah group
level analysis, yaitu terdiri dai sejumlah kelompok yang bertujuan untuk mengurangi potensi
ketidaknetralan dan kesalahan interpretasi situasi.21Contoh pemakaian level of analysis ini adalah
saat Krisis Misil Kuba, dimana Presiden Kennedy membuat “Kennedy’s Executive Committee (ExCom) yang membahas secara rinci bagaimana AS berekasi dalam penemuan nuklir misil di Kuba.22 Ini dilakukan untuk mengantisipasi AS mengambil langkah yang tepat untuk menghindari perang dengan Uni Soviet dan di saat bersamaan juga mendapatkan tujuannya, yaitu pengeluaran misil dari Kuba. Level of Analysis selanjutnya adalah coalition decision
making, yaitu yang melibatkan berbagai kelompok.23Disini, ketika mencapai keberhasilan,
Caroline Rose, Interpreting History in Sino-Japanese Relations: A Case Study in Political Decision-Making, (New York: Routledge, 1998), hlm. 137
21
Alex Mintz, Op Cit., hlm. 19
22
Priscilla Roberts, Cuban Missile Crisis, (Santa Barbara: ABC CLIO, LLC, 2012), hlm.85
23
5
masing-masing pihak merasakannya, begitu juga ketika mengalami kerugian, the blame is
shared. Contohnya adalah pemerintah Israel dalam menentukan suatu kebijakan.
Type of Leader Political Constrain New Information
Crusader Challenges Closed
Strategic Challenges Open
Pragmatic Respect Closed
Opportunistic Mindful Pursuing
Selanjutnya, setelah menjabarkan mengenai tipe decisions, perlu adanya pemahaman dari tipe pemimpin sebagai pemegang keputusan dalam suatu negara. Menurut M. Hermann, terdapat empat tipe pemimpin, yaitu crusader, strategic, pragmatic, dan opportunistic. Tipe pemimpin pertama adalah crusader, yaitu tipe pemimpin yang menantang political constrain dan sangat tertutup terhadap informasi baru dari luar.24 Ini berarti pemimpin tersebut pada dasarnya tidak dibatasi dalam menjalankan kebijakannya. Contoh dari tipe pemimpin ini adalah Fidel Castro. Selanjutnya adalah strategic leader, yaitu menantang political constrain dan terbuka terhadap informasi baru. Pemimpin ini mengetahui apa yang mereka mau dan akan mencari segala informasi yang dapat menunjang mencapai tujuannya.25 Hafez al-Assad merupakan contoh dari tipe pemimpin ini dimana ia memiliki tujuan untuk mendapatkan kembali Golan Heights dan menjadi pemimpin berpengaruh di regionalnya. Proses dalam mencapai tujuannya tidak memerlukan banyak pengorbanan sehingga menguntungkan bagi pemimpin Syria itu. Lalu, ada
pragmatic leader, yaitu menghormati political constrain namun menutup terhadap informasi
baru. Ini merupakan hal yang masuk akal jika ditinjau dari pengertian dari pragmatis, yaitu mencari aman dimana constrain merupakan tindakan defensif dari dalam sementara informasi dari luar merupakan ancaman untuk domestik. Contohnya adalah PM Inggris Winston Churchill yang sangat mementingkan eksistensi British Empire dan tidak menyukai pemberian kemerdekaan terhadap negara koloninya, India.26 Bentuk terakhir adalah opportunistic leader, yaitu sangat memikirkan political constrain juga mencari informasi baru dari luar dimana
political bargaining merupakan komponen vital dari tipe pemimpin ini. Contoh yang tidak
24
Ibid. hlm. 117
25
Ibid.
26
6
memiliki tipe pemimpin ini adalah invasi Grenada pada tahun 1983 oleh AS sebagai bagian dari Perang Dingin dengan foreign policy mereka yaitu US interventionism.27 Ini tentu bukan merupakan langkah yang dianggap terbaik oleh negara di dunia lainnya, terutama upaya invasi terhadap sebuah daerah yang berdaulat yang dilakukan oleh AS yang merupakan negara yang sangat menghargai kedaulatan negara. Dengan demikian, penting untuk mengetahui tipe pemimpin karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dan sewaktu-waktu seorang pemimpin dapat merubah tipe kepemimpinannya tergantung dengan konteks situasi dan kondisi yang ia sedang alami.
Lalu, dengan mengetahui tipe-tipe decision dan leader, sekarang penulis akan menjelaskan mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi decision-making. Pertama adalah
cognitive consistency, yaitu decision-makers akan mengabaikan images dan beliefs yang
bertentangan terhadap konsensus yang ada.28 Dengan demikian, mereka akan fokus terhadap apa yang telah disepakati atau “perceive what they expect to be there”29. Dengan demikian, ini dapat menimbulkan berbagai misinterpretasi dan overconfidence terhadap asumsi bahwa kebijakan yang dianut sudah terbaik.30 Contohnya adalah First Punic War yang terjadi antara tahun 264 sampai 241 SM yang terjadi antara Roma dan Carthadge. Ini dilatarbelakangi oleh invasi terhadap Sicily oleh Carthadge yang dianggap tidak akan mendapatkan back up dari Roma sebagai kerajaan yang besar. 31Hasilnya adalah Sicily menjadi bagian dari Roma. Faktor lainnya yang mempengaruhi decision-making adalah evoked set yang berkaitan dengan immediate
concerns yang berarti reaksi langsung terhadap suatu kejadian yang terjadi bersamaan.32
Implikasinya adalah dengan ini decision-makers dapat memprediksi langkah yang cepat dalam menyelesaikan suatu masalah dalam waktu yang singkat. Akan tetapi, ini pun dapat menimbulkan permasalahan baru, seperti pada kasus penembakan pesawat Iran oleh USS
27
Pedro Welch, US-Caribbean Relations : The Grenada Invasion and Caribbean Political Decision-Making, (Saarbrucken : VDM Verlag Dr. Müller, 2009), hlm.12
28
Alex Mintz, Op Cit., hlm.98
29
Nehe ia Geva et al, The Cog itive Calculus of Foreig Policy Decisio Maki g dala The Journal of Conflict Resolution, Vol. 44, No.4 (2000), hlm. 447-441
30
Rose Mc Dermott, Political Physchology in International Relations, (Michigan: University of Michigan Press, 2004), hlm. 94
31
Arthur M. Eckstein, Senate and General: Individual Decision-Making and Roman Foreign Relations, (California: University of California Press, 1987), hlm. 330
32
7
Vincennes pada tahun 1988.33 Pada saat itu, latar belakang dalam keputusan untuk menembak pesawat tersebut adalah ditemukannya data-data oleh intelegensi AS mengenai kecurigaan terhadap Iran. Namun demikian, dengan kurangnya informasi dari sumber lain selain AS akhirnya menemukan bahwa pesawat tersebut ternyata hanya sebuah pesawat komersil Iran. Setelah itu, emotion atau perasaan berperan penting dalam decision-making. Pemimpin dikenal dipengaruhi oleh opini massa, yang dipengaruhi oleh kejadian domestik maupun internasional.34Perasaan yang spesifik seperti dendam dapat memberikan efek yang spesifik pula. Contohnya pada bulan Oktober 2002 terjadi bom bunuh diri di Netanya, Israel yang membunuh 130 warga sipil Israel yang setelah itu diketahui dipasang oleh kelompok ekstremis Palestina, Jihad dan Hamas.35Dengan adanya kejadian tersebut, perasaan dendam yang mendalam yang dirasakan oleh Israel terhadap Palestina menyebabkan akan membalas dendam dengan Israel’s
Defensive Shield. Selanjutnya ialah images, yaitu representasi mental yang digunakan untuk
membentuk serta mengorganisasikan dunia yang kompleks.36 Proses ini memakai stereotip untuk mengkategorikan seseorang atau suatu kejadian ke dalam suatu kelompol dimana digunakan untuk melakukan simplifikasi. Namun demikian, ini dapat mengakibatkan overgeneralization. Contohnya pada saat Perang Dingin, prinsip deterrence yang berarti ancaman dari satu aktor internasional bertindak sebagai response dari potensi tindakan aktor lainnya.37 Perang Dingin tidak dapat disimpulkan sebagai perang biasa karena dalam perang tersebut dari kedua aktor
besar, yaitu AS dan Uni Soviet tidak melakukan peran fisik, namun lebih kepada “perang” dalam
hal arms race dan penyebaran pengaruh ideologi. Ini tentu berbeda dengan perang-perang
sebelumnya seperti Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Dalam teorinya dynamics of power, Gilpin menjelaskan terdapat tiga karakteristik yaitu the basicdriving forces of change, the
domestic response to this struggle dan the international management of power shifts.38 Dari
ketiga bagian dari ide Gilpin, yang paling relevan dalam Perang Dingin adalah yang ketiga, dimana great-power menurut dan kompetisis berubah menjadi ‘perang’ teknologi. Ini terjadi antara AS dan Uni Soviet pada saat Perang Dingin arms race serta space race. Ini mencerminkan
Martha Cottam et al, Introduction to Political Psychology, (New York: Lawrence Erlbraum Associates Publishers, 2004), hlm. 261
38
8
perubahan bahwa perang tidak selalu fisik, namun juga dapat berupa perluasan pengaruh ideologi.
Selanjutnya, penulis akan menjelaskan mengenai teori-teori yang relevan dengan
decision-making. Pertama adalah Prisoner’s Dilemma, yaitu contoh spesifik dari game theory.
Game Theory merupakan metode matematika yang menghitung decision-making pada saat
terjadi konflik atau bargaining dimana diasumsikan setiap aktor ingin mendapatkan keuntngan maksimum yang juga rasional dengan kondisi.39Contoh kasusnya adalah ketika dua narapidana ditangkap dan akan dipenjara karena diduga telah memakai narkoba, yang dikenakan satu tahun penjara. Polisi tersebut memiliki alasan yang cukup untuk berasumsi bahwa keduanya adalah pengedar narkoba, namun tidak memiliki bukti cukup untuk memberikan hukuman. Jika ditemukan mereka merupakan pengedar, masing-masing dijatuhkan 25 tahun penjara. Jika keduanya mengaku, maka masing-masing dipenjarakan selama 10 tahun. Mereka dipisahkan dan tidak dapat berkomunikasi satu sama lain. Hasil yang buruk adalah ketika keduanya harus dipenjara selama 10 tahun, namun lebih buruk lagi apabila salah satu dari mereka mengaku dan harus dipenjarakan sementara yang lainnya bebas.40 Pelajaran dari teori ini adalah cooperation antarnegara sulit terjadi apabila tidak ada komunikasi.41Lalu, ada yang disebut dengan Tit for Tat, yaitu merupakan response dari Prisoner’s Dilemma, yang menyatakan bahwa ketika dua negara telah melakukan interaksi yang tidak didasarkan oleh kerja sama seiring dengan waktu,
cooperation akan terjadi.42Ini dikarenakan over the long run, kooperasi merupakan reward.
Dengan demikian, setelah kedua negara tersebut melakukan interaksi dan tidak didasarkan oleh kerja sama akhirnya sadar bahwa keuntungan diraih dari bekerja sama lebih banyak daripada tidak bekerja sama. Lalu, terdapat Two Level Game, yaitu sebuah teori gagasan Robert Putnam pada tahun 1980-an. Dalam teori ini, decision-making menghadapi dua pertimbangan dalam penerapannya, yaitu domestic level groups dan international level groups.43 Dalam penerapannya, terkadang kepentingan dari kedua kelompok saling berkaitan dan tak jarang
39Marti Griffiths da Terry O’ Callagha ,
International Relations: The Key Concepts, (New York: Routledge, 2002), hlm.257
40
Joseph S. Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History, (London: Longman, 1997), hlm. 13
9
kepentingan kedua kelompok bertolak belakang.44Contohnya adalah adanya negosiasi dan ratifikasi dalam perjanjian internasional. Presiden sebelumnya harus melakukan negosiasi dengan aktor internasional lainnya untuk menandatangani traktat. Lalu, tidak lupa pula dengan kepentingan domestik, seperti kepentingan legislatif harus dipertemukan. Dengan demikian, keseimbangan dari kedua kepentingan dari kedua kelompok tersebut karena saling berkaitan dan saling berhubungan satu sama lain dalam merumuskan suatu kebijakan. Maka, teori-teori di atas yang sudah dijabarkan oleh penulis relevan dalam decision-making sehingga negara dapat melakukan tindakan yang tepat serta meraih hasil yang maksimal.
Akhirnya, decision-making dalam hubungan internasional merupakan aspek yang tidak dapat dihindari. Decision-making mempengaruhi foreign policy suatu negara sehingga
berdampak pada masyarakat secara luas. Dalam decision-making, perlu mengetahui signifkansi dari public opinion yang mempengaruhi kebijakan seorang pemimpin. Faktor-faktor yang mempengaruhi decision-making penting untuk ditelaah karena menyangkut faktor eksternal maupun internal.Tipe-tipe decision serta leader perlu diketahui dalam memahami perbedaannya, serta teori-teori yang mendukung konsep decision-making. Dengan demikian, decision-making suatu negara perlu menguntungkan masyarakat negara tersebut karena merupakan kompilasi aspirasi dari masyarakat dalam merancang suatu kebijakan.
44
10
DAFTAR REFERENSI
Elias, Juanita dan Peter Sutch. Basics of International Relations.New York: Routledge, 2007
Mintz , Alex dan Karl DeRouen. Understanding Foreign Policy: Decision Making. Cambridge: Cambridge University Press, 2010
Eckstein, Arthur M. Senate and General: Individual Decision-making and Roman Foreign
Relations. California: University of California Press, 1987
Rose, Caroline. Interpreting History in Sino-Japanese Relations: A Case Study in Political
Decision-Making. New York : Routledge, 1998
Cottam, Martha., et al. Introduction to Political Psychology. New York: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 2004
Neumann, Iver B., et al. The Future of International Relations. New York: Routledge, 1997
Griffiths, Martin dan Terry O’Callaghan.International Relations: The Key Concepts. New York: Routledge, 2002
Welch, Pedro. US-Caribbean Relations: The Grenada Invasion and Caribbean Political
Decision-Making. Saarbrucken : VDM Verlag Dr. Müller, 2009
Towle, Philip. Democracy and Peacemaking. New York: Routledge , 2000
Roberts, Priscilla. Cuban Missile Crisis. Santa Barbara: ABC CLIO, LLC , 2012
Putnam, Robert D., Diplomatic and domestic politics: the logic of two-level game”.
Massachusetts: World Peace Foundation,1998
Nye, Joseph S. Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History.
London: Longman, 1997
11
Geva, Nehemia., et al. “The Cognitive Calculus of Foreign Policy Decision Making: An
Experimental Assessment”. The Journal of Conflict Resoluton Press 44.4 (2000): 447-471