• Tidak ada hasil yang ditemukan

EPISTEMOLOGI ILMU PARADIGMA POSITIVISME pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EPISTEMOLOGI ILMU PARADIGMA POSITIVISME pdf"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu:

Dr. Muhammad In’am Esha, M.Ag

Oleh:

Moch. Bachrurrosyady Amrulloh (13770004)

Abdul Wachid Zakki (13770061)

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

(2)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam perkembangannya, filsafat empirisme berkembang menjadi beberapa pandangan yang berbeda, yaitu positivisme, materialisme, dan pragmatisme. Materialisme dan positivisme merupakan bentuk yang paling ekstrem, karena filsafat hanya memikirkan yang realitas saja. Pelopor dari filsafat positivisme adalah August Comte, yang dalam pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Saint Simon, bahwa segala sesuatu terjadi berdasarkan hukum-hukum yang dapat dibuktikan dengan observasi dan percobaan.1 Yang kemudian melahirkan metode penelitian

kuantitatif. Namun metode penelitian kuantitatif yang dilahirkan filsafat positivisme dianggap ada beberapa kekurangan. Filsafat post-positivisme muncul untuk merekonstruksi kelemahan-kelemahan yang ada dalam penelitian kuantitatif. Filsafat post-positivisme ini kemudian melahirkan metode penelitian kualitatif. Pengaruhnya pada perkembangan ilmu pengetahuan pun sangat besar hingga sekarang. Dibuktikan dengan relevansi kedua metode penelitian tersebut. Untuk itu pemakalah akan membahas beberapa aspek tentang kedua faham filsafat ini.

B. Rumusan Masalah

1. Siapa tokoh-tokoh filsafat positivisme?

2. Bagaimana perkembangan filsafat positivisme? 3. Bagaimana metode penelitian filsafat positivisme? 4. Bagaimana paradigma filsafat postpositivisme? 5. Bagaimana metode penelitian postpositivisme?

1 Salam, Burhanuddin, Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi, PT Asdi Mahasatya,

(3)

C. Tujuan

Makalah ini dibuat untuk:

1. Mengetahui para tokoh filsafat positivisme

2. Mengetahui perkembanagan yang berdasarkan filsafat positivisme 3. Mengetahui metode penelitian yang dipakai filsafat positivisme 4. Mengetahui paradigma postpositivisme

(4)

BAB II belajar di Sekolah Politeknik di kota Paris. Dalam tahun 1817 ia diangkat menjadi sekretaris Saint Simon. Tetapi sehubung dengan penerbitan bukunya “Sistem Politik Positif” (1824), ia memutuskan persahabatan dengan dia. Dalam tahun berikutnya dia menikah dengan Caroline Massin, seorang bekas pelacur. Ia pernah berkata, bahwa perkawinan itu adalah satu-satunya kesalahan besar dalam hidupnya. Pada tahun 1830 jilid pertama dari seri “filsafat positif”

(Course de Philosophie Positive) terbit. Lalu berturut-turut jilid-jilid

lain menyusul sampai tahun 1842. Dalam bulan Oktober 1844 Comte bertemu dengan Clotilde de Vaux, saudaranya bekas mahasiswanya, yang sakit tanpa harapan dapat sembuh, dan terpisah dari suaminya. Ia menyatakan cintanya pada Clotilde, yang membalasnya dengan persahabatan. Pada tahun 1864 Clotilde meninggal dunia.2 August Comte sering disebut “Bapak Positivisme”

karena aliran filsafat yang didirikannya disebut sebagai “positivisme”. Arti positif bagi August Comte adalah: nyata, tidak khayal. Ia menolak metafisik dan teologik. Jadi menurut dia ilmu penetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan. Abad ini merupakan suatu zaman yang diatur oleh cendekiawan dan industriawan.3

2Veeger, K.J, Realita Sosial: Refleksi Filfat Sosial atas Hubungan

Individual-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, Hal. 16-17

3 Mantra, Ida Bagus, Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosia, Pustaka Pelajar

(5)

b. John Stuart Mill

John Stuart Mill (1806-1873) atau salah satu sahabat Comte. Tapi ada pikiran-pikirannya yang bertentangan dengan Comte, seperti Mill menerima psikologi sebagai ilmu yang paling fundamental. Mill juga meneruskan prinsip-prinsip positivisme dalam bidang logika.4

c. H. Spencer

Pemikiran Herbert Spencer (1820-1903) berpusat pada teori evolusi ia telah mendahului Charles Darwin, ia memutuskan menulis karya tulis yang menetrpkan prinsip evolusi serta sistematis. Hasilnya karya yang berjudul A System of Synthetic Philosophy. Menurutnya kita hanya bisa mengenal gejala-gejala saja walaupun dibelakang gejala tersebut ada dasar yang absolut, tetapi absolut itu tidak dapat dikenal.5

2. Faham Positivisme

Kata Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols mengartikan positive dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas, pasti, meyankinkan.6 Dalam filsafat, positivisme berarti

suatu aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, positivisme berarti aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti. Sesuatu yang maya dan tidak jelas dikesampingkan, sehingga aliran ini menolak sesuatu seperti metafisik dan ilmu gaib dan tidak mengenal adanya spekulasi.

Abad ke-19 merupakan abad yang sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme dan pengaruh itu terutama sangat terasa di bidang ilmu pengetahuan. Dalam sejarah filsafat Barat, abad ke-19 ditandai oleh dominasi kerja ilmu pengetahuan modern. August Comte (1798-1857) sering disebut “Bapak Positivisme”, karena aliran filsafat yang didirikannya disebut sebagai “positivisme”. Arti positif bagi August

4Filsafat Ilmu Positivisme dan Postpositivisme, htm, Diakses tanggal 05-10-2013 5 Ibid.

(6)

Comte adalah: nyata, tidak khayal. Ia menolak metafisika dan teologik. Jadi menurut dia ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan. Abad ini merupakan suatu jaman yang diatur oleh cendekiawan dan industriawan.7

Dikatakan positivisme, karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita selidiki, dapat kita pelajari hanyalah yang berdasarkan fakta-fakta, data yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif. Apa yang kita ketahui itu hanyalah yang tampak saja, di luar itu kita tidak perlu mengetahuinya, dan tidak perlu untuk diketahui. Positivisme membatasi penyelidikan atau studinya hanya pada bidang gejala-gejala saja.8 Titik

tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Maksud positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut kita atur dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.9

Positivisme adalah ajaran bahwa hanya fakta atau hal yang dapat ditinjau dan diuji, melandasi pengetahuan yang sah. Maka metafisika dan teologi harus dianggap sebagai permainan kata atau spekulasi liar saja. Comte akan menolak cara orang purba berfikir, di mana pengalaman yang sehari-hari dan perasaan religius saling meresapi, dan agama merupakan penafsiran dan pengertian yang benar. Sekarang zaman telah berubah. Positivisme memaksa agama dan metafisika untuk turun tahta. Begitu juga susunan masyarakat lama sudah ketinggalan zaman. Semua lembaga kemasyarakatan, yang pembenarannya dan pendasarannya dahulu ditemukan di dalam pandangan yang bersifat metafisik atau keagamaan, harus dibarui atau diganti dengan lembaga-lembaga yang berpedoman pada ilmu pengetahuan positif.10

Gagasan-gagasan religius yang pernah mendasari kesatuan masyarakat, sekarang mendapat tantangan dari proses evolusi, sehingga harus ditinggalkan. Dengan mengingat bahwa suatu tahap evolusi yang

7 Ibid. Hal 22

8 Mantra, Ida Bagus, op.cit . Hal 192-193

(7)

lebih tinggi telah menjadi kenyataan, maka konsekuensinya berupa tata kepercayaan dan tata nilai yang lebih tinggi harus diterima. Fungsi tradisional agama sebagai pemersatu masyarakat harus diambil alih oleh ilmu pengetahuan positif, khususnya sosiologi, yang merumuskan dan menyebarkan konsepsi baru tentang masyarakat. Peran historis kaum rohaniawan harus berpindah pada sarjana-sarjana, ahli-ahli teknik dan kaum industriawan.11 Humanisme ateistik Comte tidak terlepas dari dua

keyakinan khas bagi semangat intelektual progresif di atas, yakni kepercayaan akan kemajuan dan kepercayaan bahwa umat manusia akan maju karena kemajuan ilmu pengetahuan. Kemajuan yang dimaksud di sini adalah kemajuan dari keadaan tidak beradab, mitos, dan kepercayaan ke pengetahuan, dari ketertundukan kepada gereja, para raja, dan tradisi sikap otonom, di mana manusia hanya tunduk pada akal budi. Manusia hanya percaya pada kekuatan nalar sendiri. Ilmu pengetahuan diyakini telah menggantikan kepercayaan, persangkaan, dan takhayul. Diyakini pula bahwa ilmu pengetahuan akan membawa manusia kepada kebahagiaan dan sekaligus menyelamatkannya dari segala masalah. Ringkasnya, yang menyelamatkan manusia bukan lagi iman kepada Allah, melainkan iman kepada ilmu pengetahuan.12

3. Tahap perkembangan pemikiran manusia

Comte mengeksplisitkan kepercayaan akan kemajuan dan kemajuan ilmu pengetahuan di atas dalam sebuah hukum fundamental, yakni hukum tiga tahap. Hukum tiga tahap yang dibuat Comte ini selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pikiran manusia, tegas Comte, harus naik melalui tiga kondisi teoretis yang berurutan, yakni: teologis, metafisik, dan positif-ilmiah.13

a. Teologis

11 Ibid. Hal 19

12 Sugiharto, Bambang. (2008). Humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi

Pendidikan. Yogyakarta dan Bandung. Jalasutra. Hal 109-110

(8)

Tahap teologis manusia mengarahkan pandangannya kepada hakikat yang batiniah (sebab pertama). Disini manusia percaya kapada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya dibalik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.

b. Metafisik

Pada tahap metafisis manusia hanya sebagai tujuan pergeseran dari tahap teologis. Sifat yang khas adalah kekuatan yang tadinya bersifat adi kodrati, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian abstrak, yang diintegrasikan dengan alam. c. Positif-ilmiah

Pada tahap ilmiah-positif, manusia telah memulai mengetahui dan sadar bahwa upaya pengenalan teologis dan metafisis tidak ada gunanya. Sekarang manusia berusaha mencari hukum-hukum yang berasal dari fakta-fakta pengamatan yang memakai akal.14 Gejala

alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji, dan dibuktikan dengan cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental. Manusia dimampukan untuk menerapkan dan memanfaatkannya demi suatu penguasaan atas lingkungan alam dan perencanaan masa depan yang lebih baik. Dalam tahap positif menimbang-terimakan dan menyerahkan hegemoninya atas orde Intellectuelle

(wilayah akal budi) kepada ilmu pengetahuan empiris.15

4. Metode Penelitian Positivisme

Dalam usaha untuk memecahkan suatu masalah yang ada di masyarakat kelompok positivisme berusaha untuk mengetahui (melalui penelitian) penyebab terjadinya masalah tersebut untuk selanjutnya diusahakan penyelesaianya dengan azas positivisme. Proses penelitian dikerjakan dua tahap, yaitu tahap pertama mengikuti cara-cara yang dikerjakan oleh kelompok rasionalisme Decrates. Ia membuat dugaan (hipotesis) tentang penyebab terjadinya masalah tersebut melalui teori-teori dan hasil penelitian yang telah dikaji kebenarannya secara rasional.

(9)

Penalaran yang digunakan dalam tahap ini adalah penalaran deduktif. Tahap kedua adalah menguji hipotesis yang telah disusun dengan metode empiris, misalnya dengan melaksanakan pengamatan (observasi), percobaan (eksperimen), dan membandingkan (komparasi) dengan hasil-hasil penelitian sejenis yang dilaksanakan oleh peneliti lain. Dari hasil-hasil analisi data empiris, dapat diketahui mana hipotesis yang diterima, dan mana yang ditolak. Hipotesis yang telah diuji di lapangan dan dapat diterima maka statusnya berubah menjadi thesis, kebenaran atau dalil.16

Metode kuantitatif dinamakan metode tradisional, karena metode ini sudah cukup lama digunakan sehingga sudah mentradisi sebagai metode untuk penelitian. Metode ini disebut sebagai metode positivistik karena berlandaskan pada filsafat positivisme.17 Memperhatikan proses

penelitian yang dilakukan dalam memecahkan masalah, Comte memperkenalkan Filsafat Ilmu pengetahuan baru (epistimologi baru), yang menjembatani antara rasionalisme Descartes dan empirisme Francis Bacon.18 Metode positivisme dimasyarakat lebih dikenal dengan “metode

survey” terutama untuk penelitian sosial.19

B. Filsafat Post-Positivisme 1. Paradigma Post-Positivisme

Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.

16 Mantra, Ida Bagus. op. cit. Hal 22-23

17 Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. CV Alfabeta, Bandung,

2004, Hal. 7

(10)

Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh aliran positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat se-netral mungkin, sehingga tingkat subjektifitas dapat dikurangi secara minimal.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat pertanyaan dasar berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan. Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau, karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian, suatu ilmu memang betul mencapai objektifitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.

Kedua, bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma

realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.

Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan

(11)

masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.

Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda,

maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.20

2. Metode penelitian post-positivisme

Metode penelitian kualitatif dinamakan sebagai metode baru, karena popularitasnya belum lama, dinamakan metode postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Metode ini disebut juga sebagai metode artistik, karena proses penelitian lebih bersifat seni (kurang terpola), dan disebut sebagai metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan.

Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian

naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah

(natural setting); disebut juga sebagai metode etnografi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya; disebut sebagai metode kualitatif, karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif.

(12)

Filsafat postpositivisme sering juga sebagai paradigma interpretif dan konstruktif, yang memandang realitas sosial sebagai suatu yang holistik/utuh, kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan gejala bersifat interaktif (reciprocal). Penelitian dilakukan pada objek yang alamiah. Objek yang alamiah adalah objek yang berkembang apa adanya.

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci), teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.21

C. Analisis

Untuk analisis, kami memakai pendekatan historis. Justru pemikiran-pemikiran August Comte dan para tokoh positivisme lain jauh tertinggal. Coba kita analisa dari tahun. August Comte menggagas bahwa dikatakan positivisme, karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita selidiki, dapat kita pelajari hanyalah yang berdasarkan fakta-fakta, data yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif. Maksud positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif. Sehingga memunculkan konsep ilmu pengetahuan modern. Pernyataan ini di abad 19 (1798-1857) . jauh sebelum dia, Peradaban Islam telah menghasilkan ilmu-ilmu pengetahuan modern.

Pada zaman kemajuan peradaban Islam abad ke-7 sampai 17 tak hanya melahirkan generasi yang mumpuni di bidang keagamaan tapi juga berbagai ilmu pengetahuan. Era itu banyak melahirkan para ilmuwan di berbagai bidang dengan berbagai temuan teori-teori baru yang menjadi sumbangan besar bagi sejarah peradaban dunia.

Di bidang matematika misalnya, para pakar matematika Muslim telah memberi kontribusi nyata dan menemukan berbagai macam teori di bidang matematika seperti yang kita kenal sekarang. Mereka menemukan

(13)

sistem bilangan desimal, sistem operasi dalam matematika seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, eksponensial, dan penarikan akar.

Tak cuma itu, mereka juga memperkenalkan angka-angka dan lambang bilangan, termasuk angka “nol” (zero). Mereka antara lain juga menemukan persamaan kuadrat, algoritma, fungsi sinus, cosinus, tangen, cotangen, dan lain-lain. Pakar matematika Muslim itu antara lain : al-Khawarizmi, al-Kindi, al-Karaji, al-Battani, al-Biruni, dan Umar Khayyam.

Di kalangan masyarakat Barat, al-Khawarizmi lebih dikenal dengan nama Algorisme atau Algoritme. Ia telah banyak menemukan teori-teori dalam matematika dan populer dengan sebutan Bapak Aljabar. Teori Aljabar itu ia tulis dalam kitabnya yang bertajuk Kitab Al-Jabr wal Muqabalah atau buku tentang pengembalian dan pembandingan. Teori ‘algoritme’ dalam matematika modern diambil dari namanya, karena dialah yang pertama kali mengembangkannya.

Sementara di bidang kimia ada nama Jabir Ibnu Hayyan, al-Biruni, Ibnu Sina, ar-Razi, dan al-Majriti. Jabir Ibnu Hayyan yang telah memperkenalkan eksperimen (percobaan) kimia mendapat predikat ‘Bapak Kimia Modern’. Sementara dalam bidang biologi para ilmuwan Muslim yang ikut memberikan kontribusi besar antara lain Jahiz, Qazwini, Damiri, Abu Zakariya Yahya, Abdullah Ibn Ahmad Bin Al-Baytar, dan al-Mashudi.

Al-Jahiz adalah pencetus pertama teori evolusi. Sayang namanya tidak disebutkan dalam buku-buku pelajaran biologi di sekolah maupun di perguruan tinggi. Pelajar dan ma-hasiswa lebih mengenal nama Charles Darwin, ilmuwan yang hidup seribu tahun sepeninggal al-Jahiz.

(14)

Para ilmuwan Muslim yang hidup di era keemasan Islam itu memang jago di bidang ilmu kealaman, sekaligus pakar agama. Mereka ahli tafsir, ahli hadis, dan bidang-bidang lainnya. Hal ini semakin memperkokoh perkembangan sains Islam yang melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan serta menjadi kontribusi besar dari umat Islam untuk membangun peradaban dunia.

Fakta ini diamini oleh Sejarawan Barat, W Montgomery Watt. Dalam analisanya tentang rahasia kemajuan peradaban Islam. Ia mengatakan bahwa Islam tidak mengenal pemisahan yang kaku antara ilmu pengetahuan, etika, dan ajaran agama. Satu dengan yang lain, dijalankan dalam satu tarikan nafas. Pengamalan syariat Islam, sama pentingnya dan memiliki prioritas yang sama dengan riset-riset ilmiah.

Peradaban Islam memang mengalami jatuh-bangun, berbagai peristiwa telah menghiasi perjalanannya. Meski demikian, orang tidak mudah untuk begitu melupakan peradaban emas yang berhasil ditorehkannya untuk umat manusia ini. Pencerahan pun terjadi di segala bidang dan di seluruh dunia.

Gustave Lebon memberi kesaksiannya, bahwa terjemahan buku-buku bangsa Arab, terutama buku-buku-buku-buku keilmuan hampir menjadi satu-satunya sumber-sumber bagi pengajaran di perguruan-perguruan tinggi Eropa selama lima atau enam abad. Tidak hanya itu, Lebon juga mengatakan bahwa hanya buku-buku bangsa Arab-Persia lah yang dijadikan sandaran oleh para ilmuwan Barat seperti Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Arnold de Philipi, Raymond Lull, Santo Thomas, Albertus Magnus dan Alfonso X dari Castella.22

Jika kita simpulkan, perkembangan ilmu pengetahuan modern sudah jauh ada saat peradaban islam klasik.

(15)

1. Tokoh filsafat positivisme adalah August Comte (1878) John Stuart Mill (1806-1873) H. Spencer (1820-1903)

2. Dikatakan positivisme, karena mereka beranggapan bahwa yang dapat kita selidiki, dapat kita pelajari hanyalah yang berdasarkan fakta-fakta, data yang nyata, yaitu yang mereka namakan positif. Apa yang kita ketahui itu hanyalah yang tampak saja, diluar itu kita tidak perlu mengetahuinya, dan tidak perlu untuk diketahui. Positifisme membatasi penyelidikan atau studinya hanya pada bidang gejala-gejala saja.

3. Metode kuantitatif dinamakan metode radisional, karena metode ini sudah cukup lama digunakan sehingga sudah mentradisi sebagai metode untuk penelitian. Metode ini disebut sebagai metode positivistik karena berlandaskan pada filsafat positivisme. Memperhatikan proses penelitian yang dilakukan dalam memecahkan masalah, Comte memperkenalkan Filsafat Ilmu pengetahuan baru (epistimologi baru), yang menjebatani antara rasionalisme Descartes dan empirisme Francis Bacon. Metode positivisme dimasyarakat lebih dikenal dengan “metode survey” terutama untuk penelitian sosial.

4. Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.

(16)

hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang di temukan di lapangan.

Daftar Pustaka

(17)

Filsafat Ilmu Positivisme dan Postpositivisme.htm. Diakses tanggal 05 10 2013. http://www.majalahgontor.net/index.php?

option=com_content&view=article&id=518:abad-abad-keemasan-peradaban-islam&catid=40:laporan&Itemid=103 tgl. 07 0ktober 2013 John, Ecols. (2003). English-Indonesia. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Mantra, Ida Bagus. (2004). Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial.

Yogyakarta. Pustaka Pelajar Offset.

Muslih, Muhammad. (2004). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar.

Salam, Burhanuddin. (2000). Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi. Jakarta. PT Asdi Mahasatya.

Sugiharto, Bambang. (2008). Humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi

Pendidikan. Yogyakarta dan Bandung. Jalasutra.

Sugiono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. CV Alfabeta.

Veeger, K.J. (1993). Realita Sosial: Refleksi Filfat Sosial atas Hubungan

Individual-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta. PT

Referensi

Dokumen terkait

Telah dilakukan penelitian tentang peningkatan penguasaan konsep dan keterampilan proses sains siswa sekolah dasar melalui penerapan model pembelajaran

“Working with Adolescents Addicted to the Internet”, dalam Internet Addiction: A Handbook and Guide to Evaluation and Treatment.. “Issue for DSM - V:

[r]

Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui pengaruh

Berdasarkan hasil penelitian mengenai kemampuan bertanya siswa melalui pembelajaran berbasis masalah pada konsep pencemaran lingkungan menggunakan kurikulum 2013,

Tujuan dari penelitian ini adalah penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemiskinan dari realitas masyarakat miskin, yang dalam hal ini adalah keluarga pemulung dan

yang terbuat dari plastik sebagai matriks dan serbuk kayu sebagai pengisi ( filler ),. yang mempunyai sifat gabungan

tentang kebutuhan yang dirasakan oleh siswa, b) data tentang pelaksanaan layanan. bimbingan dan konseling berbasis web antara harapan