• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAM VERSUS SOSIALISME DALAM MEMANDANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ISLAM VERSUS SOSIALISME DALAM MEMANDANG"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ISLAM VERSUS SOSIALISME

DALAM MEMANDANG KEHIDUPAN SOSIAL

DAN KEGIATAN EKONOMI

Farhan

Alumnus Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Mataram Email: farhan@yahoo.com

Abstrak

Bagi sebagian ideolog, konsep sosialisme lebih dekat kepada Islam dibandingkan dengan konsep kapitalisme. Sosialisme yang secara teoretis-konseptual sangat menjaga kepentingan-kepentingan sosial di atas kepentingan personal dan individu, sepintas sejalan dengan pandangan Islam dalam melihat kehidupan sosial. Sosialisme menolak kebebasan individu tanpa batas dan menyerahkan pengaturan-pengaturan sosial kepada hukum pasar, sebagaimana dalam doktrin utama kapitalisme memang, tidak diterima dalam Islam. Namun ini bukan berarti Islam adalah sosialime atau sosialisme adalah Islam. Tulisan ini akan menganalisis secara lebih mendalam doktrin sosialisme dalam memandang kehidupan sosial dan membandingkannya dengan konsep Islam. Klaim dari tulisan ini adalah bahwa kehidupan sosial seperti yang diidealkan oleh Islam berbeda dengan kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh sosialisme. Perbedaan keduanya terutama terletak pada pendasaran ontologis yang berbeda; sosialisme melihat kehidupan sosial hanya untuk kepentingan duniawi dan menafikan spritualisme di dalamnya, sebaliknya Islam melihat kehidupan sosial sebagai perluasan dari spritualisme yang menjadi struktur dasarnya.

Kata kunci: sosialisme, Islam, kehidupan sosial, spritualitas.

PendahUlUan

istilah sosial, secara leksikal berarti

“ber kenaan dengan khalayak, masyarakat dan umum”. Definisi lain tentang sosial yaitu “segala sesuatu mengenai masyarakat, pe duli terhadap kepentingan umum”. Berbicara sosial berarti berbicara ten tang kehidupan bersama dalam sebuah komunitas atau masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya, yang notabenenya tinggal di

(2)

ke-wajiban maupun hak dalam menjalani kehidupan bersama.

Adapun sosialisme, secara termi-nologi ber arti “pandangan secara politik dan ekonomi yang berusaha agar harta benda, industri, dan perusahaan menjadi milik negara”. Partanto, men definisikan sosialisme sebagai “teori politik dan ekonomi yang menganjurkan hak milik umum serta manajemen alat-alat pokok untuk produksi, distribusi dan pertukaran barang”.1 Sedangkan,

Listiyani memberikan definisi sosialisme sebagai suatu paham yang menghendaki segala sesuatu harus diatur bersama dan hasilnya dinikmati bersama-sama.

Terminologi sosialisme pertama kali muncul pada tahun 1827 dalam majalah perkoperasian oleh Robert Owen, dan dianut oleh hampir 1,3 milyar manusia di dunia pada abad ke-20 seperti tersebut dalam buku “Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah” karya Michael H. Hart. Sosialisme sebagai suatu gerakan politik yang efektif dan terorganisir baru muncul di Eropa pada akhir abad ke 18 dan awal abad ke-19 sebagai ekses-ekses dari Revolusi Industri. Penemuan baru di bidang teknologi telah membuka cakrawala baru di bidang industri dan perdagangan. Di satu sisi, membuat golongan pengusaha atau pemilik modal (borjuis) semakin hidup makmur, se-mentara golongan buruh atau pekerja (proletar) dengan upah yang rendah hidup melarat dan menderita. Keadaan ini, menjadi awal timbulnya kritik

1Pius A. Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1998), h. 452.

yang tajam dari kalangan sosialis ter-hadap sistem ekonomi kapitalis yang berdasarkan paham liberal yang saat itu mendapatkan legitimasi dari gereja.

Sosialisme memiliki dua tahapan embrio logi, yang pertama disebut de-ngan Sosialisme Utopis dan yang kedua di namakan dengan Sosialisme Ilmiah. Tokoh Sosialisme Utopis se perti Saint Simon (1760-1825), Robert Owen (1771-1858), Charles Fourier (1772-1837), dan Pierre Joseph Proudon (1809-1865), secara umum ber pan-dangan bahwa untuk meng hilang kan kesengsaraan rakyat akibat revolusi industri, menciptakan ma sya rakat baru yang lebih baik dan lebih adil, mem-perbaiki nasib kaum buruh agar dapat hidup dengan layak, maka ke kuatan ekonomi seperti alat-alat dan faktor produksi harus diserahkan kepada ahli-ahli industri dan kaum tekhnokrat, mengurangi jam kerja, serta mendirikan dan menyelenggarakan pendidikan tanpa memungut biaya.

(3)

men-capai suatu hidup yang layak bagi kaum buruh (golongan proletar), maka perlu perjuangan sehingga muncullah konsep perjuangan kelas.

Semangat juang yang diserukan oleh Marx dan Hegel dalam menghapus kelas-kelas sosial yang timbul karena perbedaan kepentingan antara golongan pemilik modal dan kaum buruh termaktub dalam semboyan “Kaum Buruh Sedunia Bersatulah!”. Dalam telaah sejarahnya, implementasi dari semboyan ini menurut Marx, bahwa pertentangan antar kelas hanya dapat diselesaikan dengan jalan kekerasan atau gerakan radikal untuk merebut kembali kekuasaan yang didominasi oleh kapitalis.

Berdasarkan definisi dan deskripsi historis kelahiran ideologi ini, dapat disimpulkan bahwa sosialisme secara politis ingin menyerahkan kendali ekonomi sepenuhnya pada otoritas politik atau pemerintah (State Capitalism) atau pihak yang dimandatkan untuk tugas tersebut, tidak semata-mata untuk menghapus hak privat yang digaungkan oleh materialisme kapitalis, tetapi untuk menghilangkan kesenjangan yang tajam di antara masyarakat sebagai akibat dari pengakuan hak privat yang sangat obsesif terhadap individu dalam menjalankan aktivitas ekonomi pada khususnya.

Secara ekonomi, gerakan sosialisme mengharapkan pemerataan ekonomi masyarakat tanpa ada kelas-kelas sosial seperti kelas pemilik modal (kapitalis), tuan tanah (feodalis), dan agamawan dalam kubu kapitalis, serta kelas buruh

dan pekerja pada kubu sosialis, yang terbentuk oleh perbedaan tingkat ekonomi seperti yang terjadi pada era feodalisme yang merupakan “ibu” yang telah melahirkan materialisme kapitalis.

PersPektif sosialismetentang

kehidUPan sosial

Secara historis, ideologi ekonomi dan politik ini muncul sebagai kritik terhadap paham Kapitalis yang sangat eksploitatif terhadap manusia. Para pemilik modal menjadi penguasa atau “kaisar pasar” sementara kaum buruh dan pekerja tidak mendapatkan upah yang layak dari pekerjaannya sejauh tidak menguntungkan pihak pemilik modal. Kondisi ini, menjadi awal terjadinya

gap yang tajam antara golongan pemilik modal (kapitalis), tuan tanah (feodalis), dan agamawan yang telah melegitimasi kerangka pikir kapitalisme dengan para pekerja atau buruh yang melakukan produksi setiap saat untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan kapitalisme tanpa memperdulikan nasib mereka dalam bentuk pertimbangan upah yang layak.

(4)

kesejah-teraan masyarakat pada agresifnya intervensi pemerintah atau Negara sebagai wakil atau abdi rak yat untuk mengatur regulasi ekonomi, utamanya dalam mengendalikan faktor dan alat-alat produksi yang menjadi kepen tingan publik.

Tokoh Sosialisme ilmiah terkemuka Karl Marx, pada dasarnya mengharapkan terwujudnya masyarakat yang ideal seperti yang digambarkan dalam ”ki-tab perjanjian baru”. Namun, saat itu agama hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan posisi kaum kapitalis dalam menindas kaum buruh. Kondisi ini, membuat Marx mengambil kesimpulan bahwa agama adalah candu (religion is the opium), sebagai bentuk ekspresi kekecewaannya terhadap rea-litas agama pada saat itu.

Penganut ideologi sosialis berpan-dangan bahwa kehidupan sosial yang ideal itu adalah hidup bersama dalam tingkat atau status sosial eknomi yang sama. Masyarakat yang adil dan sejahtera itu adalah masyarakat yang hidup dalam kesetaraan, tidak ada gap

yang dapat memperuncing kecem-buruan sosial, tidak ada status sosial yang dapat memancing lahirnya kon-flik kepentingan dan kelas, serta dapat terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat secara merata dalam skala-skala ekonomi.

Komitmen sosialisme dalam me-wujud kan kesejahteraan yang hakiki bagi masyarakat ternyata kandas di tengah jalan. Konsep pemerataan distribusi eko-nomi yang mereka usung, di samping

bertentangan dengan pengakuan al-Quran tentang strata sosial ekonomi yang bersifat alamiah bagi manusia, juga dapat menghambat kreativitas individu untuk mengembangkan potensi dirinya dalam meraih kehidupan yang lebih baik dan layak.

solUsi sosialismeterhadaP

masalah ekonomi masyarakat

Menanggapi dialektika sosial di atas, penganut ideologi sosialis memberikan solusi sebagai jalan keluar dari berbagai macam konflik dan pertentangan sebagai bentuk reaksi mereka terhadap perjuangan kelas dengan mengajukan sintesis, yaitu “produksi seharusnya diambil dari tangan individu dan di-pindahkan pada masyarakat untuk dimiliki secara bersama-sama, masya-rakat harus secara kolektif mendistri-busikan kekayaan setiap individu menurut kebutuhan masing-masing”. Dengan kata lain, untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dalam konteks sosialisme, memiliki tingkat ekonomi dan penghidupan yang relatif sama, maka “seluruh kegiatan ekonomi harus diusahakan secara bersama atas nama masyarakat tanpa ada klaim usaha swata atau pihak lain selain pemerintah (state enterprise)”.

(5)

mengandalkan peran individu dalam pasar melalui mekanisme pasar bebas.

Negara-negara yang terkena imbas perang dunia kedua saat itu, secara sosial, ekonomi maupun politik sedang mengalami keterpurukan, terbelakang dan dicekam oleh lingkaran kemiskinan yang membuat mereka tetap berada di sekitar tingkat keseimbangan pen-dapatan perkapita yang rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlu-kan “upaya minimum kritis” untuk menaikkan kembali pendapatan per-kapita pada tingkat di mana pem-bangunan yang berkesinambungan da-pat dipertahankan.

Keterlibatan atau intervensi pe-merintah yang sangat dominan ter-hadap aset-aset produksi dan sumber daya ekonomi lainnya menjadi awal stagnannya kebebasan individu dalam melakukan aktivitas ekonomi, awal tidak diakuinya kepemilikan pri-badi dan semua akativitas ekonomi dilaku kan secara bersama-sama untuk kepentingan bersama. Dalam hal ini, Negara bertanggung jawab dalam mendistribusikan sumber dan hasil produksi kepada seluruh masyarakat serta seluruh risiko-risiko ekonomi yang mungkin timbul di tengah-tengah mereka.

Pemusatan aset-aset produksi dan sumber daya ekonomi lainnya pada satu tangan (pemerintah atau badan ekskutif yang mewakilinya) seperti tersebut di atas, secara praktis bertentangan dengan pengakuan Islam akan hak privat seseorang dalam mengembangkan

potensi diri mereka yang bersifat alamiah (kebebasan dalam bekerja dan memiliki harta), untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan wajar. Tetapi, harus dipahami bahwa hak privat yang diakui Islam tidak seperti yang digaungkan oleh kapitalisme yaitu kebebasan mutlak tanpa ada batasan hukum dan moral.

Motivasi awal dari state enterprise

adalah untuk mewujudkan masyarakat yang merata secara ekonomi tanpa ada

(6)

sarana kehidupannya akan direbut dari tangannya.

Pandangan islamtentang

kehidUPan sosial

Analisis sosial tentang konsep pemerataan ekonomi di atas, secara normatif bertentangan dengan peng-akuan Islam akan perbedaan tingkat ekonomi individu dan masyarakat sebagai konsekuensi logis dari perbedaan tingkat usaha, ikhtiar dan upaya masing-masing dalam memanfaatkan potensi diri dan sumber daya ekonomi yang ada demi kemakmuran hidup mereka. Disebutkan dalam Qs. al-Nahl (16): 71, bahwa Allah melebihkan rizki sebagian orang atas sebagian yang lain.

ىِف

ٍضْعَب

ىَلَع

ْمُك َضْعَب

َل َضَف

ُهاَو

ْمِهِقْزِر

يِدآَرِب

اْوُل ِضُف

َنْيِذَلا

اَمَف

، ِقْزِرلا

،ٌءآَوَس

ِهْيِف

ْمُهَف

ْمهُناَْيَأ

ْتَكلَماَم

ىَلَع

.(

ÔÎ

:

لحنلا

)

َنْوُدَحَْي

ِها

ِةَمْعِنِبَفَأ

“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah”.

(Qs. al-Nahl [16]: 71)

Perbedaan tingkat ekonomi dan sta-tus sosial, pendidikan, profesi dll., me-rupakan sesuatu yang alamiah dan terjadi secara alamiah pula. Tidak seorang pun dapat memaksakan kehendaknya meskipun terhadap saudaranya sendiri.

Setiap orang berjalan sesuai dengan cita-cita, motivasi dan sugesti hidup yang ia miliki. Dalam sebuah keluarga, seorang bapak atau ibu tidak dapat memastikan bahwa semua anak atau cucunya akan mengikuti jejaknya secara utuh, meskipun mereka memiliki hubungan darah yang sama. Kecenderungan individu untuk menentukan sendiri jalan hidupnya inilah yang meniscayakan adanya perbedaan tingkat ekonomi dan status sosial dalam masyarakat.

Melanggar sesuatu yang alamiah, disamping ia mendapat legitimasi dari al-Quran, merupakan tindakan merusak arsitektur kehidupan ma-nusia yang aktif dan dinamis, serta me-rubah paradigmanya menjadi pasif, pasrah, cukup dengan menengadah tanpa ada usaha atau upaya untuk berubah menjadi lebih baik. Padahal, penciptaan manusia dengan sempurna, dibentangkannya alam raya sebagai sumber penghidupannya, merupakan fasilitator Tuhan untuk menguji ma-nusia, siapa yang paling baik amal per-buatannya.

Disebutkan dalam Qs. al-An’am (6): 165 sebagai berikut:

ِضْرَْلا َفِئ َلَخ ْمكَلَعَج يِذَلا َوُهَو

ٍتاَجَرَد ٍضْعَب َقْوَف ْمُك َضْعَب َعَفَرَو

:ماعنلا( ...ْمكاَتآ آَم ىِف ْمُكَوُلْبَيَل

.)165

(7)

kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu…” (Qs. al-An’âm [6]: 165)

Konsekuensi logis dari aksioma bahwa “hidup adalah pengabdian”, yaitu seluruh bentuk tingkah laku harus merefresentasikan atau mencerminkan motif ibadah kepada Allah swt.. Perkataan, perbuatan maupun tingkah laku seseorang akan terhitung sebagai suatu ibadah bila sesuai dengan norma-norma ketuhanan yang terkodifikasi dalam bentuk mushaf (al-Quran) dan kitab-kitab Hadis.

Seluruh norma kehidupan, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan maupun hubungannya dengan sesama makhluk, secara kom-prehensif telah termaktub di dalamnya. Dunia adalah tempat bercocok tanam, sedangkan akhirat adalah tempat memetik buahnya. Hasil panen yang baik akan dapat diperoleh bila proses bercocok tanamnya dilakukan secara baik pula. Kehidupan sosial yang dijalani dengan baik sesuai dengan tuntunan agama akan melahirkan kehidupan yang

rabbani dan madani, yaitu kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai ibadah sehingga dapat memberikan kesejah-teraan dunia dan akhirat.

Orang yang tekun dalam beribadah (‘âbid), tetapi tidak tercermin dalam khidupan sosialnya, cenderung akan mendapat celaan di mata masyarakat yang akhirnya dapat mengancam kehidup an ekonominya. Telah

disebut-kan sebelumnya bahwa kondisi eko-nomi dapat mempengaruhi inten sitas keimanan seseorang. Karena motif ekonomi, orang berjual beli secara tidak jujur, seorang bos memberikan gaji yang tidak wajar kepada buruh dan karyawannya, orang berspekulasi di pasar modal, seorang akuntan berani memanipulasi laporan keuangan, se-orang yang kurang beruntung secara ekonomi menjadi peminta-minta, pengemis, pencuri bahkan perampok sekalipun, seorang wanita yang kurang beruntung dan tidak beragama berani menjual kehormatannya, dan perilaku negatif lainnya. Ini berarti bahwa kehidupan sosial dalam pandangan Islam, memiliki peran penting dalam menentukan masa depan akhirat se-seorang. Disebutkan dalam Qs. Ali-‘Imran (3): 112 sebagai berikut:

َاِإ

اْوُفِقُث

اَمَنْيَأ

ةَلِذلا

ُمِهْيَلَع

ْتَبِر ُض

لآ

) ...

، ِساَنلا

َنَم

ٍلْبَحَو

ِها

َنَم

ٍلْبَِب

.(

ÎÎÏ

:

نارمع

“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia…”. (Qs. Ali Imran (3): 112).

(8)

yang harus dijaga, dipelihara serta dimanfaatkan sesuai dengan tuntunan-Nya. Kehidupan bersama adalah bentuk rahmat Allah pada makhluknya, mereka diberikan kesempurnaan di satu sisi tetapi diselipkan kekurangan di sisi lain. Kekurangan dan kesempurnaan inilah yang membuat manusia harus hidup bersama untuk saling menutupi dan melengkapi agar kehidupan mereka terasa lebih baik dan berguna buat orang lain.

ekonomidalam PersPektif islam

Ekonomi secara umum

Ekonomi, secara etimologi ber-asal dari bahasan Yunani yaitu kata

oikos (kemakmuran) dan nomos

(pengetahuan). Ada juga yang mengata-kan bahwa kata ekonomi berasal dari kata oikonomos yang berarti “rumah tangga”. Sumber lain menyebutkan, bahwa ekonomi berarti “segala bentuk upaya manusia untuk memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemak-muran hidup”. Jadi, secara literal, makna dasar kata ekonomi ialah “ilmu pengetahuan tentang cara yang ditempuh oleh manusia dalam upaya meraih kemakmuran dalam hidupnya”.

Secara terminologi, Oxford Dictionary of Current English dalam Muhammad dan Ridwan Mas’ud, memberikan definisi ekonomi sebagai “Science of the production, distribution and consumption of goods, condition of a country as material property”. Alfred Marshall dalam Deliarnov, memberikan definisi ekonomi sebagai “ilmu yang

mempelajari manusia dalam kehidupan sehari-hari, bertindak dalam proses produksi, konsumsi, alokasi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia”. Setiawan (Freeware @2010), memberikan definisi ekonomi sebagai “ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-barang serta kekayaan seperti keuangan, perindustrian, dan perdagangan. Sedang-kan, menurut Leurensius, ekonomi me rupakan “ilmu yang mempelajari usaha-usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka mencapai kemakmuran.

Dari sederetan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekonomi merupakan ilmu tentang usaha manusia dalam melakukan kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi sebagai bentuk upayanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dalam posisinya sebagai individu, keluarga, masyarakat bahkan warga Negara.

Bila individu, kelompok, masyarakat dan warga suatu Negara secara kompak dan konsisten melakukan kegiatan tersebut sesuai dengan norma dan kepentingan bersama yang diakomodir oleh suatu ideologi dan sistem politik akan dapat menghasilkan suatu sistem ekonomi yang kuat dan handal. Ali bin Abi Thalib mengatakan “kebaikan yang tidak terorganisir akan dapat dikalahkan dengan kebatilan yang terorganisir”.

Ekonomi Islam

(9)

falsafahnya. Dasar falsafah ekonomi Islam adalah pandangan tentang dunia, alam semesta dan manusia, serta tujuan hidup mereka. Islam memandang bahwa dunia dan alam semesta adalah milik Allah swt yang diamanahkan kepada manusia sebagai khalifatullah di muka bumi untuk mengelola dan menjaganya demi kepentingan hidup mereka.

Pengakuan terhadap kepemilikan Allah swt akan alam semesta merupakan

i’tirâf terhadap keesaan dan ketauhidan-Nya. Konsekuensi logis dari i’tirâf

ini adalah bahwa manusia secara praktis bersedia menerima otoritas sebagai khalifah di muka bumi untuk mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber pemenuh kebutuhan secara adil sesuai dengan tuntutan Islam demi kemakmuran bersama, serta menjaganya dari kerusakan dan eksploitasi yang diakibatkan oleh kerakusan manusia.

Ekonomi Islam adalah ekonomi normatif pada asasnya dan positif pada implementasinya. Seluruh praktek ekonomi Islam dapat dipastikan ada dasar normatifnya dalam agama, meskipun secara praktis tidak ada pedoman manajerialnya. Manusia adalah makhluk yang mendapatkan kepercayaan sebagai top management

untuk menjaga dan mengelola alam sekitarnya sesuai kebutuhan dan batas yang dihalalkan oleh agama demi kemakmuran hidup mereka. Dalam sebuah hadis, Nabi saw. bersabda “ kalian lebih tahu tentang urusan atau perkara duniamu…”. Artinya bahwa dalam menjalankan aktivitas ekonomi, manusia diberikan kebebasan untuk

menentukan cara dan manajemennya sendiri selama tidak bertentangan de-ngan norma-norma keislaman.

Islam sebagai Sebuah Sistem Ekonomi dan Kontrol Sosial Secara etimologi, sistem berarti cara, metode yang teratur untuk melakukan sesuatu. Sedangkan, secara terminologi sistem berarti sebuah totalitas terpadu yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berhubungan, saling terkait, saling mempengaruhi, dan saling ter-gantung menuju tujuan bersama tertentu. Definisi lain tentang sistem yaitu “perangkat unsur yg secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas”.

(10)

manusia akan bahagia di dunia dan akhirat. Disebutkan dalam Qs. al-Nahl (16) ayat 97 sebagai berikut:

َوُهَو

ىَثْنُأ

ْوَأ

ٍرَكَذ

ْنِم

اًِلا َص

َلِمَع

ْنَم

ْمُهَنَيِز ْجَنَلَو

ًةَبِيَط

ًةاَيَح

ُهَنَيِي ْحُنَلَف

ٌنِمْؤُم

َنْوُلَمْعَي

اْوُناَكاَم

ِنَس ْحَأِب

ْمُهَر ْجَأ

.(

ÖÔ

:

لحنلا

)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perem-puan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan ke-pada nya kehidupan yang baik, dan se-sungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.

Bila dikaitkan dengan ekonomi, T. Gilarso dalam Muhammad dan Ridwan mendefinisikan sistem ekonomi sebagai “keseluruhan tata cara untuk mengatur prilaku masyarakat, konsumen dan produsen, dalam menjalankan kegiatan ekonomi produksi, distribusi dan kon-sumsi sehingga menjadi satu kesatuan yang teratur dan dinamis, serta ke-kacauan dapat dihindarkan”. Sistem ekonomi juga berarti “cara suatu negara mengatur dan mengorganisir seluruh aktifitas ekonominya dalam mencapai tingkat kesejahteraan tertinggi bagi Ne-gara dan rakyatnya”.

Bila Islam adalah sistem ekonomi, sedangkan sistem ekonomi merupakan cara negara dalam mengatur aktifitas ekonomi, maka Islam adalah mana-jemen ekonomi negara. Dalam

kon-teks ini, negara Islam atau yang meng-gantungkan undang-undangnya pada syari’at Islam, akan berperan sebagai kontrol bukan sebagai pengendali ekonomi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Setiap individu bebas men jalankan aktifitas ekonominya se-jauh tidak bertentangan dengan nor-ma-norma keislaman dan kebijakan pemerintah.

Dengan kata lain, Islam sebagai sis-tem dan kontrol berarti Islam merupakan cara, evaluasi dan supervisor kerja. Dalam manajemen, kontrol barada pada posisi akhir dari seluruh rangkaian manajemen, mulai dari planning, organizing, actuating, dan controlling. Da-lam konteks ini, IsDa-lam harus menjadi visi, misi dan kontrol terhadap seluruh aktivitas ekonomi individu, masyarakat atau negara agar sejalan dengan tujuan agama.

Kerangka logis normatif yang men-jadikan Islam sebagai sistem ekonomi adalah bahwa terminologi bisnis seperti jual beli, hutang piutang, gadai, harga, uang, perniagaan, akunting, riba, dll., telah termaktub dalam al-Quran. Di samping itu, Islam sebagai agama bukan hadir sebagai pedoman manusia dalam menghadap kepada Tuhannya semata, tetapi juga sebagai acuan manusia sebagai makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi (homo economicus) dalam menjalani kehidupannya.

(11)

sebagai penyedia faktor-faktor produksi seperti petani, nelayan, penambang dll.; ada yang berperan sebagai produsen seperti home industry, manufactur, dll.; ada yang berperan sebagai distributor, agen, dan pengecer; dan yang terakhir adalah sebagai pengguna (konsumen). Sirkulasi ekonomi, berjalan diantara mata rantai tersebut secara fix dan stabil sehingga kebutuhan dan kegiatan masing-masing entitas ekonomi berjalan secara wajar. Bila salah satu diantara rantai atau entitas ekonomi tersebut pincang, akan mempengaruhi mata rantai atau entitas yang lainnya.

Konsep ekonomi Islam akan dapat terealisasi secara optimal untuk me-wujudkan masyarakat yang rabbani

dan madani bila dijalankan oleh seluruh entitas masyarakat dalam suatu negeri secara serempak, sistemis dan terorganisir di bawah otoritas politik atau pemerintahan yang berdaulat sebagai kontrol terhadap kegiatan masyarakat. Ibnu Abîy Râbi’, al-Mawardi dan Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip Said Agil dalam bukunya “Islam Humanis” mengatakan bahwa “untuk mewujudkan masyarakat yang teratur, diperlukan terciptanya rasa aman, damai, keadilan yang menyeluruh yang didasarkan pada undang-undang untuk mengatur kerjasama antar kelompok sosial yang menjamin kepentingan bersama serta didukkung oleh pemimpin yang berwibawa untuk melaksanakannya”.

Disebutkan dalam Qs. al-Ra’d (13) ayat 11, Allah swt. berfirman “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum (masyarakat) sehingga

mereka mau mengubah apa yang ada pada diri mereka…”. Quraish Shihab, sebagaimana dikutip Said Aqil, mengatakan bahwa penggunaan kata “kaum” pada redaksi ayat ini menunjukkan bahwa suatu perubahan baru akan bisa terwujud bila dilakukan secara bersama-sama (kolektif) dan terorganisir di bawah suatu otoritas politik atau pemerintahan yang ber daulat, agar dapat melahirkan harmoni dan integrasi yang kuat dalam masyarakat.

Dasar Normatif Berekonomi secara Islami

“Hai orang-orang yang beriman, jangan lah kamu saling memakan harta se sama mu dengan jalan yang batil, ke-cuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…” (Qs. al-Nisâ’ [4]: 29).

Di atas, telah dibahas meskipun dengan bahasa dan uraian yang sangat sederhana, pesan-pesan etis berekonomi secara Islami yang juga secara filosofis dapat dijadikan aspek ontologis ekonomi Islam. Berikut ini, adalah kerangka dasar normatif yang mengharuskan kaum muslimin untuk menjalankan kegiatan ekonominya secara Islami, yaitu:

Unity (Tauhid)

(12)

telah mentauhidkan Allah dan menjadi beragama. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Qs. al-Dzâriyât [51]: 56).

Keberagamaan ini, menjadi dasar yang sangat fundamental dan sakral bagi manusia untuk menjalani ke-hidupannya sesuai dengan tuntunan agama, termasuk di dalamnya kegiatan ekonomi.

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (Qs. al-Ahzâb [33]: 36).

“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari'at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari'at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus”

(Qs. al-Hâj [22]: 67).

Bila tata ekonomi Islam bersumber dari Tuhan, maka secara konseptual ia adalah ekonomi ke-Tuhanan, dalam arti bahwa prinsip-prinsip dasarnya bersumber dari al-Quran dan al-Hadis. Bila demikian, menjalankan aktifitas ekonomi secara islami merupakan sebuah keharusan sebagai wujud pengabdian kepada Allah swt.

Dasar Khilafah

Manusia adalah makhluk yang Allah ciptakan paling sempurna, mulia dan beragama (homo religious). Karena kesempurnaan, kemuliaan dan keberagamaan yang disandangnya inilah ia mendapatkan tugas sebagai duta, pemegang amanat dari Allah untuk menjaga, menglola dan memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar.

“… Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya…” (Qs. Hûd [11]: 61)

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah se bagian dari hartamu yang Allah telah men-jadikan kamu menguasainya, …” (Qs. al-Hadîd [57]: 7).

Tugas untuk menjaga, mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam yang diembankan kepada manusia, tidak tertentu untuk kepentingan pribadinya tetapi juga untuk kepenetingan orang lain, masyarakat sekitar, bangsa, agama bahkan alam raya ini sekalipun. Bila hal tersebut diabaikan, dapat dipastikan dunia ini akan hancur disebabkan kerakusan manusia, terjadi eksploitasi alam secara besar-besaran, harta benda cenderung dihambur-hamburkan dari-pada dizakatkan atau diinfakkan, dll.

ْتَبَسَك اَِب ِر ْحَبْلا َو َِبْلا ىِف ُداَسَفْلا َرَهَظ

.)41 :مورلا( ... ، ِساَنلا يِدْيَأ

(13)

tangan manusi…” (QS. al.Rûm [30]: 41).

PenUtUP

Kegiatan ekonomi merupakan ak-tifitas seluruh komunitas hidup di seluruh penjuru alam. Setiap aktifitas yang orientasinya adalah pemenuhan kebutuhan hidup merupakan kegiatan ekonomi. Manusia, secara alamiah seperti telah dijelaskan di atas memiliki keinginan dan kebutuhan yang tidak terbatas dalam hidupnya, sehingga ia cenderung berlebih-lebihan dalam me-mandang material (tirani mate rialisme), rakus, sombong dikala men dapatkan nikmat dan berkeluh kesah dikala mendapatkan musibah.

Islam adalah agama yang mendasari prinsip hukumnya pada keadilan. Ke-adilan yang diamanatkan Islam dalam setiap dimensi kehidupan, hendak menghapus seluruh kecenderungan buruk pada diri manusia akibat motif ekonominya. Hal ini, karena manusia secara depacto memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam menjalankan aktifitas sosialnya, dalam menjalankan kewajiban maupun dalam menuntut haknya, tanpa membedakan status sosial tertentu mereka dalam masyarakat.

Konsep keseimbangan yang diajar-kan Islam hendak menghapus sisi-sisi yang tidak sepadan dalam tata kehidupan manusia. Kecenderungan yang terlalu tinggi kepada dunia sehingga lupa kepada akhirat atau sebaliknya, berkonsumsi melebihi batas kebutuhan tubuh dan batas yang dihalalkan dalam agama, terlalu mengutamakan

kepentingan pribadi sehingga lupa kepada kepentingan orang lain, terlalu kikir atau bakhil sehingga enggan untuk memberi atau sebaliknya, terlalu spekulatif sehingga lupa dengan realitas, terlalu obsesif shingga lupa dengan

raja’, terlalu cinta hidup sehingga takut kepada mati, dll.

Hidup yang seimbang diantara dua sisi yang tersebut di atas, akan menjadikan manusia hidup realistis, kerja secara etis tanpa harus melupakan do’a, hidup humanis, berkonsumsi secara wajar, jauh dari spekulasi yang tidak masyrû’, menggantungkan cita-cita pada Allah swt, serta siap siaga untuk menghadapi kematian yang merupakan cerita akhir sebuah perjalanan hidup.

Daftar Pusataka

M. Nasution. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito, 1992.

M. Umer Chapra. Reformasi Ekonomi Sebuah Solusi Prspektif Islam. terj. Ikhwan Abidin Basri. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

M. Yatimin Abdullah. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah, 2006.

Mestika Zed. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

(14)

Mochtar Naim. Kompendium Himpunan Ayat-ayat Al-Quran Ekonomi.

Jakarta: Hasanah, 2001.

Mohammad Daud Ali. Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press, 1998.

Mudrajad Kuncoro. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi: Bagaimana Meneliti dan Menulis Tesis. Jakarta: Erlangga, 2003.

Muhaimin, dkk. Dimensi-dimensi Studi Islam. Surabaya: Karya Abditama, 1994.

Mukhlis (Ed.). Metodologi Studi Islam. Mataram: IAIN Mataram Press, 2006.

Muhammad dan Ridwan Mas’ud. Zakat dan Kemiskinan. Yogyakarta: UII Press, 2005.

Muhammad Rawwas. Ensiklopedi Fiqih

Cet. 1. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.

Muhammad Soebari. Amal Islami.

Jakarta: Khaerul Bayan, 2003.

Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Muhammad Tholchah Hasan. Dinamika Kehidupan Religius. Jakarta: Lista Fariska Putra, tt.

Muhammad Yusuf Musa. Islam: Suatu Kajian Komprehensif (Judul Asli: Al-Islâm wa Hâjat al-Insâniyyah Ilayh), Penerj. A. Malik Madany dan Hamim Ilyas. Jakarta: Rajawali, 1988.

Muhammad. Metodologi Penelitian Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.

Muslihun Muslim. Fiqh Ekonomi dan Positivisasinya di Indonesia.

Mataram: LKIM IAIN Mataram, 2006.

Pius A Partanto. Kamus Ilmiah Populer.

Surabaya: Arkola, 1994.

Rabîy’ ibn Hâdy ‘Umayr al-Mudkhaly.

Mudzakkarat al-Hadits al-Nabawy. Madinah: Al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah, 1418 H.

Rosadi Ruslan. Metode Penelitian Public Relations dan Komunikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.

Said Aqil Husin al-Munawwar, dkk.

Muslim Humanis. Jakarta: PT Moyo Segoro Agung, 2011.

Soeratno dan Lincolin Arsyad. Metode Penelitian Untuk Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: BPFE dan LMP2M AMP YKPN, 1998.

Muhammad Baihaqi (Ed.). Tesis Tentang Studi Komparatif Pemikiran Fuqaha Tentang Penambahan Jumlah Pembayaran Hutang Akibat Inflasi. Yogyakarta: UII, 2005.

Suprayogo, Imam, dkk., Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003).

(15)

Yusuf Al-Qordhowi. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam.

Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

Bahan Online

AA. Islahi. Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah. Surabaya: Bina Ilmu, 1997., dalam Sjamsul Arifin (Ed.), “Peran Negara Terhadap Pembangunan dan Kebijakan Dalam Ekonomi Islam”, dalam http://www.ekisonline.com / component/content/article/35e k o n o m i m a k r o / 2 8 8 p component/content/article/35e r a n -negara-terhadap -pembangunan- dan-kebijakan-dalam-ekonomi-islam.html.

Asyraf Wajdi Dusuki, “Ibn Khaldun’s Concept Of Social Solidarity And Its Implication To Group-Based Lending Scheme”, dalam http://www. iefpedia.com/english/ wp-content/uploads/2010/03/ Ibn-Khaldun%E2%80 %99s- Concept-Of-Social-Solidarity- And-Its-mplication-To-Group- Based-Lending-Scheme-Dr.-Asyraf-Wajdi-Dusuki.pdf.

Asyraf Wajdi Dusuki, “Ibn Khaldun's Concept Of Social Solidarity And Its Implication To Group-Based Lending Scheme”, dalam http://www. iefpedia. com/ english/?p=4895.

Atidy Mahrusi, dkk., “Pembangunan Ekonomi Dalam Islam” dalam http://www.google.co.id/#hl=id &source=hp&q=teori+pembang unan+dan +pertumbuhan+eko nomi+dalam+islam&oq=teori+ pembangunan+dan+pertumbuh an+ekonomi+dalam+islam&aq =f&aqi=&aql=&gs_sm=e&gs_u pl=2317l25091l0l75l71l9l42l48l0l 887l9462l2-5.2.5.6.2l20&fp=1&b iw=1440&bih=710.

Admin, “definisi monopoli”, dalam http://www.artikata.com/arti-341253-monopo li.html.

Admin, “Keynesianisme”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/ Keynesianisme.

Admin, “Laissez-Faire”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/ Kapitalisme_laissez-faire.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian aplikasi pemberian kompos organik berasal dari kotoran ayam yang diperkaya dengan pupuk hayati 20 ml menunjukkan hasil terbaik dibandingkan dengan

Persiapan yang dilakukan oleh guru Al-Qur’an Hadits sebelum masuk kelas adalah memperhatikan tujuan yang akan dicapai, menganalisis materi pelajaran, memilih dan

Kecamatan Karanggede didominasi pada nilai 24-40 me/100g.Tanaman kedelai menurut Djaenudin dkk., (2003) memerlukan KTK lebih dari 16 me/100g untuk masuk pada lahan dengan kelas

Rumusan Pancasila sebagai ideologi negara adalah Pancasila yang secara definitif disepakati oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV

Pandangan ini menyatakan bahwa konflik tidak hanya menjadi kekuatan positif di dalam kelompok, tetapi justru mutlak perlu bagi kelompok agar dapat menghasilkan kinerja yang

Substansi yang dapat dijadikan sebagai elisitor dapat berupa mikroorganisme patogen, zat pengatur tumbuh (ZPT), cahaya, temperatur, prekursor, dan kondisi nutrien

Lebih dari itu di beberapa Rohis juga ada kajian pekanan yang mengundang ustad yang berlimpah wawasannya. Topik yang

Vektor plasmid yang telah diligasi dengan DNA insert (sisipan) kemudian ditransfeksikan ke dalam sel kompeten E coli (Nova Blues singles – Novagen) dengan metode