• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peta Kekerasan Khususnya Konflik Identit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peta Kekerasan Khususnya Konflik Identit"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN

Edisi 2/April 2015

PETA KEKERASAN, KHUSUSNYA KONFLIK IDENTITAS,

(2)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 1

Ringkasan Kebijakan

PETA KEKERASAN, KHUSUSNYA KONFLIK IDENTITAS, DI KOTA KAYAPURA PAPUA TAHUN 2014

Hak Cipta @ PaPeDA Institute, Kesbang Pol dan Linmas Kota Jayapura, The Habibie Center

Cetakan April 2015

Penyelaras Akhir:

Ridwan al-Makassary (PaPeDA Institute)

Tim Kerja:

Penanggung Jawab: Toni Wanggai

Konsultan : Imron Rosyid

Sopar Peranto

Ketua Tim : Ridwan al-Makassary

Peneliti : Elizabeth Christin Waromi

Alfian A

Tim Inti : Evert Merauje (Kesbangpol & Linmas Pemkot Jayapura)

Edi Ohoiwutun (Sekretaris LMA Port Numbay)

Burhanuddin (Kemenag Kota Jayapura)

La Margono (Kabid HAM Kemenkum HAM Jayapura)

Nelson Wanggai (Aktivis NGO Jayapura)

Prabowo (Anggota Kodam XVII/Cenderawasih Papua)

Desain Cover dan Tata Letak: Studio Mangga Dua Art (Jl. Marthin Indey No.1 Jayapura)

Diterbitkan oleh

(3)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 2

SEKAPUR SIRIH

Keamanan (security) adalah satu kebutuhan dasar manusia (human basic need). Dewasa ini di kota Jayapura yang kita cintai, masalah keamanan,

terutama ancaman konflik identitas, untuk derajat

tertentu sedang merasuk menjadi kegelisahan publik

karena sepanjang tahun 2014 fenomena kekerasan

berbalut identitas menyeruak di Timika, Sorong dan

Arso. Secara khusus kalau ada kasus pembunuhan

yang melibatkan penduduk asli dan pendatang,

sontak iklim ketakutan akan konflik memuncak. Dengan demikian, rasa aman adalah hal yang tengah

terusik di tengah geliat kota Jayapura yang sedang

pesat membangun. Selain itu, sebagai sebuah kota

yang juga menjadi destinasi favorit bagi para migran,

maka masalah perkotaan terutama hubungan antara

etnik dan agama, yang disebut krisis identitas

etnik-agama, adalah sebuah masalah yang mesti ditangani

secara serius.

Dengan argumen sederhana itu, PaPeDA Institute, Kesbang Pol dan Linmas Kota Jayapura dan

The Habibie Center menerbitkan kajian kebijakan yang pada edisi ke-2 ini adalah “Menelisik Masalah Konflik

Identitas di kota Jayapura”. Diharapkan kajian ini

dapat menyediakan sebuah gambaran yang holistik

akan persoalan potensi ancaman konflik identitas di

kota Jayapura.

Di bawah kepempinan Dr Benhur Tommy

Mano, MM, Walikota Jayapura dan kapolres kota

Jayapura upaya-upaya mengeliminir potensi

kekerasan telah digalakkan. Kita mengapresiasi

kerja-kerja mereka tersebut, meskipun angka

kekerasan masih cukup tinggi berdasarkan data

SNPK. Selanjutnya, kita juga berharap upaya-upaya

tersebut didukung juga oleh semua stakeholders yang ada untuk mewujudkan kota Jayapura yang aman dan

damai. Kajian kebijakan ini adalah sebentuk sense of careness dan sense of belonging dari PaPeDA Institute

untuk membuka mata semua pihak bahwa masalah

kekerasan, khususnya potensi konflik identitas, masih

merupakan musuh bersama kita khususnya sebagai

warga kota yang berpijak di tanah Port Numbay ini. Tidak ada gading yang tak retak, mohon

maaf atas segala kekurangan.

Selamat membaca.

(4)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 3

Pengantar

Papua Peace and Development Action

(PaPeDA) Institute, yang didukung oleh the Habibie Center dan Kesbang Pol dan Linmas Kota Jayapura, menerbitkan ringkasan kebijakan (policy brief) tentang penanganan konflik kekerasan di Papua,

khususnya di kota Jayapura, dengan menggunakan

data program Sistem Nasional Pemantauan

Kekerasan (SNPK).

Program SNPK, sejatinya, karya rintisan

Kementerian Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra),

bekerjasama dengan Bank Dunia (The World Bank) dan The Habibie Center. Untuk kegiatan diseminasi dan pembuatan ringkasan kebijakan di wilayah

Papua, The Habibie Center mempercayakan PaPeDA Institute untuk melaksanakannya.

Untuk edisi kedua ini, PaPeDA Institute

mengangkat tema “Konflik Identitas”, setelah di edisi

pertama mengusung tema “kriminalitas”. Argumen

utama dibalik pemilihan tema ini adalah sepanjang

tahun 2014 Papua telah menyaksikan ketegangan

berbalut identitas, yaitu ketegangan etnik dan

agama, yang telah merundung kota Timika, Sorong

dan Arso, untuk menyebut beberapa kasus yang

menonjol. Dengan fenomena tersebut, tidak

menutup kemungkinan kota Jayapura, dan kota-kota

lain di tanah air, juga dapat mengalami hal yang sama

di masa depan jika tidak diwaspadai.

Berikut ini insiden-insiden yang terjadi di

tiga kota tersebut, yang terpotret dari data SNPK. Di

Sekitaran Kampung Utikini Lama Kec. Tembagapura,

Kab. Mimika, Papua, terjadi bentrokan antara dua

suku yaitu Suku Damal dengan Suku Dani yaitu

kelompok warga Kampung Kimbeli dengan kelompok

warga Kampung Utikini yang mengakibatkan satu

warga tewas terkena tikaman senjata tajam. Motif

bentrokan masih terkait dengan isu kesukuan di

antara kedua kampung yang bertikai (Cendrawasih

Pos, 19/1/2014).

Insiden kekerasan lainnya telah terjadi di

desa Klademak, Kec. Sorong, Kota Sorong, Papua

Barat. Terjadi bentrokan antar warga Sorong yang

berjumlah ratusan orang. Peristiwa tersebut terjadi

karena adanya insiden pemukulan seorang warga

pada waktu sebelumnya. Akibatnya kedua kelompok

warga tersebut bentrok dengan menggunakan batu

dan senjata tajam sehingga mengakibatkan 18 orang

terluka terkena panah dan ada 2 orang anggota TNI

dan polisi yang terluka terkena lemparan batu ketika

mencoba melerai kejadian tersebut. Selain itu,

beberapa bangunan tempat usaha juga rusak akibat

peristiwa tersebut (Cendarawasih Pos, 20/04/2014).

Sementara itu, terkait insiden yang hampir

serupa juga terjadi di Kampung Sanggaria Arso 1,

Desa Arso, Kecamatan Arso, Kabupaten Keerom,

Papua, ribuan warga desa arso yang terdiri dari 11

kampung mengamuk dengan membawa berbagai

(5)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 4 celurit, kapak, tombak, samurai, dan senapan angin

kemudian berbuat anarkis dengan membakar 21

rumah milik warga lainnya hingga rata dengan tanah.

Selain membakar ke 21 rumah tersebut, warga yang

sudah emosi pun ikut merusak tanaman kebun

dengan cara dibabat dengan senjata tajam dan

kandang ternak beserta hewan peliharaan milik

korban dibakar. Selain itu sebuah pangkalan ojek juga

ikut menjadi sasaran amuk warga sehingga 3 buah

motor ikut terbakar.

Insiden kerusuhan yang terakhir ini dipicu

karena kemarahan warga sekitar yang mengetahui

pelaku berinisial HG membunuh seorang ibu rumah

tangga warga sekitar tanpa alasan yang jelas. Pada

saat kejadian ratusan aparat kepolisian gagal

menghentikan aksi itu sehingga sejumlah nggota

Brimob dan Satgas Pamtas dari kepolisian yang

membantu berhasil menghentikan dan

mengamankan situasi (Cendrawasih Pos, 7/9/2014)

Fenomena beberapa ketegangan sosial

tersebut tampaknya mengirim pesan yang tegas

bahwa kota-kota di Papua, termasuk Jayapura, untuk

beberapa derajat, sepenuhnya tidak aman dari

ancaman konflik beraroma identitas. Meskipun tidak

pernah diamuk konflik identitas berbalut agama

seperti di Kaimana dan Manokwari medio 2000-an

yang masih menyisakan pilu dan trauma di rerimbun

ingatan, kota Jayapura, sebagai kota yang plural

(etnik dan agama), tetap memendam potensi konflik

identitas terutama terkait dengan fenomena

kemiskinan kota/marjinalisasi penduduk lokal,

tingginya angka pengangguran di tengah bonus

demografi akibat lonjakan kehadiran transmigran dan

menguatnya fanatisisme agama dengan kehadiran

Islam transnasional dan primordialisme etnik.

Lebih jauh, kami berargumen bahwa

walaupun konflik identitas di kota Jayapura memiliki

angka yang terbilang rendah, seperti terkuak di data

SNPK, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan

fenomena ini begitu saja. Bahkan, hal ini perlu serius

diperhatikan karena boleh jadi konflik identitas dapat

terjadi jika kita tidak memahami akar masalahnya,

dan juga tidak mengantisasipasi benih-benih konflik

identitas yang tumbuh subur tak terkendali.

Istilahnya jangan pernah mencoret ancaman konflik

identitas di kota Jayapura sebagai kota

multi-etnik-agama.

Kompleksitas masalah ini akan didiskusikan

secara ekstensif di sini. Ia diharapkan akan berguna

sebagai dasar akademik dalam permusan kebijakan

dan program bagi pemerintah setempat ataupun

pihak terkait di kota Jayapura, atau juga sebagai

bahan kajian bagi kota-kota lain yang dihantui konflik

serupa, untuk mengeluarkan kebijakan tepat sasaran

yang dapat mencegah terjadinya konflik identitas,

yang pungkasaannya dapat menyebabkan

terjarahnya keamanan serta ketertiban masyarakat di

kota Jayapura.

Dengan kata lain, untuk mewujudkan kota

Jayapura yang aman dan damai sesuai dengan motto

kota Jayapura Hen Tecahi Yo Onomi Te’mar Ni

Hanased (Satu hati membangun kota untuk kemuliaan nama Tuhan), maka kajian kebijakan ini

(6)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 5 Secara keseluruhan, ringkasan kebijakan ini

akan menjelaskan beberapa hal pokok. Pertama, ia akan mengenalkan secara ringkas program Sistem

Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) dan

klasifikasi jenis kekerasan yang digunakan. Kedua, ia akan mendeskripsikan peta kekerasan di Papua,

khususnya konflik identitas di kota Jayapura. Ketiga, ia akan menganalisis driving forces dari faktor pemersatu dan perekat sosial dan potensi konflik

identitas di kota Jayapura, dan diakhiri dengan

rekomendasi.

Selintas tentang Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK)

Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center ini diterbitkan melalui program SNPK, yang bertujuan menyediakan data dan analisis kekerasan

yang akurat dan cepat bagi pemerintah dan

masyarakat sipil di Indonesia dalam mendukung

penyusunan kebijakan dan program dalam bidang

konflik yang berbasis data. Program ini didanai oleh

The Korea Trust Fund for Economic and Peacebuilding Transitions dan diimplementasikan sejak 2012 melalui kerjasama antara The Habibie Center, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan

Kebudayaan (Kemenko PMK), dan Bank Dunia.

Sebagai bagian dari program SNPK, saat ini

telah dibangun database untuk mencatat seluruh

insiden kekerasan yang terjadi di provinsi sasaran

secara reguler. Database SNPK adalah milik Kemenko

PMK, yang bisa diakses pada

www.snpk-indonesia.com. Database ini mencakup 34 provinsi di

Indonesia.

Seperti ditunjukkan oleh penelitian-penelitian

di bidang konflik sebelumnya, surat kabar lokal di

Indonesia merupakan sumber informasi yang paling

tepat untuk mengumpulkan data kekerasan secara

sistematis dan kontinu. Mengikuti hal itu, SNPK

membangun database menggunakan surat kabar

lokal di 34 provinsi sasaran, meski sumber-sumber

lain juga dipergunakan secara rutin untuk proses

verifikasi. Agar analisis data dapat berjalan maksimal,

database menggunakan definisi kekerasan secara

luas, yaitu: sebuah tindakan yang mengakibatkan

dampak fisik secara langsung. Untuk setiap insiden

kekerasan, sejumlah variabel kunci dicatat dalam

database, termasuk: tanggal dan lokasi kejadian;

dampak fisik terhadap manusia dan harta benda;

pemicu dan bentuk kekerasan; aktor yang terlibat dan

senjata yang digunakan; serta upaya penghentian

kekerasan dan hasilnya.

Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini

dipublikasikan oleh The Habibie Center secara berkala setiap 4 bulan sekali dengan tujuan menjelaskan tren

dan pola baru yang muncul di Indonesia. Isi Kajian

Perdamaian dan Kebijakan ini merupakan pandangan

(7)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 6

Klasifikasi Konflik dan Kekerasan menurut SNPK

Dalam memantau kekerasan di Indonesia,

SNPK membagi jenis kekerasan menjadi empat

kategori besar, yaitu konflik, kekerasan yang

dilakukan oleh aparat dalam rangka penegakan

hukum, kriminalitas, dan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga/KDRT (Kotak 1).

Kotak 1. Definisi

Program SNPK memberikan defenisi terhadap jenis-jenis kekerasan sebagai berikut:

Konflik kekerasan adalah jenis kekerasan yang terjadi karena adanya sengketa yang

melatarbelakangi atau diperselisihkan dan pihak tertentu yang menjadi sasaran.

Kriminalitas adalah insiden kekerasan yang terjadi tanpa adanya sengketa yang

diperselisihkan sebelumnya dan target tertentu

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah tindakan kekerasan fisik yang

dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya, dimana anggota

keluarga tersebut tinggal satu atap/satu rumah

Kekerasan Dalam Penegakan Hukum adalah seluruh tindakan kekerasan yang

dilakukan oleh aparat keamanan formal dalam merespon tindak kriminalitas.

Tindakan tersebut termasuk kekerasan yang dianggap sesuai dengan atau melebihi

wewenang mereka.

Sementara konflik kekerasan sendiri

dibagi menjadi tujuh jenis yaitu konflik terkait sumber

daya, konflik tata kelola pemerintahan, konflik

pemilihan dan jabatan, konflik separatisme, konflik

identitas, main hakim sendiri dan jenis konflik lainnya

(Kotak 2).

Kotak 2. Pembagian Jenis Konflik

Program SNPK membagi konflik berkekerasan menjadi beberapa jenis;

Konflik Sumber Daya adalah tindakan kekerasan dipicu oleh sengketa sumber daya

(lahan, tambang, akses pekerjaan, gaji,polusi dll)

Konflik Tata Kelola Pemerintah adalah tindakan kekerasan dipicu oleh kebijakan

atau program pemerintah (pelayanan publik, korupsi, subsidi, pemekaran dll)

Konflik Pemilihan dan Jabatan adalah tindakan kekerasan dipicu oleh persaingan

(8)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 7 Konflik Separatisme adalah tindakan kekerasan yang dipicu oleh upaya pemisahan

dari NKRI

Konflik Identitas adalah tindakan kekerasan dipicu oleh identitas kelompok (agama,

ethnis,suku dll)

Main Hakim Sendiri adalah tindakan kekerasan dipicu oleh masalah balas dendam

(tersinggung, pencurian, hutang, kecelakaan dll)

Konflik Lainnya adalah tindakan kekerasan yang dipicu oleh masalah selain yang ada

di daftar SNPK

PETA KONFLIK KEKERASAN

Berdasarkan klasifikasi SNPK di atas, pada

tahun 2o14 di Papua secara umum tercatat 1425

insiden konflik dan kekerasan. Lebih jauh, insiden

konflik tercatat sebanyak 309 insiden, kriminalitas

sebanyak 986 insiden, 120 insiden KDRT dan 10

insiden terkait kekerasan aparat dalam penegakan

hukum.

Sementara itu, berdasarkan Indeks Intensitas

Kekerasan (IIK) 2015 (The Habibie Center), sepanjang tahun 2014 insiden kekerasan terkait separatisme

hanya terjadi di Aceh, Papua dan Papua Barat.

insiden yang tidak mengakibatkan dampak. Kondisi

tersebut menjadikan Puncak Jaya memiliki IIK

separatisme tertingi (6,04) sekaligus memberi

Propinsi Papua nilai IIK separatisme sebesar 2,21.

Menurut kami, perlu ada riset khusus atau ringkasan

kebijakan tentang hal ini untuk mendapatkan

pemahaman akan akar masalah dan cara

penanganannya yang adekuat.

Di kota Jayapura tahun 2014 tercatat 783

insiden dan telah terjadi 93 insiden konflik kekerasan

yang tercatat, 599 insiden kriminalitas, 86 insiden

KDRT dan 5 insiden terkait kekerasan aparat dalam

upaya penegakan hukum. Sebagai perbandingan,

data pihak Polresta Jayapura di tahun 2014 tercatat

2956 insiden kekerasan maupun konflik secara umum

yang terjadi di Kota Jayapura, yang di dominasi oleh

tindak kriminalitas (Data Polres Jayapura Tahun 2014

). Di sini angka kepolisian jauh lebih banyak dari dari

data SNPK.

Menelisik lebih jauh jumlah insiden

kekerasan di Kota Jayapura, periode ini sebagian

besar didominasi konflik kekerasan (12%) dengan

jumlah insiden 93 yang mengakibatkan 12 korban

tewas, 89 korban cedera dan 13 bangunan rusak;

(9)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 8 mengakibatkan 11 korban tewas, 441 cedera, 50

korban perkosaan dan 32 bangunan rusak; KDRT

(11%) dengan jumlah insiden yang terjadi dalam kasus

KDRT berjumlah 86 kasus dan mengakibatkan 3

orang tewas, 80 orang cedera dan 2 korban kekerasan

seksual (Lihat Tabel 1).

Tabel 1.

Jumlah Insiden Konflik kekerasan di Kota Jayapura Serta Dampaknya pada Periode Januari – Desember 2014

Jenis Kekerasan

Jumlah

Insiden Tewas Cedera

Kekerasan

Seksual Bangunan Rusak

Sumber Daya 7 2 2 0 2

Tata Kelola

Pemerintahan 7 0 2 0 3

Pemilihan dan Jabatan 12 0 5 0 4

Identitas 3 0 3 0 0

Main Hakim Sendiri 46 6 58 0 1

Separatisme 6 4 3 0 3

Konflik Lain 12 0 16 0 0

Jumlah Konflik 93 12 89 0 13

Penegakan Hukum 5 0 7 0 0

Kriminalitas 599 11 441 50 32

KDRT 86 3 80 2 0

Total 783 26 617 52 45

Sementara, dari klasifikasi kekerasan di Kota Jayapura, angka kriminalitas yang tertinggi dan juga KDRT

yang cukup sering terjadi (Lihat Gambar 1)

(10)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 9

Gambar 1

Berdasarkan tabel dan gambar di atas,

terdapat beberapa insiden konflik dan kekerasan yang

perlu diperhatikan pada periode ini, yaitu kekerasan

terkait dengan konflik main hakim sendiri, konflik

separatisme dan juga konflik terkait tata kelola

pemerintahan, dan KDRT.

Lebih jauh, insiden kekerasan yang sangat

penting pada periode ini adalah cukup tingginya tingkat

kriminalitas, yang mengambil bentuk penganiayaan

dan pencurian di wilayah tertentu di kota Jayapura.

Namun, untuk wilayah perkotaan di tanah air, kota

Manado adalahsalah satu yang tertinggi dalam insiden

kriminaitas, yaitu sebanyak 816 insiden yang

menyebabkan 22 orang tewas, 622 terluka dan 35

bangunan rusak (IIK, The Habibie Center 2015).

Pola dan Tren Kekerasan

Pada periode ini, angka kekerasan terlihat

cukup tinggi pada Januari 2014. Pada bulan tersebut,

sebagian besar merupakan insiden kriminalitas

khususnya tindak penganiyaan. Jika dibandingkan

dengan periode Januari-Desember 2013, tren kekerasan

pada periode ini cenderung meningkat baik dari segi

(11)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 10

Gambar 2

Sementara itu, jika dibandingkan angka

kekerasan antara tahun 2013 dan 2014, maka angka

kekerasan di tahun 2014 mengalami sedikit

penurunan dari 800 insiden kekerasan menjkadi 183

insiden kekerasan. Namun, korban jiwa sebagai

dampak kekerasan di tahun 2014 sedikit lebih tinggi,

dan orang cedera dan bangunan rusak lebih sedikit

dibandingkan setahun sebelumnya (Lihat Gambar 3).

(12)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 11 Data SNPK mencatat tren konflik sejak 1998

hingga tahun 2014, terlihat pada tahun 2011 angka

konflik di Jayapura sangat tinggi dibandingkan tahun

lainnya yaitu mencapai 79 insiden dengan 14 korban

tewas, 94 korban cedera dan mengakibatkan 10

bangunan rusak. (Lihat gambar 4)

Gambar 4

Tampaknya, ada pola yang ajeg yaitu di Jayapura angka kekerasan cenderung lebih tinggi

pada bulan Januari dibandingkan bulan-bulan lainnya.

Boleh jadi hal ini terkait perayaan tahun baru, yang

selalu dirayakan secara berlebihan, terutama

mabuk-mabukan, sehingga pelakunya tidak segan melakukan

penganiayaan. Degan budaya mabuk di kalangan

pemuda terutama yang tidak bekerja (jobless) akan semakin mudah tersulut emosinya untuk melakukan

kejahatan agar bisa memenuhi hasrat menenggak

miras. Hal Ini mesti jadi perhatian pihak yang

berwenang.

Sedangkan jika kita melihat lebih jauh lagi,

berdasarkan data SNPK, mengenai sebaran wilayah

konflik di Kota Jayapura, Abepura menjadi salah satu

distrik dikota Jayapura yang dapat dikatakan rawan

terjadi konflik. Jadi, adalah tidak bisa digeneralisasi

semua wilayah distrik di kota Jayapura rawan

kekerasan. Pada laporan Ringkasan Kebijakan

Pertama tentang “kriminalitas”, beberapa faktor

kerawanan di Abepura adalah tingginya jumlah

pemabuk, dan juga kepadatan penduduk dan angka

pengangguran yang tinggi terkait marjinalisasi

(13)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 12 Tabel 2 Sebaran Wilayah Konflik di Kota Jayapura Januari-Desember 2014

Kecamatan

Jumlah

Insiden Tewas Cedera

Kekerasan

Seksual

Bangunan

Rusak

ABEPURA 25 7 22 0 3

HERAM 4 0 4 0 0

JAYAPURA

SELATAN 10 1 11 0 0

JAYAPURA

UTARA 8 0 6 0 1

Grand

Total 47 8 43 0 4

Secara keseluruhan, dengan peta kekerasan

yang demikian terurai di atas, maka pihak yang

berwenang bisa melakukan langkah-langkah

preventif ketimbang langkah-langkah penindakan.

MENELISIK KOMPLEKSITAS KONFLIK IDENTITAS

Secara umum, di Indonesia untuk tahun 2014

konflik identitas tertinggi terjadi di kota Makassar.

Telah terjadi sebanyak 74 insiden konflik identitas

yang mengakibatkan 7 orang luka dan 18 bangunan

rusak (IIK The Habibie Center 2015).

Berapa angka konflik identitas di kota

Jayapura? Berdasarkan data SNPK, konflik Identitas

pada periode ini tercatat hanya 3 insiden yang

(14)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 13 Gambar 6

Berikut ini akan ditampilkan insiden-insiden

konflik identitas dikota Jayapura, berdasarkan data

yang diambil dari SNPK. Pertama, insiden yang terjadi di ruang Konferensi Pers Stadion Mandala di Jalan

Dok V Kel. Mandala, Kec. Jayapura Utara, Kota

Jayapura, Papua. Terjadi perkelahian antara JA

(pelatih Persipura) dengan GR (Kapten Tim

Persebaya) dimana JA didorong oleh GR hingga

membentur kaca pintu ruang konferensi. Akibatnya

korban terluka dan kaca pintu tersebut pecah.

Beruntung Pelatih Persebaya yaitu RD berhasil

melerai perkelahian tersebut. Kejadian itu terjadi

karena terkait dengan pertandingan sepakbola

sebelumnya dimana Tim Persipura memenangkan

pertandingan melawan Tim Persebaya sehingga GR

masih tidak terima sehingga terjadi aksi tersebut

(Cendrawasih Pos, 15/04/2014).

Kedua, insiden lainnya, Di Sekitaran Terminal Expo Waena, Kel. Waena, Kec. Heram, Kota Jayapura,

Papua. Terjadi bentrokan antara 25 orang kelompok

masyarakat Timor dengan 200 orang masyarakat

Makassar. Peristiwa tersebut terjadi karena adanya

perkelahian antara dua supir taksi yang berasal dari

dua kelompok masyarakat tersebut. Keduanya

bentrok dengan menggunakan parang dan kayu balok

hingga mengakibatkan 5 orang terluka yaitu 4 warga

Makassar dan 1 warga Timor. Polisi yang datang ke

tempat kejadian berhasil melerai peristiwa tersebut.

(Cendrawasih Pos, 03/04/2014)

Ketiga, insiden lain yang terjadi di Stadion

Sepak Bola Mandala di Kel. Mandala, Kec. Jayapura

Utara, Kota Jayapura, Papua, terjadi aksi perkelahian

ditengah pertandingan sepak bola. RB pemain

Persipura terlibat perkelahian dengan DN pemain

Arema. DN yang tidak terima akan ulah RB yang

mengganjalnya dengan cukup keras emosi, dan

memukul RB hingga keduanya terlibat perkelahian

namun tidak jelas dampak yang ditimbulkan dari aksi

tersebut. Beruntung aksi perkelahian berhasil dilerai

(15)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 14 Persipura juga melakukan penganiayaan dengan cara

mencekik kiper Arema yaitu KM diduga tidak terluka

[Cendrawasih Pos, 21/10/2014]

Sementara itu, terkait konflik sumber daya

tercatat 7 insiden dengan 2 korban tewas, 2 korban

cedera dan 2 bangunan mengalami kerusakan.

Insiden yang terjadi pada konflik sumber daya terjadi

di Sekitaran Pasar Youtefa, Kec. Abepura, Kota

Jayapura, Papua. Terjadi penganiayaan yang

dilakukan oleh HE warga Sentani kepada IS

(kordinator penjaga pasar Youtefa). Kejadian ini

diduga masih terkait pengeroyokan dalam penertiban

lokasi judi di pasar Youtefa, dimana pelaku tidak

terima dengan ucapan korban yang menuduhnya

telah mendanai warga yang berjudi di kawasan itu

sehingga pelaku emosi lalu langsung menusuk korban

dengan menggunakan pisau hingga korban tewas

(Cendarwasih Pos, 03/07/2014)

Insiden lainnya terjadi di Terminal Pasar

Youtefa, Tanah Hitam, Kec. Abepura, Kota Jayapura,

Papua. Terjadi pengeroyokan yang dilakukan oleh 9

orang warga Pasar Youtefa kepada Brigpol SA dan

Brigpol AS (polisi). Kedua korban yang berusaha

membubarkan adanya perjudian dilokasi kejadian

namun malah dipukuli dan ditikam dengan

menggunakan pisau hingga mengakibatkan Brigpol

AS meninggal dan Brigpol SA terluka (Cendrawasih

Pos, 02/07/2014).

Terkait dengan data SNPK tentang konflik

identitas di Papua, satu catatan untuk tim penginput

data SNPK ke depan di Papua, bahwa setelah tim

SNPK bekerja dengan mencermati lebih jauh

data-data SNPK, tampaknya beberapa kasus di kluster

konflik main hakim sendiri dan konflik sumber daya

juga beririsan dengan konflik identitas, atau mungkin

lebih tepat dimasukkan di kluster konflik identitas. Di

sini dituntut kejelian tim penginput data untuk

menginput data secara lebih akurat.

Secara keseluruhan, walaupun konflik identitas

dan sumber daya di kota Jayapura memiliki angka

yang terbilang rendah namun tidak berarti bahwa

konflik tersebut tidak berpengaruh terhadap

ketertiban kehidupan masyarakat.

BAGAIMANA MEMAHAMI KONFLIK IDENTITAS DI KOTA JAYAPURA?

Bagian berikut akan menyajikan secara

singkat sebuah kerangka konseptual untuk

memahami konflik identitas. Selanjutnya, ia akan

membahas apakah sedikitnya insiden konflik

identitas memaklumatkan bahwa kota Jayapura

merupakan percontohan bagi kerukunan umat

beragam agama dan etnik bila dibandingkan

beberapa kota lain di tanah air yang pernah

bermasalah dengan konflik identitas, seperti di

Ambon, Poso, Sambas dan Sampit, untuk menyebut

beberapa konflik yang menonjol. Selain itu, di sini

(16)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 15 pemersatu etnik agama yang berbeda. Kesimpulan

tentatif yang diambil adalah meskipun kota Jayapura

cukup aman dari konflik identitas, terdapat beberapa

faktor penyebab yang disorot oleh sejumlah informan

yang berdomisili di kota Jayapura dan paham dengan

dinamika sosial politik ekonomi yang terjadi kota

yang baru merayakan HUT ke 105 tanggal 7 Maret

yang lalu.

Sebuah Kerangka Konseptual tentang Konflik Identitas

Konflik adalah sesuatu yang alami dan

merupakan karakter manusia (human nature). Fisher (2000, h. 4) merumuskan konflik sebagai, “sebuah

hubungan antara dua atau tiga partai (individu atau

kelompok) yang memiliki tujuan-tujuan yang tidak

sesuai (bertolak belakang)”. Lebih jauh, konflik terbit

karena tidak adanya keseimbangan relasi kekuasaan,

ekonomi dan sosial seperti status ketidak adilan

sosial, kekayaan yang tidak adil dan akses kepada

sumber daya. Selanjutnya, ini kerap menyebabkan

problema bermunculan seperti diskriminasi,

pengangguran, kemiskinan, opresi dan kejahatan.

Sumber konflik beragam. Namun,

berdasarkan sebab-sebab yang paling banyak

berlaku, Rupshinge (2000, h. 34-37 ) telah membuat

tipologi konflik sebagai berikut:

Pertama, konflik berbasis sumber daya alam berdasarkan kompetisi untuk kekuasaan eknomi dan

akses terhadap sumber daya alam.

Kedua, konflik memperebutkan pemerintahan dan otoritas berdasarkan kompetisi kekuasaan politik

dan partisipasi dalam proses politik.

Ketiga, konflik berdasarkan pada kompetisi antara rival ideologi dan sistem nilai.

Keempat, konflik berdasarkan pada kompetisi antara identitas etnik, agama dan komunal lainnya

yang berlawanan untuk akses kekuasaan ekonomi

dan keadilan sosial.

Dalam banyak kasus penyebab-penyebabnya

saling berkaitan dan menjadi akar masalah satu sama

lain. Dari keempat tipologi konflik tersebut, krisis

identitas tampaknya mendominasi yang lain, dan juga

lebih kental dengan konflik etnik di pelbagai belahan

dunia. Namun, tampaknya yang banyak terjadi sejak

tahun 1990-an adalah konflik etnik. Krisis identitas

adalah puncak dari hasil deprivasi relatif, rakyat yang

anti kepada pemerintahan otoriter, hubungan

sismetrik dengan negara dan aktor-aktor dominan

yang lain.

Kesadaran identitas adalah manifestasi

‘etnisitas’ dan memiliki lima komponen: 1). Sebuah

keyakinan subjektif pada peristiwa nyata atau

pelbagai anteseden sejarah yang diasumsikan; 2).

Pusat geografi nyata atau simbolik; 3). Pertukaran

(17)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 16 dan diet; 4). Kewaspadaan diri yang sudah diterima

tentang kekhususan dan kepemilikan pada

kelompok; dan 5) pengakuan oleh kelompok berbeda

(Phadnis, 1990, h. 14). Segala ancaman terhadap inti

sensi identitas ini dan pengabaian akan hak-hak ini

akan membuka jalan pada lahirnya konflik identitas.

Di kota-kota yang plural seperti Jayapura yang

menjadi lokus pembahasan, persoalan krisis identitas

adalah wajar terjadi di tengah perubahan sosial dan

persaingan ekonomi, politik dan budaya yang tinggi.

Pada titik kulminasi tertentu, ketika perekat sosial

telah terkikis habis, maka konflik identitas, ibarat

“api” bisa melahap “jerami” sosial dengan cepat dan

liar.

Jayapura sebagai Kota Percontohan Toleransi Agama dan Etnik di Indonesia?

Pada pertemuan dengan pengurus Forum

Kekrukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surabaya

yang dihelat di Ruang Rapat Walikota tanggal 18 April

2015, Walikota Jayapura, Benhur Tommy Mano,

mengatakan bahwa Jayapura bisa dikembangkan

sebagai model percontohan kota toleransi beragama

dan etnik. Alasan yang dikemukakan di antaranya

adalah toleransi yang tinggi antara umat beragama,

yang ditandai misalnya dengan adanya masjid dan

gereja yang berhadap-hadapan dan tidak ada

masalah, dan juga keterlibatan pemuda lintas agama

menjaga rumah ibadah ketika terjadi perayaan natal

dan idul fitri. Juga, peran dari FKUB Kota Jayapura

yang secara relatif berhasil berperan menjaga

kerukunan.

Dalam perbincangan terbatas dengan Neles

Tebay, dan juga dalam beberapa kesempatan, aktivis

perdamaian Jaringan Damai Papua (JDP) tersebut

kerap mengungkapkan bahwa “tidak ada konflik

agama di Papua, karena sejak dini anak kecil Papua

telah diajar untuk memnghormati rumah ibadah”.

Untuk beberapa derajat pernyataan tersebut

memperoleh pembuktiannya bahwa sejauh ini tidak

pernah ada konflik agama di kota Jayapura.

Meskipun, kita mesti mewaspadai perubahan sosial

dan globalisasi telah mengubah cara pandang dunia

masyarakat di kota Jayapura, dan juga cara mendidik

anak.

Senada dengan pernyataan walikota dan

aktivis JDP di atas, Ridwan al-Makassary menyatakan

bahwa kota Jayapura beruntung memiliki beberapa

faktor-faktor positif yang berfungsi menjaga

kohesivitas sosial dan mencegah konflik identitas di

kota Jayapura (al-Makassary, 7-8 Maret 2015).

Pertama, perayaan hari besar keagamaan

seperti “natal” berfungsi sebagai “semen sosial”

(social cement) bagi masyarakat luas. Kedua, perayaan hari perdamaian internasional, 21 September, yang

diperingati setiap tahun juga menyadarkan

masyarakat pentingnya hidup damai secara bersama.

(18)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 17 untuk saling membantu. Tapi tidak berarti kita

berharap selalu ada bencana untuk kita menyatu,

laksana Aceh yang menyatu setelah Tsunami tahun

2004. Keempat, tim Persipura adalah fakor pemersatu warga Papua dan non Papua. Ini tim juara perlu dijaga

terus. Singkatnya, perdamaian melalui olahraga.

Terakhir, visi Papua Tanah Damai yang selalu dihidupkan pada 5 Februari sebagai hari pekabaran

injil atau hari Papua Tanah Damai adalah perekat

sosial untuk hidup damai di antara semua penganut

iman dan etnik/sub etnik yang puspa ragam.

Dengan stock perekat sosial yang ada, tidak berarti bahwa tidak ada ancaman sama sekali akan

hadirnya konflik identitas di kota Jayapura. Bagian

selanjutnya, akan membahas berbagai root causes

potensi konflik identitas yang mesti disikapi secara

bijaksana.

Pelbagai Faktor Penyebab Potensi Konflik Identitas: Pandangan Insider

1. Ekonomi

Kota Jayapura merupakan ibukota Provinsi

Papua yang menjadi barometer pembangunan.

Secara khusus, Kota Jayapura mengalami geliat

ekonomi yang cukup pesat sejak pemberlakuan

otonomi khusus di Papua tahun 2001. Pada saat yang

sama, otonomi khusus dan perkembangan yang

dibawanya telah dan sedang mengakibatkan

permasalahan di Kota Jayapura, yang merupakan

salah satu dampak dari aspek pembangunan.

Ekonomi di Kota Jayapura yang mengalami

pertumbuhan cukup pesat telah dan sedang

menciptakan persaingan yang tinggi mendapatkan

sumber-sumber ekonomi yang ada. Pihak-pihak

tertentu akan menguasai sebagian sumber-sumber

dalam sektor ekonomi tersebut, sedangkan pihak lain

yang tidak mampu bersaing biasanya akan tersingkir

dengan sendirinya. Itulah yang dipotret sebagai salah

satu tipologi konflik yang disebutkan Rupshinge di

kerangka konseptual di atas.

Secara umum pola persaingan dalam konteks

Papua dan secara khusus di Kota Jayapura adalah

persaingan antara masyarakat asli Papua (Indegenous people) dan masyarakat pendatang yang mencari kehidupan yang lebih layak di Kota Jayapura.

Ekonomi merupakan salah satu pemicu konflik

bernuansa identitas di Kota Jayapura. Hal tersebut

ditegaskan oleh Wakil Walikota Jayapura, Nur Alam

bahwa,

(19)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 18 untungnya luar biasa, penjual bakso, penjual apa saja

dikota Jayapura bisa mendapat untung yang besar, sehingga dampak sosialnya ada, saudara-saudara kita sebagai orang asli, melihat bahwa orang-orang Port Numbay sudah mulai tergeser, tanah-tanah dikota sudah dibeli oleh orang-orang yang punya uang, orang Port Numbay ( orang asli) sudah hal tersebut dapat dari sisi ekonomi cukup baik namun

dampaknya tidak baik “. (Wawancara, 10 Januari 2015)

Senada dengan pernyataan Wakil Walikota, hal

tersebut juga diakui oleh pimpinan wilayah NU

Provinsi Papua, Toni Wanggai, bahwa ekonomi

merupakan salah satu pemicu konflik dan kekerasan

di Kota Jayapura. (Wawancara Ketua NU Kota

Jayapura, 16 Februari 2015).

Pernyataan serupa juga dikatakan oleh Betty

Puy, selaku Kepala Pemerdayaan Perempuan dan

Anak Kota Jayapura, bahwa

“Kota Jayapura menjadi Pusat Pertumbuhan dari Provinsi Papua dalam berbagai hal, Arus Globalisasi yang terjadi dikota jayapura sehingga dampak baik dan buruk juga ada. Kota ini menjadi Pusat Belajar dan Pusat Perdagangan (Modal Kota Jayapura Perdagangan dan Jasa) sehingga orang bilang datang kesini lebih cepat dapat uang ketimbang didaerah lain diprovinsi papua. Dengan heterogennya penduduk yang ada akan menjadi konflik. Sehingga persaingan dari sisi ekonomi untuk hidup matinya manusia-manusia yang ada dikota ini” (Wawancara, 31 Maret 2015 ).

Aspek ekonomi yang menjadi pemicu konflik

dikota Jayapura juga di akui oleh Kepala Kesbang Pol

& Linmas Kota Jayapura, Evert Merauje, bahwa

“masalah kepentingan atau faktor ekonomi, ketika

merasa terganggu kehidupannya akan terjadi konflik,

seperti yang terjadi di pasar” (wawancara, 22 April

2015).

Dari sejumlah wawancara terlihat jelas aspek

ekonomi merupakan salah satu aspek penyebab

konflik di Kota Jayapura. Dengan kata lain, persoalan

ekonomi sebagai penyebab konflik antar etnik atau

konflik identitas sesuatu yang tak terbantahkan,

meskipun tentu tidak semua konflik antar

etnik/konflik identitas ditimbulkan karena persoalan

ekonomi saja.

Ketersediaan sumber daya ekonomi di suatu

daerah merupakan suatu indikator penting bagi

kemungkinan konflik terjadi. Semakin mudah sumber

daya itu didapatkan oleh setiap orang, maka

kemungkinan konflik juga semakin rendah.

Sebaliknya semakin langka sumber daya yang

tersedia sehingga terjadi kompetisi yang sengit untuk

mendapatkan sumber daya maka kemungkinan

terjadinya konflik semakin besar.

Persoalan ekonomi juga menyangkut distribusi

sumber daya. Ketidakjelasan aturan dalam kompetisi

memperebutkan sumber daya merupakan sumber

konflik yang potensial. Dalam hal ini ketidakjelasan

aturan bisa dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya

ketidakadilan. Adanya kesenjangan sosial sebagai

akibat adanya kesenjangan ekonomi yang lebar

merupakan cerminan dari adanya ketidakadilan

dalam distribusi sumber daya. Bila terjadi

kesenjangan yang besar antar berbagai kelompok

etnik maka kemungkinan terjadinya konflik juga

semakin besar, karena perasaan ketidakadilan akan

(20)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 19 nampak dalam kerangka konseptual yang disebutkan

di atas.

Terkait dalam aspek ekonomi terkadang muncul

juga permasalahan yang terjadi dipasar dimana pasar

dalam hal ini merupakan tempat aktivitas perputaran

roda perekonomian, tidak bisa dipungkiri bahwa

aktivitas perekonomian dapat mengakibatkan

gesekan-gesekan yang mampu menciptakan suatu

konflik. Seperti salah satu insiden di atas yang terjadi

di Pasar Youtefa, sebagaimana telah disebutkan di

atas.

2. Kecemburuan Sosial

Dalam kehidupan sosial terkadang muncul

kecemburuan-kecemburuan sosial yang dapat

mengakibatkan timbulnya koflik. Hal tersebut diakui

oleh Toni Wanggai, yang mengatakan bahwa “faktor

kecemburuan sosial dimana masyarakat pendatang

dari sisi ekonomi lebih mapan sehingga menimbulkan

kecemburuan itu muncul dan menyebabkan

terjadinya konflik/kekerasan” (Wawancara, 16

Februari 2015).

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa,

“Akan tetapi ini (konflik) bisa muncul disebabkan misalnya para pendatang mendominasi tanah-tanah ulayat mereka, kemudian dari status sosial orang pendatang yang lebih tinggi serta faktor ekonomi yang lebih tinggi, atau bahkan hal ini yang kadang mengalami kecemburuan sosial karena kurang tolerannya orang pendatang terhadap kearifan lokal di papua atau jayapura atau kurang menghargai tradisi budaya orang papua. Hal ini yang sewaktu-waktu apabila tidak dimanage dengan baik atau tidak dipahami oleh orang-orang pendatang dapat menjadi

konflik identitas kedepan”.

Hal yang hampir serupa juga dikatakan oleh

Anum Siregar, selaku pimpinan Aliansi Demokrasi

Papua (ALDP), bahwa

“Sejak awal titik star orang papua dengan non papua itu berbeda, ketika orang datang dengan kemampuan yang lebih kemudian orang papua dengan kemampuan yang masih kurang itu akan menjadi pemicu kecemburuan sosial meskipun orang itu ramah. Kalau berbicara mengenai ekonomi tidak ada hubungan ramah atau tidak ramah, kalau misalnya orang papua tidak mau menciptakan daya saingnya, hal ini dapat memicu kecemburuan. Ditambah dengan kebijakan-kebijakan yang sentral sehingga membuat orang papua sendiri tidak mampu bersaing. Kesiapan diri orang papua yang kurang baik

dari pengetahuan dan keterampilan”. ( Wawancara,

20 Januari 2015 )

Seperti telah disinggung di atas bahwa salah

satu hal yang dapat menimbulkan kecemburuan

sosial adalah karena adanya keterbatasan kualitas

sumber daya manusia (sdm) yang dimiliki khususnya

masyarakat asli dI Kota Jayapura yang terkadang

memiliki pendidikan yang kurang, sehingga bisa

dikatakan tidak mampu bersaing dengan masyarakat

pendatang sehingga muncul kecemburuan sosial

yang mampu menjadi salah satu pemicu konflik.

Terkait hal tersebut Bertus Tambaib, seorang

akademisi, mengatakan “kesiapaan SDM,

saudara-saudara kita tidak mampu bersaing karena SDM

kurang” karena faktor SDM yang rendah tersebut

seingga berakibat pada tidak mampu bersaing dalam

persaingan ekonomi sehingga muncul kecemburuan

sosial yang dapat mengakibatkan konflik

(Wawancara, 4 Januari 2015 )

Senda dengan pernyataan di atas, Kepala

(21)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 20 Margono, menyatakan pengetahuan yang minim dan

kurangnya ketrampilan dari masyarakat asli,

terkadang menimbulkan kecemburuan terhadap

masyarakat non papua yang datang ke Jayapura

dengan ketrampilan dan pengetahuan yang baik

(Wawancara, 23 April 2015)

Dalam realitas, kita menjumpai ada

kelompok-kelompok yang termarginalkan seperti mama-mama

Papua yang berusaha untuk bersaing dimana mereka

berjuang untuk mempertahankan hidup (survive). Dengan demikian, kecemburuan sosial

merupakan salah satu aspek pemicu konflik yang

tidak bisa dipungkiri dalam kehidupan bermasyarakat

didaerah manapun, termasuk di kota Jayapura.

Pandangan tersebut didukung berdasarkan

wawancara yang telah dilakukan, di mana beberapa

narasumber menyatakan bahwa salah satu pemicu

konflik dikota Jayapura adalah faktor kecemburuan

sosial yang diakibatkan karena kurangnya SDM dari

masyarakat asli, sehingga muncul rasa cemburu

terhadap masyarakat pendatang yang memiliki SDM

lebih dan mampu bersaing dalam perkembangannya.

3. Sosial Budaya

sama, Kepala Kesbang Pol dan Linmas Kota Jayapura,

Evert Merauje, menyatakan bahwa terjadi degradasi

budaya yang dapatkan menimbulkan terjadinya krisis

identitas. Ia menuturkan bahwa

“ terjadi distorsi atau degradasi budaya, terjadi

pertukaran nilai yang menyebabkan orang Papua berubah, dimana dulu masyarakat asli hanya mendapatkan semua yang telah disediakan oleh alam namun sekarang hal tersebut berubah, sehingga menyebabkan masyarakat asli mulai berjuang untuk mempertahankan apa yang ia miliki, degradasi yang menyebabkab masyrakat asli berubah (degradasi

budaya ) yang dapat menyebabkan krisis identitas.”

Di sini, poin pentingnya adalah dalam konteks

Jayapura masyarakat Port Numbay bisa dikatakan

telah dan mengalami degradasi budaya dan mulai

mengarah pada krisis identitas yang juga dapatkan

menimbulkan konflik, sebagaimana yang telah

terungkap di landasan konseptual di atas, yaitu

masalah krisis identitas adalah satu pendorong

konflik identitas.

Berdasarkan wawancara di atas, bahwa budaya

sangat berpengaruh terhadap keberlanngsungan

hidup masyarakat; budaya sangat menentukan cara

orang berpikir dan bertindak. Masyarakat di manapun

mesti menghormati budayanya sendiri dan sering

mempertahankannya dalam menghadapi

pengaruh-pengaruh dari luar. Budaya yang dimaksud adalah

suatu kebiasaan dan nilai-nilai tertentu yang diakui

secara umum oleh suatu masyarakat yang tinggal di

suatu tempat tertentu. Budaya itu sendiri merupakan

produk kolektif yang menghasilkan suatu ukuran dan

rangkaian tindakan yang dipakai sebagai acuan untuk

menilai tindakan orang lain. Budaya ini sering muncul

sebagai faktor yang berpengaruh terhadap konflik.

(22)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 21 menjabarkan secara luas relasi antara konflik dan

budaya.

Secara keseluruhan, aspek budaya menjadi salah

satu faktor yang harus diperhatikan. Mengingat

bahwa Provinsi Papua, secara khusus di Kota

Jayapura, memiliki keragaman suku, bahasa serta

adat istiadat yang datang dari seluruh penjuru

Indonesia. Singkatnya, kota Jayapura memiliki

masyarakat yang heterogen. Untuk beberapa derajat

heterogenitas tersebut dapat memicu terjadi konflik

akibat perbedaan budaya, perbedayaan karakter

sikap dan perilaku terkadang menjadi salah satu isu

primordial yang kadang memunculkan pertentangan,

terutama antar para penduduk asli dengan penduduk

pendatang, maupun penduduk asli dengan penduduk

asli dan sebaliknya penduduk pendatang dengan

penduduk pendatang.

Rekomendasi

Untuk merespons konflik identitas di kota Jayapura, kami mengajukan beberapa rekomendasi yang perlu

dipertimbangkan oleh berbagai pihak terkait untuk ditindaklanjuti.

Pemerintah Kota

1. Perlu adanya pemberdayaan terhadap masyarakat lokal yang tersisih dari persaingan dengan diadakan pelatihan ketrampilan dan juga pemberian bantuan modal usaha agar dapat meningkatkan pendapatan

masyarakat tersebut.

2. Perlu adanya kebijakan pemerintah kota Jayapura, untuk melindungi masyarakat asli (budaya, tanah dan

lainnya yang terkait dengan masyarakat asli).

3. Penanaman nilai-nilai kebangsaan, toleransi dan semangat perdamaian oleh Kesbang Pol dan Linmas kota

Jayapura terutama di kalangan pemuda lintas etnik dan agama.

Aparat Keamanan

1. Pihak Aparat keamanan dituntut lebih proaktif dalam aspek pengamanan diwilayah-wilayah tertentu yang

selama ini kerap menjadi lokasi yang rawan terjadi konflik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penambahan

personil kepolisian dalam penjagaan dan juga patroli perlu ditingkatkan ditempat-tempat yang dianggap rawan

terjadi tindak konflik.

(23)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 22 Tokoh Agama

1. Adanya pembinaan yang kontinyu terhadap jemaat dengan pandangan-pandangan yang lebih terbuka dan

membangun toleransi antar umat beragama.

2. Perlunya kerjasama ormas keagamaan dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan.

3. Perlunya dialog antara iman yang kontinyu di segala level.

Tokoh Adat

1. Adanya penanaman rasa persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa dan tanah air dalam tiap-tiap Paguyuban yang ada.

(24)
(25)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 24

Referensi

Buku-Buku

Fisher, Simon, ‘Understanding Conflict: Toward a Conceptual Framework’, Working with Conflict: Skills and Strategies for Action, 2000, London: Zed Books.

Rupshinger, Kumar, Civil Wars, Civil Peace, 2000, London: Pluto Press.

Phadnis, Urmila, Ethnicity and nation Building in South Asia, 1990, New Delhi, sage Publication. Surat Kabar & Artikel

Cendrawasih Pos, 19/1/2014

Cendarawasih Pos, 18/2/2014

Cendrawasih Pos, 06/04/2014

Cendrawasih Pos, 15/04/2014

Cendarawasiih Pos, 20/04/2014

Cendrawasih Pos, 02/07/2014

Cendrawasih Pos, 03/07/2014

Cendrawasih Pos, 28/07/2014

Cendrawasih Pos, 7/9/2014

Cendrawasih Pos, 17/10/2014

Cendarwasih Pos, 15/10/2014

Cendrawasih Pos, 5/11/2014

Cenderwasih Pos, 7 dan 8/ 3/2015 (opini Ridwan al-Makassary)

Data Polres Jayapura Tahun 2014

Wawancara

Wawancara, Akademisi Universitas Cendrawasih, Bertus Tambaib, 9 Januari 2015

Wawancara, Tokoh Agama, Pdt Steward Tatontos, 10 Januari 2015

Wawancara, Wakil Walikota Kota Jayapura, Nur Alam, 19 Januari 2015

Wawancara pimpinan Aliansi Demokrasi Papua (ALDP), Anum Siregar, 27 Januari 2015

Wawancara, Pimpinan Wilayah NU Provinsi Papua, Toni Wanggai, 16 Februari 2015

Kepala Pemberdayaan Perempuan & Anak Kota Jayapura, Betty Puy 31 Maret 2015

Wawancara Kepala Kesbang Pol dan Linmas Kota Jayapura, Evert Merauje, 22 April 2015

Wawancara Kepala Kementrian Agama Kota Jayapura, Syamsudin, 22 April 2015

Wawancara Kabid HAM Kementerian Hukum dan HAM Kota Jayapura, La Margono.

The Habibie Center

(26)

KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 25

Indonesia, didirikan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie dan keluarga sebagai organisasi yang independen, non-pemerintah dan nirlaba. THC didirikan d e n g a n v i s i u n t u k m e m p r o m o s i k a n modernisasi dan demokratisasi masyarakat Indonesia yang didasarkan pada moralitas dan integritas nilai-nilai budaya dan agama.

Misi THC adalah: Pertama, untuk membangun masyarakat yang demokratis secara struktural dan kultural yang mengakui, menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia, serta untuk m e m p e l a j a r i d a n m e n g u s u n g i s u - i s u d a l a m p e n g e m b a n g a n demokrasi dan hak asasi manusia. Kedua, untuk mempromosikan dan memajukan pengelolaan sumber daya manusia yang efektif dan sosialisasi teknologi

Profil PaPeDA Institute

P a p u a Pe a c e a n d D e v e l o p m e n t A c t i o n (PaPeDA) Institute adalah salah satu anggota civil society organization (CSO) di Jayapura, Papua, yang dibentuk pada 17 Agustus 2010. Kelahirannya dibidani oleh beberapa akademisi dan praktisi yang berwawasan moderat, pluralis dan inklusif.

Raison d’être dari organisasi ini adalah untuk menyahuti dan mengatasi problema

eksklusifisme keagamaan, diskriminasi berbasis etnik dan agama, ketidakadilan sosial,

ekonomi dan budaya serta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Secara khusus, ia juga concerns pada persoalan lingkungan serta isu-isu tata kelola dan kelembagaan yang bersih dan baik (good

governance). Singkatnya, organisasi ini digerakkan oleh mimpi besar untuk membangun sebuah peradaban baru,

yaitu untuk terwujudnya Papua Tanah Damai.

Untuk mewujudkan idealita Papua Tanah Damai, organisasi ini mendedikasikan diri pada kegiatan riset, training, advokasi, jejaring serta pertunjukan seni dan budaya terutama di bidang pembangunan perdamaian

(peacebuilding) dan kegiatan-kegiatan pembangunan (development actions) yang nyata di Papua.

Pemerintah Kota Jayapura

Kota Jayapura adalah ibukota provinsi Papua, Indonesia. Kota ini merupakan ibukota provinsi yang terletak paling timur di Indonesia. Kota yang indah ini terletak di teluk Jayapura.

Sebelum Perang Dunia II Kota Jayapura diduduki oleh Pemerintah Belanda dengan sebutan Hollandia. Tepat 17 Maret 1910 Hollandia ditetapkan menjadi ibukota Nederland Nieuw Guinea. Setelah intergrasi dengan Indonesia, Hollandda diubah namanya menjadi Kota Baru, kemudian Soekaroputra dan terakhir dinamakan jayapura sampai sekarang.

Gambar

Tabel 1.
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 4
+3

Referensi

Dokumen terkait

2. Kongres Pemuda Kedua adalah kongres pergerakan pemuda Indonesia yang melahirkan keputusan yang memuat ikrar untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang

Lingkungan internal yang menjadi kekuatan KRB adalah (1) pusat konservasi ex-situ , (2) panorama arsitektur lanskap yang bernuansa alami, (3) KRB memiliki aksesbilitas tinggi

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Model Komponen Adaptif Pencapaian dari gameplay akan menjadi ukuran yang digunakan oleh komponen adaptif dalam melakukan penyesuaian aktivitas pembelajaran dan skenario

Beberapa ibadah juga yang berhubungan langsung dengan dana yang tidak sedikit seperti ibadah haji, kurban (udh-hiyyah), pernikahan, pendidikan dan lain sebagainya menjadi hujjah

2.  Layanan yang diberikan UPT tersebut merupakan layanan pemerintah yang dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga apabila Hdak tersedia akan mengganggu k e h i d u p a n

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Selain dari beberapa karya di atas, Fazlur Rahman pernah menulis artikel yang berjudul “Iqbal in Modern Muslim Thoght” Rahman mencoba melakukan survei terhadap