KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN
Edisi 2/April 2015
PETA KEKERASAN, KHUSUSNYA KONFLIK IDENTITAS,
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 1
Ringkasan Kebijakan
PETA KEKERASAN, KHUSUSNYA KONFLIK IDENTITAS, DI KOTA KAYAPURA PAPUA TAHUN 2014
Hak Cipta @ PaPeDA Institute, Kesbang Pol dan Linmas Kota Jayapura, The Habibie Center
Cetakan April 2015
Penyelaras Akhir:
Ridwan al-Makassary (PaPeDA Institute)
Tim Kerja:
Penanggung Jawab: Toni Wanggai
Konsultan : Imron Rosyid
Sopar Peranto
Ketua Tim : Ridwan al-Makassary
Peneliti : Elizabeth Christin Waromi
Alfian A
Tim Inti : Evert Merauje (Kesbangpol & Linmas Pemkot Jayapura)
Edi Ohoiwutun (Sekretaris LMA Port Numbay)
Burhanuddin (Kemenag Kota Jayapura)
La Margono (Kabid HAM Kemenkum HAM Jayapura)
Nelson Wanggai (Aktivis NGO Jayapura)
Prabowo (Anggota Kodam XVII/Cenderawasih Papua)
Desain Cover dan Tata Letak: Studio Mangga Dua Art (Jl. Marthin Indey No.1 Jayapura)
Diterbitkan oleh
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 2
SEKAPUR SIRIH
Keamanan (security) adalah satu kebutuhan dasar manusia (human basic need). Dewasa ini di kota Jayapura yang kita cintai, masalah keamanan,
terutama ancaman konflik identitas, untuk derajat
tertentu sedang merasuk menjadi kegelisahan publik
karena sepanjang tahun 2014 fenomena kekerasan
berbalut identitas menyeruak di Timika, Sorong dan
Arso. Secara khusus kalau ada kasus pembunuhan
yang melibatkan penduduk asli dan pendatang,
sontak iklim ketakutan akan konflik memuncak. Dengan demikian, rasa aman adalah hal yang tengah
terusik di tengah geliat kota Jayapura yang sedang
pesat membangun. Selain itu, sebagai sebuah kota
yang juga menjadi destinasi favorit bagi para migran,
maka masalah perkotaan terutama hubungan antara
etnik dan agama, yang disebut krisis identitas
etnik-agama, adalah sebuah masalah yang mesti ditangani
secara serius.
Dengan argumen sederhana itu, PaPeDA Institute, Kesbang Pol dan Linmas Kota Jayapura dan
The Habibie Center menerbitkan kajian kebijakan yang pada edisi ke-2 ini adalah “Menelisik Masalah Konflik
Identitas di kota Jayapura”. Diharapkan kajian ini
dapat menyediakan sebuah gambaran yang holistik
akan persoalan potensi ancaman konflik identitas di
kota Jayapura.
Di bawah kepempinan Dr Benhur Tommy
Mano, MM, Walikota Jayapura dan kapolres kota
Jayapura upaya-upaya mengeliminir potensi
kekerasan telah digalakkan. Kita mengapresiasi
kerja-kerja mereka tersebut, meskipun angka
kekerasan masih cukup tinggi berdasarkan data
SNPK. Selanjutnya, kita juga berharap upaya-upaya
tersebut didukung juga oleh semua stakeholders yang ada untuk mewujudkan kota Jayapura yang aman dan
damai. Kajian kebijakan ini adalah sebentuk sense of careness dan sense of belonging dari PaPeDA Institute
untuk membuka mata semua pihak bahwa masalah
kekerasan, khususnya potensi konflik identitas, masih
merupakan musuh bersama kita khususnya sebagai
warga kota yang berpijak di tanah Port Numbay ini. Tidak ada gading yang tak retak, mohon
maaf atas segala kekurangan.
Selamat membaca.
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 3
Pengantar
Papua Peace and Development Action
(PaPeDA) Institute, yang didukung oleh the Habibie Center dan Kesbang Pol dan Linmas Kota Jayapura, menerbitkan ringkasan kebijakan (policy brief) tentang penanganan konflik kekerasan di Papua,
khususnya di kota Jayapura, dengan menggunakan
data program Sistem Nasional Pemantauan
Kekerasan (SNPK).
Program SNPK, sejatinya, karya rintisan
Kementerian Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra),
bekerjasama dengan Bank Dunia (The World Bank) dan The Habibie Center. Untuk kegiatan diseminasi dan pembuatan ringkasan kebijakan di wilayah
Papua, The Habibie Center mempercayakan PaPeDA Institute untuk melaksanakannya.
Untuk edisi kedua ini, PaPeDA Institute
mengangkat tema “Konflik Identitas”, setelah di edisi
pertama mengusung tema “kriminalitas”. Argumen
utama dibalik pemilihan tema ini adalah sepanjang
tahun 2014 Papua telah menyaksikan ketegangan
berbalut identitas, yaitu ketegangan etnik dan
agama, yang telah merundung kota Timika, Sorong
dan Arso, untuk menyebut beberapa kasus yang
menonjol. Dengan fenomena tersebut, tidak
menutup kemungkinan kota Jayapura, dan kota-kota
lain di tanah air, juga dapat mengalami hal yang sama
di masa depan jika tidak diwaspadai.
Berikut ini insiden-insiden yang terjadi di
tiga kota tersebut, yang terpotret dari data SNPK. Di
Sekitaran Kampung Utikini Lama Kec. Tembagapura,
Kab. Mimika, Papua, terjadi bentrokan antara dua
suku yaitu Suku Damal dengan Suku Dani yaitu
kelompok warga Kampung Kimbeli dengan kelompok
warga Kampung Utikini yang mengakibatkan satu
warga tewas terkena tikaman senjata tajam. Motif
bentrokan masih terkait dengan isu kesukuan di
antara kedua kampung yang bertikai (Cendrawasih
Pos, 19/1/2014).
Insiden kekerasan lainnya telah terjadi di
desa Klademak, Kec. Sorong, Kota Sorong, Papua
Barat. Terjadi bentrokan antar warga Sorong yang
berjumlah ratusan orang. Peristiwa tersebut terjadi
karena adanya insiden pemukulan seorang warga
pada waktu sebelumnya. Akibatnya kedua kelompok
warga tersebut bentrok dengan menggunakan batu
dan senjata tajam sehingga mengakibatkan 18 orang
terluka terkena panah dan ada 2 orang anggota TNI
dan polisi yang terluka terkena lemparan batu ketika
mencoba melerai kejadian tersebut. Selain itu,
beberapa bangunan tempat usaha juga rusak akibat
peristiwa tersebut (Cendarawasih Pos, 20/04/2014).
Sementara itu, terkait insiden yang hampir
serupa juga terjadi di Kampung Sanggaria Arso 1,
Desa Arso, Kecamatan Arso, Kabupaten Keerom,
Papua, ribuan warga desa arso yang terdiri dari 11
kampung mengamuk dengan membawa berbagai
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 4 celurit, kapak, tombak, samurai, dan senapan angin
kemudian berbuat anarkis dengan membakar 21
rumah milik warga lainnya hingga rata dengan tanah.
Selain membakar ke 21 rumah tersebut, warga yang
sudah emosi pun ikut merusak tanaman kebun
dengan cara dibabat dengan senjata tajam dan
kandang ternak beserta hewan peliharaan milik
korban dibakar. Selain itu sebuah pangkalan ojek juga
ikut menjadi sasaran amuk warga sehingga 3 buah
motor ikut terbakar.
Insiden kerusuhan yang terakhir ini dipicu
karena kemarahan warga sekitar yang mengetahui
pelaku berinisial HG membunuh seorang ibu rumah
tangga warga sekitar tanpa alasan yang jelas. Pada
saat kejadian ratusan aparat kepolisian gagal
menghentikan aksi itu sehingga sejumlah nggota
Brimob dan Satgas Pamtas dari kepolisian yang
membantu berhasil menghentikan dan
mengamankan situasi (Cendrawasih Pos, 7/9/2014)
Fenomena beberapa ketegangan sosial
tersebut tampaknya mengirim pesan yang tegas
bahwa kota-kota di Papua, termasuk Jayapura, untuk
beberapa derajat, sepenuhnya tidak aman dari
ancaman konflik beraroma identitas. Meskipun tidak
pernah diamuk konflik identitas berbalut agama
seperti di Kaimana dan Manokwari medio 2000-an
yang masih menyisakan pilu dan trauma di rerimbun
ingatan, kota Jayapura, sebagai kota yang plural
(etnik dan agama), tetap memendam potensi konflik
identitas terutama terkait dengan fenomena
kemiskinan kota/marjinalisasi penduduk lokal,
tingginya angka pengangguran di tengah bonus
demografi akibat lonjakan kehadiran transmigran dan
menguatnya fanatisisme agama dengan kehadiran
Islam transnasional dan primordialisme etnik.
Lebih jauh, kami berargumen bahwa
walaupun konflik identitas di kota Jayapura memiliki
angka yang terbilang rendah, seperti terkuak di data
SNPK, namun bukan berarti kita bisa mengabaikan
fenomena ini begitu saja. Bahkan, hal ini perlu serius
diperhatikan karena boleh jadi konflik identitas dapat
terjadi jika kita tidak memahami akar masalahnya,
dan juga tidak mengantisasipasi benih-benih konflik
identitas yang tumbuh subur tak terkendali.
Istilahnya jangan pernah mencoret ancaman konflik
identitas di kota Jayapura sebagai kota
multi-etnik-agama.
Kompleksitas masalah ini akan didiskusikan
secara ekstensif di sini. Ia diharapkan akan berguna
sebagai dasar akademik dalam permusan kebijakan
dan program bagi pemerintah setempat ataupun
pihak terkait di kota Jayapura, atau juga sebagai
bahan kajian bagi kota-kota lain yang dihantui konflik
serupa, untuk mengeluarkan kebijakan tepat sasaran
yang dapat mencegah terjadinya konflik identitas,
yang pungkasaannya dapat menyebabkan
terjarahnya keamanan serta ketertiban masyarakat di
kota Jayapura.
Dengan kata lain, untuk mewujudkan kota
Jayapura yang aman dan damai sesuai dengan motto
kota Jayapura Hen Tecahi Yo Onomi Te’mar Ni
Hanased (Satu hati membangun kota untuk kemuliaan nama Tuhan), maka kajian kebijakan ini
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 5 Secara keseluruhan, ringkasan kebijakan ini
akan menjelaskan beberapa hal pokok. Pertama, ia akan mengenalkan secara ringkas program Sistem
Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) dan
klasifikasi jenis kekerasan yang digunakan. Kedua, ia akan mendeskripsikan peta kekerasan di Papua,
khususnya konflik identitas di kota Jayapura. Ketiga, ia akan menganalisis driving forces dari faktor pemersatu dan perekat sosial dan potensi konflik
identitas di kota Jayapura, dan diakhiri dengan
rekomendasi.
Selintas tentang Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK)
Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center ini diterbitkan melalui program SNPK, yang bertujuan menyediakan data dan analisis kekerasan
yang akurat dan cepat bagi pemerintah dan
masyarakat sipil di Indonesia dalam mendukung
penyusunan kebijakan dan program dalam bidang
konflik yang berbasis data. Program ini didanai oleh
The Korea Trust Fund for Economic and Peacebuilding Transitions dan diimplementasikan sejak 2012 melalui kerjasama antara The Habibie Center, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan (Kemenko PMK), dan Bank Dunia.
Sebagai bagian dari program SNPK, saat ini
telah dibangun database untuk mencatat seluruh
insiden kekerasan yang terjadi di provinsi sasaran
secara reguler. Database SNPK adalah milik Kemenko
PMK, yang bisa diakses pada
www.snpk-indonesia.com. Database ini mencakup 34 provinsi di
Indonesia.
Seperti ditunjukkan oleh penelitian-penelitian
di bidang konflik sebelumnya, surat kabar lokal di
Indonesia merupakan sumber informasi yang paling
tepat untuk mengumpulkan data kekerasan secara
sistematis dan kontinu. Mengikuti hal itu, SNPK
membangun database menggunakan surat kabar
lokal di 34 provinsi sasaran, meski sumber-sumber
lain juga dipergunakan secara rutin untuk proses
verifikasi. Agar analisis data dapat berjalan maksimal,
database menggunakan definisi kekerasan secara
luas, yaitu: sebuah tindakan yang mengakibatkan
dampak fisik secara langsung. Untuk setiap insiden
kekerasan, sejumlah variabel kunci dicatat dalam
database, termasuk: tanggal dan lokasi kejadian;
dampak fisik terhadap manusia dan harta benda;
pemicu dan bentuk kekerasan; aktor yang terlibat dan
senjata yang digunakan; serta upaya penghentian
kekerasan dan hasilnya.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini
dipublikasikan oleh The Habibie Center secara berkala setiap 4 bulan sekali dengan tujuan menjelaskan tren
dan pola baru yang muncul di Indonesia. Isi Kajian
Perdamaian dan Kebijakan ini merupakan pandangan
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 6
Klasifikasi Konflik dan Kekerasan menurut SNPK
Dalam memantau kekerasan di Indonesia,
SNPK membagi jenis kekerasan menjadi empat
kategori besar, yaitu konflik, kekerasan yang
dilakukan oleh aparat dalam rangka penegakan
hukum, kriminalitas, dan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga/KDRT (Kotak 1).
Kotak 1. Definisi
Program SNPK memberikan defenisi terhadap jenis-jenis kekerasan sebagai berikut:
Konflik kekerasan adalah jenis kekerasan yang terjadi karena adanya sengketa yang
melatarbelakangi atau diperselisihkan dan pihak tertentu yang menjadi sasaran.
Kriminalitas adalah insiden kekerasan yang terjadi tanpa adanya sengketa yang
diperselisihkan sebelumnya dan target tertentu
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah tindakan kekerasan fisik yang
dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya, dimana anggota
keluarga tersebut tinggal satu atap/satu rumah
Kekerasan Dalam Penegakan Hukum adalah seluruh tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh aparat keamanan formal dalam merespon tindak kriminalitas.
Tindakan tersebut termasuk kekerasan yang dianggap sesuai dengan atau melebihi
wewenang mereka.
Sementara konflik kekerasan sendiri
dibagi menjadi tujuh jenis yaitu konflik terkait sumber
daya, konflik tata kelola pemerintahan, konflik
pemilihan dan jabatan, konflik separatisme, konflik
identitas, main hakim sendiri dan jenis konflik lainnya
(Kotak 2).
Kotak 2. Pembagian Jenis Konflik
Program SNPK membagi konflik berkekerasan menjadi beberapa jenis;
Konflik Sumber Daya adalah tindakan kekerasan dipicu oleh sengketa sumber daya
(lahan, tambang, akses pekerjaan, gaji,polusi dll)
Konflik Tata Kelola Pemerintah adalah tindakan kekerasan dipicu oleh kebijakan
atau program pemerintah (pelayanan publik, korupsi, subsidi, pemekaran dll)
Konflik Pemilihan dan Jabatan adalah tindakan kekerasan dipicu oleh persaingan
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 7 Konflik Separatisme adalah tindakan kekerasan yang dipicu oleh upaya pemisahan
dari NKRI
Konflik Identitas adalah tindakan kekerasan dipicu oleh identitas kelompok (agama,
ethnis,suku dll)
Main Hakim Sendiri adalah tindakan kekerasan dipicu oleh masalah balas dendam
(tersinggung, pencurian, hutang, kecelakaan dll)
Konflik Lainnya adalah tindakan kekerasan yang dipicu oleh masalah selain yang ada
di daftar SNPK
PETA KONFLIK KEKERASAN
Berdasarkan klasifikasi SNPK di atas, pada
tahun 2o14 di Papua secara umum tercatat 1425
insiden konflik dan kekerasan. Lebih jauh, insiden
konflik tercatat sebanyak 309 insiden, kriminalitas
sebanyak 986 insiden, 120 insiden KDRT dan 10
insiden terkait kekerasan aparat dalam penegakan
hukum.
Sementara itu, berdasarkan Indeks Intensitas
Kekerasan (IIK) 2015 (The Habibie Center), sepanjang tahun 2014 insiden kekerasan terkait separatisme
hanya terjadi di Aceh, Papua dan Papua Barat.
insiden yang tidak mengakibatkan dampak. Kondisi
tersebut menjadikan Puncak Jaya memiliki IIK
separatisme tertingi (6,04) sekaligus memberi
Propinsi Papua nilai IIK separatisme sebesar 2,21.
Menurut kami, perlu ada riset khusus atau ringkasan
kebijakan tentang hal ini untuk mendapatkan
pemahaman akan akar masalah dan cara
penanganannya yang adekuat.
Di kota Jayapura tahun 2014 tercatat 783
insiden dan telah terjadi 93 insiden konflik kekerasan
yang tercatat, 599 insiden kriminalitas, 86 insiden
KDRT dan 5 insiden terkait kekerasan aparat dalam
upaya penegakan hukum. Sebagai perbandingan,
data pihak Polresta Jayapura di tahun 2014 tercatat
2956 insiden kekerasan maupun konflik secara umum
yang terjadi di Kota Jayapura, yang di dominasi oleh
tindak kriminalitas (Data Polres Jayapura Tahun 2014
). Di sini angka kepolisian jauh lebih banyak dari dari
data SNPK.
Menelisik lebih jauh jumlah insiden
kekerasan di Kota Jayapura, periode ini sebagian
besar didominasi konflik kekerasan (12%) dengan
jumlah insiden 93 yang mengakibatkan 12 korban
tewas, 89 korban cedera dan 13 bangunan rusak;
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 8 mengakibatkan 11 korban tewas, 441 cedera, 50
korban perkosaan dan 32 bangunan rusak; KDRT
(11%) dengan jumlah insiden yang terjadi dalam kasus
KDRT berjumlah 86 kasus dan mengakibatkan 3
orang tewas, 80 orang cedera dan 2 korban kekerasan
seksual (Lihat Tabel 1).
Tabel 1.
Jumlah Insiden Konflik kekerasan di Kota Jayapura Serta Dampaknya pada Periode Januari – Desember 2014
Jenis Kekerasan
Jumlah
Insiden Tewas Cedera
Kekerasan
Seksual Bangunan Rusak
Sumber Daya 7 2 2 0 2
Tata Kelola
Pemerintahan 7 0 2 0 3
Pemilihan dan Jabatan 12 0 5 0 4
Identitas 3 0 3 0 0
Main Hakim Sendiri 46 6 58 0 1
Separatisme 6 4 3 0 3
Konflik Lain 12 0 16 0 0
Jumlah Konflik 93 12 89 0 13
Penegakan Hukum 5 0 7 0 0
Kriminalitas 599 11 441 50 32
KDRT 86 3 80 2 0
Total 783 26 617 52 45
Sementara, dari klasifikasi kekerasan di Kota Jayapura, angka kriminalitas yang tertinggi dan juga KDRT
yang cukup sering terjadi (Lihat Gambar 1)
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 9
Gambar 1
Berdasarkan tabel dan gambar di atas,
terdapat beberapa insiden konflik dan kekerasan yang
perlu diperhatikan pada periode ini, yaitu kekerasan
terkait dengan konflik main hakim sendiri, konflik
separatisme dan juga konflik terkait tata kelola
pemerintahan, dan KDRT.
Lebih jauh, insiden kekerasan yang sangat
penting pada periode ini adalah cukup tingginya tingkat
kriminalitas, yang mengambil bentuk penganiayaan
dan pencurian di wilayah tertentu di kota Jayapura.
Namun, untuk wilayah perkotaan di tanah air, kota
Manado adalahsalah satu yang tertinggi dalam insiden
kriminaitas, yaitu sebanyak 816 insiden yang
menyebabkan 22 orang tewas, 622 terluka dan 35
bangunan rusak (IIK, The Habibie Center 2015).
Pola dan Tren Kekerasan
Pada periode ini, angka kekerasan terlihat
cukup tinggi pada Januari 2014. Pada bulan tersebut,
sebagian besar merupakan insiden kriminalitas
khususnya tindak penganiyaan. Jika dibandingkan
dengan periode Januari-Desember 2013, tren kekerasan
pada periode ini cenderung meningkat baik dari segi
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 10
Gambar 2
Sementara itu, jika dibandingkan angka
kekerasan antara tahun 2013 dan 2014, maka angka
kekerasan di tahun 2014 mengalami sedikit
penurunan dari 800 insiden kekerasan menjkadi 183
insiden kekerasan. Namun, korban jiwa sebagai
dampak kekerasan di tahun 2014 sedikit lebih tinggi,
dan orang cedera dan bangunan rusak lebih sedikit
dibandingkan setahun sebelumnya (Lihat Gambar 3).
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 11 Data SNPK mencatat tren konflik sejak 1998
hingga tahun 2014, terlihat pada tahun 2011 angka
konflik di Jayapura sangat tinggi dibandingkan tahun
lainnya yaitu mencapai 79 insiden dengan 14 korban
tewas, 94 korban cedera dan mengakibatkan 10
bangunan rusak. (Lihat gambar 4)
Gambar 4
Tampaknya, ada pola yang ajeg yaitu di Jayapura angka kekerasan cenderung lebih tinggi
pada bulan Januari dibandingkan bulan-bulan lainnya.
Boleh jadi hal ini terkait perayaan tahun baru, yang
selalu dirayakan secara berlebihan, terutama
mabuk-mabukan, sehingga pelakunya tidak segan melakukan
penganiayaan. Degan budaya mabuk di kalangan
pemuda terutama yang tidak bekerja (jobless) akan semakin mudah tersulut emosinya untuk melakukan
kejahatan agar bisa memenuhi hasrat menenggak
miras. Hal Ini mesti jadi perhatian pihak yang
berwenang.
Sedangkan jika kita melihat lebih jauh lagi,
berdasarkan data SNPK, mengenai sebaran wilayah
konflik di Kota Jayapura, Abepura menjadi salah satu
distrik dikota Jayapura yang dapat dikatakan rawan
terjadi konflik. Jadi, adalah tidak bisa digeneralisasi
semua wilayah distrik di kota Jayapura rawan
kekerasan. Pada laporan Ringkasan Kebijakan
Pertama tentang “kriminalitas”, beberapa faktor
kerawanan di Abepura adalah tingginya jumlah
pemabuk, dan juga kepadatan penduduk dan angka
pengangguran yang tinggi terkait marjinalisasi
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 12 Tabel 2 Sebaran Wilayah Konflik di Kota Jayapura Januari-Desember 2014
Kecamatan
Jumlah
Insiden Tewas Cedera
Kekerasan
Seksual
Bangunan
Rusak
ABEPURA 25 7 22 0 3
HERAM 4 0 4 0 0
JAYAPURA
SELATAN 10 1 11 0 0
JAYAPURA
UTARA 8 0 6 0 1
Grand
Total 47 8 43 0 4
Secara keseluruhan, dengan peta kekerasan
yang demikian terurai di atas, maka pihak yang
berwenang bisa melakukan langkah-langkah
preventif ketimbang langkah-langkah penindakan.
MENELISIK KOMPLEKSITAS KONFLIK IDENTITAS
Secara umum, di Indonesia untuk tahun 2014
konflik identitas tertinggi terjadi di kota Makassar.
Telah terjadi sebanyak 74 insiden konflik identitas
yang mengakibatkan 7 orang luka dan 18 bangunan
rusak (IIK The Habibie Center 2015).
Berapa angka konflik identitas di kota
Jayapura? Berdasarkan data SNPK, konflik Identitas
pada periode ini tercatat hanya 3 insiden yang
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 13 Gambar 6
Berikut ini akan ditampilkan insiden-insiden
konflik identitas dikota Jayapura, berdasarkan data
yang diambil dari SNPK. Pertama, insiden yang terjadi di ruang Konferensi Pers Stadion Mandala di Jalan
Dok V Kel. Mandala, Kec. Jayapura Utara, Kota
Jayapura, Papua. Terjadi perkelahian antara JA
(pelatih Persipura) dengan GR (Kapten Tim
Persebaya) dimana JA didorong oleh GR hingga
membentur kaca pintu ruang konferensi. Akibatnya
korban terluka dan kaca pintu tersebut pecah.
Beruntung Pelatih Persebaya yaitu RD berhasil
melerai perkelahian tersebut. Kejadian itu terjadi
karena terkait dengan pertandingan sepakbola
sebelumnya dimana Tim Persipura memenangkan
pertandingan melawan Tim Persebaya sehingga GR
masih tidak terima sehingga terjadi aksi tersebut
(Cendrawasih Pos, 15/04/2014).
Kedua, insiden lainnya, Di Sekitaran Terminal Expo Waena, Kel. Waena, Kec. Heram, Kota Jayapura,
Papua. Terjadi bentrokan antara 25 orang kelompok
masyarakat Timor dengan 200 orang masyarakat
Makassar. Peristiwa tersebut terjadi karena adanya
perkelahian antara dua supir taksi yang berasal dari
dua kelompok masyarakat tersebut. Keduanya
bentrok dengan menggunakan parang dan kayu balok
hingga mengakibatkan 5 orang terluka yaitu 4 warga
Makassar dan 1 warga Timor. Polisi yang datang ke
tempat kejadian berhasil melerai peristiwa tersebut.
(Cendrawasih Pos, 03/04/2014)
Ketiga, insiden lain yang terjadi di Stadion
Sepak Bola Mandala di Kel. Mandala, Kec. Jayapura
Utara, Kota Jayapura, Papua, terjadi aksi perkelahian
ditengah pertandingan sepak bola. RB pemain
Persipura terlibat perkelahian dengan DN pemain
Arema. DN yang tidak terima akan ulah RB yang
mengganjalnya dengan cukup keras emosi, dan
memukul RB hingga keduanya terlibat perkelahian
namun tidak jelas dampak yang ditimbulkan dari aksi
tersebut. Beruntung aksi perkelahian berhasil dilerai
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 14 Persipura juga melakukan penganiayaan dengan cara
mencekik kiper Arema yaitu KM diduga tidak terluka
[Cendrawasih Pos, 21/10/2014]
Sementara itu, terkait konflik sumber daya
tercatat 7 insiden dengan 2 korban tewas, 2 korban
cedera dan 2 bangunan mengalami kerusakan.
Insiden yang terjadi pada konflik sumber daya terjadi
di Sekitaran Pasar Youtefa, Kec. Abepura, Kota
Jayapura, Papua. Terjadi penganiayaan yang
dilakukan oleh HE warga Sentani kepada IS
(kordinator penjaga pasar Youtefa). Kejadian ini
diduga masih terkait pengeroyokan dalam penertiban
lokasi judi di pasar Youtefa, dimana pelaku tidak
terima dengan ucapan korban yang menuduhnya
telah mendanai warga yang berjudi di kawasan itu
sehingga pelaku emosi lalu langsung menusuk korban
dengan menggunakan pisau hingga korban tewas
(Cendarwasih Pos, 03/07/2014)
Insiden lainnya terjadi di Terminal Pasar
Youtefa, Tanah Hitam, Kec. Abepura, Kota Jayapura,
Papua. Terjadi pengeroyokan yang dilakukan oleh 9
orang warga Pasar Youtefa kepada Brigpol SA dan
Brigpol AS (polisi). Kedua korban yang berusaha
membubarkan adanya perjudian dilokasi kejadian
namun malah dipukuli dan ditikam dengan
menggunakan pisau hingga mengakibatkan Brigpol
AS meninggal dan Brigpol SA terluka (Cendrawasih
Pos, 02/07/2014).
Terkait dengan data SNPK tentang konflik
identitas di Papua, satu catatan untuk tim penginput
data SNPK ke depan di Papua, bahwa setelah tim
SNPK bekerja dengan mencermati lebih jauh
data-data SNPK, tampaknya beberapa kasus di kluster
konflik main hakim sendiri dan konflik sumber daya
juga beririsan dengan konflik identitas, atau mungkin
lebih tepat dimasukkan di kluster konflik identitas. Di
sini dituntut kejelian tim penginput data untuk
menginput data secara lebih akurat.
Secara keseluruhan, walaupun konflik identitas
dan sumber daya di kota Jayapura memiliki angka
yang terbilang rendah namun tidak berarti bahwa
konflik tersebut tidak berpengaruh terhadap
ketertiban kehidupan masyarakat.
BAGAIMANA MEMAHAMI KONFLIK IDENTITAS DI KOTA JAYAPURA?
Bagian berikut akan menyajikan secara
singkat sebuah kerangka konseptual untuk
memahami konflik identitas. Selanjutnya, ia akan
membahas apakah sedikitnya insiden konflik
identitas memaklumatkan bahwa kota Jayapura
merupakan percontohan bagi kerukunan umat
beragam agama dan etnik bila dibandingkan
beberapa kota lain di tanah air yang pernah
bermasalah dengan konflik identitas, seperti di
Ambon, Poso, Sambas dan Sampit, untuk menyebut
beberapa konflik yang menonjol. Selain itu, di sini
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 15 pemersatu etnik agama yang berbeda. Kesimpulan
tentatif yang diambil adalah meskipun kota Jayapura
cukup aman dari konflik identitas, terdapat beberapa
faktor penyebab yang disorot oleh sejumlah informan
yang berdomisili di kota Jayapura dan paham dengan
dinamika sosial politik ekonomi yang terjadi kota
yang baru merayakan HUT ke 105 tanggal 7 Maret
yang lalu.
Sebuah Kerangka Konseptual tentang Konflik Identitas
Konflik adalah sesuatu yang alami dan
merupakan karakter manusia (human nature). Fisher (2000, h. 4) merumuskan konflik sebagai, “sebuah
hubungan antara dua atau tiga partai (individu atau
kelompok) yang memiliki tujuan-tujuan yang tidak
sesuai (bertolak belakang)”. Lebih jauh, konflik terbit
karena tidak adanya keseimbangan relasi kekuasaan,
ekonomi dan sosial seperti status ketidak adilan
sosial, kekayaan yang tidak adil dan akses kepada
sumber daya. Selanjutnya, ini kerap menyebabkan
problema bermunculan seperti diskriminasi,
pengangguran, kemiskinan, opresi dan kejahatan.
Sumber konflik beragam. Namun,
berdasarkan sebab-sebab yang paling banyak
berlaku, Rupshinge (2000, h. 34-37 ) telah membuat
tipologi konflik sebagai berikut:
Pertama, konflik berbasis sumber daya alam berdasarkan kompetisi untuk kekuasaan eknomi dan
akses terhadap sumber daya alam.
Kedua, konflik memperebutkan pemerintahan dan otoritas berdasarkan kompetisi kekuasaan politik
dan partisipasi dalam proses politik.
Ketiga, konflik berdasarkan pada kompetisi antara rival ideologi dan sistem nilai.
Keempat, konflik berdasarkan pada kompetisi antara identitas etnik, agama dan komunal lainnya
yang berlawanan untuk akses kekuasaan ekonomi
dan keadilan sosial.
Dalam banyak kasus penyebab-penyebabnya
saling berkaitan dan menjadi akar masalah satu sama
lain. Dari keempat tipologi konflik tersebut, krisis
identitas tampaknya mendominasi yang lain, dan juga
lebih kental dengan konflik etnik di pelbagai belahan
dunia. Namun, tampaknya yang banyak terjadi sejak
tahun 1990-an adalah konflik etnik. Krisis identitas
adalah puncak dari hasil deprivasi relatif, rakyat yang
anti kepada pemerintahan otoriter, hubungan
sismetrik dengan negara dan aktor-aktor dominan
yang lain.
Kesadaran identitas adalah manifestasi
‘etnisitas’ dan memiliki lima komponen: 1). Sebuah
keyakinan subjektif pada peristiwa nyata atau
pelbagai anteseden sejarah yang diasumsikan; 2).
Pusat geografi nyata atau simbolik; 3). Pertukaran
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 16 dan diet; 4). Kewaspadaan diri yang sudah diterima
tentang kekhususan dan kepemilikan pada
kelompok; dan 5) pengakuan oleh kelompok berbeda
(Phadnis, 1990, h. 14). Segala ancaman terhadap inti
sensi identitas ini dan pengabaian akan hak-hak ini
akan membuka jalan pada lahirnya konflik identitas.
Di kota-kota yang plural seperti Jayapura yang
menjadi lokus pembahasan, persoalan krisis identitas
adalah wajar terjadi di tengah perubahan sosial dan
persaingan ekonomi, politik dan budaya yang tinggi.
Pada titik kulminasi tertentu, ketika perekat sosial
telah terkikis habis, maka konflik identitas, ibarat
“api” bisa melahap “jerami” sosial dengan cepat dan
liar.
Jayapura sebagai Kota Percontohan Toleransi Agama dan Etnik di Indonesia?
Pada pertemuan dengan pengurus Forum
Kekrukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surabaya
yang dihelat di Ruang Rapat Walikota tanggal 18 April
2015, Walikota Jayapura, Benhur Tommy Mano,
mengatakan bahwa Jayapura bisa dikembangkan
sebagai model percontohan kota toleransi beragama
dan etnik. Alasan yang dikemukakan di antaranya
adalah toleransi yang tinggi antara umat beragama,
yang ditandai misalnya dengan adanya masjid dan
gereja yang berhadap-hadapan dan tidak ada
masalah, dan juga keterlibatan pemuda lintas agama
menjaga rumah ibadah ketika terjadi perayaan natal
dan idul fitri. Juga, peran dari FKUB Kota Jayapura
yang secara relatif berhasil berperan menjaga
kerukunan.
Dalam perbincangan terbatas dengan Neles
Tebay, dan juga dalam beberapa kesempatan, aktivis
perdamaian Jaringan Damai Papua (JDP) tersebut
kerap mengungkapkan bahwa “tidak ada konflik
agama di Papua, karena sejak dini anak kecil Papua
telah diajar untuk memnghormati rumah ibadah”.
Untuk beberapa derajat pernyataan tersebut
memperoleh pembuktiannya bahwa sejauh ini tidak
pernah ada konflik agama di kota Jayapura.
Meskipun, kita mesti mewaspadai perubahan sosial
dan globalisasi telah mengubah cara pandang dunia
masyarakat di kota Jayapura, dan juga cara mendidik
anak.
Senada dengan pernyataan walikota dan
aktivis JDP di atas, Ridwan al-Makassary menyatakan
bahwa kota Jayapura beruntung memiliki beberapa
faktor-faktor positif yang berfungsi menjaga
kohesivitas sosial dan mencegah konflik identitas di
kota Jayapura (al-Makassary, 7-8 Maret 2015).
Pertama, perayaan hari besar keagamaan
seperti “natal” berfungsi sebagai “semen sosial”
(social cement) bagi masyarakat luas. Kedua, perayaan hari perdamaian internasional, 21 September, yang
diperingati setiap tahun juga menyadarkan
masyarakat pentingnya hidup damai secara bersama.
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 17 untuk saling membantu. Tapi tidak berarti kita
berharap selalu ada bencana untuk kita menyatu,
laksana Aceh yang menyatu setelah Tsunami tahun
2004. Keempat, tim Persipura adalah fakor pemersatu warga Papua dan non Papua. Ini tim juara perlu dijaga
terus. Singkatnya, perdamaian melalui olahraga.
Terakhir, visi Papua Tanah Damai yang selalu dihidupkan pada 5 Februari sebagai hari pekabaran
injil atau hari Papua Tanah Damai adalah perekat
sosial untuk hidup damai di antara semua penganut
iman dan etnik/sub etnik yang puspa ragam.
Dengan stock perekat sosial yang ada, tidak berarti bahwa tidak ada ancaman sama sekali akan
hadirnya konflik identitas di kota Jayapura. Bagian
selanjutnya, akan membahas berbagai root causes
potensi konflik identitas yang mesti disikapi secara
bijaksana.
Pelbagai Faktor Penyebab Potensi Konflik Identitas: Pandangan Insider
1. Ekonomi
Kota Jayapura merupakan ibukota Provinsi
Papua yang menjadi barometer pembangunan.
Secara khusus, Kota Jayapura mengalami geliat
ekonomi yang cukup pesat sejak pemberlakuan
otonomi khusus di Papua tahun 2001. Pada saat yang
sama, otonomi khusus dan perkembangan yang
dibawanya telah dan sedang mengakibatkan
permasalahan di Kota Jayapura, yang merupakan
salah satu dampak dari aspek pembangunan.
Ekonomi di Kota Jayapura yang mengalami
pertumbuhan cukup pesat telah dan sedang
menciptakan persaingan yang tinggi mendapatkan
sumber-sumber ekonomi yang ada. Pihak-pihak
tertentu akan menguasai sebagian sumber-sumber
dalam sektor ekonomi tersebut, sedangkan pihak lain
yang tidak mampu bersaing biasanya akan tersingkir
dengan sendirinya. Itulah yang dipotret sebagai salah
satu tipologi konflik yang disebutkan Rupshinge di
kerangka konseptual di atas.
Secara umum pola persaingan dalam konteks
Papua dan secara khusus di Kota Jayapura adalah
persaingan antara masyarakat asli Papua (Indegenous people) dan masyarakat pendatang yang mencari kehidupan yang lebih layak di Kota Jayapura.
Ekonomi merupakan salah satu pemicu konflik
bernuansa identitas di Kota Jayapura. Hal tersebut
ditegaskan oleh Wakil Walikota Jayapura, Nur Alam
bahwa,
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 18 untungnya luar biasa, penjual bakso, penjual apa saja
dikota Jayapura bisa mendapat untung yang besar, sehingga dampak sosialnya ada, saudara-saudara kita sebagai orang asli, melihat bahwa orang-orang Port Numbay sudah mulai tergeser, tanah-tanah dikota sudah dibeli oleh orang-orang yang punya uang, orang Port Numbay ( orang asli) sudah hal tersebut dapat dari sisi ekonomi cukup baik namun
dampaknya tidak baik “. (Wawancara, 10 Januari 2015)
Senada dengan pernyataan Wakil Walikota, hal
tersebut juga diakui oleh pimpinan wilayah NU
Provinsi Papua, Toni Wanggai, bahwa ekonomi
merupakan salah satu pemicu konflik dan kekerasan
di Kota Jayapura. (Wawancara Ketua NU Kota
Jayapura, 16 Februari 2015).
Pernyataan serupa juga dikatakan oleh Betty
Puy, selaku Kepala Pemerdayaan Perempuan dan
Anak Kota Jayapura, bahwa
“Kota Jayapura menjadi Pusat Pertumbuhan dari Provinsi Papua dalam berbagai hal, Arus Globalisasi yang terjadi dikota jayapura sehingga dampak baik dan buruk juga ada. Kota ini menjadi Pusat Belajar dan Pusat Perdagangan (Modal Kota Jayapura Perdagangan dan Jasa) sehingga orang bilang datang kesini lebih cepat dapat uang ketimbang didaerah lain diprovinsi papua. Dengan heterogennya penduduk yang ada akan menjadi konflik. Sehingga persaingan dari sisi ekonomi untuk hidup matinya manusia-manusia yang ada dikota ini” (Wawancara, 31 Maret 2015 ).
Aspek ekonomi yang menjadi pemicu konflik
dikota Jayapura juga di akui oleh Kepala Kesbang Pol
& Linmas Kota Jayapura, Evert Merauje, bahwa
“masalah kepentingan atau faktor ekonomi, ketika
merasa terganggu kehidupannya akan terjadi konflik,
seperti yang terjadi di pasar” (wawancara, 22 April
2015).
Dari sejumlah wawancara terlihat jelas aspek
ekonomi merupakan salah satu aspek penyebab
konflik di Kota Jayapura. Dengan kata lain, persoalan
ekonomi sebagai penyebab konflik antar etnik atau
konflik identitas sesuatu yang tak terbantahkan,
meskipun tentu tidak semua konflik antar
etnik/konflik identitas ditimbulkan karena persoalan
ekonomi saja.
Ketersediaan sumber daya ekonomi di suatu
daerah merupakan suatu indikator penting bagi
kemungkinan konflik terjadi. Semakin mudah sumber
daya itu didapatkan oleh setiap orang, maka
kemungkinan konflik juga semakin rendah.
Sebaliknya semakin langka sumber daya yang
tersedia sehingga terjadi kompetisi yang sengit untuk
mendapatkan sumber daya maka kemungkinan
terjadinya konflik semakin besar.
Persoalan ekonomi juga menyangkut distribusi
sumber daya. Ketidakjelasan aturan dalam kompetisi
memperebutkan sumber daya merupakan sumber
konflik yang potensial. Dalam hal ini ketidakjelasan
aturan bisa dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya
ketidakadilan. Adanya kesenjangan sosial sebagai
akibat adanya kesenjangan ekonomi yang lebar
merupakan cerminan dari adanya ketidakadilan
dalam distribusi sumber daya. Bila terjadi
kesenjangan yang besar antar berbagai kelompok
etnik maka kemungkinan terjadinya konflik juga
semakin besar, karena perasaan ketidakadilan akan
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 19 nampak dalam kerangka konseptual yang disebutkan
di atas.
Terkait dalam aspek ekonomi terkadang muncul
juga permasalahan yang terjadi dipasar dimana pasar
dalam hal ini merupakan tempat aktivitas perputaran
roda perekonomian, tidak bisa dipungkiri bahwa
aktivitas perekonomian dapat mengakibatkan
gesekan-gesekan yang mampu menciptakan suatu
konflik. Seperti salah satu insiden di atas yang terjadi
di Pasar Youtefa, sebagaimana telah disebutkan di
atas.
2. Kecemburuan Sosial
Dalam kehidupan sosial terkadang muncul
kecemburuan-kecemburuan sosial yang dapat
mengakibatkan timbulnya koflik. Hal tersebut diakui
oleh Toni Wanggai, yang mengatakan bahwa “faktor
kecemburuan sosial dimana masyarakat pendatang
dari sisi ekonomi lebih mapan sehingga menimbulkan
kecemburuan itu muncul dan menyebabkan
terjadinya konflik/kekerasan” (Wawancara, 16
Februari 2015).
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa,
“Akan tetapi ini (konflik) bisa muncul disebabkan misalnya para pendatang mendominasi tanah-tanah ulayat mereka, kemudian dari status sosial orang pendatang yang lebih tinggi serta faktor ekonomi yang lebih tinggi, atau bahkan hal ini yang kadang mengalami kecemburuan sosial karena kurang tolerannya orang pendatang terhadap kearifan lokal di papua atau jayapura atau kurang menghargai tradisi budaya orang papua. Hal ini yang sewaktu-waktu apabila tidak dimanage dengan baik atau tidak dipahami oleh orang-orang pendatang dapat menjadi
konflik identitas kedepan”.
Hal yang hampir serupa juga dikatakan oleh
Anum Siregar, selaku pimpinan Aliansi Demokrasi
Papua (ALDP), bahwa
“Sejak awal titik star orang papua dengan non papua itu berbeda, ketika orang datang dengan kemampuan yang lebih kemudian orang papua dengan kemampuan yang masih kurang itu akan menjadi pemicu kecemburuan sosial meskipun orang itu ramah. Kalau berbicara mengenai ekonomi tidak ada hubungan ramah atau tidak ramah, kalau misalnya orang papua tidak mau menciptakan daya saingnya, hal ini dapat memicu kecemburuan. Ditambah dengan kebijakan-kebijakan yang sentral sehingga membuat orang papua sendiri tidak mampu bersaing. Kesiapan diri orang papua yang kurang baik
dari pengetahuan dan keterampilan”. ( Wawancara,
20 Januari 2015 )
Seperti telah disinggung di atas bahwa salah
satu hal yang dapat menimbulkan kecemburuan
sosial adalah karena adanya keterbatasan kualitas
sumber daya manusia (sdm) yang dimiliki khususnya
masyarakat asli dI Kota Jayapura yang terkadang
memiliki pendidikan yang kurang, sehingga bisa
dikatakan tidak mampu bersaing dengan masyarakat
pendatang sehingga muncul kecemburuan sosial
yang mampu menjadi salah satu pemicu konflik.
Terkait hal tersebut Bertus Tambaib, seorang
akademisi, mengatakan “kesiapaan SDM,
saudara-saudara kita tidak mampu bersaing karena SDM
kurang” karena faktor SDM yang rendah tersebut
seingga berakibat pada tidak mampu bersaing dalam
persaingan ekonomi sehingga muncul kecemburuan
sosial yang dapat mengakibatkan konflik
(Wawancara, 4 Januari 2015 )
Senda dengan pernyataan di atas, Kepala
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 20 Margono, menyatakan pengetahuan yang minim dan
kurangnya ketrampilan dari masyarakat asli,
terkadang menimbulkan kecemburuan terhadap
masyarakat non papua yang datang ke Jayapura
dengan ketrampilan dan pengetahuan yang baik
(Wawancara, 23 April 2015)
Dalam realitas, kita menjumpai ada
kelompok-kelompok yang termarginalkan seperti mama-mama
Papua yang berusaha untuk bersaing dimana mereka
berjuang untuk mempertahankan hidup (survive). Dengan demikian, kecemburuan sosial
merupakan salah satu aspek pemicu konflik yang
tidak bisa dipungkiri dalam kehidupan bermasyarakat
didaerah manapun, termasuk di kota Jayapura.
Pandangan tersebut didukung berdasarkan
wawancara yang telah dilakukan, di mana beberapa
narasumber menyatakan bahwa salah satu pemicu
konflik dikota Jayapura adalah faktor kecemburuan
sosial yang diakibatkan karena kurangnya SDM dari
masyarakat asli, sehingga muncul rasa cemburu
terhadap masyarakat pendatang yang memiliki SDM
lebih dan mampu bersaing dalam perkembangannya.
3. Sosial Budaya
sama, Kepala Kesbang Pol dan Linmas Kota Jayapura,
Evert Merauje, menyatakan bahwa terjadi degradasi
budaya yang dapatkan menimbulkan terjadinya krisis
identitas. Ia menuturkan bahwa
“ terjadi distorsi atau degradasi budaya, terjadi
pertukaran nilai yang menyebabkan orang Papua berubah, dimana dulu masyarakat asli hanya mendapatkan semua yang telah disediakan oleh alam namun sekarang hal tersebut berubah, sehingga menyebabkan masyarakat asli mulai berjuang untuk mempertahankan apa yang ia miliki, degradasi yang menyebabkab masyrakat asli berubah (degradasi
budaya ) yang dapat menyebabkan krisis identitas.”
Di sini, poin pentingnya adalah dalam konteks
Jayapura masyarakat Port Numbay bisa dikatakan
telah dan mengalami degradasi budaya dan mulai
mengarah pada krisis identitas yang juga dapatkan
menimbulkan konflik, sebagaimana yang telah
terungkap di landasan konseptual di atas, yaitu
masalah krisis identitas adalah satu pendorong
konflik identitas.
Berdasarkan wawancara di atas, bahwa budaya
sangat berpengaruh terhadap keberlanngsungan
hidup masyarakat; budaya sangat menentukan cara
orang berpikir dan bertindak. Masyarakat di manapun
mesti menghormati budayanya sendiri dan sering
mempertahankannya dalam menghadapi
pengaruh-pengaruh dari luar. Budaya yang dimaksud adalah
suatu kebiasaan dan nilai-nilai tertentu yang diakui
secara umum oleh suatu masyarakat yang tinggal di
suatu tempat tertentu. Budaya itu sendiri merupakan
produk kolektif yang menghasilkan suatu ukuran dan
rangkaian tindakan yang dipakai sebagai acuan untuk
menilai tindakan orang lain. Budaya ini sering muncul
sebagai faktor yang berpengaruh terhadap konflik.
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 21 menjabarkan secara luas relasi antara konflik dan
budaya.
Secara keseluruhan, aspek budaya menjadi salah
satu faktor yang harus diperhatikan. Mengingat
bahwa Provinsi Papua, secara khusus di Kota
Jayapura, memiliki keragaman suku, bahasa serta
adat istiadat yang datang dari seluruh penjuru
Indonesia. Singkatnya, kota Jayapura memiliki
masyarakat yang heterogen. Untuk beberapa derajat
heterogenitas tersebut dapat memicu terjadi konflik
akibat perbedaan budaya, perbedayaan karakter
sikap dan perilaku terkadang menjadi salah satu isu
primordial yang kadang memunculkan pertentangan,
terutama antar para penduduk asli dengan penduduk
pendatang, maupun penduduk asli dengan penduduk
asli dan sebaliknya penduduk pendatang dengan
penduduk pendatang.
Rekomendasi
Untuk merespons konflik identitas di kota Jayapura, kami mengajukan beberapa rekomendasi yang perlu
dipertimbangkan oleh berbagai pihak terkait untuk ditindaklanjuti.
Pemerintah Kota
1. Perlu adanya pemberdayaan terhadap masyarakat lokal yang tersisih dari persaingan dengan diadakan pelatihan ketrampilan dan juga pemberian bantuan modal usaha agar dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat tersebut.
2. Perlu adanya kebijakan pemerintah kota Jayapura, untuk melindungi masyarakat asli (budaya, tanah dan
lainnya yang terkait dengan masyarakat asli).
3. Penanaman nilai-nilai kebangsaan, toleransi dan semangat perdamaian oleh Kesbang Pol dan Linmas kota
Jayapura terutama di kalangan pemuda lintas etnik dan agama.
Aparat Keamanan
1. Pihak Aparat keamanan dituntut lebih proaktif dalam aspek pengamanan diwilayah-wilayah tertentu yang
selama ini kerap menjadi lokasi yang rawan terjadi konflik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan penambahan
personil kepolisian dalam penjagaan dan juga patroli perlu ditingkatkan ditempat-tempat yang dianggap rawan
terjadi tindak konflik.
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 22 Tokoh Agama
1. Adanya pembinaan yang kontinyu terhadap jemaat dengan pandangan-pandangan yang lebih terbuka dan
membangun toleransi antar umat beragama.
2. Perlunya kerjasama ormas keagamaan dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan.
3. Perlunya dialog antara iman yang kontinyu di segala level.
Tokoh Adat
1. Adanya penanaman rasa persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa dan tanah air dalam tiap-tiap Paguyuban yang ada.
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 24
Referensi
Buku-Buku
Fisher, Simon, ‘Understanding Conflict: Toward a Conceptual Framework’, Working with Conflict: Skills and Strategies for Action, 2000, London: Zed Books.
Rupshinger, Kumar, Civil Wars, Civil Peace, 2000, London: Pluto Press.
Phadnis, Urmila, Ethnicity and nation Building in South Asia, 1990, New Delhi, sage Publication. Surat Kabar & Artikel
Cendrawasih Pos, 19/1/2014
Cendarawasih Pos, 18/2/2014
Cendrawasih Pos, 06/04/2014
Cendrawasih Pos, 15/04/2014
Cendarawasiih Pos, 20/04/2014
Cendrawasih Pos, 02/07/2014
Cendrawasih Pos, 03/07/2014
Cendrawasih Pos, 28/07/2014
Cendrawasih Pos, 7/9/2014
Cendrawasih Pos, 17/10/2014
Cendarwasih Pos, 15/10/2014
Cendrawasih Pos, 5/11/2014
Cenderwasih Pos, 7 dan 8/ 3/2015 (opini Ridwan al-Makassary)
Data Polres Jayapura Tahun 2014
Wawancara
Wawancara, Akademisi Universitas Cendrawasih, Bertus Tambaib, 9 Januari 2015
Wawancara, Tokoh Agama, Pdt Steward Tatontos, 10 Januari 2015
Wawancara, Wakil Walikota Kota Jayapura, Nur Alam, 19 Januari 2015
Wawancara pimpinan Aliansi Demokrasi Papua (ALDP), Anum Siregar, 27 Januari 2015
Wawancara, Pimpinan Wilayah NU Provinsi Papua, Toni Wanggai, 16 Februari 2015
Kepala Pemberdayaan Perempuan & Anak Kota Jayapura, Betty Puy 31 Maret 2015
Wawancara Kepala Kesbang Pol dan Linmas Kota Jayapura, Evert Merauje, 22 April 2015
Wawancara Kepala Kementrian Agama Kota Jayapura, Syamsudin, 22 April 2015
Wawancara Kabid HAM Kementerian Hukum dan HAM Kota Jayapura, La Margono.
The Habibie Center
KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN 25
Indonesia, didirikan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie dan keluarga sebagai organisasi yang independen, non-pemerintah dan nirlaba. THC didirikan d e n g a n v i s i u n t u k m e m p r o m o s i k a n modernisasi dan demokratisasi masyarakat Indonesia yang didasarkan pada moralitas dan integritas nilai-nilai budaya dan agama.
Misi THC adalah: Pertama, untuk membangun masyarakat yang demokratis secara struktural dan kultural yang mengakui, menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia, serta untuk m e m p e l a j a r i d a n m e n g u s u n g i s u - i s u d a l a m p e n g e m b a n g a n demokrasi dan hak asasi manusia. Kedua, untuk mempromosikan dan memajukan pengelolaan sumber daya manusia yang efektif dan sosialisasi teknologi
Profil PaPeDA Institute
P a p u a Pe a c e a n d D e v e l o p m e n t A c t i o n (PaPeDA) Institute adalah salah satu anggota civil society organization (CSO) di Jayapura, Papua, yang dibentuk pada 17 Agustus 2010. Kelahirannya dibidani oleh beberapa akademisi dan praktisi yang berwawasan moderat, pluralis dan inklusif.
Raison d’être dari organisasi ini adalah untuk menyahuti dan mengatasi problema
eksklusifisme keagamaan, diskriminasi berbasis etnik dan agama, ketidakadilan sosial,
ekonomi dan budaya serta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Secara khusus, ia juga concerns pada persoalan lingkungan serta isu-isu tata kelola dan kelembagaan yang bersih dan baik (good
governance). Singkatnya, organisasi ini digerakkan oleh mimpi besar untuk membangun sebuah peradaban baru,
yaitu untuk terwujudnya Papua Tanah Damai.
Untuk mewujudkan idealita Papua Tanah Damai, organisasi ini mendedikasikan diri pada kegiatan riset, training, advokasi, jejaring serta pertunjukan seni dan budaya terutama di bidang pembangunan perdamaian
(peacebuilding) dan kegiatan-kegiatan pembangunan (development actions) yang nyata di Papua.
Pemerintah Kota Jayapura
Kota Jayapura adalah ibukota provinsi Papua, Indonesia. Kota ini merupakan ibukota provinsi yang terletak paling timur di Indonesia. Kota yang indah ini terletak di teluk Jayapura.
Sebelum Perang Dunia II Kota Jayapura diduduki oleh Pemerintah Belanda dengan sebutan Hollandia. Tepat 17 Maret 1910 Hollandia ditetapkan menjadi ibukota Nederland Nieuw Guinea. Setelah intergrasi dengan Indonesia, Hollandda diubah namanya menjadi Kota Baru, kemudian Soekaroputra dan terakhir dinamakan jayapura sampai sekarang.