• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Kelayakan Embung dan Irigasi Tetes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Studi Kelayakan Embung dan Irigasi Tetes"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

SEMINAR NASIONAL

TANAH UNTUK KEDAULATAN PANGAN, AIR, ENERGI,

DAN LINGKUNGAN 2015

Studi Kelayakan Embung dan Irigasi Tetes sebagai Alternatif

Upaya Peningkatan Produksi Jagung di Lahan Kering Pulau

Alor

Moh. Zulfajrin dan Syah Deva Ammurabi

Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan; Fakultas Pertanian; Institut Pertanian Bogor, Jl. Meranti No.1; Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680

Efisiensi penggunaan air sebagai elemen konservasi sumber daya berhadapan dengan masalah kesesuaian teknologi, kelayakan ekonomi dan penerimaan sosial. Hal tersebut adalah prioritas utama bagi pertanian di kawasan lahan kering. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan alternatif pengelolaan lahan kering untuk budidaya jagung berdasarkan prinsip konservasi air melalui analisis volume embung, kebutuhan air tanaman, dan neraca air lahan pada empat kelompok hidrologi tanah. Rata-rata curah hujan tahunan Pulau Alor antara tahun 2005 sampai 2011 sebesar 1.202,2 mm per tahun yang sebagian besar turun pada bulan-bulan basah dan lembab. Kemudian. air hujan ditampung dalam embung permanen. Pemanenan air melalui embung bergantung dari keadaan tanah dan kondisi hidrologi setempat. Pada makalah ini, luas permukaan embung diasumsikan seluas 25 m2 dengan daerah tangkapan sebesar 1 hektar. Volume tampungan embung terbesar dicapai pada bulan Januari oleh tanah kelompok hidrologi D (594.09 – 889.66 m3) dan terendah dicapai oleh embung kelompok hidrologi A (45.94 – 379.13 m3). Selain itu,

diterapkan pula sistem irigasi tetes yang mengalirkan air dari embung menuju lahan pertanaman jagung. Pergerakan air didasarkan pada pemanfaatan gradien potensial air dan matriks tanah melalui penggunaan spons pada ujung pipa emitter. Aplikasi embung menyebabkan neraca air lahan mengalami surplus secara tahunan, kecuali pada periode tanam Juni-Oktober dan Juli-November pada kelompok hidrologi A, B, dan C. Berdasarkan analisis neraca air, penanaman jagung dapat dilakukan dua kali dalam setahun. Namun, pemanenan pada musim hujan sangat berisiko terjadinya serangan hama dan patogen. Hal ini menyebabkan penanaman pada periode September-Januari dan Oktober-Februari kurang direkomendasikan. Penanaman jagung pada musim hujan dapat pula disubstitusi oleh tanaman lain yang membutuhkan lebih banyak air.

Kata kunci: Embung; Irigasi Tetes; Jagung; Lahan Kering; Pulau Alor

Latar Belakang

(2)

Salah satu kawasan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian lahan kering adalah Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pulau Alor memiliki sekitar tiga bulan basah setiap tahunnya dengan total presipitasi rata-rata sebanyak 1202.2 mm (klasifikasi iklim Oldeman) per tahun selama 2005-2011 berdasarkan data Stasiun Meteorologi BMKG Mali Kalabahi. Sebaran hujan di daerah ini menunjukkan bahwa intensitas hujan pada bulan basah cukup tinggi dan sangat rendah pada bulan kering.

Secara geografis kondisi daerah Alor merupakan daerah dengan pegunungan yang tinggi, dibatasi oleh lembah dan jurang yang cukup dalam. Sekitar 60 persen wilayahnya mempunyai tingkat kemiringan di atas 40 persen. Dataran tinggi Alor merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan pertanian karena mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi, sedangkan daerah lereng lebih cocok untuk pengembangan sistem terasering. Keadaan geografis yang berbukit dan terjal merupakan rintangan untuk percetakan atau perluasan lahan tanaman pangan (BAPPENAS 2005).

Kehilangan air yang berlebihan tanpa adanya upaya konservasi menimbukan risiko kekeringan dan defisit neraca air. Sementara itu, efisiensi penggunaan air sebagai elemen konservasi sumber daya berhadapan dengan kesesuaian teknologi, kelayakan ekonomi dan penerimaan sosial dari isu-isu pembangunan. Hal tersebut adalah prioritas utama bagi pengelolaan pertanian di daerah langka air (Khajuria et al. 2014). Untuk itu, diperlukan upaya konservasi tanah dan air untuk dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman. Jika tidak, pengaruh intensitas hujan yang tinggi justru akan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya air serta peningkatan degradasi tanah dan lahan kritis.. (Arsyad 2012; Dariah et al. 2004; Pranoto dan Hidayat 2009). Daya dukung lingkungan yang rendah terhadap produktivitas pertanian berpengaruh terhadap angka kemiskinan penduduk Alor. Sebanyak 39.600 orang (20,22 %) dari 196.613 jiwa berada di bawah garis kemiskinan (BPS 2014). ,

Peningkatan produktivitas lahan kering di Pulau Alor sangat diperlukan dalam optimalisasi penggunaan lahan. Salah satu upaya alternatif adalah melalui penggunaan embung dan irigasi tetes untuk memenuhi kebutuhan air pada lahan pertanian. Selain itu, rekomendasi masa tanam sangat penting untuk dirumuskan. Hal ini berguna untuk membatu petani dalam meningkatkan produksi secara maksimal dan berkelanjutan.

Metodologi

Penulisan makalah ini disampaikan melalui metode deskriptif kuantitatif. Data dikumpulkan melalui studi pustaka dan instansi-instansi terkait, Kemudian, data-data tersebut dibandingkan dan dianalisis untuk menentukan volume air embung dan neraca air. Hasil analisis data dijadikan sebagai rekomendasi pengelolaan lahan dan masa tanam oleh petani.

Hasil dan Pembahasan

Salah satu faktor penghambat pendayagunaan potensi lahan kering adalah kurangnya ketersediaan air pada musim kemarau. Salah satu usaha yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan upaya konservasi air. Upaya tersebut dilakukan melalui penampungan kelebihan limpasan air pemukaan saat hujan dengan menggunakan embung

(3)

Penggunaan embung sangat aplikatif untuk usahatani lahan kering. Kurnia (2004) melaporkan bahwa petani lahan kering di perbukitan kritis Imogiri, Yogyakarta memanfaatkan embung pada musim kemarau untuk mengairi tembakau, bawang merah, cabai, dan jagung. Industri tekstil Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah juga mencukupi kebutuhan airnya dari suplai embung (Himawan et al. 2014)

Embung mendapatkan sumber air dari hujan maupun aliran permukaan. Kapasitas embung dalam menyimpan air ditentukan oleh beberapa faktor seperti lokasi, desain pembuatan embung, curah hujan, iklim, infiltrasi tanah, dan tutupan lahan. Beberapa jenis embung yang dikenal diantaranya adalah embung semi permanen dan embung permanen. Embung semi permanen mempunyai dinding dan alas yang terbuat dari tanah yang dipadatkan, sedangkan embung permanen mempunyai dinding dan alas dari bata yang disemen. Selain itu, kebanyakan embung juga menggunakan tutup berbahan kedap air seperti terpal untuk mengurangi penguapan. (Hilmi et al. 2012; Tarigan 2008).

Gambar 1. Desain embung permanen

Sumber: Tarigan (2008) (dengan modifikasi)

Penelitian Tarigan (2008) pada enam bulan kering (rata-rata curah hujan bulanan bulanan 96,95 mm) di daerah Cikakak, Sukabumi, menunjukan bahwa embung permanen mempunyai kemampuan menampung aliran permukaan lebih besar 34% dari embung semi permanen. Sedangkan, Kurnia (2004) menyebutkan bahwa penggunaan embung pada lahan kering dengan pola tanam kacang tanah dan ubi kayu memproduksi (setara gabah) 4,30 – 6,30 ton/ha/musim dibanding penanaman tanpa embung yang hanya menghasilkan 3,50 ton/ha/musim. Selain itu hasil panen tanaman padi yang ditanam dengan tembakau dan jagung pada tegalan dengan embung mencapai 11,70 ton gabah/ha/musim. Hasil tersebut jauh lebih tinggi dibanding dengan produksi padi bera pada tegalan tanpa embung yang hanya mencapai 4,20 ton gabah/ha/musim.

(4)

(tanah yang memiliki sifat vertik, liat berat, plastis dan tanah-tanah salin tertentu). Tanah yang berada di daerah berlahan kering daerah Nusa Tenggara umumnya bertekstur pasir (Pranoto dan Hidayat 2009). Sedangkan kondisi kering memungkinkan terbentuknya mineral klei montmorilonit yang merupakan mineral utama penyusun tanah dengan kondisi hidrologi D.

Analisis volume air yang ditampung embung berdasarkan rumus empiris (Tarigan 2008) :

V = (C.P.Al)+(P.Ae)-(Eto.Ae)-(I.Ae)

V = volume air yang ditampung embung (m3) C = koefisien aliran permukaan

P = rata-rata curah hujan (mm)

Al = luas daerah tangkapan embung (m2) Ae = luas permukaan embung (m2) Eto = evapotranspirasi (mm)

I = infiltrasi (mm)

Koefisien Aliran Permukaan (C) dan Infiltrasi (I)

Arsyad (2012) menyatakan bahwa koefisien aliran permukaan (C) didefinisikan sebagai nisbah antara laju puncak aliran permukaan terhadap intensitas hujan. Parameter C pada rumus empiris merupakan parameter yang paling sensitif dalam prediksi jumlah air tampungan embung. Perubahan dari nilai tersebut akan mempengaruhi hasil secara signifikan (Tarigan 2008).

Nilai C dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain permeabilitas tanah dan laju hujan. Sriwongsitanon dan Taesombat (2011) melaporkan bahwa penutupan dan penggunaan lahan memberikan pengaruh kuat kepada besar nilai C tanah. Hal ini dapat dipahami bahwa kehadiran vegetasi dapat memberikan pengaruh berarti kepada permeabilitas dan kecepatan penstabilan infiltrasi tanah (Arsyad 2012; Tarigan 2008) tentunya melalui suplai bahan organik. Selain itu, Fang et al. (2012) menyatakan bahwa nilai C juga bergantung dari laju hujan.. Kondisi sebagian daerah Pulau Alor yang kering menyebabkan tutupan lahan berupa sabana (Trainor 2005).

Tabel 1 Koefisien C dengan Tanaman Penutup Tanah Padang Rumput Penggembalan Tetap, Baik

Kondisi Hidrologi Koefisien C untuk laju hujan 25 mm/jam 100 mm/jam Daerah Hidrologi A 0,016 0,140 Daerah Hidrologi B 0,020 0,170 Daerah Hidrologi C 0,020 0,190 Daerah Hidrologi D 0,330 0,220 Sumber: Arsyad (2012)

Penggunaan beton pada embung permanen membuat air hujan tidak dapat mengalami infiltrasi karena beton tidak dapat meresapkan air. Hal ini sangat menguntungkan karena air embung dapat bertahan lebih lama dan suplai air tanaman dapat terpenuhi saat hujan tidak turun.

Curah Hujan (P) dan Evapotranspirasi (Eto)

(5)

yang turun, maka frekuensi kejadiannya akan semakin kecil. Data tabel menunjukkan bahwa curah hujan turun pada bulan Desember dan mencapai puncaknya pada bulan Januari. Bulan Mei sampai November merupakan bulan terkering karena memiliki curah hujan dibawah 100 mm.

Ketersediaan data curah hujan kabupaten merupakan salah satu permasalahan utama dalam pembuatan makalah ini. Data curah hujan dari Stasiun Meteorologi Mali Kalabahi, Kabupaten Alor tahun 2005 sampai tahun 2011 digunakan untuk menghitung rata-rata curah hujan bulanan. Sementara itu, data-data terbaru tahun 2012 – 2015 belum ditampilkan.

Besaran evapotranspirasi digunakan untuk menghitung kehilangan air dari permukaan embung tanpa tutup. Evapotranspirasi dihitung dengan menggunakan persamaan evapotranspirasi potensial Thornthwaite (Suyono (1978) dalam Nugroho 1989):

Epx = 16 IT a

Epx = Etp = evapotranspirasi potensial

T = temperatur rata-rata bulanan dalam periode yang bersangkutan (oC)

I = ∑�= Im, indeks panas tahunan, dimana Im= T5 1,514

a = 675 x 10-9 I3– 771 . 10-7 I2 + 0,01792 I + 0,44239

Tabel 2 Evapotranspirasi Potensial rata-rata Bulanan dan Perbandingannya dengan Curah Hujan Rata-rata antara Tahun 2005 – 2011

No Bulan Evapotranspirasi Potensial rata-rata (mm)

Curah Hujan Rata-rata (mm) 1 Januari 150,8 268,7 2 Februari 143,1 238,8

3 Maret 143,9 168,5

4 April 146,5 102,4

5 Mei 141,7 40,3

6 Juni 122,1 43,2

7 Juli 113,0 15,3

8 Agustus 117,5 14,8 9 September 114,3 11,1 10 Oktober 177,5 14,8 11 November 197,4 62,4 12 Desember 174,5 222,6

Tingkat evapotranspirasi pada daerah Alor dapat dikatakan cukup tinggi. Hal ini berkaitan dengan tingginya temperatur rata-rata harian dan rata-rata bulanannya. Pada bulan-bulan basah, presispitasi masih dapat mengimbangi kuatnya evapotranspirasi yang terjadi. Sedangkan pada bulan kering terjadi defisit neraca air karena besarnya evaporanspirasi potensial jauh diatas tingkat presipitasi air hujan. Penurunan tingkat evapotranspirasi pada air embung dapat dilakukan dengan menggunakan terpal.

Volume Embung Total (V)

(6)

Tabel 3 Volume Embung Total Bulanan untuk Tiap Daerah Hidrologi

Bulan

Volume (m3)

Daerah Hidrologi dengan Laju Hujan 25 mm/jam dan 100 mm/jam

A B C D

Volume embung terbesar dicapai pada bulan Januari untuk semua kondisi hidrologi. Embung yang dibangun pada tanah dengan kondisi hidrologi A merupakan embung yang memiliki periode pengisian air paling kecil, sedangkan pada tanah kelompok hidrologi D embung terisi air sepanjang tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa embung yang dibangun pada tanah-tanah dengan tekstur klei (kelompok hidrologi D) dapat menyimpan air dengan volume yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tanah-tanah bertekstur pasir (kelompok hidrologi A, B, dan C). Hal ini disebabkan oleh perbedaan ukuran dan distribusi pori tanah yang berpengaruh pada permeabilitas serta infiltrasi dari masing-masing kondisi hidrologi (Zhang et al. 2014).

Sistem Irigasi Tetes

Irigasi tetes merupakan metode irigasi yang paling hemat air (Kurniadi et. al. 2000). Keuntungan penerapan sistem ini adalah tingginya efisiensi pemanfaatan air, sedikitnya upaya penataan lahan, dimungkinkannya aplikasi fertigasi, dan keseragaman produksi tanaman. Debit air yang keluar dari emitter sangat berpengaruh terhadap produksi tanaman. Namun, kenaikan debit emitter relatif berbanding terbalik dengan kenaikan biomassa, berat biji kering, berat tongkol, dan berat kulit pada tanaman jagung. (Subagyono et.al. 2004). Keadaaan ini disiasati dengan memanfaatkan gradien potensial gravitasi dan matriks tanah melalui penggunaan spons, sehingga volume air yang keluar dari pipa sesuai dengan kebutuhan tanaman dan kapasitas lapang air tanah. Sistem ini mengalirkan air dari embung menuju lahan pertanaman jagung.

Budidaya Jagung

Makalah ini menggunakan tanaman jagung sebagai komoditas yang ditanam pada lahan kering. Jagung memiliki ketahanan tinggi pada iklim kering dengan tingkat penggunaan air yang berkisar antara 400 sampai 500 mm per musim (FAO 2001 dalam Aqil

(7)

Tabel 4 Evapotranspirasi Tanaman Jagung selama setahun

Bulan ETP Kc ETA (mm)

I * II ** III *** I * II ** III *** Rata-rata Januari 150,79 0,30 1,30 0,50 45,24 196,03 75,40 105,56 Februari 143,14 0,30 1,30 0,50 42,94 186,08 71,57 100,20 Maret 143,93 0,30 1,30 0,50 43,18 187,11 71,97 100,75 April 146,56 0,30 1,30 0,50 43,97 190,52 73,28 102,59 Mei 141,72 0,30 1,30 0,50 42,51 184,23 70,86 99,20 Juni 122,09 0,30 1,30 0,50 36,63 158,72 61,05 85,46 Juli 113,00 0,30 1,30 0,50 33,90 146,90 56,50 79,10 Agustus 117,54 0,30 1,30 0,50 35,26 152,80 58,77 82,28 September 144,27 0,30 1,30 0,50 43,28 187,55 72,13 100,99 Oktober 177,44 0,30 1,30 0,50 53,23 230,68 88,72 124,21 November 197,40 0,30 1,30 0,50 59,22 256,62 98,70 138,18 Desember 174,65 0,30 1,30 0,50 52,39 227,04 87,32 122,25 Keterangan (FAO 2001) dalam (Aqil et. al. 2007) :

*Periode I merupakan 65 hari pertama musim tanam (Vegetatif)

*Periode II merupakan 40 hari pertengahan musim tanam (Pembungaan dan formasi biji) * Periode III merupakan 35 hari terakhir musim tanam (Formasi dan pematangan biji)

Evapotranspirasi Aktual

Evapotranspirasi aktual (ETA) merupakan tingkat kebutuhan air untuk mengganti sejumlah air yang hilang melalui evapotranspirasi pada tanaman yang sehat. Evapotranspirasi aktual sangat bergantung terhadap koefisien tanaman (Kc) yang diamati. Nilai Kc menggambarkan laju kehilangan air secara drastis pada fase-fase pertumbuhan tanaman, dan keseimbangan komponen-komponen energi yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Adapun persamaan evapotranspirasi akutal ebagai berikut (FAO 2001 dalam Aqil

et.al. 2007) : ETA = ETp x Kc

ETA = Evapotranspirasi tanaman Kc = Koefisien tanaman

ETp = Epx = Evapotranspirasi potensial

Tabel 5 Neraca Air pada Lahan Jagung

Musim Tanam* Irigasi (mm) **

A B C D

(8)

Oktober – Februari 4465,38 5560,86 5560,86 90458,06 November – Maret 5910,54 7352,48 7352,48 119102,48 Desember – April 6376,80 7992,00 7992,00 127883,47

Musim

Tanam* ETA (mm)

P (mm)

Runoff (mm)

Surplus (mm)

A B C D

Januari -

Mei 425,05 803,65 446,63 1870,47 2342,28 2342,28 38885,08 Februari-

Juni 417,4 578,04 275,59 1640,78 2068,92 2068,92 35251,32 Maret - Juli 389,27 363,33 130,07 947,42 1231,19 1231,19 23226,79 April -

Agustus 360,37 209,82 43,58 669,07 1093,87 1093,87 26042,67 Mei -

September 350,54 119,9 8,31 115,45 273,85 273,85 12525,05 Juni -

Oktober 381,83 93 5,84 -96,67 -3,07 -3,07 7250,93 Juli -

November 446,47 91,45 8,77 -218,40 -139,16 -139,16 6001,24 Agustus -

Desember 504,16 232,44 91,05 756,80 1063,51 1063,51 24828,31 September -

Januari 521,02 466,97 248,09 2502,05 3207,73 3207,73 57894,13 Oktober -

Februari 486,4 713,03 409,67 4282,34 5377,82 5377,82 90275,02 November -

Maret 459,36 900,41 523,09 5828,50 7270,44 7270,44 119020,44 Desember –

April 442,47 962,65 564,74 6332,24 7947,44 7947,44 127838,91 Keterangan :

*Masa tanam jagung diasumsikan sepanjang 140 hari (Aqil et.al. 2007) ** Laju hujan diasumsikan sebesar 25 mm/jam.

Neraca Air

Kebutuhan air tanaman jagung dapat ditutupi oleh air irigasi yang berasal dari embung, sehingga terjadi surplus pada area pertanaman jagung. Meskipun terjadi defisit neraca air pada musim kemarau, namun masih tersedia cadangan air tanah yang menyebabkan terjadinya surplus neraca air secara tahunan.

(9)

pertanaman dapat ditanami oleh tanaman yang mengonsumsi air lebih banyak. Analisis lanjutan diperlukan untuk menentukan jenis tanaman tersebut, sehingga surplus neraca air tetap berjalan.

Kesimpulan

Studi kelayakan menunjukkan bahwa sistem embung permanen dan irigasi tetes sesuai diterapkan di Pulau Alor, NTT. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi surplus pada neraca air lahan. Namun, neraca air mengalami defisit pada musim tanam Juni-Oktober dan Juli-November pada kelompok hidrologi A, B, dan C. Kelompok hidrologi D memiliki kemampuan menyimpan air lebih baik daripada kelompok hidrologi A, B, dan C. Tidak disarankan untuk menetapkan musim panen pada bulan Januari dan Februari. Tingginya curah hujan pada bulan-bulan tersebut dapat memicu serangan patogen dan hama.

Daftar Pustaka

Aqil et al. 2007. Pengelolaan Air Tanaman Jagung. Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan. Maros (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Departemen Pertanian.

Arsyad S. 2012. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Press

BAPPENAS. 2005. Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Kabupaten Alor Provinsi NTT Pasca Gempa. Jakarta (ID):Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BPS. 2014. NTT dalam Angka. Bogor (ID): Badan Pusat Statistik

Cordero, et al. 1998. Population Dynamics and Life-Cycle of Corn Borers in South Atlantic European Coast.[Journal Article].Maydica.43(1998):5-12

Dariah A, et al. 2004. Erosi dan Degradasi Lahan Kering di Indonesia. Prosiding Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat

Fang NF, et al. 2012.The Effects of Rainfall Regimes and Land Use Changes on Runoff and Soil Loss in a Small Mountainous Watershed. [Journal Article]. Catena. 99(2012):1-8

Hanafiah KA. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta (ID):PT. RajaGrafindo Persada Hilmi M, et al. 2012. Optimasi Pola Operasi Waduk Pelaparado di Kabupaten Bima Provinsi

NTB. Jurnal Teknik Pengairan. 3(2):132-142

Himawan E, et al. 2014. Perencanaan Embung Cabean di Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Karya Teknik Sipil. 3(4):963 – 973

Khajuria A, et al. 2014. Adaptation Technology: Benefits of Hydrological Services-Watershed Management in Semi-Arid Region of India. Journal of Water Resource and Protection.2014(6):565-570

Kiswanto, et al. 2012. Pertumbuhan dan Hasil Jagung (Zea mays L.), Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.), dan Jahe (Zingiber officinale var. officinale) pada Sistem Agroforestri Jati di Zona Ledok Wonosari, Gunung Kidul. Vegetalika. 1(3):131-138

Kurnia U. 2004. Prospek Pengairan Pertanian Semusim Lahan Kering. Jurnal Litbang Pertanian. 25(4):130-138

Kurniadi N, et al. 2000. Karakteristik Bahan untuk Pipa Lateral Berpori pada Irigasi Tetes Metode Via – Flow. Buletin Keteknikan Pertanian. 14(2):80-89

(10)

Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal. Palembang (ID):Universitas Sriwijaya.

Nugroho A. 1989. Beberapa Teori dan Aplikasi Rumus Thornthwaite untuk Menghitung Jumlah Cadangan Sumberdaya Air.Majalah Geografi Indonesia.2(3):27-38

Sriwongsitanon N, Taesombat W. 2011. Effects of Land Cover on Runoff Coefficient.

Journal of Hydrology. 110(3-4):226-238

Subagyono et al. 2004. Teknologi Konservasi Air pada Pertanian Lahan Kering. Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng.[Editor: Kurnia U, Rachman A, Dariah A]. Bogor (ID):Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Departemen Pertanian

Tarigan SD. 2008. Efektifitas Embung untuk Irigasi Tanaman Hortikultura di Cikakak Sukabumi. Jurnal Tanah dan Lingkungan. 10(1):1-6

Wakman W, Burhanuddin. 2007. Pengelolaan Penyakit Prapanen jagung. Jagung :Teknik Produksi dan Pengembangan. Maros (ID) : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Departemen Pertanian.

Widiatmaka, et al. 2014. Land Use Planning Of Paddy Field Using Geographic Information System And Land Evaluation in West Lombok, Indonesia. Indonesian Journal of Geography.45(1):89 - 98

Gambar

Gambar 1.  Desain  embung permanen
Tabel 2 Evapotranspirasi Potensial rata-rata Bulanan dan Perbandingannya   dengan Curah Hujan Rata-rata antara Tahun 2005 – 2011
Tabel 3 Volume Embung Total Bulanan untuk Tiap Daerah Hidrologi  Volume (m3)
Tabel 4  Evapotranspirasi Tanaman Jagung selama setahun Kc

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dengan diperolehnya kategori baik pada elemen produktivitas tinggi ini, dapat diketahui bahwa mahasiswa memiliki kemampuan dalam menghasilkan suatu produk yang

Oleh karena itu perusahaan harus selalu meningkatkan pelayanan pada konsumen antara lain dengan berbagai fasilitas atau pelayanan yang lebih, maka perusahaan dapat memberi kemudahan

Faktor skliza je definiran kao omjer obodne komponente apsolutne brzine fluida koji napušta impeler u odnosu na obodnu brzinu lopatice na izlazu iz impelera. Jedna je od najvažnijih

Dalam kasus yang seperti ini seorang suami yang berpoligami tanpa izin istri pertamanya di Desa Pataonan Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan ini telah melanggar hukum islam

Tujuan penelitian ini untuk mendeteksi karbohidrat yang bersifat netral atau mukopolisakarida pada ovarium dan uterus tikus dengan pewarnaan Periodic Acid Schiff

Hasil nilai kalor pengujian dengan calorimeter bomb diperoleh HHV tertinggi pada kotoran kambing dengan nilai 5652,35 J/g dengan adanya kadar air 61,28 dan nilai LHV 3252,35

Dari data yang telah didapat dan diasumsikan agar data tersebut bisa diolah, maka data tersebut perlu diubah menjadi data yang dapat dibaca pada grafik untuk