• Tidak ada hasil yang ditemukan

Preferensi dan Kandungan Nutrisi Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) di Stasiun Penelitian Hutan Lindung Batang Toru, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Preferensi dan Kandungan Nutrisi Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) di Stasiun Penelitian Hutan Lindung Batang Toru, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Orangutan (Pongo abelii Lesson, 1827) in the Research Station of Batang Toru Preservation Forest, Central Tapanuli, North Sumatra. Under Supervision of YANTO SANTOSA AND LIN NURIAH GINOGA.

Orangutans have the nature of being selective for their foods. One factor of their selectivity is their preference for food. The abundance of a certain feed tree is not necessarily preferred by orangutans. Therefore, research on food preferences of orangutans is necessary to identified the availability in the nature. Nutrient content of the feed should also be identify, since nutrient would affect the appearance, welfare, production, and health of orangutans.

The research was conducted on June - August 2011 at the research station of Batang Toru Preservation Forest. Focal time sampling was used with 2 minutes interval on a single individual of orangutan. Primary date consist of number of encounter, daily activity, food preference, feed availability, and nutrient content of 7 feed samples. Secondary data consists of temperature, climate, and the general condition of Batang Toru Preservation Forest. SPSS 16.0 software was used in data processing, while Nue Index was used to analysis food preferences of orangutan.

As many as 28 encounters with orangutans were recorded on 5 male individuals and 2 female individuals. Orangutans was observed during the activities of eating (39.31%), moving (31.23%), resting (27.58%) and other activities (1.87%). Fruit was the part of the plant mostly used by the orangutans with a percentage of 62.59%. Among 27 tree species observed, there were 10 species preferred by the orangutans, namely Eurya nutida, Tetrameristra glabra, Naigea neriifolium, Syzygium sp., Ficus sp., Rodhomirtus tomentosa, Agathis borneensis, Dacrycarpus imbricatus, Garcinia parvifolia, and Gironniera subaequalis. The Important Value Index for preference species was low with the value of <1%. August was the month were fruits could be found is abundance (8.56%). Analysis on nutrient contents of 7 samples showed that Dacrycarpus imbricatus had the most suitable nutrient content for orangutans.

The Important Value Index (INP) of preference feed was low, and the species also had low productivity of fruit. Therefore, enrichment and preservation of the species was necessary.

(3)

PREFERENSI DAN KANDUNGAN NUTRISI PAKAN

ORANGUTAN SUMATERA (

Pongo abelii

Lesson, 1827) Di

STASIUN PENELITIAN HUTAN LINDUNG BATANG TORU,

TAPANULI TENGAH, SUMATERA UTARA

FITROTUL AINI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(4)

Orangutan Sumatera (Pongo abeliiLesson, 1827) di Stasiun Penelitian Hutan Lindung Batang Toru, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan LIN NURIAH GINOGA.

Orangutan memiliki sifat selektif terhadap makanannya. Salah satu faktor selektivitas ini adalah preferensi (tingkat kesukaan satwa terhadap jenis pakan). Jumlah pohon pakan yang melimpah belum tentu disukai oleh orangutan, sehingga diperlukan penelitian tentang preferensi jenis pakan untuk mengetahui ketersediaannya di alam. Selain itu kandungan nutrisi juga perlu untuk dikaji, karena pakan yang kandungan nutrisinya baik akan berpengaruh terhadap penampilan, kesejahteraan, produksi, dan kesehatan orangutan.

Penelitian berlangsung pada bulan Juni - Agustus 2011 di Stasiun Penelitian Hutan Lindung Batang Toru, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Metode yang digunakan adalah focal time sampling, yakni pencatatan data dilakukan dengan interval waktu setiap 2 menit dan difokuskan pada satu individu orangutan sebagai obyek dalam setiap penelitian. Data primer terdiri dari: perjumpaan orangutan sumatera, aktivitas harian orangutan sumatera, preferensi jenis pakan orangutan sumatra, ketersediaan pakan, dan kandungan nutrisi 7 contoh pakan. Data sekunder terdiri dari: suhu, iklim, dan kondisi umum Hutan Lindung Batang Toru. Pengolahan data menggunakan software SPSS 16.0 dan analisis data preferensi pakan menggunakan Indeks Nue.

Perjumpaan orangutan sebanyak 28 kali dengan objek penelitian 5 individu jantan dan 2 individu betina. Aktivitas harian yang paling banyak dilakukan adalah makan dengan persentase 39,31%, selanjutnya berpindah (31,23%), istirahat (27,58%) dan aktivitas lainnya (1,87%). Bagian tumbuhan yang paling banyak dimanfaatkan orangutan adalah buah dengan persentase 62,59%. Pohon pakan yang disukai orangutan sebanyak 10 spesies dari 27 spesies yang teramati. Pohon-pohon tersebut adalah Eurya nutida, Tetrameristra glabra, Naigea neriifolium, Syzygiumsp., Ficussp., Rodhomirtus tomentosa, Agathis borneensis, Dacrycarpus imbricatus, Garcinia parvifolia,danGironniera subaequalis. Indeks Nilai Penting untuk jenis-jenis preferensial tergolong rendah dengan nilai < 1%. Ketersediaan buah paling tinggi adalah bulan Agustus (8.56 %) dan kandungan nutrisi paling baik pada 7 contoh adalahDacrycarpus imbricatus.

Jenis-jenis pakan preferensial nilai dominansinya tergolong rendah dan menghasilkan produktivitas buah yang rendah pula. Oleh sebab itu diperlukan pengkayaan dan pelestarian jenis-jenis tersebut.

(5)

SUMMARY

FITROTUL AINI. E34070010. Feed Preferences and Nutrition of Sumatran Orangutan (Pongo abelii Lesson, 1827) in the Research Station of Batang Toru Preservation Forest, Central Tapanuli, North Sumatra. Under Supervision of YANTO SANTOSA AND LIN NURIAH GINOGA.

Orangutans have the nature of being selective for their foods. One factor of their selectivity is their preference for food. The abundance of a certain feed tree is not necessarily preferred by orangutans. Therefore, research on food preferences of orangutans is necessary to identified the availability in the nature. Nutrient content of the feed should also be identify, since nutrient would affect the appearance, welfare, production, and health of orangutans.

The research was conducted on June - August 2011 at the research station of Batang Toru Preservation Forest. Focal time sampling was used with 2 minutes interval on a single individual of orangutan. Primary date consist of number of encounter, daily activity, food preference, feed availability, and nutrient content of 7 feed samples. Secondary data consists of temperature, climate, and the general condition of Batang Toru Preservation Forest. SPSS 16.0 software was used in data processing, while Nue Index was used to analysis food preferences of orangutan.

As many as 28 encounters with orangutans were recorded on 5 male individuals and 2 female individuals. Orangutans was observed during the activities of eating (39.31%), moving (31.23%), resting (27.58%) and other activities (1.87%). Fruit was the part of the plant mostly used by the orangutans with a percentage of 62.59%. Among 27 tree species observed, there were 10 species preferred by the orangutans, namely Eurya nutida, Tetrameristra glabra, Naigea neriifolium, Syzygium sp., Ficus sp., Rodhomirtus tomentosa, Agathis borneensis, Dacrycarpus imbricatus, Garcinia parvifolia, and Gironniera subaequalis. The Important Value Index for preference species was low with the value of <1%. August was the month were fruits could be found is abundance (8.56%). Analysis on nutrient contents of 7 samples showed that Dacrycarpus imbricatushad the most suitable nutrient content for orangutans.

The Important Value Index (INP) of preference feed was low, and the species also had low productivity of fruit. Therefore, enrichment and preservation of the species was necessary.

(6)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Preferensi dan

Kandungan Nutrisi Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) di Stasiun Penelitian Hutan Lindung Batang Toru, Tapanuli Tengah, Sumatera

Utara” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen

pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2011

(7)

Judul Skripsi: Preferensi dan Kandungan Nutrisi Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) di Stasiun Penelitian Hutan Lindung

Batang Toru, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara Nama : Fitrotul Aini

NIM : E34070010

Menyetujui:

Mengetahui:

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Tanggal Lulus : Pembimbing I

Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.

NIP. 19601004 1985011 001

Pembimbing II

Ir. Lin Nuriah Ginoga M.Si. NIP. 19651116 1992032 001

(8)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alah SWT atas rahmat, hidayah, dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih

dalam penelitian ini adalah Preferensi dan Kandungan Nutrisi Pakan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) di Stasiun Penelitian Hutan Lindung

Batang Toru, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara“. Penelitian ini disusun sebagai

persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Strata 1 (S1). Lama pelaksanaan tugas akhir ini mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan skripsi adalah 6 bulan. Bantuan dana penelitian ini adalah dari Yayasan Ekosistem Lestari.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA dan Ibu Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si selaku dosen pembimbing. Selain itu penghargaan penulis disampaikan pula kepada Ibu Gabriella Fredriksson dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) yang telah memberikan bantuan dana penelitian, dan kepada Muhammad Faisal Rahman Hakim, S. Hut selaku Manajer Lapang Stasiun Penelitian, Matthew Nowak, Ronald Andreas Paja Siagian, S.Hut., Tim Asisten Batang Toru, Irvan Nurmansyah, dan Akrom Mubarrok yang telah membantu selama pengambilan data di lapangan, serta semua pihak yang telah ikut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari tulisan ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran ataupun kritik yang membangun untuk penyempurnaan tulisan ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

(9)
(10)

karunia-Nya penulisan hasil penelitian (skripsi) ini dapat terselesaikan dengan baik. Hal ini tidak terlepas dari dukungan, bantuan, dan bimbingan oleh berbagai

pihak. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. sebagai dosen pembimbing utama yang telah memberikan saran dan nasehat kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian. 2. Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si. sebagai dosen pembimbing pendamping, yang

banyak memberikan bimbingan berupa arahan dan saran dalam penelitian maupun penyusunan skripsi.

3. Ir. Oemijati Rachmatsjah, MS. selaku dosen penguji dan Resti Meilani, S.Hut, M.Si. selaku ketua sidang. Terima kasih atas masukan dalam perbaikan dan penyempurnaan skripsi juga atas nasehat yang diberikan kepada penulis.

4. Seluruh staf pengajar DKSHE atas ilmu dan pengetahuan yang telah diterima penulis selama belajar di KSHE.

5. Ayah, ibu dan kakak tercinta yang selalu mengalirkan doa untuk kelancaran kegiatan penelitian dan penulisan skripsi.

6. Ibu Gabriella Fredriksson, Muhammad Faisal Rahman Hakim, Matthew Nowak, Ronald Andreas Paja Siagian, Alamsyah, Ulil, Nardi, Akhir, Kak Sri, Jumiatik, serta seluruh Staf Yayasan Ekosistem Lestari yang banyak membantu penulis dalam melaksanakan penelitian.

7. Akrom Mubarrok dan Irvan Nurmansyah yang merupakan teman satu lokasi

penelitian dan telah banyak memotivasi serta membantu penulis selama penelitian berlangsung.

(11)

9. Seluruh rekan-rekan KSHE 44 terima kasih atas kebersamaannya selama ini serta pihak-pihak yang telah turut membantu terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

(12)

DAFTAR ISI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1 Bio-Ekologi Orangutan ... 4

2.1.1 Klasifikasi... 4

2.6 Kandungan Nutrisi Bahan Pakan ...12

2.6.1 Karbohidrat...12

3.4.1 Analisis Preferensi Pakan Orangutan Sumatera...21

3.4.2 Analisis Ketersediaan Pakan ...21

3.4.3 Analisis Kandungan Nutrisi Pakan ...22

(13)

xii

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN...27

5.1 Perjumpaan dan Aktivitas Orangutan Sumatera ...27

5.2 Preferensi Pakan Orangutan Sumatera ...35

5.3 Ketersediaan Pakan Orangutan Sumatera ...41

5.4 Kandungan Nutrisi Pakan Orangutan Sumatera...44

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...49

6.1 Kesimpulan...49

6.2 Saran...49

DAFTAR PUSTAKA...50

(14)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Unit habitat yang mendukung populasi orangutan di Sumatera... 8

2. Klasifikasi penentuan produktivitas pohon pakan orangutan... 18

3. Kriteria yang diukur dalam menentukan Indeks Nue... 21

4. Perbandingan aktivitas harian orangutan di beberapa lokasi berbeda... 33

5. Preferensi spesies pohon yang dimakan orangutan sumatera di Batang Toru ...36

6. Analisis vegetasi jenis pakan orangutan di Batang Toru...43

(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Peta lokasi penelitian... 15

2. Sampel pakan analisis proksimat... 20

4. Grafik perjumpaan orangutan sumatera ... 28

5. Orangutan betina dewasa (Indah)... 30

6. Orangutan betina anakan (Iben) ... 30

7. Orangutan jantan muda (Sipang)... 31

8. Orangutan C (tidak teridentifikasi)... 31

9. Perbandingan aktivitas harian orangutan sumatera ... 32

10. Grafik perbandingan aktivitas harian orangutan jantan dan orangutan betina ... 34

11. Grafik perbandingan proporsi jenis makanan orangutan jantan dan orangutanbetina ... 39

12. Jenis pakan orangutan sumatera di Batang Toru... 41

13. Grafik ketersediaan buah di Batang Toru... 42

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Tallysheetpengamatan orangutan sumatera... 56 2. Waktu perjumpaan orangutan sumatera bulan Juni sampai dengan

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Orangutan sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) tergolong satwa terancam punah yang terdaftar dalam Appendik I CITES dan termasuk ke dalam status critical endangered species (IUCN 2007). Orangutan juga merupakan satwa dilindungi oleh UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam

Hayati dan Ekosistemnya serta PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Flora dan Fauna Indonesia. Penggolongan tersebut berdasarkan kondisi populasi

orangutan di alam yang terus menurun. Beberapa faktor penyebabnya adalah kerusakan habitat sebagai akibat dari kebakaran hutan, pembalakan dan pengalihan peruntukan lahan (misalnya untuk perkebunan, pertanian, dan pemukiman), perburuan untuk dikonsumsi maupun dijual secara ilegal, dan interaksi populasi orangutan dengan parasit yang bisa menyebabkan kematian (Soehartonoet al.2007).

Salah satu usaha yang dilakukan untuk memulihkan populasi orangutan sumatera di alam adalah dengan membentuk Program Konservasi Orangutan Sumatera yaitu Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP). SOCP adalah program kolaborasi Yayasan PanEco yang bekerjasama dengan pemerintah Indonesia yaitu Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), dan Frankfurt Zoological Society. Kolaborasi ini telah menangani berbagai aspek dalam konservasi orangutan sumatera, yakni penyitaan, karantina dan reintroduksi orangutan, konservasi dan perlindungan habitat, pendidikan konservasi, survei dan pengamatan populasi orangutan liar, serta ekologi orangutan liar.

Persebaran orangutan sumatera selain di Taman Nasional Gunung Leuser, juga tersebar di Hutan Lindung Batang Toru Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

(18)

Pengelolaan habitat meliputi shelter, pakan, dan cover serta wilayah jelajah orangutan. Fredrikson dan Indra (2007) menyatakan diperkirakan populasi orangutan sekitar 600 ekor di blok Batang Toru Barat dan sekitar 300-400 ekor di blok Batang Toru Timur. Jumlah ini kemungkinan akan menurun jika dilihat dari kondisi hutan Batang Toru sekarang yang mengalami banyak gangguan seperti adanya perambahan, penebangan liar, dan perburuan.

Adanya gangguan tersebut mengakibatkan penyempitan habitat bagi orangutan, selain itu jumlah pohon yang merupakan sumber pakan orangutan menjadi semakin berkurang. Pakan merupakan aspek penting dalam pengelolaan populasi orangutan, karena ketersediaan pakan akan berpengaruh terhadap kesejahteraan hidup satwa. Sejak tahun 2009 SOCP telah melakukan program

monitoring terhadap pohon-pohon yang berpotensi sebagai pakan orangutan. Hal ini bertujuan mengetahui ketersediaan pakan orangutan sepanjang tahun.

Namun, data ketersediaan pakan saja belum cukup, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang preferensi pakan orangutan. Menurut Church et. al. (1974), satwa memiliki sifat selektif terhadap makanannya, begitu juga dengan orangutan. Selektivitas ini timbul akibat faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam tubuh satwa, misalnya kondisi kesehatan satwa dan preferensi satwa terhadap pakan. Faktor eksternal yang mempengaruhi diantaranya cita rasa, tekstur, ukuran, dan konsistensi pakan (Wiseman dan Cole 1990).

(19)

3

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi preferensi pakan orangutan sumatera 2. Menduga ketersediaan pakan orangutan sumatera 3. Menguji kandungan nutrisi pakan orangutan sumatera

1.3 Manfaat Hasil Penelitian

(20)

2.1 Bio-Ekologi Orangutan 2.1.1 Klasifikasi

Nama orangutan merujuk pada kata orang (manusia) dan hutan yang berarti

“manusia hutan” (Galdikas 1978). Sebelum genus Pongo digunakan, Ourangus

merupakan sebutan untuk keluarga kera besar dengan nama spesies Ourangus outangus. Nama ini tidak digunakan lagi setelah Internasional Commission for Zoological Nomenclature (ICZN) memberikan sebutan Pongo untuk genus keluarga kera besar ini (Groves 1972). Pengklasifikasian yang didasarkan pada

perbandingan anatomi dan imunologi menunjukkan bahwa orangutan bersama-sama dengan tiga kera besar lainnya adalah kerabat paling dekat dengan manusia di dalam dunia hewan (Napier dan Napier 1985). Primata yang tergolong kera besar yaitu simpanse, gorila, bonobo dan orangutan yang kesemuanya merupakan famili Pongidae (Cawlishaw dan Dynbar 2000).

Berdasarkan Meijaard dan Rijksen (1999), orangutan dibagi kedalam dua subspesies yaitu orangutan sumatra (Pongo abelii) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus). Pembagian menjadi dua subspesies orangutan berdasarkan perbedaan geografi, morfologi muka, distribusi rambut, badan dan perbedaan bentuk karakter rambut. Saat ini pengklasifikasian terhadap orangutan sudah mengalami perkembangan melalui penelitian dan pengujian terhadap genetiknya, sehingga dapat diketahui populasi orangutan di Sumatera berbeda spesies dengan populasi orangutan di Kalimantan (Mackinnon 1975dalamSingleton 2000).

Poirier (1964) dalam Groves (1972) mengklasifikasikan orangutan sebagai berikut:

(21)

5

Subordo : Primata Famili : Pongidae

Genus : Pongo (Lacepede, 1799) Spesies :Pongo pygmaeusLinnaeus

Subspesies :Pongo pygmaeus abeliiLesson, 1827 Pongo pygmaeus pygmaeusLinnaeus, 1760 2.1.2 Morfologi

Ciri-ciri orangutan digambarkan oleh Supriatna dan Wahyono (2000), bahwa warna rambut orangutan sumatera lebih terang jika dibandingkan dengan orangutan kalimantan. Warna rambut orangutan sumatera coklat kekuningan dan umumnya agak tebal atau panjang, sedangkan orangutan kalimantan memiliki

warna rambut coklat tua sampai kehitaman. Perkembangan umur juga berpengaruh terhadap warna rambut, yaitu semakin tua umur orangutan maka

warna rambut akan semakin gelap atau kecoklatan. Orangutan jantan dewasa memiliki ukuran tubuh dua kali lebih besar dari ukuran tubuh betina, yaitu 125-150 cm. Orangutan jantan dewasa di alam memiliki berat tubuh 50-90 kg, sedangkan untuk orangutan peliharaan dapat mencapai 150-an kg. Berat tubuh orangutan betina pada orangutan liar berkisar antara 30-50 kg dan dapat mencapai 70-an kg. Orangutan jantan dewasa mempunyai kantung suara (air sack) yang terdapat pada lehernya yang berfungsi untuk mengambil serta mengumpulkan beberapa liter udara. Kantung ini juga berfungsi untuk membuat suara panjang (long call) (MacKinnon 1972).

Rijksen (1978) menyatakan bahwa morfologi dan perilaku orangutan sumatera dapat digolongkan berdasarkan umur dan jenis kelamin. Orangutan betina dibagi kedalam empat tahap, yaitu bayi, anakan, remaja, dan dewasa, sedangkan untuk orangutan jantan terbagi dalam lima tahap, yaitu bayi, anakan, remaja, pra-dewasa, dan dewasa. Galdikas (1978) menggolongkan orangutan jantan dan betina kedalam jantan/betina dewasa umur muda dan jantan/betina umur lanjut.

Berdasarkan Rodman (1988), perbedaan morfologi dan perilaku orangutan sumatera (Pongo abelii) berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin adalah sebagai

(22)

a. Bayi (infant)

Umur antara 0-2,5 tahun dengan berat tubuh berkisar antara 2-6 kg memiliki warna rambut jauh lebih terang, putih pada sekeliling mata dan bagian mulutnya terdapat bercak-bercak di seluruh tubuhnya. Bayi orangutan sangat tergantung pada induknya baik untuk mendapatkan makanan (menyusu) dan pergerakannya (bayi akan selalu berpegang pada induknya pada saat berpindah dari pohon ke pohon).

b. Anakan (juvenil)

Umur antara 2,5-5 tahun, memiliki berat tubuh berkisar antara 6-15 kg. Kulit wajah lebih gelap dari yang bayi dan bercak-bercak putih semakin kabur. Biasanya anakan masih berpindah bersama dengan induknya, tetapi tidak

berpegangan lagi dengan induknya. Anakan orangutan masih menggunakan sarang yang sama dan masih menyusu.

c. Remaja (adolescent)

Umur antara 5-8 tahun dan memiliki berat tubuh antara 15-30 kg. Wajah orangutan remaja masih lebih terang dari yang benar-benar dewasa dan masih memiliki rambut yang panjang di sekitar mukanya. Pergerakannya sudah lepas dari induknya atau dengan individu lain. Orangutan remaja memiliki tingkat sosial yang tinggi. Betina remaja akan mencari jantan sebagai pasangan selama masa birahi seksual, jantan remaja sudah mulai berusaha melakukan kopulasi dengan betina remaja dan akan berpasangan dengan betina yang sangat sosial.

d. Jantan Pra Dewasa (sub adult male)

Umur antara 8-13 tahun atau 15 tahun dan memiliki berat tubuh berkisar antara 30-50 kg. Ukuran tubuh lebih besar dari yang betina tetapi lebih kecil dari jantan dewasa. Wajah sudah gelap dan terlihat bantalan pipi serta kantong suara mulai berkembang. Orangutan pra dewasa sudah mulai bersuara mirip dengan

long call” dan berpasangan dengan betina yang sangat sosial. Pada tahapan ini

orangutan sudah dewasa secara seksual dan akan menghindari perjumpaan langsung dengan orangutan jantan dewasa.

e. Betina Dewasa (adult female).

Orangutan betina dapat dikatakan dewasa pada umur 8 tahun keatas dan

(23)

7

memiliki janggut. Pada masa estrus akan selalu berpasangan dengan jantan. Orangutan betina dewasa kadang bergerak bersama betina lain. Biasanya telah beranak dan selalu diikuti anaknya.

f. Jantan Dewasa (adult male).

Orangutan jantan dikatakan dewasa pada umur 13 atau 15 tahun keatas dan memiliki berat tubuh antara 50-90 kg. Ukuran tubuhnya sangat besar, memiliki bantalan pipi, kantung suara, berjanggut, dan memiliki rambut yang panjang serta lebat. Orangutan jantan dewasa hidup soliter kecuali pada saat berpasangan dengan betina masa birahi seksual. Jantan dewasa seringkali menyuarakan “long call” (MacKinnon 1971).

Orangutan juga mengalami dimorfisme seksual yang dapat diamati

berdasarkan ukuran tubuh dan ciri morfologi jantan dan betina. Salah satu perbedaan morfologi tersebut dapat dilihat pada struktur bantalan pipi yang hanya

terdapat pada individu jantan. Ciri dimorfisme seksual lain dapat diamati pada ukuran tubuh jantan dan betina. Individu jantan umumnya berukuran dua kali lebih besar dari individu betina (Cawlishaw dan Dunbar 2000).

2.2 Habitat dan Penyebaran

Kisaran distribusi spesies orangutan sumatera (Pongo abelii) di Pulau Sumatera terbatas di Utara Khatulistiwa, atau Utara Danau Toba terutama di Taman Nasional Gunung Leuser. Saat ini populasi orangutan sumatera terpecah menjadi empat sub populasi utama: (1) Subpopulasi wilayah sekitar Aceh yaitu di sebelah barat Sungai Alas dan Sungai Wampu; (2) Sub populasi di Hutan Lindung blok Sembelin dan Batu Ardan di Kabupaten Dairi dan kawasan hutan yang bersambungan di sebelah Timur Sungai Alas yang membentang di sepanjang kaki-kaki bukit pesisir Barat dan Menurus sampai ke Pantai Sibolga; (3) Subpopulasi Tapanuli bagian Tenggara di antara Sungai Asahan dan Sungai Barumun; (4) Subpopulasi di Anggolia. Angkola, dan Pasaman, semua daerah yang berada di sepanjang bagian barat kaki Bukit Barisan, dan Hilir Sungai Batang Toru membentang ke arah selatan diantara Padang Sidempuan dan daerah sekitar Pariaman di Propinsi Sumatera Barat, sekitar 50 km di sebelah utara

(24)

Orangutan dapat beradaptasi pada berbagai tipe primer dan hutan rawa, hutan dataran rendah, hutan dipterocarpaceae, hingga ke hutan pegunungan hingga batas ketinggian 1800 m dpl (Rijksen 1978). Menurut Singleton et al. (2000), orangutan berkembang pada dataran rendah alluvial, dataran rawa, dan perbukitan yang landai. Kepadatan populasi orangutan menurun secara bertahap seiring naiknya ketinggian tempat, hingga hanya sedikit bahkan tidak ada populasi yang permanen pada ketinggian 1.000 sampai 1.200 m dpl. Populasi orangutan di wilayah ini tersebar dalam pola berkelompok di kaki-kaki bukit, dasar lembah, dan rawa pantai. Rawa pantai tampak sebagai lokasi yang ditempati orangutan dengan kepadatan tertinggi.

Berdasarkan laporan Van Schaik (2004) dalam Sudarno (2010) bahwa keberadaan orangutan sumatera di beberapa unit habitat pada saat ini semakin hilang (Tabel 1).

Tabel 1 Unit habitat yang mendukung populasi orangutan di Sumatera

Area Kehadiran orangutan Pasaman Barat Ya Tidak Belum ada data baru Baruman Ya Tidak Belum ada data baru Habinsaran Ya Tidak Belum ada data baru Ankola-Siondop Ya Tidak Belum ada data baru Kalang-Anggolia Ya Tidak Belum ada data baru Tapanuli Tengah Ya Tidak Belum ada data baru Dolok Sembelin Ya Tidak Hutan hilang Batang Toru Barat Ya Ya (Toba selatan) Sarulla Timur/Sipirok Ya Ya (Toba selatan)

Keterangan: * = Berdasarkan Meijaard dan Rijksen (1999), ** = Berdasarkan Wich (2004) ; data tidak di publikasikan.

2.3 Pakan Orangutan

(25)

9

untuk mencari makan sesuai dengan tingkat kesukaan terhadap suatu jenis pakan, terutama kaitannya dengan kadar nutrisi (Roosmalen 1980 dalam Bismark 1994) dan habitat (Harrison 1984dalamBismark 1994).

Pakan orangutan sumatera sangat bervariasi yang terdiri dari: buah, bunga, kulit pohon, daun muda, rayap, ulat, semut, jamur, cairan dari berbagai spesies pohon, tanaman menjalar dan tanaman lainnya, dan juga berbagai jenis tanaman merambat, seperti anggrek, akar alang-alang air, madu, pangkal, batang tunas rotan muda, tanaman menjalar, epifit, pakis dan palma kecil. Kera ini memakan lebih dari 200 jenis tumbuhan yang berbeda (Supriyatna dan Wahyono 2000). Namun pada umumnya orangutan memakan buah-buahan dengan jenis Gironniera nervosa dan bagian yang dimakan adalah daun, kulit kayu, dan buahnya. Spesies Xanthophyllum rufum juga merupakan tumbuhan yang sering dimakan orangutan, yang mana bagian yang dimanfaatkan adalah kulit kayu dan

daunnya. Sumber makanan terpenting berikutnya yaitu Tetrameristra glabra. Ketiga jenis tumbuhan tersebut dapat disimpulkan, bahwa jenis pakan yang dimakan orangutan adalah berasal dari habitus pohon dengan bagian yang paling banyak dimakan adalah buahnya saja. Berdasarkan penelitian Napier dan Napier (1985), bahwa pakan orangutan dapat berubah-ubah tergantung jenis pakan yang sedang tersedia. Saat sedang musim buah, pakan orangutan dapat 100% berupa buah, dan saat bukan musim buah, alternatif pakan orangutan adalah dedaunaan (25%), kulit kayu (37%), buah (21%), dan serangga (7%). Sumber pakan terpenting adalah buah ara (Ficusspp.) yang berbuah sepanjang tahun.

(26)

2.4 Perilaku Makan Orangutan

Primata sangat selektif dalam memilih habitat yang sesuai dengan potensi sumber pakan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumber pakan merupakan faktor yang paling penting dalam pemilihan habitat tersebut (Clutton-Brock 1977). Seleksi terhadap habitat yang disukai satwa dapat dipandang dari dua segi. Pertama adalah secara genetik, dimana setiap individu dapat bereaksi terhadap keadaan lingkungan sehingga mampu melakukan pemilihan habitat yang sesuai. Kedua adalah adanya hubungan antar jenis atau kelompok serta proses belajar sejak dari umur muda atau belajar dari pengalaman yang didapat dari individu yang lebih tua. Kedua faktor ini dapat terlihat pada pola jelajah dan ruang pengembaraan (homerange) primata yang sesuai dengan perilaku sosial dan

perilaku makannya dalam lingkungan habitat (Whitten 1982).

Primata mempunyai komposisi pakan tertentu, sesuai dengan kondisi habitat

dan musim (Curtin dan Chivers 1979; Iwamoto 1982; Harrison (1984) dalam Bismark (1994)) sehingga keadaan ini dapat menunjukkan perbedaan pola perilaku makan. Selain itu pola perilaku makan primata berkaitan erat dengan kualitas sumber pakan, seperti tingginya kadar selulosa yang tidak dapat dicerna dan adanya senyawa sekunder yang bersifat toksin dalam pakan (Oates 1977 dalam Bismark 1994). Kedua faktor ini merupakan faktor utama dalam ekologi makan (feeding ecology) primata (Horrison 1984dalamBismark 1994).

Jumlah dan jenis pakan primata digolongkan menjadi dua tipe yaitu frugivorous lebih dominan memakan buah dan folivorous lebih dominan memakan daun. Jenis dari suku Pongidae termasuk tipe frugivorous. Primata monogastrik ini lebih banyak memakan makanan yang mudah dicerna, banyak mengandung gula serta tidak mengandung alkoloid. Primata monogastrik memakan pakan berkadar nutrisi rendah dalam jumlah besar karena laju pengolahan makanan lebih cepat dari pada polygastrik atau hewan ruminansia (Bennet 1983dalamBismark 1994).

Orangutan merupakan pengumpul makan yang oportunis, yaitu memakan apa saja yang dapat diraihnya, termasuk madu pada sarang lebah. Kegemarannya pada makanan yang tidak biasa ditemukan dan tertebar acak di habitatnya

(27)

11

kegemarannya. Saat bukan musim buah orangutan akan lebih aktif bergerak dibandingkan pada saat musim berbuah. Menurut MacKinnon (1972), orangutan memiliki kemampuan luar biasa dalam menemukan sumber makanan yang kecil, jarang, dan tertebar acak.

Aktivitas makan adalah waktu yang digunakan seekor orangutan untuk menggapai, mengekstraksi, memegang-megang, mengunyah, dan menelan makanan dari sumber makanan (Galdikas 1984). Sumber pakan terpenting adalah buah ara (Ficus sp.) yang berbuah sepanjang tahun. Selain itu orangutan juga memakan serangga seperti rayap dan telur burung.

Orangutan pada siang hari lebih senang tinggal di atas pohon di dekat sarangnya. Bila merasa lapar, mereka akan mencari makanan dengan berayun dari

satu pohon ke pohon yang lain atau dengan mempergunakan anggota badannya untuk berjalan di atas tanah. Menguliti kayu untuk memakan kambium di

bawahnya merupakan tanda atau indikasi dimana terjadi kekurangan makanan (Knott 1998).

Beberapa sumber pakan penting orangutan, seperti rotan dan palem, secara ekonomis sangat penting bagi manusia. Manusia juga bersaing untuk mendapatkan buah-buahan. Persaingan ini memiliki kaitan yang serius terhadap konservasi orangutan. Berkurangnya jumlah buah-buahan yang berkualitas merupakan penyebab turunnya tingkat kesuburan, meningkatnya jarak kelahiran, dan berkurangnya potensi kelangsungan hidup jangka panjang orangutan (Knott 1998). Penurunan sumber-sumber makanan penting dapat berdampak langsung dan mungkin akan mendorong cepatnya kepunahan orangutan secara lokal.

2.5 Preferensi Pakan

Preferensi adalah hasil keseluruhan faktor-faktor yang menentukan besarnya tingkat ketertarikan satwa terhadap makanan yang dimakannya (Scottet al. 1982 dalam Kurniawaty 2009). Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan makanan diantaranya yaitu ketersediaan makanan, distribusi dan kelimpahan makanan, komposisi vegetasi, iklim, jenis makanan yang disukai, dan kandungan nutrisi serta energi. Secara umum pakan yang disukai dipengaruhi oleh rasa, bau,

(28)

tersebut berpengaruh terhadap penggunaan waktu primata dalam mengkonsumsi makanan sehingga proporsi waktu makan pada primata bervariasi. Biasanya bagian tumbuhan yang dimakan oleh primata hampir sama akan tetapi proporsi waktu makan yang digunakan bervariasi (Kool 1991; Dasilva 1994; Liet al.2003; Ding dan Zhao 2004; Solanki et al. 2008a; Grueter et al. 2009 dalam Suryana 2010).

2.6 Kandungan Nutrisi Bahan Pakan

Menurut Khumaidi (1986), dalam perhitungan konsumsi pakan, lebih ditekankan pada kebutuhan energi dan protein, karena apabila kebutuhan energi dan protein sudah terpenuhi maka nutrien lainnya akan mengikuti atau setidaknya

tidak terlalu sulit untuk memenuhinya. Apabila konsumsi energi tidak mencukupi kebutuhan, maka protein dari konsumsi pakan akan dibakar dan digunakan untuk

memenuhi kebutuhan energi dengan mengorbankan pembentukan dan perbaikan jaringan tubuh (Harper et al. 1986). Energi yang digunakan untuk beraktivitas adalah energi kimia yang disimpan dalam pakan. Energi dalam pakan umumnya disebut sebagai energi biologis (Widodo 2002). Energi diperlukan individu untuk bergerak atau melakukan pekerjaan fisik dan juga megaktifkan proses-proses dalam tubuh. Kecukupan makanan yang dikonsumsi oleh individu secara kuantitatif dapat diperkirakan dari nilai energi (kalori) yang dikandungnya. Energi dalam makanan merupakan hasil pembakaran dari zat gizi makro karbohidrat, lemak, dan protein. Kebutuhan energi minimal yang dibutuhkan untuk mempertahankan proses hidup pokok (mempertahankan tonus otot, sistem sirkulasi, pernafasan, kelenjar-kelenjar, dan aktivitas seluler) disebut metabolisme basal. Metabolisme basal untuk setiap individu adalah konstan, tetapi berbeda antara satu individu dengan individu lainnya (Suhardjo dan Clara 1992).

2.6.1 Karbohidrat

Karbohidrat merupakan senyawa yang terbentuk dari molekul karbon, hidrogen, dan oksigen. Sebagai salah satu jenis zat gizi, fungsi karbohidrat adalah penghasil energi di dalam tubuh. Tiap 1 gram karbohidrat akan menghasilkan energi 4 kkal. Di dalam ilmu gizi karbohidrat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu

(29)

13

adalah monosakarida yang terdiri dari fruktosa, glukosa dan galaktosa serta disakarida yang terdiri dari sukrosa dan laktosa. Fruktosa dan glukosa ini terdapat dalam buah-buahan yang masak (Widodo 2002). Selain penghasil energi, karbohidrat juga dapat menyimpan energi sebagai energi cadangan (Widodo 2002).

2.6.2 Protein

Protein memiliki fungsi yang unik pada tubuh yaitu sebagai zat pembangun untuk pertumbuhan dan memelihara jaringan tubuh, sebagai pengatur kelangsungan proses dalam tubuh dan memberikan tenaga jika keperluannya tidak dapat dipenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Tubuh yang menerima cukup makanan bergizi akan mempunyai simpanan-simpanan protein untuk digunakan

dalam keadaan darurat, tetapi bila keadaan tidak mendapatkan menu yang seimbang berlanjut terus, maka gejala-gejala kurang protein akan muncul.

2.6.3 Lemak

Lemak adalah komponen senyawa heterogen yang masih berkaitan, baik secara aktual maupun potensial dengan asam lemak. Dalam tubuh, lemak mempunyai berbagai fungsi yaitu: sumber energi yang efesien secara langsung, cadangan energi dalam bentuk sel lemak, suspensi bagi vitamin A, D, E, dan K yang berguna untuk proses biologis, dan berfungsi sebagai penahan goncangan demi melindungi organ vital dan melindungi tubuh dari suhu luar yang kurang bersahabat (Widodo 2002).

2.6.4 Kadar Abu

Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam pakan. Menurut Sudarmadjiet. al.(1996), abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Semua mineral dianggap ada dalam tubuh satwa. Pengelompokkan mineral yang dianggap esensial bagi satwa dibagi menjadi tiga yaitu mineral makro yang dibutuhkan dalam jumlah yang relatif banyak dan karenanya sangat esensial, mineral mikro yang dibagi menjadi dua yaitu esensial dan kemungkinan esensial bagi ternak karena

(30)

kemungkinan esensial dan yang fungsinya belum pasti karena mungkin dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Mineral yang dibutuhkan hanya dalam jumlah kecil, apabila termakan dalam jumlah besar dapat bersifat racun. Mineral-mineral yang diketahui bersifat toksik apabila termakan dalam jumlah banyak adalah: selenium, fluorin, arsen, timah hitam, perak, dan molibdenum. Akan tetapi beberapa diantaranya dalam jumlah sedikit adalah esensial (Widodo 2002).

Mineral esensial dan unsur runutan ditemukan dalam sebagian besar makanan, terutama biji-bijian buah dan sayuran produk susu, daging, dan ikan, tetapi dalam jumlah sedikit. Karena itu, perlu makanan cukup dari berbagai makanan untuk kelengkapan nutrisi. Fungsi mineral adalah memelihara tekanan osmotik cairan tubuh, menjaga kepekatan otot dan syaraf, mengatur transport zat

makanan dalam sel, mengatur permeabilitas membran sel dan kofaktor enzim serta mengatur metabolisme. Selain itu berfungsi untuk perbaikan dan

pertumbuhan jaringan seperti dalam gigi dan tulang (K, F dan Mg), perbaikan bulu/rambut, tanduk dan kuku, jaringan lunak dan sel darah (Widodo 2002). 2.6.5 Serat

Keberadaan serat berperan penting dalam pakan satwa. Serat mempunyai efek yang berperan dalam pencegahan dan penatalaksanaan beberapa penyakit. Serat merupakan komponen penting untuk fungsi saluran cerna. Komposisi serat terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin dan lain-lain. Komposisi ini dipengaruhi oleh spesies tumbuhan, bagian tumbuhan (daun, akar, batang) dan derajat kematangan tumbuhan tersebut (Tala 2009).

2.6.6 Kadar Air

(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di stasiun penelitian Yayasan Ekosistem Lestari Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara dengan luas areal 12,75 km2. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yakni dimulai pada bulan Juni sampai Agustus 2011. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Peta lokasi penelitian. Sumber: YEL-SOCP

3.2 Alat dan Bahan

(32)

3.3 Pengumpulan Data 3.3.1 Data primer

Data primer merupakan informasi-informasi yang diambil langsung di lapangan. Data primer tersebut terdiri dari: observasi lapang untuk pencarian orangutan, data pereferensi pakan, ketersediaan pakan, dan 7 contoh pakan untuk diketahui kandungan nutrisinya. Berikut adalah penjelasan dari keempat kegiatan pengumpulan data primer tersebut:

1. Observasi lapang

Metode pencarian orangutan adalah dengan melakukan observasi pada transek pengamatan satwa yang sudah ada. Transek tersebut dibagi menjadi 4 area yaitu (1) Utara-Barat, (2) Utara-Timur, (3) Selatan-Barat, dan (4) Selatan-Timur. Observasi ini dikombinasikan dengan metode berhenti serta menunggu selama beberapa menit saat berada pada titik tertentu, karena pada titik-titik tersebut kemungkinan perjumpaan orangutan sangat besar. Titik-titik tersebut dapat berupa pohon buah, lokasi tempat bekas makanan, posisi suara yang dikeluarkan oleh orangutan, dan sarang baru. Metode ini seperti yang dilakukan oleh Galdikas (1978). Observasi lapang dilakukan setiap hari sampai ditemukannya orangutan untuk dijadikan obyek penelitian. Orangutan yang dijadikan obyek penelitian adalah 7 individu yang terdiri dari 2 individu betina dan 5 individu jantan. Total waktu pengamatan orangutan betina 42 jam dan orangutan jantan 34 jam 44 menit.

2. Metode dan prosedur pencatatan dalam pengamatan preferensi pakan Pengumpulan data preferensi pakan adalah dengan mencatat semua aktivitas harian orangutan dengan menggunakan metode focal time sampling (Altmann 1974). Pengumpulan data dalam penelitian ini difokuskan pada satu individu orangutan sebagai obyek atau sasaran dalam setiap penelitian. Pencatatan data

aktivitas hariannya dilakukan setiap 2 menit sebagai “point sample”, yakni dalam 2 menit aktivitas diamati dan dicatat ke dalamtallysheet(Lampiran 1). Metode ini cocok dengan orangutan yang semi soliter dan memiliki karakter pergerakan yang lambat.

(33)

17

hingga orangutan tersebut kembali membuat sarang tidur pada sore hari. Orangutan sasaran tersebut biasanya aktif antara pukul 06.18-8.36 WIB hingga pukul 15.38-18.50 WIB. Data aktivitas yang dicatat dalam penelitian ini berdasarkan ethogram yang telah dibuat dan mengadopsi dari “Standar Pengambilan Data Orangutan“ dari Morrogh-Bernard et al. (2002). Aktivitas utama yang termasuk dalam standar ini terdiri dari 4 tipe aktivitas yaitu:

a. Makan: merupakan segala aktivitas makan, yakni mengunyah, menelan, atau mengumpulkan bahan makanan.

Pengambilan data preferensi pakan dilakukan pengamatan terhadap aktivitas makan yang meliputi: (1) Jenis vegetasi pakan yang dimanfaatkan orangutan, (2) Bagian vegetasi yang dimakan orangutan, (3) Jenis kelamin individu yang melakukan kegiatan makan, dan (4) Alokasi penggunaan waktu makan.

Bagian yang dimakan terdiri dari: buah (fruit), bunga (flower), daun muda (young leaf), kulit kayu (bark), batang (stem), empulur/sari dalam batang (pith), dan serangga/rayap (insect).

b. Pergerakan: merupakan semua aktivitas perpindahan lokasi yang dilakukan oleh orangutan, misalnya dari cabang satu ke cabang lainnya dalam satu pohon atau dari pohon ke pohon. Pada saat penelitian pergerakan ini dibagi menjadi 5 yaitu: bergerak dengan memanjat (moving claimb), berjalan dengan tangan dan kaki seperti anjing (moving quadratpedhal), berjalan bergantung dengan tangan saja atau berayun-ayun dari satu cabang pohon ke cabang pohon lain (moving bipedhal), berjalan dengan cara menggoyangkan pohon atau membengkokkan pohon (moving treesway), dan berjalan pada posisi turun (moving down). Data pergerakan ini digunakan untuk membandingkan proporsi waktu makan dalam aktivitas hariannya.

c. Istirahat: kondisi ini merupakan kondisi saat orangutan sama sekali tidak

melakukan aktivitas apapun sebagai aktivitas utamanya. Istirahat ini bisa dalam bentuk duduk (sit), dan bergantung (hanging). Data istirahat ini digunakan untuk

membandingkan proporsi waktu makan dalam aktivitas hariannya.

(34)

atas. Data aktivitas lainnya ini digunakan untuk membandingkan proporsi waktu makan dalam aktivitas hariannya.

Selain pengelompokkan aktivitas utama, data tambahan yang dicatat meliputi: jenis kelamin, ketinggian poisisi makan dan elemen-elemen perilaku lainnya seperti vokalisasi. Vokalisasi dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Kiss squeak: suara cium yang keras 2. Grumph: suara yang keluar dari leher

3. Longcall: seruan panjang pada orangutan jantan dewasa 4. Snore: menggorok

5. Scream: menjerit / berteriak

6. WhineatauWhimper: menangis (anak)

7. Mip-mip: suaramip-mip(jika bertemu dengan yang lain).

Pada penelitian preferensi pakan juga dilakukan identifikasi spesies tumbuhan yang menjadi makanan orangutan sumatera di Batang Toru. Identifikasi spesies tumbuhan ini menggunakan herbarium yang telah dibuat oleh pekerja Yayasan Ekosistem Lestari dari tahun 2006 sampai dengan 2010. Pengamatan orangutan akan dihentikan apabila pergerakan orangutan sasaran tersebut keluar dari daerah penelitian, pergerakan ke arah topografi yang curam sehingga tidak dapat dijangkau peneliti, dan kondisi cuaca yang buruk.

3. Pengambilan data ketersediaan pakan a. Monitoring Pohon Pakan (Fenologi)

MenurutVan Schaik (1986)pengambilan data ketersediaan pakan orangutan ditentukan dengan metode fenologi (monitoring pohon pakan), yakni mengetahui ketersediaan pohon pakan yang dilihat dari daun muda, buah masak dan belum masak, serta bunga. Ketersediaan pakan ini ditentukan berdasarkan klasifikasi pada Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi penentuan produktivitas pohon pakan orangutan

Daun muda Buah Bunga

0% = 0 0 = 0 Tidak Ada = 0 0<YL<5% = 2,5 1–10 = 1+ Sedikit = 1 5<YL<25% = 15 10–100 = 10+ Ssedang = 2 5<YL<25% = 15 100–1000 = 100+ Banyak = 3 50%<YL<75% = 62,5 1000–10000 = 1000+

(35)

19

Monitoring dilakukan pada 15 plot permanen dengan jumlah pohon 1803 yang terdiri dari 52 spesies. Keseluruhan pohon merupakan sumber pakan orangutan sumatera. Total luas plot pengamatan adalah 1,5 ha. Monitoring dilakukan dengan menggunakan alat bantu binokuler untuk melihat persentase buah, bunga, dan daun muda dan kemudian dicatat ke dalam tallysheet. Waktu monitoring dilakukan pada pagi ataupun sore hari dalam kondisi cuaca yang cerah, agar dalam monitoring untuk menghitung persentase buah, bunga, dan daun muda terlihat jelas. Monitoring ini dilakukan setiap satu bulan sekali pada

masing-masing plot. Hasil dari monitoring per bulan diakumulasi, sehingga diketahui musim ketersediaan buah, bunga, daun muda per tahunnya. Pengambilan data fenologi dilakukan hanya pada 3 bulan (bulan penelitian) yaitu Juni, Juli, dan Agustus 2011. Data ketersediaan pakan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2011 menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Yayasan Ekosistem Lestari. b.Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi bertujuan untuk mengetahui ketersediaan jenis-jenis pohon pakan pada habitat orangutan. Analisis ini dilakukan pada 15 plot dengan masing-masing plot berukuran 10x20 m. Total luasan plot contoh adalah 1,5 ha. Data yang dikumpulkan dalam analisis vegetasi adalah jenis, jumlah individu, diameter batang, tinggi bebas cabang, dan tinggi total pohon untuk tingkat tiang dan pohon. Tingkat semai dan pancang sengaja tidak diambil karena orangutan tergolong satwa arboreal yang pada umumnya hanya memanfaatkan tiang dan pohon. Selain itu, dilakukan pencatatan terhadap jenis-jenis potensial yang dimakan oleh orangutan sumatera seperti liana, pandan, epifit, dan bambu. Data analisis vegetasi terdiri dari: kerapatan, kerapatan relatif, dominasi, dominasi relatif, frekuensi, frekuensi relatif yang digunakan untuk menentukan Indeks Nilai Penting (INP). Data analisis vegetasi merupakan data sekunder yang diambil oleh (Nurmansyah, in press) pada saat penelitian komposisi dan habitat siamang di Batang Toru bulan Juni sampai dengan Agustus 2011.

4. Penentuan kandungan nutrisi pakan

(36)

kasar, serat kasar, lemak kasar, karbohidrat, dan kadar abu. Pengambilan data kandungan nutrisi dilakukan pada 7 contoh pakan yang dimakan orangutan pada saat penelitian. Bagian dari jenis yang dianalisis adalah buah yang mana pada saat penelitian, buah merupakan bagian yang paling banyak dimakan. Buah yang dianalisis tersebut dari spesies Dacrycarpus imbricatus, Agathis boornensis, Naigea neriifolium, Campnosperma auriqulatum, dan Tetramerista glabra. Selanjutnya adalah daun muda. Tujuh pakan terdiri dari Pandanus sp. dan Freycinetea sp. Bagian pakan yang diuji kandungan nutrisinya dapat dilihat pada Gambar 2.

a. b. c. d.

e. f. g.

Gambar 2 Sampel pakan analisis proksimat. (a)Agatis borneensis, (b)Naigea neriifolium,(c)Tetramerista glabra,(d)Dacrycarpus imbricatus,(e)

Campnosperma auriqulatum, (f)Pandanussp., (g)Freycineteasp.

Pakan yang diujikan dalam kondisi segar, hal ini bertujuan agar dalam analisis proksimat antara pakan alam dengan pakan contoh perubahan kandungan nutrisinya tidak terlalu signifikan atau tetap. Pengujian contoh pakan dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberhayati dan Bioteknologi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

3.3.2 Data sekunder

(37)

21

3.4 Analisis Data

Data yang didapat melalui penelitian ini selanjutnya dianalisis dan dibahas dengan menggunakan beberapa teknik. Berikut ini adalah penjelasan dari analisis data preferensi pakan orangutan sumatera, data ketersediaan pakan, dan data kandungan nutrisi ke-7 contoh pakan orangutan sumatera.

3.4.1 Analisis preferensi pakan orangutan sumatera

Pengolahan data preferensi pakan menggunakan software SPSS 16.0, sedangkan data tentang apakah suatu jenis pakan disukai atau tidak disukai

dilakukan pengujian dengan pendekatan Metode Neu (Indeks Preferensi). Asumsinya, jika semakin tinggi frekuensi suatu jenis dimakan, maka semakin disukai jenis tumbuhan tersebut. Neu et al. (1974) dalam Kadhafi (2011) menyatakan jika nilai w ≥ 1 maka jenis pakan tersebut disukai. Nilai w yang didapat dari hasil perhitungan merupakan Indeks Preferensi, maka nilai Indeks Preferensi dari spesies pakan dibagi dalam dua kriteria, yaitu:

a. w≥ 1= disukai b. w≤ 1= tidak disukai

Penentuan Indeks Neu (Indeks Preferensi) menurut Neuet al.(1974)dalam Kadhafi (2011) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kriteria yang diukur dalam menentukan Indeks Neu.

Nama Spesies Ketersediaan Penggunaan Indeks Preferensi

A n r W B

1 a.1 n.1 r.1 w.1 b.1

2 a.2 n.2 r.2 w.2 b.2 ... ... ... ... ... ... K a.k n.k r.k w.k b.k

Keterangan: a= proporsi kerapatan (ai/∑ a), n= jumlah masing-masing spesies tumbuhan pakan

yang teramati, r= proporsi jumlah masing-masing spesies yang teramati (ni/∑ n),

w= indeks preferensi (ri/ai), b= indeks seleksi yang distandarkan (wi/∑ w).

3.4.2 Analisis ketersediaan pakan

Menurut Takemoto (2004) untuk menghitung ketersediaan buah dapat menggunakan FAI (Fruits Availability Index) yang mana rumus tersebut adalah: FAI = [∑ (Pi x Fi)/∑ (Pi x 3)] x 100

Keterangan:

FAI= Indeks Ketersediaan Buah Pi= Lbds pohon ke-i

(38)

3.4.3 Analisis kandungan nutrisi pakan

(39)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI

4.1 Letak dan Luas

Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) terdiri dari Blok Barat dan Blok Timur yang secara geografis terletak pada koordinat 93053’-99026’ Bujur Timur dan 02003’-01027’ Lintang Utara. Kawasan ini secara administrasi berada pada wilayah tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Selatan (31 hektar), Tapanuli Utara (89 hektar) dan Tapanuli Tengah (15 hektar). Luas KHBT sebesar 103.009 ha dan berdasarkan fungsi hutan dan penetapannya, kawasan tersebut terbagi menjadi Hutan Produksi, Hutan Lindung dan Hutan Suaka Alam, dan Area peruntukan lain

(Perbatakusumaet al.2006).

4.2 Status Kawasan

Status hutan di Batang Toru sebagian besar tidak memadai untuk mewujudkan pengelolaan jasa lingkungan yang bisa memberikan manfaat kepada masyarakat, kabupaten-kabupaten di Tapanuli, dan Propinsi Sumatera Utara. Status hutan Batang Toru sekitar 69% adalah Hutan Produksi (91.537 ha), Areal Penggunaan Lain (APL) 12,1% (16.019%) dan sebagian Hutan Lindung (Register) atau Suaka Alam 19,0% (25.161 ha). Sebagian besar dari Hutan Produksi dan APL tersebut telah diusulkan perubahan fungsi menjadi Hutan Lindung dan sedang menunggu pengesahan dari Departemen Kehutanan.

4.3 Topografi

(40)

4.4 Geologi dan Tanah

Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat berada di daerah vulkanis aktif, Kawasan ini merupakan bagian dari rangkaian Pegunungan Bukit Barisan dan juga merupakan bagian dari Daerah Patahan Besar Sumatera (Great Sumatran Fault Zone) atau secara spesifik dikenal sebagai Sub Patahan Batang Gadis-Batang Angkola-Gadis-Batang Toru. Patahan ini terus bergerak, sehingga kerap kali menimbukan gempa bumi besar. Berdasarkan batuan geologinya, pada kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat terdapat 15 jenis batuan geologis dan tipe batuan

Qvt yaitu batuan vulkanik Toba Tuffs atau Tufa Toba (batuan polimik bersusun riolit-dasit, aliran tufa kristal, gelas, debu dengan sedikit tufa eksposif pada bagian atas). Jenis batuan Qvt ini mendominasi jenis batuan kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat, dimana lebih dari 50% luas kawasan tersebut memiliki jenis batuan geologis Qvt (OCSP 2008).

4.5 Iklim

Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat merupakan hamparan hutan hujan tropis dengan hari hujan rata-rata bulanan adalah 12-13 hari/bulan, curah hujan tahunan rata-rata >1717,5 mm/tahun dan temperatur rata-rata bulanan

adalah 23-25,4⁰C. Tipe iklim di kawasan ini termasuk kedalam tipe A klasifikasi

iklim menurut Schmidt-Ferguson berdasarkan rata-rata tersebut. Tipe iklim ini menggambarkan bahwa kawasan tersebut memiliki curah hujan yang cukup tinggi (OCSP 2008).

4.6 Hidrologi

Kawasan ini masih memiliki tutupan hutan relatif baik dan utuh yang merupakan daerah tangkapan air untuk 10 sub-DAS dan berfungsi penting sebagai penyangga dan pengatur tata air dari 10 sub-DAS disekitarnya yaitu Sipansihaporas, Aek Raisan, Batang Toru Ulu, Sarulla Timur, Aek Situmandi, Batang Toru Ilir (Barat dan selatan), Aek Garoga, Aek Tapus, Sungai Pandan, dan Aek Namapar (Fredriksson & Indra 2007). Kondisi ini menjadikan KHBT

(41)

25

berfungsi sebagai pencegah banjir, erosi dan tanah longsor. Selain itu, potensi ini juga dimanfaatkan sebagai sumber energi bagi PLTA Sipansihaporas (Perbatakakusumaet al.2006).

4.7 Flora

Kawasan Hutan Batang Toru memiliki berbagai jenis vegetasi yang menyusun empat ekosistem utama yaitu hutan pegunungan bawah, hutan gambut pada ketinggian 900-1000 m dpl, hutan dipterocarpaceae atas, dan hutan dataran rendah. Jenis pohon yang mendominasi berbeda-beda pada masing-masing

habitat. Jenis-jenis itu antara lain dari famili Casuarinaceae, Podocarpaceae, dan Myrtaceae. Pada hutan dataran renda jenis-jenis yang mendominasi yaitu pohon dari famili Dipterocarpaceae dan Fagaceae. Jenis tersebut diantaranya cemara gunung (Casuarina sp.), sampinur tali (Dacrydium comosum), dan mayang susu (Palaquium rostratum). Pada umumnya kawasan hutan ini memiliki kerapatan vegetasi yang tinggi, namun dengan diameter pohon yang relatif kecil. KHBT juga menyimpan jenis-jenis angrek hutan, Nephentes spp. dan Rafflesia spp. (Fredriksson & Indra 2007). Berdasarkan kegiatan inventarisasi yang telah dilakukan kawasan ini memiliki 688 jenis tumbuhan. Terdapat 8 jenis yang terancam punah, 3 jenis endemik Sumatera, 4 jenis dilindungi Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 1999, 2 jenis endemik dan langka yaitu Amorphophalus baccari dan Amorphophalus gigas. Selain itu juga terdapat 3 jenis Nephenthes yang terancam punah (Perbatakusumaet al.2006).

4.8 Fauna

Kawasan Hutan Batang Toru Bagian Barat merupakan habitat alam bagi berbagai jenis satwaliar Pulau Sumatera. Terdapat 67 jenis mamalia, 265 jenis burung, dan 110 jenis herpetofauna. Berdasarkan hasil survei Martabe Project Area, satwaliar jenis mamalia yang ditemukan di kawasan ini antara lain harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Naemorhedus sumatrens),

(42)
(43)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Perjumpaan dan aktivitas orangutan sumatera

Pengamatan awal terhadap orangutan umumnya menemui hambatan yang disebabkan faktor topografi yang bergelombang berat dan ringan yaitu antara 16-60% dengan dominasi kelerengan >50% (OCSP 2008). Selain itu karena orangutan adalah satwa soliter yang cenderung hidup sendiri dan memiliki pergerakan lambat (sloth) dalam rimbunan pohon-pohon di hutan, sehingga menyebabkan orangutan menjadi sulit untuk ditemukan.

Selama penelitian orangutan berhasil dijumpai sebanyak 28 kali dengan 16 individu yang berbeda, tetapi dari 28 kali perjumpaan tidak semua berhasil dilanjutkan dengan pengamatan. Orangutan yang berhasil diamati aktivitas makannya hanya 5 individu jantan dan 2 individu betina. Hal ini dikarenakan beberapa orangutan yang dijumpai saat pencarian lokasinya keluar dari area penelitian, topografi curam sehingga tidak dapat dijangkau peneliti, dan kondisi cuaca yang buruk.

Berdasarkan hasil survei Tim SOCP Batang Toru, perjumpaan orangutan pada saat penelitian ini termasuk banyak dibandingkan pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2006 sampai 2009, orangutan hanya dijumpai ±20 individu dalam waktu 2 tahun. Sedangkan pada saat penelitian orangutan dijumpai 28 kali dari 16 individu dalam waktu 3 bulan. Kemungkinan kondisi ini disebabkan habitat orangutan yang semakin menyempit, sehingga menyebabkan ruang gerak orangutan menjadi semakin terbatas. Menurut Fredriksson dan Indra (2007) penyempitan habitat ini disebabkan karena adanya penebangan, baik secara legal yang dilakukan oleh HPH dan penebangan liar serta perambahan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan. Perizinan penebangan oleh HPH ini disebabkan karena status hutan Batang Toru adalah hutan produksi yang mana pada saat ini

(44)

Gamba Nilai perjumpaan pa dari 10 betina dan 4 janta dengan 5 jantan dan 5 be yakni 4 kali yang terdiri da kelaminnya. Data meny hingga Agustus mengalam

Intensitas perjumpa pakan di habitatnya. Pada

semakin rendah karena o Begitu sebaliknya, jika semakin tinggi, karen Selain itu, penyebab pe perjumpaan dengan ma

bar 4 Grafik perjumpaan orangutan sumatera. n paling tinggi adalah bulan Juni, yakni 14 kali y

ntan. Pada bulan Juli perjumpaan orangutan ada 5 betina. Perjumpaan paling rendah adalah bula ri dari 2 jantan, 1 betina dan 1 lagi tidak teridenti nyatakan bahwa perjumpaan orangutan dari lami penurunan.

paan orangutan dipengaruhi oleh musim buah ada saat musim buah tinggi, peluang perjumpaan

orangutan tidak banyak bergerak untuk mencar ka musim buah rendah maka perjumpaan oran

ena orangutan akan lebih banyak berge umber pakannya. Hasil penelitian Wich et al. h dimulai bulan Mei sampai dengan Septem sehingga perjumpaan ini dinyatakan berbandi musim buah. Perjumpaan orangutan dari bul

mi penurunan ini diduga karena meningkatnya m i dengan Agustus, seperti pada hasil fenologi t

penurunan perjumpaan ini diduga karena manusia dan penaksiran peneliti terhadap k tepat. Pendugaan ini didasarkan atas penelit

an sensitif atau takut dengan kehadiran manusia

(45)

29

Meijaard et al. (2006) menyatakan bahwa dalam pengamatan satwaliar peluang perjumpaan satwa adalah <1.

Perjumpaan orangutan pertama kali adalah orangutan betina dewasa (Gambar 5) dengan anak (Gambar 6). Menurut Tim Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP) di Batang Toru, orangutan betina adalah Indah (Ibu) dan Iben (Anak). Orangutan ini sudah terhabituasi sehingga pada saat berjumpa dengan manusia tidak menunjukkan perilaku takut seperti halnya satwa atau primata lain. Berbeda dengan orangutan jantan, pada umumnya perilaku orangutan jantan di Batang Toru ketika berjumpa dengan manusia akan selalu menghindar. Pada saat pengamatan pergerakan orangutan ini sangat cepat dibandingkan dengan betina. orangutan jantan berusaha menghindar dari pengamat dengan mengeluarkan kissquek berkali-kali dan seruan panjang yang

disebut dengan “longcall”. Seruan ini hanya dapat dikeluarkan orangutan jantan,

karena orangutan jantan dewasa mempunyai kantung suara (air sack) yang terdapat pada lehernya. Selain itu kantung ini juga berfungsi untuk mengambil serta mengumpulkan beberapa liter udara (MacKinnon 1972). Perilaku menghindar lainnya ditunjukkan dengan mematahkan ranting atau cabang pohon dan berusaha untuk melempar kepada pengamat. Semua orangutan jantan yang diamati belum terhabituasi sehingga sulit dalam melakukan identifikasi.

Selama penelitian orangutan yang berhasil diidentifikasi hanya 3 individu. Identifikasi tersebut dilakukan dengan mengetahui jenis kelamin, kelas umur, dan

ciri spesifik yang terlihat pada anggota tubuh. Berikut ini adalah penjelasan dari orangutan yang berhasil diidentifikasi.

1. Orangutan betina dewasa (Indah)

(46)
(47)
(48)

cepat dan kondisi vegetas membuat sarang. Waktu 06.22 WIB sampai denga kalimantan bangun lebih Tapanuli Tengah. Hal in

Sumatera Utara.

Aktivitas utama or

berpindah, istirahat dan orangutan dapat dilihat pa

tasi yang rapat di stasiun penelitian (Fredriksson utan tidak dapat diamati karena pergerakannya n atau masuk ke area jurang yang tidak memungki

ktif merupakan periode aktif orangutan dalam ulai dari bangun pagi dan keluar dari sarang sam

dilakukan pada sore hari yang ditandai dengan ktu aktif orangutan di Batang Toru dimulai ant

gan 08.30 WIB dan mengakhiri aktivitasnya pada B sampai dengan 18.34 WIB. Sebelum memula

lakukan urinasi dan defikasi terlebih dahulu di l andai dengan berjalan, makan, dan sedikit beristi sebut merupakan aktivitas rutin sehari-hari sel litian Krisdijantoro (2007) bahwa orangutan dimulai antara pukul 05.35 sampai dengan jam

aktivitasnya pada sore hari antara pukul 17.44 W B. Hasil perbandingan ini menunjukkan bahwa bih cepat daripada orangutan sumatera di Ba ini dipengaruhi oleh perbedaan cuaca di Kalim

orangutan sumatera pada saat penelitian adal

(49)

33

Hasil penelitian menyatakan aktivitas paling tinggi adalah makan yakni 39,31%, selanjutnya berpindah 31,23%, istirahat 27,58%, dan aktivitas lainnya 1,87%. Frekuensi aktivitas makan paling tinggi terjadi pada siang hari antara pukul 10.00-14.58 WIB yaitu sebesar 42,32% dari total aktivitas makan, selanjutnya pada pagi hari antara pukul 07.00-10.58 WIB sebesar 31,38% dan aktivitas makan rendah pada sore hari antara pukul 15.00-18.58 WIB sebesar 26,29 %.

Hasil ini berbeda dengan penelitian aktivitas makan orangutan di Ulu Segama, Ranun (MacKinnon 1972), Ketambe (Rijksen 1978) dan Mentoko (Rodman 1988), bahwa orangutan banyak melakukan aktivitas makan di pagi dan sore hari, sebaiknya di siang hari aktivitasnya lebih didominasi oleh aktivitas istirahat. Fredriksson (1995) dalam Kuncoro (2004) memperkirakan perbedaan pola aktivitas makan tersebut dikarenakan terdapat perbedaan umur pada populasi orangutan yang diamati. Selanjutnya adalah aktivitas berpindah 31,23%, istirahat 27,58% dan aktivitas lainnya 1,87%. Hasil ini dapat dibandingkan dengan penelitian aktivitas orangutan di beberapa tempat seperti di Tanjung Puting, Kutai, dan Ulu Segama seperti yang terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Perbandingan aktivitas harian orangutan di beberapa lokasi berbeda

Daerah Pergerakan (%) Istirahat (%) Makan (%)

Kutai, kalimantan Timur (Rodman dan Mitani 1988)

11 39 46

Ulu Segama, sabah (MacKinnon 1972) 16,50 51,70 31 Tanjung puting, Kalimantan Tengah

(Galdikas 1978)

17,74 18,26 62,14

(50)

Hasil analisis sela kalori yang tinggi. Kondi makanan lain yang banya orangutan betina hanya melakukan aktivitas berpi

elanjutnya mengenai pengaruh jenis kelamin asil perbandingan aktivitas harian antara orang dapat dilihat pada Gambar 10.

rbandingan aktivitas harian orangutan jantan dan or betina.

ertinggi adalah makan, orangutan betina me 44,92% dan orangutan jantan sebanyak 32,53% a. Aktivitas bergerak orangutan jantan sebany 25,39%. Aktivitas istirahat orangutan jantan n betina 27,06%. Aktivitas lainnya (membuat sara

i), untuk orangutan jantan sebanyak 0,96% dan . Jika dilihat dari ukuran tubuh, seharusnya embutuhkan energi karena ukuran tubuhnya ta yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa nis kelamin. Persentase makan yang tinggi pada pakan yang dimakan oleh orangutan betina m ondisi ini menyebabkan orangutan tidak per yak atau mencari makan dalam waktu yang lam

a memakan pakan yang ada disekitarnya tanp berpindah-pindah. Hal ini terbukti bahwa orang

h yang berjenis Naigea neriifolium, yakni seba ada jalur pergerakan orangutan betina dan dari ha memiliki kandungan karbohidrat tinggi, yait bergerak lebih banyak dilakukan oleh orangutan j

(51)

35

38,29% dan orangutan betina 25,39%. Aktivitas pergerakan yang lebih tinggi ini diasumsikan dengan strategi orangutan dalam mencari pasangan. Orangutan jantan mencari orangutan betina yang tidak dalam pengawasan ataupun dalam kondisiconsortbersama orangutan jantan dominan (Atmoko 2000).

5.2 Preferensi pakan orangutan sumatera 1. Spesies tumbuhan sumber pakan orangutan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa vegetasi yang merupakan sumber pakan orangutan sumatera sebanyak 33 spesies. Spesies tersebut terdiri dari 5 habitus, yakni pohon, liana, herba, bambu, dan epifit. Selain itu orangutan juga memakan rayap (Dicus piditermes). Spesies pohon pakan yang dimanfaatkan orangutan pada saat penelitian sebanyak 27 spesies. Hal ini berarti hanya 12.56% dari 215 spesies pohon pakan yang terdapat dalam plot permanen. Hasil penelitian CII untuk konservasi orangutan di Batang Toru selama dua tahun terakhir (2005-2007) telah diidentifikasi 143 spesies pohon pakan orangutan. Selain itu Simorangkir (2009) juga menyatakan di hutan Batang Toru menyediakan pohon pakan orangutan sebanyak 96 jenis (77,4%-78,5%).

Variasi pakan orangutan betina lebih tinggi daripada orangutan jantan. Orangutan betina memakan 19 spesies pohon, sedangkan orangutan jantan

memakan 16 spesies pohon. Menurut Dierenfeld (1997), orangutan termasuk satwa yang highly opportunistic feeders bahwa satwa tersebut mampu mengkonsumsi jenis makanan lebih dari 100 jenis tanaman bahkan lebih dari 300 jenis tanaman di habitatnya (Rijksen 1978).

Gambar

Tabel 1 Unit habitat yang mendukung populasi orangutan di Sumatera
Gambar 1 Peta lokasi penelitian. Sumber: YEL-SOCP
Gambar 2 Sampel pakan analisis proksimat. (a) Agatis borneensis, (b) Naigea neriifolium, (c) Tetramerista glabra, (d) Dacrycarpus imbricatus, (e)
Gambar 9 P0MakanBerpindahIstirahatLainnya
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari 190 individu pohon sebanyak 101 jenis pohon, dimana terdapat 52 pohon pakan orangutan berdasarkan daftar tanaman pohon pakan orangutan Pusat Pengamatan Orangutan Bukit

bertujuan untuk menggali informasi potensi pakan dan pakan aktual, serta kelimpahan pakan, fluktuasi ketersediaan pakan dan indeks ketersediaan pakan berdasarkan fenologi, pakan

Judul yang dipilih dalam penelitian yang di laksanakan sejak April – Juni 2012 adalah “ Preferensi Pakan Orangutan Sumatera ( Pongo abelii Lesson) Pada Waktu Tidak

Hoteng merupakan pohon penghasil buah yang juga merupakan pakan orangutan dan hewan lain, menurut Rijksen (1978) bahwa orangutan tidak membuat sarang pada pohon

Dalam publikasi terbaru disebutkan bahwa orangutan betina di Kawasan Hutan Batang Toru memiliki keunikan secara genetik, yaitu lebih dekat kekerabatannya dengan

Hoteng merupakan pohon penghasil buah yang juga merupakan pakan orangutan dan hewan lain, menurut Rijksen (1978) bahwa orangutan tidak membuat sarang pada pohon

Konsumsi makanan dengan energi yang besar dari orangutan jantan digunakan dalam menjelajah dan mempertahankan daerah teritori, sedangkan orangutan betina dewasa

abelii Lesson, 1827) DI STASIUN PENELITIAN HUTAN BATANG TORU BAGIAN BARAT TAPANULI UTARA” didedikasikan untuk Ayah dan Ibu tercinta yang selalu mendukung