• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Orangutan - Perilaku Makan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Bagian Barat Tapanuli Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi Orangutan - Perilaku Makan Orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson, 1827) Di Stasiun Penelitian Hutan Batang Toru Bagian Barat Tapanuli Utara"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taksonomi Orangutan

Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Homonidae (Groves, 2001), dengan klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrae Kelas : Mamalia Ordo : Primata Famili : Homonidae Genus : Pongo

Spesies : Pongo abelii Lesson, 1827

Pongo pygmaeus Linneus, 1760.

Nama orangutan merujuk pada kata orang (manusia) dan hutan yang berarti "manusia hutan" seperti yang dikemukakan oleh Galdikas & Briggs (1999). Sebelum genus Pongo digunakan, sebutan untuk keluarga kera besar ini dengan nama spesies Ourangus outangus. Nama ini tidak diberlakukan lagi setelah International Commission for Zoological Nomenclature (ICZN) memberikan sebutan Pongo untuk genus keluarga kera besar ini (Mapple, 1980).

(2)

2.2. Morfologi Orangutan

Orangutan memiliki postur tubuh mirip dengan keluarga kera besar lainnya. Memiliki lengan yang panjang dan kuat, kaki orangutan lebih pendek, tidak memiliki ekor serta rambut berwarna cokelat kemerahan. Beberapa peneliti mengatakan bahwa jenis rambut orangutan dapat dijadikan acuan untuk mengidentifikasi dan membedakan satu individu dengan individu lainnya berdasarkan warna rambut dan alur tumbuhnya rambut (Groves, 1999).

Perbedaan morfologi orangutan dapat dikenali dari perawakannya, khususnya struktur rambut. Dilihat melalui mikroskop, jenis dari Kalimantan berambut pipih, dengan kolom pigmen hitam tebal di tengah; jenis dari Sumatera berambut lebih tipis, membulat, mempunyai kolom pigmen gelap yang halus dan sering patah di bagian tengahnya, biasanya jelas di dekat ujungnya dan kadang berujung hitam di bagian luarnya (MacKinnon, 1973). Ciri yang kedua, orangutan Kalimantan lebih tegap dan mempunyai kulit dan warna rambut lebih gelap daripada yang ada di Sumatera. Namun perlu diperhatikan bahwa ciri-ciri umum yang membedakan kedua anak jenis ini tidak mudah dilihat di lapangan (Meijard

et al. 2001).

Menurut Supriatna (2000), rambut orangutan Sumatera lebih terang bila dibandingkan orangutan Kalimantan. Warna rambut coklat kekuningan, dan umumnya rambut agak tebal atau panjang. Seperti halnya orangutan Kalimantan, anak yang baru lahir mempunyai kulit muka dan tubuh berwarna pucat, dan rambutnya coklat sangat muda. Menginjak dewasa warnanya akan berubah sesuai dengan perkembangan umur. Jantan dewasa ukuran tubuhnya dua kali lebih besar daripada betina yaitu sekitar 125-150 cm.

(3)

pada orangutan Kalimantan tidak ditemukan hal tersebut. Perbedaan ini bukan merupakan sifat yang mantap tetapi dapat digunakan sebagai penuntun kasar (Galdikas, 1986).

a b

c d

Gambar 2.1 Foto Orangutan dari Jenis a) Pongo abelii betina (Batang Toru, YEL-SOCP) b) Pongo abelii jantan (Harahap, 2013) c) Pongo abelii betina (Suaq, sumber Jeef Oonk) d) Pongo pygmaeus

2.3. Perilaku Makan Orangutan

(4)

orangutan akan langsung makan di pohon tersebut. Setelah itu aktivitasnya berkisar antara makan, istirahat, bergerak dan sosial (YEL, 2007).

Rodman (1979) menyatakan bahwa aktivitas utama orangutan didominasi oleh kegiatan makan kemudian aktivitas istirahat, bermain, berjalan-jalan di antara pepohonan dan membuat sarang. Kegiatan membuat sarang ini umumnya dilakukan dalam persentase waktu yang relatif kecil. Menurut Fakhrurradhi (1998) di Suaq Balimbing, orangutan Sumatera rata-rata dalam satu hari menggunakan waktu 65% untuk melakukan aktivitas makan, 16% untuk bergerak pindah, 17% untuk beristirahat, 1% untuk membuat sarang dan 0,5% untuk aktivitas sosial.

Orangutan merupakan hewan diurnal, yaitu hewan yang aktif di siang hari (Galdikas, 1984; Rodman, 1977). Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagian besar waktu kehidupan orangutan di siang hari (57%) dihabiskan untuk mencari makan sebesar 45.9% dan berpindah tempat sebesar 11,1% dan 43% digunakan untuk istirahat pada malam hari.

Menurut van Schaik (2006) bahwa kehidupan sehari-hari orangutan semua mengenai makanan. Sebagian besar waktu aktif orangutan dilewati dengan menemukan, memproses, dan memakan makanan, sehingga jadwal kehidupan mereka sehari-hari mudah disimpulkan: makan dan berjalan, berjalan dan makan. Selanjutnya Kuncoro et al. (2008) menyatakan bahwa orangutan merupakan satwa arboreal. Fungsi lain kehidupan arboreal pada orangutan berhubungan dengan ketersediaan pakan yang sesuai. Saat musim buah orangutan banyak beraktivitas pada kanopi tengah dan atas.

(5)

Buah-buahan yang telah matang, apalagi kalau jumlahnya banyak, merupakan menu utama makanan orangutan. Buah-buahan merupakan sumber energi yang baik, akan tetapi bukan merupakan sumber protein. Kebanyakan diantara para primata menemukan jalan tengah dengan menambah dedaunan muda atau serangga yang dua-duanya kaya akan protein (van Schaik, 2006).

Perubahan musim hujan dan kemarau dapat mempengaruhi fenologi tumbuhan, khususnya waktu terjadinya pertunasan, perbungaan dan perbuahan yang menggambarkan produktivitas dari tumbuhan. Perubahan waktu berbunga dari tumbuhan tersebut juga dapat mempengaruhi produksi buah yang dimakan oleh orangutan (Suhud & Saleh, 2007).

Aktifitas harian orangutan dipengaruh oleh musim buah. Pada saat tidak musim buah, orangutan menghabiskan waktunya untuk berjalan dan waktu untuk makan hanya sedikit (MacKinnon, 1974 dalam Rijksen, 1978). MacKinnon juga menemukan perbedaan pola aktifitas harian orangutan sumatera pada saat hari kering dan hari basah. Pada saat hari kering waktunya lebih banyak dihabiskan untuk beristirahat daripada aktifitas makan dan berjalan. Pada saat hari kering orangutan menghabiskan waktunya untuk istirahat sampai tengah hari.

Perilaku makan yang tinggi sepanjang hari, dan agak menurun pada siang hari karena meningkatnya perilaku istirahat (Kuncoro et al. 2008). Hal ini sedikit berbeda dengan yang di Sungai Wain, yaitu perilaku makannya tinggi, perilaku istirahat sedikit dan perilaku pergerakan juga sedikit (Frederiksson, 1995). Hal tersebut berbeda dengan perilaku orangutan liar di Ulu Segama Sabah dan Sungai Ranun Sumatera (MacKinnon, 1972), Ketambe Sumatera (Rijksen, 1978) serta Mentoko Kutai (Rodman, 1988), karena perilaku makan orangutan banyak terjadi pada pagi dan sore hari, sedangkan siang hari yang banyak dilakukan adalah perilaku istirahat. Frederiksson (1995) menduga hal tersebut terjadi karena perbedaan umur, penelitian pada orangutan liar umumnya umurnya sudah dewasa, sedangkan penelitian pada orangutan rehabilitan umumnya umurnya masih muda.

(6)

jelajah harian dan luas daerah teritori orangutan jantan dewasa lebih besar bila dibandingkan dengan betina dewasa mengakibatkan perbedaan perilaku makan antara orangutan jantan dan betina. Menurut Singleton (2000) bahwa pada orangutan betina dewasa, anak juga sangat mempengaruhi dalam perilaku makan, karena kehidupan anak sangat bergantung pada induknya.

Perubahan produksi buah akan direspon oleh orangutan dan kera besar lainnya, yaitu dengan melakukan perubahan perilaku makan (Meijaard et al. 2001; Yamagiwa, 2001). Perilaku makan termasuk perilaku yang cukup penting dalam kehidupan orangutan karena sebagian besar aktivitas orangutan digunakan untuk mencari, memproses dan memakan makanan (van Schaik, 2006). Dalam pengamatan perilaku makan, orangutan terlihat memiliki daya ingat terhadap perubahan fenologi bunga dan buah yang dimakan (Rijksen, 1978; Utami et al.

1997). Selain itu, orangutan juga memperlihatkan perilaku dalam memilih bagian yang dimakan dari makanannya (van Schaik, 2003; Russon, 2009). Hasil penelitian perilaku makan buah yang dilakukan di Gunung Palung terlihat bahwa orangutan hampir selalu memakan daging buah yang matang, sementara biji biasanya dimakan dari buah yang mentah. Orangutan memilih makan kambium saat terjadi kelangkaan buah (Knott, 1998).

Orangutan memiliki strategi dalam perilaku makan, yaitu dengan memilih makanan yang tersedia di alam dan menentukan bagian yang dimakan dari suatu jenis makanan. Orangutan akan memilih makan daging buah yang matang dan makan biji yang mentah dari jenis tumbuhan yang sama (van Schaik, 2006). Penelitian perilaku makan orangutan di Tanjung Puting menunjukkan bahwa, orangutan jantan dewasa sering memakan rayap (Galdikas, 1986). Penelitian lain dari Utami & van Hoof (1997) memperlihatkan bahwa orangutan betina dewasa di Ketambe dan Suaq Balimbing secara kebetulan memakan kukang (Nycticebus coucang).

(7)

melimpah dari orangutan jantan dewasa adalah 8422 kkal/hari dan 7404 kkal/hari untuk betina dewasa. Saat buah langka, orangutan jantan dewasa menkonsumsi 3824 kkal/hari dan 1793 kkal/hari untuk betina dewasa. Konsumsi makanan dengan energi yang besar dari orangutan jantan digunakan dalam menjelajah dan mempertahankan daerah teritori, sedangkan orangutan betina dewasa mengkonsumsi makanan dengan kualitas lebih tinggi digunakan untuk kebutuhan pada waktu hamil, menyusui dan merawat anak (Knott, 1988).

Mencari makanan seharusnya merupakan tantangan berat bagi para orangutan. Di hutan telah tersedia banyak tanaman yang beracun atau berserat tinggi yang mungkin saja bisa dimakan, akan tetapi makanan yang mudah dicerna lagi pula bebas kandungan kimia yang dicari orangutan ini sangat sedikit tersedia. Para orangutan memakan aneka ragam makanan dan menyantap jajaran luas berbagai macam jenis, hanya akan memakan buah yang matang dari jenis yang satu, akan tetapi memakan semua tahap kematangan dari jenis buah berikutnya. Menyobek hingga lepas kulit dari batang pohon dan melumatkan umbi yang penuh zat makanan dan banyak airnya dari epifit. Kebanyakan satwa mengandalkan rasa dan konsistensi makanan untuk menentukan apa saja yang layak dimakan, dan banyak pula diantaranya mungkin akan menghindar dari jenis makanan yang telah membuat mereka sakit setelah mereka pernah mencobanya (van Schaik, 2006).

2.4. Daya Dukung Habitat

(8)

Dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, orangutan membutuhkan persyaratan habitat kawasan hutan alam yang relatif utuh dan cukup luas sebagai tempat mencari makan, beristirahat, berlindung dari pemangsa dan pemenuhan kebutuhan sosial lainnya (Perbatakusuma et al. 2007). Selain itu, hutan yang luas diperlukan orangutan Sumatera mengingat areal jelajah individu dapat mencapai 1500-4000 hektar untuk individu jantan dewasa dan 850-950 hektar untuk individu betina dewasa (Singleton & van Schaik, 2001).

Diperkirakan total luasan bentang alam daya dukung habitat yang dapat mendukung kelangsungan hidup orangutan (orangutan landscape) di Ekosistem Batang Toru adalah 148.570 hektar yang terdiri dari Blok-blok Hutan di Batang Toru Barat dan di Batang Toru Timur atau Blok Hutan Sarulla (Conservation International, 2006). Habitat orangutan di kawasan hutan Batang Toru sebagian berupa hutan sekunder dan hutan bekas tebangan masyarakat. Berdasarkan ketinggiannya tipe vegetasi habitat orangutan meliputi hutan dataran rendah, hutan campuran dan hutan dataran tinggi. Habitat orangutan didominasi oleh pohon berdiameter 10-30 cm (75,6%) dengan tinggi antara 10-30 m (80,4%) (Simorangkir et al.2009).

Orangutan sangat peka terhadap perubahan kondisi hutan tropis yang menjadi habitatnya. Dimana hutan tropis yang menjadi habitatnya harus menyediakan beragam tumbuhan buah yang menjadi sumber pakan utamanya sehingga primata ini dapat bertahan hidup. Dengan demikian pembukaan hutan tropis sangat berpengaruh terhadap perkembangan populasinya (Supriatna & Edy, 2000).

(9)

2.5. Kondisi dan Penurunan Habitat

Berdasarkan hasil temuan fosil, sekitar 10.000 tahun yang lalu orangutan tersebar hampir di seluruh daratan Asia Tenggara dan sebagian dari daratan Cina bagian Selatan. Namun saat ini populasi orangutan hanya dapat ditemui di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Penyebaran orangutan di alam saat ini, sebagian besar orangutan liar berada di wilayah Indonesia serta sebagian kecil di wilayah Malaysia dan Brunei Darussalam (Ancrenaz et al. 2007).

Saat ini hampir semua orangutan Sumatera hanya ditemukan di Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Nangro Aceh Darussalam, dengan Danau Toba sebagai batas paling Selatan sebarannya. Hanya 2 populasi yang relatif kecil berada di sebelah Barat Daya Danau, yaitu Sarulla Timur dan hutan-hutan di Batang Toru Barat. Sebaran orangutan di Hutan Batang Toru Blok Barat terdapat pada Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Tapanuli Selatan. Peta sebaran orangutan Sumatera di Daerah Aliran Sungai Batang Toru yang merupakan kompilasi terkini para peneliti disajikan pada Gambar 2.2 berikut ini.

(10)

Pembukaan kawasan hutan merupakan ancaman terbesar terhadap lingkungan karena mempengaruhi fungsi ekosistem yang mendukung kehidupan di dalamnya. Selama periode tahun 1980-1990, hutan Indonesia telah berkurang akibat konversi menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan permukiman, kebakaran hutan, serta praktek pengusahaan hutan yang tidak berkelanjutan. Pengembangan otonomi daerah dan penerapan 10 desentralisasi pengelolaan hutan pada 1998 juga dipandang oleh banyak pihak sebagai penyebab peningkatan laju deforestasi di Indonesia. Pembangunan perkebunan dan izin usaha pemanfaatan kayu yang dikeluarkan pemerintah daerah turut berdampak terhadap upaya konservasi orangutan (Soehartono et al. 2007).

Kawasan hutan tropis dalam lingkup Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru yang menjadi kawasan habitat orangutan Sumatera berdasarkan peta vegetasi Sumatera yang disusun oleh Laumonier et al. (1987) dapat dikategorikan menjadi 2 sub-tipe formasi hutan. Pertama, sub-tipe Formasi Air Bangis-Bakongan yang menjadi bagian dari tipe Formasi Bukit Barisan Barat perbukitan berelevasi menengah (300 sampai 1000 meter di atas permukaan laut). Kedua, sub-tipe Hutan Montana (1000-1800 meter di atas permukaan laut) yang menjadi bagian dari tipe Formasi Bukit Barisan di atas 1000 meter dari permukaan laut (Perbatakusuma et al. 2007).

2.6. Fragmentasi Habitat

(11)

kelompok secara tetap atau sementara, menghendaki lingkungan habitat yang relatif stabil dari gangguan dan tidak mempunyai kemampuan menyebar dan adaptasi yang baik jika habitatnya mengalami gangguan yang berat. Ancaman kerusakan habitat orangutan di Kawasan Hutan Batang Toru semakin tinggi akibat dari aktifitas pertambangan, perambahan hutan dan illegal logging. Peta 2.3 berikut ini menunjukkan laju kerusakan habitat orangutan di Kawasan Hutan Batang Toru Blok Barat dari tahun 2001 sampai 2003.

Gambar 2.3. Kondisi Perubahan Peningkatan Kerusakan Habitat Alamiah Orangutan Sumatera di Kawasan Hutan DAS Batang Toru Barat pada Tahun 2001 Dibandingkan pada Tahun 2003 ( CI Indonesia, PT. Newmont Horas Nauli, Departemen Kehutanan)

(12)

menjadikan masyarakat setempat pada beberapa tempat menyatakan orangutan sebagai hama pengganggu tanaman budidaya masyarakat. Kondisi ini tentunya menyebabkan kelangsungan hidup orangutan secara jangka panjang tidak berjalan harmonis dengan pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat yang ada sekarang ini disekitar habitat orangutan. Sehingga habitat alami orangutan menjadi penting untuk tidak dirusak guna mendukung ketersediaan sumber pakannya (Perbatakusuma et al. 2007).

Gambar 2.4. Kerusakan Habitat Alamiah Berupa Penebangan Kayu Liar Adalah Salah Satu Ancaman Bagi Habitat dan Populasi Orangutan Sumatera di DAS Batang Toru (CI Indonesia, PT. Newmont Horas Nauli, Departemen Kehutanan).

Menurut Meijaard et al. (2001), penebangan hutan telah menurunkan produktivitas makanan satwa liar frugifora karena mengganggu siklus hara dan keseimbangan ekosistem. Menurut Conservation International, (2006) di Pulau Sumatera dalam kurun waktu 25 tahun populasi orangutan menurun hingga 80%.

Gambar

Gambar 2.1 Foto Orangutan dari Jenis a) Pongo abelii betina (Batang Toru, YEL-
Gambar 2.2 berikut  ini.
Gambar 2.3. Kondisi Perubahan Peningkatan Kerusakan Habitat Alamiah Orangutan Sumatera di Kawasan Hutan DAS Batang Toru Barat pada Tahun 2001 Dibandingkan pada Tahun 2003 ( CI Indonesia, PT
Gambar 2.4. Kerusakan Habitat Alamiah Berupa Penebangan Kayu Liar Adalah Salah Satu Ancaman Bagi Habitat dan Populasi Orangutan Sumatera di DAS Batang Toru (CI Indonesia, PT

Referensi

Dokumen terkait

SEKRETARIAT JENDERAL UNIT LAYANAN PENGADAAN. KELOMPOK

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) Nomor:BA-127/ULPD/WI.2/2016 Tanggal 16 Juli 2016 dan Penetapan Pemenang oleh Kelompok Kerja (Pokja) ULPD Kementerian Keuangan

Panitia ULP/ Panitia Pengadaan pada Satker Direktorat Advokasi dan KIE akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

dibandingkan dengan verbal semata. 19 Kelebihan media gambar di bandingkan media tulis yaitu lebih efisien dan mempersingkat waktu pengajaran. b) Gambar dapat mengatasi

dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). 2) Bahwa Bank Permata bertanggung jawab atas akibat hukum dalam perjanjian. jual beli piutang dan akta cessie antara Silver

Hasil penelitian setelah dilakukan terapi realaksasi nafas dalam terhadap kualitas tidur lansia pada kelompok eksperimen, tingkat kualitas tidur lanjut usia terlihat

Dian Ayu Linovia, Penerapan Model Pembelajaran Snowball Throwing Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Materi Bilangan Romawi Pada Siswa Kelas IV MI Mafatihul Ulum

[r]